PENDAHULUAN
1
Dari penelitian sebelumnya, Wijaya (2018) telah menggunakan berbagai bahan
filler antara lain fly ash, CaCO3, dan semen sebagai filler dan fraksi volume masing-
masing filler sebesar 5%, 10%, 15%, 20% dan 25%. Penelitian tersebut bertujuan untuk
mengetahui pengaruh fraksi volume filler terhadap kekuatan tarik epoxy, tetapi
penelitian tersebut tidak mengkombinasikan filler dan tidak membandingkan sifat
mekanik epoxy dengan filler dalam lingkungan kering dan basah. Sehingga belum
diketahui pengaruh kombinasi filler pada sifat mekanik epoxy dalam keadaan basah,
padahal air mempunyai pengaruh buruk terhadap sifat mekanik epoxy. Sehingga, hal
tersebut memberikan ide untuk meneliti pengaruh kombinasi filler terhadap kekuatan
tarik epoxy dalam keadaan kering dan basah.
Berdasarkan dari uraian di atas timbul gagasan untuk menganalisis kekuatan
tarik pada komposit epoxy yang diperkuat dengan kombinasi filler fly ash dan CaCO3
pada kondisi kering dan basah. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan komposit dengan
sifat mekanik yang lebih baik dan tahan terhadap air. Penelitian ini diharapkan akan
menghasilkan sesuatu material yang baru dan menarik, dengan aplikasi pada bidang
industri pesawat dan mobil guna mendapatkan konstruksi yang lebih ringan tapi sangat
kuat dan tahan terhadap air.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
7
c. Mempunyai penyusutan yang kecil pada pengawetan.
d. Memiliki kelengketan yang baik dengan bahan penguat.
e. Mempunyai sifat baik dari bahan yang diawetkan.
Berikut adalah beberapa jenis material matriks:
1. Matriks polimer
Polimer adalah material yang paling banyak digunakan sebagai material matriks
pada komposit, yaitu termoplastik dan termosetting. Sekali dibentuk, termosetting akan
berikatan selang-seling (cross-link), membentuk jaringan molekul tiga dimensi yang
tahan temperatur tinggi, melebihi termoplastik. Termoplastik, karena ber-basic rantai
polimer yang tidak berikatan selang-seling akan menjadi lunak dan mencair apabila
dipanaskan dan mengeras kembali setelah mengalami pendinginan.
2. Matriks logam
Pada pengunaan logam sebagai matriks seperti titanium, magnesium, dan
paduannya, temperatur operasi mencapai 1250˚C (2280˚F). Keunggulan lain dari logam
sebagai matriks adalah kekuatan yang tinggi, kekakuan, dan keuletan daripada polimer,
tetapi mempunyai densitas lebih besar sehingga lebih berat, sedangkan pertimbangan
utama pembuatan komposit biasanya mereduksi berat komponen.
3. Matriks keramik
Keramik yang digunakan sebagai matriks seperti silicon carbide dan silicon
nitride yang dapat digunakan pada temperatur sampai 1650˚C (3000˚F). Keramik
memiliki tensile strength yang rendah dan getas. Jenis lain yang digunakan juga adalah
karbon fiber/karbon matrix tetapi faktor harga mengakibatkan material ini hanya
dipakai pada beberapa keperluan yang sangat penting dalam dunia ledirgantaraan.
Bahan yang umumnya dipakai sebagai matrik adalah resin atau polimer. Adapun
jenis resin yang sering digunakan adalah :
a) Polyester (orthopthalic). Resin tipe ini sangat tahan terhadap proses korosi air laut
dan asam encer. Adapun spesifikasi teknisnya adalah sebagai berikut : massa jenis
= 1,23 g/cm3, modulus Young = 3,2 GPa, angka Poison = 0,36 dan kekuatan tarik =
65 MPa.
b) Polyester (Isophathalic). Resin tipe ini tahan terhadap panas dan larutan asam,
kekerasannya lebih tinggi serta kemampuan menahan resapan air yang paling baik
dibandingkan dengan resin yang tipe ortho. Penggunaan resin jenis ini hanya pada
kondisi tertentu. Adapun spesifikasinya adalah sebagai berikut, massa jenis = 1,19
8
g/cm3, modulus Young = 3,2 GPa, angka Poison = 0,35 dan kekuatan tarik = 85
MPa.
c) Epoxy. Resin tipe ini mampu menahan resapan air (adhesion) sangat baik dan
kekuatan mekanik yang paling tinggi. Adapun spesifikasi teknis adalah sebagai
berikut : massa jenis = 1,20 g/cm3, modulus Young = 3,2 GPa, angka Poison = 0,37
dan kekuatan tarik = 85 MPa.
d) Vinyl ester. Resin tipe ini mempunyai ketahanan terhadap larutan kimia (chemical
resistance) yang paling unggul. Adapun spesifikasi teknisnya adalah sebagai
berikut : massa jenis = 1,12 g/cm3, modulus Young = 3,4 GPa dan kekuatan tarik =
83 MPa.
e) Resin tipe phevnolic. Resin tipe ini tahan terhadap larutan asam dan larutan alkali.
Adapun spesifikasi teknis adalah sebagai berikut : massa jenis = 1,15 g/cm3,
modulus Young= 3,0 GPa dan kekuatan tarik= 50 MPa.
2.2.4 Epoxy
Perekat ini merupakan produk sintetik termoset dari reaksi resin polyepoxy
dengan zat pengeras. Dapat diperoleh dalam bentuk sistem satu atau dua komponen.
