Oleh :
Dokter Pembimbing:
2019
1
BAB 1. PENDAHULUAN
Sekitar delapan juta perempuan/tahun mengalami komplikasi kehamilan dan lebih dari
setengah juta diantaranya meninggal dunia, dimana 99% terjadi di negara berkembang.
Angka kematian akibat komplikasi kehamilan dan persalinan di negara maju yaitu 1 dari
5000 perempuan, dimana angka ini jauh lebih rendah dibandingkan di negara
berkembang, yaitu 1 dari 11 perempuan meninggal akibat komplikasi kehamilan dan
persalinan. AKI (Angka Kematian Ibu) di Indonesia masih merupakan salah satu yang
tertinggi di negara Asia Tenggara. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI di Indonesia sebesar 359 per 100.000 kelahiran
hidup.
Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan sebesar 30%, hipertensi
dalam kehamilan 25%, dan infeksi 12%. WHO memperkirakan kasus preeklampsia tujuh
kali lebih tinggi di Negara berkembang daripada di negara maju. Prevalensi preeklampsia
di negara maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di negara berkembang sebesar 1,8% - 18%.
Insiden preeklampsia di Indonesia sendiri sebesar 128.273/tahun atau sekitar 5,3%.
Kecenderungan yang ada dalam dua dekade terakhir ini tidak terlihat adanya penurunan
yang nyata terhadap insiden preeklampsia, berbeda dengan insiden infeksi yang semakin
menurun sesuai dengan perkembangan temuan antibiotik.
Preeklampsia merupakan masalah kedokteran yang serius dan memiliki tingkat
kompleksitas yang tinggi. Besarnya masalah ini bukan hanya karena preeklampsia
berdampak pada ibu saat hamil dan melahirkan, namun juga menimbulkan masalah pasca
persalinan akibat disfungsi endotel di berbagai organ, seperti risiko penyakit
kardiometabolik dan komplikasi lainnya. Hasil meta analisis menunjukkan peningkatan
bermakna risiko hipertensi, penyakit jantung iskemik, stroke dan tromboemboli vena
pada ibu dengan riwayat preeklampsia dengan risiko relatif. Dampak jangka panjang juga
dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan preeklampsia, seperti berat badan
lahir rendah akibat persalinan prematur atau mengalami pertumbuhan janin terhambat,
serta turut menyumbangkan besarnya angka morbiditas dan mortalitas perinatal.
2
Edema paru akut (Acute Lung Oedema/ALO) merupakan komplikasi yang dapat
timbul secara potensial pada pasien preeklamsia berat yang terjadi karena adanya
akumulasi abnormal cairan di ruang interstisial dan jaringan paru dengan onset cepat.
Keadaan ini dapat menyebabkan prognosis yang buruk bagi pasien preeklamsia berat
(Angsar, 2010). Jumlah kasus edema paru akut sebagai komplikasi preeklamsi berat pada
beberapa rumah sakit di Indonesia cukup variasi. Sebanyak 24 kasus (10,3%) edema paru
akut terjadi dari 234 kasus preeklampsia berat pada tahun 2010 di RSUP dr. Kariadi
Semarang (Raras, 2011). Di RSUD dr. Soedarso Pontianak terdapat 2 kasus (0,9%)
edema paru akut dari 219 kasus preeklampsia berat pada tahun 2011 (Sinaga, 2012). Di
rumah sakit Dr. Soetomo Surabaya terdapat 477 kasus preeklampsia-eklampsia pada
tahun 2012 dengan 27 kasus edema paru akut sebagai komplikasinya (Hermanto, dkk.,
2014).
Kejadian edema paru akut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain usia ibu,
persalinan dengan sectio caesarea, Indeks Massa Tubuh (IMT), paritas, jumlah janin,
penggunaan kortikosteroid / Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), terapi cairan dan
magnesium sulfat (MgSO4). Di antara faktor-faktor tersebut, usia ibu, paritas, dan jumlah
janin merupakan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (Thornton dkk., 2009).
3
2.1 PREEKLAMPSIA
2.1.1 Definisi
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan
adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik
dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan
adanya hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan sistem
organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20 minggu. Preeklampsia, sebelumya selalu
didefinisikan dengan adanya hipertensi dan proteinuria yang baru terjadi pada kehamilan
(new onset hypertension with proteinuria) (Canadian Hypertensive Disorders of
Pregnancy Working Group, 2014).
2.1.2 Epidemiologi
Preeklampsia dapat ditemui pada sekitar 5-10% kehamilan, terutama kehamilan
pertama pada wanita berusia di atas 35 tahun. Frekuensi preeklampsia pada primigravida
lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama pada primigravida muda.
Diabetes mellitus, mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, usia > 35 tahun, dan
obesitas merupakan faktor predisposisi terjadinya preeklampsia.
