Anda di halaman 1dari 7

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS) atau Open Defecation adalah
perilaku yang tidak sehat. Yang disebut dengan perilaku BABS atau Open Defecation
adalah suatu tindakan membuang kotoran atau tinja di ladang, hutan, semak – semak,
sungai, pantai atau area terbuka lainnya dan dibiarkan menyebar mengkontaminasi
lingkungan, tanah, udara dan air.
Perilaku BABS atau Open Defecation masih menggambarkan keadaan sanitasi
lingkungan yang tidak layak di Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan
penduduk yang melakukan perilaku BABS atau Open Defecation terbanyak kedua di
dunia setelah India. Berdasarkan data WHO pada tahun 2010 diperkirakan sebesar
1.1 milyar orang atau 17% penduduk dunia masih buang air besar di area terbuka, dari
data tersebut diatas sebesar 81% penduduk yang BABS terdapat di 10 negara.
Kesepuluh negara terbanyak dengan perilaku BABS atau Open Defecation adalah
India (58%), Indonesia (5%), China (4,5%), Ethiopia (4,4%), Pakistan (4,3%),
Nigeria (3%), Sudan (1,5%), Nepal (1,3%), Brazil (1,2%) dan Niger (1,1%).
Berdasarkan indikator Millenium Development Goals (MDGs) yang telah
dicapai pada tahun 2015, proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap
fasilitas sanitasi dasar layak di Indonesia belum melampaui target MDGs 2015 yang
ditetapkan yaitu sebesar 62,41%.
Kelanjutan dari MDGs yaitu Sustainable Development Goals (SDGs) yang
mempunyai target tahun 2030 menentukan indikator sanitasi berupa pencapaian akses
sanitasi dan higiene yang cukup dan merata bagi semua orang serta mengakhiri
2

defekasi terbuka, serta memberi perhatian khusus pada kebutuhan perempuan dan
wanita serta orang-orang yang berada pada situasi rentan.
Hal ini kemudian diterjemahkan dalam Rencana Strategis Kementrian Kesehatan
RI Tahun 2015 berupa jumlah Desa/Kelurahan yang melaksanakan Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat (STBM). Pada tahun 2014, terdapat sebanyak 18.339
Desa/Kelurahan yang telah melaksanakan STBM, masih jauh dari target pada
tahun 2019 yang menetapkan 45.000 Desa/Kelurahan telah melaksanakan STBM.