Sistem satu komponen meliputi resin cair bebas pelarut, larutan, pasta resin cair, bubuk,
pellet dan pasta. Sistem dua komponen terdiri atas resin zat curing yang dicampur saat
digunakan. Sistem juga mengandung pemlastik, pengencer reaktif, filler, pigmen dan zat
resin lain. Pemakaian hardener reaktif atau katalis untuk mendukung curing
menyebabkan keluarnya panas. Pada curing suhu kamar, perlu hardener tercepat,
supaya tidak memerlukan panas dari luar.
10
Resin epoxy memiliki beberapa keunggulan sebagai zat perekat dibandingkan
dengan polimer-polimer yang lain. Diantaranya adalah keaktifan permukaan tinggi,
daya pembahasan baik, kekuatan kohesif tinggi, tidak mengkerut, dapat luwes diubah-
ubah sifatnya dengan memiliih resin hardener yang tepat. Perekat epoxy kekuatannya
tidak berubah dalam waktu yang lama, tahan minyak, gemuk, panas atau cuaca dingin.
Sifat mekanik resin epoxy dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Sifat mekanik resin epoxy (Hartomo, 1992).
Sifat sifat Satuan
Kekuatan Tarik MPa
Elongasi %
Kekuatan Fleksural MPa
Modulus Young GPa
Kekuatan Impak J/m2
Densitas g/cm3
moisture moisture
Gambar 2.2 Ilustrasi penyerapan air pada plat polimer tak terhingga (Crank, 1975).
Dari Gambar 2.2 diatas air dalam bentuk uap (moisture) atau cairan dapat
berdifusi ke dalam plat komposit, dimana proses difusi tergantung pada konsentrasi,
waktu, ketebalan plat dan suhu. Kelembaban masuk melalui kedua sisi ketebalan secara
tegak lurus. Gambar 2.3 adalah contoh ilustrasi hubungan antara air yang terserap (Ka)
dengan akar waktu ( t ) yang akan menghasilkan slope penyerapan air pada saat
proses difusi secara linier.
11
Untuk mencari nilai air yang terserap digunakan persamaan 2.1 (Putra, 2018) :
𝑊𝑡−𝑊0
Ka = x100% …................................................................................ (2.1)
W0
Gambar 2.3 Ilustrasi gambar kurva penyerapan air pada polimer (Putra, 2018).
Jumlah massa kelembaban yang terserap dalam plat mengikuti hukum Fick
sehingga dapat dihitung laju difusi air, dengan Persamaan 2.2 (Putra, 2018) :
𝑘.ℎ
D=𝜋( )2 ........................................................................................ (2.2)
4 𝐾𝑎∞
12
Ketebalan mempengaruhi perilaku air terserap ke komposit. Semakin tebal
komposit, perilaku difusi air akan mengikuti pola hukum Fick, dan semakin tipis
komposit air terserap berperilaku menyimpang dari hukum Fick. Hal ini terjadi karena
proses relaksasi rantai polimer setelah berinteraksi dengan molekul air memerlukan
waktu dan ruang.
Gambar 2.4 Penyerapan air pada perekat epoxy dengan perbedaan ketebalan (Lin dan Chen,
2005).
b. Suhu
Suhu mempengaruhi laju difusi air ke dalam komposit tetapi beberapa komposit
menunjukkan di samping meningkatkan laju difusi juga meningkatkan jumlah air yang
terserap. Ada juga yang menunjukkan kandungan air turun dengan meningkatnya suhu.
c. Kelembaban
Proses difusi akan terjadi lebih cepat bila kelembaban di sekitar polimer lebih
tinggi. Jumlah air yang terserap juga lebih tinggi karena proses difusi dipengaruhi oleh
perbedaan konsentrasi difusi.
d. Jenis polimer yang berhubungan dengan struktur mikronya
1. Polimer dengan struktur amorf lebih mudah menyerap air dari pada kristalin
(molekul/ion pembangunnya tersusun menjadi 3 dimensi) karena adanya void-
void antara rantai yang banyak dan lebih besar.
2. Respon adsorpsi air dapat berbeda tergantung pada struktur mikro polimer.
Adanya ketidakhomogenan struktur juga mempengaruhi proses difusi. Adanya
partikel termoplastik dalam matrik termoset meningkatkan laju difusi tetapi
menurunkan kandungan air kesetimbangan.
13
2.2.6 Pengaruh kelembaban terhadap perekat
a. Temperatur Transisi Gelas (Tg)
Pengaruh kelembaban yang berdifusi ke dalam polimer, dapat
mempengaruhi mobilitas rantai polimer dan akan mempengaruhi temperatur
transisi gelas. Pengaruh kelembaban pada mobilitas rantai tergantung pada
struktur polimer. Sebuah polimer kaca kering, yaitu epoxy resin dengan massa
jenis cross-link yang tinggi. Oleh karena itu, modifikasi strukutur ini akan
mempengaruhi temperatur transisi gelas.
b. Pembengkakan
Pembengkakan merupakan perubahan volumentrik suatu material akibat
kadar air melalui proses ekspansi thermal. Ketika air berdifusi ke dalam resin
epoxy, mengisi volume bebas air yang kosong. Dengan peningkatan waktu
perendaman, air dapat mengganggu ikatan rantai pada strukur polimer dan
kemudian menjadi air terikat. Air terikat dapat memicu terjadinya
pembengkakan pada resin epoxy (Adamson, 1980). Pengaruh peningkatan
temperatur juga meningkatkan penyerapan air dan serapan air maksimum juga
semakin meningkat.
