Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penggunaan dan pemanfaatan material komposit sekarang ini semakin
berkembang. Pada dasarnya material komposit merupakan gabungan dari dua atau lebih
yang berbeda menjadi suatu bentuk unit mikroskopik, yang terbuat dari bermacam-
macam kombinasi sifat atau gabungan antara serat dan matrik (Jones, 1998).
Epoxy merupakan produk sintetik thermoset dari reaksi resin polyepoxy dengan
pengeras. Epoxy banyak digunakan sebagai matrik komposit serat, perekat, dan coating.
Epoxy mempunyai sifat mekanik yang baik, daya rekat yang baik, dan penyusutan yang
rendah. Namun sifat-sifat mekanik masih dapat diperbaiki dengan menambahkan bahan
lain sebagai pemodifikasi yang bersifat memperbaiki sifat tertentu seperti kekuatan tarik
dan sifat penyerapan airnya. Di lingkungan yang basah, epoxy dapat menyerap air dan
penyerapan air ke dalam epoxy akan berdampak buruk pada sifat mekanik epoxy.
Dalam penelitian ini menggunakan filler fly ash dan CaCO3. Tujuan
menggunakan filler fly ash dan CaCO3 adalah untuk memperbaiki sifat mekanik
material komposit pada kondisi kering dan basah, selain itu fly ash yang merupakan
limbah dari hasil pembakaran batu bara yang tertangkap oleh electrostatic precipitator
bisa di manfaatkan sebagai pengisi filler pada komposit sehingga dapat mengurangi
pencemaran lingkungan, di samping itu fly ash mempunyi kandungan silika dan
alumina serta mempunyai bentuk partikel bulat yang dapat mengurangi penyerapan air
(Ardiansyah, 2010), sedangkan CaCO3 jika beraksi dengan air akan menghasilkan
kalsium hidroksida yang dapat mengurangi penyerapan air.
Penelitian yang dilakukan oleh Idris (2016) telah menggunakan berbagai bahan
filler antara lain fly ash, CaCO3, batu apung, semen dan serbuk kaca pada epoxy dan
membandingkan sifat mekanik epoxy dengan filler dalam lingkungan kering dan basah,
kemudian dilakukan pengujian sifat penyerapan air dan kekuatan Tarik. Dari sisi
penyerapan air, kadar air kesetimbangan epoxy berfiller fly ash sebesar 2,41% dan kadar
air kesetimbangan epoxy berfiller CaCO3 sebesar 2,13%. Dan dari sisi sifat mekanik,
kekuatan tarik epoxy berfiller fly ash sebesar 49,71 MPa dan kekuatan tarik epoxy
berfiller CaCO3 sebesar 44,69 MPa.

1
Dari penelitian sebelumnya, Wijaya (2018) telah menggunakan berbagai bahan
filler antara lain fly ash, CaCO3, dan semen sebagai filler dan fraksi volume masing-
masing filler sebesar 5%, 10%, 15%, 20% dan 25%. Penelitian tersebut bertujuan untuk
mengetahui pengaruh fraksi volume filler terhadap kekuatan tarik epoxy, tetapi
penelitian tersebut tidak mengkombinasikan filler dan tidak membandingkan sifat
mekanik epoxy dengan filler dalam lingkungan kering dan basah. Sehingga belum
diketahui pengaruh kombinasi filler pada sifat mekanik epoxy dalam keadaan basah,
padahal air mempunyai pengaruh buruk terhadap sifat mekanik epoxy. Sehingga, hal
tersebut memberikan ide untuk meneliti pengaruh kombinasi filler terhadap kekuatan
tarik epoxy dalam keadaan kering dan basah.
Berdasarkan dari uraian di atas timbul gagasan untuk menganalisis kekuatan
tarik pada komposit epoxy yang diperkuat dengan kombinasi filler fly ash dan CaCO3
pada kondisi kering dan basah. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan komposit dengan
sifat mekanik yang lebih baik dan tahan terhadap air. Penelitian ini diharapkan akan
menghasilkan sesuatu material yang baru dan menarik, dengan aplikasi pada bidang
industri pesawat dan mobil guna mendapatkan konstruksi yang lebih ringan tapi sangat
kuat dan tahan terhadap air.

1.2 Rumusan Masalah


Beberapa masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Apakah ada perbedaan penyerapan air pada kombinasi filler fly ash dan CaCO3
pada epoxy?
b. Apakah jenis kombinasi filler memberikan pengaruh terhadap kekuatan tarik pada
epoxy pada kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh?

1.3 Batasan Masalah


Untuk menghindari permasalahan yang meluas pada penelitian ini, maka peneliti
memberikan batasan-batasan, antara lain:
a. Filler yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi filler (fly ash dan
CaCO3).
b. Ukuran filler yang digunakan yaitu yang lolos saringan 200 mesh.
c. Fraksi berat total filler adalah 20% dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3)
adalah (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%), (0% / 20%).
2
d. Hanya membandingkan spesimen kering (tanpa perendaman) dan spesimen basah
dengan perendaman.
e. Perendaman dilakukan pada air aquades.
f. Suhu air perendaman kondisi stabil 50˚C.

1.4 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui penyerapan air yang terjadi pada epoxy dengan kombinasi filler
yang direndam pada air destilasi.
b. Untuk mengetahui pengaruh kombinasi filler fly ash dan CaCO3 terhadap kekuatan
tarik pada epoxy pada kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh.

1.5 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dilakukannya penelitian ini adalah:
a. Untuk pengembangan epoxy sebagai perekat dan matrik polimer.
b. Untuk mendapatkan kombinasi filler yang tepat untuk epoxy yang diperlukan dalam
kondisi kering dan basah, terutama filler dari fly ash dan CaCO3, terutama terhadap
kekuatan tarik.
c. Sebagai literatur untuk penelitian yang sejenis dalam rangka pengembangan
teknologi khususnya di bidang perekatan.

1.6 Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Material Jurusan Teknik Mesin
Fakultas Teknik Universitas Mataram.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka


Sijabat dkk (2013) meneliti serbuk tempurung kelapa (STK) yang berasal dari
industri pembuatan obat anti nyamuk dapat digunakan sebagai bahan pengisi (filler)
pada komposit. Kajian tentang pemanfaatan STK sebagai pengisi di dalam matriks
poliester tak jenuh telah dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan ukuran pengisi
STK di dalam komposit poliester tak jenuh dalam menghasilkan sifat mekanik seperti
kekuatan tarik (tensile strength), kekuatan bentur (impact strength) dan penyerapan air
(water absorption) yang terbaik. Dalam penelitian ini, poliester tak jenuh dicampur
dengan STK dengan ukuran 50, 70 dan 100 mesh dengan perbandingan STK: Poliester
tak jenuh 20:80 (berat) menggunakan metoda hand lay-up. Hasil pengujian sifat-sifat
mekanik menunjukkan kekuatan tarik maksimum sebesar 42,558 MPa dihasilkan pada
komposit dengan ukuran STK 70 mesh. Analisa terhadap sifat kekuatan bentur
diperoleh bahwa peningkatan hanya terjadi pada ukuran STK 100 mesh 6083,47 J/m2.
Pada uji daya serap air, penyerapan air yang paling tinggi terjadi pada hari pertama dan
STK yang paling banyak menyerap air terdapat pada ukuran STK 70 mesh.
Rusnoto (2014) melakukan penelitian untuk mempelajari pengaruh fraksi berat
alumina sebagai penguat dan epoxy sebagai matrik terhadap faktor intensitas tegangan
kritis. Bahan matrik yang digunakan adalah resin epoxy dengan bahan penguat adalah
alumina dengan fraksi berat yang berbeda-beda. Pada bagian matrik perbandingan berat
antara epoxy dan hardener, selanjutnya campuran diaduk menggunakan mechanical
stirrer pada putaran dan suhu tertentu, dalam keadaan tetap berputar hardener
ditambahkan ke dalam campuran epoxy-alumina. Hasil campuran tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam bejana vakum untuk menghilangkan gelembung udara. Kemudian
hasil campuran dituangkan ke dalam cetakan aluminium, setelah itu hasil tuangan di
curing ke dalam oven dengan waktu tertentu, kemudian spesimen dilepas dari cetakan
dan dilanjutkan dengan postcuring. Hasil pengujian menunjukkan bahwa tidak terjadi
kenaikan terhadap faktor intensitas tegangan kritis terjadi pada penambahan fraksi berat
alumina sebesar 20% yaitu sebesar 2,001 MPa.𝑚1/2.
Sugiman dan Setyawan (2013) meneliti perlakuan permukaan fly ash (abu
terbang) menggunakan larutan asam dan alkali pada kekuatan tarik komposit abu
4
terbang/polyester tak jenuh. Larutan asam sulfat (H2SO4), asam fluorida (HF) dan
natrium hidroksida (NaOH) dengan konsentrasi 0%, 5%, 10%, 15%, dan 20% (berat)
digunakan untuk perlakuan permukaan abu terbang. Secara umum, kekuatan tarik
komposit abu terbang/polyester tak jenuh dengan perlakuan permukaan menunjukkan
peningkatan yang signifikan dibanding abu terbang tanpa perlakuan. Dari semua
perlakuan permukaan yang dipelajari, kekuatan tarik optimum diperoleh pada
konsentrasi larutan 10%. Pada konsentrasi tersebut, pada kandungan abu terbang 30%
berat, perlakuan permukaan dengan larutan NaOH memberikan kekuatan yang paling
tinggi sekitar 18,69 MPa atau meningkat 91% dibanding fly ash tanpa perlakuan.
Berdasar pada morfologi patahan sampel yang dievaluasi dengan scanning electron
microscope (SEM), permukaan patah komposit abu terbang dengan perlakuan lebih
kasar dibanding tanpa perlakuan yang menunjukkan perbaikan interaksi antara abu
terbang dan resin polyester tak jenuh.
Amin dan Raharjo (2012) meneliti pengaruh alkali terhadap kekuatan tarik
bahan komposit serat rambut manusia. Akan tetapi sebelum dapat dipergunakan sebagai
penguat pada bahan komposit harus diketahui sifat mekanik bahan tersebut. Kekuatan
tarik merupakan salah satu sifat mekanik yang sangat penting dari bahan komposit yang
sangat dipengaruhi oleh gaya ikat antara serat dan matrik. Penelitian ini berupaya untuk
meningkatkan gaya ikat antara serat dengan matrik dengan menggunakan perlakuan
alkali serat sebelum dipergunakan. Perlakuan alkali dilakukan dengan melakukan
perendaman potongan rambut manusia dari bekas tukang potong didalam larutan NaOH
5% selama (0, 30, 60, 90 dan 120) menit. Setelah dicuci dan dikeringkan serat rambut
dipergunakan sebagai penguat pada komposit matrik Epoxy dengan penambahan 40%
berat. Hasil yang diperoleh dari penelitian bahwa dengan melakukan perendaman
rambut kedalam larutan 5% NaOH selama 60 menit mengalami kekuatan tarik optimal
yaitu sebesar 28,862 Mpa dibanding waktu-waktu lain. Hal ini juga terbukti dari hasil
foto makro penampang patahan yaitu terjadi patahan homogen dan tidak terjadi fiber
pull out.
Komposit merupakan material teknik yang dibuat melalui penggabungan dua
macam bahan yang mempunyai sifat berbeda menjadi satu material baru dengan sifat
yang berbeda pula. Serat alam sebagai penguat komposit yaitu lebih ramah lingkungan
dan mudah terurai, selain itu komposit serat alam juga mempunyai daya redam lebih
tinggi dibandingkan komposit serat glass dan serat karbon, serta serat alam lebih
5
ekonomi dibanding serat glass dan serat karbon. Permasalahan dari penelitian ini adalah
bagaimana pengaruh perendaman terhadap sifat mekanik komposit polyester berpenguat
serat buah lontar dengan fraksi volume serat 40%. Tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perendaman terhadap sifat mekanik
komposit polyester berpenguat serat buah lontar. Arah orientasi serat adalah acak
dengan perendaman pada air, air laut, dan dibiarkan pada udara bebas dengan variasi
waktu 10, 20, dan 30 hari. Proses pencetakan menggunakan proses hand lay up. Proses
pembentukan spesimen uji tarik menggunakan standar ASTM D638 sedangkan
spesimen uji bending menggunakan standar ASTM D790. Kadar air komposit
cenderung meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu perendaman, kenaikannya
8,70% untuk spesimen uji bending dan 7,021 % untuk spesimen uji tarik Kekuatan tarik
dan bending komposit serat lontar mengalami penurunan akibat bertambahnya kadar air.
Lingkungan berair dan ruang terbuka memberikan pengaruh yang hampir sama terhadap
penurunan kekuatan tarik dan bending komposit. Dari hasil foto makro terdapat patah
getas dan debonding (Boimau, 2014).
Ardiansyah (2018) meneliti pengaruh fraksi volume filler terhadap kekuatan
bending epoxy. Penelitian tersebut menggunakan berbagai bahan filler antara lain fly
ash, CaCO3, batu apung, semen, dan serbuk kaca. Fraksi volume masing-masing filler
sebesar 5%, 10%, 15%, 20% dan 25%. Hasil penelitian diperoleh kekuatan bending
tertinggi pada masing-masing filler adalah filler fly ash 10% sebesar 72.08 MPa, filler
CaCO3 5% sebesar 64.72 MPa, filler batu apung 10% sebesar 67.73 MPa, filler semen
5% sebesar 69.82 MPa, dan filler serbuk kaca 5% sebesar 65.84 MPa.