Tiga penyebab utama kematian ibu yaitu perdarahan (30%), hipertensi dalam
kehamilan (25%), dan infeksi (12%) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
World Health Organization (WHO) memperkirakan kasus preeklampsia tujuh kali lebih
tinggi di negara berkembang daripada di negara maju (Osungbade, 2011). Prevalensi
preeklampsia di negara maju sebesar 1,3% - 6%, sedangkan di negara berkembang
sebesar 1,8% - 18%. Insiden preeklampsia di Indonesia sendiri yaitu 128.273/tahun atau
sekitar 5,3%.7 Kecenderungan yang ada dalam dua dekade terakhir ini tidak terlihat
adanya penurunan yang nyata terhadap insiden preeklampsia, berbeda dengan insiden
infeksi yang semakin menurun sesuai dengan perkembangan temuan antibiotik
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
4
Kedua mekanisme tersebut berkaitan satu sama lain dan memiliki banyak komponen
yang masih perlu untuk diteliti lebih lanjut. Adapun empat mekanisme yang saat ini
diterima oleh kalangan peneliti dan klinisi secara luas adalah kegagalan invasi tropoblas,
ketidakseimbangan faktor angiogenik yang menyebabkan disfungsi endotel, peran
hydrogen sulfide (H2S), dan faktor nutrisi.
Apabila dirangkum secara singkat, iskemia plasenta terjadi sebagai akibat invasi
tropoblas dangkal atau kegagalan invasi tropoblas yang berhubungan dengan
ketidakseimbangan kekebalan tubuh atau imunitas, di mana sel T CD4 + proinflamasi
meningkat dan sel T regulator (Treg) menurun. Ketidakseimbangan ini menyebabkan
peradangan kronis yang ditandai oleh stres oksidatif, sitokin proinflamasi, dan
autoantibodi (Whelton PK, et all 2018).
Proliferasi, migrasi, dan invasi tropoblas ke dalam desidua maternal dan
miometrium pada masa kehamilan merupakan penentu pembentukan plasenta hemokorial
dan pemeliharaan gestasi. Setelah adanya invasi tropoblas, terjadi perubahan pada
diameter arteri spiralis yang disebabkan oleh penggantian lapisan endotel dan lamina
elastika interna oleh tropoblas. Perubahan diameter arteri spiralis selanjutnya akan
memicu pembuluh darah membentuk sinusoid yang bertekanan rendah dan aliran tinggi,
sehingga suplai darah maternal ke fetus dapat terjaga dengan baik. Tropoblas berasal dari
stem cell yang dinamakan cytotropoblast stem cells (Whelton PK, et all 2018).
Diferensiasi cytotropoblast stem cells dimulai pada usia kehamilan trimester
pertama, yaitu akan membentuk lapisan sinsitiotropoblas dan beragregasi membentuk
sederetan tropoblas yang invasif, yang menyusun vili koriales yang disebut “anchoring
villous tropoblast“. Cytotropoblast di dalam vili tersebut akan menembus sinsitium pada
beberapa tempat sehingga membentuk suatu kelompok sel berlapis yang disebut
“extravillous tropoblast cells”. Kelompok sel inilah yang secara fisik menghubungkan
plasenta dengan dinding uterus ibu. Perkembangan selanjutnya dari sel tropoblas
ekstravilus itu akan mengikuti 2 jalur, jalur pertama adalah dengan menginvasi dinding
uterus (interstitial invasion) dan jalur kedua adalah dengan cara menembus pembuluh
darah (endovascular invasion) (Sitrait, 2012).
Selama trimester pertama, diferensiasi tropoblas terjadi pada saat tekanan oksigen
rendah. Pada sekitar umur kehamilan 10-12 minggu kehamilan, pada saat mana sudah
7
terjadi hubungan antara ruang intevilus dengan darah ibu, maka tekanan oksigen
meningkat. Peningkatan tekanan oksigen pada saat ini berhubungan dengan saat invasi
tropoblas maksimal ke desidua maternal, yang mana situasi ini memungkinkan sel
tropoblas ekstravilus untuk melakukan remodeling arteria spirales. Pada keadaan
preeklampsia, terjadi pengeluaran Hypoxia Induced-Factor 1 (HIF-1) yang merupakan
faktor yang mengaktivasi Transforming Growth Factor-beta 3 (TGF-beta3), yang
merupakan inhibitor proliferasi tropoblas (Sitrait, 2012).
Selain oksigen, kelangsungan hidup embrio sangat tergantung dari aliran darah,
maka harus ada pembuluh darah sebagai perantara yang menghantarkan darah dari
desidua maternal ke embrio yang sedang berkembang. Terdapat tiga fase pada
vaskuloangiogenesis ini, yaitu fase inisiasi, fase proliferasi-invasi, dan fase maturasi-
diferensiasi. Fase inisiasi dimulai minggu ke-3 pasca konsepsi. Sebelum terbentuknya
pembuluh darah yang pertama, sel-sel Hofbauer menghasilkan angiogenic growth factors,
yaitu vascular endothelial growth factor (VEGF), basic fibroblast growth factor (bFGF),
dan placenta growth factor (PlGF). Beberapa minggu sebelum onset manifestasi
preeklampsia terjadi, kadar soluble endoglin (sEng) dan inhibitor VEGF endogen yaitu
fms-like tyrosine kinase-1 (sflt-1) meningkat, sedangkan PlGF menurun pada trimester
pertama kehamilan. Bersama dengan disfungsi endotel, faktor pembuluh darah tersebut
menjadi penanda biokimia dari preeklampsia berat. Meningkatnya sflt-1 dan sEng
merupakan hasil dari terhambatnya kerja enzim Cystathionine γ-lyase (CSE), yaitu enzim
utama yang bertanggung jawab terhadap produksi hydrogen sulfide (H2S) endogen.