14
P P
Gambar 2.5 Gaya yang bekerja pada uji tarik (Akbar, 2015).
Gambar 2.6 Ilustrasi grafik hasil uji tarik dengan modifikasi (Putri, 2018).
Dimana:
= regangan
Lt = pertambahan panjang (mm).
Lo = panjang awal (mm).
15
Modulus elastisitas adalah sifat material yang menunjukkan kekakuan material
saat menerima beban.
𝜎
2
𝜎2
𝜎1 1
ε
𝜀1 𝜀2
Gambar 2.7 Grafik hubungan antara tegangan dan regangan untuk menentukan modulus
elastisitas (Putra, 2018).
Dari Gambar 2.7, besarnya modulus elastisitas di daerah elastis dapat dihitung
dengan persamaan 2.5 (Putra, 2018).
∆𝜎 𝜎2 − 𝜎1
E= = .................................................................................... (2.5)
∆𝜀 𝜀2 − 𝜀1
Dengan:
E : modulus elastisitas (MPa)
2 : tegangan pada titik 2 (MPa)
𝜎1 : tegangan pada titik 1 (MPa)
2 : regangan pada titik 2 (%)
𝜀1 : regangan pada titik 1 (%)
16
Gambar 2.8 Grafik hubungan tegangan dan regangan untuk menentukan ketangguhan
(Wijaya,2018)
Dari Gambar 2.8 besarnya nilai ketangguhan tarik pada daerah di bawah kurva
dapat dihitung dengan persamaan 2.6 (Wijaya, 2018) :
𝜎𝑦 + 𝜎𝑢
Ut = ×𝜀𝑓 ........................................................................................................ (2.6)
2
Dengan:
Ut = ketangguhan tarik
𝜎𝑦 = tegangan pada titik luluh
𝜎𝑢 = tegangan pada titik ultimate
𝜀𝑓 = regangan saat patah
Eror k 1 s2
2
k (n 1)
17
Dalam ANOVA, diambil dua hipotesa:
H0 = bila faktor yang diselidiki tidak berpengaruh.
H1 = bila faktor yang diselidiki berpengaruh terhadap parameter terukur.
Statistik untuk menguji hipotesa diatas adalah:
Bila dari hasil perhitungan diperoleh Fhitung lebih besar dari Ftabel, maka hipotesis
nol (H0) ditolak dan hipotesis alternative (H1) diterima.
Formula dalam perhitungan ANOVA:
k n
T 2 ..
xij
2
JKT =
i 1 j 1 nk
k
T
2
i
i j T 2 ..
JKK =
n nk
k
T
j 1
j
2
T2
JKK =
rn rkn
JKE = JKT-JKK
T
2
i
i j T 2 ..
JKB =
ni kb
k
T
j 1
i
2
.j
T 2 ..
JKK =
b kb
JKE = JKT-JKB-JKK
Keterangan:
JKT = jumlah kuadrat total
JKB = jumlah kuadrat baris
JKK = jumlah kuadrat kolom
JKE = jumlah kuadrat error
N = jumlah data
n = jumah perulangan (n = 0, 1... n)
k = kolom (k = 0, 1, 2, k)
b = baris (j = 0, 1, 2... j)
Xij = Data pada baris ke-I dan ulangan ke-m
Ti = Total baris ke-i
Tj = Total baris ke-j
Tij = Total seluruh di baris ke-I dan kolom ke-j
T = Total keseluruhan pengamatan
19
BAB III
METODE PENELITIAN
Fraksi berat total filler adalah 20 % dengan kombinasi filler (fly ash : CaCO3)
adalah ( 20% / 0 %), (15% / 5% ), (10% / 10%), (5% / 15%), (0% / 20%)
Semi-
tidak jenuh dan ya
jenuh?
ya
Pengujian tarik
ASTM D638
20
3.2 Persiapan Alat dan Bahan
3.2.1 Alat penelitian
Adapun alat yang digunakan pada penelitian ini adalah:
a. Mesin uji Universal Testing Machine digunakan untuk menguji tarik (Gambar
3.2)
21
Gambar 3.3 Timbangan digital ketelitian 0,1 g.
k. Vacum pump digunakan untuk memvakum filler yang sudah dicampur dengan
epoxy resin dan epoxy hardener (Gambar 3.4).
b
d
Gambar 3.7 Wadah perendaman modifikasi
Keterangan: a. PID
b. Rak spesimen
c. Water Heater
d. Pompa air
23
o. Vernier caliper digital, dengan ketelitian 0,01 mm digunakan untuk mengukur
dimensi spesimen uji (Gambar 3.8).
25
3.3.2 Penyerapan air
Untuk penyerapan air, spesimen seperti gambar 3.10 ditimbang dan diukur dulu
sebelum melakukan perendaman. Hal ini dilakukan untuk mengetahui berat awal dan
tebal awal spesimen. Setelah pengukuran selesai barulah spesimen direndam selama 60
hari dan tetap melakukan penimbangan spesimen karena spesimen akan mengalami
perubahan dimensi dan berat setelah dilakukan proses perendaman. Untuk perendaman
hari ke-1 melakukan penimbangan spesimen sebanyak 2x sehari setiap 4 jam. Dan
untuk hari ke-2 melakukan penimbangan spesimen sebanyak 2x sehari setiap 6 jam.
