Anda di halaman 1dari 72

40 Hadits Fadhilah Al Quran

40 hadits fadhilah quran termasuk didalamnya fadhilah membaca al quran


di bulan ramadhan fadhilah membaca al quran setiap hari fadhilah
membaca alquran menghafal al quran fadhilah surat al quran keutamaan
hafidz quran keutamaan membaca al quran beserta dalilnya

Hadits ke- 1

‫سله َم َخيُر ُكم َمن‬


َ ‫ٌللاُ َعلَي ِه َو‬
‫صلَى ه‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ٌللاُ َعنهُ قَا َل‬
ِ ‫سو ُل ه‬
‫ٌللا ه‬ ‫ى ه‬ َ ‫ض‬ ِ ‫عثَمانَ َر‬
ُ ‫َعن‬
‫ ) رواه البخاري وابو داود والترمذي والنسائ وابي ماجه‬. َ‫ت َعله َم القُرانَ َو َعل َمه‬ ‫ه‬
‫هكذا في الترغيب وعزاه الى مسلم ايضا لكن حكي الحافظ في الفضح عن ابي‬
.) ‫العالء ان مسلما سكت عنه‬

Dari Utsman r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda, “sebaik-baiknya kamu adalah


orang yang belajar al Qur’an dan mengajarkannya.” (Hr. Bukhari, Abu
Dawud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah)

Dalam sebagian besar kitab, hadis diriwayatkan dengan menunggukan


huruf
wa (artinya dan) , sebagaimana terjemahan di atas. Dengan merujuk
terjemahan di atas, maka keutamaan itu diperuntukkan bagi orang yang
belajar al Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain. Namun dalam
beberap kitab lainnya, hadits itu diriwayatkan dengan menggunakan huruf
aw (artinya ataw), sehingga terjemahanya adalah, “Yang terbaik di antara
kamu ialah orang yang belajar Al-Quraan saja ataw yang mengajarkan
alquraan saja.” Dengan demikian, maka keduanya mendapatkan derajat
keutamaan yang sama .

Al Qur’an adalah inti agama. Menjaga dan menyebarkan sama dengan


menegakan agama. Karenanya sangat jelas keutamaan mempelajari Al-
Qur’an
dan mengajarkannya, walaupun bentuknya berbeda-beda. Yang paling
sempurna adalah mempelajarinya, dan akan lebih sempurna lagi jika
mengetahui maksud dan kandungannya. Sedangkan yang terendah adalah
mempelajari bacaannya saja.

Hadist di atas diperkuat oleh sebuah hadist yang diriwayatkan dari Sa’id
bin Sulaim r.a. secara mursal bahwa barang siapa mempelajari al Qur’an
tetapi ia menganggap bahwa orang lain yang telah diberi kelebihan yang
lain lebih utama darinya, berarti ia telah menghina nikmat Allah yang
dikaruniakan kepadanya, yaitu taufik untuk mempelajari al Qur’an.
Jelaskanlah, bahwa al Qur’an itu lebih tinggi daripada yang lainnya,
sebagaimana akan diterangkan dalam hadist-hadist selanjutnya, sehingga
harus diyakini bahwa membaca dan mengajarkannya lebih utama daripada
segala-galanya. Mengenai hal ini, Mulla Ali Qari rah.a menegaskan dalam
hadist yang lain bahwa barang siapa yang menghafal al Qur’an, maka ia
telah menyimpan ilmu kenabian dikepalanya. Sahal Tustari rah.a. berkata,
“Tanda cinta seseorang kepada Allah adalah menanamkan rasa cinta
terhadap al Qur’an didalam hatinya.

Dalam Syarah al Ihya diterangkan bahwa diantara golongan orang yang


akan
mendapatkan naungan Arasy Ilahi pada hari Kiamat yang penuh ketakutan
yaitu orang yang mengajarkan al Qur’an kepada anak-anak, dan orang
yang
mempelajari al Qur’an pada masa kanak-kanak serta ia terus menjaganya
hingga masa tua.

Hadits ke-2

‫ب‬ َ ‫سله َم يَقُو ُل‬


ُ ‫الر‬ ‫صلهى ه‬
َ ‫ٌللا َعلَي ٍه َو‬ ‫سو ُل ه‬
َ ‫ٌللا‬ ُ ‫قَا َل َر‬:َ‫ٌللاُ َعنهه قَال‬
‫ضي ه‬ َ ‫سعي ٍد َر‬َ ‫َعن اَبٍي‬
ِ ُ ‫ض َل َما ا‬
‫عطي ال ْساَئِلين‬ َ ‫كري َو َمسْئلَتي ِ اَع‬
َ ‫طيتُه اَف‬ ِ َ‫قرانُ َعن ذ‬ ُ ُ‫شغَلَهُ ال‬
َ ‫تَبَاَركَ َوتَعَالى َمن‬
‫ٌللا َعلى خَل ِقه (رواه الترمذي والدارمي‬ ‫آلم َكفَض ِل ه‬ ِ ‫سائِ ِر ال َك‬َ ‫ٌللا َعلى‬ ِ ‫َوفَض ُل َك‬
‫آلم ه‬
.) ‫والبيهقي في الشعب‬

Dari Abu Sa’id r.a. berkata, Rasulullah saw. Bersabda, “Allah berfirman,
‘barang siapa yang disibukan oleh al Qur’an daripada berdzikir kepada-Ku
dan memohon kepada-Ku, maka Aku berikan kepadanya sesuatu yang
lebih
utama daripada yang Aku berikan kepada orang-orang yang memohon
kepada-Ku dan keutamaan kalam Allah diatas seluruh perkataan adalah
seumpama keutamaan Allah atas makhluk-Nya.” (Hr. Tirmidzi, DArami, dan
Baihaqi)

Orang yang sibuk menghafal, mempelajari, atau memehami al Qur’an


sehingga tidak sempat berdo’a, maka Allah akan memberinya sesuatu
yang
lebih utama daripada yang Dia berikan kepada orang yang berdo’a.
sebagaimana dalam urusan keduniaan, jika seseorang akan membagikan
kue
atau makanan kepada orang banyak, lalu ia menunjuk seseorang untuk
membagikannya, maka bagian untuk petugas yang membagikan itu akan
disisihkan lebih dulu. Mengenai ketinggian orang yang selalu sibuk
membaca al Qur’an telah disebutkan di dalam hadits lain, bahwa Allah
akan mengaruniakan kepadanya pahala yang lebih baik daripada pahala
orang yang selalu bersyukur.

Hadits ke-3

‫سله َم‬ ‫ص ْلي ه‬


َ ‫ٌللا َعلَي ِه َو‬ ‫سو هل ه‬
َ ‫ٌللا‬ ُ ‫ٌللاه َعنهه قَا َل خ ََر َج َعلَينا َر‬ ‫ام ٍر َرضي ِ ه‬ ِ ‫بن َع‬ِ ‫عقبة‬ ُ ‫َعن‬
‫ه‬ َ
ِ ‫وم اِلي بُط َحانَ اَواَلى العقَيقَ فَيَاتي‬ ‫ه‬
ٍ َ‫َونخَنُ في ِ الصف ِة فَقَا َل اَيه ُكم يُحبه اَن يَغ ُد َو ُك هل ي‬
‫ه‬
َ‫ٌللا ُكلنَا نُ ِحبه ذَالِك‬
ِ ‫سو َل ه‬ َ َ‫ين فِي َغ ِير ا ٍِثم َوآل قَظيعَ ِة َر َح ٍم فَقُلنَا ي‬
ُ ‫ار‬ ِ ‫ِبنَاقَت‬
ِ ‫َين َكو َم َاو‬
‫َيرلَه‬‫ٌللا خ ه‬‫ب ه‬ ِ ‫َين ِمن ِكت َا‬ِ ‫س ِج ِد فَيَتَعَلَ َم اَوفَيَقَ هرا َ ايَت‬
َ ‫قَا َل اَفَآل يَغدُو ا َ َح ُد ُك َم اِلَى الم‬
‫َيرلَه من اربع ومن اعدادهن من األبل‬ ُ ‫ث َواَربَ ُع خ‬ ٍ ‫َيرلَه ِمن ثَآل‬ ُ ‫آلث خ‬ ُ َ ‫َين َوث‬ ِ ‫ِمن نَاقَت‬
.)‫(رواه مسلم وابو داوود‬.

Dari Uqbah bin Amir r.a., ia menceritakan, “Rasulullah saw. Datang


menemui kami di shuffah, lalu beliau bertanya, ‘Siapakah diantara kalian
yang suka pergi setiap hari ke pasar Buth-han atau Aqiq lalu ia pulang
dengan membawa dua ekor unta betina dari jenis yang terbaik tanpa
melakukan satu dosa atau memutuskan tali silaturahmi?’ Kami menjawab,
Ya
Rasulullah, kami semua menyukai hal itu.’ Rasululullah saw. Bersabda,
‘Mengapa salah seorang dari kalian tidak kemasjid lalu mempelajari atau
membaca dua buah ayat al Qur’an (padahal yang demikian itu) lebih baik
baginya dari pada dua ekor unta betina, tiga ayat lebih baik dari tiga
ekor unta betina, dan begitu pula membaca empat ayat lebih baik baginya
daripada empat ekor unta betina, dan seterusnya sejumlah ayat yang
dibaca mendapat sejumlah yang sama dari unta-unta.” (Hr. Muslim dan
Abu
Dawud)

Shuffah adalah sebuah lantai khusus di Masjid Nabawi tempat orang-orang


miskin Muhajirin tinggal. Mereka dikenal dengan sebutan Ahlush Shuffah
(orang-orang shuffah). Jumlah sahabat ahlush shuffah selalu berubah dari
waktu ke waktu. ‘Allama Suyuti rah.a. telah menyusun seratus

satu nama sahabat yang tinggal di Shuffah, dan ia menulis tentang mereka
di dalam risalah tersendiri. Sedangkan Buth-han dan Aqiq adalah nama
dua
buah tempat di Madinah sebagai pasar perdagangan unta. Orang Arab
sangat
menyukai unta, terutama unta betina yang berpunuk besar.

Maksud ‘tanpa melakukan suatu dosa’ adalah mendapatkan sesuatu dari


orang lain tanpa usaha atau berkorban. Bukan harta yang bertambah
melalui pemerasan, pencurian, atau merampas warisan sesama saudara.
Oleh
karena itu, Rasulullah saw. Menyatakan dalam sabdanya, bahwa unta itu
diperoleh tanpa bersusah payah sama sekali dan tanpa berbuat suatu dosa
pun. Sudah pasti memperoleh harta dengan cara demikian lebih disenangi
oleh semua orang. Akan tetapi Nabi saw. Menyatakan bahwa mempelajari
beberapa ayat al Qur’an itu lebih baik dan lebih utama daripada
mendapatkan semua itu.
Hendaknya kita meyakini hal ini, bahwa keutamaan dan pahala
mempelajari
al Qur’an tidaklah sebanding dengan seekor atau dua ekor unta, bahkan
dengan kerajaan seluas tujuh benua sekalipun. Karena semua itu pasti
akan ditinggalkan, jika bukan hari ini tentu hari esok saat maut
menjemput semuanya terpaksa harus berpisah. Sebaliknya, pahala
membaca
satu ayat Al Qur’an akan bermanfaat untuk selama-lamanya. Dalam urusan
keduniaan, kita dapat saksikan bahwa orang orang yang diberi satu rupiah
tanpa beban tanggung jawab apapun akan lebih senang daripada dipinjami
seribu rupiah agar disimpannya tetapi kelak akan diambil lagi, karena ia
hanya dibebani amanah tanpa mendapat manfaat sedikitpun.

Hadits diatas intinya adalah mengingatkan kita akan perbandingan sesuatu


yang fana dengan sesuatu yang abadi. Ketika seseorang sedang sedang
diam
atau bergerak, hendaknya selalu berfikir apakah ia sedang berbuat
sesuatu yang hasilnya sementara dan sia-sia atau sesuatu yang hasilnya
kekal dan bermanfaat? Betapa rugi jika kita gunakan waktu hanya untuk
menghasilkan bencana yang abadi.

Kalimat terakhir didalam hadits di atas menyebutkan bahwa jumlah ayat


yang sama tetapi lebih utama daripada jumlah untanya. Kalimat itu
mengandung tiga maksud, yaitu:

1) Walaupun sampai jumlah empat ayat saja yang disebutkan secara


terperinci, tetapi maksudnya adalah semakin banyak jumlah ayat yang
dibaca akan semakin semakin banyak pahala yang diperoleh. Dalam
pengertian ini, semua unta sama, baik jantan maupun betina.

2) Jumlah untanya sama dengan jumlah yang disebutkan dalam hadits


diatas, tetapi untanya bergantung pada selera masing-masing. Ada yang
menyukai unta betina ada yang menyukai unta jantan. Oleh sebab itu, Nabi
saw. Menegaskan bahwa satu ayat lebih berharga daripada seekor unta
betina. Jika seseorang menyukai unta jantan, maka satu ayat lebih baik
daripada unta jantan.

3) Jumlahnya tidak lebih dari empat, tetapi pengertiannya bukan saja


lebih baik daripada unta betina atau unta jantan, tetapi lebih baik
daripada keduanyanya. Jelasnya, membaca satu ayat lebih baik daripada
sepasang unta jantan dan unta betina. Demikianlah seterusnya, setiap
ayat lebih utama daripada sepasang unta.

Ayah saya (nawwarullaahu marqadahu) lebih setuju dengan pendapat ini,


sebab lebih banyak keutamaannya. Namun walaupun demikian, tetap tidak
dapat disamakan antara membaca satu ayat al Qur’an dengan satu ekor
atau
dua ekor unta. Ungkapan ini sekedar gambaran dan contoh saja.
Sebelumnya
telah jelaskan bahwa satu ayat al Qur’an akan memperoleh pahala abadi
yang lebih utama dan lebih baik daripada kerajaan seluas tujuh benua
yang fana ini.
Mulla Ali Qari rah.a.menulis tentang seorang syaikh yang sedang
bersafar. Ketika tiba di Jeddah, ia diminta oleh para pengusaha kaya
agar tinggal lebih lama di tempat mereka, agar harta dan perniaganya
mendapat berkah karena kehadiran seorang syaikh.

Pada mulanya syaikh menolak tawaran mereka, tetapi setelah didesak


akhirnya syaikh berkata, “Berapakah keuntungan tertinggi dari perniagaan
kalian?” jawab mereka, “penghasilan kami berbeda, setidaknya kami bias
mendapatkan keuntungan dua kali lipat.” Syaikh itu berkata, “kalian ini
bersusah payah untuk mendapat keuntungan yang sedikit. Aku tidak
menghendaki karena sesuatu yang sedikit ini aku harus kehilangan
shalatku di Masjidil Haram yang pahalanya dilipatgandakan hingga seratus
ribu kali.”

Hakikat inilah yang harus dipikirkan oleh setiap kaum muslimin, sehingga
mereka tidak mengorbankan keuntungan agama demi mendapatkan
keuntungan
dunia yang sedikit ini.

Hadits ke-4

‫سلهم الَماهر‬ َ ‫ٌللاُ َعلَي ِه َو‬ ‫صلهي ه‬ ِ ‫سو ُل ه‬


َ ‫ٌللا‬ ُ ‫قَا َل َر‬: ُ‫ٌللاُ َعنها َ قَالَت‬ ‫شةَ َرضي ه‬ َ ِ‫َعن َعائ‬
َ ‫ه‬ َ ‫ه‬ َ
‫سفَ َرة َ ال ِك َر ِام البَ َر َرةِ َوالذِي يَقُرا القُرانَ َويَتَت َعت َ ُع فِيه َوه َُو َعلي ِه‬ ِ ُ‫باِلق‬
َ ‫ران َم َع ال‬
.)‫َاق لَه ا َ َجران (رواه البخارى ومسلم وابو داوود والترمذى وابن ماجه‬ ‫ش ه‬

Dari Aisyah r.h.a berkata bahwa Rasulullah saw.bersabda , “Orang yang


ahli dalam al Qur’an akan berada bersama malaikat pencatat yang mulia
lagi benar, dan orang terbata-bata membaca al Qur’an sedang ia bersusah
payah (mempelajarinya), maka baginya pahala dua kali.” (Hr. bukhari,
Nasa’I, Muslim, Abu Daud, Tarmidzi, dan ibnu Majah)

Maksud orang yang ahli dalam al Qur’an adalah orang yang hafal al Qur’an
dan senantiasa membacanya, apalagi jika memahami arti dan maksudnya.

Dan yang dimaksud ‘bersama-sama malaikat’ adalah, ia termasuk


golongan
yang memindahkan al Qur’an al-Karim dan Lauh Mahfuzh, karena ia
menyampaikannya kepada orang lain melalui bacaannya. Dengan
demikian,
keduanya memiliki pekerjaan yang sama. Atau bisa juga berarti, ia akan
bersama para malaikat pada hari Mahsyar kelak.

Orang yang terbata-bata membaca al Qur’an akan memperoleh pahala dua


kali; satu pahala karena bacaannya, satu lagi karena kesungguhannya
mempelajari al Qur’an berkali-kali. Tetapi bukan berarti pahalanya
melebihi pahala orang yang ahli al Qur’an. Orang yang ahli al Qur’an
tentu saja memperoleh derajat yang istimewa, yaitu bersama malaikat
khusus. Maksud yang sebenarnya adalah, bahwa dengan bersusah payah
mempelajari al Qur’an akan menghasikan pahala ganda. Oleh karena itu,
kita jangan meninggalkan baca al Qur’an, walaupun mengalami kesulitan
dalam membacanya.

Mulla Ali Qari rah.a. meriwayatkan dari Thabrani dan Baihaqi, “Barang
siapa membaca al Qur’an sedangkan ia tidak hafal, maka ia akan
memperoleh pahala dua kali lipat. Dan barang siapa benar-benar ingin
menghafal al Qur’an, sedangkan ia tidak mampu, tetapi ia terus
membacanya, maka Allah akan membangkitkannya pada hari Mashyar
bersama
para hafizh al Qur’an.

Hadits ke-5

‫س َد أآل‬ َ ‫سلهم آل َح‬ ‫صلهي ه‬


َ ‫ٌللاُ َعلَي ِه َو‬ َ ‫ٌللا‬ ِ ‫سو ُل ه‬ ُ ‫قَا َل َر‬:َ‫ٌللاُ َعنها َ قَال‬
‫ع َم َر َرضي ه‬ ُ ‫ابن‬
ِ ‫َعن‬
‫ار َو َر ُج ُل‬ِ ‫ٌللاُ القُرانَ فَ ُهو يَقُو ُم بِه انَأ َء اللي ِل َوانَأ َء النَ َه‬ ‫َين َر ُج ُل ات َاهُ ه‬
ِ ‫في ِ اثنَت‬
‫(رواه البخارى ومسلم‬.‫ار‬ ‫ه‬
ِ ‫طاهُ َماآل فَ ُه َو يُنفق ِمنهُ انَأ َء اللَ ِيل َوانَأ َء النه َه‬
َ ‫اع‬
.)‫والترمذى والنسائى وأبن ماجه‬

Dari Ibnu Umar r.huma. berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Tidak
diperbolehkan hasad (iri hati) kecuali terhadap dua orang: Orang yang
dikaruniai Allah (kemampuan membaca/menghafal al Qur’an). Lalu ia
membacanya malam dan siang hari, dan orang yang dikaruniai harta oleh
Allah, lalu ia menginfakannya pada malam dan siang hari.” (Hr. Bukhari,
Tarmidzi, dan Nasa’i)

Dalam al Qur’an dan hadits banyak diterangkan bahwa hasad atau iri hati
yang hukumannya mutlak dilarang. Sedangkan menurut hadits diatas, ada
dua jenis orang yang kita boleh hasad terhadapnya.
Karena banyak riwayat yang terkenal mengenai keharaman hasad ini,
maka
alim ulama menjelaskan hasad dalam hadist ini dengan dua maksud:

Pertama, hasad diartikan risyk yang dalam bahasa arab disebut ghibtah.
Perbedaan antara hasad dan ghibtah yaitu: hasad adalah jika seseorang
mengetahui ada orang lain memiliki sesuatu, maka ia ingin agar sesuatu
itu hilang dari orang itu, baik ia sendiri mendapatkannya atau tidak.
Sedangkan ghibtah ialah seseorang yang ingin memiliki sesuatu secara
umum, baik orang lain kehilangan atau pun tidak. Karena secara ijma’
hasad adalah haram, maka para ulama mengartikan hasad dalam hadits
diatas dimaksudnya adalah ghibtah yang dalam urusan keduniaan
dibolehkan, sedang dalam masalah agama adalah mustahab (lebih
disukai).

Kedua, mungkin juga maksudnya sebagai pengandaian. Yakni seandainya


hasad itu dibolehkan, maka bolehlah hasad terhadap dua jenis tersebut
diatas.

Hadits ke-6
‫سلهم َمث َ ُل‬َ ‫ٌللاُ َعلَي ِه َو‬ ‫صلهي ه‬ َ ‫ٌللا‬ِ ‫سو ُل ه‬ ُ ‫قَا َل َر‬:َ‫ٌللاُ َعنهُ قَال‬ ‫َعن اَبي ُم ُوسى َرضي ه‬
ُ ‫ب َو َمث َ ُل‬
‫المو ِم ِن‬ ُ ِ‫طي‬ َ ‫طع ُم َها‬َ ‫ب َو‬ ُ ِ‫اآلتر َج ِة ِري ُح َها طي‬
ُ ‫وم ِن اهلَذِي يَقَرا ُ القُرانَ َمث َ ُل‬ ِ ‫ال ُم‬
‫ق اهلَذِي‬ ِ ِ‫طع ُم َها ُح هلو َو َمث َ ُل ال ُمنَاف‬ َ ‫َمرة آلريَح لَ َها َو‬ َ ‫قرا ه القُرانَ َك َمث َ ِل الت‬ َ َ‫اهلَذِي آلي‬
ُ ‫ط ْع ُم َها ُم ُّر َو َمث َ ُل ال ُمنَافق اّلذِي ال يَ ْق َرأ‬ َ ‫طيّبه َو‬َ ‫قرأ القُرانَ َمث َ ُل الر ْي َحانَ ِة ِر ْي ُح َها‬ َ َ‫ي‬
‫ (رواه البخارى ومسلم والنسائي‬.‫يس لَ َها ِري ُح وطعمها ُم ُّر‬ َ َ‫القُ ْرانَ َك َمثِ ِل ال َحنُظلَ ِة ل‬
.)‫وابن ماجة‬

Dari Abu Musa r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda,


“perumpamaan
orang mu’min yang membaca al Qur’an adalah seperti jeruk manis yang
baunya harum dan rasanya manis. Perumpamaan orang mu’min yang tidak
membaca al Qur’an adalah seperti kurma, tidak berbau harum tetapi
rasanya manis. Perumpamaan orang munafik yang membaca al Qur’an
adalah
seperti bunga, baunya harum tetapi rasanya pahit. Dan perumpamaan
orang
munafik yang tidak membaca al Qur’an seumpama buah pare, tidak berbau
harum dan rasanya pahit.” (Hr. Bukhari, Muslim, Nasai, dan Ibnu Majah)

Hadits diatas menunjukan perbandingan antara sesuatu yang abstrak


dengan
yang nyata, sehingga dapat lebih mudah dibedakan antara orang yang
membaca al Qur’an dan yang tidak membacanya. Padahal jelas
bahkelezatan
tilawat al Qur’an jauh berbeda dengan kelezatan apa pun di dunia ini,
seperti jeruk dan kurma. Tetapi banyak rahasia dibalik tamsil hadits
yang menjadi saksi terhadap ilmu Nubuwwah dan luasnya pemahaman
Nabi
saw. Misalnya: jeruk mengharumkan mulut, menguatkan pencernaan,
membersihkan lambung, dan sebagainya. Semua manfaat itu juga
dihasilkan
oleh pembaca al Qur’an, yaitu mewangikan mulut, membersihkan batin,dan
menguatkan ruhani. Keistimewaan lainnya dari buah jeruk adalah bahwa
jin
tidak dapat memasuki rumah yang didalamnya terdapat jeruk. Jika benar
maka hal ini merupakan suatu keserupaan khusus pada al Qur’an. Saya
mendengar dari beberapa dokter ahli yang mengatakan bahwa jeruk manis
dapat menguatkan ingatan. Dan menurut riwayat Ali r.a. dalam al Ihya
disebutkan bahwa ada 3 hal dapat menguatkan ingatan, yaitu: (1)
Bersiwak; (2) Shaum; dan (3) Membaca al Qur’an.
Sebagai penutup hadits diatas, dalam riwayat Abu Dawud disebutkan
bahwa
sahabat yang baik adalah seperti penjual minyak kasturi. Meskipun tidak
memiliki kasturi tetapi jika berdekatan dengannya akan mendapatkan
wanginya. Sahabat yang buruk adalah seperti pandai besi, meskipun tidak
terkena apinya tetapi jika berdekatan dengannya akan terkena asapnya.
Karena itu sangat penting untuk diperhatikan siapakah sahabat dan teman
bergaul kita

Hadits ke-7

َ ‫سله َم اِنَ ه‬
‫ٌللا يَرفَ ُع‬ َ ‫ٌللاُ َعلَي ِه َو‬
‫سو هل ه‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ٌللاُ َعنهُ قَال‬‫ضي ه‬
َ ‫ب َر‬ ‫بن الخ ه‬
ِ َ ‫َطا‬ ِ ‫ع َم َر‬
ُ ‫َعن‬
)‫ض ُع ِبه اخ َِرينَ (رواه مسلم‬ َ َ‫ب اَقَواما َوي‬ ِ ‫ِبهذَ االكت َ ِا‬

Dari Umar r.a berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Allah


mengangakat
derajat berapa kaum melalui kitab ini (al Qur’an) dan Dia merendahkan
beberapa kaum lainnya melalui kitab ini pula.” (Hr. Muslim)

Barang siapa yang beriman dan beramal dengan al Qur’an, niscaya Allah
akan mengangkat derajatnya dan memuliakannya di dunia dan di akhirat.
Dan siapa saja yang tidak beramal dengan al Qur’an, maka Allah pasti
menghinakannya. Allah Swt. Menyatakan dalam al Qur’an,

.…‫…يُضل به كثيرا ويهدي به كتيرا‬

“… dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah dan


(dengan
perumpamaan itu pula) banyak orang yang diberiNya petunjuk…” (Qs. Al
Baqa-rah [2] : 26)

Firman lainya:

‫وننزل من القران ما هو شفا ء ور حمة للمو منين وال يز يد الظلمين اال خسا‬
‫؟‬.……………‫را‬

“dan Kami turunkan dari al Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan al Qur’an itu tidak menambah
bagi orang-orang yang zhalim selain kerugian.” (Qs. Al Isra [17]: 82)
Ulama bahwa jika seseorang mulai membaca satu surat dalam al Qur’an,
maka malaikat mulai memohonkan rahmat untuknya dan mereka akan
terus
dalam keadaan berdoa untuknya sampai ia selesai membacanya. Tetapi
ada
pula seseorang yang mulai membaca suatu surat dalam al Qur’an, namun
malaikat mulai melaknatnya sampai ia selesai membacanya.