Eksperimen pada wistar menunjukkan bahwa pemberian inhibitor CSE secara berkala
menyebabkan berkurangnya kadar H2S dan terdapat peningkatan tekanan darah. Dengan
demikian, masuk akal bahwa penurunan kadar H2S yang bersirkulasi dapat berkontribusi
terhadap hipertensi pada preeklampsia. Dalam penelitian Wang et al (2012), terbukti
bahwa preeklampsia berhubungan dengan berkurangnya sirkulasi H2S.
8
2 jalur, jalur pertama yaitu jalur remetilasi dimana homosistein dibentuk dengan
bergabungnya gugus metil yang diberikan oleh 5 metil tetrahidrofolat sebagai donor
metil, reaksi ini dikatalisator oleh vitamin B12 dan enzim metionin sintase. Bila asam
folat kurang maka terjadi kekurangan 5 metil tetrahidrofolat, sehingga terjadi
penumpukkan homosistein dalam darah. Jalur yang kedua adalah pemecahan homosistein
menjadi sistationon dan sistein melalui jalur transulfurasi yang membutuhkan vitamin B6
(American College of Obstetricians and Gynecologists, 2013).
. Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan patologis
pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh vasospasme
dan iskemia. Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami
peningkatan respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti prostaglandin,
tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi platelet.
Penumpukan trombus dan pendarahan dapat mempengaruhi sistem saraf pusat yang
ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf local dan kejang. Nekrosis ginjal dapat
menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus dan proteinuria. Kerusakan hepar
dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan nyeri epigastrium dan peningkatan tes fungsi
hati. Manifestasi terhadap kardiovaskuler meliputi penurunan volume intavaskular,
meningkatnya cardiac output dan peningkatan tahanan pembuluh perifer (Chum et al,
2005).
Peningkatan hemolisis mikroangiopati menyebabkan anemia dan
trombositopeni. Infark plasenta dan obstruksi plasenta menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat bahkan kematian janin dalam rahim.
Perubahan pada organ-organ :
1) Perubahan kardiovaskuler.
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada preeklampsia
dan eklamsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan
peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara nyata
dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia kehamilan atau yang
secara iatrogenik ditingkatkan oleh larutan onkotik atau kristaloid intravena, dan aktivasi
endotel disertaiekstravasasi ke dalam ruang ektravaskular terutama paru.
2) Metabolisme air dan elektrolit
11
2.1.8. Komplikasi
n. Solusio plasenta: Biasa terjadi pada ibu dengan hipertensi akut.
o. Hipofibrinogenemia
p. Hemolisis: Gejala kliniknya berupa ikterik. Diduga terkait nekrosis periportal hati
pada penderita pre-eklampsia.
q. Perdarahan otak: Merupakan penyebab utama kematian maternal penderita
eklampsia.
r. Kelainan mata: Kehilangan penglihatan sementara dapat terjadi. Perdarahan pada
retina dapat ditemukan dan merupakan tanda gawat yang menunjukkan adanya
apopleksia serebri.
s. Edema paru
t. Nekrosis hati: Terjadi pada daerah periportal akibat vasospasme arteriol umum.
Diketahui dengan pemeriksaan fungsi hati, terutama dengan enzim.
u. Sindrom HELLP (hemolisis, elevated liver enzymes, dan low platelet).
v. Prematuritas
w. Kelainan ginjal: Berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma
sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Bisa juga terjadi
anuria atau gagal ginjal.
x. DIC (Disseminated Intravascular Coagulation): Dapat terjadi bila telah mencapai
tahap eklampsia. B.
15
2.2.2 Etiologi
Insidensi edema paru akut sebagai penyulit kehamilan sekitar 1 dari 500 atau 1000
kelahiran. Dua penyebab umum: (1) kardiogenik; edema hidrostatik akibat tekanan
hidrolik kapiler paru yang tinggi, dan (2) non kardiogenik; edema permeabilitas akibat
kerusakan endotel kapiler dan epitel alveolus.
a) Edema peningkatan permeabilitas non-kardiogenik
Pengaktifan endotel yang berkaitan dengan preeklamsi, sindrom sepsis, atau
perdarahan akut merupakan faktor predisposisi tersering edema paru pada wanita
hamil. Hal tersebut sering berkaitan dengan pemberian cairan dalam jumlah besar
dan terapi tokolitik untuk persalinan kurang bulan. Agonis β parenteral, misalnya
terbutalin berkaitan dengan edema paru.
b) Edema hidrostatik kardiogenik
Kasus edema paru kardiogenik pada kehamilan dikaitkan dengan hipertensi
gestasional. Hipertensi sistolik akut memperburuk disfungsi endotel yang
menyebabkan edema paru. Penyebab umum gagal jantung diastol yaitu hipertensi
dan obesitas disertai hipertrofi ventrikel kiri. Meskipun demikian gagal jantung
sering dipicu oleh preeklamsi, perdarahan, anemia, serta sepsis masa nifas. Pada
pasien ini, ketika dilakukan ekokardiografi menunjukkan hasil fraksi ejeksi yang
normal dan tanda-tanda disfungsi endotel.