Dan untuk hari ke-3 sampai hari ke-60, melakukan penimbangan spesimen sekali dalam
sehari. Jika proses pengukuran dan penimbangan selesai, spesimen tetap dibiarkan
dalam kondisi basah sampai dilakukannya proses pengujian pada spesimen.
Pada bab ini akan membahas hasil pengujian yang telah dilakukan diantaranya
adalah penyerapan air destilasi dan kekuatan tarik.
4.1 Penyerapan Air Destilasi
4.1.1 Hasil penyerapan air destilasi
Dari hasil pengujian penyerapan air pada spesimen dengan jenis komposisi filler
(fly ash / CaCO3) dapat dlihat pada Tabel 4.1. Dari tabel 4.1 diperoleh grafik kadar air-
akar waktu seperti pada Gambar 4.1. Adapun rangkuman dari penyerapan air pada
spesimen saat kesetimbangan seperti pada Tabel 4.2
Tabel 4.1 Hasil rata-rata penyerapan air pada spesimen.
Akar Fly ash Fly ash Fly ash Fly ash Fly ash
Resin
waktu 20%/CaCO3 15%/CaCO3 10%/CaCO3 5%/CaCO3 0%/CaCO3
murni
0% 5% 10% 15% 20%
0 0 0 0 0 0 0
2 0,14 0,21 0,24 0,21 0,19 0,18
2,74 0,25 0,31 0,36 0,32 0,28 0,28
4,74 0,62 0,62 0,76 0,65 0,60 0,59
5,52 0,79 0,77 0,93 0,81 0,75 0,74
7,03 1,17 1,04 1,28 1,11 1,03 1,01
9,85 1,92 1,62 1,98 1,74 1,61 1,57
10,98 2,20 1,83 2,25 1,979 1,84 1,78
11,98 2,57 2,11 2,60 2,28 2,13 2,05
12,99 2,71 2,23 2,75 2,41 2,25 2,16
14,14 3,02 2,48 3,02 2,66 2,48 2,39
14,76 3,15 2,58 3,17 2,78 2,61 2,49
15,59 3,52 2,87 3,52 3,09 2,90 2,77
16,30 3,68 2,99 3,67 3,23 3,02 2,90
17,05 3,86 3,13 3,84 3,38 3,17 3,03
17,74 4,01 3,25 3,97 3,51 3,29 3,15
18,57 4,21 3,40 4,15 3,67 3,44 3,30
19,13 4,33 3,50 4,26 3,78 3,55 3,39
20,40 4,63 3,72 4,52 4,01 3,77 3,61
21,03 4,77 3,83 4,62 4,12 3,89 3,72
21,42 4,86 3,89 4,69 4,18 3,95 3,79
22,16 5,01 4,02 4,81 4,31 4,07 3,91
22,50 5,08 4,07 4,86 4,358 4,13 3,96
24,18 5,43 4,34 5,11 4,62 4,39 4,24
25,08 5,602 4,47 5,22 4,73 4,51 4,37
27
25,98 5,77 4,59] 5,32 4,85 4,64 4,51
27,50 6,03 4,79] 5,47 5,03 4,83 4,72
28,21 6,15 4,87 5,54 5,11 4,92 4,82
29,03 6,28 4,97 5,61 5,19 5,01 4,93
30,32 6,46 5,10 5,71 5,30 5,13 5,08
31,48 6,61 5,20 5,79 5,38 5,23 5,20
31,93 6,66 5,23 5,81 5,41 5,26 5,24
32,99 6,77 5,32 5,87 5,48 5,35 5,34
33,70 6,85 5,36 5,91 5,52 5,40 5,40
34,37 6,92 5,41 5,95 5,56 5,44 5,46
35,41 6,97 5,47 5,98 5,61 5,50 5,53
36,82 7,09 5,54 6,051 5,67 5,58 5,62
38,02 7,19 5,59 6,08 5,71 5,63 5,68
39,58 7,26 5,64 6,13 5,76 5,69 5,74
42,23 7,41 5,73 6,23 5,86 5,80 5,86
43,66 7,45 5,77 6,26 5,88 5,83 5,91
48,32 7,58 5,87 6,38 6,01 5,97 6,02
49,79 7,60 5,90 6,42 6,05 6,01 6,06
Dari tabel 4.1 diperoleh grafik kadar air-akar waktu seperti pada Gambar 4.1
7
Air yang terserap (%)
6
Resin murni
5
fly ash 20%/CaCO3 0%
4
fly ash 15%/CaCO3 5%
3
fly ash 10%/CaCO3 10%
2
fly ash 5%/CaCO3 15%
1 fy ash 0%/CaCO3 20%
0
0 20 40 60
Akar waktu (jam1/2)
Keterangan:
Fly ash 20%/CaCO3 0% : komposit partikel dengan komposisi fraksi volume 20% fly ash, 0% CaCO3.
Fly ash 15%/CaCO3 5% : komposit partikel dengan komposisi fraksi volume 15% fly ash, 5% CaCO3.
Fly ash 10%/CaCO3 10% : komposit partikel dengan komposisi fraksi volume 10% fly ash, 10% CaCO3.
Fly ash 5%/CaCO3 15% : komposit partikel dengan komposisi fraksi volume 5% fly ash, 15% CaCO3.
Fly ash 0%/CaCO3 20% : komposit partikel dengan komposisi fraksi volume 0% fly ash, 20% CaCO3.
28
Tabel 4.2 Rangkuman rata-rata penyerapan air pada spesimen saat kesetimbangan.
