Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

Demam Tifoid

Pembimbing:
dr. Nyayu Tri Yeni, Sp.PD

Disusun Oleh :
Fahira Adipramesti (1102015068)
Melani Oktavia (1102015131)
Yudha Ayatullah Khumaini (1102015248)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I R. SAID SUKANTO
PERIODE 8 APRIL 2019 – 22 JUNI 2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi dengan gejala utama demam, gangguan saluran
perncernaan, serta gangguan susunan saraf pusat/kesadaran. Demam tifoid
merupakan masalah kesehatan yang penting di negara berkembang. Hal ini karena
ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik belum dimiliki oleh
sebagian besar negara berkembang.
Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang
berusia 3-19 tahun. Demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga,
yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya
sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan
tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah.
Pada permulaan penyakit, biasanya tidak tampak gejala atau keluhan dan
kemudian timbul gejala atau keluhan seperti demam sore hari dan serangkaian
gejala infeksi umum dan pada saluran cerna. Diagnosis demam tifoid ditegakkan
berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan tambahan dari laboratorium. Terapi
untuk demam tifoid meliputi istirahat, pemberian anti-mikroba, antipiretika, serta
nutrisi dan cairan yang adekuat.

1.2 Tujuan
Referat ini akan membahas tentang demam tifoid. Dengan mengetahui dan
memahami demam tifoid, dapat dilakukan diagnosis, pengobatan, dan pencegahan
yang tepat.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi dengan gejala utama demam, gangguan saluran
perncernaan, serta gangguan susunan saraf pusat/kesadaran (Nelwan, 2012;
Soemarmo et al, 2015).

2.2 Epidemiologi
Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara
berkembang. (Soedarmo et al, 2015). Hal ini karena ketersediaan air bersih dan
sistem pembuangan yang baik belum dimiliki oleh sebagian besar negara
berkembang.
Insidens demam tifoid yang tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia Tengah,
Asia Selatan, Asia Tenggara dan kemungkinan Afrika Selatan (insidens >100 kasus
per 100.000 populasi per tahun). Insiden demam tifoid yang tergolong sedang (10-
100 kasus per 100.000 populasi per tahun) berada di wilayah Afrika, Amerika Latin
dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah
(<10 kasus per 100.000 per tahun) di bagian dunia lainnya (Widodo, 2016).
Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang
berusia 3-19 tahun. Demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga,
yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya
sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan
tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah (Nelwan, 2012).

2.3 Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri
gram negatif, flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, dan
fakultatif anaerob. Salmonella typhi mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dinding sel dan
2
dinamakan endotoksin (Soedarmo et al, 2015). Demam tifoid
disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari
Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak
membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela (bergerak
dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu
di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan ebu. Bakteri ini dapat
mati deng20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi (Rahayu
E., 2013).
Manusia terinfeksi Salmonella typhi secara fekal-oral. Tidak selalu
Salmonella typhi yang masuk ke saluran cerna akan menyebabkan
infeksi karena untuk menimbulkan infeksi, Salmonella typhi harus dapat
mencapai usus halus. Salah satu faktor penting yang menghalangi
Salmonella typhi mencapai usus halus adalah keasaman lambung. Bila
keasaman lambung berkurang atau makanan terlalu cepat melewati
lambung, maka hal ini akan memudahkan infeksi Salmonella typhi
(Salyers dan Whitt, 2002).

Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu:

1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari


tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida
atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan
alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.

2. Antigen H (Antigen flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae atau


pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein
dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan
alkohol yang telah memenuhi kriteria penilaian.

3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang


dapat melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan

3
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut
aglutinin (Sudoyo A.W., 2010).

2.4 Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi. Sebagian kuman
dimunaskah dalam lambung, sebagian dapat lolos ke dalam usus dan berkembang
biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman
akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia.
Di mana lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag, dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui ductus torasikus kuman
yang terdapat di dalam makrofag masuk ke sirkulasi darah dan mengakibatkan
bakteremia I yang bersifat asimtomatik lalu menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke sirkulasi darah kembali mengakibatkan
bakteremia II dengan disertai tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, karena
makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif, maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbukan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, myalgia,
sakit kepala, sakit perut, gangguan vaskular, mental, dan koagulasi.
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (Salmonella typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat

4
terjadi akibat erosi pembuluh darah saluran sekitar plak Peyeri yang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di
dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler,
pernapasan, dan gangguan organ lainnya (Widodo, 2016).

2.5 Manifestasi klinis


Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari dan bersifat
asimtomatis. Pada minggu pertama ditemukan keluhan gejala infeksi seperti
demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau
diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan suhu badan yang meningkat perlahan-lahan terutama pada sore hingga
malam hari. Dalam minggu kedua gejala ditemukan lebih jelas, yaitu demam,
bradikardi relatif (bradikardi relatif adalah peningkatan suhu 1℃ tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah,
tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus,
gangguan mental berupa somnolen, sopor, koma, delirium atau psikosis.Roseolae
jarang ditemukan pada orang Indonesia (Widodo, 2016).