2.2 Landasan Teori


2.2.1 Komposit partikel
Komposit partikel merupakan komposit yang mengandung bahan penguat
berbentuk partikel atau serbuk. Partikel sebagai bahan penguat sangat menentukan sifat
mekanik dari komposit karena meneruskan beban yang didistribusikan oleh matrik.
Ukuran, bentuk, dan material partikel adalah faktor-faktor yang mempengaruhi sifat
mekanik dari komposit partikel.
Sifat-sifat komposit partikel dipengaruhi beberapa faktor, antara lain:
a. Ukuran dan bentuk partikel
b. Sifat-sifat atau bahan partikel
6
c. Rancangan partikel
d. Rasio perbandingan antara partikel dengan matrik
e. Jenis matrik.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan komposit partikel adalah
menghilangkan unsur udara dan air karena partikel yang berongga atau memiliki lubang
udara kurang baik digunakan dalam campuran komposit. Adanya udara dan air di sela-
sela partikel dapat mengurangi kekuatan dan mengurangi ketahanan retak bahan.
Partikel sebagai elemen penguat sangat menentukkan sifat mekanik dari komposit
karena meneruskan beban yang didisrtibusikan oleh matrik. Ukuran, bentuk dan
material partikel adalah faktor-faktor yang memepengaruhi property mekanik dari
komposit partikel. Pengaruh peningkatan kehalusan partikel pada komposit antara lain.
a. Memperkecil diameter pori.
b. Meningkatkan kerapatan.
c. Meningkatkan nilai porositas.
d. Meningkatkan kekuatan tekan dan kekuatan lentur.

Gambar 2.1 Komposit partikel (Andri, 2008)

2.2.2 Jenis-jenis matriks


Matrik dalam susunan komposit bertugas melindungi dan mengikat serat agar
dapat bekerja dengan baik. Matrik harus bisa meneruskan beban dari luar ke serat.
Umumnya matrik terbuat dari bahan-bahan yang lunak dan liat. Polimer (plastik)
merupakan bahan umum yang biasa digunakan. Matrik juga umumnya dipilih dari
kemampuannya menahan panas. Polyester, vinil ester dan epoxy adalah bahan-bahan
polimer yang sejak dahulu telah dipakai sebagai bahan matrik.
Persyaratan di bawah ini perlu dipenuhi sebagai bahan matrik untuk pencetakan
bahan komposit:
a. Resin yang dipakai perlu memiliki viskositas rendah, dapat sesuai dengan bahan
penguat dan permeable.
b. Dapat diukur pada temperatur kamar dalam waktu yang optimal.

7
c. Mempunyai penyusutan yang kecil pada pengawetan.
d. Memiliki kelengketan yang baik dengan bahan penguat.
e. Mempunyai sifat baik dari bahan yang diawetkan.
Berikut adalah beberapa jenis material matriks:
1. Matriks polimer
Polimer adalah material yang paling banyak digunakan sebagai material matriks
pada komposit, yaitu termoplastik dan termosetting. Sekali dibentuk, termosetting akan
berikatan selang-seling (cross-link), membentuk jaringan molekul tiga dimensi yang
tahan temperatur tinggi, melebihi termoplastik. Termoplastik, karena ber-basic rantai
polimer yang tidak berikatan selang-seling akan menjadi lunak dan mencair apabila
dipanaskan dan mengeras kembali setelah mengalami pendinginan.
2. Matriks logam
Pada pengunaan logam sebagai matriks seperti titanium, magnesium, dan
paduannya, temperatur operasi mencapai 1250˚C (2280˚F). Keunggulan lain dari logam
sebagai matriks adalah kekuatan yang tinggi, kekakuan, dan keuletan daripada polimer,
tetapi mempunyai densitas lebih besar sehingga lebih berat, sedangkan pertimbangan
utama pembuatan komposit biasanya mereduksi berat komponen.
3. Matriks keramik
Keramik yang digunakan sebagai matriks seperti silicon carbide dan silicon
nitride yang dapat digunakan pada temperatur sampai 1650˚C (3000˚F). Keramik
memiliki tensile strength yang rendah dan getas. Jenis lain yang digunakan juga adalah
karbon fiber/karbon matrix tetapi faktor harga mengakibatkan material ini hanya
dipakai pada beberapa keperluan yang sangat penting dalam dunia ledirgantaraan.
Bahan yang umumnya dipakai sebagai matrik adalah resin atau polimer. Adapun
jenis resin yang sering digunakan adalah :
a) Polyester (orthopthalic). Resin tipe ini sangat tahan terhadap proses korosi air laut
dan asam encer. Adapun spesifikasi teknisnya adalah sebagai berikut : massa jenis
= 1,23 g/cm3, modulus Young = 3,2 GPa, angka Poison = 0,36 dan kekuatan tarik =
65 MPa.
b) Polyester (Isophathalic). Resin tipe ini tahan terhadap panas dan larutan asam,
kekerasannya lebih tinggi serta kemampuan menahan resapan air yang paling baik
dibandingkan dengan resin yang tipe ortho. Penggunaan resin jenis ini hanya pada
kondisi tertentu. Adapun spesifikasinya adalah sebagai berikut, massa jenis = 1,19
8
g/cm3, modulus Young = 3,2 GPa, angka Poison = 0,35 dan kekuatan tarik = 85
MPa.
c) Epoxy. Resin tipe ini mampu menahan resapan air (adhesion) sangat baik dan
kekuatan mekanik yang paling tinggi. Adapun spesifikasi teknis adalah sebagai
berikut : massa jenis = 1,20 g/cm3, modulus Young = 3,2 GPa, angka Poison = 0,37
dan kekuatan tarik = 85 MPa.
d) Vinyl ester. Resin tipe ini mempunyai ketahanan terhadap larutan kimia (chemical
resistance) yang paling unggul. Adapun spesifikasi teknisnya adalah sebagai
berikut : massa jenis = 1,12 g/cm3, modulus Young = 3,4 GPa dan kekuatan tarik =
83 MPa.
e) Resin tipe phevnolic. Resin tipe ini tahan terhadap larutan asam dan larutan alkali.
Adapun spesifikasi teknis adalah sebagai berikut : massa jenis = 1,15 g/cm3,
modulus Young= 3,0 GPa dan kekuatan tarik= 50 MPa.

2.2.3 Variasi Filler


a. Fly ash
1. Pengertian dan sifat fly ash
Fly ash (abu terbang), adalah abu yang sangat ringan dan halus yang diperoleh
dari hasil pembakaran batu bara. Dimana abu tersebut terbang di dalam pipa-pipa
cerobong yang kemudian tertangkap oleh electrostatic precipitator sehingga jatuh
kembali ke bawah. Menurut definisi SNI 03-6414-2002, fly ash adalah abu yang
diperoleh dari hasil pembakaran batu bara yang berbentuk halus, bundar dan bersifat
pozzolanic. Menurut ASTM C-618, fly ash adalah abu yang mengandung unsur silika
(SI) yang mana bila diberikan air, maka abu tersebut akan memiliki sifat mengikat
(cementitious).
2. Komposisi
Fly ash ini biasa digunakan sebagai campuran semen dan menurut standar SNI,
pemakaian fly ash pada campuran semen adalah sebesar 20 - 25%. Menurut definisi
CSA A-23.5, fly ash dikelompokan dengan memperhatikan kadar senyawa kimiawinya,
yaitu :
a) Type F : CaO < 8%.
b) Type C : CaO = 8 - 20%.
c) Type CH : CaO > 20%.
9
Kegunaan fly ash itu sendiri adalah sebagai bahan pencampur semen dan
stabilisasi tanah ekspansif. Pemakaian fly ash sebagai bahan tambahan campuran dalam
pembuatan semen telah dimulai sejak tahun 1930-an (Ardiansyah, 2010).
b. CaCO3
Kalsium karbonat umumnya bewarna putih dan umumnya sering djumpai pada
batu kapur, kalsit, marmer, dan batu gamping. Selain itu kalsium karbonat juga banyak
dijumpai pada skalaktit dan stalagmit yang terdapat di sekitar pegunungan. Karbonat
yang terdapat pada skalaktit dan stalagmit berasal dari tetesan air tanah selama ribuan
bahkan juataan tahun. Seperti namanya, kalsium karbonat ini terdiri dari 2 unsur
kalsium dan 1 unsur karbon dan 3 unsur oksigen.
Setiap unsur karbon terikat kuat dengan 3 oksigen, dan ikatan ini ikatannya lebih
longgar dari ikatan antara karbon dengan kalsium pada satu senyawa. Kalsium karbonat
bila dipanaskan akan pecah dan menjadi serbuk remah yang lunak yang dinamakan
calsium oksida (CaO). Hal ini terjadi karena pada reaksi tersebut setiap molekul dari
kalsium akan bergabung dengan 1 atom oksigen dan molekul lainnya akan berikatan
dengan oksigen menghasilkan CO2 yang akan terlepas ke udara sebagai gas karbon
dioksida. Dengan reaksi sebagai berikut:
CaCO3 --> CaO + CO2
Reaksi ini akan berlanjut apabila ditambahkan air, reaksinya akan berjalan
dengan sangat kuat dan cepat apabila dalam bentuk serbuk, serbuk kalsium karbonat
akan melepaskan kalor. Molekul dari CaCO3 akan segera mengikat molekul air (H2O)
yang akan menbentuk kalsium hidroksida, zat yang lunak seperti pasta. Sebagaimana
ditunjukkan pada reaksi CaCO3 + H2¬O --> Ca (OH) 2 + CO2 (Gummadi, 2012).

2.2.4 Epoxy
Perekat ini merupakan produk sintetik termoset dari reaksi resin polyepoxy
dengan zat pengeras. Dapat diperoleh dalam bentuk sistem satu atau dua komponen.
Sistem satu komponen meliputi resin cair bebas pelarut, larutan, pasta resin cair, bubuk,
pellet dan pasta. Sistem dua komponen terdiri atas resin zat curing yang dicampur saat
digunakan. Sistem juga mengandung pemlastik, pengencer reaktif, filler, pigmen dan zat
resin lain. Pemakaian hardener reaktif atau katalis untuk mendukung curing
menyebabkan keluarnya panas. Pada curing suhu kamar, perlu hardener tercepat,
supaya tidak memerlukan panas dari luar.
10
Resin epoxy memiliki beberapa keunggulan sebagai zat perekat dibandingkan
dengan polimer-polimer yang lain. Diantaranya adalah keaktifan permukaan tinggi,
daya pembahasan baik, kekuatan kohesif tinggi, tidak mengkerut, dapat luwes diubah-
ubah sifatnya dengan memiliih resin hardener yang tepat. Perekat epoxy kekuatannya
tidak berubah dalam waktu yang lama, tahan minyak, gemuk, panas atau cuaca dingin.
Sifat mekanik resin epoxy dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Sifat mekanik resin epoxy (Hartomo, 1992).
Sifat sifat Satuan
Kekuatan Tarik MPa
Elongasi %
Kekuatan Fleksural MPa
Modulus Young GPa
Kekuatan Impak J/m2
Densitas g/cm3

2.2.5 Penyerapan air (Difusi)


Difusi adalah proses penyerapan air pada suatu material tergantung waktu yang
mana materi ditransfer dari satu tempat ke tempat lain dengan gerakan molekul random
(Crank, 1975) seperti digambarkan pada Gambar 2.2.
h2l

moisture moisture

Gambar 2.2 Ilustrasi penyerapan air pada plat polimer tak terhingga (Crank, 1975).

Dari Gambar 2.2 diatas air dalam bentuk uap (moisture) atau cairan dapat
berdifusi ke dalam plat komposit, dimana proses difusi tergantung pada konsentrasi,
waktu, ketebalan plat dan suhu. Kelembaban masuk melalui kedua sisi ketebalan secara
tegak lurus. Gambar 2.3 adalah contoh ilustrasi hubungan antara air yang terserap (Ka)

dengan akar waktu ( t ) yang akan menghasilkan slope penyerapan air pada saat
proses difusi secara linier.
11
Untuk mencari nilai air yang terserap digunakan persamaan 2.1 (Putra, 2018) :
𝑊𝑡−𝑊0
Ka = x100% …................................................................................ (2.1)
W0

Dimana: Ka = air yang terserap (%)


Wt = berat total (gram)
W0 = berat awal (gram)

Gambar 2.3 Ilustrasi gambar kurva penyerapan air pada polimer (Putra, 2018).