Tebal Air yang terserap ± SD (%) Laju Difusi ±
Variasi
Spesimen ± Semi-jenuh Jenuh (2479,1 SD (mm2/jam)
komposisi
SD (mm) (143,65 jam) jam) (×10−3 )
Resin murni 4,26 ± 0,15 2,51 ± 0,13 7,60 ± 0,07 3,60 ± 0,41
Fly ash
3,84 ± 0,05 2,05 ± 0,03 5,90 ± 0,01 3,03 ± 0,03
20%/CaCO3 0%
Fly ash
3,5 ± 0,51 2,41 ± 0,34 6,42 ± 0,09 3,13 ± 0,05
15%/CaCO3 5%
Fly ash
3,7 ± 0,1 2,09 ± 0,14 6,05 ± 0,04 3,14 ± 0,13
10%/CaCO3 10%
Fly ash
4,04 ± 0,06 1,87 ± 0,14 6,01 ± 0,10 3,34 ± 0,52
5%/CaCO3 15%
Fly ash
4,1 ± 0 2,15 ± 0,16 6,06 ± 0,008 3,10 ± 0,02
0%/CaCO3 20%
Dari Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa spesimen mengalami penambahan kadar
air secara linier di awal waktu, kemudian penambahan kadar air semakin melambat
dengan bertambahnya waktu dan mencapai kesetimbangan pada waktu perendaman
2479,1 jam. Dari Tabel 4.2 terlihat ada perbedaan kadar air kesetimbangan dengan
komposisi filler yang berbeda. Untuk spesimen resin murni kadar air sebesar 7,60%
pada waktu 2479,1 jam. Untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3)
adalah (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) mengalami
penurunan kadar air dengan masing-masing sebesar 22,389%, 15,49%, 20,43%,
20,91%, dan 20,32% pada waktu 2479,1 jam dibanding resin murni. Pada kasus
penelitian ini, komposisi filler (FA20% / CC0%) mengalami penyerapan kadar air
kesetimbangan yang rendah dibanding komposisi filler yang lainya. Hal ini terjadi
karena partikel fly ash berbentuk bulat cenderung mengurangi volume bebas untuk air,
dengan demikian penyerapan airnya lebih sedikit (Adamson,1980). Hasil dari pengujian
penyerapan air ini sesuai dengan penelitian dari (Idris, 2016) dimana dijelaskan
spesimen dengan variasi filler mengalami penurunan kadar air jika dibandingkan
dengan resin murni.
29
Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat ada perbedaan laju difusi air dengan
komposisi filler yang berbeda. Untuk spesimen tanpa filler laju difusi air sebesar
0,00360 mm2/jam. Untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3) adalah
(20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) mengalami
penurunan laju difusi air dengan masing-masing sebesar 15,82%, 13,12%, 12,74%,
7,28% dan 13,81% dibanding tanpa filler. Hal ini disebabkan karena adanya filler
cenderung menambah jumlah partikel-partikel penghalang dibandingkan dengan resin
murni, sehingga partikel-partikel tersebut menghalangi untuk berdifusi. Hal ini terjadi
karena resin murni tidak memiliki partikel-partikel penghalang sehingga laju
penyerapan airnya menjadi lebih cepat dibanding spesimen dengan filler (Idris, 2016).
Peranan fly ash dan CaCO3 dalam penyerapa air dapat menurunkan
penyerapannya dan efeknya terhadap kekuatan tarik menurun.
30
Dari data Tabel 4.3 diperoleh grafik hubungan kekuatan tarik dengan variasi komposisi
filler dalam kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh seperti pada Gambar 4.2
50
45
Kekuata tarik (MPa)
40
35
30
25
20 kering
15
10 semi jenuh
5 jenuh
0
resin murni fly ash fly ash fly ash fl ash flyash
20%/CaCO3 15%/CaCO3 10%/CaCO3 5%/CaCO3 0%/CaCO3
0% 5% 10% 15% 20%
Variasi komposisi
Gambar 4.2 Grafik hubungan kekuatan tarik dengan variasi komposisi filler dalam kondisi
kering semi-jenuh dan jenuh.
Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dibuat grafik seperti tampak pada Gambar 4.2
menunjukkan perbandingan kekuatan tarik untuk epoxy dengan komposisi filler (fly ash
/ CaCO3) adalah (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%)
pada kondisi kering, semi-jenuh dan kering. Dari grafik terihat bahwa ada terjadinya
perubahan kekuatan tarik pada epoxy dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3) pada
kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh.
Kekuatan tarik pada kondisi semi-jenuh dan jenuh menurun dibandingkan
kekuatan tarik pada kondisi kering. Pada kondisi semi-jenuh kekuatan tarik resin murni
turun sebesar 28,53% dibanding kekuatan tarik resin murni pada kondisi kering. Pada
kondisi semi-jenuh kekuatan tarik epoxy dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3) pada
filler (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) turun masing-
masing sebesar 31,44%, 46,03%, 28,35%, 34,74%, dan 28,77% dibanding kekuatan
tarik epoxy dengan komposisi filler pada kondisi kering. Pada kondisi jenuh kekuatan
tarik resin murni turun sebesar 83,40% dibanding kekuatan tarik resin murni pada
kondisi kering. Pada kondisi jenuh turun kekuatan tarik epoxy dengan komposisi filler
(fly ash / CaCO3) pada filler (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan
(0% / 20%) masing-masing sebesar 76,03%, 82,21%, 77,70%, 80,44%, dan 78,21%
dibanding kekuatan tarik epoxy dengan komposisi filler pada kondisi kering. Penurunan
sifat mekanik tersebut menjadi lebih tinggi lagi bila polimer mendapat paparan
31
kelembaban dan suhu tinggi (Sugiman, 2015:17). Hal ini terjadi karena penyerapan air
pada spesimen yang menyebabkan kekakuan dari spesimen menurun dan membuat
spesimen menjadi lebih plastis atau lunak. Penyerapan air dalam jangka waktu yang
lama juga bisa membentuk ikatan hidrogen antara molekul air dan molekul epoxy, yang
menyebabkan adanya tambahan ikatan cross-link. Ikatan cross-link ini sebenarnya bisa
menambah kekuatan tarik spesimen basah tapi penambahan kekuatan itu masih dibawah
kekuatan spesimen kering (Idris, 2016).