2.6 Diagnosis
Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat bermanfaat
untuk mendapatkan hasil yang cepat dan optimal sehingga dapat mencegah
terjadinya komplikasi (Nelwan, 2012).
1. Anamnesis
Pada anamnesis ditemukan adanya gejala klinis demam tifoid (Suprapto &
Karyanti, 2014). Dengan gejala klinis yang ditemukan, maka seseorang
klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid.
2. Pemeriksaan Fisik:

5
a. Bradikardia relatif dan konstipasi dapat ditemukan pada demam tifoid,
namun bukan gejala yang konsisten ditemukan di beberapa daerah
geografis lainnya, hepatomegali dan splenomegali sering ditemukan.
Beberapa rose spot, lesi maculopapular dengan diameter sekitar 2-4
mm, dilaporkan pada 5%-30% kasus yang tampak terutama pada
abdomen dan dada.
b. Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan
komplikasi. Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak
mempunyai lidah tifoid (kotor pada bagian tengah dan pinggirnya
hiperemis), meteriosmus, hepatomegali, splenomegali.
(Garna & Nataprawira, 2014)
3. Pemeriksaan Penunjang
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia, dapat terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis.
Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain
itu dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan
hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju
endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi
normal setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT tidak memerlukan
penanganan khusus. Pemeriksaan lain yang dilakukan adalah uji Widal dan
kultur salmonella shigella. Sampai sekarang kultur masih menjadi standar
baku dalam penegakan diagnosis. Selain uji Widal terdapat beberapa
metode pemeriksaan serologi lain yang dapat dilakukan dengan cepat dan
mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih baik antara lain
pemeriksaan serologi IgM/IgG salmonella (Widodo, 2016).
a. Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman Salmonella
typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen
kuman Salmonella typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin.
Tujuan uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam
6
serum penderita tersangka yaitu: a) Aglutinin O (dari tubuh kuman), b)
Aglutinin H (flagella kuman), dan c) Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk demam tifoid. Semakin tinggi titernya, semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama
demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada
minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase
akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin
H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-
12 bulan. Oleh karena itu, uji Widal bukan untuk menentukan
kesembuhan penyakit (Widodo, 2016).
b. Uji Typhidot
Uji Typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat
pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji
Typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mendeteksi
secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen Salmonella typhi
(Widodo, 2016).
c. Biakan Salmonella
i. Darah: umumnya (+) pada minggu pertama dan awal minggu ke-2
(60–80%) dari rose spot (60%), sumsum tulang (80–90%).
Pemeriksaan kultur sumsum tulang merupakan tindakan invasif,
biasanya hanya dilakukan untuk keperluan penelitian.
ii. Urin/feses: sesudah bakteremia sekunder (minggu ke-2-3) (Herry
dan Nataprawira, 2014).
d. Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan nested polymerase chain reaction (PCR) menggunakan
primer H1-d dapat digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik
Salmonella typhi dari darah pasien dan merupakan pemeriksaan
diagnostik cepat yang menjanjikan. Pemeriksaan PCR terhadap S. typhi
7
hanya membutuhkan waktu kurang dari 8 jam dan memiliki sensitivitas
yang tinggi sehingga lebih unggul dibanding pemeriksaan biakan darah
biasa yang membutuhkan waktu 5-7 hari. In-flagelin PCR terhadap S.
typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%.13
Pemeriksaan nested PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat
dideteksi dari spesimen urin 21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah
20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68.1%) (Karyanti, 2012).
e. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan lain seperti pencitraan (Rontgen toraks, Rontgen polos
perut (BNO), USG abdomen), D-dimer, dan lain-lain dilaksanakan
apabila terjadi penyulit.

2.7 Tatalaksana
Sampai saat ini trilogi penatalaksanaan demam tifoid adalah:
1. Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu
dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga
kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Pasien
perlu diawasi untuk mencegah dekubitus pneumonia ortostatik serta higiene
perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga (Widodo, 2016).
2. Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif)
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan, karena
makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita
akan semakin menurun dan proses penyembuhan menjadi lambat (Widodo,
2016).
3. Pemberian antimikroba
a. Eradikasi kuman
Tabel 1. Terapi eradikasi kuman (Garna dan Nataprawira, 2014)
Oral Parenteral

8
Tanpa penyulit Kloramfenikol 50–75 Kloramfenikol 75
mg/kgBB/hari mg/kgBB/hari selama
selama 14–21 hari 14–21 hari
Amoksisilin 75–100 Ampisilin 75–100
mg/kgBB/hari mg/kgBB/hari selama
selama 14 hari 14 hari
TMP-SMZ 8/40
mg/kgBB/hari
selama 14 hari
Terapi alternatif Sefiksim (multi-drug
tanpa penyulit resistance) 15–20
mg/kgBB/hr selama
7–14 hr
Azitromisin
(quinolone
resistance) 8–10
mg/kgBB/hari selama
7 hari
Dengan penyulit Kloramfenikol 100
mg/kgBB/hari selama
14–21 hari
Ampisilin 100
mg/kgBB/hari selama
14 hari
Seftriakson 75
mg/kgBB/hari atau
sefotaksim 80
mg/kgBB/hari selama
10–14 hari

b. Terapi penyulit
c. Kortikosteroid: Pada kasus berat dengan gangguan kesadaran (stupor,
koma), gangguan sirkulasi, dan gejala berkepanjangan
Deksametason intravena 3 mg/kgBB diberikan dalam 30 menit untuk
dosis awal, diikuti 1 mg/kgBB tiap 6 jam selama 48 jam (Sumarmo et
al, 2015).