Jumlah massa kelembaban yang terserap dalam plat mengikuti hukum Fick
sehingga dapat dihitung laju difusi air, dengan Persamaan 2.2 (Putra, 2018) :
𝑘.ℎ
D=𝜋( )2 ........................................................................................ (2.2)
4 𝐾𝑎∞

Dimana: D = laju difusi


k = slope plot penyerapan air
Ka∞ = air terserap saat kesetimbangan
h = tebal spesimen
Perilaku molekul air berdifusi ke dalam polimer dapat dipengaruhi oleh
bagaimana air berinteraksi dengan struktur polimer. Telah disepakati secara umum
bahwa ada dua jenis kondisi air yang berdifusi dalam polimer yaitu air bebas dan air
terikat. Air bebas terdistribusi secara homogen dalam komposit tipis pada saat
kesetimbangan sebelum menjadi air terikat, kemudian berdifusi ke dalam polyester
pertama kali dalam bentuk air bebas yang berada dalam tempat-tempat kosong. Air
kemudian memutus rantai molekul dan menjadi air terikat, dimana air yang terikat
menentukan air yang terserap sedangkan mobilitas rantai dan pembentukan kembali
segmen rantai menentukan laju difusi.
Faktor–faktor yang mempengaruhi difusi adalah sebagai berikut :
a. Ketebalan

12
Ketebalan mempengaruhi perilaku air terserap ke komposit. Semakin tebal
komposit, perilaku difusi air akan mengikuti pola hukum Fick, dan semakin tipis
komposit air terserap berperilaku menyimpang dari hukum Fick. Hal ini terjadi karena
proses relaksasi rantai polimer setelah berinteraksi dengan molekul air memerlukan
waktu dan ruang.

Akar Waktu (Jam1/2)

Gambar 2.4 Penyerapan air pada perekat epoxy dengan perbedaan ketebalan (Lin dan Chen,
2005).

b. Suhu
Suhu mempengaruhi laju difusi air ke dalam komposit tetapi beberapa komposit
menunjukkan di samping meningkatkan laju difusi juga meningkatkan jumlah air yang
terserap. Ada juga yang menunjukkan kandungan air turun dengan meningkatnya suhu.
c. Kelembaban
Proses difusi akan terjadi lebih cepat bila kelembaban di sekitar polimer lebih
tinggi. Jumlah air yang terserap juga lebih tinggi karena proses difusi dipengaruhi oleh
perbedaan konsentrasi difusi.
d. Jenis polimer yang berhubungan dengan struktur mikronya
1. Polimer dengan struktur amorf lebih mudah menyerap air dari pada kristalin
(molekul/ion pembangunnya tersusun menjadi 3 dimensi) karena adanya void-
void antara rantai yang banyak dan lebih besar.
2. Respon adsorpsi air dapat berbeda tergantung pada struktur mikro polimer.
Adanya ketidakhomogenan struktur juga mempengaruhi proses difusi. Adanya
partikel termoplastik dalam matrik termoset meningkatkan laju difusi tetapi
menurunkan kandungan air kesetimbangan.

13
2.2.6 Pengaruh kelembaban terhadap perekat
a. Temperatur Transisi Gelas (Tg)
Pengaruh kelembaban yang berdifusi ke dalam polimer, dapat
mempengaruhi mobilitas rantai polimer dan akan mempengaruhi temperatur
transisi gelas. Pengaruh kelembaban pada mobilitas rantai tergantung pada
struktur polimer. Sebuah polimer kaca kering, yaitu epoxy resin dengan massa
jenis cross-link yang tinggi. Oleh karena itu, modifikasi strukutur ini akan
mempengaruhi temperatur transisi gelas.
b. Pembengkakan
Pembengkakan merupakan perubahan volumentrik suatu material akibat
kadar air melalui proses ekspansi thermal. Ketika air berdifusi ke dalam resin
epoxy, mengisi volume bebas air yang kosong. Dengan peningkatan waktu
perendaman, air dapat mengganggu ikatan rantai pada strukur polimer dan
kemudian menjadi air terikat. Air terikat dapat memicu terjadinya
pembengkakan pada resin epoxy (Adamson, 1980). Pengaruh peningkatan
temperatur juga meningkatkan penyerapan air dan serapan air maksimum juga
semakin meningkat.

2.2.7 Pengujian tarik


Uji tarik merupakan salah satu pengujian yang dilakukan pada material untuk
mengetahui karakteristik dan sifat mekanik material terutama kekuatan dan ketahaanan
terhadap beban tarik. Dari pengujian ini, maka kita bisa menentukan apakah material
seperti ini cocok tidak dengan kebutuhan penggunaan dimana yang sering dialami oleh
material tersebut beban tarik. Uji tarik banyak dilakukan untuk melengkapi informasi
rancangan dasar kekuatan suatu bahan dan sebagai data pendukung bagi spesifikasi
bahan. Pada uji tarik, benda uji diberi beban gaya tarik sesumbu yang bertambah secara
kontinyu, bersamaan dengan itu dilakukan pengamatan terhadap perpanjangan yang
dialami benda uji. Adapun spesimen uji pada pengujian tarik penelitian ini mengacu
pada ASTM D638, dengan bentuk spesimen berbentuk dog bone sesuai dengan gambar
2.5:

14
P P

Gambar 2.5 Gaya yang bekerja pada uji tarik (Akbar, 2015).

Kekuatan tarik spesimen dihitung dengan rumus 2.3 (Akbar, 2015) :


σt= Pmaks /A ......................................................................................... (2.3)
Dimana : σt = Kekuatan tarik
Pmak s = Beban maksimum
A = Luas patahan

Gambar 2.6 Ilustrasi grafik hasil uji tarik dengan modifikasi (Putri, 2018).

Regangan tarik dapat dihitung dengan persamaan 2.4 (Wijaya, 2018) :


𝑙𝑡 −𝑙𝑜
 ........................................................................................... (2.4)
𝑙𝑜

Dimana:
 = regangan
Lt = pertambahan panjang (mm).
Lo = panjang awal (mm).

15
Modulus elastisitas adalah sifat material yang menunjukkan kekakuan material
saat menerima beban.
𝜎

2
𝜎2
𝜎1 1

ε
𝜀1 𝜀2
Gambar 2.7 Grafik hubungan antara tegangan dan regangan untuk menentukan modulus
elastisitas (Putra, 2018).

Dari Gambar 2.7, besarnya modulus elastisitas di daerah elastis dapat dihitung
dengan persamaan 2.5 (Putra, 2018).
∆𝜎 𝜎2 − 𝜎1
E= = .................................................................................... (2.5)
∆𝜀 𝜀2 − 𝜀1

Dengan:
E : modulus elastisitas (MPa)
2 : tegangan pada titik 2 (MPa)
𝜎1 : tegangan pada titik 1 (MPa)
2 : regangan pada titik 2 (%)
𝜀1 : regangan pada titik 1 (%)

Ketangguhan (toughness) dipakai untuk menentukan seberapa besar suatu


material menyerap energi sampai dia patah.

16
Gambar 2.8 Grafik hubungan tegangan dan regangan untuk menentukan ketangguhan
(Wijaya,2018)

Dari Gambar 2.8 besarnya nilai ketangguhan tarik pada daerah di bawah kurva
dapat dihitung dengan persamaan 2.6 (Wijaya, 2018) :
𝜎𝑦 + 𝜎𝑢
Ut = ×𝜀𝑓 ........................................................................................................ (2.6)
2

Dengan:
Ut = ketangguhan tarik
𝜎𝑦 = tegangan pada titik luluh
𝜎𝑢 = tegangan pada titik ultimate
𝜀𝑓 = regangan saat patah

2.2.8 Analisa data


Selanjutnya data yang didapatkan juga dianalisis dengan menggunakan metode
statistik, yaitu metode yang digunakan adalah analisis varian (ANOVA) satu arah dan
dua arah. Dalam pengolahan data ini digunakan persamaan-persamaan pada tabel 2.2
dan tabel 2.3 antara lain:
Tabel 2.2 Analisis variansi satu arah (Hasan, 2002).
Sumber Varians Jumlah Derajat Bebas Rata-Rata F0
Kuadrat kuadrat
Rata-rata kolom JKK k-1 JKK s 21
s1 
2

Eror k 1 s2
2

JKE k(n-1) JKE


s1 
2

k (n  1)

Total JKT nk-1

17
Dalam ANOVA, diambil dua hipotesa:
H0 = bila faktor yang diselidiki tidak berpengaruh.
H1 = bila faktor yang diselidiki berpengaruh terhadap parameter terukur.
Statistik untuk menguji hipotesa diatas adalah:
Bila dari hasil perhitungan diperoleh Fhitung lebih besar dari Ftabel, maka hipotesis
nol (H0) ditolak dan hipotesis alternative (H1) diterima.
Formula dalam perhitungan ANOVA:
k n
T 2 ..
  xij 
2
JKT =
i 1 j 1 nk
k

T
2
i
i j T 2 ..
JKK = 
n nk
k

T
j 1
j
2

T2
JKK = 
rn rkn
JKE = JKT-JKK

Tabel 2.3 Analisis variansi dua arah (Hasan, 2002).


Sumber Varians Jumlah Derajat Rata-Rata Kuadrat Fhitung
Kuadrat Bebas
Rata-Rata Baris JKB b-1 JKB s12
s1 
2
f1 
b 1 s 42
Rata-Rata kolom JKK k-1 JKK
s2 
2
s 22
k 1 f2 
s 42
JK ( BK )
s3 
2
Interaksi JK (BK) (k-1) (b-1)
(b  1)(k  1) s 32
f3  2
s4
JKE
s4 
2
Eror JKE bk(n-1)
bk (n  1)

Total JKT bkn - 1

Dalam ANOVA, diambil dua hipotesa:


H0 = bila faktor yang diselidiki tidak berpengaruh.
H1 = bila faktor yang diselidiki berpengaruh terhadap parameter terukur.
Statistik untuk menguji hipotesa diatas adalah:
18
Bila dari hasil perhitungan diperoleh Fhitung lebih besar dari Ftabel, maka hipotesis
nol (H0) ditolak dan hipotesis alternative (H1) diterima.
Formula dalam perhitungan ANOVA:
k n
T 2 ..
  xij 
2
JKT =
i 1 j 1 kb
k

T
2
i
i j T 2 ..
JKB = 
ni kb
k

T
j 1
i
2
.j
T 2 ..
JKK = 
b kb
JKE = JKT-JKB-JKK

Keterangan:
JKT = jumlah kuadrat total
JKB = jumlah kuadrat baris
JKK = jumlah kuadrat kolom
JKE = jumlah kuadrat error
N = jumlah data
n = jumah perulangan (n = 0, 1... n)
k = kolom (k = 0, 1, 2, k)
b = baris (j = 0, 1, 2... j)
Xij = Data pada baris ke-I dan ulangan ke-m
Ti = Total baris ke-i
Tj = Total baris ke-j
Tij = Total seluruh di baris ke-I dan kolom ke-j
T = Total keseluruhan pengamatan

19
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Diagram Alir Penelitian


Diagram alir penelitian ditampilkan berdasarkan gambar 3.1

Persiapan alat dan bahan

Epoxy resin Fly ash CaCO3 Epoxy hardener

Fraksi berat total filler adalah 20 % dengan kombinasi filler (fly ash : CaCO3)
adalah ( 20% / 0 %), (15% / 5% ), (10% / 10%), (5% / 15%), (0% / 20%)

Pencampuran epoxy resin Pencampuran dengan


dengan filler, t= 30 menit epoxy hardener, t= 5 menit

Preparasi spesimen Mencetak spesimen, Melakukan pemvakuman,


pengujian t curing= 1 hari t= 20 menit

Perendaman di Penimbangan secara periodik


aquades, T 50˚C sesuai dengan sub bab 3.3.2

Semi-
tidak jenuh dan ya
jenuh?

ya

Spesimen Spesimen Spesimen


kering semi-jenuh jenuh

Pengujian tarik
ASTM D638

Pengumpulan data dan


pengolahan data

Analisa dan Kesimpulan


pembahasan dan saran
Gambar 3.1 Diagram alir pembuatan spesimen uji tarik.

20
3.2 Persiapan Alat dan Bahan
3.2.1 Alat penelitian
Adapun alat yang digunakan pada penelitian ini adalah:
a. Mesin uji Universal Testing Machine digunakan untuk menguji tarik (Gambar
3.2)

Gambar 3.2 Alat uji tarik tensilon RGT-1310.

b. Mistar digunakan untuk mengukur spesimen.


c. Nomor amplas 100 cm3 digunakan untuk mengamplas spesimen.
d. Sarung tangan digunakan untuk melindungi tangan dari bahan berbahaya.
e. Masker digunakan untuk melindungi kesehatan.
f. Spidol digunakan untuk menandai ukuran spesimen sebelum dipotong.
g. Gelas ukur digunakan untuk mengukur perbandingan bahan yang digunakan
ketika ditimbang.
h. Wadah digunakan untuk mengaduk filler.
i. Sendok digunakan untuk mengaduk adonan filler dengan epoxy.
j. Timbangan digunakan untuk menimbang bahan (Gambar 3.3).