16
Tabel 2.1 Cara Membedakan Edema Paru Kardiak (EPK) dan Edema Paru Non Kardiak
(EPNK)
EPK EPNK
Anamnesis
Acute cardiac event (+) Jarang
Penemuan Klinis
Perifer Dingin (low flow state) Hangat (high flow meter)
Nadi kuat
S3 gallop/kardiomegali (+) (-)
JVP Meningkat Tak meningkat
Ronki Basah Kering
Tanda penyakit dasar
Laboratorium
EKG Iskemia/infark Biasanya normal
Foto toraks DIstribusi perihiler Distribusi perifer
ENzim kardiak Bisa meningkat Biasanya normal
PCWP > 18 mmHg < 18 mmHg
Shunt intra pulmoner Sedikit Hebat
Protein cairan edema < 0.5 > 0.7
2.2.4 Patofisiologi
ALO berhubungan dengan mekanisme pertukaran cairan (fluid exchange) yang
terjadi pada pembuluh darah. sejumlah cairan bebas protein tersaring keluar kapiler
melintasi dinding kapiler pembuluh darah bercampur dengan cairan interstisium
disekitarnya dan kemudian diabsorbsi kembali ke dalam pembuluh darah, proses seperti
ini disebut bulk flow. Bulk flow terjadi karena perbedaan tekanan hidrostatik dan osmotik
koloid antara plasma dan cairan intertisium. Terdapat empat gaya yang memengaruhi
perpindahan cairan menembus dinding kapiler:
1. Tekanan darah kapiler
Merupakan tekanan hidrostatik darah yang cenderung mendorong cairan keluar
kapiler menuju cairan interstisium.
2. Tekanan osmotik koloid plasma (onkotik)
Merupakan suatu gaya yang disebabkan oleh dispersi koloid protein-protein plasma
dan mendorong pergerakan cairan ke dalam kapiler. Dalam keadaan normal, protein
plasma tetap dipertahankan berada di dalam plasma dan tidak masuk ke cairan
interstisium.
3. Tekanan hidrostatik cairan intertisium
Tekanan yang bekerja di bagian luar dinding kapiler oleh cairan intertisium. Tekanan
ini cenderung mendorong cairan masuk ke dalam kapiler.
4. Tekanan osmotik koloid cairan intertisium
Gaya lain yang dalam keadaan normal tidak begitu banyak berperan dalam
perpindahan cairan melalui kapiler.
Perpindahan cairan dari intravaskuler dapat dinyatakan sebagai suatu perpindahan cairan
melalui suatu membran semipermeable dan dapat dihitung dengan persamaan Starling.
Q=K[(Pmv-Ppmv) – (πmv- πpmv)]
Edema paru terjadi apabila jumlah cairan yang difiltrasi melebihi clearance
capability sistem limfe. Keadaan inisering dijumpai pada peningkatan tekanan hidrostatik
kapiler karena meningkatnya tekanan pada pembuluh darah kapiler pulmonalis.
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler pulmoner akan menyebabkan peningkatan filtrasi
cairan transvaskuler.
18
b. Foto toraks
Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada. Radiograph (X-ray)
dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung jantung dan
pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang dari vertebral column, dengan
bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih gelap pada
setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur tulang dari dinding dada. X-ray dada
yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak tampakan putih
pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari
pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan pada
paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru yang normal.
Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema,
namun ia mungkin memberikan informasi yang minimal tentang penyabab yang mungkin
mendasarinya.
Gambaran Radiologi yang ditemukan:
1) Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vascular di hilus)
2) Coarakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
3) Kranialisasi vaskuler
4) Hilus suram (batas tidak jelas)
5) Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul milier)
Gambar 2.2 Edema Intesrtitial. Gambaran underlying disease (kardiomegali, efusi pleura,
diafragma kanan letak tinggi).
21
c. EKG
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia atau
infark pada infark miokard akut dengan edema paru.Pasien dengan krisis hipertensi
gambaran elektrokardiografi biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri.
Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non-iskemik biasanya menunjukkan
gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana
akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghiland dalam 1 minggu.