Pada kondisi kering untuk spesimen resin murni kekuatan tariknya sebesar 44,24
MPa. Pada kondisi kering untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3)
kekuatan tariknya menurun yang terjadi pada komposisi filler (20% / 0%), (15% / 5%),
(10% / 10%) dan (0% / 20%) masing-masing sebesar 1,56%, 14,90%, 6,85% dan 5,65%
dibanding kekuatan tarik spesimen resin murni. Kemudian kekuatan tariknya naik tidak
signifikan pada komposisi filler (5% / 15%) yaitu sebesar 0,60% dibanding kekuatan
tarik spesimen resin murni pada kondisi kering. Kekuatan tarik dari yang tertinggi
sampai yang terendah pada kondisi kering adalah spesimen dengan komposisi filler (5%
/ 15%), (20% / 0%), (0% / 20%), (10% / 10%) dan (15% / 5%). Secara umum rata-rata
kekuatan tarik spesimen pada kondisi kering cenderung menurun pada semua komposisi
filler. Hal ini disebabkan oleh adanya filler cenderung menambah jumlah void
dibandingkan dengan resin murni dan juga terbentuknya interface epoxy-filler yang
merupakan titik lemah dalam sistem epoxy-filler (Idris, 2016).
Pada kondisi semi-jenuh untuk spesimen resin murni kekuatan tariknya sebesar
31,61 MPa. Pada kondisi semi-jenuh untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash /
CaCO3) kekuatan tariknya menurun yang terjadi pada komposisi filler (20% / 0%),
(15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%), (0% / 20%) masing-masing sebesar 5,56%,
35,73%, 6,61%, 8,13% dan 5,97% dibanding kekuatan tarik spesimen resin murni.
Kekuatan tarik dari yang tertinggi sampai yang terendah pada kondisi semi-jenuh adalah
spesimen dengan komposisi filler (20% / 0%), (0% / 20%), (10% / 10%), (5% / 15%)
dan (15% / 5%). Penyebab penurunan kekuatan tarik spesimen pada kondisi semi-jenuh
sama dengan penyebab penurunan kekuatan tarik spesimen pada kondisi kering.
Pada kondisi jenuh untuk spesimen resin murni kekuatan tariknya sebesar 7,34
MPa. Pada kondisi jenuh untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3)
kekuatan tariknya naik yang terjadi pada komposisi filler (20% / 0%), (10% / 10%),
(5% / 15%) dan (0% / 20%) masing-masing sebesar 42,11%, 25,09%, 18,49%, dan
32
23,78% dibanding kekuatan tarik spesimen resin murni. Kemudian kekuatan tariknya
menurun pada komposisi filler (15% / 5%) yaitu sebesar 8,82% dibanding kekuatan
tarik spesimen resin murni pada kondisi jenuh. Kekuatan tarik dari yang tertinggi
sampai yang terendah pada kondisi jenuh adalah spesimen dengan komposisi filler
(20% / 0%), (10% / 10%), (0% / 20%), (5% / 15%) dan (15% / 5%). Secara umum rata-
rata kekuatan tarik spesimen pada kondisi jenuh cenderung meningkat pada semua
komposisi filler. Hal ini disebabkan filler fly ash selain jadi pengisi juga mempengaruhi
sifat-sifat fisik (reinforcing filler) seperti menambah kekuatan tarik serta adanya
kandungan air dalam filler tersebut (Saputra, 2018).
Dari data Tabel 4.4 diperoleh grafik hubungan modulus elastis dengan variasi
komposisi filler dalam kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh seperti pada Gambar 4.3
33
2500
1500
1000 kering
500 semi jenuh
0 jenuh
resin murni fly ash fly ash fly ash fl ash flyash
20%/CaCO3 15%/CaCO3 10%/CaCO3 5%/CaCO3 0%/CaCO3
0% 5% 10% 15% 20%
Variasi komposisi
Gambar 4.3 Grafik hubungan modulus elastisitas dengan variasi komposisi dalam kondisi
kering semi-jenuh dan jenuh.
Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dibuat grafik seperti tampak pada Gambar 4.3
menunjukkan perbandingan modulus elastisitas untuk epoxy dengan komposisi filler (fly
ash / CaCO3) adalah (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% /
20%) pada kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh. Dari grafik terihat bahwa ada
terjadinya perubahan modulus elastisitas pada epoxy dengan komposisi filler fly ash dan
CaCO3 pada kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh.