21
Gambar 3.3 Timbangan digital ketelitian 0,1 g.

k. Vacum pump digunakan untuk memvakum filler yang sudah dicampur dengan
epoxy resin dan epoxy hardener (Gambar 3.4).

Gambar 3.4 Alat vakum.

l. Toples modifkasi sebagai wadah tempat pemvakuman (Gambar 3.5).

Gambar 3.5 Toples modifikasi untuk vakum.


22
m. Silikon rubber digunakan untuk menyetak specimen (Gambar 3.6).

Gambar 3.6 Cetakan spesimen uji tarik.

n. Wadah perendaman modifikasi digunakan untuk merendam spesimen uji tarik


dengan suhu diatur sebesar 50 0C (Gambar 3.7).

b
d
Gambar 3.7 Wadah perendaman modifikasi

Keterangan: a. PID
b. Rak spesimen
c. Water Heater
d. Pompa air

23
o. Vernier caliper digital, dengan ketelitian 0,01 mm digunakan untuk mengukur
dimensi spesimen uji (Gambar 3.8).

Gambar 3.8 Varnier caliper.

p. Timbangan digital ketelitian 0,0001 g (Gambar 3.9).

Gambar 3.9 Timbangan digital dengan ketelitian 0,0001 g.

q. Mikroskop, digunakan untuk mengamati pusat retak pada spesimen.

3.2.2 Bahan penelitian


Adapun bahan penelitian yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:
a. Filler fly ash dan CaCO3.
b. Resin epoxy
c. Epoxy Hardener
d. Air aquades (air destilasi), digunakan untuk merendam spesimen komposit
yang akan diuji.
24
3.3 Proses Penelitian
3.3.1 Pembuatan spesimen uji tarik
Persiapan untuk pembuatan spesimen dimulai dengan menyiapkan alat dan
bahan seperti filler, alat vakum, timbangan, toples, gelas plastik, tisu, sendok, resin
epoxy, epoxy hardener dan cetakan. Tahap berikutnya pencampuran antara resin epoxy
dengan filler dengan fraksi berat total filler adalah 20% dengan kombinasi filler ( fly ash
/ CaCO3 ) adalah (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%).
Adonan ini dicampur atau diaduk menggunakan sendok selama 30 menit, baru
menentukan perbandingan antara adonan resin epoxy filler dengan katalis ( epoxy
hardener ) yaitu 60 : 60 (g). Lalu campuran tersebut diaduk kembali menggunakan
sendok selama 5-10 menit sampai terlihat homogen.
Tahap berikutnya adalah proses pemvakuman. Proses ini bertujuan untuk
menghilangkan void-void yang terdapat pada adonan. Proses ini dilakukan semaksimal
mungkin sampai void benar-benar hilang atau dilakukan dengan maksimal waktu 20
menit. Setelah proses pemvakuman selesai, adonan dituangkan dalam cetakan dan
dibiarkan sampai kering atau didiamkan selama sehari.
Setelah itu spesimen uji bisa dilepas dari cetakan dan melanjutkan ke proses
finishing. Proses finishing ini sangat perlu dilakukan agar spesimen yang dibuat sesuai
dengan standar ASTM D638 yang dipakai pada pengujian. Proses finishing yang
dilakukan seperti pemotongan dan pengamplasan agar ukuran spesimen sesuai dengan
standar yang digunakan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.10 untuk dimensi
spesimen uji tarik.

Gambar 3.10 Spesimen uji tarik ASTM D638 (satuan millimeter).

25
3.3.2 Penyerapan air
Untuk penyerapan air, spesimen seperti gambar 3.10 ditimbang dan diukur dulu
sebelum melakukan perendaman. Hal ini dilakukan untuk mengetahui berat awal dan
tebal awal spesimen. Setelah pengukuran selesai barulah spesimen direndam selama 60
hari dan tetap melakukan penimbangan spesimen karena spesimen akan mengalami
perubahan dimensi dan berat setelah dilakukan proses perendaman. Untuk perendaman
hari ke-1 melakukan penimbangan spesimen sebanyak 2x sehari setiap 4 jam. Dan
untuk hari ke-2 melakukan penimbangan spesimen sebanyak 2x sehari setiap 6 jam.
Dan untuk hari ke-3 sampai hari ke-60, melakukan penimbangan spesimen sekali dalam
sehari. Jika proses pengukuran dan penimbangan selesai, spesimen tetap dibiarkan
dalam kondisi basah sampai dilakukannya proses pengujian pada spesimen.

3.3.3 Langkah pengujian tarik


Pengujian tarik ini bertujuan untuk megetahui sifat-sifat kekuatan tarik, modulus
elastisitas, regangan tarik dan ketangguhan tarik dari suatu bahan. Pengujian ini
dilakukan dengan cara memberi gaya tarik secara perlahan-lahan sampai spesimen
mencapai titik patah, seperti pada gambar 3.11. Alat untuk uji tarik ini harus memiliki
cengkraman (grip) yang kuat.
Tahapan pengujian tarik adalah sebagai berikut:
a. Mengukur dimensi spesimen meliputi panjang, lebar, dan tebal.
b. Mengukur benda uji pada pegangan (grip) atas dan pegangan bawah pada
mesin uji tarik.
c. Menyalakan mesin uji tarik dan melakukan pembebanan tarik sampai benda
uji patah.
d. Melepaskan benda uji pada pegangan atas dan pegangan bawah, kemudian
satukan keduanya kembali seperti semula.

Gambar 3.11 Skema pengujian spesimen uji tarik ( ASTM D-638 ).


26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan membahas hasil pengujian yang telah dilakukan diantaranya
adalah penyerapan air destilasi dan kekuatan tarik.
4.1 Penyerapan Air Destilasi
4.1.1 Hasil penyerapan air destilasi
Dari hasil pengujian penyerapan air pada spesimen dengan jenis komposisi filler
(fly ash / CaCO3) dapat dlihat pada Tabel 4.1. Dari tabel 4.1 diperoleh grafik kadar air-
akar waktu seperti pada Gambar 4.1. Adapun rangkuman dari penyerapan air pada
spesimen saat kesetimbangan seperti pada Tabel 4.2
Tabel 4.1 Hasil rata-rata penyerapan air pada spesimen.
Akar Fly ash Fly ash Fly ash Fly ash Fly ash
Resin
waktu 20%/CaCO3 15%/CaCO3 10%/CaCO3 5%/CaCO3 0%/CaCO3
murni
0% 5% 10% 15% 20%
0 0 0 0 0 0 0
2 0,14 0,21 0,24 0,21 0,19 0,18
2,74 0,25 0,31 0,36 0,32 0,28 0,28
4,74 0,62 0,62 0,76 0,65 0,60 0,59
5,52 0,79 0,77 0,93 0,81 0,75 0,74
7,03 1,17 1,04 1,28 1,11 1,03 1,01
9,85 1,92 1,62 1,98 1,74 1,61 1,57
10,98 2,20 1,83 2,25 1,979 1,84 1,78
11,98 2,57 2,11 2,60 2,28 2,13 2,05
12,99 2,71 2,23 2,75 2,41 2,25 2,16
14,14 3,02 2,48 3,02 2,66 2,48 2,39
14,76 3,15 2,58 3,17 2,78 2,61 2,49
15,59 3,52 2,87 3,52 3,09 2,90 2,77
16,30 3,68 2,99 3,67 3,23 3,02 2,90
17,05 3,86 3,13 3,84 3,38 3,17 3,03
17,74 4,01 3,25 3,97 3,51 3,29 3,15
18,57 4,21 3,40 4,15 3,67 3,44 3,30
19,13 4,33 3,50 4,26 3,78 3,55 3,39
20,40 4,63 3,72 4,52 4,01 3,77 3,61
21,03 4,77 3,83 4,62 4,12 3,89 3,72
21,42 4,86 3,89 4,69 4,18 3,95 3,79
22,16 5,01 4,02 4,81 4,31 4,07 3,91
22,50 5,08 4,07 4,86 4,358 4,13 3,96
24,18 5,43 4,34 5,11 4,62 4,39 4,24
25,08 5,602 4,47 5,22 4,73 4,51 4,37
27
25,98 5,77 4,59] 5,32 4,85 4,64 4,51
27,50 6,03 4,79] 5,47 5,03 4,83 4,72
28,21 6,15 4,87 5,54 5,11 4,92 4,82
29,03 6,28 4,97 5,61 5,19 5,01 4,93
30,32 6,46 5,10 5,71 5,30 5,13 5,08
31,48 6,61 5,20 5,79 5,38 5,23 5,20
31,93 6,66 5,23 5,81 5,41 5,26 5,24
32,99 6,77 5,32 5,87 5,48 5,35 5,34
33,70 6,85 5,36 5,91 5,52 5,40 5,40
34,37 6,92 5,41 5,95 5,56 5,44 5,46
35,41 6,97 5,47 5,98 5,61 5,50 5,53
36,82 7,09 5,54 6,051 5,67 5,58 5,62
38,02 7,19 5,59 6,08 5,71 5,63 5,68
39,58 7,26 5,64 6,13 5,76 5,69 5,74
42,23 7,41 5,73 6,23 5,86 5,80 5,86
43,66 7,45 5,77 6,26 5,88 5,83 5,91
48,32 7,58 5,87 6,38 6,01 5,97 6,02
49,79 7,60 5,90 6,42 6,05 6,01 6,06

Dari tabel 4.1 diperoleh grafik kadar air-akar waktu seperti pada Gambar 4.1

7
Air yang terserap (%)

6
Resin murni
5
fly ash 20%/CaCO3 0%
4
fly ash 15%/CaCO3 5%
3
fly ash 10%/CaCO3 10%
2
fly ash 5%/CaCO3 15%
1 fy ash 0%/CaCO3 20%
0
0 20 40 60
Akar waktu (jam1/2)

Keterangan:
Fly ash 20%/CaCO3 0% : komposit partikel dengan komposisi fraksi volume 20% fly ash, 0% CaCO3.
Fly ash 15%/CaCO3 5% : komposit partikel dengan komposisi fraksi volume 15% fly ash, 5% CaCO3.
Fly ash 10%/CaCO3 10% : komposit partikel dengan komposisi fraksi volume 10% fly ash, 10% CaCO3.
Fly ash 5%/CaCO3 15% : komposit partikel dengan komposisi fraksi volume 5% fly ash, 15% CaCO3.
Fly ash 0%/CaCO3 20% : komposit partikel dengan komposisi fraksi volume 0% fly ash, 20% CaCO3.

Gambar 4.1 Grafik penyerapan air pada spesimen.

28
Tabel 4.2 Rangkuman rata-rata penyerapan air pada spesimen saat kesetimbangan.
Tebal Air yang terserap ± SD (%) Laju Difusi ±
Variasi
Spesimen ± Semi-jenuh Jenuh (2479,1 SD (mm2/jam)
komposisi
SD (mm) (143,65 jam) jam) (×10−3 )
Resin murni 4,26 ± 0,15 2,51 ± 0,13 7,60 ± 0,07 3,60 ± 0,41
Fly ash
3,84 ± 0,05 2,05 ± 0,03 5,90 ± 0,01 3,03 ± 0,03
20%/CaCO3 0%
Fly ash
3,5 ± 0,51 2,41 ± 0,34 6,42 ± 0,09 3,13 ± 0,05
15%/CaCO3 5%
Fly ash
3,7 ± 0,1 2,09 ± 0,14 6,05 ± 0,04 3,14 ± 0,13
10%/CaCO3 10%
Fly ash
4,04 ± 0,06 1,87 ± 0,14 6,01 ± 0,10 3,34 ± 0,52
5%/CaCO3 15%
Fly ash
4,1 ± 0 2,15 ± 0,16 6,06 ± 0,008 3,10 ± 0,02
0%/CaCO3 20%

Dari Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa spesimen mengalami penambahan kadar
air secara linier di awal waktu, kemudian penambahan kadar air semakin melambat
dengan bertambahnya waktu dan mencapai kesetimbangan pada waktu perendaman
2479,1 jam. Dari Tabel 4.2 terlihat ada perbedaan kadar air kesetimbangan dengan
komposisi filler yang berbeda. Untuk spesimen resin murni kadar air sebesar 7,60%
pada waktu 2479,1 jam. Untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3)
adalah (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) mengalami
penurunan kadar air dengan masing-masing sebesar 22,389%, 15,49%, 20,43%,
20,91%, dan 20,32% pada waktu 2479,1 jam dibanding resin murni. Pada kasus
penelitian ini, komposisi filler (FA20% / CC0%) mengalami penyerapan kadar air
kesetimbangan yang rendah dibanding komposisi filler yang lainya. Hal ini terjadi
karena partikel fly ash berbentuk bulat cenderung mengurangi volume bebas untuk air,
dengan demikian penyerapan airnya lebih sedikit (Adamson,1980). Hasil dari pengujian
penyerapan air ini sesuai dengan penelitian dari (Idris, 2016) dimana dijelaskan
spesimen dengan variasi filler mengalami penurunan kadar air jika dibandingkan
dengan resin murni.