Penyebab dari keadaan non-iskemik ini belum diketahui tetapi ada beberapa keadaan
yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut tonus simpatis
kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolik atau katekolamin.
d. Enzim jantung (CK-CKMB, Troponin T)
e. Echocardiografi transtorakal
Ekokardiogram bisa memperlihatkan otot jantung yang lemah, katup jantung yang
bocor atau sempit, atau cairan yang mengelilingi jantung.
f. Angiografi koroner
g. Kateterisasi arteri pulmoner
Mengidentifikasi gagal jantung sisi kiri yang ditunjukkan dengan kenaikan tekanan
baji arteri pulmoner (pulmonary artery wedge pressure) (Lippincott Wiiliams &
Wilkins, 2008).
c. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila perlu.
d. Bila TD > 100 mmHg, nitrogliserin paling efektif mengurangi edema paru karena
mengurangi preload. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin per oral
0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah sistolik >95 mmHg bisa diberikan
Nitrogliserin intravena mulai dosis 3-5 ug/kgBB. Jika tidak memberikan hasil
memuaskan maka dapat diberikan Nitrogliserin IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit
bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan
perbaikan klinis atau sampai tekanan sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang tadinya
mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang
adekuat ke organ-organ vital.
e. Morfin sulfat 3-5 mg IV, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari). Efek venodilator meningkatkan kapasitas vena, mengurangi aliran darah
balik ke vena sentral dan paru, mengurangi tekanan pengisian ventrikel kiri
(preload), dan juga mempunyai efek vasodilator ringan sehingga afterload
berkurang. Efek sedasi dari morfin sulfat menurunkan aktifitas tulang-otot dan
tenaga pernafasan. Penggunaan morfin tidak boleh diberikan bila edema paru
dsebabkan oleh cidera vascular otak, penyakit paru kroni, atau syok kardiogenik.
Pasien harus diawasi bila terjadi depresi pernapasan berat; antagonis morfin
(Naloxone hydrochloride (Narcan) harus tersedia (Smeltzer, 2000).
f. Diuretik Furosemid 40-80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4
jam atau dilanjutkan drip ontinue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
Efek bifasik dicapai pertama dalam 5 menit terjadi venodilatasi sehingga aliran
(preload). Efek kedua adalah diuresis yang mencapai puncaknya setelah 30-60
menit. Penurunan tekana darah, peningkatan frekuensi jantung dan penurunan
haluaran urin merupakan petunjuk bahwa sistem peredaran darah tidak mampu
mentoleransi diuretik dan harus diambil tindakan untuk mengatasi hipovolemia yang
terjadi. Pasien dengan hyperplasia prostat harus diawasi adanya tanda retensi urin
(Smeltzer dan Bare, 2000).
g. Bila perlu (tekanan darah turun /tanda hipoperfusi) : Dopamin 2-5 ug/kgBB/menit
atau doputamin 2-10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat
ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya. Bila TD 70-100 mmHg disertai
24
gejala-gejala dan tanda syok, berikan Dopamin 2-20mcg/kgBB/menit IV. Bila tidak
membaik dengan Dopamin dosis >20 mcg/kg/mnt segera tambahkan
Norephinephrine 0,5-30 mcg/menit IV, sedangkan Dopamine diturunkan sampai 10
mcg/kgBB/menit. Bila tanpa gejala syok berikan Dobutamine 2-20 mcg/kgBB/menit
IV.
h. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
i. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil
dengan oksigen.
j. Atasi aritmia atau gangguan konduksi.
k. Operasi pada komplikasi akut infark miokard sepertiregurgitasi, VSD dan ruptur
dinding ventrikel/corda tendinae.
Menurut Lippincott Wiiliams & Wilkins (2008) tindakan keperawatan yang dapat
dilakukan oleh perawat adalah sebagai berikut:
a. Secara seksama pantau pasien yang berisiko untuk melihat apakah ada tanda edema
pulmoner, terutama takipnea, taikardi, dan bunyi napas abnormal. Periksa adanya
edema perifer, yang juga bisa mengindikasikan bahwa cairan terakumulasi dalam
jaringan pulmoner.
b. Beri oksigen sesuai perintah dan pantau adanya efek.
c. Pantau tanda vital tiap 15 sampai 30 menit saat memberikan nitroprusside dalam
dextrose 5% dalam air melalui tetesan I.V.
2.2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan adalah gagal napas. Selain itu kebanyakan
komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin timbul dari komplikasi-
komplikasi yang berhubungan dengan penyebab yang mendasarinya. Lebih spesifik,
pulmonary edema dapat menyebabkan pengoksigenan darah yang dikompromikan secara
parah oleh paru-paru. Pengoksigenan yang buruk (hypoxia) dapat secara potensial
menjurus pada pengantaran oksigen yang berkurang ke organ-organ tubuh yang berbeda,
seperti otak (Panji, 2008).
25
seimbang dan tidak mampu memenuhi kebutuhan metabolik pada jaringan yang, jika
tidak ditangani, akan berujung pada kematian.
Oleh karena itu, faktor-faktor yang meningkatkan tekanan hidrostatik (mengarah ke
peningkatan tekanan diastolik ujung ventrikel kiri), faktor-faktor yang menurunkan
tekanan osmotik koloid, atau faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas kapiler akan
cenderung mengalami edema paru akut. Diketahui sekarang tidak hanya akumulasi cairan
dan retensi suatu mekanisme penyebab edema paru akut, tetapi juga distribusi cairan dari
sirkulasi sistemik ke sirkulasi paru karena venokonstriksi atau vasokonstriksi pada orang
yang euvolaemik. Terapi untuk pengobatan edema paru akut membalikkan satu atau lebih
faktor-faktor ini, dengan reabsorpsi edema paru baik secara pasif maupun aktif.