Menurut sebagian ulama, terkadang ada seseorang membaca al Qur’an


tetapi
tanpa disadari ia telah memohon laknat untuk dirinya sendiri terus
menerus, misalnya ia membaca ayat al Qur’an yang berbunyi:

َ‫على الظالمين‬
َ ‫أال لعنةُ هللا‬

“Ingatlah laknat Allah (ditimpakan) ke atas orang-orang yang


zalim.”(Qs.Hud[11]:18)
Sementara ia sendiri berbuat zhalim, maka laknat Allah pun menimpanya.

Atau ayat lain yang berbunyi:

..…} ‫{ لعنة هللا علي ا لكاذبين‬

“laknat Allah (ditimpakan) ke atas orang-orang yang berdusta.” (Qs. Ali


Imran [3]:61)
Sedangkan ia sendiri suka berdusta, maka ia pun terkena laknat itu.

Amir bin Watsilah r.a. menceritakan bahwa Umar r.a. telah mengangkat
Nafi’ bn Abdul Haris sebagai walikota Makkah Mukharamah. Suatu ketika
Umar bertanya kepada Nafi”, “Siapakah yang dijadikan Pengurus kawasan
kawasan hutan?” “Ibnu Abza r.a., “jawab Nafi’. Umar r.a bertanya lagi,
“Siapakah Ibnu Abza itu?” Nafi menjawab, “Ia adalah seorang hamba
sahaya.” Umar r.a. bertanya, “Mengapa engkau mengangkat seorang
hamba
sahaya sebagai pengurus?” Nafi’ menjawab, “Ia adalah hamba sahaya
yang
senang membaca al Qur’an.” Mendengar jawaban itu, Umar r.a. langsung
menyebutkan sabda Rasulullah saw., “Melalui al Qur’an, Allah
menghinakan
banyak orang dan mengangkat derajat banyak orang.”
Hadits ke-8

‫رش‬ِ َ‫آلث تَحتَ الع‬ ُ َ ‫سلَ َم ث‬


َ ‫ٌللاُ َعلَيهَ َو‬
‫صلَي ه‬ َ ِ ‫ٌللاُ َعنهُ َع ِن الهنِبي‬ ‫ضي ِ ه‬َ ‫رحمن َر‬
ِ َ‫َعن َعبِد ال‬
ُ ‫ط هن َواأل َماَنُةه َوالر ِح ُم تُنَا ِد‬
ُ‫ي أآل َمن‬ ُ َ‫هر َوب‬
‫ظ ه‬َ ‫وم القَياَمةَ القُرانُ يُ َحا ُّج ال ِعبَا َد لَه‬
َ َ‫ي‬
)‫ (روى في شرح السنة‬.ُ‫ٌللا‬ ‫طعَه ه‬ َ َ‫طعني ِ ق‬َ َ‫ٌللاُ َو َمن ق‬
‫صلَهُ ه‬ َ ‫صلَني ِ َو‬
َ ‫َو‬

Dari Abdur Rahman bin Auf r.a. dari Nabi saw.. “Ada tiga hal yang akan
berada di bawah naungan Arasy Ilahi pada hari kiamat: (1) al Qur’an yang
akan membela hamba Allah dan ia mempunyai zhahir dan batin: (2)
Amanat:
dan (3) Silaturahmi yang akan berseru, “Ingatlah! Siapa yang
menghubungkan aku, maka Allah menghubunginya, dan siapa yang
memutuskan
aku, maka Allah memutuskannya.” (Dikutib dari Kitab Syarhus Sunnah).

Maksud ‘tiga hal yang berbeda di bawah Arsy’ adalah sempurnanya


kedekatan ketiga hal itu kepada Allah, yakni sangat dekat dengan Arsy
Allah.

Maksud ‘membela hamba Allah’ adalah orang yang memuliakan al Qur’an,


menunaikan hak-haknya, dan mengamalkan isinya, maka al Qur’an pasti
akan
membelanya di hadapan Allah dan akan mensyafa’atinya serta
meninggikan
derajatnya.
Mulla Ali Qari rah.a. meriwayatkan dari Tirmidzi bahwa ahli al Qur’an
kelak akan datang pada hari Kiamat. Lalu al Qur’an memohon kepada
Allah,
“Ya Allah, berilah ia pakaian!” maka di pakaikan mahkota kemuliaan
kepada orang itu. Kemudian al Qur’an memohon lagi, “Ya Allah
tambahkanlah untuknya!” maka dipakaikan kepadanya pakaian kemuliaan.
Al
Qur’an pun memperoleh ridha dari orang yang kita cintai di dunia ini,
rasanya tidak ada kenikmatan yang lebih besar dari pada itu. Demikian
juga di akhirat, kenikmatan manakah yang dapat mengalahkan ridha Allah,
kekasih kita?

Sedangkan bagi orang yang tidak memenuhi hak-hak al Qur’an, maka al


Qur’an akan menuntutnya, “apakah engkau telah memuliakan aku?
Apakah
engkau telah menunaikan hak-hakku?” dalam Syarah Ihya di nyatakan
bahwa
hak al Qur’an adalah di khatamkan dua kali dalam setahun. Maka mereka
yang melalaikan al Qur’an hendaknya memikirkan masalah ini, yakni
bagaimanakah kita menjawab tuntutan sekeras ini? Padahal maut itu pasti
datang, dan tidak ada tempat untuk lari darinya.
Maksud al Qur’an memiliki zhahir dan batin’ ialah: zhahir al Qur’an
yaitu makna al Qur’an yang dapat dipahami oleh semua orang. Sedangkan
bati al Qur’an maksudnya adalah makna al Qur’an yang tidak dapat
dipahami oleh semua orang. Mengenai hal ini, Rasulullah saw. Bersabda,
“barang siapa mengemukakan pendapatnya sendiri tentang isi al Qur’an,
maka ia telah melakukan kesalahan walaupun pendapatnya itu benar.”
Ulama
berpendapat bahwa maksud ‘zhahir al Qur’an’ adalah lafazh-lafazh al
Qur’an yang dapat di baca oleh semua orang. Sedangkan batin al Qur’an
adalah makna atau maksud al Qur’an yang dapat dipahami menurut
keahlian
masing-masing.

Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “jika kita ingin memperoleh ilmu, maka
pikirkan dan renungkanlah makna-makna al Qur’an, karena di dalamnya
terkandung ilmu orang-orang dahulu dan sekarang.” Namun untuk
memahaminya, kita mesti menunaikan syarat dan adab-adabnya terlebih
dahulu. Jangan seperti pada zaman sekarang ini. Hanya bermodalkan
pengetahuan tentang beberapa lafazh bahasa Arab, bahkan sekedar
melihat
terjemahan al Qur’an, seseorang berani menafsirkan al Qur’an dengan
pendapatnya sendiri.

Alim ulama berkata, “untuk dapat menafsirkan al Qur’an di perlukan


keahlian dalam lima belas bidang ilmu.” Saya akan meringkas ke lima
belas ilmu itu semata-mata agar diketahuai bahwa tidak mudah bagi setiap
orang memahami makna batin al Qur’an ini.

1. Ilmu Lughat (filologi), yaitu ilmu untuk mengetahui arti setiap kata
al Qur’an. Mujahid rah.a berkata, “Barang siapa beriman kepada Allah dan
hari akhirat, maka tidak layak baginya berkomentar tentang tentang
ayat-ayat al Qur’an tanpa mengetahui ilmu lugat. Sedikit pengetahuan
tentang lughat tidaklah cukup karena kadang kala satu kata mengandung
berbagai arti. Jika hanya mengetahui satu atau dua arti, tidaklah cukup.
Bisa jadi kata itu mempunyai arti dan maksud yang berbeda.
2. Ilmu Nahwu (tata bahasa). Sangat penting mengetahui ilmu nahwu,
karena sedikit saja I’rab hanya didapat dalam ilmu nahwu.
3. Ilmi Sharaf (perubahan bentuk kata). Mengetahui ilmu sharaf sangat
penting, karena perubahan sedikit bentuk suatu kata akan mengubah
maknanya. Ibnu Faris berkata, “jika seseorang tidak mempunyai ilmu
sharaf, berarti ia telah kehilangan banyak hal.” Dalam Ujubatut Tafsir,
Syaikh Zamakhsyari rah.a. menulis bahwa ada seseorang yang
menerjemahkan
ayat al Qur’an yang berbunyi:
}‫ام ِهم‬ ٍ ‫ع ْوا ُكل أُن‬
ِ ‫َاس ِبا َم‬ ُ ‫{ يَ ْو َم نَ ْد‬
“(ingatlah) pada suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil setiap
umat dengan pemimpinnya.” (Qs. Al Isra [17] : 71)
Karena ketidaktahuannya tentang ilmu Sharaf, ia menerjemahkan ayat itu
seperti ini: “pada hari ketika manusia dipanggil dengan ibu-ibu mereka.”
Ia mengira bahwa kata ‘imaam’ (pemimpin) yang merupakan bentuk
mufrad
(tunggal) adalah bentuk memahami ilmu sharaf, tidak mungkin akan
mengartikan ‘imaam’ sebagai ibu-ibu.
4. Ilmu Isytiqaq (akar kata). Mengetahui ilmu isytiqaq sangatlah
penting. Dengan ilmu ini dapat diketahui asal-usul kata. Ada beberapa
kata yang berasal dari dua kata yang berbeda, sehingga berbeda makna.
Seperti kata ‘masih’ berasal dari kata ‘masah’ yang artinya menyentuh
atau menggerakan tangan yang basah ke atas suatu benda, atau juga
berasal dari kata ‘masahat’ yang berarti ukuran.
5. Ilmu Ma’ani. Ilmu ini sangat penting diketahui, karena dengan ilmu
ini susunan kalimat dapat diketahui dengan melihat maknanya.
6. Ilmu Bayaan. Yaitu ilmu yang mempelajari makna kata yang zhahir dan
yang tersembunyi, juga mempelajari kiasan serta permisalan kata.
7. Ilmu Badi’, yakni ilmu yang mempelajari keindahan bahasa. Ketiga
bidang ilmu diatas juga disebutsebagai cabang ilmu balaghah yang sangat
penting dimiliki oleh para ahli tafsir. Al Qur’an adalah mukjizat yang
agung, maka dengan ilmu-ilmu diatas, kemukjizatan al Qur’an dapat
diketahui.
8. Ilmu Qira’at. Ilmu ini sangat penting dipelajari, karena perbedaan
bacaan dapat mengubah makna ayat. Ilmu ini membantu menentukan
makna
paling tepat diantara makna-makna suatu kata.
9. Ilmu Aqa’id. Ilmu yang sangat penting dipelajari ini mempelajari
dasar-dasar keimanan. Kadangkala ada satu ayat yang arti zhahirnya tidak
mungkin diperuntukkan bagi Allah Swt. Untuk memahaminya diperlukan
takwil ayat itu, seperti ayat yang berbunyi:
} ‫{ يدق هللا فوق إيديهم‬
“tangan Allah diatas tangan mereka.” (Qs. Al Fath 48]:10)
10. Ushu1 Fiqih. Mempelajari ilmu ushul fiqih sangat penting, karena
dengan ilmu ini kita dapat mengambil dalil dan menggali hokum dari suatu
ayat.
11. Ilmu Asbabun-Nuzul. Yaitu ilmu untuk mengetahui sebab-sebab
turunnya, maka maksud suatu ayat mudah dipahami. Karena kadangkala
maksud suatu ayat itu bergantung pada asbabun nuzul-nya.
12. Ilmu Nasikh Mansukh. Dengan ilmu ini dapat dipelajari suatu hukum
yang sudah dihapus dan hukum yang masih tetap berlaku.
13. Ilmu Fiqih. Ilmu ini sangat penting dipelajari. Dengan menguasai
hukum-hukum yang rinci akan mudah mengetahui hukum global.
14. Ilmu Hadits. Ilmu untuk mengetahui hadits-hadits yang menafsirkan
ayat-ayat al Qur’an.
15. Ilmu Wahbi. Ilmu khusus yang diberikan kepada Allah kepada hamba-
Nya
yang istimewa,

sebagaimana sabda Nabi saw.,

‫َم ْن َع ِم َل بِما َع ِل َم َو َرثَهُ هللا ِع ْل َم َمالَ ْم يَ ْعلَ ْم‬

“Barangsiapa mengamalkan apa yang ia ketahui, maka Allah akan


memberikan
kepadanya ilmu yang tidak ia ketahui”.
Juga sebagaimana disebutkan dalam riwayat, bahwa Ali r.a. pernah
ditanya
oleh seseorang, “Apakah Rasulullah telah memberimu suatu ilmu atau
nasihat khusus yang tidak diberikan kepada orang lain?” maka ia
menjawab, “Demi Allah, demi Yang menciptakan Surga dan Jiwa. Aku tidak
memiliki sesuatu yang khusus kecuali pemahaman al Qur’an yang Allah
berikan kepada hamba-Nya.” Ibnu Adi Dunya berkata, “Ilmu al Qur’an dan
pengetahuan yang didapat darinya seperti lautan yang tak bertepi.”

Ilmu-ilmu yang telah diterangkan diatas adalah alat bagi para mufassir
al Qur’an.
Seseorang yang tidak memiliki ilmu-ilmu tersebut lalu menafsirkan al
Qur’an, berarti ia telah menafsirkan menurut pendapatnya sendiri, yang
larangannya telah disebutkan dalam banyak hadits. Para sahabat telah
memperoleh ilmu bahasa arab secara turun temurun, dan ilmu lainnya
mereka dapatkan melalui cahaya Nubuwwah.
Imam Suyuthi rah.a. berkata, “Mungkin kalian berpendapat bahwa ilmu
Wahbi itu berada diluar kemampuan manusia. Padahal tidak demikian,
karena Allah sendiri telah menunjukan caranya, misalnya dengan
mengamalkan ilmu yang dimiliki dan tidak mencintai dunia.”

Tertulis dalam Kimia’us Sa’aadah bahwa ada tiga orang yang tidak akan
mampu menafsirkan al Qur’an: (1) Orang yang tidak memahami bahasa
Arab;
(2) Orang yang berbuat dosa besar atau ahli bid’ah, karena perbuatanitu
akan membuat hatinya menjadi gelap dan menutupi pemahamannya
terhadap al
Qur’an; (3) Orang yang dalam Aqidahnya mengakui makna zhahir nash.
Jika
ia membaca ayat-ayat al Qur’an yang tidak sesuai dengan pikirannya
(logikanya), maka ia akan gelisah. Orang seperti ini tidak akan mampu
memahami al Qur’an dengan benar.

ْ ْ‫اللهم أح‬
‫فظنَا ِم ْن ُه ْم‬

“Ya Allah, lindungilah kami dari mereka”

Hadits ke-9

‫سلَ َم‬
َ ‫ٌللا َعلَيِه َو‬
‫صلَي ه‬ َ ‫ٌللا‬ ِ ‫سو ُل ه‬ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ٌللاُ َعنُه َما قَا َل‬
‫ضى ه‬ َ ‫ع َم َر َر‬ُ ‫بن‬ ِ ‫َعن َعب ِد ه‬
ِ ‫ٌللا‬
ِ ‫نزلَكَ في‬ ِ ‫ارتق َو َرت ه هل كما ُكنتَ تُرت ه ٍل في ِ الدُنيَا فَا هِن َم‬‫ران اِقَرأ َو ه‬ ِ ُ‫ب الق‬ِ ‫اح‬ َ ‫يُقَا ُل ِل‬
ِ ‫ص‬
.)‫ (رواه أحمد والترمذي وأبو داوود والنسائي‬.‫َقرأهُا‬ َ ‫اخٍ ِرايَةُ ت‬

Dari Abdullah bin Umar r.huma. berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
“(pada hari Kiamat kelak) akan diseur kepada ahli al Qur’an, ‘Bacalah
dan teruslah naik, bacalah dengan tartil seperti yang engkau telah
membaca dengan tartil di dunia, karena sesungguhnya tempatmu adalah
pada
akhir ayat yang engkau baca.” (Hr. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa’I,
Ibnu Majah, dan Ibnu Haban)

Maksud ‘ahli al Qur’an dalam hadits ini adalah hafizh al Qur’an. Mulla
Ali Qari rah.a. menjelaskan bahwa keutamaan itu hanya diberikan kepada
hafizh al Qur’an, tidak termasuk orang yang membaca al Qur’an dengan
melihat nash. Alasannya adalah: pertama, karena lafazh itu memang
ditujukan kepada ahli al Qur’an. Kedua, sesuai dengan hadits yang
diriwayat oleh imam Ahmad,
ُ‫حتى يقرا شيئا منه‬

“…Sehingga ia membaca sesuatu yang bersamanya.”


Kalimat ini cenderung ditujukan kepada hafizh al Qur’an, meskipun ada
kemungkinan orang yang selalu membaca al Qur’an juga dapat termasuk
di
dalamnya.

Disebutkan didalam kitab Mirqaat bahwa hadits ini tidak berlaku bagi
pembaca al Qur’an yang dilaknat oleh al Qur’an. Hal ini berdasarkan
hadits yang menyebutkan bahwa banyak orang yang membaca al Qur’an,
tetapi al Qur’an melaknatnya. Oleh sebab itu, banyaknya membaca al
Qur’an yang dilakukan oleh orang yang aqidahnya menyimpang tidaklah
dapat dijadikan dalil (bukti) bahwa ia adalah orang yang diterima disisi
Allah. Banyak hadits semacam ini yang membicarakan tentang kaum
Khawarij.

Mengenai ‘tartil’, Syaikh Abdul Aziz (nawwarullaahu marqadahu) menulis


di dalam tafsirnya bahwa arti asal ‘tartil’ adalah membaca dengan terang
dan jelas. Sedangkan artinya menurut syar’I adalah membaca al Qur’an
dengan tertib seperti dibawah ini:

1. Setiap huruf harus diucapkan dengan makhraj yang benar, sehingga ‫ط‬
tha’ tidak dibaca َ‫ت‬ta’ dan ‫ض‬dha
َ tidak dibaca ‫ظ‬zha.
2. Berhenti pada tempat yang benar, sehingga ketika memutuskan atau
melanjutkan bacaan tidak dilakukan ditempat yang salah.
3. Membaca semua harakat dengan benar, yakni menyebut fathah, kasrah
dan
dhammah dengan perbedaan yang jelas.
4. Mengeraskan suara sampai terdengar oleh telinga kita, sehingga al
Qur’an dapat mempengaruhi hati.
5. Memperindah suara agar timbul rasa takut kepada Allah, sehingga
mempercepat pengaruh kedalam hati. Orang yang membaca dengan rasa
takut
kepada Allah, hatinya akan lebih cepat tepengaruh serta menguatkan
nurani dan menimbulkan kesan yang mendalam di hati kita. Menurut para
ahli pengobatan, jika ingin obat lebih cepet berpengaruh kehati,
sebaiknya obat itu dicampur dengan wewangian. Obat dapat lebih cepat
berpengaruh ke lever jika dicampur rasa manis, karena lever mempunyai
rasa manis. Oleh sebab itu saya berpendapat, jika seseorang memakai
wewangian saat membaca al Qur’an, akan lebih menguatkan kesan dalam
hatinya.
6. Membaca dengan sempurna dan jelas setiap tasydid dan madnya. Jika
membaca dengan lebih jelas, maka akan menimbulkan keagungan Allah
serta
mempercepat masuknya kesan dalam hati kita.
7. Memenuhi hak ayat-ayat rahmat dan ayat-ayat adzab, seperti yang telah
diterangkan sebelunnya.
Itulah tujuh hal yang dimaksud tartil. Dan tujuan semua itu adalah satu,
yaitu agar dapat memahami dan meresapi isi kandungan al Qur’an.

Seseorang bertanya kepada Ummul Mu’minin, Ummu Salamah r.ha.,


“Bagaimanakah Rasulullah saw. membaca al Qur’an?” Ia menjawab,
“Beliau
menunaikan setiap harakatnya; fathah, dhammah, dan kasrah dibaca
dengan
sangat jelas. Juga setiap hurufnya dibaca dengan sangat jelas. Juga
setiap hurufnya dibaca dengan terang dan jelas.”

Membaca dengan tartil itu mustahab, walaupun tidak dipahami artinya.


Ibnu Abbas r.a. berkata, “Membaca surat al Qari’ah dan Idzaa zulzilat
dengan tartil lebih baik bagiku daripada membaca al Qur’an al Baqarah
atau Ali Imran tanpa tartil.”
Alim ulama menjelaskan maksud hadits di atas, bahwa membaca al Qur’an
huruf demi huruf akan menaikan pembacanya setingkat demmi setingkat,
sehingga itu pula derajatnya di surge nanti. Dan orang yang terpandai
dalam al Qur’an, dialah yang tertinggi derajatnya. Mulla Ali Qari rah.a.
menulis bahwa tidak ada derajat yang lebih tinggi daripada derajat orang
yang suka membaca al Qur’an. Pembaca al Qur’an senantiasa meningkat
derajatnya sesuai dengan taraf kebagusan bacaannya.
Allamah Dani rah.a. berkata, “Alim ulama telah sepakat bahwa ada enam
ribu ayat lebih dalam al Qur’an, namun mereka berbeda pendapat tentang
jumlah selebihnya. Ada yang menyebutkan 6.204 ayat, 6.014 ayat, 6.019
ayat, 6.025 ayat, dan 6.036 ayat.

Dalam Syarah Ihya ditulis bahwa jumlah ayat al Qur’an itu sesuai dengan
tingkat surga, sehingga dikatakan kepada pembaca al Qur’an, “Naiklah ke
surga tingkat demi tingkat sebanyak ayat al Qur’an yang telah kamu
baca”. Barangsiapa yang membaca seluruh ayat al Qur’an, maka ia akan
mencapai derajat surge yang tertinggi di akhirat. Dan barangsiapa yang
membacanya sebagian saja, maka derajat sebatas bacaannya itu saja.
Singkatnya, batas ketinggian derajat seseorang bergantung kepada
banyaknya bacaan Qur’annya.

Menurut pendapat saya, hadits diatas juga mengandung penafsiran lain.

‫ريئان‬
ِ َ‫س ْولهُ ب‬
ُ ‫يطان َوهللاُ َو َر‬
ِ ‫ش‬ ّ ‫ص َوابا فَ ِمنَ هللا َواِن كان خَطأ فَ ِمني َو ِمنَ ال‬ ْ َ‫ف‬
َ ‫ان كان‬

“Apabila (penafsiran saya) betul, maka ia berasal dari Allah. Dan jika
salah, maka ia berasal dari diri saya sendiri dan dari syetan. Sedang
Allah dan Rasul-Nya terbebas darinya.”