29
Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat ada perbedaan laju difusi air dengan
komposisi filler yang berbeda. Untuk spesimen tanpa filler laju difusi air sebesar
0,00360 mm2/jam. Untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3) adalah
(20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) mengalami
penurunan laju difusi air dengan masing-masing sebesar 15,82%, 13,12%, 12,74%,
7,28% dan 13,81% dibanding tanpa filler. Hal ini disebabkan karena adanya filler
cenderung menambah jumlah partikel-partikel penghalang dibandingkan dengan resin
murni, sehingga partikel-partikel tersebut menghalangi untuk berdifusi. Hal ini terjadi
karena resin murni tidak memiliki partikel-partikel penghalang sehingga laju
penyerapan airnya menjadi lebih cepat dibanding spesimen dengan filler (Idris, 2016).
Peranan fly ash dan CaCO3 dalam penyerapa air dapat menurunkan
penyerapannya dan efeknya terhadap kekuatan tarik menurun.

4.2 Pengujian Tarik


4.2.1 Kekuatan tarik
Tabel 4.3 Rata-rata kekuatan tarik dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3) adalah (20% / 0%),
(15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) dalam kondisi kering, semi-jenuh dan
jenuh.
Kekuatan tarik Kekuatan tarik semi- Kekuatan tarik
kering jenuh jenuh
Variasi komposisi
(MPa) ± Standar (MPa) ± Standar (MPa) ± Standar
deviasi deviasi deviasi
Resin murni 44,24 ± 1,57 31,61 ± 2,23 7,34 ± 1,36
Fly ash
43,55 ± 2,66 29,85 ± 2,79 10,43 ± 0,44
20%/CaCO3 0%
Fly ash
37,64 ± 1,33 20,31 ± 4,34 6,69 ± 1,57
15%/CaCO3 5%
Fly ash
41,20 ± 0,77 29,52 ± 3,82 9,18 ± 0,32
10%/CaCO3 10%
Fly ash
44,51 ± 2,27 29,04 ± 6,48 8,70 ± 0,28
5%/CaCO3 15%
Fly ash
41,73 ± 1,80 29,72 ± 0,62 9,09± 1,56
0%/CaCO3 20%

30
Dari data Tabel 4.3 diperoleh grafik hubungan kekuatan tarik dengan variasi komposisi
filler dalam kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh seperti pada Gambar 4.2
50
45
Kekuata tarik (MPa)

40
35
30
25
20 kering
15
10 semi jenuh
5 jenuh
0
resin murni fly ash fly ash fly ash fl ash flyash
20%/CaCO3 15%/CaCO3 10%/CaCO3 5%/CaCO3 0%/CaCO3
0% 5% 10% 15% 20%
Variasi komposisi

Gambar 4.2 Grafik hubungan kekuatan tarik dengan variasi komposisi filler dalam kondisi
kering semi-jenuh dan jenuh.

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dibuat grafik seperti tampak pada Gambar 4.2
menunjukkan perbandingan kekuatan tarik untuk epoxy dengan komposisi filler (fly ash
/ CaCO3) adalah (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%)
pada kondisi kering, semi-jenuh dan kering. Dari grafik terihat bahwa ada terjadinya
perubahan kekuatan tarik pada epoxy dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3) pada
kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh.
Kekuatan tarik pada kondisi semi-jenuh dan jenuh menurun dibandingkan
kekuatan tarik pada kondisi kering. Pada kondisi semi-jenuh kekuatan tarik resin murni
turun sebesar 28,53% dibanding kekuatan tarik resin murni pada kondisi kering. Pada
kondisi semi-jenuh kekuatan tarik epoxy dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3) pada
filler (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) turun masing-
masing sebesar 31,44%, 46,03%, 28,35%, 34,74%, dan 28,77% dibanding kekuatan
tarik epoxy dengan komposisi filler pada kondisi kering. Pada kondisi jenuh kekuatan
tarik resin murni turun sebesar 83,40% dibanding kekuatan tarik resin murni pada
kondisi kering. Pada kondisi jenuh turun kekuatan tarik epoxy dengan komposisi filler
(fly ash / CaCO3) pada filler (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan
(0% / 20%) masing-masing sebesar 76,03%, 82,21%, 77,70%, 80,44%, dan 78,21%
dibanding kekuatan tarik epoxy dengan komposisi filler pada kondisi kering. Penurunan
sifat mekanik tersebut menjadi lebih tinggi lagi bila polimer mendapat paparan

31
kelembaban dan suhu tinggi (Sugiman, 2015:17). Hal ini terjadi karena penyerapan air
pada spesimen yang menyebabkan kekakuan dari spesimen menurun dan membuat
spesimen menjadi lebih plastis atau lunak. Penyerapan air dalam jangka waktu yang
lama juga bisa membentuk ikatan hidrogen antara molekul air dan molekul epoxy, yang
menyebabkan adanya tambahan ikatan cross-link. Ikatan cross-link ini sebenarnya bisa
menambah kekuatan tarik spesimen basah tapi penambahan kekuatan itu masih dibawah
kekuatan spesimen kering (Idris, 2016).
Pada kondisi kering untuk spesimen resin murni kekuatan tariknya sebesar 44,24
MPa. Pada kondisi kering untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3)
kekuatan tariknya menurun yang terjadi pada komposisi filler (20% / 0%), (15% / 5%),
(10% / 10%) dan (0% / 20%) masing-masing sebesar 1,56%, 14,90%, 6,85% dan 5,65%
dibanding kekuatan tarik spesimen resin murni. Kemudian kekuatan tariknya naik tidak
signifikan pada komposisi filler (5% / 15%) yaitu sebesar 0,60% dibanding kekuatan
tarik spesimen resin murni pada kondisi kering. Kekuatan tarik dari yang tertinggi
sampai yang terendah pada kondisi kering adalah spesimen dengan komposisi filler (5%
/ 15%), (20% / 0%), (0% / 20%), (10% / 10%) dan (15% / 5%). Secara umum rata-rata
kekuatan tarik spesimen pada kondisi kering cenderung menurun pada semua komposisi
filler. Hal ini disebabkan oleh adanya filler cenderung menambah jumlah void
dibandingkan dengan resin murni dan juga terbentuknya interface epoxy-filler yang
merupakan titik lemah dalam sistem epoxy-filler (Idris, 2016).
Pada kondisi semi-jenuh untuk spesimen resin murni kekuatan tariknya sebesar
31,61 MPa. Pada kondisi semi-jenuh untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash /
CaCO3) kekuatan tariknya menurun yang terjadi pada komposisi filler (20% / 0%),
(15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%), (0% / 20%) masing-masing sebesar 5,56%,
35,73%, 6,61%, 8,13% dan 5,97% dibanding kekuatan tarik spesimen resin murni.
Kekuatan tarik dari yang tertinggi sampai yang terendah pada kondisi semi-jenuh adalah
spesimen dengan komposisi filler (20% / 0%), (0% / 20%), (10% / 10%), (5% / 15%)
dan (15% / 5%). Penyebab penurunan kekuatan tarik spesimen pada kondisi semi-jenuh
sama dengan penyebab penurunan kekuatan tarik spesimen pada kondisi kering.
Pada kondisi jenuh untuk spesimen resin murni kekuatan tariknya sebesar 7,34
MPa. Pada kondisi jenuh untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3)
kekuatan tariknya naik yang terjadi pada komposisi filler (20% / 0%), (10% / 10%),
(5% / 15%) dan (0% / 20%) masing-masing sebesar 42,11%, 25,09%, 18,49%, dan
32
23,78% dibanding kekuatan tarik spesimen resin murni. Kemudian kekuatan tariknya
menurun pada komposisi filler (15% / 5%) yaitu sebesar 8,82% dibanding kekuatan
tarik spesimen resin murni pada kondisi jenuh. Kekuatan tarik dari yang tertinggi
sampai yang terendah pada kondisi jenuh adalah spesimen dengan komposisi filler
(20% / 0%), (10% / 10%), (0% / 20%), (5% / 15%) dan (15% / 5%). Secara umum rata-
rata kekuatan tarik spesimen pada kondisi jenuh cenderung meningkat pada semua
komposisi filler. Hal ini disebabkan filler fly ash selain jadi pengisi juga mempengaruhi
sifat-sifat fisik (reinforcing filler) seperti menambah kekuatan tarik serta adanya
kandungan air dalam filler tersebut (Saputra, 2018).

4.2.2 Modulus elastis uji tarik


Tabel 4.4 Rata-rata modulus elastisitas dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3) adalah (20% /
0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) dalam kondisi kering, semi-jenuh
dan jenuh.
Modulus elastisitas Modulus elastisitas Modulus elastisitas
Variasi
kering (MPa) ± semi-jenuh (MPa) ± jenuh (MPa) ±
komposisi
Standar deviasi Standar deviasi Standar deviasi
Resin murni 1582,63 ± 85,72 1170,93 ± 28,63 126,97 ± 26,11
Fly ash
1991,23 ± 91,17 1419,73 ± 105,73 210,59 ± 61,57
20%/CaCO3 0%
Fly ash
1808,06 ± 47,50 1049,67 ± 117,02 63,55 ± 8,72
15%/CaCO3 5%
Fly ash
10%/CaCO3 2142,63 ± 133,59 1429,26 ± 161,37 198,88 ± 26,63
10%
Fly ash
2108,93 ± 84,32 1494,70 ± 117,13 158,54 ± 49,73
5%/CaCO3 15%
Fly ash
2097,80 ± 142,20 1416,96 ± 28,15 186,66 ± 49,59
0%/CaCO3 20%

Dari data Tabel 4.4 diperoleh grafik hubungan modulus elastis dengan variasi
komposisi filler dalam kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh seperti pada Gambar 4.3

33
2500

Modulus elastisias (MPa) 2000

1500

1000 kering
500 semi jenuh

0 jenuh
resin murni fly ash fly ash fly ash fl ash flyash
20%/CaCO3 15%/CaCO3 10%/CaCO3 5%/CaCO3 0%/CaCO3
0% 5% 10% 15% 20%
Variasi komposisi

Gambar 4.3 Grafik hubungan modulus elastisitas dengan variasi komposisi dalam kondisi
kering semi-jenuh dan jenuh.

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dibuat grafik seperti tampak pada Gambar 4.3
menunjukkan perbandingan modulus elastisitas untuk epoxy dengan komposisi filler (fly
ash / CaCO3) adalah (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% /
20%) pada kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh. Dari grafik terihat bahwa ada
terjadinya perubahan modulus elastisitas pada epoxy dengan komposisi filler fly ash dan
CaCO3 pada kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh.
Modulus elastisitas pada kondisi semi-jenuh dan jenuh menurun dibandingkan
modulus elastisitas pada kondisi kering. Pada kondisi semi-jenuh modulus elastisitas
resin murni turun sebesar 26,01% dibanding modulus elastisitas resin murni pada
kondisi kering. Pada kondisi semi-jenuh modulus elastisitas epoxy dengan komposisi
filler (fly ash / CaCO3) pada filler (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%)
dan (0% / 20%) turun masing-masing sebesar 28,70%, 41,94%, 33,29%, 29,12%, dan
32,45% dibanding modulus elastisitas epoxy dengan komposisi filler pada kondisi
kering. Pada kondisi jenuh modulus elastisitas resin murni turun sebesar 91,97%
dibanding modulus elastisitas resin murni pada kondisi kering. Pada kondisi jenuh
modulus elastisitas epoxy dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3) pada filler (20% /
0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) turun masing-masing
sebesar 89,42%, 96,48%, 90,71%, 92,48%, dan 91,10% dibanding modulus elastisitas
epoxy dengan komposisi filler pada kondisi kering. Penyebab menurunnya modulus
elastisitas spesimen pada kondisi basah dibanding kondisi kering karena penyerapan air
pada spesimen yang menyebabkan kekakuan dari spesimen menurun dan membuat
spesimen menjadi lebih plastis atau lunak (Idris, 2016).