Seringkali, lebih dari satu faktor risiko hadir, dengan cara memberikan cairan iatrogenik
utama merupakan faktor yang dapat dicegah. Etiologi spesifik yang menyebabkan edema
paru akut memiliki kemungkinan meningkat terjadi selama periode waktu tertentu;
misalnya, terapi tokolitik pada periode antenatal, dan kelebihan cairan dalam kombinasi
dengan preeklampsia pada periode postpartum. Faktor kontribusi lainnya termasuk
pelepasan vasginin arginin yang dimediasi oleh baroreseptor, yang menyebabkan
akumulasi cairan dan hiponatremia, suatu situasi yang terjadi pada beberapa wanita
dengan preeklampsia.
Edema paru akut; merupakan bentuk gagal jantung akut dekompensasi, dan
merupakan sistem yang tidak seimbang. Klasifikasi gagal jantung akut telah
menggunakan istilah kegagalan diastolik dan sistolik untuk menggambarkan apakah
gagal jantung terjadi di hadapan fungsi ventrikel yang normal atau terganggu. Gagal
jantung sistolik mengacu pada kegagalan kontraktilitas miokard yang adekuat. Kegagalan
diastolik mengacu pada kegagalan relaksasi miokard yang memadai (lusitropi), biasanya
karena perubahan struktural dalam miokardium sekunder akibat hipertensi (hipertrofi
ventrikel kiri). Hal ini menyebabkan berkurangnya kepatuhan, dibandingkan dengan
orang dewasa yang tidak hamil.
Edema paru akut; merupakan bentuk gagal jantung akut dekompensasi, dan
merupakan sistem yang tidak seimbang. Klasifikasi gagal jantung akut telah
menggunakan istilah kegagalan diastolik dan sistolik untuk menggambarkan apakah
gagal jantung terjadi di hadapan fungsi ventrikel yang normal atau terganggu. Gagal
27
jantung sistolik mengacu pada kegagalan kontraktilitas miokard yang adekuat. Kegagalan
diastolik mengacu pada kegagalan relaksasi miokard yang memadai (lusitropi), biasanya
karena perubahan struktural dalam miokardium sekunder akibat hipertensi (hipertrofi
ventrikel kiri). Hal ini menyebabkan berkurangnya kepatuhan, peningkatan tekanan
diastolik ujung dan gangguan pengisian ventrikel kiri. Peningkatan tekanan vena paru
saat istirahat mengurangi kepatuhan paru-paru, meningkatkan kerja pernapasan dan
menghasilkan perasaan subyektif sesak napas. Gejala-gejala ini diperburuk oleh olahraga.
Sehubungan dengan memahami gagal jantung diastolik, keberadaan fraksi ejeksi yang
dipertahankan atau normal tidak menyiratkan output jantung yang memadai, dan istilah
fraksi ejeksi dan output jantung tidak boleh digunakan secara sinonim.
2.3.2 Edem Paru Akut pada Preeklamsi Berat
Preeklampsia merupakan penyakit kardiovaskular multisistem utama pada
kehamilan dengan hipertensi yang merupakan manifestasi klinis utamanya. Edema paru
akut, yang menandakan penyakit parah, yaitu penyebab utama kematian pada wanita
dengan preeklampsia, dan sering menjadi penyebab masuk ke unit perawatan intensif.
Edema paru dapat terjadi pada sekitar 3% wanita dengan preeklampsia, dengan 70%
kasus terjadi setelah lahir. Ini terkait dengan pemberian cairan yang berlebihan dan
keparahan penyakit, termasuk adanya hemolisis, peningkatan enzim hati dan trombosit
yang rendah (HELLP), dan eklampsia (Norwitz, 2002). Mekanisme yang mendasari
hipertensi dalam keadaan penyakit ini masih belum diketahui. Dibandingkan dengan
wanita hamil yang sehat, wanita dengan preeklampsia menunjukkan berbagai kelainan
jantung, mulai dari peningkatan curah jantung dan peningkatan resistensi vaskular
sistemik, hingga curah jantung yang rendah dengan peningkatan resistensi vaskular
sistemik. Fungsi jantung diastolik terganggu, dengan peningkatan massa ventrikel kiri
dan efusi perikardium lebih sering terjadi.
Preeklamsia juga mengarah pada pengurangan tekanan osmotik koloid plasma,
permeabilitas endotel yang berubah, dan penurunan tekanan osmotik koloid menjadi
gradien tekanan diastolik ujung ventrikel kiri. Studi pada ibu dengan preeklampsia pada
saat edema paru akut sedikit jumlahnya dan menunjukkan variabilitas besar dalam profil
hemodinamik. Ini dapat dijelaskan oleh heterogenitas perempuan dalam seri kasus ini,
28
ukuran sampel yang kecil, kehamilan yang bervariasi dan intervensi pengobatan yang
berbeda.