Rata-rata capaian nasional tahun 2016 untuk pelaksanaan kegiatan Sanitasi


Total Berbasis Masyarakat (STBM) adalah 42,24%, meningkat dari rata-rata capaian
tahun 2015 yaitu 32,91%. Provinsi dengan persentase desa/kelurahan yang
melaksanakan STBM tertinggi adalah DI Yogyakarta (96,35%), Nusa Tenggara Barat
(95,07%), dan Kep. Bangka Belitung (80,62%). Sedangkan provinsi dengan
persentase desa/kelurahan yang melaksanakan STBM terendah adalah Papua (7,05%),
Sulawesi Utara (7,88%) dan DKI Jakarta (9,74%). Dilihat dari jumlah, 5 (lima)
provinsi dengan realisasi desa/kelurahan yang melaksanakan STBM tertinggi yaitu
Jawa Timur (5.797 desa/kelurahan), Jawa Tengah (5.222 desa/kelurahan), Jawa Barat
(2.401 desa/kelurahan), Nusa Tenggara Timur (2.230 desa/kelurahan), dan Sulawesi
Selatan (1.570 desa/kelurahan).
Sedangkan hingga tahun 2016, untuk desa dengan SBS (Stop Buang Air Besar
Sembarangan) atau ODF (Open Defecation Free) yang sudah terverifikasi, mencapai
8.814 desa/kelurahan atau 26% dari 33.927 desa/kelurahan dengan STBM. Dalam
rangka mendukung pencapaian target RPJMN termasuk Universal Access 2019, pada
akhir tahun 2019 harus tercapai 100% desa/kelurahan melaksanakan STBM, dan 50%
desa/kelurahan STBM harus mencapai SBS/ODF yang terverifikasi. SBS
Terverifikasi adalah kondisi ketika setiap individu dalam suatu komunitas tidak lagi
melakukan perilaku buang air besar sembarangan yang berpotensi menyebarkan
penyakit dan sudah dipastikan melalui proses verifikasi.
Di Provinsi Jawa Barat, berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia, jumlah desa
yang telah melaksanakan STBM secara mandiri sejak tahun 2014 hingga 2016 cukup
mengalami perkembangan yang signifikan. Pada tahun 2014, terdapat sebanyak
30,47% desa STBM di Provinsi Jawa Barat, meningkat pada tahun 2015 menjadi
35,97%, dan kemudian pada tahun 2016 meningkat kembali menjadi 40,45%.6
Menurut Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat Tahun 2012, jumlah keluarga di Jawa
Barat yang memiliki jamban sehat sebanyak 72,96%.
Berdasarkan Rencana Pembangunan Sanitasi Provinsi Jawa Barat, pada tahun
2012 masih terdapat 20,58% keluarga yang masih melakukan perilaku BABS,
sehingga target tahun 2018 direncanakan intervensi melalui Pemicuan terhadap
2.500.000 KK.7 Menurut Data Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga
Berencana (BPPKB) Kabupaten Cirebon Tahun 2013, di Kecamatan Pangenan jumlah
keluarga yang memiliki sumber air bersih dan jamban pribadi adalah sebanyak 9.730
KK (72,71%).8

Pada tahun 2018, berdasarkan Laporan Tahunan UPTD Puskesmas DTP Pangenan di
wilayah cakupan UPTD Puskesmas DTP Pangenan terdapat dua desa yang telah
terverifikasi menjadi Desa Stop BABS atau Desa Open Defecation Free.9
Sanitasi yang tidak layak amat berkaitan dengan penularan beberapa penyakit
infeksi berbasis lingkungan yaitu penyakit Diare, Kolera, Demam Tifoid dan
Paratifoid, Disentri, penyakit cacing tambang, Askariasis, penyakit hepatitis A dan E,
penyakit kulit seperti Skabies, Trakhoma, Skistosomiasis, Cryptosporidiosis,
malnutrisi serta penyakit yang berhubungan dengan malnutrisi.
Penyakit berbasis lingkungan yang berkaitan dengan sanitasi dan higiene yang
buruk juga memberikan dampak kerugian finansial dan ekonomi akibat tingginya
biaya perawatan kesehatan, hilangnya pendapatan akibat menurunnya produktivitas
kerja, dan kerugian akibat kematian prematur. Kerugian ekonomi yang dialami
Indonesia akibat sanitasi yang tidak layak dan higienitas yang buruk mencapai 56
triliun rupiah per tahun, setara dengan 2,4% dari Produk Domestik Bruto(PDB).
Prevalensi penyakit akibat sanitasi buruk di Indonesia adalah penyakit diare
sebesar 72%, Skabies sebesar 23%, kecacingan sebesar 0,85%, Trakhoma sebesar
0,14%, hepatitis A sebesar 0,57%, hepatitis E sebesar 0,02% dan malnutrisi sebesar
2,5%, sedangkan kasus kematian akibat sanitasi buruk adalah diare sebesar 46%,
kecacingan sebesar 0,1%, Skabies sebesar 1,1%, hepatitis A sebesar 1,4% dan
hepatitis Esebesar 0,04%. Di wilayah cakupan UPTD Puskesmas DTP Pangenan,
prevalensi diare pada tahun 2017 adalah sebanyak 1.972 kasus ( 8,2% ).
Tantangan yang dihadapi Indonesia terkait pembangunan kesehatan,
khususnya bidang higiene dan sanitasi masih sangat besar. Untuk itu perlu dilakukan
intervensi terpadu melalui pendekatan sanitasi total. Pemerintah mengubah
pendekatan pembangunan sanitasi nasional dari pendekatan sektoral dengan
penyediaan subsidi perangkat keras yang selama ini tidak memberi daya ungkit
terjadinya perubahan perilaku higienis dan peningkatan akses sanitasi, menjadi
pendekatan sanitasi total berbasis masyarakat yang menekankan pada 5 (lima)
perubahan perilaku higienis.
Pelaksanaan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dengan lima pilar
akan mempermudah upaya meningkatkan akses sanitasi masyarakat yang lebih baik
serta mengubah dan mempertahankan keberlanjutan budaya hidup bersih dan sehat.
Pelaksanaan STBM dalam jangka panjang dapat menurunkan angka kesakitan dan
kematian yang diakibatkan oleh sanitasi yang kurang baik, dan dapat mendorong
tewujudnya masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan.