34
Pada kondisi kering untuk spesimen resin murni modulus elastisitasnya sebesar
1582,63 MPa. Pada kondisi kering untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash /
CaCO3) modulus elastisitasnya naik pada komposisi filler (20% / 0%), (15% / 5%),
(10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) masing-masing sebesar 25,81%, 14,24%,
35,38%, 33,25% dan 32,55% dibanding modulus elastisitas spesimen resin murni.
Modulus elastisitas tarik rata-rata dari yang tertinggi sampai yang terendah pada kondisi
kering adalah spesimen dengan komposisi filler (10% / 10%), (5% / 15%), (0% / 20%),
(20% / 0%) dan (15% / 5%). Secara umum rata-rata modulus elastisitasnya cenderung
naik pada semua komposisi filler. Kebanyakan epoxy yang diisi filler partikel modulus
elastisitasnya meningkat dengan bertambahnya kandungan filler (Idris, 2016). Hal ini
disebabkan oleh adanya sistem epoxy bertambah rigid dengan bertambahnya kandungan
filler, karena filler lebih rigid dibandingkan epoxy.
Pada kondisi semi-jenuh untuk spesimen resin murni modulus elastisitasnya
sebesar 1170,93 MPa. Pada kondisi semi-jenuh untuk spesimen dengan komposisi filler
(fly ash / CaCO3) modulus elastisitasnya naik yang terjadi pada komposisi filler (20% /
0%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) masing-masing sebesar 21,24%,
22,06%, 27,65%, dan 21,01% dibanding modulus elastisitas spesimen resin murni,
kemudian modulus elastisitasnya menurun pada komposisi filler (15% / 5%) yaitu
sebesar 10,35% dibanding modulus elastisitas spesimen resin murni pada kondisi semi-
jenuh. Modulus elastisitas tarik rata-rata dari yang tertinggi sampai yang terendah pada
kondisi semi-jenuh adalah spesimen dengan komposisi filler (5% / 15%), (10% / 10%),
(20% / 0%), (0% / 20%) dan (15% / 5%). Secara umum rata-rata modulus elastisitasnya
cenderung naik pada semua komposisi filler. Penyebab naiknya modulus elastisitas pada
kondisi semi-jenuh sama dengan penyebab naiknya modulus elastisitas spesimen pada
kondisi kering, dimana dengan bertambahnya kandungan filler modulus elastisitasnya
meningkat (Idris, 2016).
Pada kondisi jenuh untuk spesimen resin murni modulus elastisitasnya sebesar
126,97 MPa. Pada kondisi jenuh untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash /
CaCO3) modulus elastisitasnya naik yang terjadi pada komposisi filler (20% / 0%),
(10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) masing-masing sebesar 65,85%, 56,63%,
24,86%, dan 47,01% dibanding modulus elastisitas spesimen resin murni, kemudian
modulus elastisitasnya menurun pada komposisi filler (15% / 5%) yaitu sebesar 49,94%
dibanding modulus elastisitas spesimen resin murni pada kondisi jenuh. Modulus
35
elastisitas tarik rata-rata dari yang tertinggi sampai yang terendah pada kondisi jenuh
adalah spesimen dengan komposisi filler (20% / 0%), (10% / 10%), (0% / 20%), (5% /
15%) dan (15% / 5%). Secara umum rata-rata modulus elastisitasnya cenderung naik
pada semua komposisi filler. Penyebab naiknya modulus elastisitas spesimen pada
kondisi jenuh sama dengan penyebab naiknya modulus elastisitas spesimen pada
kondisi kering, dimana dengan bertambahnya kandungan filler modulus elastisitasnya
meningkat (Idris, 2016).

4.2.3 Regangan tarik saat patah


Tabel 4.5 Rata-rata regangan tarik saat patah dengan dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3)
adalah (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) dalam kondisi
kering, semi-jenuh dan jenuh.
Regangan tarik
Regangan tarik saat Regangan tarik saat
saat patah semi-
Variasi komposisi patah kering ± patah jenuh kering ±
jenuh ± Standar
Standar deviasi Standar deviasi
deviasi
Resin murni 0,046 ± 0,0086 0,076 ± 0,0402 0,322 ± 0,0056
Fly ash
0,038 ± 0,0083 0,075 ± 0,0070 0,328 ± 0,0121
20%/CaCO3 0%
Fly ash
0,039 ± 0,0015 0,098 ± 0,0177 0,295 ± 0,0440
15%/CaCO3 5%
Fly ash
0,029 ± 0,0059 0,061 ± 0,0166 0,307 ± 0,0190
10%/CaCO3 10%
Fly ash 5%/CaCO3
0,035 ± 0,0003 0,051 ± 0,004 0,301 ± 0,0209
15%
Fly ash 0%/CaCO3
0,031 ± 0,0020 0,055 ± 0,0106 0,338 ± 0,0776
20%

Dari data Tabel 4.5 diperoleh grafik hubungan regangan tarik saat patah dengan variasi
komposisi filler dalam kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh seperti pada Gambar 4.4

36
0.45

Regangan tarik saat patah ( % )


0.4
0.35
0.3
0.25
0.2 kering
0.15
semi jenuh
0.1
0.05 jenuh
0
resin murni fly ash fly ash fly ash fl ash flyash
20%/CaCO3 15%/CaCO3 10%/CaCO3 5%/CaCO3 0%/CaCO3
0% 5% 10% 15% 20%
Variasi komposisi

Gambar 4.4 Grafik hubungan regangan saat patah dengan variasi komposisi filler dalam kondisi
kering semi-jenuh dan jenuh.

Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dibuat grafik seperti tampak pada Gambar 4.4
menunjukkan perbandingan regangan saat patah untuk epoxy dengan komposisi filler
(fly ash / CaCO3) adalah (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% /
20%) pada kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh. Dari grafik terihat bahwa ada
terjadinya perubahan regangan tarik saat patah pada epoxy dengan komposisi filler fly
ash dan CaCO3 pada kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh.
Regangan tarik saat patah pada kondisi semi-jenuh dan jenuh naik dibandingkan
regangan tarik saat patah pada kondisi kering. Pada kondisi semi-jenuh regangan tarik
resin murni naik sebesar 64,10% dibanding regangan tarik resin murni pada kondisi
kering. Pada kondisi semi-jenuh regangan tarik epoxy dengan komposisi filler (fly ash /
CaCO3) pada filler (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%)
naik masing-masing sebesar 95,76%, 146,96%, 107,46%, 45,35%, dan 79,26%
dibanding regagan tarik epoxy dengan komposisi filler pada kondisi kering. Pada
kondisi jenuh regangan tarik resin murni naik sebesar 588,12% dibanding regangan
tarik resin murni pada kondisi kering. Pada kondisi jenuh regangan tarik epoxy dengan
komposisi filler (fly ash / CaCO3) pada filler (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%),
(5% / 15%) dan (0% / 20%) naik masing-masing sebesar 754,74%, 643,35%, 935,20%,
755,86%, dan 991,88% dibanding regangan tarik epoxy dengan komposisi filler pada
kondisi kering. Penyebab naiknya regangan tarik spesimen pada kondisi basah
dibanding regangan tarik spesimen pada kondisi kering dimana penyerapan air pada

37
spesimen yang menyebabkan kekakuan dari spesimen menurun dan membuat spesimen
menjadi lebih plastis atau lunak (Idris, 2016)
Pada kondisi kering untuk spesimen resin murni regangan tariknya sebesar
0,046. Pada kondisi kering untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3)
regangan tarikya menurun yang terjadi pada komposisi filler (20% / 0%), (15% /5%),
(10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) masing-masing sebesar 17,92%, 15,10%,
36,53%, 24,77% dan 33,75% dibanding regagan tarik spesimen resin murni. Regangan
tarik rata-rata dari yang tertinggi sampai yang terendah pada kondisi kering adalah
spesimen dengan komposisi filler (15% / 5%), (20% / 0%), (5% / 15%), (0% / 20%) dan
(10% / 10%). Secara umum rata-rata regangan tariknya cenderung menurun pada semua
komposisi filler. Hal ini disebabkan karena filler cenderung menghalangi proses
deformasi plastis menjadi lebih sulit karena sistem epoxy-filler menjadi lebih rigid
(Ardiansyah, 2018) Dibandigkan resin murni. Karena resin murni lebih ulet
dibandingkan dengan bertambahnya komposisi filler membuat spesimen lebih getas.
Pada kondisi semi-jenuh untuk spesimen resin murni regangan tariknya sebesar
0,076. Untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3) pada kondisi semi-
jenuh regangan taiknya menurun yang terjadi pada komposisi filler (20% / 0%), (10% /
10%), (5% / 15%), (0% / 20%) masing-masing sebesar 2,08%, 19,77%, 33,36% dan
27,63% dibanding regangan tarik spesimen resin murni, kemudian regangan taiknya
naik pada komposisi filler (15% / 5%) yaitu sebesar 27,77% dibanding regangan tarik
spesimen resin murni pada kondisi semi-jenuh. Regagan tarik rata-rata dari yang
tertinggi sampai yang terendah pada kondisi semi-jenuh adalah spesimen dengan
komposisi filler (15% / 5%), (20% / 0%), (10% / 10%), (0% / 20% ) dan (5% / 15%).
Secara umum rata-rata regangan tariknya cenderung menurun pada semua komposisi
filler. Penyebab penurunan regangan tarik spesimen pada kondisi semi-jenuh sama
dengan penyebab penurunan regangan tarik spesimen pada kondisi kering, dimana
dengan meningkatnya komposisi filler pada spesimen menyebabkan regangan tariknya
menurun.
Pada kondisi jenuh untuk spesimen resin murni regangan tariknya sebesar 0,322.
Pada kondisi jenuh untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3) regangan
tariknya menurun yang terjadi pada komposisi filler (15% / 5%), (10% / 10%) dan (5% /
15% ) masing-masing sebesar 8,28%, 4,53% dan 6,43% dibanding regangan tarik
spesimen resin murni, kemudian regangan tariknya naik pada komposisi filler (20% /
38
0%) dan (0% / 20%) yaitu sebesar 1,95% dan 5,12% dibanding regangan tarik spesimen
resin murni pada kondisi jenuh. Regangan tarik rata-rata dari yang tertinggi sampai
yang terendah pada kondisi jenuh adalah spesimen dengan komposisi filler (0% / 20%),
(20% / 0%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (15% / 5%). Secara umum rata-rata regangan
tariknya cenderung menurun pada semua komposisi filler. Penyebab penurunan
regangan tarik spesimen pada kondisi jenuh sama dengan penyebab penurunan
regangan tarik spesimen pada kondisi kering, dimana dengan meningkatnya komposisi
filler pada spesimen menyebabkan regangan tariknya menurun.

4.2.4 Ketangguhan tarik


Tabel 4.6 Rata-rata ketangguhan tarik dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3) adalah (20% /
0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) dalam kondisi kering, semi-jenuh
dan jenuh.
Ketangguhan tarik Ketangguhan tarik Ketangguhan tarik
Variasi komposisi kering (MPa) ± semi-jenuh (MPa) ± jenuh kering (MPa)
Standar deviasi Standar deviasi ± Standar deviasi
Resin murni 1,51 ± 0,55 1,75 ± 0,90 1,59 ± 0,27
Fly ash
1,07 ± 0,38 1,75 ± 0,06 2,23 ± 0,24
20%/CaCO3 0%
Fly ash
1,00 ± 0,05 1,67 ± 0,49 1,08 ± 0,29
15%/CaCO3 5%
Fly ash
0,71 ± 0,23 1,36 ± 0,33 1,98 ± 0,12
10%/CaCO3 10%
Fly ash
0,98 ± 0,04 1,12 ± 0,33 1,82 ± 0,13
5%/CaCO3 15%
Fly ash
0,76 ± 0,10 1,21 ± 0,29 2,15 ± 0,81
0%/CaCO3 20%

Dari data Tabel 4.6 diperoleh grafik hubungan ketangguhan tarik saat dengan variasi
komposisi filler dalam kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh seperti pada Gambar 4.5

39
3.5

Ketangguhan tarik (MPa) 3

2.5

1.5 kering

1 semi-jenuh
jenuh
0.5

0
resin murni fly ash fly ash fly ash fl ash flyash
20%/CaCO3 15%/CaCO3 10%/CaCO3 5%/CaCO3 0%/CaCO3
0% 5% 10% 15% 20%
Variasi komposisi

Gambar 4.5 Grafik hubungan ketangguhan tarik dengan variasi komposisi filler dalam
kondisi kering semi-jenuh dan jenuh.