Mekanisme yang mendasari edema paru akut dalam keadaan ini tergantung pada kondisi
hemodinamik ibu hamil yang mendasarinya. Tidak hanya ada kelainan struktural dan
fungsional jantung, tetapi ada juga perubahan keseimbangan cairan yang terkait dengan
hipoproteinuria. Ada banyak kesamaan dengan edema paru akut yang terkait dengan
krisis hipertensi pada pasien yang tidak hamil meskipun ini adalah kondisi yang ditandai
dengan buruk. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, fraksi ejeksi ventrikel kiri yang
sering dipertahankan, menunjukkan cadangan jantung yang signifikan; Namun, jantung
masih belum dapat menghasilkan curah jantung yang cukup besar untuk mengirimkan
oksigen ke organ-organ vital.
Krisis hipertensi akut yang memicu edema paru akut dapat terjadi melalui aktivasi
sistem saraf simpatis, menyebabkan venokonstriksi akut dan vasokonstriksi, yang
mengarah pada peningkatan afterload dan redistribusi cairan dari sirkulasi perifer ke
pembuluh paru. Hal ini menyebabkan akumulasi cairan alveolar dan berkurangnya
oksigenasi dan secara bersamaan meningkatkan curah jantung sebagai mekanisme
kompensasi karena berkurangnya pengiriman oksigen ginjal.
Sayangnya, keragaman perubahan hemodinamik yang dilaporkan berarti bahwa
data penelitian tidak dapat digeneralisasikan untuk wanita secara individu dengan kondisi
ini. Meskipun mekanisme hipertensi tidak pasti, pengetahuan tentang efek samping terapi
cairan intravena pada wanita dengan preeklamsia meningkat. Terapi cairan intravena
tidak terbatas diakui sebagai faktor risiko yang signifikan untuk pengembangan edema
paru akut (bukti level 3). Secara historis, penggunaan cairan intravena dianggap
meningkatkan parameter kardiovaskular ibu, namun dalam satu percobaan besar (level 1+
bukti) dan tinjauan sistematis (bukti level 1 ++), ekspansi volume tidak menguntungkan.
Terapi cairan intravena juga dapat memperburuk sindrom gangguan pernapasan akut,
yang menyebabkan hipoksemia, tekanan jalan napas tinggi dan kesulitan ventilasi.
Periode postpartum berisiko tinggi untuk terjadinya edema paru akut. Oleh karena itu,
penggunaan cairan intravena untuk meningkatkan volume plasma atau mengobati
oliguria, yang bersifat multifaktorial, pada wanita dengan fungsi ginjal normal dan kadar
29
kreatinin serum yang stabil, tidak dianjurkan (bukti level 1 ++). Terapi cairan antenatal
dapat diindikasikan jika ada kekhawatiran tentang perfusi plasenta;
Gambar 2.2 (a) wanita yang tidak hamil yang sehat (b) hamil dengan preeklamsi dan
edem paru. Ada peningkatan afterload yang disebabkan oleh hipertensi dan berkurangnya
lusitropi karena perubahan struktural ventrikel kiri seperti hipertrofi ventrikel kiri. Hal ini
menyebabkan peningkatan kekuatan mikrovaskuler dan peningkatan preload.
Mengurangi tekanan osmotik koloid yang dikombinasikan dengan perubahan
permeabilitas kapiler semakin meningkatkan kemungkinan edema paru akut.
30
Gambar 3.1 Perbandingan Usia pada Pasien PEB dengan ALO di RSD Soebandi tahun
2018-2019
8
7
6
5
4 <35 th
3 >35 th
2
1
0
Usia
Gambar 3.2 Perbandingan Usia Kehamilan pada Pasien PEB dengan ALO di RSD
Soebandi tahun 2018-2019
9
5 Posterm
4 Aterm
Preterm
3
0
Usia Kehamilan
31
Gambar 3.3 Perbandingan Riwayat Obstetri pada Pasien PEB dengan ALO di RSD
Soebandi tahun 2018-2019
4.5
3.5
3 G1
2.5 G2
2 G3
G4
1.5
G5
1
0.5
0
Gravida
Gambar 3.4 Perbandingan Proteinuri pada Pasien PEB dengan ALO di RSD Soebandi
tahun 2018-2019
6
4
+1
3 +2
+3
2 +4
0
Proteinuri
32
Gambar 3.5 Perbandingan Kadar Albumin pada Pasien PEB dengan ALO di RSD
Soebandi tahun 2018-2019
9
0
Kadar Albumin
Gambar 3.6 Perbandingan Outcome bayi pada Pasien PEB dengan ALO di RSD
Soebandi tahun 2018-2019
6
4
Abortus
3 IUFD
Asfiksia
2 Normal
0
Outcome Bayi
33
Gambar 3.7 Perbandingan Berat Badan Ibu PEB dengan ALO di RSD Soebandi Periode
Maret 2018- Maret 2019
4.5
3.5
2.5 <55kg
55-65kg
2
>65kg
1.5
0.5
0
Berat badan ibu
Gambar 3.8 Perbandingan Waktu Terjadinya ALO pada Pasien PEB dengan ALO di
RSD Soebandi Periode Maret 2018- Maret 2019
34
BAB 4. PEMBAHASAN
yang berperan dalam hal ini adalah maladaptasi imunologis ibu. Jumlah blocking
antibodies yang tidak adekuat dan penurunan ekspresi Human Leukocyte Antigen – G
(HLA-G) menyebabkan dilepasnya sel NK dan IL-2. IL-2 akan merangsang pertumbuhan
sel T, sel B, sel NK, dan makrofag. Makrofag yang teraktivasi akan meningkatkan
sintesis TNF-α. TNF-α merupakan sitokin proinflamasi dan aktivitas biologisnya adalah
inflamasi dan aktivasi sel endotel di seluruh tubuh (Baratawidjaja dan Rengganis, 2012).