Berdasarkan data di wilayah Kabupaten Cirebon, bahwa Program Pemicuan


dengan pendekatan STBM merupakan program unggulan dalam meningkatkan
perilaku buang air besar di jamban, yang bertujuan untuk menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas penyakit yang diakibatkan sanitasi yang buruk khususnya
diare.

1.2 Permasalahan
Berdasarkan hasil wawancara pra penelitian dengan Programmer Kesehatan
Lingkungan dan Ketua Program UKM UPTD Puskesmas DTP Pangenan,
hambatan tercapainya bebas BABS adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk
membangun jamban secara mandiri, adanya anggapan bahwa jamban sehat adalah
mahal, BABS adalah tindakan yang praktis, BABS tidak berefek terhadap sakit dan
jarak rumah dekat sungai atau kali, serta masih menunggu bantuan dari pihak
lain untuk membangun jamban pribadi.
Hal ini merupakan kondisi yang penting untuk diintervensi dalam upaya
menghentikan perilaku BABS lewat metode Pemicuan STBM yang bila tidak dibenahi
akan berimplikasi terhadap peningkatan morbiditas dan mortalitas penyakit akibat
sanitasi yang buruk.

1.3 Tujuan
1.3.1Tujuan Umum:
Mampu mengidentifikasi program-program puskesmas, mengetahui kondisi dan
sarana serta kegiatan yang akan dilaksanakan serta mengidentifikasi berbagai
permasalahan sesuai dengan prioritas masalah yang dihadapi puskesmas.
1.3.2 Tujuan Khusus:
1. Teridentifikasinya masalah kegiatan di Puskesmas melalui data sekunder,
wawancara dan observasi di Puskesmas Pangenan
2. Teranalisisnya permasalahan di Puskesmas Pangenan
3. Diperolehnya penyebab timbulnya masalah utama, metode dan alternatif
pemecahan masalah
4. Menganalisis berbagai masalah dan pemecahan masalah tersebut Tersusunnya
rencana usulan kegiatan program terpilih
5. Mengimplementasikan usulan kegiatan serta mengevaluasi hasil pelaksanaan
kegiatan
6. Memberdayakan dan berkolaborasi dengan masyarakat dalam upaya meningkatkan
derajat kesehatan.
7. Mengelola sumber daya secara efektif, efisien dan berkesinambungan dalam
penyelesaian masalah kesehatan.

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Bagi Puskesmas
Sebagai sarana untuk kerjasama yang saling menguntungkan untuk dapat
meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat dan mendapatkan umpan balik
dari hasil evaluasi koassisten dalam rangka mengoptimalkan peran puskesmas.

1.4.2 Manfaat Bagi Mahasiswa


Manfaat untuk mahasiswa sebagai sarana untuk menimba ilmu, keterampilan dan
pengalaman dalam upaya pelayanan kesehatan dasar dengan segala bentuk
keterbatasannya sehingga mahasiswa mengetahui serta memahami kegiatan-kegiatan
puskesmas baik dalam segi pelayanan, manajemen, administratif dan karakter perilaku
masyarakat dalam pandangannya terhadap kesehatan, khususnya dalam bidang Ilmu
Kedokteran Keluarga.

Anda mungkin juga menyukai