Berdasarkan Tabel 4.6 dapat dibuat grafik seperti tampak pada Gambar 4.5
menunjukkan perbandingan ketangguhan tarik untuk epoxy dengan komposisi filler (fly
ash / CaCO3) adalah (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% /
20%) pada kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh. Dari grafik terihat bahwa ada
terjadinya perubahan ketangguhan tarik pada epoxy dengan komposisi filler fly ash dan
CaCO3 pada kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh.
Ketangguhan tarik pada kondisi semi-jenuh dan jenuh naik dibandingkan
ketangguhan tarik pada kondisi kering. Pada kondisi semi-jenuh ketangguhan tarik resin
murni naik sebesar 15,91% dibanding ketangguhan tarik resin murni pada kondisi
kering. Pada kondisi semi-jenuh ketangguhan tarik epoxy dengan komposisi filler (fly
ash / CaCO3) pada filler (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% /
20%) naik masing-masing sebesar 63,50%, 67,19%, 90,08%, 14,75% dan 58,78%
dibanding ketangguhan tarik epoxy dengan komposisi filler pada kondisi kering. Pada
kondisi jenuh ketangguhan tarik resin murni naik sebesar 56,97% dibanding
ketangguhan tarik resin murni pada kondisi kering. Pada kondisi jenuh ketangguhan
tarik epoxy dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3) pada filler (20% / 0%), (15% /
5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) naik masing-masing sebesar 121,14%,
7,30%, 97,26%, 80,37% dan 114,07% dibanding ketangguhan tarik epoxy dengan
komposisi filler pada kondisi kering. Penyebab naiknya ketangguhan tarik spesimen
pada kondisi basah dibanding ketangguhan tarik spesimen pada kondisi kering dimana
40
penyerapan air pada spesimen yang menyebabkan kekakuan dari spesimen menurun dan
membuat spesimen menjadi lebih plastis atau lunak (Idris, 2016).
Pada kondisi kering untuk spesimen resin murni ketangguhan tariknya sebesar
1,51 MPa. Pada kondisi kering untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash /
CaCO3) ketangguhan tarikya menurun yang terjadi pada komposisi filler (20% / 0%),
(15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) masing-masing sebesar 29,05%,
34,03%, 52,63%, 35,24% dan 49,62 dibanding ketangguhan tarik spesimen resin murni.
Ketangguhan tarik rata-rata dari yang tertinggi sampai yang terendah pada kondisi
kering adalah spesimen dengan komposisi filler (20% / 0%), (15% / 5%), (5% / 15%),
(0% / 20%) dan (10% / 10%). Secara umum rata-rata ketangguhan tariknya cenderung
menurun pada semua komposisi filler. Karena dengan menambahkan filler cenderung
akan menghasilkan jumlah void lebih banyak dibandingkan dengan resin murni.
Semakin banyak partikel akan menghalangi proses deformasi plastis sehingga
mengakibatkan ketangguhan tarik dari spesimen menurun. Karena resin sebagai matriks
tidak dapat mengikat filler dengan baik. Akibatnya filler akan terjebak dalam matriks
tanpa memiliki ikatan yang kuat dengan matriksnya ( Idris, 2016)
Pada kondisi semi-jenuh untuk spesimen resin murni ketangguhan tariknya
sebesar 1,75 MPa. Pada kondisi semi-jenuh untuk spesimen dengan komposis filler (fly
ash / CaCO3) ketangguhan tariknya menurun yang terjadi pada filler (15%/ 5%), (10%
/ 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) masing-masing sebesar 4,85%, 22,33%, 35,89%
dan 30,98% dibanding ketangguhan tarik spesimen resin murni, kemudian ketangguhan
tariknya naik pada komposisi filler (20% / 0%) yaitu sebesar 0,079% dibanding
ketangguhan tarik spesimen resin murni pada kondisi semi-jenuh. Ketangguhan tarik
rata-rata dari yang tertinggi sampai yang terendah pada kondisi semi-jenuh adalah
spesimen dengan komposisi filler (20% / 0%), (15% / 5% ), (10% / 10%), (0% / 20%)
dan (5% / 15%). Secara umum rata-rata ketangguhan tariknya cenderung menurun pada
semua komposisi filler. Penyebab turunnya ketangguhan tarik pada kondisi semi-jenuh
sama dengan penyebab menurunya ketangguhan tarik spesimen pada kondisi kering,
dimana dengan menambahkan filler cenderung akan menghasilkan jumlah void lebih
banyak dibandingkan dengan resin murni.
Pada kondisi jenuh untuk spesimen resin murni ketangguhan tariknya sebesar
1,59 MPa. Pada kondisi jenuh untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3)
ketangguhan tariknya naik yang terjadi pada komposisi filler (20% / 0%), (10% / 10%),
41
(5% / 15%) dan (0% / 20%) masing-masing sebesar 40,24%, 24,64%, 14,28% dan
35,33% dibanding ketangguhan tarik spesimen resin murni, kemudian ketangguhan
tariknya menurun pada komposisi filler (15% / 5%) yaitu sebesar 32,00% dibanding
ketangguhan tarik spesimen resin murni pada kondisi jenuh. Ketangguhan tarik rata-rata
dari yang tertinggi sampai yang terendah pada kondisi jenuh adalah spesimen dengan
komposisi filler (20% / 0%), (0% / 20%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (15% / 5%).
Secara umum rata-rata ketangguhan tariknya cenderung naik pada semua komposisi
filler. Penyebab naiknya ketangguhan tarik pada spesimen kondisi jenuh, dimana
penyerapan air pada spesimen yang menyebabkan kekakuan dari spesimen menurun dan
membuat spesimen menjadi lebih plastis atau lunak (Idris, 2016).

4.2.5 Analisis Of Varians (ANOVA) Penyerapan Air dan Laju Difusi


Hasil Analisis Of Varians (ANOVA) penyerapan air dan laju difusi yang dilakukan
dengan MS. Excel ditampilkan seperti tabel 4.8 dan tabel 4.8

Tabel 4.7 Data anova pada penyerapan air saat kesetimbangan


Fly ash Fly ash Fly ash Fly ash Fly ash
Resin
20%/CaCO3 15%/CaCO3 10%/CaCO3 5%/CaCO3 0%/CaCO3
murni
0% 5% 10% 15% 20%
7,55083265 5,921124078 6,449767608 6,076187717 6,054825832 6,070392176
7,68944961 5,893873908 6,329353083 6,004834634 6,098569272 6,063505672
7,58558272 5,900232704 6,508887304 6,081404485 5,897635156 6,05274436

Dari tabel 4.7 dapat dibuat anova dengan satu arah seperti pada tabel 4.8 sebagai berikut:

Tabel 4.8 Hasil analisa varian satu arah pada penyerapan air komposisi filler
Source of Variation SS df MS Fhitung Ftabel
Komposisi 6,208 5 1,241 277,459 3,105
Eror 0,053 12 0,004
Total 6,2622 17

Berdasarkan perhitungan penyerapan air menggunakan anova satu arah untuk α =


0,05 pada tabel 4.8, dapat disimpulkan bahwa:
1. Untuk komposisi filler hasilnya diperoleh 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka H0 ditolak,
sehingga perbedaan komposisi filler berpengaruh terhadap penyerapan air
perekat epoxy pada spesimen kekuatan tarik.

42
Tabel 4.9 Data anova pada laju difusi
Fly ash Fly ash Fly ash Fly ash Fly ash
Resin
20%/CaCO3 15%/CaCO3 10%/CaCO3 5%/CaCO3 0%/CaCO3
murni
0% 5% 10% 15% 20%
0,00330556 0,003064082 0,003195681 0,003030472 0,003014338 0,003083897
0,00343776 0,003004323 0,003128113 0,003288994 0,003021351 0,003134357
0,00407798 0,003040194 0,003077188 0,003123013 0,003072129 0,003108595

Dari tabel 4.9 dapat dibuat anova dengan satu arah seperti pada tabel 4.10 sebagai berikut:

Tabel 4.10 Hasil analisa varian satu arah laju difusi komposisi filler
Source of Variation SS df MS Fhitung Ftabel
7 7
Komposisi 6,962x10 5 1,39x10 4,309 3,105
7 8
Eror 3,877x10 12 3,23x10

Total 1,084x106 17

Berdasarkan perhitungan laju difusi menggunakan anova satu arah untuk α =


0,05 pada tabel 4.10, dapat disimpulkan bahwa:
1. Untuk komposisi filler hasilnya diperoleh 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka H0 ditolak,
sehingga perbedaan komposisi filler berpengaruh terhadap laju difusi perekat
epoxy pada spesimen kekuatan tarik.

4.2.6 Analisis Of Varians (ANOVA) Uji Tarik


Hasil Analisis Of Varians (ANOVA) uji tarik yang dilakukan dengan MS. Excel
ditampilkan seperti tabel 4.12

Tabel 4.11 Data anova pada uji tarik


Perlakuan
Komposisi
Kondisi kering Kondisi semi jenuh Kondisi jenuh
Resin murni 45,65371 29,07799 7,809031
44,53147 33,26656 5,808652
42,53772 32,50456 8,414114
Fly ash 20%/CaCO3 0% 41,53108 30,71977 10,94382
46,56724 26,73125 10,14609
42,55222 32,12296 10,21954
Fly ash 15%/CaCO3 5% 36,10094 24,47159 6,56554
38,39118 15,80671 8,332976
38,45027 20,67358 5,188396
Fly ash 10%/CaCO3 10% 42,01186 26,74148 9,339425
41,15136 33,88388 8,808407

43
40,45888 27,94608 9,41265
Fly ash 5%/CaCO3 15% 45,68932 22,84419 8,906174
41,88446 28,51214 8,827609
45,95841 35,77907 8,372107
Flyash 0%/CaCO3 20% 42,41428 29,34557 8,176523
43,10484 30,44879 8,192447
39,69365 29,3836 10,9028

Dari tabel 4.11 dapat dibuat anova dua arah dengan pengulangan seperti pada tabel 4.12 sebagai
berikut:

Tabel 4.12 Hasil analisa data kekuatan tarik dengan kombinasi filler fly ash / CaCO3 dalam
kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh menggunakan anova dua arah dengan pengulangan.
Source of Variation SS df MS Fhitung Ftabel
Komposisi 260,58 5 52,11 8,07 2,47
Perlakuan 10251,35 2 5125,67 793,06 3,25
Interaksi 110,29 10 11,02 1,71 2,11
Error 232,67 36 6,46

Total 10854,91 53

Berdasarkan perhitungan kekuatan tarik menggunakan anova dua arah dengan


pengulangan untuk α = 0,05 pada tabel 4.8, dapat disimpulkan bahwa:
1. Untuk variasi komposisi filler hasilnya diperoleh 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka H0
ditolak, sehingga kombinasi filler berpengaruh signifikan terhadap kekuatan
tarik suatu spesimen.
2. Untuk variasi perlakuan material kering, semi-jenuh dan jenuh, hasilnya
diperoleh 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka H0 ditolak, sehingga perlakuan spesimen
kering, semi-jenuh dan jenuh berpengaruh signifikan terhadap kekuatan tarik
suatu spesimen.
3. Untuk interaksi antara komposisi dengan perlakuan, hasilnya diperoleh 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 <
𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka H0 diterima, sehingga disimpulkan tidak adanya interaksi antara
komposisi dengan perlakuan spesimen terhadap kekuatan tarik.

4.2.7 Analisis Of Varians (ANOVA) Modulus Elastis Uji Tarik


Hasil Analisis Of Varians (ANOVA) modulus elastis yang dilakukan dengan MS. Excel
ditampilkan seperti tabel 4.9

44
Tabel 4.13 Data anova pada modulus elastis
Perlakuan
Komposisi
Kondisi kering Kondisi semi jenuh Kondisi jenuh
Resin murni 1636,9 1148,9 157,12
1627,2 1203,3 111,34
1483,8 1160,6 112,45
Fly ash 20%/CaCO3 0% 1937,1 1439,8 160,71
2096,5 1305,4 279,41
1940,1 1514 191,65
Fly ash 15%/CaCO3 5% 1800,5 1168,2 69,388
1858,9 934,21 67,751
1764,8 1046,6 53,531
Fly ash 10%/CaCO3 10% 2148,3 1336,9 201,44
2006,3 1615,6 224,14
2273,3 1335,3 171,06
Fly ash 5%/CaCO3 15% 2177 1375,1 195,61
2014,6 1499,8 102,02
2135,2 1609,2 177,99
Flyash 0%/CaCO3 20% 2203,4 1385,7 140,65
2153,9 1424,9 180,16
1936,1 1440,3 239,19

Dari tabel 4.13 dapat dibuat anova dua arah dengan pengulangan seperti pada tabel 4.14 sebagai
berikut:

Tabel 4.14 Hasil analisa data modulus elastis uji tarik dengan kombinasi filler fly ash /
CaCO3 dalam kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh menggunakan anova dua arah dengan
pengulangan.
Source of Variation SS df MS Fhitung Ftabel
Komposisi 896524,45 5 179304,89 23,12 2,47
Perlakuan 29984806,74 2 14992403,37 1933,95 3,25
Interaksi 340899,40 10 34089,94 4,39 2,11
Error 279079,21 36 7752,20

Total 31501309,81 53

Berdasarkan perhitungan modulus elastis uji tarik menggunakan anova dua arah
dengan pengulangan untuk α = 0,05 pada tabel 4.14, dapat disimpulkan bahwa:
1. Untuk variasi komposisi filler hasilnya diperoleh 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka H0
ditolak, sehingga komposisi filler berpengaruh signifikan terhadap modulus
elastis suatu spesimen.
2. Untuk variasi perlakuan material kering, semi-jenuh dan jenuh, hasilnya
diperoleh 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka H0 ditolak, sehingga perlakuan spesimen

45
kering, semi-jenuh dan jenuh berpengaruh signifikan terhadap modulus elastis
suatu spesimen.
3. Untuk interaksi antara komposisi dengan perlakuan, diperoleh 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙
maka H0 ditolak, sehingga disimpulkan adanya interaksi antara komposisi
dengan perlakuan spesimen terhadap modulus elastis.