Efek tersebut menyebabkan permeabilitas kapiler menjadi terganggu. Kapiler paru relatif
lebih mudah dilalui oleh molekul protein, sehingga jika terjadi inflamasi endotel akan
menyebabkan turunnya tekanan onkotik dengan mudah (Guyton dan Hall, 2007).
Penurunan tekanan onkotik mengakibatkan cairan keluar dari kapiler menuju ruang
interstisial dan alveolus yang menandakan terjadinya edema paru.
Karakteristik data berdasarkan proteinuria menunjukkan bahwa protein terbesar
yaitu +4 sebanyak 5 orang ( 41,67%). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Rahayuningsih pada tahun 2005 tercatat paling banyak proteinuria 4+ 20 sampel
(40%). Disfungsi endotel juga menyebabkan permeabilitas vaskular meningkat sehingga
menyebabkan edema dan proteinuria. Jika terjadi disfungsi endotel maka pada
permukaan endotel akan diekspresikan molekul adhesi. seperti vascular cell adhesion
molecule-1(VCAM-1) dan intercellular cell adhesion molecule-1 (ICAM-1) (Shireman,
1996).
Karakteristik data berdasarkan albumin menunjukkan bahwa albumin terbanyak
yaitu 2,5-3,3 sebanyak 8 orang ( 66,67%). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh oleh Veronike pada tahun 2015 di RSUP Dr. M. Djamil tercatat paling
banyak 33 sampel (66%). Hal ini dikarenakan ibu hamil dengan preeklamsi tekanan
onkotik plasma menurun secara drastis karena terjadinya penurunan kadar albumin dalam
serum (Zinam, 1985). Kadar albumin serum yang rendah (hipoalbuminemia)
berhubungan dengan sirkulasi fetoplasenta yang tidak memadai, sebagai akibat dari
hipoperfusi multiorgan dan kerusakan endotel menyeluruh. Hipoksia plasenta
merangsang pelepasan zat vasoaktif dalam darah yang memiliki efek pada jantung.
Peningkatan tekanan perfusi menyebabkan perpindahan cairan ke dalam cairan
interstisial sehingga terjadi edema dan hipovolemia. Penurunan volume intravaskular
lebih lanjut mengurangi perfusi organ, menyebabkan pelepasan katekolamin dengan
36
penurunan perfusi secara bersamaan pada ginjal dan hati. Hipoperfusi hati menentukan
penurunan produksi albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia dan penurunan
tekanan onkotik yang selanjutnya menyebabkan perpindahan cairan dan edema yang
memburuk (Glovani, 2011).
Karakteristik data berdasarkan outcome bayi menunjukkan bahwa bayi lahir dengan
asfiksia sebanyak 5 orang (41,67%). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Oktaviana pada tahun 2009 di Di Rsud dr Moewardi Surakarta tercatat paling
banyak bayi lahir asfiksia sebanyak 8 sampel (20,51%). Hal ini sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa pada preeklampsia berat terjadi spasme arteri spiralis sehingga
terdapat penurunan aliran darah ke plasenta yang pada akhirnya janin mengalami
hipoksia (Mellembakken, 2001).
Karakteristik data berdasarkan waktu terjadinya ALO didapatkan paling banyak
terjadi ketika antepartum yaitu sebanyak 9 orang (75%). Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Pordeus pada tahun 2018 di Instituto de Medicina Integral Prof.
Fernando Figueira, Faculdade Pernambucana de Saude (FPS), Recife, Pernambuco,
Brazil tercatat paling banyak terjadinya ALO ketika antepartum sebesar 29 orang (58%).
Pole (2005) mengatakan predisposisi dalam kehamilan ini mungkin disebabkan oleh
perubahan kardiovaskular seperti peningkatan volume plasma dan curah jantung yang
berhubungan dengan penurunan tekanan osmotik koloid.
0
1
6 Eli Safitri 21t P1001 PP spontan B H0 1. Hamil ini 1. 1th 143 cm/ 42 +1 1,3 Telah lahir bayi ♀
h early HPP ec atonia uteri + kg g/dl AS 6-7
retensio plasenta + anemia
+ syok hipovolemik