Kenaikan derajat yang disebutkan dalam hadits diatas bukan bermaksud


bahwa membaca suatu ayat al Qur’an akan dinaikan suatu derajat. Sebab
jika demikian, hubungan antara membaca dengan tartil dan tanpa tartil
tidak dapat dimengerti, sehingga akan dipahami bahwa setiap membaca
satu
ayat al Qur’an, baik dengan tartil ataupun tidak, maka derajatnya
dinaikan satu tingkat. Sebenarnya hadits ini mengisyaratkan satu
peningkatan yang berbeda, yaitu peningkatan menurut cara membacanya,
sehingga ada perbedaan antara bacaan dengan tartil dan tanpa tartil.
Oleh sebab itu, barangsiapa membaca al Qur’an dengan tartil ketika di
dunia ini, dengan tartil itulah ia akan membacanya di akhirat., sehingga
ia memperoleh ketinggian derajat yang sesuai. Mulla Ali Qari
rah.a.meriwayatkan sebuah hadits, “Barangsiapa sering membaca al
Qur’an
di dunia, maka di akhirat nanti ia akan dapat mengingatnya. Dan jika di
dunia ia tidak membacanya, maka ia tidak akan dapat mengingatnya di
akhirat.” Semoga Allah memberikan kemurahan-Nya kepada kita.

Banyak diantara orang tua yang bersemangat agar anak-anaknya


menghafal
al Qur’an, namun karena ketidaktawajuhan dan kesibukan dunia, hafalan
itu terlupakan dan menjadi sia-sia. Padahal di sisi lain, beberapa
hadits menyebutkan bahwa barangsiapa berusaha menghafal al Qur’an
dengan
sungguh-sungguh dan bersusah payah, lalu ia meninggal dunia, maka
Allah
akan membangkitkannya dalam golongan para huffazh. Kemurahan Allah
sungguh tidak berkurang jika kita berusaha memperolehnya. Seorang
penyair berkata,

“Wahai syahid, kemurahan-Nya untuk semua. Engkau tidak akan menolak


kemurahan ini, jika engkau benar-benar pantas.”

Hadits ke-10

‫سلَ َم َمن قَ َرأ‬


َ ‫ٌللاُ َعلَي َو‬
‫صلَى ه‬
َ ‫ٌللا‬ ِ ‫سو ُل ه‬ ُ ‫قَا َل َر‬:َ‫ٌللاُ َعنهُ قَال‬
‫ضي ه‬ َ ‫ابن َمسعُو ٍد َر‬ ِ ‫َعن‬
ُ‫رف َول ِكن‬ ُ ‫سنَةُ َع‬
ُ ‫ش ُر ا َ ُمثَا ِل َها آل اَقُو ُل الم َح‬ َ ‫سنَةُ َوال َح‬َ ‫ٌللا فَلَه بِه َح‬
‫ب ه‬ ِ ‫َحرفا مٍ ن َكت َا‬
‫ (رواه الترمذي وقال هذا حديث حسن صحيح غريب‬.‫ف‬ ُ ‫رف َومي ُم حــ َ ُر‬ ُ ‫ا َ ِل‬
ُ ‫ف َوآل ُم َح‬
)‫اسنادا والدارمى‬

Dari Ibnu Mas’ud r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,


“barangsiapa membaca satu huruf dari Kitab Allah, maka baginya satu
hasanah (kebaikan) dan satu hasanah itu sama dengan sepuluh kali
lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif
satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.” (Hr. Tirmidzi).

Maksudnya, bahwa dalam amal ibadah lain, sesuatu ibadah itu baru
dihitung sebagai satu amalan jika dilakukan secara utuh (keseluruhan).
Tetapi tidak demikian dengan amalan membaca al Qur’an. Setiap
bagiannya
akan dinilai sebagai satu amalan, sehingag membaca satu huruf pun
tergolong satu hasanah (kebaikan). Dan bagi setiap satu kebaikan itu
Allah berjanji akan melipatkannya hingga sepuluh kali, sebagaimana
firman-Nya,

……‫َم ْن جاء بالحسنة فلهُ َع ْش ُر ْأمثَال ِها‬

“Barangsiapa membawa amalan baik, maka untuknya (pahala) sepuluh kali


lipat amalannya…”(Qs. Al An’am [6] :160)
Walau bagaimanapun, tambahan sepuluh kali lipat ini adalah yang
terendah, karena Allah swt. mampu melipatgandakan pahala dengan
sekehendak-Nya,

.…‫وهللا يضاعف لمن يشا ُء‬

“…..Allah menggandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia


kehendaki….”
(Qs. Al Baqarah [2] : 261)

Permisalan bahwa setiap huruf al Qur’an dinilai satu kebaikan telah


disabdakan oleh Rasulullah saw. bahwa alif lam mim bukanlah satu huruf,
tetapi alif terpisah, lam terpisah, dan mim terpisah, sehingga alif lam
mim berisi tiga puluh kebaikan. Disini terdapat perselisihan apakah yang
dimaksud adalah alif lam mim permulaan surat al Baqarah atau permulaan
surat al Fiil? Jika yang dimaksud adalah alif lam mim permulaan al
Baqarah, berarti hitungannya menurut jumlah huruf yang tertulis. Karena
yang tertulis hanya tiga huruf, maka pahalanya tiga puluh. Dan jika yang
dimaksud adalah alif lam mim permulaan surat al Fiil, berarti alif lam
mim pada surat al Baqarah itu Sembilan huruf (dengan menghitung jumlah
huruf yang dilafazhkan), sehingga menjadi Sembilan puluh pahala. Baihaqi
meriwayatkan, “Aku tidak mengatakan bahwa bismillah itu satu huruf,
tetapi ba, sin, mim, dst. adalah huruf-huruf yang terpisah.”

Hadits ke _11

‫سلَ َم َمنَ قَ َرأ‬


َ ‫ٌللا َعلَي ِه َو‬
َ ‫صلَي ه‬ ‫سو ُل ه‬
َ ‫ٌللا‬ ُ ‫قَا َل َر‬:َ‫ٌللاُ َعنَهُ قَال‬ ‫ضي ه‬ َ ‫َعن ُمعَاذ ِِن ال ُج َهنِي ِ َر‬
‫مس‬ ِ ‫ش‬ ‫وء ال ه‬ِ ‫ض‬ َ ُ‫سنُ ِمن‬ َ ‫ووهَ اَح‬
ُ ‫ض‬َ ‫وم القَ ِيا َم ِة‬
َ َ‫س َوا ِل َداهُ ت َاجا ي‬ َ ‫القُرانَ َو َع ِم َل ِب َمافِي ِه اُلُ ِب‬
)‫ي َع ِم َل ِبهذَا (رواه احمد وابو داوود ووصححه الحاكم‬ ُ ‫ظنه ُكم ِبالَ ِذ‬َ ‫ت ال هدنَيا فَ َما‬ ِ ‫في ِ بُي ُُو‬

Dari Mu’adz al Juharni r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,


“barangsiapa membaca al Qur’an dan mengamalkan apa yang terkandung
di
dalamnya, maka kedua orang tuanya akan dipakaikan mahkota pada hari
Kiamat yang cahayanya lebih terang daripada cahaya matahari seandainya
berada dirumah-rumah kalian di dunia ini. Maka bagaimana menurut
perkiraan kalian mengenai orang yang mengamalkannya?” (Hr. Ahmad dan
Abu
Dawud)

Berkah dari membaca dan mengamalkan al Qur’an adalah orang tua si


pembaca akan dipakaikan mahkota pada hari kiamat yang cahayanya
melebihi
cahaya matahari seandainya matahari itu berada didalam rumah kita.
Matahari yang jaraknya jauh saja begitu terang sinarnya. Apalagi jika
matahari itu berada di dalam rumah, tentu akan lebih terang dan
berkilauan. Namun cahaya mahkota bagi orang tua si pembaca al Qur’an
dan
mengamalkan isinya akan lebih terang daripada sinar matahari yang
berada
di dalam rumah. Jika orang tua si pembaca al Qur’an saja akan
mendapatkan pahala demikian tinggi, maka tidak dapat kita bayangkan
ketinggian pahala bagi si pembacanya itu sendiri? Apabila orang yang
menjadi perantara saja demikian tinggi derajatnya, apalagi orang yang
melakukannya sendiri, tentu akan memperoleh derajat yang lebih tinggi
lagi. Orang tuanya mendapatkan pahala tersebut karena dialah yang telah
melahirkannya dan mendidiknya.

Adanya matahari di rumah dalam hadits diatas menunjukan maksud yang


sangat halus; bahwa seandainya matahari itu dekat, tentu cahayanya
semakin terasa. Dan setiap sesuatu yang selalu ada didekat kita akan
menumbuhkan kecintaan yang mendalam terhadapnya. Matahari, karena
jauh
jaraknya menjadi asing bagi kita. Namun jika setiap saat selalu didekat
kita, timbullah keakraban dan kecintaan. Oleh sebab itu, selain ada
isyarat keutamaan cahaya mahkota juga ada isyarat tentang kecintaan.
Setiap orang mendapatkan manfaat sinar matahari, namun jika manfaat itu
diberikan kepada seseorang, tentulah hal itu merupakan kebanggaan bagi
pemberinya.

Hakim meriwayatkan dari Buraidah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda,


“Barangsiapa yang membaca al Qur’an dan mengamalkannya, maka akan
dipakaikan kepadanya sebuah mahkota yang terbuat dari nur (cahaya).
Dan
kedua orang tuanya akan dipakaikan dua pasang pakaian yang sangat
indah
tiada bandingnya di dunia ini. Orang tuanya akan bertanya kepada Allah,
“Ya Allah, mengapa kami diperlakukan seperti ini?” Allah menjawab, “Ini
adalah pahala bacaan al Qur’an anakmu.”

Dalam kitab Jam’u1 Fawa’id terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Thabrani dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa
mengajarkan anaknya membaca al Qur’an, maka dosa-dosanya yang akan
datang dan yang telah lalu akan diampuni. Dan barangsiapa mengajarkan
al
Qur’an pada anaknya sehingga menjadi hafizh al Qur’an, maka pada hari
Kaimat ia akan dibangkitkan dengan wajah yang bercahaya seperti cahaya
bulan purnama, dan dikatakan kepada anaknya, “Mulailah membaca al
Qur’an!” Ketika anaknya mulai membaca satu ayat al Qur’an, maka
ayahnya
dinaikkan satu derajat, demikian terus ditinggikan derajatnya hingga
tamat bacaannya.”

Demikian keutamaan bagi orang tua yang mengajari anaknya membaca al


Qur’an. Jika Anda menjauhkan anak Anda dari agama hanya karena
beberapa
rupiah, maka bukan saja diri Anda yang akan terhalang dari pahala,
tetapi Anda juga harus menjawab pertanyaan-pertanyaan Allah. Apakah
karena Anda takut jika menjadi seorang ustadz atau hafizh, kelak hanya
akan menjadi seorang penjaga masjid yang hidupnya bergantung pada
orang
lain, sehingga Anda melarang anak Anda belajar agama? Ingatlah! Jika
demikian, berarti Anda telah melemparkan anak Anda kedalam
penderitaan
yang selama-lamanya. Bahkan Anda juga menanggung beban tanggung
jawab
yang sangat besar. Sebuah hadits menyebutkan:

.‫ُكلُّ ُك ْم راع َو ُكلُّ ُك ْم َم ْسئُو هل َع ْن َر ِعيتِه‬

“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan ditanya tentang
kepemimpinannya.”

Setiap orang akan ditanya, sejauhmana ia telah mengajarkan agama?


Memang
sangat penting menjauhkan diri dari aib-aib itu, tetapi tidak mau
berpakaian hanya karena takut kutu busuk sangatlah tidak masuk akal.
Justru kita harus menjaga kebersihan pakaian itu. Demikian pula jika
Anda mengajarkan agama kepada anak Anda, maka kelak Anda akan
terbebas
dari tuntutan, dan selama anak Anda masih hidup, seluruh amal baiknya
dan doa-doa ampunan yang ia mohonkan untuk Anda,semua itu akan
menyebabkan derajat Anda dinaikkan. Sebaliknya, jika hanya karena rakus
mencari beberapa rupiah sehingga Anda mengorbankan pendidikan
agama
anak-anak Anda, maka kelak selain Anda akan menanggung akibatnya,
Anda
juga tidak bisa lepas dari tanggung jawab atas kefasikan dan kejahatan
mereka. Sedangkan catatan amal Anda tidak akan kosong begitu saja dari
simpanan azab di akhirat.

Hadits ke-12

‫سلَ َم‬
َ ‫ٌللاُ َعلَي ِه َو‬
‫صلَى ه‬ ِ ‫سو َل ه‬
َ ‫ٌللا‬ ُ ‫س ِمعتُ َر‬ َ : ‫ٌللاُ َعنهُ قَا َل‬
‫ضي ه‬ َ ‫امر َر‬
ٍ ‫بن َع‬ ِ َ‫عقَبة‬ُ ‫َعن‬
.)‫(رواه الدارمي‬. َ‫َار َما احت ََرق‬ ُ
ِ ‫ب ث هم اُلقُي ِ في ِ الن‬
ٍ ‫يَقُو ُل لَو ُج ِع َل القُرانُ في ِ اِهَا‬
Dari Uqbah bin Amir r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika
al Qur’an dijadikan kedalam kulit kemudian dilemparkan kedalam api,
niscaya tidak akan terbakar.” (Hr. Darami)

Ada dua pendapat dari para ahli hadits mengenai maksud hadits diatas.
Sebagian berpendapat bahwa kulit yang yang dimaksud adalah kulit
secara
umum, yaitu kulit-kulit binatang. Dan api adalah api dunia ini. Hal
menunjukan mukjizat khusus pada zaman Nabi saw. sebagaimana
mukjizat
para Nabi a.s. terdahulu.

Sebagian lagi berpendapat bahwa maksud kulit adalah kulit manusia, dan
maksud api adalah api neraka. Menurut pemahaman ini, maka hadits
diatas
berlaku secara umum, tidak terbatas pada waktu tertentu. Jadi, jika
seorang hafizh al Qur’an disebabkan dosa-dosanya dilemparkan ke
neraka,
maka api neraka tidak akan membakarnya. Riwayat lain menyebutkan
bahwa
api neraka menyentuhnya pun tidak. Dalam Syarhus Aunnah, Mulla Ali
Qari
rah.a. mengutip sebuah riwayat dari Abu Umamah r.a. yang memperkuat
hadits diatas yaitu, “Selalulah menghafal al Qur’an, karena Allah tidak
akan menyiksa hati yang menyimpan al Qur’an.”

Hadits ini sangat jelas dan merupakan suatu ketentuan. Oleh sebab itu,
mereka yang menganggap bahwa menghafal al Qur’an adalah sia-sia,
maka
demi Allah, hendaknya mereka merenungkan fadhilah menghafal al Qur’an
dalam hadits ini. Satu fadhilah ini saja sudah cukup bagi seseorang
untuk menyerahkan jiwa raganya demi menghafal al Qur’an, karena
siapakah
orang yang tidak berdosa dan siapakah yang dapat memastikan bahwa ia
akan terhindar dari neraka?

Dalam Syarh Ihya telah disebutkan daftar orang yang akan berada
dibawah
lindungan Allah Swt. pada hari Kiamat ketika seluruh manusia dalam
keadaan panic, yaitu dalam hadits yang diriwayatkan oleh Dailami dari
Ali r.a., bahwa pembawa al Qur’an, yakni para hafizh al Qur’an, akan
berada dibawah lindungan Allah bersama para Nabi dan shalihin.

Hadits ke_13

‫سلَ َم َمن‬
َ ‫ٌللاُ َعلَيهَ َو‬
‫ي ه‬ ُ ‫صله‬َ ‫ٌللا‬ ُ ‫ٌللاُ َوج َهة قَا َل َر‬
ِ ‫سو ُل ه‬ ‫ٌللاُ َعنهُ َو َك هر َم ه‬
‫ضي ه‬ َ ‫َعن َع ِلي ٍ َر‬
َ ‫شفهعَه في ِ َعشَرة‬ َ ‫ٌللاُ ال َجنهةَ َو‬
‫قَرأ القُرانَ فَاست َظ َه َره فَ َح هل َحآللَه َو َح هر َم َح َرا َمهُ اَد َخلَهُ ه‬
‫(رواه أحمد والترمذي وقال هذا حديث غريب‬.‫ار‬ ُ ‫ِمن اَه ِل بَيِته ُكله ههم قَد َوجبت لَهُ النه‬
‫وحفص بن سليمان الراوي ليس هو بالتقوى يضعف في الحديث ورواه أبن ماجه‬
.)‫والدارمي‬

Dari Ali karramallaahu wajhah, ia berkata bahwa Rasulullah saw.


bersabda, “Barangsiapa membaca al Qur’an dan menghafalnya, lalu
menghalalkan apa yang dihalalkannya dan mengharamkan apa yang
diharamkannya, maka Allah Swt. akan memasukannya ke dalam Surga
dan
allah menjaminnya untuk member syafaat kepada sepuluh orang
keluarganya
yang kesemuanya telah diwajibkan masuk neraka.” (Hr. Ahmad dan
Tirmidzi)

Setiap mu’min insya Allah akan masuk surge, meskipun ada yang harus
dibersihkan dulu denga azab disebabkan dosa-dosanya. Namun bagi
hafizh
al Qur’an, ia memiliki keutamaan masuk Surga pertama kali. Bahkan
seorang hafizh al Qur’an dapat member syafaat kepada sepuluh orang
yang
fasik dan banyak berbuat dosa besar, tetapi orang kafir tidak akan
memperoleh syafaat itu. Allah berfirman:

ُ ‫هلل فَقَ ْد َحر َم هللاُ علي ِه الجنةَ َو َمآواهُ الن‬


‫ار َو َما للظا ِلميْنَ َم ْن‬ ِ ‫{إنهُ َم ْن يُ ْش ِر ْك ِبا‬
}‫ار‬ٍ ‫ص‬َ ‫أ ْن‬

“Sesungguhnya orang yang menyekutukan Allah (dengan sesuatu), maka


telah
Allah haramkan baginya Surga dan tempatnya adalah neraka, dan tidak
ada
bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun.” (al Maidah [5] : 72)
Firman-Nya yang lain:

} َ‫أن ي ْست َ ْغ ِف ُروا ل ِل ُم ْشر ِكيْن‬


ْ ‫{ َما كانَ ِللنبِي ِ َوال ِذيْنَ أمنُوآ‬
“Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan
ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik.” (Qs. At Taubah [9] :113)

Dalil-dalil diatas dengan jelas menyatakan bahwa tidak ada ampunan bagi
kaum musyrikin, sehingga syafaat seorang hafizh hanya terbatas bagi
kaum
muslimin yang harus masuk neraka karena dosa-dosa mereka. Oleh sebab
itu, barangsiapa ingin selamat dari api neraka, sedangkan ia bukan
seorang hafizh dan tidak mampu menjadi seorang hafizh, maka
sekurang-kurangnya hendaklah ia berusaha menjadikan salah seorang
diantara keluarganya atau kerabatnya hafizh al Qur’an. Disamping itu, ia
sendiri harus selalu berusaha menjauhi segala dosa sehingga terhindar
dari azab.

Syukur kepada Allah atas nikmat-Nya kepada orang ini (Syaikh Zakariya,
penyusun kitab ini –pent.)yang telah menjadikan ayahnya, pamannya,
nenek
dan kakeknya, ibunya, dan seluruh ahli keluarganya sebagai hafizh-hafizh
alQuran. Semoga Allah menambah rahmah-Nya lebih banyak lagi. Allah

Hadits ke-14

‫سل َم تَعَلموا‬َ ‫س ْو ُل هللاُ صلى هللا علي ِه َو‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ي هللاُ عنهُ قَا َل‬ َ ‫ض‬ ِ ‫َع ْن اَبي ِ ه َُريْرة َ َر‬
ُ ْ‫ب َمح‬
‫ش ّ ٍو ِمسْكا‬ َ َ‫لم فَقَرأ َوق‬
ٍ ‫ام بِ ِه َك َمث ِل ِجرا‬ ِ ُ‫القرآنَ فأقرؤهُ فاِن َمث َ َل الق‬
َ َ‫رآن ِلم ْن تَع‬
. ٍ‫كي على ِمسْك‬ َ ‫ب ا ُ ْو‬
ِ ‫ان َو َمث َ ُل َم ْن تَعَل َمهُ فَ َرقَ َد َوه َُو في ِ َجوفِه َك َمث ِل ِجرا‬
ٍ ‫تَفُ ْو ُح ِر ْي ُحهُ ُكل َم َك‬
)‫(رواه الترمذي والنسائي وابن ماجه وابن حبان‬

Dari Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,


“Pelajarilah al Qur’an dan bacalah ia, karena sesungguhnya perumpamaan
al Qur’an bagi orang yang mempelajarinya, lalu membacanya dan
mengamalkanny adalah seperti sebuah wadah terbuka yang penuh dengan
kasturi, wanginya semerbak menyebar keseluruh tempat. Dan
perumpamaan
orang yang belajar al Qur’an, tetapi ia tidur sementara al Qur’an berada
di dalam hatinya adalah seperti sebuah wadah ayng penuh dengan kasturi
tetapi tertutup.” (Hr. Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, dan Ibnu Hiban)

Apabila seseorang belajar al Qur’an dan menghafalnya, kemudian terus


menerus membacanya dalam shalat tahajjud, maka keadaannya bagai
botol
kasturi yang terbuka tutupnya sehingga semerbak harumnya memenuhi
rumah
itu. Dalam keadaan yang sama, seluruh rumah juga akan dipenuhi dengan
nur dan keberkahan disebabkan bacaan al Qur’an seorang hafizh. Apabila
seorang hafizh itu tidur dan tidak membaca al Qur’an karena lalai, maka
al Qur’an yang ada didalam hatinya masih tetap semerbak bagaikan
kasturi. Tetapi karena kelalaiannya, nur dan keberkahan itu akan
terhalang dan tidak menyebar kepada orang lain. Meskipun demikian,
dalam
hatinya masih terdapat kasturi dari al Qur’an.

Hadits ke-15

َ‫سلَ َم اِن‬
َ ‫ٌللاُ َعلَي ِه َو‬
‫صلَي ِ ه‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ٌللاُ َعنُه َما قَا َل‬
ِ ‫سو ُل ه‬
َ ‫ٌللا‬ ‫ضي ِ ه‬
َ ‫هاس َر‬
ٍ ‫َعن ابِي َعب‬
‫ (رواه الترمذي وقال هذا حديث‬.‫ب‬ ِ ‫ت الخ َِر‬ ِ ‫ران َكالَبي‬ َ َ‫الهذِي ل‬
ِ ُ‫يس في ِ َجوفِه شَي ِمنَ الق‬
)‫صحيح ورواه الدارمي والحاكم وصححه‬

Dari Abdullah bin Abbas r. huma. berkata bahwa Rasulullah saw.


bersabda,
“Sesungguhnya seorang yang tida ada sedikitpun al Qur’an dalam hatinya
adalah seperti rumah kosong.” (Hr. Tirmidzi)

Perumpamaan rumah kosong itu mengandung maksud yang halus,


sebagaimana
ungkapan peribahasa, “Otak manusia yang tidak bekerja adalah tempat
syetan bekerja.” Demikian juga hati yang kosong dari kalamullah akan
banyak dipengaruhi oleh syetan. Hadits diatas menyatakan betapa penting
menghafal al Qur’an, sehingga hati yang tidak menyimpan kalamullah telah
diumpamakan seperti rumah kosong. Abu Hurairah r.a. berkata, “Rumah
yang
didalamnya terdapat bacaan al Qur’an, maka keluarga serta kerabatnya
akan bertambah dan keberkahan serta kebaikan akan memenuhi ahli
rumah
tersebut. Malaikat akan turun memenuhi rumah itu, dan syetan akan keluar
darinya. Sebaliknya rumah yang tidak dibacakan al Qur’an, maka akan
diliputi oleh kesempitan dan ketidakberkahan, malaikat akan keluar dari
rumah itu, dan syetan akan memenuhi rumah itu.”