Modulus elastisitas pada kondisi semi-jenuh dan jenuh menurun dibandingkan
modulus elastisitas pada kondisi kering. Pada kondisi semi-jenuh modulus elastisitas
resin murni turun sebesar 26,01% dibanding modulus elastisitas resin murni pada
kondisi kering. Pada kondisi semi-jenuh modulus elastisitas epoxy dengan komposisi
filler (fly ash / CaCO3) pada filler (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%)
dan (0% / 20%) turun masing-masing sebesar 28,70%, 41,94%, 33,29%, 29,12%, dan
32,45% dibanding modulus elastisitas epoxy dengan komposisi filler pada kondisi
kering. Pada kondisi jenuh modulus elastisitas resin murni turun sebesar 91,97%
dibanding modulus elastisitas resin murni pada kondisi kering. Pada kondisi jenuh
modulus elastisitas epoxy dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3) pada filler (20% /
0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) turun masing-masing
sebesar 89,42%, 96,48%, 90,71%, 92,48%, dan 91,10% dibanding modulus elastisitas
epoxy dengan komposisi filler pada kondisi kering. Penyebab menurunnya modulus
elastisitas spesimen pada kondisi basah dibanding kondisi kering karena penyerapan air
pada spesimen yang menyebabkan kekakuan dari spesimen menurun dan membuat
spesimen menjadi lebih plastis atau lunak (Idris, 2016).
34
Pada kondisi kering untuk spesimen resin murni modulus elastisitasnya sebesar
1582,63 MPa. Pada kondisi kering untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash /
CaCO3) modulus elastisitasnya naik pada komposisi filler (20% / 0%), (15% / 5%),
(10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) masing-masing sebesar 25,81%, 14,24%,
35,38%, 33,25% dan 32,55% dibanding modulus elastisitas spesimen resin murni.
Modulus elastisitas tarik rata-rata dari yang tertinggi sampai yang terendah pada kondisi
kering adalah spesimen dengan komposisi filler (10% / 10%), (5% / 15%), (0% / 20%),
(20% / 0%) dan (15% / 5%). Secara umum rata-rata modulus elastisitasnya cenderung
naik pada semua komposisi filler. Kebanyakan epoxy yang diisi filler partikel modulus
elastisitasnya meningkat dengan bertambahnya kandungan filler (Idris, 2016). Hal ini
disebabkan oleh adanya sistem epoxy bertambah rigid dengan bertambahnya kandungan
filler, karena filler lebih rigid dibandingkan epoxy.
Pada kondisi semi-jenuh untuk spesimen resin murni modulus elastisitasnya
sebesar 1170,93 MPa. Pada kondisi semi-jenuh untuk spesimen dengan komposisi filler
(fly ash / CaCO3) modulus elastisitasnya naik yang terjadi pada komposisi filler (20% /
0%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) masing-masing sebesar 21,24%,
22,06%, 27,65%, dan 21,01% dibanding modulus elastisitas spesimen resin murni,
kemudian modulus elastisitasnya menurun pada komposisi filler (15% / 5%) yaitu
sebesar 10,35% dibanding modulus elastisitas spesimen resin murni pada kondisi semi-
jenuh. Modulus elastisitas tarik rata-rata dari yang tertinggi sampai yang terendah pada
kondisi semi-jenuh adalah spesimen dengan komposisi filler (5% / 15%), (10% / 10%),
(20% / 0%), (0% / 20%) dan (15% / 5%). Secara umum rata-rata modulus elastisitasnya
cenderung naik pada semua komposisi filler. Penyebab naiknya modulus elastisitas pada
kondisi semi-jenuh sama dengan penyebab naiknya modulus elastisitas spesimen pada
kondisi kering, dimana dengan bertambahnya kandungan filler modulus elastisitasnya
meningkat (Idris, 2016).
Pada kondisi jenuh untuk spesimen resin murni modulus elastisitasnya sebesar
126,97 MPa. Pada kondisi jenuh untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash /
CaCO3) modulus elastisitasnya naik yang terjadi pada komposisi filler (20% / 0%),
(10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) masing-masing sebesar 65,85%, 56,63%,
24,86%, dan 47,01% dibanding modulus elastisitas spesimen resin murni, kemudian
modulus elastisitasnya menurun pada komposisi filler (15% / 5%) yaitu sebesar 49,94%
dibanding modulus elastisitas spesimen resin murni pada kondisi jenuh. Modulus
35
elastisitas tarik rata-rata dari yang tertinggi sampai yang terendah pada kondisi jenuh
adalah spesimen dengan komposisi filler (20% / 0%), (10% / 10%), (0% / 20%), (5% /
15%) dan (15% / 5%). Secara umum rata-rata modulus elastisitasnya cenderung naik
pada semua komposisi filler. Penyebab naiknya modulus elastisitas spesimen pada
kondisi jenuh sama dengan penyebab naiknya modulus elastisitas spesimen pada
kondisi kering, dimana dengan bertambahnya kandungan filler modulus elastisitasnya
meningkat (Idris, 2016).
Dari data Tabel 4.5 diperoleh grafik hubungan regangan tarik saat patah dengan variasi
komposisi filler dalam kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh seperti pada Gambar 4.4
36
0.45
Gambar 4.4 Grafik hubungan regangan saat patah dengan variasi komposisi filler dalam kondisi
kering semi-jenuh dan jenuh.
Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dibuat grafik seperti tampak pada Gambar 4.4
menunjukkan perbandingan regangan saat patah untuk epoxy dengan komposisi filler
(fly ash / CaCO3) adalah (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% /
20%) pada kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh. Dari grafik terihat bahwa ada
terjadinya perubahan regangan tarik saat patah pada epoxy dengan komposisi filler fly
ash dan CaCO3 pada kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh.