2.8 Komplikasi

9
Pada minggu ke-2 atau ke-3, sering timbul komplikasi demam mulai
dariyang ringan sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi yang sering
terjadi diantaranya:
a. Demam Tifoid Toksik (Tifoid Ensefalopati)
Demam tifoid toksik (tifoid ensefalopati) didapatkan gangguan atau
penurunan kesadaran akut dengan gejala delirium sampai koma yang
disertai atau tanpa kelainan neurologis lainnya. Analisa cairan otak dalam
batas normal.
b. Syok Septik
Syok septik adalah akibat lanjut dari respon inflamasi sistemik, pasien jatuh
ke dalam fase kegagalan vaskular (syok). Tekanan darah sistolik dan/atau
diastolik turun, nadi cepat, dan halus, berkeringat, serta akral dingin. Akan
berbahaya bila syok menjadi irreversibel.
c. Perdarahan, Perforasi Intestinal, dan Peritonitis
i. Perdarahan biasanya berupa buang air besar (BAB) darah
(hematoschezia) atau occult bleeding yang dapat terdeteksi dengan
pemeriksaan darah samar. Apabila perdarahan berat, pasien akan
tampak anemis bahkan berlanjut sampai syok hipovolemia. Suhu tubuh
akan mendadak turun dengan peningkatan frekuensi nadi dan berakhir
syok.
ii. Perforasi intestinal ditandai dengan nyeri abdomen akut, tegang, dan
nyeri tekan abdomen (paling nyata di kuadran kanan bawah). Pada
pemeriksaan perut didapatkan tanda distensi abdomen, defences
muscularum, ileus paralitik, bising usus melemah, dan pekak hati
menghilang. Perforasi dipastikan dengan pemeriksaan foto abdomen 3
posisi (diafragma, left lateral decubitus, dan plain abdomen). Perforasi
intestinal adalah komplikasi demam tifoid yang serius karena sering
menimbulkan kematian.
iii. Pada peritonitis, ditemukan gejala abdomen akut yakni nyeri perut
hebat, kembung, serta nyeri pada penekanan. Nyeri lepas (rebound
phenomenon) khas untuk peritonitis.
10
d. Hepatitis Tifosa
Demam tifoid disertai ikterus, hepatomegali dan kelainan tes fungsi hati
(peningkatan SGPT, SGOT dan bilirubin darah) dikatakan sebagai hepatitis
tifosa.
e. Pankreatitis Tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi, gejalanya adalah sama dengan
pancreatitis akut. Penderita nyeri perut hebat, disertai mual dan muntah
warna kehijauan, meteorismus, serta bising usus menurun. Enzim amilase
dan lipase meningkat.
f. Pneumonia
Adalah komplikasi demam tifoid disertai tanda dan gejala klinis: batuk
kering, sesak napas, tarikan dinding dada, ditemukan adanya ronki/crakles,
serta gambaran infiltrat pada foto polos toraks. Pada anak umumnya
merupakan koinfeksi oleh mikroba lain.
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)

2.9 Pencegahan
Secara garis besar memperkecil tercemar Salmonella typhi, maka setiap
individu harus menyediakan makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi,
higiene perorangan terutama menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan,
sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih sehari-hari.
Selain strategi di atas, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para
pendatang dari negara maju ke daerah yang endemik demam tifoid. Vaksin-vaksin
yang sudah ada yaitu:
a. Vaksin Vi Polysaccharide
Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan
dinjeksikan secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif selama 3 tahun
dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini memberikan
efikasi perlindungan sebesar 70-80%.
b. Vaksin Ty21a

11
Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang diberikan
pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang masing-masing
diselang 2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin
ini efektif selama 3 tahun dan memberikan efikasi perlindungan 67-82%.
(Nelwan, 2012)

2.10 Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung kecepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi
antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan
pegobatan. Munculnya komplikasi mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang
tinggi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Herry Garna dan Heda Melinda Nataprawira. 2014. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Kesehatan Anak. Bandung: Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin.
Karyanti, Mulya Rahma. 2012. Pemeriksaan Diagnostik Terkini Demam Tifoid.
Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM/FKUI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Sistematika Pedoman
Pengendalian Penyakit Demam Tifoid. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Nelwan. 2012. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. CMK, 39(4): 247-250.
Novita Suprapto dan Mulya Rahma Karyanti. 2014. Kapita Selekta Kedokteran
Edisi 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Sumarmo S. Poorwo Soedarmo, Herry Garna, Sri Rezeki S. Hadinegoro, Hindra
Irawan Satari. 2015. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Widodo, Djoko. 2016. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi
6. Jakarta: Interna Publishing.

13

Anda mungkin juga menyukai