Hadits ke-16

ِ ُ‫سلَ َم قَا َل قَ ِرا َءة ُ الق‬


ِ ‫ران في‬ ‫صلهي ه‬
َ ‫ٌللاُ َعلَيهَ َو‬ َ ‫ي‬ ‫شةَ َرضي ه‬
َ ِ‫ٌللاُ َعنُ َها ا َ هن النهب‬ َ ِ‫َعن َعائ‬
ِ‫صآلة‬
َ ‫َير ال‬
ِ ‫ران في ِ غ‬ ِ ُ‫صآلةِ َوقَ ِرا َءة ُ الق‬ َ ‫َير ال‬
ِ ‫رآن في ِ غ‬ ِ ُ‫ض ُل ِمن قِ َرا َءةِ الق‬
َ ‫صآلةِ اَف‬
َ ‫ال‬
َ ‫ص َدقَةُ اَف‬
َ‫ض ُل ِمن‬ ‫ص َدقَةَ َو ال ه‬ َ ‫ير َو التهسبِي ُح اَف‬
َ ‫ض ُل ِمنَ ال‬ ِ ِ‫ض ُل ِمنَ الهت َسب‬
ِ ِ‫يح َو التهكب‬ َ ‫اَف‬
)‫ (رواه البيهقي في شعب اإليمان‬. ‫ص َو ُم ُجنهةه ِمنَ النها َ ِر‬ ‫وم َوال ه‬ِ ‫ص‬ َ ‫ال‬

Dari Aisyah r.ha. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Membaca al


Qur’an di dalam shalat lebih utama daripada membaca al Qur’an di luar
shalat, membaca al Qur’an diluar shalat lebih utama daripada tasbih dan
takbir, tasbih lebih utama daripada sedekah, sedekah lebih utama
daripada shaum, dan shaum adalah perisai dari api neraka.” (Hr. Baihaqi-
Syu’abul Iman)

Jelaslah, bahwa membaca al Qur’an itu lebih baik daripada dzikir, sebab
al Qur’an adalah kallamullah. Telah disebutkan sebelumnya bahwa
keutamaan kalamullah dibandingkan kalam yang lain adalah seumpama
keutamaan Allah diatas seluruh makhluk-Nya. Mengenai keutamaan dzikir
daripada sedekah juga telah disebutkan dalam hadits lain. Tetapi
keutamaan sedekah daripada shaum dalam hadits diatas seolah-olah
bertentangan dengan hadits-hadits mengenai keutamaan shaum.
Perbedaan
ini adalah bergantung pada keadaan tertentu. Pada sebagian keadaan,
shaum dapat lebih utama daripada sedekah atau sebaliknya. Juga
bergantung pada perbedaan kondisi seseorang, karena boleh jadi bagi
sebagian orang, shaum itu lebih utama.

Dalam hadits di atas shaum disebutkan pada urutan terakhir dibanding


amal-amal lainnya. Apabila shaum saja dapat menjadi penghalang api
neraka, maka bagaimanakah dengan tilawat al Qur’an yang ditempatkan
pada
urutan pertama?

Pengarang kitab Ihya meriwayatkan dari Ali r.a. bahwa jika seseorang
membaca al Qur’an dalam shalat sambil berdiri, maka setiap hurufnya
berpahala seratus kebaikan; jika pembacanya dalam shalat sambil duduk,
maka dari setiap hurufnya mendapat lima puluh kebaikan; jika
membacanya
diluar shalat dalam keadaan berwudhu, maka dari setiap hurufnya
berpahala dua puluh lima kebaikan; jika membacanya tanpa wudhu, maka
dari setiap hurufnya sepuluh kebaikan; dan jika seseorang tidak membaca
al Qur’an orang lain dengan tawajuh, maka dari setiap huruf yang
didengarkanya berpala satu kebaika

HadiS-17
ُ ‫سلَ َم اَي ُح‬
‫ب‬ ‫صلُي ه‬
َ ‫ٌللاُ َعلَي ِه َو‬ ِ ‫سو ُل ه‬
َ ‫ٌللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ٌللاُ َعنهُ قَا َل‬
‫يرة َ َرضي ِ ه‬ َ ‫َعن اَبِي ه َُر‬
ُ َ ‫ان قُلنَا نَعَم قَا َل فَث‬
‫آلث‬ َ ‫ت ِع‬
ِ ‫ظ ٍام ِس َم‬ َ َ ‫ا َ َح ُد ُكم اِذَا رض َج َع اِلي اَه ِله اَن يَج َدفِ ِه ث‬
ٍ ‫آلث َخ ِلفَا‬
.)‫ (رواه مسلم‬.‫ان‬ ٍ ‫ظ ٍام ِس َم‬ َ ‫ت ِع‬ٍ ‫ث َخ ِلفَا‬ِ ‫َيرلَه ِمن ثَآل‬ ‫صآلته خ ه‬ َ ‫ت يَقُراُبِ ِه هن ا َ َح ُد ُكو فِي‬
ٍ ‫ايَا‬

Dari Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bertanya kepada
kami, “Sukakah salah seorang diantara kalian apabila kembali ke
rumahnya
mendapati tiga ekor unta betina yang hamil dan gemuk.” Kami menjawab,
“Tentu kami menyukainya.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Tiga
potong ayat yang kamu baca dalam shalat adalah lebih utama daripada
tiga
ekor unta betina yang hamil dan gemuk.” (Hr. Muslim)

Inti hadits ini sama dengan hadits ke-3 yang lalu. Hadits ini kembali
menegaskan bahwa al Qur’an yang dibaca ketika shalat adalah lebih baik
daripada yang dibaca di luar shalat, sehingga hal itu dibandingkan
dengan unta betina yang hamil, karena padanya tedapat dua hal, yaitu:
unta betina kehamilannya, sebagaimana yang telah saya sebutkan dalam
hadits ke-3 tentang dua macam ibadah, yaitu: shalat dan tilawah. Hadits
seperti ini sekadar perbandingan, karena walau bagaimanapun pahala
membaca satu ayat al Qur’an pasti lebih utama daripada ribuan unta
betina yang bersifat fana.

Hadits ke-18

ِ‫ٌللا‬
‫سو ُل ه‬ُ ‫ٌللاُ َعنهُ َعن َج هد ِه قَا َل قَا َل َر‬ َ ‫وس الثهقَفي ِ َر‬
‫ضي ِ ه‬ ِ َ ‫بن ا‬ ِ ‫بن َعب ِد ه‬
ِ ‫ٌللا‬ ِ َ‫عث َمان‬ ُ ‫َعن‬
ُ َ
ِ ‫ألف َد َر َج ٍة َوقِ َراءته في‬ ُ ‫ف‬ ُ ُ ‫ه‬ ُ َ
ِ ‫سل َم قِراءة ال َر ُج ِل القرانَ في ِ غَيرش الص َح‬ َ َ ‫صلَي ه‬
َ ‫ٌللاُ َعلي ِه َو‬ َ
)‫ (رواه البيهقي في شعب اإليمان‬.ٍ‫ف َعلى ذَالِكَ اِل ألفَي َد َر َجة‬ ُ َ‫ف ت‬
ُ َ ‫ضع‬ ِ ‫ص َح‬ُ ‫ال‬

Dari Utsman bin Abdullah bin Aus ats Tsaqafi r.a. dari kakeknya, ia
berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Bacaan al Qur’an seseorang
tanpa melihat mushaf adalah seribu derajat (pahalanya), dan bacaannya
dengan melihat mushaf adalah dilipatkan sampai dua ribu derajat.” (Hr.
Baihaqi-Syu’abul Iman)

Berbagai keutamaan menghafal al Qur’an telah dijelaskan sebelumnya.


Dan
hadits diatas adalah menyebutkan tentang keutamaan membaca al Qur’an
dengan melihat. Membaca al Qur’an dengan melihat mushaf al Qur’an,
selain menambah konsentrasi dan pemikiran, masih banyak lagi
keutamaannya dari segala ibadah, seperti al Qur’an, memegang al Qur’an
dan sebagainya. Oleh karena itulah dikatakan bahwa membaca al Qur’an
dengan melihat mushaf adalah lebih utama.
Pernyataan hadits diatas adalah menimbulkan perbedaan pendapat
dikalangan alim ulama. Manakah yang lebih utama, orang yang membaca
al
Qur’an dengan hafalan atau yang membacanya dengan melihat mushaf?
Berdasarkan hadits diatas, sebagian ulama berpendapat bahwa membaca
al
Qur’an dengan melihat mushaf adalah lebih utama, karena mata akan
selalu
melihat al Qur’an, sehingga terhindar dari kesalahan dalam pembacaan.
Sedangkan sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa membaca al
Qur’an
melalui hafalan itu lebih utama, karena akan lebih khusyu’ dan dapat
terhindar dari sifat riya, dan itu adalah kebiasaan Rasulullah saw… Imam
Nawawi rah.a. menyatakan kedua-duanya adalah baik dan ulama,
bergantung
pada keadaan si pembaca. Sebagian orang ada yang lebih konsentrasi jika
membacanya dengan melihat mushaf, dan sebagian lainnya merasa lebih
konsentrasi jika membacanya dengan hafalan. Hafizh Ibnu Hajar rah.a.
menulis dalam Fathul-Bari bahwa penjelasan itulah yang dia setujui.

Diceritakan bahwa karena begitu seringnya Utsman r.a. membaca al


Qur’an,
maka dua mushaf al Qur’an telah sobek. Amr bin Maimun meriwayatkan
dalam
Syarh Ihya bahwa seseorang yang membuka al Qur’an setelah shalat
Shubuh
dan membacanya seratus ayat, maka akan ditulis baginya pahala seisi
dunia ini. Disebutkan juga bahwa membaca al Qur’an dengan melihat
mushaf
sangat bermanfaat bagi penglihatan. Diriwayatkan dari Abu Ubaidah r.a.
sebuah hadits musalsal yang setiap perawinya berkata bahwa mereka
mengalami gangguan penglihatan. Lalu guru-guru mereka menasihati agar
selalu membaca al Qur’an dengan melihatnya.

Hadits ke-19

َ ‫سله َم ا هِن ه ِذ ِه القُلُو‬


‫ب‬ َ ‫صلَي ِ َعلَي ِه َو‬ ِ ‫سو ُل ه‬
َ ‫ٌللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ٌللاُ َعن ُه َما قَال‬
‫ضي ِ ه‬ َ ‫ع َم َر َر‬ُ ‫َع ِن ابن‬
ِ ‫آلوهَا ؟ قَا َل َكث ُ َرة ُ ذ‬
‫ِكر‬ ُ ‫ٌللا َو َما ِج‬ِ ‫سو َل ه‬
ُ ‫ار‬ َ ‫ت َص َدأ ال َحدِي ُد اِذَا أ‬
َ َ‫ قِي َل ي‬،‫صابَهُ ال َما ُء‬
ِ ُ‫تآلوة ُ الق‬
)‫ (رواه البيهقي في شعب اإليمان‬.‫ران‬ ِ ‫الَمو‬
َ ‫ت َو‬

Dari Abdullah bin Umar r. huma. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya hati ini dapat berkarat sebagaimana berkaratnya besi bila
terkena air.” Beliau ditanya “Wahai Rasulullah, bagaimana cara
membersihkannya?” Rasulullah saw. bersabda, “Memperbanyak
mengingat maut
dan membaca al Qur’an.” (Hr. Baihaqi)

Banyak berbuat dosa dan lalai dari dzikrullah menyebabkan hati berkarat
seperti berkaratnya besi bila terkrna air. Dengan memperbanyak membaca
al Qur’an dan mengingat maut, hati akan menjadi bersinar kembali. Hati
itu bagaikan cermin, semakin kotor cermin itu maka semakin redup sinar
ma’rifat yang dipantulkannya. Sebaliknya, semakin bersih cermin itu,
semakin terang pantulan sinar ma’rifatnya. Oleh karena itu, barangsiapa
terperosok kedalam godaan nafsu maksiat dan tipu daya syetan, maka
akan
terjauhlah dari ma’rifatullah. Untuk membersihkan hati yang kotor, para
ulama suluk (tasawuf) menganjurkan agar melakukan mujahadah dalam
riyadhah, dzikrullah, dan beribadah.

Disebutkan dalam beberapa hadits bahwa ika seseorang hamba berbuat


dosa,
maka muncullah satu titik hitam di hatinya. Jika ia sungguh-sungguh
bertaubat, maka akan muncul titik hitam lainnya, dan demikianlah
seterusnya. Jika dosa yang telah dilakukannya begitu banyak, maka hati
akan menjadi hitam sehingga hilangnya keinginannya terhadap kebaikan.
Bahkan hati selalu condong ke arah kejahatan. Semoga Allah menjaga diri
kita dari hal yang demikian. Al Qur’an telah menyebutkan tentang hal ini
dalam ayat:

“Sekali-kali tidak, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu


menutup hati mereka.” (Qs. Al Muthaffifin [83] : 14)

Rasulullah saw. bersabda, “Aku tinggalkan pada kalian dua nasihat, yang
satu berbicara, dan yang lain diam. Yang berbicara adalah al Qur’an dan
yang diam adalah mengingat maut.” Nasihat-nasihat beliau itu akan
bernilai bagi mereka yang siap menerima dan menganggapnya penting.
Sedangkan bagi mereka yang menilai bahwa agama itu tidak berharga dan
hanya menghalangi kemajuan, tentu ia tidak akan mempedulikan nasihat
tersebut, apalagi mengamalkannya.
Hasan bashri rah.a. berkata, “orang-orang dahulu memahami al Qur’an itu
sebagai firman Allah. Sepanjang malam mereka sibuk bertafakkur dan
bertadabbur terhadap al Qur’an (memikirkan isi kandungan al Qur’an), dan
sepanjang harinya mereka sibuk mengamalkannya. Sedangkan kalian
hanya
memperlihatkan huruf, fathah, dan dhamahnya, tanpa menganggapnya
sebagai
firman Allah, sehingga tidak pernah mentafakkuri dan mentadabburinya.”

Hadits ke-20

‫سلَ َم ِانَ ِل ُك ِل شَيء‬


َ ‫ٌللاُ َعلَيِه َو‬
‫صلَي ِ ه‬ ُ ‫قَا َل َر‬: ُ‫ٌللاُ َعنَ َها قَالَت‬
ِ ‫سو ُل ه‬
َ ‫ٌللا‬ َ ‫شةَ َر‬
‫ضي ِ ه‬ َ ِ‫َعن َعائ‬
)‫ (رواه ابو نعيم في الحليه‬. ُ‫ش ََرفا يَتَبَاهُونَ ِبه َوا هِن بَ َهأ َء ا ُ همتَي ِ َوش ََرفَ َها القُران‬

Dari Aisyah r.ha. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,


“Sesungguhnya
setiap kaum itu mempunyai kemuliaan yang mereka banggakan. Dan
sesungguhnya kebanggaan dan kemuliaan umatku adalah al Qur’an.” (Hr.
Abu
Nu’aim – al HIlyah)

Banyak orang yang membanggakan keturunan, keluarga, dan sebagainya


sebagai kebesaran dan kemuliaan mereka. Padahal kebanggaan bagi
umat ini
adalah al Qur’an, yaitu membaca, menghafal, mengajarkan, dan
mengamalkannya. Setiap amalannya merupakan sesuatu yang patut
dibanggakan. Betapa tidak, karena al Qur’an adalah kalam Allah Swt.,
Kekasih kita, yang di dunia ini tidak ada satu kebesaran pun yang dapat
menyamainya. Kehebatan dunia pasti akan binasa, jika tidak sekarang,
pada suatu saat nanti. Sedangkan kesempurnaan Kalamullah tidak akan
binasa selamanya, bahkan karena kesempurnaannya seperti keindahan
susunan dan paduan kata, penyesuaian kata, hubungan antar kalimat,
berita tentang kejadian-kejadian pada masa lalu dan yang akan datang,
pernyataannya terhadap tingkah laku manusia yang tidak mungkin bisa
dipungkiri, misalnya kisah kaum Yahudi yang menyatakan cintanya kepada
Allah tetapi enggan mati. Selain itu, pendengar akan terpesona dan
pembacanya tidak akan bosan membacanya. Setiap susunan kata akan
menimbulkan rasa cinta. Seindah apa pun surat dari seorang yang kita
cintai hingga membuat kita mabuk cinta, kita akan bosan setelah
membacanya sepuluh kali. Jika tidak, mungkin pada yang kedua puluh
atau
keempat puluh kalinya. Bagaimanapun juga, pasti ia akan bosan.
Sedangkan
al Qur’an, jika kita menghafal satu ‘ain, kita tidak akan bosan
membacanya, walaupun untuk kedua ratus atau keempat ratus kalinya,
bahkan selama hidup kita, kita tidak akan merasa bosan. Jika ada sesuatu
yang menghalangi kita untuk membacanya, itu hanya bersifat sementara
dan
pasti akan hilang. Semakin sering membacanya akan semakin terasa
keindahan dan kenikmatannya.

Begitu hebatnya keistimewaan al Qur’an sehingga seandainya ada


perkataan
selain al Qur’an yang memiliki satu saja (walaupun tidak seluruhnya)
dari keistimewaan tersebut, betapa dibanggakannya. Apalagi jika
seluruhnya, tentu akan lebih membanggakan.

Sekarang marilah kita memikirkan diri kita, berapa banyaknya diantara


kita yang merasa bangga sebagai hafizh al Qur’an, dan berapa banyak di
antara kita yang menghormati dan bangga terhadap hafizhal al Qur’an?
Sayangnya, kita lebih merasa bangga dengan gelar dan pangkat yang
tinggi, padahal setelah meninggal dunia, semua itu akan ditinggalkan.
Kepada Allah lah kita mengadu.

Hadits ke-21

ِ ‫وصني‬ ِ َ ‫سلَ َم ا‬
َ ‫ٌللاُ َعلَي ِه َو‬
‫صلَي ِ ه‬ َ ‫ٌللا‬ِ ‫سو َل ه‬ َ َ‫ قُلتُ ي‬: ‫ٌللاُ َعنهُ قَا َل‬
ُ ‫ار‬ ‫ضي ِ ه‬َ ‫َعن اَبي ِ ذ ٍر َر‬
َ‫ٌللا زَ دني ِ قَا َل َعلَيك‬ِ ‫سو َل ه‬ ُ ‫ار‬َ َ‫اآلمر ُكله ِه قُلتُ ي‬
ِ ‫اس‬ ِ ‫قَا َل َعلَيكَ بِت ََقوي ه‬
ُ ‫ٌللا فَانه َها َر‬
‫ (رواه أبن حبان في‬.‫أء‬ َ ‫خر لَكَ في ِ اله‬
ِ ‫س َم‬ ُ ‫آلرض َوذه‬
ِ ِ ‫ورلَكَ في‬ ُ ُ‫آلوةِ القُرانَ فَ ِانهه ن‬
َ ِ‫بِت‬
)‫صحيحه في حديث طويل‬
.
Dari Abu Dzar r.a., ia menceritakan, “Aku pernah berkata pada Rasulullah
saw., ‘Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat! ‘Rasulullah saw. bersabda,
‘Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah Swt., karena takwa adalah akar
dari setiap urusan.’ Saya berkata lagi, ‘Wahai Rasulullah, tambahkan
wasiat untukku!’ Rasulullah pun bersabda, ‘Hendaklah engkau membaca al
Qur’an, karena sesungguhnya al Qur’an itu nur bagimu di muka bumi dan
bekal yang disimpan di langit.” (Hr. Ibnu Habban)

Sesungguhnya takwa adalah akar segala urusan. Hati yang memiliki rasa
takut kepada Allah tidak akan pernah bermaksiat kepada-Nya dan tidak
akan mengalami kesusahan. Firman Allah Swt.

,..…‫ب‬ ُ ‫*ويَ ْر ُز ْقهُ ِم ْن َحي‬


ُ ‫ْث ال يَ ْحت َ ِس‬ َ ‫هللا يَ ْجعَ ْل لهُ َم ْخ َرجا‬
َ ‫ق‬ ِ َ ‫ومن يت‬

“…Barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka akan dijadikan baginya jalan


keluar dari segala kesusahan dan diberinya rezeki dari jalan yang tidak
disangka-sangka…” (Qs. Ath Thalaq [65] : 2-3)

Dari beberapa riwayat yang lalu kita telah mengetahui tentang nur
tilawat al Qur’an. Disebutkan dalam Syarh Ihya dari Ma’rifah Abu Nuaim,
bawa Basith r.a. meriwayatkan dari Nabi saw., sabdanya, “Rumah-rumah
yang didalamnya terdapat bacaan al Qur’an akan terlihat bersinar oleh
para penduduk langit sebagaimana bintang-bintang terlihat bersinar oleh
para penduduk bumi.”

Dalam kitab at Targhib dan yang lainnya, hadits di atas telah diringkas
dari sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibbandan yang
lainnya. Mulla Ali Qari rah.a. telah menulisnya secara rinci, sedangkan
Imam Suyuthi sedikit meringkasnya. Walaupun bagian hadits diatas telah
mencukupi keperluan risalah ini, seluruh hadits tersebut mengandung
banyak hal penting dan bermanfaat. Oleh karena itu, maksud seluruh
hadits diatas akan dijelaskan di bawah ini:
Abu Dzar al Ghifari r.a. menceritakan: Saya bertanya kepada Nabi saw.,
“Berapa banyakkah kitab yang telah diturunkan oleh Allah?”

Beliau menjawab, “Seratus shahifah dan empat kitab suci. Lima puluh
shahifah diturunkan kepada Syits a.s., tiga puluh shahifah kepada Idris
a.s.,sepuluh shahifah kepada Ibrahim a.s. sepuluh mushaf kepada Musa
a.s. sebelum Taurat diturunkan kepadanya. Dan selain mushaf-mushaf itu
ada empat kitab suci yang diturunkan kepadanya. Dan selain mushaf-
mushaf
itu ada empat kitab suci yang diturunkan, yaitu Taurat, Zabur, Injil,
dan al Qur’an.’ Saya bertanya lagi, ‘Apakah kandungan mushaf-mushaf
yang
diturunkan kepada Ibrahim a.s.?’ Beliau menjawab, ‘Berisi tamsil-tamsil,
misalnya:
‘Wahai raja yang kuat dan angkuh! Aku tidak melantikmu untuk
mengumpulkan harta, tetapi Aku melantikmu untuk mencegah sampainya
do’a
seseorang yang dizhalimi. Kamulah yang harus lebih dulu
memperbaikinya,
karena Aku tidak menolak doa orang yang didzhalimi walaupun dia
seorang
kafir.”

Hamba yang hina ini (Maulana Zakariya – pent.) menyatakan, “Jika Nabi
saw. akan mengangkat seorang sahabatnya sebagai gubernur atau hakim,
maka beliau dengan penuh perhatian akan menambahkan di dalam
nasihatnya:
“Takutilah do’a orang yang teraniaya, karena sesungguhnya antara ia
dengan Allah tidak ada hijab.”
Dalam sebuah syair Persia disebutkan,

“Berhati-hatilah dengan keluhan orang yang teraniaya jika mereka berdo’a


karena penerimaan Allah itu dekat dengan mereka.”

Juga disebutkan dalam shahifah-shahifah tersebut bahwa orang yang


berakal sehat selama akalnya masih normal, hendaknya ia membagi
seluruh
waktunya menjadi tiga bagian, yaitu:
(1) Untuk beribadah kepada Rabbnya;
(2) Untuk menghisab dirinya, beberapa banyak keburukan atau kebaikan
yang telah ia lakukan;
(3) Untuk mencari penghasilan yang halal.

Seseorang yang berakal juga harus mengatur waktunya, memperbaiki


dirinya, dan menjaga lidahnya dari bicara yang sia-sia. Orang yang
selalu menghisab setiap ucapannya, maka lidahnya akan berkurang dari
bicara sia-sia. Orang yang berakal juga tidak akan berpergian kecuali
untuk tiga tujuan, yaitu:
(1) Mencari bekal akhirat;
(2) Mencari nafkah sekadarnya;
(3) Bersantai yang diperbolehkan (oleh agama).

Abu Dzar r.a. bertanya lagi, “Ya rasulullah, apakah kandungan shahifah
yang diturunkan kepada Musa a.s.?” Beliau menjawab, “Semuanya berisi
pelajaran-pelajaran, misalnya: ‘Aku heran terhadap orang yang meyakini
kematian, tetapi ia masih bergembira dengan sesuatu, (biasanya
seseorang
jika telah diputus akan di hukum mati, ia tidak akan merasa tenang
dengan apapun). Aku heran terhadap orang yang meyakini kematiannya,
tetapi ia masih bisa tertawa. Aku heran terhadap orang yang selalu
memperhatikan kejadian-kejadian, perubahan-perubahan, dan gejola
dunia,
tetapi ia masih merasa tenang dengannya. Aku heran terhadap orang yang
meyakini takdir, tetapi ia masih berduka cita bersedih hati. Aku heran
terhadap orang yang meyakini hisab itu dekat, tetapi ia tidak beramal
shalih.

Abu Dzar r.a. meminta lagi,. “Ya Rasulullah, tambahkan lagi wasiat
untukku!”

Pertama-tama Rasulullah saw. mewasiatkan takwa kepadaku. Lalu beliau


bersabda, “Takwa adalah dasar dan akar segala urusan.”