4.2.8 Analisis Of Varians (ANOVA) Regangan Tarik Saat Patah


Hasil Analisis Of Varians (ANOVA) regangan tarik yang dilakukan dengan MS. Excel
ditampilkan seperti tabel 4.16

Tabel 4.15 Data anova pada regangan tarik saat patah


Perlakuan
Komposisi
Kondisi kering Kondisi semi jenuh Kondisi jenuh
Resin murni 0,049226 0,119293 0,318235
0,05403 0,039178 0,31998
0,03726 0,072118 0,328707
Fly ash 20%/CaCO3 0% 0,029522 0,070028 0,333601
0,045993 0,083308 0,314744
0,039815 0,072438 0,337434
Fly ash 15%/CaCO3 5% 0,039015 0,089549 0,33995
0,0387 0,086441 0,294931
0,041582 0,118633 0,251912
Fly ash 10%/CaCO3 10% 0,032687 0,068438 0,319398
0,033637 0,042691 0,285697
0,022848 0,073868 0,318018
Fly ash 5%/CaCO3 15% 0,035341 0,046852 0,315908
0,035507 0,050998 0,311253
0,034855 0,055794 0,27751
Flyash 0%/CaCO3 20% 0,033421 0,061226 0,299036
0,030072 0,043317 0,289146
0,029598 0,062332 0,428256

Dari tabel 4.15 dapat dibuat anova dua arah dengan pengulangan seperti pada tabel 4.16 sebagai
berikut:

Tabel 4.16 Hasil analisa data regangan tarik saat patah dengan kombinasi filler fly ash /
CaCO3 dalam kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh menggunakan anova dua arah dengan
pengulangan.
Source of Variation SS df MS Fhitung Ftabel
Komposisi 0,00281 5 0,00056 0,87850 2,47717

Perlakuan 0,83627 2 0,41814 652,82561 3,25945

Interaksi 0,00651 10 0,00065 1,01711 2,10605

46
Error 0,02306 36 0,00064

Total 0,86866 53
Berdasarkan perhitungan regangan tarik saat patah menggunakan anova dua arah
dengan pengulangan untuk α = 0,05 pada tabel 4.16, dapat disimpulkan bahwa:
1. Untuk variasi komposisi filler hasilnya diperoleh 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka H0
diterima, sehingga komposisi filler tidak berpengaruh signifikan terhadap
regangan tarik suatu spesimen.
2. Untuk variasi perlakuan material kering, semi-jenuh dan jenuh, hasilnya
diperoleh 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka H0 ditolak, sehingga perlakuan spesimen
kering, semi-jenuh dan jenuh berpengaruh signifikan terhadap regangan tarik
suatu spesimen.
3. Untuk interaksi antara komposisi dengan perlakuan, hasilnya diperoleh 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔
< 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka H0 diterima, sehingga disimpulkan tidak adanya interaksi antara
komposisi dengan perlakuan spesimen terhadap regangan tarik.

4.2.9 Analisis Of Varians (ANOVA) Ketangguhan Tarik


Hasil Analisis Of Varians (ANOVA) ketangguhan tarik yang dilakukan dengan MS.
Excel ditampilkan seperti tabel 4.18

Tabel 4.17 Data anova pada ketangguhan tarik


Perlakuan
Komposisi
Kondisi kering Kondisi semi jenuh Kondisi jenuh
Resin murni 1,714666 0,845035 1,705004
1,940645 2,644528 1,280511
0,893227 1,782794 1,796382
Fly ash 20%/CaCO3 0% 0,677519 1,688428 2,412098
1,455537 1,772594 2,339689
1,093988 1,815501 1,954722
Fly ash 15%/CaCO3 5% 0,952967 1,766709 1,371616
0,989995 1,135194 1,104178
1,057457 2,114616 0,775849
Fly ash 10%/CaCO3 10% 0,851853 1,511686 2,080073
0,856225 0,981445 1,847771
0,446165 1,601857 2,032786
Fly ash 5%/CaCO3 15% 1,031487 0,807746 1,971281
0,931758 1,097911 1,798983
0,982213 1,474292 1,69474

47
Flyash 0%/CaCO3 20% 0,876234 1,386303 1,677333
0,757096 0,873055 1,69698
0,658144 1,379108 3,097253
Dari tabel 4.17 dapat dibuat anova dua arah dengan pengulangan seperti pada tabel 4.18 sebagai
berikut:

Tabel 4.18 Hasil analisa data ketangguhan tarik saat patah dengan kombinasi filler fly ash
/ CaCO3 dalam kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh menggunakan anova dua arah dengan
pengulangan.
Source of Variation SS df MS Fhitung Ftabel
Komposisi 1,428 5 0,286 1,822 2,477

Perlakuan 5,876 2 2,938 18,741 3,259

Interaksi 3,718 10 0,372 2,371 2,106

Error 5,644 36 0,157

Total 16,666 53

Berdasarkan perhitungan ketanguhan tarik saat patah menggunakan anova dua


arah dengan pengulangan untuk α = 0,05 pada tabel 4.18, dapat disimpulkan bahwa:
1. Untuk variasi komposisi filler hasilnya diperoleh 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka H0
diterima, sehingga komposisi filler tidak berpengaruh signifikan terhadap
ketangguhan tarik suatu spesimen.
2. Untuk variasi perlakuan material kering, semi-jenuh dan jenuh, hasilnya
diperoleh 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka H0 ditolak, sehingga perlakuan spesimen
kering, semi-jenuh dan jenuh berpengaruh signifikan terhadap ketangguhan tarik
suatu spesimen.
3. Untuk interaksi antara komposisi dengan perlakuan, diperoleh 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙
maka H0 ditolak, sehingga disimpulkan adanya interaksi antara komposisi
dengan perlakuan spesimen terhadap ketangguhan tarik.

48
4.3.0 Mode Patahan Uji Tarik
Setelah dilakukan pengujian tarik pada spesimen kering dan basah diperoleh
mode patahan mikro yang tertera pada foto patahan yang ditampilkan pada Gambar 4.6.

Sumber retak
Sumber retak
Sumber retak

Tanpa filler kering Tanpa filler semi-jenuh Tanpa filler jenuh


(perbesaran 50x) (perbesaran 50x) (perbesaran 50x)

Sumber retak Sumber reak

Sumber retak

filler (FA20% / CC0%) filler (FA20% / CC0%) filler (FA20% / CC0%)


kering (perbesaran 50x) semi-jenuh (perbesaran 50x) jenuh (perbesaran 50x)
49
Sumber retak Sumber retak

Sumber retak

filler (FA15% / CC5%) filler (FA15% / CC5%) filler (FA15% / CC5%)


kering (perbesaran 50x) semi-jenuh (perbesaran 50x) jenuh (perbesaran 50x)

Sumber retak Sumber retak

Sumber retak

filler (FA10% / CC10%) filler (FA10% / CC10%) filler (FA10% / CC10%)


kering (perbesaran 50x) semi-jenuh (perbesaran 50x) jenuh (perbesaran 50x)

50
Sumber retak

Sumber reak

Sumber retak

filler (FA5% / CC15%) filler (FA5% / CC15%) filler (FA5% / CC15%)


kering (perbesaran 50x) semi-jenuh (perbesaran 50x) jenuh (perbesaran 50x)

Sumber retak

Sumber retak

Sumber retak

filler (FA0% / CC20%) filler (FA0% / CC20%) filler (FA0% / CC20%)


kering (perbesaran 50x) semi-jenuh (perbesaran 50x) jenuh (perbesaran 50x)

Gambar 4.6 Menunjukkan foto patahan spesimen uji Tarik dalam kondisi kering, semi-jenuh
dan jenuh (perbesaran 50x).

51
Gambar 4.6 menunjukkan foto patahan spesimen-spesimen uji tarik kondisi
kering, semi-jenuh dan jenuh di sekitar daerah sumber retak untuk spesimen komposisi
filler (fly ash / CaCO3) adalah (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%), (0% /
20%). Dapat dilihat bahwa ada perbedaan bentuk patahan antara spesimen kering, semi-
jenuh dan jenuh. Perbedaan yang mencolok juga bisa dilihat dari segi warna spesimen,
dimana spesimen semi-jenuh dan jenuh terlihat lebih gelap jika dibandingkan dengan
spesimen kering. Bentuk patahan spesimen rata-rata masih getas, namun terdapat sedikit
perbedaan antara spesimen hasil pengujian kering dengan spesimen semi-jenuh dan
jenuh. Dimana patahan spesimen kering pada permukaan patahan masih kasar hampir
pada seluruh permukaan, begitupun dengan spesimen semi-jenuh hampir mirip dengan
spesimen kering, sementara pada spesimen jenuh tampak patahan yang halus pada
beberapa bagian permukaannya. Jika diperhatikan lebih detail lagi, bentuk patahan
spesimen kering lebih beraturan dari spesimen semi-jenuh dan jenuh. Sedangkan pada
spesimen semi-jenuh dan jenuh bentuk patahan spesimen ini terlihat acak atau tidak
beraturan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa air telah terserap ke dalam spesimen.
Air yang terserap menyebabkan penurunan nilai kekakuan spesimen, plastisitas pada
spesimen meningkat dan penurunan nilai kekuatan tarik pada spesimen yang direndam.
Patahan spesimen dimulai karena adanya void, kemudian disekitar void terlihat
lebih halus atau disebut dengan (mirror zone). Kemudian menjalar seperti kabut atau
disebut dengan kabut area, selanjutnya akan membentuk daerah yang lebih kasar atau
disebut juga patahan akhir, kemudian merambat sampai spesimen patah. Kesimpulan
dari semua gambar diatas bahwa sember retak memang sudah ada dari awal sebelum
spesimen diuji. Sumber retak yang timbul akibat kurang teliti saat pembuatan spesimen
atau dari alat yang tidak bersih. Sehingga dari sumber retak yang sudah ada
mengakibatkan titik lemah dari spesimen pada saat dilakukan pengujian tarik. Sehingga
spesimen yang diuji patah pada daerah sumber retak atau titik lemahnya.
Dari semua spesimen uji tarik rata-rata tempat terjadinya patah yaitu berada di
daerah patahnya. Hal ini menunjukkan bahwa tegangan maksimum uji tarik berada di
tengah-tengah spesimen atau daerah patahnya. Terjadinya patah juga disebabkan oleh
adanya void yang menyebabkan spesimen patah sebelum beban maksimum (Saputra,
2018).

52
BAB V
KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan tersebut dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut:
a. Kadar air kesetimbangan epoxy berfiller (fly ash / CaCO3) yang komposisinya
adalah (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%), (0% / 20%), secara
umum menunjukan penurunan dengan rata-rata prosentase untuk semua
komposisi sebesar 19,91% dibandingkan resin murni.
b. Pada kondisi kering kekuatan tarik spesimen berfiller hybrid fly ash dan CaCO3
rata-rata dari semua komposisi mengalami penurunan dibandingkan spesimen
resin murni sebesar 5,67%. Pada kondisi semi-jenuh kekuatan tarik spesimen
resin murni turun dibanding resin murni kondisi kering sebesar 28,53%, untuk
spesimen berfiller hybrid semi-jenuh rata-rata dari semua komposisi turun
12,40% dibandingkan spesimen resin murni. Pada kondisi jenuh kekuatan tarik
spesimen resin murni turun dibandingkan spesimen resin murni kondisi kering
sebesar 83,40%, untuk spesimen berfiller hybrid jenuh rata-rata dari semua
komposisi naik 20,13% dibandingkan spesimen resin murni.
c. Dengan menggunakan Analisis of varian dua arah dengan interaksi, diperoleh
nilai pengaruh variasi komposisi filler, variasi perlakuan, dan interaksi antara
komposisi dengan perlakuan berturut-turut pada kekuatan tarik dengan nilai
Fhitung > Ftabel ( 8,07 > 2,47), Fhitung > Ftabel ( 793,06 > 3,25), dan Fhitung < Ftabel
(1,71 < 2,11). Untuk modulus elastis uji tarik diperoleh nilai Fhitung > Ftabel (
23,12 > 2,47), Fhitung > Ftabel ( 1933,95 > 3,25), dan Fhitung > Ftabel (4,39 > 2,11).
Untuk regangan tarik saat patah diperoleh nilai Fhitung < Ftabel ( 0,87850 <
2,47717), Fhitung > Ftabel ( 652,82561 > 3,25945), dan Fhitung < Ftabel (1,01711 <
2,10605). Untuk ketangguhan tarik diperoleh nilai Fhitung < Ftabel ( 1,822 <
2,477), Fhitung > Ftabel ( 18,741 > 3,259 dan Fhitung > Ftabel (2,371 > 2,106).

5.2 Saran
Mengingat skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga pada penelitian
selanjutnya diharapkan :
53
a. Pada waktu pembuatan spesimen kehendaknya penelitian lebih teliti dan cermat,
guna bisa meminimalisasi cacat-cacat pada spesimen yang akan berpengaruh
terhadap hasil pengujian.
b. Untuk penelitian selanjutnya dapat memvariasikan jenis filler, fraksi volume dan
jenis perekat yang digunakan.

54

Anda mungkin juga menyukai