Aku meminta lagi, “Ya Rasulullah, tambahkan lagi wasiat untukku.” Beliau
bersabda, “Perbanyaklah membaca al Qur’an dan mengingat Allah, karena
yang demikian itu adalah nur bagimu di bumi dan simpanan bagimu di
langit.”
Aku meminta lagi, “Tambahkan lagi wasiat untukku!”

Beliau bersabda, “jangan banyak tertawa, karena sesungguhnya banyak


tertawa itu akan mematikan hati dan menghilangkan nur wajah (merugikan
jasmani dan Ruhani).” Beliau bersabda lagi, “Pentinglah jihad, karena
jihad adalah rahbaniah umatku. (Pada zaman dahulu, rahib adalah
orang-orang yang memutuskan seluruh hubungan dengan dunia dan diri
mereka hanya pasrah kepada Allah).”

Aku minta tambahan lagi. Lalu ia bersabda, “Pandanglah selalu


orang-orang yang berada dibawahmu (lebih rendah darimu), dengan begitu
kamu dapat bersyukur; dan jangan memandang orang yang berada
diatasmu,
sehingga kamu akan meremehkan nikmat Allah.”

Aku meminta tambahan lagi. Lalu beliau bersabda, “Hendaklah


keburukanmu
menahanmu dan mencaci orang lain. Dan janganlah mencari aib orang
lain,
sedangkan kamu sendiri melakukannya. Cukuplah sebagai bahan untuk
mencela dirimu bahwa kamu melihat aib orang lain, sedangkan aib itu ada
pada dirimu tetapi kamu tidak menyadarinya, atau kamu mengoreksi
kesalahan orang lain sedangkan kamu sendiri melakukannya.” Kemudian
dengan tangannya yang mulia, Nabi saw. menepuk daadku sambil
bersabda,
“Wahai Abu Dzar, tidak ada kebijaksanaan yang lebih baik daripada
pengaturan, tidak ada ketakwaan yang lebih baik daripada menjauhi
larangan, dan tidak ada kemuliaan yang lebih baik daripada sopan santun.”

Ini hanyalah ringkasan maksud hadits diatas, sedangkan terjemah tekstual


tidaklah demikian.

Hadits ke-22

‫سلَم قَا َل َما ا هجت َ َم َع‬


َ ‫ٌللاه َعلَي ِه َو‬‫صلَي ِ ه‬ ِ ‫سو َل ه‬
َ ‫ٌللا‬ ُ ‫ٌللاُ َعنهُ أنَ َر‬
‫ضي ِ ه‬َ ‫َعن اَبي ِ ه َُريَرة َ َر‬
‫لت‬ْ َ‫سونَه فِي َما بَ ْينَ ُهم إال نَز‬ ُ ‫ٌللا َويَت َ َدا َر‬
ِ ‫َاب ه‬َ ‫ٌللا يَتلُونَ كت‬
ِ‫ت ه‬ ِ ‫ت ِمن بُيُو‬ٍ ‫قَو ُم في ِ بَي‬
.ُ‫ٌللاُ فِي َمن ِعن َده‬ ‫س ِكينَةُ َو َغ ِشيت ُه ُم الرحمةُ َو َحفَته ُم المآلئكةُ َوذَ َك َر ُه ُم ه‬َ ‫عليْه ُم ال‬
)‫(رواه مسلم وابو داوود‬

Dari Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah
suatu kaum berkumpul di salah satu rumah dari rumah-rumah Allah,
mereka
membaca kitab Allah dan saling mengajarkannya di antara mereka,
melainkan diturunkan ke atas mereka sakinah, rahmat menyirami mereka,
para malaikat mengerumuni mereka, dan Allah Swt. menyebut-nyebut
mereka
di kalangan (malaikat) yang ada disisinya.” (Hr. Muslim dan Abu Dawud)

Hadits ini menerangkan keutamaan khusus madrasah-madrasah dan


pondok
pesantren yang memiliki berbagai kemuliaan. Setiap kemuliaan itu
memiliki derajat sangat tinggi, sehingga jika seseorang menghabiskan
umurnya untuk mendapatkan suatu kemuliaan saja, itu pun masih murah
dan
sangat banyak nikmat yang diperolehnya. Khususnya keutamaan yang
terakhir, yaitu akan disebut-sebut di majelis Allah. Dan disebutnya nama
kita dimajelis Kekasih kita merupakan nikmat yang tidak bisa
dibandingkan dengan apapun.

Mengenai turunnya sakinah telah banyak disebutkan dalam berbagai


riwayat. Ulama hadits telah banyak menjelaskan penafsirannya, tetapi
tidak ada pertentangan diantara perbedaan mereka, bahkan jika disatukan
akan memiliki maksud yang sama.

Ali r.a. menafsirkan sakinah adalah sejenis udara khusus yang mempunyai
wajah manusia. Suji rah.a. berpendapat bahwa sakinah adalah nama
sejenis
mangkuk di surge yang terbuat dari emas yang digunakan untuk mencuci
hati para Nabi. Sebagian ulama mengatakan bahwa sakinah adalah suatu
rahmat khusus. Thabrani rah.a. mendukung pendapat yang mengatakan
bahwa
sakinah adalah ketenangan hati. Sebagian lagi menafsirkan sakinah
sebagai kedamaian. Pendapat lain menyebutkan sakinah sebagai
kewibawaan.
Dan lainnya lagi menafsirkan sakinah adalah malaikat. Selain itu masih
banyak penafsiran lainnya.

Hafizh Ibnu Hajar rah.a. menulis dalam Fathul-Bari bahwa arti sakinah
mencakup semua yang telah disebutkan di atas. Imam Nawawi rah.a
menafsirkan bahwa sakinah adalah gabungan antara ketenangan, rahmat,
dan
lain-lainnya, yang diturunkan bersama malaikat.

Allah Swt. Berfirman,

“Maka Allah menurunkan sakinah-Nya ke atasnya.” (Qs. At Taubah [9] :


40).

Dalam ayat yang lain disebutkan:


“Dialah yang menurunkan sakinah ke dalam hati orang-orang yang
beriman.”
(Qs. Al Fath [48]:4)

“…Di dalamnya terdapat ketenangan dari Rabbmu…” (Qs. Al Baqarah


[2]:248)

Ternyata banyak sekali ayat al Qur’an dan hadits yang menyebutkan kabar
gembira itu. Diriwayatkan dalam kitab Ihya bahwa Ibnu Tsauban r.a.
pernah berjanji kepada saudaranya bahwa ia akan berbuka shaum
bersama,
tetapi ternyata ia baru tiba keesokan paginya. Ketika saudaranya
menanyakan penyebab keterlambatannya, Ibnu Tsauban menjawab,
“Seandainya
bukan karena janjiku kepadamu, tentu aku tidak akan membuka rahasia
keterlambatanku ini. Kejadiannya adalah sebagai berikut: tanpa disengaja
aku telah terlambat hingga waktu Isya. Setelah shalat Isya aku merasa
bahwa aku harus shalat Witir, karena aku tidak tenang jika kematian
datang pada malam itu, dan hal itu akan menjadi sisa tanggung jawabku.
Ketika aku sedang membaca do’a Qunut, terlihat olehku sebuah taman
Surga
hijau yang dipenuhi berbagai jenis bunga. Demikian asyiknya aku
memandang taman itu, sehingga tanpa terasa tibalah waktu Shubuh.”

Kisah seperti di atas juga telah banyak terjadi pada alim ulama kita
dahulu, namun hal itu akan diperoleh jika telah terputus hubungan dengan
segala sesuatu kecuali dengan Allah semata, serta dengan bertawajuh
secara sempurna kepada-Nya.
Mengenai ‘malaikat yang datang mengelilingi’, banyak riwayat yang
menjelaskan hal itu. Demikian juga mengenai kisah Usaid bin Hudhair
r.a., telah banyak dijelaskan dalam kitab-kitab hadits. Yaitu ketika ia
sedang membaca al Qur’an, ia merasa ada segumpal awan mendekatinya.
Ketika hal itu ditanyakan kepada Nabi saw. maka beliau bersabda, “Itu
adalah para malaikat yang datang untuk mendengarkan bacaan al Qur’an.
Begitu banyak malaikat yang datang, sehingga terlihat seperti kumpulan
awan.” Suatu ketika, seorang sahabat merasakan ada awan yang
mengiringinya, maka Rasulullah saw. bersabda, “Itu adalah sakinah,”
yaitu rahmat yang diturunkan karena bacaan al Qur’an. Dalam Shahih
Muslim, hadits ini diriwayatkan dengan lebih jelas lagi, dan kiamat
terakhir dari hadits tersebut adalah:

“Siapa yang karena kemaksiatannya menjauhkan ia dari rahmat Allah,


maka
kemuliaan keturunannya tidak dapat mendekatkan dirinya kepada rahmat
Allah.”

Orang yang mulia nasabnya tetapi sering berbuat dosa dan maksiat tidak
dapat disamakan di hadapan Allah dengan orang yang hina nasabnya
tetapi
bertakwa kepada Allah. Al Qur’an menyebutkan:

‘….Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah


adalah orang yang paling bertakwa…” (al Hujarat [49]:13)

Hadits ke-23

ِ ‫سلَ َم اِن ُك ُم آل ت‬
َ‫َرجعُون‬ َ ‫ٌللاُ َعلَي ِه َو‬
‫صلَي ِ ه‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ٌللاُ َعنهُ قَا َل‬
َ ‫سو َل‬ ‫ضي ه‬ َ ‫َعن أبِي ذُ ٍر َر‬
‫ (رواه الحاكم وصححه أبو داوود‬. َ‫ض َل ِم َما خ ََر َج ِمنهُ يَعنَي ِ القُران‬ َ َ‫ٌللا ِبشَيء اَف‬
ِ ‫اِلي ه‬
)‫في مراسيله عن جبير بن نفير والبترمذي عن امامة بمعناة‬

Dari Abu Dzar r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,


sesunggguhnya
kalian tidak akan kembali kepada Allah dengan membawa sesuatu yang
lebihh utama selain membawa apa yang keluar dari-Nya, yakni al Qur’an.”
(Hr. Hakim)

Berdasarkan beberapa riwayat, jelas bahwa tidak ada yang dapat


mendekatkan kita kepada Allah kecuali dengan al Qur’an. Imam Ahmad bin
Hambal rah.a. berkata, Seakan-akan aku melihat Allah dalam mimpiku dan
aku bertanya kepada-Nya, ‘Apa yang terbaik untuk mendekatkan diri
kepadaMu?” Allah Swt. menjawab “Ahmad, kalam-Ku (yakni al Qur’an).”
Aku
bertanya, “Membaca dengan memahaminya atau tanpa memahaminya?”
Allah
berfirman, “Paham atau tidak, keduanya akan mendekatkan kepada-Ku.”

Jelaslah bahwa cara terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah
dengan al Qur’an. Diterangkan dalam tafsir Syaikh Baqiyatus Salaf,
Hujjatul Khalaf Syaikh Abdul Aziz Dahlawi yang kesimpulan dan
penafsirannya adalah bahwa suluk kepada Allah atau untuk mencapai
derajat ihsan kepada-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya adalah
dengan
tiga cara:

1. Tashawwur. Dalam syari’at lebih dikenal dengan istilah tafakkur dan


tadabbur, dan dalam istilah tasawwuf lebih dikenal dengan muraqabah.
2. Dzikir Lisan.
3. Tilawah al Qur’an.

Cara yang pertama sebenarnya adalah dzikir Qalbi (dzikir dengan hati).
Pada dasarnya, hanya dilakukan dengan dua cara: Pertama, dzikir secara
umum, baik dengan hati atau dengan lisan; Kedua, dzikir dengan tilawat
al Qur’an.
Dengan menyebut salah satu nama Allah berulang-ulang, maka tujuan
dzikir
akan didapatkan, yakni memperoleh mudrikah (bertawajuh kepada-Nya)
dan
menimbulkan perasaan bahwa yang diingat itu ada didepan kita. Jika terus
berlangsung seperti itu, maka itulah ma’iyyat (kebersamaan dengan Allah)
sebagaimana yang diterangkan di dalam hadits:

ُ‫ص َره‬َ َ‫س ْمعَهُ الَذِي يَ ْس َم ُع بِ ِه َوب‬


َ ُ‫رب ِإلي بِالنّ َوافِ ِل َحتى اَحْ بَبْتهُ فَ ُك ْنت‬
ُ َ‫َل يَزَ ا ُل َع ْبدِي يَتَق‬
ُ ‫ص ُر ِب ِه َويَ ُد اّلَتي يَب ِْط‬
.‫س بِ َها‬ ُ ‫اّلَذِي يَ ْب‬

“Hamba-Ku selalu mendekati-Ku dengan amal nawafil (sunnat), sehingga


Aku
menciptakannya. Maka Aku akan menjadi pendengarannya yang
dengannya ia
mendengar, menjadi penglihatannya yang ia melihat dengannya, menjadi
tangannya yang ia memegang dengannya, dan menjadi kakinya yang
dengannya
ia berjalan.”

Apabila seseorang hamba memperbanyak ibadah, Allah akan dekat


kepadanya
dan akan menjadi penjaganya. Mata, telinga, dan yang lainnya akan
mengikuti keinginan Allah.

Dalam riwayat itu dikatakan ‘memperbanyak shalat-shalat nafil’ adalah


karena fardhu itu sudah ditetapkan jumlahnya, tidak boleh dilebihkan,
sehingga sangat penting bagi kita untuk selalu merasakan kehadiran Allah
di dalam ibadah kita sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. Namun,
cara bertaqarrub seperti ini hanya digunakan untuk mendekati Dzat Allah
Yang Kita cintai. Kita tidak mungkin dapat mendekati manusia hanya
dengan sering menyebut namanya. Karena untuk bertaqarrub seperti ini
harus ada dua hal:

1. Yang diingat harus mengetahui dzikir setiap orang yang mengingatnya,


baik secara lisan ataupun di dalam hati, walaupun dalam waktu dan
bahasa
yang berbeda.

2. Dia harus mampu bertajalli (manifestasi) dan memenuhi keinginan orang


yang mengingatnya, yang biasa disebut dengan dunuw (kedekatan) dan
tadalli (pendekatan), atau dikenal dengan istilah nuzul (turun) dan qrub
(kedekatan)

Kedua sifat ini hanya dimiliki oleh Allah Swt., sehingga cara taqarub
diatas hanyamungkin untuk mendekatkan diri kepada Dzat Allah.
Disebutkan
didalam hadits Qudsi.

“Barangsiapa mendekati-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta.”

Ini sekadar perumpamaan, sebab sesunggguhnya Allah Maha Suci dari


berjalan dan berlari. Dan keinginan serta usaha Allah lebih tawajjuh dan
lebih dekat daripada usaha dan keinginan seseorang yang selalu
mengingat
dan mencari-Nya. Mereka memang pantas mendapatkan kasih saying
Allah,
sebab sifat Rabb Yang Maha Mulia adalah selama orang yang
mengingatnya
ia terus berdzikir, maka tawajuh dan kedekatan Allah padanya pun terus
menerus.

Kallamullah adalah untuk mengingat Allah Swt., tidak ada stu ayat pun
yang tidak bertujuan untuk mengingat Allah. Hal itu menegaskan bahwa al
Qur’an memiliki sifat-sifat dzikir sebagaimana yang telah dijelaskan
diatas. Dan satu kelebihan khusus lainnya yang ada pada al Qur’an yang
dapat mendekatkan kita kepada Allah adalah bahwa setiap ucapan jelas
akan membawa sifat dan pengaruh terhadap pembicaraannya;
sebagaimana
orang yang membaca ayar’ir-sya’ir orang fasik dan durjana, maka akan
mengakibatkan pengaruh buruk baginya. Dan orang yang membaca sya’ir
orang-orang yang bertakwa akan menyebabkan ia juga bertakwa. Dengan
alasan inilah maka dikatakan bahwa banyak mempelajari ilmu logika dan
filsafat akan menimbulkan kesombongan dan keangkuhan. Sedang banyak
mengkaji hadits akan menimbulkan sifat tawadhu’. Oleh sebab itu,
walaupun dari segi bahasa, bahasa Persia dan Inggris itu sama-sama
bahasa, tetapi karena perbedaan pada pengarangnya dapat memberikan
pengaruh yang berbeda terhadap pembacanya. Singkatnya, setiap bacaan
akan mempengaruhi pembacanya.

Demikian pula dengan terus-menerus membaca al Qur’an, tentu akan


menimbulakn pengaruh khusus dari Sang Pencipta kepada pembacanya.
Telah
menjadi kaidah bagi setiap [engarang, bahwa jika ada orang yang
betul-betul memperhatikan tulisannya, berarti ia memperhatikan dan
mencintai pengarang itu sehingga pengarang itu pun akan
memperhatikannya. Demikian pula orang yang senantiasa membaca
firman-firman Allah Swt., maka akan lebih mendekati-Nya. Semoga Allah
Yang MAha Mulia menganugerahkan Taufik-Nya kepada kita.

Hadits ke-24

ِ ‫سلَ َم ا هِن ه‬
َ‫ٌلل اَهلِين‬ َ ‫ٌللاُ َعلَي ِه َو‬
‫صلَي ه‬ ِ ‫سو ُل ه‬
َ ‫ٌللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ٌللاُ َعنهُ قَا َل‬ َ ‫َعن اَن ٍَس َر‬
‫ضي ِ ه‬
.ُ‫صتهه‬
‫ٌللا َوخَا ه‬ِ ‫ٌللاِ؟ قَا َل أه ُل القُرانَ هُم أه ُل ه‬
‫سو َل ه‬ُ ‫ار‬َ َ‫ َمن ههم ي‬:‫اس قَالهوا‬ِ ‫ِمنَ النه‬
)‫(رواه النسائي وابن ماجه والحاكم واحمد‬

Dari Anas r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya


Allah memiliki keluarga dari kalangan manusia.” Para sahabatnya
bertanya, “Siapakah mereka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ahlul
Qur’an, mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang istimewa-Nya.” (Hr.
nasai, Ibnu Majah, Hakim, dan Ahmad)

Ahli al Qur’an adalah orang-orang yang senantiasa sibuk dengan al


Qur’an. Mereka diberi keistimewaan sebagai ahlullah dan orang-orang
istimewa-Nya, sehingga jelaslah bahwa Allah akan senantiasa
memperhatikan orang yang selalu sibuk membaca al Qur’an. Barangsiapa
yang selalu bersaman-Nya tentu akan menjadi ahli-Nya dan menjadi orang
istimewa-Nya. Betapa tinggi kemuliaannya, dengan sedikit
pengorbanannya
saja ia telah disebut sebagai ahlullah, sehingga dengan keistimewaannya
itu ia akan dimuliakan.

Padahal untuk memasuki istana di dunia ini atau untuk menjadi anggota
suatu majelis terhormat, berapa banyak harta dan jiwa yang mesti
dikorbankan? Meskipun harus dengan menghinakan diri dan menahan
malu
demi mengambil hati peserta siding, tetapi kita tetap menganggap bahwa
itu suatu kebaikan. Sebaliknya, usaha untuk mendalami al Qur’an kita
anggap sebagai suatu kerugian.

“Perhatikan perbedaan jalan, manakah yang kau tuju dan kemana jalan itu
menuju.”

Hadits ke-25

َ‫سلَ َم َما أذِن‬


َ ‫ٌللاُ َعلَي ِه َو‬
‫صلَي ه‬ ُ ‫قَا َل َر‬:َ‫ٌللاُ َعنهُ قَال‬
ِ ‫سو ُل ه‬
َ ‫ٌللا‬ ‫ضي ِ ه‬َ ‫يرة َ َر‬
َ ‫َعن أبي ِ ه َُر‬
)‫ (رواه بخارى ومسلم‬.‫ران‬ ُ
ِ ‫ٌللا ِلشَىء َك َما أذِنَ ِلنَبِ ٍى يَتَغَني بِالق‬
‫ه‬

Dari Abu Hurairahr.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, Allah


tidak pernah mendengarkan sesuatu dengan penuh perhatian
sebagaimana Dia
mendengarkan dengan penuh perhatian kepada seorang nabi yang
melagukan
al Qur’an.” (Hr. Bukhari dan Muslim)

Telah kita ketahui sebelumnya bahwa Allah Swt. memberikan perhatian


istimewa kepada kalam-Nya. Anbiya a.s. membaca al Qur’an dengan adab
yang sempurna, oleh karenanya, maka Allah sangat memperhatikan
mereka.
Apalagi dengan suara mereka yang merdu, perhatian Allah tentu lebih
besar lagi. Sedangkan orang-orang setelah Anbiya a.s akan mendapatkan
perhatian dari Allah Swt. sesuai dengan taraf keindahan bacaan mereka.

Hadits ke-26

‫ش ُد أُذهنا ِإلي‬
َ َ ‫صلَي ِ هللاُ ا‬
َ ‫ٌللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ٌللاُ َعنهُ قَال‬
ِ ‫سو ُل ه‬ ‫ضي ه‬ ِ َ‫ضالَة‬
َ ‫بن َعبي ٍد َر‬ َ ُ‫َع ْن ف‬
‫ (رواه ابن ماجه وابن حبان كذا في‬.‫ب القَ ْينَ ِة اِلي قَ ْينَتِ ِه‬ ِ ‫اح‬
ِ ‫ص‬ ِ ُ‫ئ الق‬
َ ‫رآن ِم ْن‬ ِ ‫ار‬ِ َ‫ق‬
.)‫شرح االحياء قلت وقال الحاكم صحيح على شرطهما وقال الذهبي منقطع‬

Dari Fudhalah bin Ubaid r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Allah lebih mendengarkan dengan penuh perhatian kepada pembaca al
qur’an dari pada seorang tuan yang mendengarkan nyanyian hamba
perempuannya.” (Hr. Ibnu Majah, Ibnu Haban, dan Hakim Berkata Sahih
dengan syaratnya, dan Aldhahibi berkata Mungatie).

Telah menjadi fitrah dan adat kita menyukai nyanyian. Namun, karena
syari’at agama telah melarangnya, maka orang-orang yang kuat beragama
tidak akan mendengarkannya. Walaupun demikian, seorang tuan boleh
mendengarkan nyanyian hamba sahaya wanitanya. Tetapi al Qur’an tidak
boleh dinyanyikan seperti lagu. Hal itu berdasarkan hadits:
“Hindarilah oleh kalian (membaca al Qur’an) dengan nada orang bercinta!”

Maksudnya, jangan membaca al Qur’an dengan nada yang diatur oleh


nada-nada musik dan suara penyanyi lagu cinta. Alim ulama menulis
bahwa
orang yang membaca al Qur’an seperti itu dianggap fasik dan
pendengarnya
berdosa besar. Al Qur’an hendaknya dibaca dengan merdu tanpa nada
nyanyian, tanpa lagu yang berlebihan. Diantara sekian banyak hadits yang
menerangkan hal ini adalah hadits yang berbunyi, “Hiasilah al Qur’an
dengan suara yang merdu.” Hadits yang lain menyebutkan, “Suara merdu
melipatgandakan keindahan al Qur’an.”

Syaikh Abdul Qadir Jailani rah.a menulis di dalam al Ghunyah, ketika


Abdullah bin Mas’ud r.a. berjalan di Kufah ada sekelompok ahli maksiat
yang sedang berkumpul di sebuah rumah. Dalam kumpulan itu, seorang
penyanyi yang bernama Zadzan menyanyi dengan diiringi alat music.
Mendengar suaranya yang merdu, Ibnu Mas’ud berkata, “Alangkah baiknya
jika suara itu jika digunakan untuk membaca al Qur’an.” Lalu ia
menutupkan kain dikepalanya dan meninggalkan tempat itu. Mendengar
ucapan itu, Zadzan pun bertanya kepada orang lain, maka tahulah ia
bahwa
orang itu adalah Abdullah bin Mas’ud, salah seorang sahabat Nabi saw.,
Ucapan itu sangat bberpengaruh kedalam hatinya sehingga ia hancurkan
alat-alat musiknya dan mulai menjadi pengikut Ibnu Mas’ud r.a.. di
kemudian hari, ia dikenal sebagai seorang ulama pada zamannya.
Banyak riwayat yang menganjurkan agar membaca al Qur’an dengan
suara
yang lebih indah, namun banyak juga riwayat yang melarang membacanya
dengan suara seperti nyanyian sebagaimana riwayat diatas. Hudzaifah r.a.
berkata bahwa Nabi saw. bersabda, “Bacalah al Qur’an dengan gaya Arab,
jangan membacanya seperti seorang yang mabuk cinta atau seorang
Yahudi
atau Nasrani. Sebentar lagi aka nada suatu kaum yang membaca al Qur’an
dengan dilagukan seperti para penyanyi dan seperti orang yang
berteriak-teriak meratapi duka, bacaannya tidak akan bermanfaat sedikit
pun baginya. Mereka akan mendapat fitnah dan orang-orang yang
menganggap
bacaan mereka itu bagus pun kan terkena fitnah.”

Thawus r.a. berkata, “Seseorang bertanya kepada Rasulullah saw.,


“Siapakah yang palinh bagus suaranya dalam membaca al Qur’an?” Beliau
saw., menjawab, ‘Seseorang yang jika kamu melihatnya membaca al
Qur’an
terasa bahwa ia takut kepada Allah, yakni dari suaranya terasa ia dalam
keadaan takut.”

Merupakan kenikmatan dari Allah bahwa Dia tidak membebani seseorang


itu
kecuali sesuai dengan kemampuannya. Sebuah hadits menyebutkan
bahwa
Allah mengutus malaikat dengan tugas khusus, yaitu jika ada seseorang
yang membaca al Qur’an tetapi ia tidak mampu membacanya dengan
benar,
maka malaikata akan membawanya ke langit setelah ia memperbaiki
bacaan
orang itu terlebih dahulu.

“Ya Allah, aku tidak mampu menghitung pujian bagi-Mu.”

Hadits ke-27

‫رآن َال‬ِ ُ‫ يَا أه َل الق‬:‫سل َم‬ َ ‫صلّى علي ِه َو‬ ِ ‫س ْو ُل‬


َ ‫هللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ي قَال‬ ّ ‫عبَ ْي َدة َ ال ُملَ ْي ِك‬
ُ ‫َع ْن‬
ُ ‫ار َوا ْف‬
ُ‫ش ْوهُ َوتَغَنّ ُوه‬ َ ِ‫تَت ََوسدُوا القُرآنَ َوأتْلُ ْوهُ َحق ت‬
ِ ‫الوت ِه ِم ْن‬
ِ ‫انآء اللي ِل َوالن َه‬
‫ (رواه‬.‫وت َ َدب ُروا َما في ِه لَعَل ُك ْم ت ُ ْف ِل ُح ْونَ َو َال تَعَجلُوا ث َ َوابَهُ فَإن لَهُ ث َ َوابا‬
)‫البيهقيفي شعب األيمان‬

Dari Ubaidah al Mulaiki r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,


“Wahai ahli-ahli al Qur’an, janganlah kalian menggunakan al Qur’an
sebagai bantal dan bacalah al Qur’an dengan sebenar-benarnya bacaan
pada
malam dan siang hari, sebarkanlah ia, bacalah ia dengan suara merdu,
dan
pikirkanlah isi kandungannya! Mudah-mudahan kalian beruntung.
Janganlah
kalian meminta disegerakan upahnya (didunia), karena ia mempunyai
ganjaran (diakhirat).” (Hr. Baihaqi – Syu’abul Iman)

Hadits diatas mengandung beberapa pelajaran bagi kita:

(1) Jangan jadikan al Qur’an sebagai bantal. Pernyataan ini mempunyai


dua pengertian.

Pertama, menggunakan al Qur’an sebagai bantal, perbuatan ini jelas


menyalahi adab. Ibnu Hajar rah.a. menulis menjadikan al Qur’an sebagai
bantal menjulurkan kaki ke arahnya, membelakanginya dan menginjaknya,
adalah haram. Kedua, mengandung maknakiasan, yakni melalaikan al
Qur’an
dan membiarkannya di atas bantal seperti yang dilakukan di
kuburan-kuburan, yakni sekedar untuk mendapat berkah, al Qur’an
diletakan diatas bangku di samping batu nisan. Hal ini sama dengan
mengabaikan hak al Qur’an, sebab hak al Qur’an adalah untuk dibaca.
(2) Membaca al Qur’an sesuai haknya, yakni dengan menjaga adab-
adabnya
semaksimal mungkin, sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an:

“Orang-orang yang telah Kami berikan al Kitab kepadanya, mereka


membacanya dengan bacaan yang sebenarnya…” (Qs. Al Baqarah [2] :
121)

Yaitu membaca dengan penghormatan seperti halnya terhadap perintah


raja,
dan membacanya dengan penuh rasa cinta sebagaimana halnya membaca
surat
dari seorang kekasih, demikianlah hendaknya kita membaca al Qur’an.

(3) Menyebarkan al Qur’an, baik melalui ceramah, tulisan, dorongan,


perbuatan, atau dengan cara apapun. Nabi saw. menyuruh kita
menyebarkan
dan mengembangkan al Qur’an. Tetapi para cendekiawan malah
beranggapan
bahwa membacanya merupakan perbuatan sia-sia. Padahal mereka
mengaku
sebagai orang Islam dan orang yang mencintai Rasulullah saw…sebuah
syair
Persia menyatakan:

“Wahai orang A’rabi, aku takut kamu tidak akan sampai ke ka’bah karena
jalan yang kamu tempuh menuju ke Turkistan.
Nabi saw. menyuruh kita agar menyebarkan al Qur’an, tetapi yang kita
lakukan malah berusaha merintanginya. Kita menetapkan bagi anak-anak
kita peraturan wajib belajar, sehingga anak-anak terjauh dari al Qur’an
dan beralih ke sekolah umum. Kita membenci para Ustadz di madrasah,
karena kita anggap mereka telah menyia-nyiakan umur anak kita, sehingga
kita tidak memasukan anak kita ke madrasah. Para ustadz itu mungkin saja
berbuat salah, tetapi jika kita berlepas tangan dari masalah ini atau
melepaskan tanggung jawab dan kewajiban menyebarkan al Qur’an, maka
dalam keadaan demikian kitapun sebenarnya tetap bertanggung jawab
atasnya. Sedangkan kekurangan/kesalahan para ustadz itu, mereka
sendirilah yang akan menanggungnya.

Para ustadz di madrasah mempunyai kekurangan, tetapi apakah hanya


dengan
melihat kekurangan para ustadz itu lalu kita menahan anak-anak kita agar
tidak belajar di madrsah al Qur’an? Kita mengirim surat kepada para
orang tua bahwa ‘ustadz-ustadz di madrasah itu mengajar anak-anak
membaca atau menghafal al Qur’an hanya karena terpaksa, sehingga
beban
tersebut sekarang berada di pundak-pundak kalian.’ Hal itu ibarat
mengobati orang yang sakit batuk dengan racun. Apakah dimahkamah
tertinggi (di akhirat) kelak, jawaban seperti itu yang akan kita
berikan, bahwa kita terpaksa menarik anak-anak dari belajar al Qur’an
karena pengurus madrasah tidak serius dalam mengajar?
Silahkan Anda pikirkan sendiri, berapa banyak perhatian kita terhadap
pelajaran al Qur’an. Untuk membuka toko kain untuk menjadi pegawai
pemerintah saja, tiga perempat perhatian kita tercurah untuk
mempelajarinya. Padahal Allah telah menegaskan pentingnya mempelajari
al
Qur’an daripada yang lainnya.

(4) Membaca al Qur’an dengan suara merdu, sebagaimana telah


dijelaskan
pada hadits yang lalu.

(5) Merenungkan makna kandungan al Qur’an. Dijelaskan di dalam Ihya,


bahwa Allah berfirman di dalam Taurat, “Wahai hamba-Ku, apakah kalian
tidak malu kepada-Ku? Jika kalian menerima surat dari kawanmu dan
kalian
sedang berjalan di jalan, maka kalian akan berhenti dan duduk di suatu
tempat untuk membacanya dengan penuh perhatian dan berusaha
memahami
setiap perkataannya. Sedangkan Aku telah menurunkan kitab-Ku
kepadamu,
Aku telah menjelaskan segala sesuatu di dalamnya dan mengenai masalah
yang penting, Aku telah mengulanginya beberapa kali agar kalian
memperhatikannya, tetapi kalian tidak memperhatikannya, tetapi kalian
tidak mempedulikannya. Apakah kalian anggap Aku ini lebih rendah dari
kawanmu? “Wahai hamba-Ku, jika ada kawanmu yang duduk berbicara di
dekatmu,kamu akan segera mendengarkannya dengan penuh perhatian
dan
memikirkan ucapannya. Jika ada yang menyela di tengah pembicaraannya,
kamu akan menegurnya dengan isyarat tanganmu. Aku telah berbicara
kepadamu melalui kitab-Ku, tetapi sedikit pun kamu tidak
mempedulikannya. Apakah kalian anggap Aku ini lebih rendah dari
kawanmu?” mengenai tadabbur ini, sudah dijelaskan dalam muqaddimah
dan
dalam hadits ke-8.

(6) jangan mengharapkan upahnya di dunia ini, yakni jangan menerima


upah
sedikitpun dari membaca al Qur’an, sebab kita akan mendapat pahala
yang
lebih besar di akhirat kelak. Jika kita mengharapkan upah dari
membacanya di dunia ini, hal itu ibarat orang yang lebih senang menukar
uangnya dengan kulit-kulit kerang.
Rasulullah saw. bersabda, “Apabila ummatku telah mengagungkan
keduniaan,
maka hilanglah kehebatan Islam darinya. Dan apabila ummatku
meninggalkan
amar ma’ruf nahi mungkar, maka diharamkan atas mereka keberkahan
wahyu.”
Yakni disulitkan memahami al Qur’an. Demikianlah penjelasan di dalam al
Ihya.
“Ya Allah, perihalalah kami darinya.”

Hadits ke-28

ِ ‫الطو َل َوأُع‬
َ‫ْطيْتُ َم َكان‬ ُّ ‫ْطيْتُ َم َكانَ الت ْوراة الس ْب َع‬ ِ ‫ي هللاُ َع ْنهُ َرفَعَهُ أُع‬ ِ ‫َع ْن َواثِلةَ َر‬
َ ‫ض‬
‫ (رواه احمد في‬.‫ضلتُ ِبال ُمفَص ِل‬ ّ ِ ُ‫ْطيْتُ َم َكانَ اإل ْن ِج ْي ِل ْال َمثَاني ِ َوف‬ ُ
ِ ‫الماِئيْنَ وأع‬
ِ ‫الزب ُْو َر‬
)‫الكبير كذا في جمع الفوائد‬

Dari Watsilah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku telah
diberi Sab’a Thuwal sebagai pengganti Taurat, Mi’in sebagai pengganti
Zabur, Matsani sebagai pengganti Injil, dan Mufashshal sebagai anugerah
istimewa kepadaku.” (Hr. Ahmad ~ Jam’ul Fawa’id)

Tujuh surat pertama dalam al Qur’an disebut sebagai Sab’at Thuwal (Tujuh
surat yang terpanjang), sebelas surat disebut sebagai Mi’in (surat-surat
yang mengandung sekitar seratus ayat), dua puluh surat disebut Matsani
(surat yang berulang-ulang), dan dari sini sampai khatam al Qur’an
disebut Mufashshal (surat yang dipisah-pisahkan). Inilah pendapat yang
termasyhur.

Ada beberapa surat yang menjadi perbedaan, apakah termasuk dalam


golongan Sab’at Thuwal dan Mi’in, termasuk dalam golongan Matsani atau
Mufashshal. Namun, perbedaan itu tidak berpengaruh sedikitpun terhadap
maksud dan tujuan hadits diatas. Maksud hadits diatas adalah bahwa al
Qur’an mengandung kitab-kitab Samawi yang mansyur yang telah
diturunkan
sebelumnya. Dan sebagai tambahannya adalah Mufashshal, yaitu surat-
surat
istimewa yang tidak ada dalam kitab-kitab sebelumnya.

Hadits ke-29

‫اج ِريْنَ وإن‬ ِ ‫آء ْال ُم َه‬ِ َ‫ضعَف‬ ُ ‫صاَب ٍة ِم ْن‬ َ ‫س ِع ْي ِد اْل ُخد ِْري ِ رضي هللا عنه قَا َ َل َجلَ ْستُ في ِ ِع‬ َ ‫َع ْن أبِ ْي‬
‫صلى هللاُ َعلَ ْي ِه‬ َ ‫هللا‬ ِ ‫س ْو ُل‬ ُ ‫ئ يَ ْقرأ ُ اِ ْذ َجآ َء َر‬ ‫ار ه‬ ِ َ‫ض ِمنَ ْالعُرى َوق‬ ٍ ‫ض ُه ْم لَيَ ْستَتِ ُر بِبَ ْع‬
َ ‫بَ ْع‬
‫سل َم‬ َ َ‫ئ ف‬ ُ ‫ار‬ِ َ‫س َكت الق‬ َ ‫سل َم‬ َ ‫هللا صلى هللا عليه و‬ ِ ‫س ْو ُل‬ ُ ‫ام َر‬ َ َ‫ فَلَما ق‬،‫ام َعلَ ْينَا‬َ َ‫سل َم فَق‬ َ ‫َو‬
‫ِي‬ْ ‫هلل الذ‬ ِ ‫هللا ت َعالى فَقَا َل ال َح ْم ُد‬ ِ ‫ب‬ ِ ‫صنَعُ ْونَ ؟ قُ ْلنَا نَ ْست َِم ُع اِلى ِكت َا‬ ْ َ ‫ثُم قَا َل َما ُك ْنت ُ ْم ت‬
‫طنا ِليَعُ ِد َل ِبنَ ْف ِس ِه ِف ْينَا ثُم‬ َ ‫س َو ْس‬ َ َ‫ص ِب َر نَ ْف ِس ْي َمعَ ُه ْم قَا َل فَ َجل‬ ْ َ ‫َجعَ َل ِم ْن أمتي َم ْن ا ُ ِم ْرتُ ا َ ْن ا‬
‫اليك‬
ِ َ ‫صع‬ َ ‫ت ُو ُج ْوهُ ُه ُم لَهُ فَقَا َل اَب ِش ُر ْوا يَا َم ْعش ََر‬ ْ َ‫قَا َل بِيَ ِد ِه َه َكذَا فَت َ َحلقُ ْوا َوبَ َرز‬
‫ف‬ ِ ‫ص‬ ْ ِ‫اس بِن‬ ِ ‫آء الن‬ ِ َ‫اج ِريْنَ بِالُّ ْنو ِر التام يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة ت َ ْد ُخلُ ْونَ ْال َجنةَ قَ ْب َل ا َ ْغنِي‬ ِ ‫ال ُم َه‬
.)‫ (رواه ابو داوود‬.ٍ‫سنَة‬ َ ‫س ِمائ َ ِة‬ ُ ‫يَ ْو ٍم َوذَلِكَ َخ ْم‬

Dari abi Sa’id al Khudri r.a., ia menceritakan, “Pernah pada suatu


ketika aku duduk dengan sekumpulan Muhajirin yang lemah. Dan sungguh,
sebagian mereka menutupi dirinya dengan sebagian lainnya agar tidak
terlihat auratnya, sedang seorang Qari membacakan (al Qur’an) kepada
kami. Tiba-tiba datanglah Rasulullah saw. lalu berdiri diantara kami.
Ketika Rasulullah saw. berdiri, Qari itu pun diam, kemudian beliau
member salam dan bertanya, ‘Apa yang sedang kamu lakukan?’ Kami
menjawab, ‘Kami sedang mendengarkan bacaan kitab Allah Swt..’ ‘Beliau
bersabda, ‘Segala puji bagi Allah Yang telah menjadikan sebagian umatku
orang-orang yang aku perintah agar bersabar bersama mereka.’ Kemudian
beliau duduk ditengah mengatur kami. Kemudian beliau berisyarat dengan
tangan beliau, ‘Melingkarlah kalian seperti ini!’ Maka wajah mereka pun
tertuju kea rah beliau. Lau beliau bersabda, ‘Bergembiralah kalian,
wahai sekalian Muhajirin yang miskin, (kalian akan mendapatkan cahaya
yang sempurna pada hari Kiamat. Kalian akan masuk Surga setengah hari
lebih dulu daripada orang-orang kaya, sedang setengah hari (akhirat)
sama dengan lima ratus tahun’.” (Abu Dawud)

‘Telanjang badan’ maksudnya adalah yang diluar batas aurat tidak


tertutupi, sebab apabila didepan umum, walaupun bukan aurat, mereka
tetap menutupinya. Oleh karena itu dimajelis tersebut mereka saling
duduk menutupi saudaranya yang tidak memiliki cukup pakaian agar badan
saudaranya itu tidak terlihat oleh orang lain. Ketika Rasulullah saw.
datang, mereka tidak segera menyadarinya karena ketawajjuhan mereka.
Mereka baru menyadarinya ketika beliau telah berada di depan mereka.

Sebagai adab, orang yang membacapun diam sejenak. Meskipun Nabi


saw.
melihat langsung bahwa mereka sedang membaca al Qur’an, beliau tetap
bertanya tentang apa yang mereka lakukan. Hal ini menunjukan betapa
kegembiraan beliau terhadap amalan mereka.

Dalam hadits diatas juga disebutkan bahwa ‘satu hari di akhirat


sebanding dengan seribu tahun dunia.’ Hal ini seperti yang difirmankan
oleh Allah Swt.,

“Sesungguhnya sehari di sisi Rabbmu adalah seperti seribu tahun dari


tahun-tahun yang kamu hitung.” (Qs. Al Hajj [22]: 47)
Inilah sebabnya, mengapa hari Kiamat sering disebut ghadam (besok).
Namun hitungan ini hanya berlaku untuk orang-orang yang beriman,
sedangkan untuk orang-orang kafir, al Qur’an telah menjelaskan:

“Satu hari kadarnya sama dengan lima puluh ribu tahun.” (Qs. Al Ma’aarij
[70]: 4)

Dan bagi kaum mu’ minin tertentu, waktu tersebut akan lebih singkat
lagi, sesuai dengan derajat masing-masing. Bahkan bagi sebagian mu’
min,
lamanya sehari di akhirat itu hanya seperti dua rakaat shalat Shubuh.

Banyak sekali riwayat yang menjelaskan keutamaan membaca al Qur’an,


dan
ada juga hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan menyimak
bacaan al Qur’an. Amalan apalagi yang dapat melebihi keutamaan ini?
Sehingga Nabi saw. sendiri diperintah agar duduk bersama mereka,
sebagaimana termakyub dalam hadits diatas.

Sebagian ulama berfatwa bahwa mendengarkan bacaan al Qur’an lebih


baik
daripada membacanya, karena membaca al Qur’an adalah sunnah,
sedang
mendengarkannya adalah wajib. Dan yang wajib itu selalu lebih tinggi
derajatnya daripada yang sunnah.

Berdasarkan hadits diatas diambil kesimpulan mengenai masalah yang


sering diperselisihkan oleh alim ulama, yaitu: Manakah yang lebih utama
antara orang fakir yang bersabar dengan kemiskinannya (tidak mengeluh
kemiskinannya kepada siapapun), dan orang kaya yang bersyukur kepada
Allah serta menunaikan kewajibannya. Hadits diatas mendukung pendapat
bahwa orang fakir yang bersabar dengan kemiskinannya adalah lebih
utama.

Hadits ke-30

‫سل َم َم ِن ا ْست َ َم َع اِلى‬ َ ‫صلّى هللاُ َعلَي ِه َو‬َ ‫هللا‬ ِ ‫س ْو ُل‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ي َع ْنهُ قَال‬ َ ‫ض‬ِ ‫َع ْن اَب ْي ه َُري َْرة َ َر‬
.‫َت لَهُ نُ ْورا يَ ْو َم ال ِقيَا َم ِة‬ ‫ه‬
ْ ‫ضا َعفَة َو َم ْن ت ََالهَا َكان‬ ‫ه‬
َ ‫سنَة ُم‬ َ ‫ت لَهُ َح‬ْ َ‫هللا ُكتِب‬
ِ ‫ب‬ ِ ‫ايَ ٍة ِم ْن ِكت َا‬
‫(رواه احمد عن عبادة بن ميسرة واختلف توثيقه عن الحسن عن ابي هريره‬
)‫والجمهور على ان الحسن يسمع عن ابي هريره‬

Dari AbuHurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,


“Barangsiapa mendengarkan satu ayat dari Kitab Allah, akan ditulis
untuknya satu kebaikan yang dilipatgandakan, dan barangsiapa
membacanya,
maka baginya nur pada hari Kiamat.” (Hr. Ahmad)

Para muhadditsin mempermasalahkan sanad hadits diatas, namun dari


segi
isinya, hadits tersebut banyak didukung oleh riwayat-riwayat lain yang
kesemuanya menyatakan bahwa mendengar bacaan al Qur’an pahalanya
sangat
besar. Bahkan ada sebagian yang menyebutkan bahwa mendengarkan
bacaan al
Qur’an lebih baik daripada membacanya. Ibnu Mas’ud r.a. menceritakan,
“Suatu ketika, Rasulullah saw. duduk diatas mimbar. Lalu beliau
bersabda, ‘Bacakanlah al Qur’an untukku!’ Aku menyahut, ‘Ya Rasulullah,
bukankah al Qur’an itu diturunkan kepada engkau, mengapa aku yang
membacakannya untuk engkau?’ Beliau bersabda, ‘Hatiku ingin
mendengarnya.’ Lalu Ibnu Mas’ud r.a. membacakannya untuk Nabi saw.,
maka
terlihatlah air mata beliau menetes membasahi mata beliau.”

Suatu ketika salim r.a., maula Hudzaifah r.a. membaca al Qur’an dan Nabi
saw. berdiri disampingnya sambil mendengarkan bacaan al Qur’an Abu
Musa
al Asy’ari r.a. dan beliau memuji bacaannya.

Hadits ke-31

‫سل َم‬
َ ‫ى هللا علي ِه َو‬
َ ‫صل‬
َ ‫هللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ضى هللاُ َع ْنهُ قَال‬
ِ ‫س ْو ُل‬ ِ ‫ع ْقبَةَ بِن َع‬
َ ‫ام ٍر َر‬ ُ ‫َع ْن‬
‫ (رواه الترمذي وابو داوود‬.‫آن َك ْالجاه ِِر بِالص َدقَ ِة َوالُ ُم ِس ِ ّر بِالص َدقَ ِة‬
ِ ‫ال َجاه ُِر بِ ْالقُ ْر‬
.)‫والنسائي والحاكم وقال صحيح على شرط البخارى‬

Dari Uqpah bin Amir r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang
yang membaca al Qur’an dengan suara keras adalah seumpama orang
yang
memberikan sedekahnya secara terang-terangan, dan orang yang
membaca al
al Qur’an dengan suara perlahan adalah seumpama orang yang
memberikan
sedekahnya secara sembunyi-sembunyi.” (Hr. Tirmidzi, Abu Daud, Nasa’I
dan Hakim).

Kadangkala bersedekah dengan terang-terangan itu lebih baik jika hal itu
dapat menimbulkan semangat bersedekah kepada orang lain atau untuk
suatu
kebaikan. Namun pada kesempatan yang lai, bersedekah dengan
sembunyi-sembunyi itu lebih baik jika dikhawatirkan akan menimbulkan
riya atau dianggap merendahkan orang lain. Demikian juga dengan
membaca
al Qur’an, kadangkala dengan suara keras itu lebih baik daripada dengan
suara perlahan, jika bacaan itu menyebabkan orang lain bergairah
membaca
al Qur’an dan menyebabkan pahala bagi orang yang mendengarnya. Dan
pada
saat yang lain, membaca dengan perlahan itu lebih baik jika dapat
mengganggu orang lain, atau dikhawatirkan riya atau karena lainnya. Oleh
karena itu, baik membaca dengan suara keras atau pelahan, keduanya
mempunyai keutamaan masing-masing. Kadangkala membaca dengan
suara keras
itu lebih sesuai, dan kadangkala membaca dengan suara pelahan lebih
sesuai.

Banyak yang berdalil bahwa membaca dengan suara pelahan itu lebih
baik,
berdasarkan hadits sedekah yang disebutkan di atas. Imam Baihaqi
menulis
dalam kitab asy Syu’abu sebuah hadits dari Aisyah r.ha., (sebagai ulama
melemakan hadits ini), “Amalan yang dikerjakan dengan sembunyi-
sembunyi
tujuh kali lipat lebih baik daripada amalan dengan terang-terangan.”
Jabir r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Janganlah membaca
al
Quran terlalu keras sehingga tercampur suara yang satu dengan suara
yang
lain.”

Umar bin Abdul Aziz r.a. melihat seseorang yang membaca al Qur’an
dengan
suara keras di dalam masjid Nabawi, maka ia menghentikannya. Tetapi
orang yang membaca itu menentangnya. Kemudian Umar bin Abdul Aziz
r.a.
berkata, “Jika kamu membacanya karena Allah, maka bacalah dengan
perlahan. Namun jika kamu membacanya karena manusia, maka
bacaanmu tidak
ada gunanya.”

Selain itu, Nabi saw. juga memerintahkan agar membaca al Qur’an dengan
suara keras. Dalam Syarah Ihya juga ditulis mengenai kedua cara
tersebut, baik dalam riwayat hadits ataupun atsar sahabat r.a..

Hadits ke-32

‫سل َم القُ ْرآنُ شَافِ هع ُمشَف هع‬ َ ‫صلى هللاُ َعلَي ِه َو‬
َ ‫َع ْن َجابِ ٍر رضي هللا هللاُ عنهُ َع ِن النبِي‬
‫طهُ اِلى‬ َ َ‫ساق‬ َ ‫ف‬
َ ‫ظ ْه ِره‬ َ ‫ِلى ْال َجن ِة َو َم ْن َجعَلَهُ خَل‬
ْ َ ‫صد هق َم ْن َجعَلَهُ ا َ َما َمهُ قَا َدهُ ا‬
َ ‫َو َما ِح هل ُم‬
.)‫مطوال وصححه‬ ّ ‫ (رواه ابن حبان والحاكم‬.‫ار‬ ِ ‫الن‬

Dari Jabir r.a. Nabi saw., beliau bersabda, “Al Qur’an adalah pemberi
syafaat yang syafaatnya diterima dan sebagai penuntut yang tuntutannya
dibenarkan. Barangsiapa menjadikan al Qur’an di depannya, maka ia akan
membawanya ke Surga dan barangsiapa meletakannya di belakang, ia
akan
mencampakannya ke dalam neraka.” (Hr.Ibnu Hibbab dan Hakim).

Hadits di atas maksudnya adalah, jika al Qur’an member syafaat kepada


seseorang, maka syafaatnya akan diterima oleh Allah. Barangsiapa yang
dibela oleh al Qur’an, maka pembelaannya dibenarkan seperti telah
dijelaskan dalam hadits ke-8 yang lalu. Barangsiapa yang memperhatikan
al Qur’an, maka al Qur’an akan mengadukan kepada Allah agar
meninggikan
derjat mereka. Barangsiapa yang berpaling dari al Qur’an, maka al Qur’an
akan menuntutnya, mengapa hak-haknya tidak ditunaikan. Barangsiapa
meletakkan al Qur’an didepannya, yakni melaksanakan perintahnya dan
menjadikannya sebagai paduan setiap perbuatannya, maka al Qur’an akan
membawanya ke dalam Surga. Dan barangsiapa meletakan al Qur’an
dibelakangnya, yakni tidak menaati ajarannya, maka ia akan dilemparkan
ke neraka.

Menurut penyusun, tidak menghiraukan al Qur’an juga tidak termasuk


meletakan al Qur’an dibelakang. Banyak hadits yang menyatakan
ancaman
bagi orang yang tidak mempedulikan al Qur’an. Dijelaskan dalam Shahih
Bukhari dengan hadits yang panjang bahwa Allah Swt. telah
memperlihatkan
sebagian siksa-Nya kepada Nabi Saw.. Di antara siksa yang diperlihatkan
kepada beliau adalah orang yang dipukulkan batu ke kepalanya dengan
sangat keras sehingga kepalanya hancur. Nabi saw. diberitahu bahwa
orang
itu telah diajari al Qur’an, tetapi ia tidak mengamalkannya pada malam
hari dan tidak mengamalkannya pada siang hari. Dan siksa itu berlansung
hingga hari kiamat.

Semoga allah dengan kelembutan-Nya melindungi kita dari azab-Nya.


Pada
dasarnya, al Qur’an adalah nikmat yang sangat agung. Siapa yang
melalaikannya, sudah sepatutnya ia mendapat siksa.

Hadits ke-33

َ ‫صلى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬


‫سل َم‬ َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ى هللاُ َع ْن ُه َما قَال‬ َ ‫ض‬
َ ‫ع َم َر َو َر‬ ِ ‫َع ْن َع ْب ِد‬
ُ ‫هللا بِ ِن‬
‫راب‬
َ ‫ام والش‬ َ َ‫صـيِا ُم َربّ ِ أِنّي َمنَ ْعتُهُ الطع‬ ّ ‫ يَقُ ْو ُل ال‬،ِ‫ان ل ِلعَ ْبد‬
ِ َ‫صـِيَا ُم َوالقُ ْرآنُ يَ ْشفَع‬
ّ ‫ال‬
‫ش ِفّعني فِي ِه‬ َ َ‫ َويَقُ ْو ُل القُ ْرآنُ َربّ ِ اِنّي ِ َمنَ ْعتُهُ الن ْو َم ِباللّ ْي ِل ف‬،‫ش ِفّعنِ ْي فِي ِه‬
َ َ‫هار ف‬
ِ ‫في الن‬
‫ (رواه أحمد وابن ابي الدنيا والطبراني في الكبير والحاكم وقال‬.‫فَيُشَفعَا َ ِن‬
.)‫صحيح على شرط مسلم‬

Dari Abdullah bin Amr r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Shaum dan al Qur’an akan memberi syafaat bagi hamba (yang
mengerjakannya). Shaum akan memohon, ‘Ya Allah, aku akan
menghalanginya
dari makan dan minum pada siang hari, maka teimalah syafaatku ini
untuknya.’ Dan al Qur’an berkata, ‘Ya Allah, aku telah menghalangi dari
tidur pada malam hari, maka terimalah syafaatku ini untuknya.’ Akhirnya
kedua syafaat itu diterima.” (Hr. Ahmad, Ibnu Abi Dunya, dan Thabrani)

Dalam kitab at Targhib ini ditulis dengan tha’am dan syarab yang artinya
makan dan minum, sebagaimana terjemahan di atas. Tetapi dalam riwayat
Hakim kata syarab ditulis syahwat, yaitu tha’am dab syahwat yang berarti
bahwa shaum itu menahan diri dari makan dan kesenangan nafsu. Hadits
ini
mengisyaratkan bahwa orang yang bershaum hendaklah menjauhkan diri
dari
kesenangan nafsu, walaupun hal itu dibolehkan, seperti bermesraan
dengan
istri dan menciumnya.
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa al Qur’an akan datang dalam bentuk
seorang pemuda, lalu berkata, “Akulah yang membuatmu bangun pada
malam
hari dan membuatmu haus pada siang hari.” Hadits ini menyatakan bahwa
seseorang hafizh al Qur’an hendaknya bangun pada malam dan membaca
al
Qur’an dalam Tahajudnya, sebagaimana telah dijelaskan hal ini dalam
berbagai ayat, misalnya:

“Dan pada sebagian malam hari shalat Tahajudlah kamu sebagai suatu
ibadah tambahan bagimu.” (Qs. Al Isra [7] :79)

“Dan pada sebagian malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbilah


kepada-Nya pada bagian yang panjang pada malam hari.” (Qs. Al Insan
76]:26)

“Mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu pada malam hari,
sedang mereka juga bersujud (shalat).” (Qs. Ali Imran [3] :113)

“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk
Rabb mereka.” (Qs. Al Furqan [25] :64)

Sebuah hadits meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. dan para sahabat


pada
seluruh malamnya sering sibuk dengan tilawat al Qur’an. Diriwayatkan
bahwa Utsman r.a. kadangkala mengkhatamkan seluruh al Qur’an hanya
dalam
satu rakaat shalat Witir. Abdullah bin Zubair r.a. sering mengkhatamkan
al Qur’an dalam satu malam. Sa’id bin Jubair rah.a. mengkhatamkan al
Qur’an dalam dua rakaat shalat di dalam Ka’bah. Tsabit al Banani rah.a.
sering mengkhatamkan al Qur’an dalam sehari semalam. Abu Harrah juga
sering melakukan demikian. Abu Syaikh Hana’I r.a. berkata, “Aku dapat
mengkhatamkan al Qur’an dua kali dalam se,alam ditambah sepuluh juz.
Bahkan jika aku mau, aku dapat mengkhatamkannya tiga kali.”
Dalam perjalanan menunaikan haji, Shalih bin Kisan rah.a.
mengkhatamkan
al Qur’an dua kali setiap malamnya. Manshur bin Zadzan rah.a. juga
mengkhatamkan al Qur’an satu kali dalam shalat Dhuha dan satu kali lagi
antara Zhuhur dan Ashar, dan selalu menghabiskan waktu malamnya
dengan
shalat Nafil. Begitu lamanya ia menangis sehingga ujung sorbannya basah
oleh ari mata. Selain mereka, masih banyak orang yang telah biasa
melakukan hal tersebut sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad bin
Nasr
dalam kitab Qiyamul Lail.

Dalam Syarh Ihya diterangkan bahwa dalam mengkhatamkan al Qur’an


para
ulama kita dahulu memiliki berbagai kebiasaan. Sebagaimana mereka ada
yang mengkhatamkan al Qur’an satu kali setiap hari sebagaimana yang
bisa
dilakukan oleh Iman Syafi’I di luar bulan Ramadhan. Ada juga yang
mengkhatamkan al Qur’an dua kali setiap hari, sebagaimana yang
dilakukan
oleh Imam Syafi’i dalam bulan Ramadhan. Demikian juga yang dilakukan
oleh Aswad, Shalih bin Kisan, Sa’id bin Jubair rah.a., dan masih banyak
lagi.

Ada juga sebagian mereka yang mengkhatamkan al Qur’an tiga kali setiap
hari, seperti kebiasaan Sulaim bin Atar rah.a., seorang tabi’in yang
mashur. Ia pernah turut serta dalam penaklukkan Mesir pada masa
sahabat
Umar r.a.. ia juga pernah diangkat sebagai penguasa Qasas oleh
Mu’awiyah
r.a.. Dan ia biasa mengkhatamkan mengkhatamkan al Qur’an tiga kali
setiap malamnya.

Imam Nawawi rah.a. menulis dalam kitab al Adzkar bahwa orang yang
biasa
mengkhatamkan al qur’an paling banyak dalam sehari semalam adalah
Ibnu
Khatib. Ia selalu mengkhatamkan al Qur’an delapan kali sehari semalam.
Ibnu Qudamah meriwayatkan dari Ahmad bin Hambal rah.a. bahwa tidak
ada
batasan dalam hal tilawat al Qur’an, hal itu bergantung kepada semangat
orang yang membacanya.

Para ahli sejarah menyebutkan bahwa Imam a’zham (Imam Hanafi rah.a.)
pernah mengkhatamkan al Qur’an 61 kali dalam sebulan Ramadhan, yaitu
satu kali pada siamh hari, satu kali pada malam hari, dan satu kali pada
shalat Tarawih.
Tetapi Rasulullah saw. bersabda, “Mengkhatamkan al Qur’an kurang dari
tiga hari, maka sulit untuk merenungkannya.” Karena alas an inilah Ibnu
Hazam rah.a. dan ulama lainnya berpendapat bahwa mengkhatamkan al
qur’an
kurang dari tiga hari adalah haram.

Menurut penyusun, hadits ini disesuaikan dengan kedaan umum, sebab


jika
hal itu dilarang, tentu tidak aka nada riwayat mengenai sebagian sahabat
yang mengkhatamkan al Qur’an kurang dari tiga hari. Sehingga jumhur
ulama berpendapat bahwa tidak ada batasan dalam mengkhatamkan al
Qur’an
, lebih atau kurang dari tiga hari tidakmasalah. Jadi dalam jangka
beberapa harisaja diperbolehkan, asalkan ia dapat mengkhatamkan
dengan
mudah.

Sebagian ulama berpendapat bahwa jangan sampai mengkhatamkan al


Qur’an
lebih dari empat puluh hari. Oleh karena itu, al Qur’an hendaklah dibaca
setidak-tidaknya kurang lebih ¾ juz setiap hari. Jika ada hari yang
tidak ditunaikan, maka hendaknya diganti keesokan harinya. Dengan
demikian, al Qur’an dapat di khatamkan dalam empat puluh hari. Sebagian
ulama berpendapat bahwa hal itu tidaklah begitu penting. Sedangkan
ulama
lainnya berpendapat bahwa mengkhatamkan al qur’an kurang dari empat
puluh hari adalah lebih baik. Pendapat ini didukung oleh beberapa hadits
Nabi saw,. diantaranya yang dikutip oleh penyusun kitab Majma’uz Zawa’id
yaitu:

“Barangsiapa mengkhatamkan al Qur’an dalam empat puluh hari, sungguh


ia
telah berlambat-lambat.”

Sebagian ulama berfatwa, al Qur’an hendaknya dikhatamkan sekali dalam


sebulan. Dan yang lebih baik lagi adalah setiap tujuh hari sekali.
Inilah kebiasaan para sahabat r.a., mereka mulai membacanya pada hari
jum’at dan setiap harinya membaca manzil selama tujuh hari, maka al
ur’an dapat dikhatamkan pada hari kamis.

Imam Abu Hanifah rah.a. berpendapat bahwa hak al Qur’an adalah


dikhatamkan dua kali dalam setahun, tidak kurang dari itu.
Sebuah hadits menyebutkan, “Jika al Qur’an dikhatamkan pada siang hari,
maka para malaikat akan mendoakan rahmat baginya pada hari itu. Jika al
Qur’an dikhatamkan pada malam hari, para malaikat akan mendoakan
rahmat
baginya pada malam itu.” Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama
menyimpulkan bahwa mengkhatamkan al Qur’an ketika musim panas
sebaiknya
dilakukan pada permulaan siang. Dan ketika musim dingin dilakukan pada
permulaan malam, agar malaikat dapat mendo’akan lebih lama.

Hadits ke-34

َ ‫هللا صلى هللاُ َعلَي ِه َو‬


‫سل َم‬ ِ ‫س ْو ُل‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫سال قَال‬ َ ‫سلَ ٍيم رضي هللا عنهُ ُم ْر‬ َ ‫َع ْن‬
ُ ‫س ِعيْد ب ِْن‬
‫ي َو َال َملَكه َو َال‬ ِ ‫هللا يَ ْو َم ال ِقيَا َم ِو ِمنَ القُ ْر‬
ٌّ ‫آن َال نَ ِب‬ َ ‫ش ِفي ٍْع ا َ ْف‬
ِ ‫ض ُل َم ْن ِزلَة ِع ْن َد‬ َ ‫َما ِم ْن‬
.)‫ (قال العراقي رواه عبد الملك بن حبيسب كذا في شرح األحياء‬.ُ‫َغي ُْره‬

Dari Sa’id bin Sulaim r.a. secara mursal bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Tidak ada pemberi syafaat (penolong) yang lebih utama derajatnya di
sisi Allah pada hari Kiamat daripada al Qur’an. Bukan Nabi, bukan
malaikat, dan bukan pula yang lain.” (Hr. Abdul Malik bin Habib-Syarah
Ihya)

Banyak riwayat yang menjelaskan bahwa al Qur’an adalah pemberi syafaat


yang syafaatnya pasti dikabulkan Allah Swt.. Semoga Allah dengan
kemulian-Nya menjadikan al Qur’an sebagai syafaat bagi kita, bukan
sebagai penuntut atau penentang kita. Al Bazzar rah.a. meriwayatkan
dalam kitab La’aali Mashnu’ah bahwa jika seseorang meninggal dunia,
sementara dirimahnya orang-orang sibuk menyediakan kain kafan dan
persiapat pengebumian, tiba-tiba ada seseorang yang sangat tampan
berdiri dikepala si mayit. Ketika kain kafan mulai dikenakan, ia berada
diantara dada dan kain kafan itu. Ketika sudah dikuburkan dan
orang-orang mulai meninggalkannya, datanglah dua malaikat, yaitu Munkar
dan Nakir yang berusaha memisahkan orang tampan itu dari mayat agar
memudahkan proses Tanya jawab. Namun orang tampan itu berkata,
“Orang
ini adalah sahabat karibku. Dalam keadaan bagaimanapun, aku tidak bisa
meningalkannya. Jika kalian ditugaskan menanyainya, lakukanlah tugas
kalian. Aku tidak akan berpisah dengannya sehingga ia dimasukkan ke
dalam Surga.” Lalu ia berpaling kepada sahabatnya dan berkata, “Aku
adalah al Qur’an yang telah engkau baca kadangkala dengan suara keras
dan kadangkala dengan perlahan. Jangan khawatir, setelah menghadapi
pertanyaan Munkar dan Nakir ini engkau tidak akan lagi mengalami
kesulitan.” Setelah para malaikat itu selesai member paetanyaan, ia
menghamparkan tempat tidur dan permadani sutera yang penuh dengan
kasturi dari Mala’il A’la. Semoga Allah dengan karunia-Nya
menganugerahkan hal itu kepada kita.

Hadits ke-35

‫ َم ْن‬:َ‫سل َم قَال‬ َ ‫صلى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬


َ ‫هللا‬ ِ ‫س ْو َل‬ ُ ‫ي هللاُ َع ْنهُ اَن َر‬ َ ‫ض‬ ِ ‫َع ْن َع ْب ِد‬
ِ ‫هللا ب ِْن َع ْم ٍرى َر‬
‫قَ َرأ القُرآنَ فَقَ ِد ا ْستَد َْر َج النُّبُوة َ بَيْنَ َج ْنب ْي ِه َغي َْر اَنَهُ َال ي ُْوحى اِلَي ِه َال يَ ْنبَ ِغ ْى‬
.ِ‫رآن ا َ ْن يَ ِج َد َم َع َم ْن َو َج َد َو َال يَ ْج َه َل َم َع َم ْن َج ِه َل َوف ْي َج ْوفِه َك َال ُم هللا‬ ِ ُ‫ب الق‬ ِ ‫اح‬ ِ ‫ص‬
َ ‫ِل‬
.)‫(رواه الحاكم وقال صحيح األسناد‬

Dari Abdullah bin Amr r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa


membaca al Qur’an, maka ia telah menyimpan ilmu kenabian diantara
kedua
lambungnya, sekalipun wahyu tidak diturunkankepadanya. Tidak pantas
bagi
hafizh al Qur’an memarahi seorang pemarah dan bertindak bodoh
terhadap
orang bodoh, sedang al Qur’an berada dalam dadanya.” (Hakim ~ at
Targhib)

Disebabkan wahyu kepada Nabi saw. telah terhenti, maka dengan


demikian
wahyu tidak akan turun lagi. Tetapi karena al Qur’an adalah Kalamullah
yang suci, maka tidak menutup kemungkinan ilmu Nubuwwah belum
tertutup.
Orang yang telah memperoleh ilmu Nubuwwah, sangat penting baginya
untuk
menunjukan akhlak mulia dan menjauhi akhlak yang buruk. Fudhail bin
‘Iyadh rah.a. berkata, “Seorang hafizh al Qur’an adalah pembawa bendera
Islam. Sangat tidak pantas baginya bercampur gaul dengan ahli maksiat
dan orang-orang yang berbuat lalai atau tidak berguna.”

Hadits ke-36

‫سل َم ث َ َالَثَةه َال‬


َ ‫صلى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫هللا‬ِ ‫س ْو ُل‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ضى هللا َع ْنهما قَال‬ ِ ‫ع َم َر َر‬
ُ ‫َع ِن اب ِْن‬
‫غ ِم ْن‬َ ‫ب ِم ْن ِمسكٍ َحتى يُ ْف َر‬ ٍ ‫اب ُه ْم َعلى َكثِي‬ ُ ‫س‬ َ ‫الح‬ ِ ‫ع األ ْكبَ ُر َو َال يَنَال ُه ُم‬ُ َ‫يَ ُه ْولُ ُه ُم ْالفَز‬
ٍ‫ض ْونَ َو َداع‬ ِ ‫ق َر ُج هل قَرأ َ القُرآنَ ا ْب ِتغَآ ْ َء َوجْ ِه‬
ُ ‫هللا َواَم قَ ْوما َو ُه ْم ِب ِه َرا‬ ِ ِ‫ب الخَالئ‬ ِ ‫سا‬ َ ‫ِح‬
‫ (رواه‬.‫سنَ فِ ْي َما بَ ْينَهُ َوبَيْنَ َم َوا ِلي ِه‬ َ ْ‫هللا َو َر ُج هل اَح‬
ِ ‫ت ا ْبتِغآء وجْ ِه‬ ِ ‫ع ْونَ إلى الصلوا‬ ُ ‫يَ ْد‬
.)‫الطبراني في معاجم الثالثة‬

Dari Ibnu Umar r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Tiga orang yang tidak
akan mengalami ketakutan pada hari yang sangat menakutkan dan mereka
tidak akan dihisab, mereka berada diatas tumpukan kasturi hingga selesai
hisab terhadap semua manusia: (1) Seseorang yang membaca al Qur’an
semata-mata mengharap ridha allah, dan ia mengimami suatu kaum
sedang
mereka menyukainya; (2) Da’I yang mengajak shalat semata-mata
mengharap
ridha Allah Swt.; (3) Orang yang menjaga hubungan baik antara ia dengan
tuannya dan antara ia dengan bawahannya.” (Hr. Thabrani ` al Mu’jamuts
Tsalatsah).

Adakah seorang muslim yang tidak menyadari, bahkan tidak memikirkan


tentang kehebatan, kesedihan, kengerian, bencana, dan kesusahan hari
Kiamat? Jika ada sesuatu yang dapat membuat kita tenang dari bencana
hari Kiamat, maka hal itu lebih berharga daripada beribu-ribu kenikmatan
dan berjuta-juta kesenangan. Sungguh ia telah mendapat kebahagiaan
yang
sangat besar apabila ketenangan itu ditambah dengan kegembiraan dan
kesenangan.

Sungguh celaka dan merugi orang yang mengira bahwa membaca al


Qur’an
adalah perbuatan sia-sia dan membuang-buang waktu. Tertulis dalam
Mu’jiam al Kabir bahwa perawi pertama dalam hadits di atas ialah
Abdullah bin Umar r.huma. yang ia mengatakan, “Apabila aku tidak
mendengar hadits ini dari Rasulullah saw. sekali lagi, sekali lagi,
sekali lagi, sekali lagi, (diulang sampai 7 kali), maka aku tidak akan
meriwayatkannya.”

Hadits ke-37

ٍ ‫ يَا اَبَا ذَ ّر‬:‫وسلم‬َ ‫صلى هللا عليه‬ َ ‫هللا‬ ِ ‫س ْو ُل‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ضى هللاُ َع ْنهُ قَال‬ ِ ‫َع ْن اَب ْي ذَ ٍر َر‬
‫صلي ِمائَةَ َر ْكع ٍة َو َالَ ْن ت َ ْغد َُو َوتَعَل َم‬ َ ُ ‫هللا َخي هْر ِم ْن ت‬
ِ ‫ب‬ ِ ‫َالَ ْن ت َ ْغ ُد َوفَتَعَل َم آيَة ِم ْن ِكت َا‬
‫ (رواه ابن‬.ٍ‫الف َر ْكعة‬ َ ‫صلّي‬ َ ُ ‫ع ِم َل بِ ِه ا َ َو لَ ْم يُ ْع َم ُل بِ ِه َخي هْر ِم ْن ا َ ْن ت‬
ُ ‫علم‬ِ ‫بابا ِمنَ ا ِل‬
.)‫ماجه باسناد حسن‬

Dari Dzar r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Abu Dzar, Sesungguhnya
kepergianmu padapagi hari untuk mempelajari satu ayat dari kitab Allah
itu lebih baik bagimu dari pada kamu Shalat seratus rakaat. Dan
sesungguhnya kepergianmu pada pagi hari untuk mempelajari satu bab
dari
ilmu, baik diamalkan atau tidak, itu lebih baik bagimu daripada shalat
seribu rakaat.” (Hr. Ibnu Majah)

Banyak riwayat hadits yang menyebutkan bahwa menuntut ilmu itu lebih
utama dari pada ibadah. Selain hadits diatas, masih banyak hadits
lainnya mengenai keutamaan menuntut ilmu yang tidak dapat dijelaskan
seluruhnya disini. Di antaranya ialah sabda Nabi saw., “Keutamaan
seseorang alim dibanding seorang ahli ibadah adalah seperti keutamaanku
terhadap orang yang paling rendah diantara kalian.” Sabda beliau
lainnya, “Satu orang alim lebih berat bagi syetan daripada seribu orang
ahli ibadah.”

Hadits ke-38

َ ‫سل َم َم ْن قَ َرأ‬
َ ‫صلى هللاُ علي ِه َو‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ى هللاُ َع ْنهُ قَال‬
ِ ‫س ْو ُل‬
َ ‫هللا‬ َ ‫ض‬ِ ‫َع ْن أبِي ه َُري َْرة َ َر‬
.)‫ (رواه الحاكم وقال صحيح‬. َ‫ت في ِ لَ ْيلَ ٍة لَ ْم يُ ْكتَبْ ِمنَ الغَافِ ِليْن‬ ٍ ‫َع ْش َر ايَا‬

Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa membaca


sepuluh ayat pada malam hari, maka pada ia tidak akan dicatat dalam
golongan orang-orang yang lalai.” (Hr. Hakim, shalih menurut syarat
Muslim).
Hadits ke-39

َ ‫ظ على‬
‫هؤآل ِء‬ َ َ‫سل َم َم ْن َحف‬ َ ‫س ْو ُل هللاُ َعلَي ِه َو‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ي هللاُ َع ْنهُ قَال‬
َ ‫ض‬ ِ ‫َع ْن اَبي ه َُري َْرة َ َر‬
َ ِ‫ت لَ ْم يُكتَبْ ِمنَ الغَا ِف ِليْنَ َو َم ْن قَ َراْ َء في ِ لَ ْيلَ ٍة ِمائَةَ آيَ ٍة ُكت‬
َ‫ب ِمن‬ ِ ‫ت ال َم ْكت ُ ْوبَا‬
ِ ‫الصلوا‬
.)‫ (رواه ابن خزيمه في صحيحه والحاكم وقال صحيح على شرطها‬. َ‫القَانِتِيْن‬

Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa menjaga


shalat-shalat fardhu, maka tidak akan dicatat dalam golongan orang-orang
yang lalai. Dan barangsiapa membaca seratus ayat pada malam hari,
maka
ia akan dicatat dalam golongan orang-orang yang taat.” (Hr. Ibnu
Khuzaimah, Hakim, Shahih menurut syarat Bukhari Muslim).

Hasan Basri rah.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,


“Barangsiapa membaca seratus ayat al Qur’an pada malam hari, maka ia
akan diselamatkan dari tuntutan al Qur’an. Barangsiapa membaca dua
ratus
ayat, maka akan mendapat pahala ibadah sehari semalam dan
barangsiapa
membaca lima ratus sampai seribu ayat, maka akan mendapatkan satu
qinthar.” Sahabat bertanya, “Apakah qinthar itu?” beliau bersabda,
“senilai 12.000 (dirham atau dinar).”

Hadits ke-40

‫هللا صلى‬ ِ ‫س ْو ِل‬ ُ ‫ نَزَ َل ِجب ِْري ُل َعلَ ْي ِه السال ُم َعلى َر‬:‫اس َرضى هللا عن ُهما قال‬ ٍ ‫َع ِن اب ِْن َعب‬
َ ْ ْ ُ َ َ
‫ قا َل ف َما ال ُمخ َر ُج ِمنها يَا ِجب ِْر ْي ُل قا َل‬،‫ستَكَونُ فِت هَن‬ َ ْ َ َ
َ ُ‫سل َم فاخبَ َرهُ انه‬ َ
َ ‫هللاُ َعلي ِه َو‬
.)‫ (رواه رزين كذا في الرحمة المهداة‬.ِ‫َاب هللا‬ ُ ‫ِكت‬

Dari Ibnu Abbas r.a., ketika Jibril mengabarkan kepada Nabi saw. Bahwa
akan terjadi banyak fitnah. Beliau bertanya, ‘Apakah jalan keluar
darinya, wahai Jibril?’ Jawab Jibril, “Kitabullah.” (Razin – Ar Rahmatul
Muhdah).

Mengamalkan isi al Qur’an akan menjauhkan diri kita dari fitnah, dan
keberkahan dari membacanya dapat menyelamatkan kita dari fitnah.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits ke-22, bahwa rumah yang
didalamnya dibacakan al Qur’an, maka sakinah dan rahmat akan turun
kedalam rumah itu, dan syetan-syetan akan keluar dari rumah itu.
Para ulama menafsirkan bahwa maksud fitnah di sini adalah kemunculan
Dajjal, kekejaman bangsa Tartar, dan lain-lain. Ali karamallahu wajhah
juga meriwayatkan hadits seperti itu dengan panjang lebar. Ali r.a,
memerintahkan bahwa Nabi Yahya a.s. berkata kepada Bani Israil, “Allah
telah memerintahkan kalian agar membaca kalam-Nya. Dan
perumpamaannya
adalah seperti suatu kaum yang terpelihara dalam bentengnya, sehingga
dari manapun musuh menyerang, maka kalian akan dapati kalimat Allah
sebagai penjaga dan pelindung dari mereka.”

Syaikhul hadits Maulana Zakariya Al Kandahlawi hafidzahullah


rahimahullah
Kitab Fadhilah Amal Bab Fadhilah Al Quran

Ya Allah siapa saja yang membaca, niat mengamalkan, menyampaikan


fadhilah quran ini mudahkanlah langkah kaki nya menuju baitullah bersama
keluarganya

Kumpulan Hadits Keutamaan Membaca Al-Qur`an

Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada


Rasulullah saw melalui perantara malaikat Jibril as yang dimulai dari
surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas yang membacanya
adalah ibadah.
Ia adalah kitab suci kaum muslimin yang bersumber dari Allah swt. Ia
adalah landasan hukum Islam dan pedoman hidup bagi manusia. Al-Qur’an
merupakan kitab yang sangat istimewa lagi paripurna yang membacanya
adalah ibadah yang sangat mulia dan mempunyai keutamaan yang luar
biasa
antara lain;

Allah swtakan melipatgandakan pahala bagi pembacanya

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

َ ‫ٌللا صلى هللا عليه وسلم (( َم ْن قَ َرأ‬ ِ ‫سو ُل‬ ُ ‫ قَا َل َر‬،ُ‫ٌللا بْنَ َم ْسعُو ٍديَقُول‬ ِ ‫َع ْن َعبْد‬
‫ف َولَ ِك ْن‬ ْ ‫سنَةُ بِعَ ْش ِر أ َ ْمثَا ِل َها الَ أَقُو ُل الم‬
‫حر ه‬ َ ‫سنَةه َو ْال َح‬
َ ‫ٌللا فَلَهُ بِ ِه َح‬
ِ ‫ب‬ ِ ‫َح ْرفا ِم ْن ِكت َا‬
))‫ف‬ ‫ف َوالَ هم َح ْر ه‬
‫ف َو ِمي هم َح ْر ه‬ ‫ف َح ْر ه‬ ‫أ َ ِل ه‬

Abdullah bin Mas’ud rd berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam


bersabda: “Barang siapa membaca satu huruf dari Al-Qur`an, maka
baginya
satu kebaikan dengan bacaan tersebut, dan satu kebaikan dilipatkan
menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan ‫الم‬satu
huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu
huruf.”(HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’)

Membaca Al-Quran akan mendatangkan kebaikan bagaimanapun


bacaannya

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

‫ٌللا صلى هللا عليه وسلم(( ْال َماه ُِر‬ ِ ‫سو ُل‬ ُ ‫ت قَا َل َر‬ ْ َ‫شةَ رضى هللا عنها قَال‬ َ ِ‫َع ْن َعائ‬
ْ ُ ْ ْ ِ ‫ِب ْالقُ ْر‬
‫آن َم َع السفَ َرةِ ال ِك َر ِام البَ َر َرةِ َوالذِى يَ ْق َرأ القُ ْرآنَ َويَتَت َ ْعت َ ُع فِي ِه َوه َُو َعلَ ْي ِه‬
))‫ان‬ ِ ‫َاق لَهُ أَجْ َر‬
ٌّ ‫ش‬

Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu


‘Alaihi Wasallam: “Seorang yang lancar membaca Al Qur`an akan bersama
para malaikat yang mulia dan senantiasa selalu taat kepada Allah, adapun
yang membaca Al Qur`an dan terbata-bata di dalamnya dan sulit atasnya
bacaan tersebut maka baginya dua pahala.” (HR. Muslim).

Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang membaca


al-Qur`an

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

ِ ‫ٌللا صلى هللا عليه وسلم ((إِن ٌللاَ يَ ْرفَ ُع بِ َهذَا ْال ِكت َا‬
‫ب‬ ُ ‫ قَا َل َر‬،َ‫َع ْنعُ َم ُر قَال‬
ِ ‫سو ُل‬
(( َ‫ض ُع بِ ِه آخ َِرين‬ َ َ‫أ َ ْق َواما َوي‬

Dari `Umar rd berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:


“Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suatu kaum dengan Kitab ini
(Al-Qur`an) dan Allah merendahkan kaum yang lainnya (yang tidak mau
membaca, mempelajari dan mengamalkan Alquran).” (HR Muslim).

Al-Quran akan memberi syafaat bagi pembacanya di hari kiamat.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

‫ٌللا صلى هللا عليه‬ ِ ‫سو َل‬ ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬ َ ‫ى رضى هللا عنه قَا َل‬ ُّ ‫َع ْن أَبي أ ُ َما َمةَ ْالبَا ِه ِل‬
َ ‫وسلميَقُو ُل « ا ْق َر ُءوا ْالقُ ْرآنَ فَإِنهُ يَأْتِى يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة‬
ْ َ ‫ش ِفيعا أل‬
((‫ص َحا ِب ِه‬
“Abu Umamah Al Bahily berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Bacalah Al-Qur`an karena
sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at
bagi orang yang membacanya.” (HR. Muslim).

Inilah diantara hadits-hadits seputar keutamaan membaca al-Qur'an,


Semoga menjadi motivasi bagi kita semua dalam meningkatkan kualitas
interaksi kita dengan al-Qur'an, sehingga bisa meraih berbagai keutamaan
yang dijanjikan oleh Rasulullah saw.

FADHILAH QUR'AN

MUQADDIMAH

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan manusia dan mengajarkan
kepadanya penjelasan, dan menurunkan kepadanya Al Qur’an sebagai
sumber nasihat, obat, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman. Tidak ada keraguan dan tidak ada penyelewengan di dalamnya.
Dia menurunkan Al Qur’an sebagai penguat, pembeladan nur bagi orang-
orang yang memiliki
keyakinan. Shalawat dan salam yang sempurna dilimpahkan ke atas
makhluk
yang paling sempurna dari golongan manusia dan jin, yang nurnya
menerangi hati dan kubur manusia. Kedatangannya merupakan rahmat
untuk
seluruh alam. Semoga shalawat dan salam terlimpah ke atas keluarganya
dan kepada para shababatnya. Mereka adalah bintang – bintang hidayah,
penyebar kitabullah. Semoga terlimpah juga ke atas orang-orang yang
mengikuti mereka dengan penuh keimanan.

Bab I Empat Puluh Hadits Mengenai Keutamaan Al Qur'an

*Hadits ke-6*

Dari Abu Musa r.a., Rasulullah saw. bersabda,” Perumpamaan orang


mukmin
yang membaca Al Qur’an seperti jeruk manis, baunya harum, rasa enak.
Perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca Al Qur’an seperti
kurma,
tidak harum tetapi rasanya manis. Perumpamaan orang munafiq yang
membaca
Al Qur’an seperti bunga raihan, baunya harum tetapi rasanya pahit. Dan
perumpamaan orang munafiq yang tidak membaca Al Qur’an seperti buah
pare, tidak berbau dan rasanya pahit.” ( Hadits Riwayat Bukhari, Muslim,
Nasa’i, Tirmidzi )

Penjelasan:

Maksud hadits di atas adalah menunjukkan perbandingan antara sesuatu


yang abstrak dengan yang nyata, sehingga dapat lebih mudah dibedakan
antara orang yang membaca Al Qur’an dengan yang tidak membacanya.
Padahal jelas bahwa kelezatan tilawah Al Qur’an jauh berbeda dengan
kelezatan apa pun di dunia ini, seperti jeruk dan kurma. Tetapi banyak
rahasia di balik analogi hadits di atas yang menjadi saksi terhadap
luasnya ilmu Nubuwwah dan keluasan pemahaman Nabi saw. Misalnya:
Jeruk
mengharumkan mulut, menguatkan pencernaan, membersihkan lambung
dan
sebagainya. Semua manfaat itu secara khusus juga dihasilkan oleh
pembaca
Al Qur’an, yaitu mewangikan mulut, membersihkan batin dan menguatkan
keruhanian. Salah satu keistimewaan buah jeruk/ limau lainnya adalah
bahwa jin tidak dapat memasuki rumah yang di dalamnya terdapat jeruk.
Jika hal ini benar, ini merupakan keserupaan khusus pada Al Qur’an.
Pernah juga didapat suatu keterangan dari paramedis bahwa buah jeruk
dapat menguatkan ingatan. Dan menurut Ali r.a. dalam Kitab Al Ihya
disebutkan bahwa 3 hal dapat menguatkan ingatan; 1) Bersiwak, 2) Puasa,
3) Membaca Al Qur’an.

Dalam penutup hadits di atas, dalam riwayat Abu Dawud disebutkan


bahwa
sahabat yang baik adalah seperti penjual minyak kasturi. Meskipun tidak
memiliki kasturi, jika berdekatan dengannya akan mendapatkan wanginya.
Sahabat yang buruk adalah seperti tukang pandai besi. Meskipun tidak
terkena apinya, namun jika berdekatan dengannya akan terkenan asapnya.
Oleh sebab itu sangat penting untuk diperhatikan siapakah sahabat dan
teman bergaul kita.
Bab I Empat Puluh Hadits Mengenai Keutamaan Al Qur'an

*Hadits ke-5*

Dari Ibnu Umar r.huma, Rasulullah saw. Bersabda, “ Tidak dibenarkan


hasad ( iri hati ), kecuali terhadap dua orang: Seseorang yang
dikaruniai Allah ( kemampuan menghafal/ membaca ) Al Qur’an, lalu ia
membacanya malam dan siang hari. Dan seseorang yang dikaruniai harta
oleh Allah, lalu ia menginfaqkannya malam dan siang hari. “ ( Bukhari,
Muslim, Tirmidzi, Nasa’I ).

Penjelasan

Pada umumnya banyak dinukilkan dalam Al Qur’an dan hadits mengenai


keburukan hasad/ iri hati, yang hukumnya mutlak dilarang. Sedangkan
menurut hadits di atas, ada dua jenis orang yang kita dibolehkan hasad
kepadanya. Disebabkan demikian banyak riwayat terkenal mengenai
keharamannya, maka alim ulama menjelaskan hasad dalam hadits ini
dengan
dua maksud:
1. Hasad dengan makna risyk, yang dalam bahasa Arab disebut ghibthah.
Adapun perbedaan antara hasad dan ghibthah adalah: Hasad ialah jika
seseorang mengetahui ada orang lain yang memiliki sesuatu, maka ia ingin
agar sesuatu itu hilang dari orang tersebut, baik ia mendapatkannya atau
tidak. Sedangkan ghibthah ialah seseorang yang ingin memiliki sesuatu
secara umum, baik orang lain kehilangan ataupun tidak. Oleh karena itu,
secara ijma’, hasad adalah haram. Dan alim ulama mengartikan makna
hadits di atas sebagai ghibthah yang dalam urusan keduniaan dibolehkan,
sedangkan dalam masalah agama adalah mustahab ( lebih disukai ).
2. Mungkin juga maksudnya digunakan sebagai pengandaian, yaitu
seandainya hasad itu boleh, maka hasad terhadap dua hal di atas tentu
dibolehkan.

Bab I Empat Puluh Hadits Mengenai Keutamaan Al Qur'an

*Hadits ke-4*
Dari Aisyah r.ha., Rasulullah saw. Bersabda, “ Orang yang ahli dalam Al
Qur’an akan bersama para malaikat pencatat yang mulia lagi benar. Dan
orang yang terbata-bata membaca Al Qur’an serta bersusah payah (
mempelajarinya ), maka baginya pahala dua kali ( Bukhari, Muslim, Abu
Dawud ).

Penjelasan:

Yang disebut “ orang yang ahli dalam Al Qur’an’ adalah orang yang hafal
Al Qur’an dan senantiasa membacanya, apalagi dengan memahami arti
dan
maksudnya. Dan yang dimaksud ‘bersama-sama malaikat’ adalah ia
termasuk
golongan yang memindahkan Al Qur’anul Karim dari Lauhul Mahfudz dan
menyampaikan kepada orang lain melalui bacaannya. Dengan demikian,
keduanya memiliki pekerjaan yang sama. Juga dapat berarti : Ia akan
bersama para malaikat pada hari mahsyar nanti. Dan orang yang
terbata-bata membaca Al Qur’an akan memperoleh dua pahala: satu
pahala
karena bacaannya dan satunya lagi karena kesungguhannya mempelajari
Al
Qur’an berkali-kali. Tetapi, bukan berarti pahalanya akan melebihi
pahala ahli Al Qur’an. Orang yang ahli membaca Al Qur’an tentu akan
memperoleh derajat yang istimewa, yaitu bersama para malaikat khusus.
Maksud yang sebenarnya, bahwa dengan bersusah payah mempelajari Al
Qur’an akan menghasilkan pahala ganda, sehingga tidak semestinya kita
meninggalkan bacaan Al Qur’an, walaupun menghadapi kesulitan dalam
membacanya.

Mulla Ali Qari rah meriwayatkan dari Thabrani rah dan Baihaqi rah, “
Barangsiapa membaca Al Qur’an sedangkan ia tidak hafal, maka ia akan
memperoleh pahala dua kali lipat. Dan barangsiapa benar-benar ingin
menghafal Al Qur’an tetapi tidak mampu, tetapi ia terus membacanya,
maka
Allah swt akan membangkitkannya pada hari mahsyar dengan para hafiz Al
Qur’an.

Bab I Empat Puluh Hadits Mengenai Keutamaan Al Qur'an

*Hadits ke-3*
Dari Uqbah bin Amir r.a., ia berkata, “ Rasulullah saw keluar dan
menemui kami di shuffah. Beliau bersabda, “ Siapakah di antara kalian
yang suka setiap pagi pergi ke pasar Buthan atau Aqiq, kemudian pulang
membawa dua ekor unta betina yang berpunuk besar tanpa berbuat dosa
atau
memutuskan silaturahmi?’ Maka kami menjawab, ‘ Ya Rasulullah, setiap
kami menyukainya.’ Sabda Beliau, ‘Mengapa salah seorang dari kalian
tidak pergi pada pagi hari ke masjid lalu belajar atau membaca dua ayat
Al Qur’an ( padahal ) itu lebih baik baginya daripada dua ekor unta
betina, tiga ayat lebih baik daripada tiga ekor unta betina, empat ayat
lebih baik daripada empat ekor unta betina dan seterusnya, sejumlah ayat
yang dibaca mendapat sejumlah unta yang sama.” ( Muslim, Abu Dawud ).

Penjelasan:

Shuffah adalah sebuah lantai khusus di Masjid Nabawi, tempat orang-


orang
miskin Muhajirin tinggal di sana. Jumlah shahabat ahlush-shuffah selalu
berubag dari waktu ke waktu. Allamah As-Suyuthi rah telah menulis
seratus satu nama shahabat yang tinggal di suffah dan ia menulis tentang
mereka di dalam risalah tersendiri. Sedangkan Buthan dan Aqiq adalah
nama dua tempat di Madinah sebagai pasar perdagangan unta. Orang
Arab
sangat menyukai unta, terutama unta betina yang berpunuk besar.

Maksud ‘tanpa berbuat dosa’ adalah tanpa suatu usaha. Bukan


sebagaimana
harta seseorang yang dapat bertambah banyak melalui pemerasan atau
mencuri dari orang lain, atau dari merampas warisan sesama saudara.
Oleh
sebab itu, Rasulullah saw menafikkan semua cara itu, yaitu tanpa
bersusah payah sama sekali atau berbuat dosa. Semua orang tentu
senang
memperolehnya, tetapi disebutkan bahwa mempelajari beberapa ayat Al
Qur’an itu lebih baik dan lebih utama daripada mendapatkan semua itu.
Hendaknya kita meyakini bahwa seekor atau dua ekor unta sama sekali
tidak sebanding, bahkan walaupun dibandingkan dengan satu kerajaan
seluas tujuh benua, semua pasti akan ditinggalkan. Jika bukan hari ini,
tentu pada hari esok, ketika maut menjemput, pasti semuanya terpaksa
harus berpisah. Sebaliknya pahala membaca satu ayat Al Qur’an akan
bermanfaat selama-lamanya. Dalam urusan keduniaan kita dapat
menyaksikan
bahwa seseorang yang diberi satu rupiah tanpa beban tanggung jawab
apapun, akan lebih senang daripada dipinjami seribu rupiah agar disimpan
olehnya, tetapi kelak akan diambil kembali lagi karena ia terbebani
amanah tanpa mendapatkan manfaat apapun.

Inti maksud hadits di atas adalah mengingatkan kita akan perbandingan


sesuatu yang fana dengan yang abadi. Ketika seseorang diam atau
bergerak, hendaknya selalu berpikir apakah dirinya sedang berbuat
sesuatu yang sementara dan sia-sia, atau sesuatu yang kekal dan
bermanfaat? Betapa rugi waktu yang hanya digunakan untuk mencari
bencana
yang abadi. Kalimat terakhir dalam hadits di atas menyebutkan bahwa
jumlah yang sama tetap lebih utama daripada jumlah untanya. Kalimat itu
mengandung tiga maksud, yaitu:
1. Hanya sampai jumlah empat. Masalah ini telah dijelaskan dengan
terperinci. Dan selebihnya disebutkan secara umum bahwa semakin
banyak
ayat itu dibaca, akan lebih utama daripada sejumlah unta yang sama.
Adapun unta yang dimaksud adalah semua jenis unta, baik jantan maupun
betina. Disebutkan hingga jumlah keempat agar dapat dibayangkan
bagaimana jika lebih dari empat.
2. Jumlahnya sama dengan yang disebutkan dalam hadits di atas, tetapi
untanya bergantung pada selera masing-masing. Ada yang menyukai unta
betina, ada yang menyukai unta jantan. Oleh sebab itu, Nabi saw
menegaskan bahwa satu ayat lebih berharga daripada seekor unta betina.
Jika seseorang menyukai unta jantan, artinya satu ayat lebih baik
daripada seekora unta jantan.
3. Keterangan di atas hanya untuk jumlah tersebut, tidak lebih dari
empat. Jika dibandingkan dengan maksud kedua, maka bukan saja lebih
baik
daripada unta betina atau jantan, tetapi lebih baik daripada keduanya.
Jelasnya, membaca satu ayat lebih baik daripada sepasang unta jantan
dan
unta betina. Demikianlah seterusnya, setiap ayat lebih utama daripada
sepasang unta. Ayah Maulana Zakariyya ( Nawwarullah Marqodahu ) lebih
menyetujui pendapat ini, sebab lebih banyak keutamaannya. Walaupun
demikian, tetap tidak dapat disamakan antara membaca satu ayat Al
Qur’an
dengan satu ekor atau dua ekor unta, ini sekedar peringatan dan contoh.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa satu ayat Al Qur’an akan memperoleh
pahala abadi yang lebih utama dan lebih baik daripada kerajaan seluas
tujuh benua yang fana ini.

Mulla Ali Qari rah menulis tentang seorang syaikh yang sedang bersafar.
Ketika tiba di Jeddah, ia diminta oleh para pengusaha kaya agar tinggal
lebih lama di tempat mereka, agar dengan keberkahan syaikh, harta dan
perniagaan mereka mendapat keuntungan. Maksudnya, para pelayan
syaikh
juga akan mendapatkan bagian dari keuntungan perniagaannya tersebut.
Pada mulanya syaikh menolak tawaran mereka, tetapi setelah didesak
terus, akhirnya syaikh berkata, “ Berapakah keuntungan tertinggi dari
perniagaan kalian?” Jawab mereka,” Penghasilan kami berbeda,
setidaknya
kami mendapatkan keuntungan dua kali lipat.” Kata syaikh, “ Kalian telah
bersusah payah untuk mendapatkan keuntungan yang sedikit. Aku tidak
menghendaki keuntungan yang sedikit ini, sehingga harus kehilangan
shalatku di Masjidil Haram, yang pahalanya dilipatgandakan sampai
seratus ribu kali lipat.”

Pada hakikatnya, kaum muslimin hendaknya memikirkan betapa mereka


telah
mengorbankan keuntungan agama demi mendapatkan keuntungan dunia
yang
sedikit ini.

Bab I Empat Puluh Hadits Mengenai Keutamaan Al Qur'an

Hadits ke-2

Dari Abu Sa’id r.a., bersabda Rasulullah saw, “ Rabb Tabaraka wa Ta’ala
berfirman,’ Barangsiapa disibukkan dengan Al Qur’an daripada berdzikir
dan berdoa kepada-Ku, niscaya Aku berikan kepadanya sesuatu yang
terbaik
yang Aku berikan kepada orang yang meminta kepada-Ku. Dan keutamaan
Kalamullah terhadap kalam lainnya seperti keutamaan Allah terhadap
makhluk-Nya. “ ( Tirmidzi, Darami, Baihaqi )

Penjelasan:
Seseorang yang sibuk menghafal, mempelajari atau memahami Al Qur’an
sehingga ia tidak sempat berdoa, maka Allah swt akan memberinya
sesuatu
yang lebih utama daripada yang telah diberikan kepada orang yang
berdoa.
Sebagaimana dalam urusan keduniaan, jika seseorang akan membagikan
kue
atau makanan kepada orang banyak, lalu ia memilih seseorang untuk
membagikannya. Maka bagian kue untuk orang yang bertugas
membagikan,
akan disisihkan terlebih dahulu. Mengenai kesibukkan orang yang selalu
membaca Al Qur’an, telah disebutkan di dalam hadits lain bahwa Allah swt
akan mengaruniakan kepadanya pahala yang lebih baik daripada pahala
orang yang selalu bersyukur.

Anda mungkin juga menyukai