Regangan tarik saat patah pada kondisi semi-jenuh dan jenuh naik dibandingkan
regangan tarik saat patah pada kondisi kering. Pada kondisi semi-jenuh regangan tarik
resin murni naik sebesar 64,10% dibanding regangan tarik resin murni pada kondisi
kering. Pada kondisi semi-jenuh regangan tarik epoxy dengan komposisi filler (fly ash /
CaCO3) pada filler (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%)
naik masing-masing sebesar 95,76%, 146,96%, 107,46%, 45,35%, dan 79,26%
dibanding regagan tarik epoxy dengan komposisi filler pada kondisi kering. Pada
kondisi jenuh regangan tarik resin murni naik sebesar 588,12% dibanding regangan
tarik resin murni pada kondisi kering. Pada kondisi jenuh regangan tarik epoxy dengan
komposisi filler (fly ash / CaCO3) pada filler (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%),
(5% / 15%) dan (0% / 20%) naik masing-masing sebesar 754,74%, 643,35%, 935,20%,
755,86%, dan 991,88% dibanding regangan tarik epoxy dengan komposisi filler pada
kondisi kering. Penyebab naiknya regangan tarik spesimen pada kondisi basah
dibanding regangan tarik spesimen pada kondisi kering dimana penyerapan air pada
37
spesimen yang menyebabkan kekakuan dari spesimen menurun dan membuat spesimen
menjadi lebih plastis atau lunak (Idris, 2016)
Pada kondisi kering untuk spesimen resin murni regangan tariknya sebesar
0,046. Pada kondisi kering untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3)
regangan tarikya menurun yang terjadi pada komposisi filler (20% / 0%), (15% /5%),
(10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) masing-masing sebesar 17,92%, 15,10%,
36,53%, 24,77% dan 33,75% dibanding regagan tarik spesimen resin murni. Regangan
tarik rata-rata dari yang tertinggi sampai yang terendah pada kondisi kering adalah
spesimen dengan komposisi filler (15% / 5%), (20% / 0%), (5% / 15%), (0% / 20%) dan
(10% / 10%). Secara umum rata-rata regangan tariknya cenderung menurun pada semua
komposisi filler. Hal ini disebabkan karena filler cenderung menghalangi proses
deformasi plastis menjadi lebih sulit karena sistem epoxy-filler menjadi lebih rigid
(Ardiansyah, 2018) Dibandigkan resin murni. Karena resin murni lebih ulet
dibandingkan dengan bertambahnya komposisi filler membuat spesimen lebih getas.
Pada kondisi semi-jenuh untuk spesimen resin murni regangan tariknya sebesar
0,076. Untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3) pada kondisi semi-
jenuh regangan taiknya menurun yang terjadi pada komposisi filler (20% / 0%), (10% /
10%), (5% / 15%), (0% / 20%) masing-masing sebesar 2,08%, 19,77%, 33,36% dan
27,63% dibanding regangan tarik spesimen resin murni, kemudian regangan taiknya
naik pada komposisi filler (15% / 5%) yaitu sebesar 27,77% dibanding regangan tarik
spesimen resin murni pada kondisi semi-jenuh. Regagan tarik rata-rata dari yang
tertinggi sampai yang terendah pada kondisi semi-jenuh adalah spesimen dengan
komposisi filler (15% / 5%), (20% / 0%), (10% / 10%), (0% / 20% ) dan (5% / 15%).
Secara umum rata-rata regangan tariknya cenderung menurun pada semua komposisi
filler. Penyebab penurunan regangan tarik spesimen pada kondisi semi-jenuh sama
dengan penyebab penurunan regangan tarik spesimen pada kondisi kering, dimana
dengan meningkatnya komposisi filler pada spesimen menyebabkan regangan tariknya
menurun.
Pada kondisi jenuh untuk spesimen resin murni regangan tariknya sebesar 0,322.
Pada kondisi jenuh untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3) regangan
tariknya menurun yang terjadi pada komposisi filler (15% / 5%), (10% / 10%) dan (5% /
15% ) masing-masing sebesar 8,28%, 4,53% dan 6,43% dibanding regangan tarik
spesimen resin murni, kemudian regangan tariknya naik pada komposisi filler (20% /
38
0%) dan (0% / 20%) yaitu sebesar 1,95% dan 5,12% dibanding regangan tarik spesimen
resin murni pada kondisi jenuh. Regangan tarik rata-rata dari yang tertinggi sampai
yang terendah pada kondisi jenuh adalah spesimen dengan komposisi filler (0% / 20%),
(20% / 0%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (15% / 5%). Secara umum rata-rata regangan
tariknya cenderung menurun pada semua komposisi filler. Penyebab penurunan
regangan tarik spesimen pada kondisi jenuh sama dengan penyebab penurunan
regangan tarik spesimen pada kondisi kering, dimana dengan meningkatnya komposisi
filler pada spesimen menyebabkan regangan tariknya menurun.
Dari data Tabel 4.6 diperoleh grafik hubungan ketangguhan tarik saat dengan variasi
komposisi filler dalam kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh seperti pada Gambar 4.5
39
3.5
2.5
1.5 kering
1 semi-jenuh
jenuh
0.5
0
resin murni fly ash fly ash fly ash fl ash flyash
20%/CaCO3 15%/CaCO3 10%/CaCO3 5%/CaCO3 0%/CaCO3
0% 5% 10% 15% 20%
Variasi komposisi
Gambar 4.5 Grafik hubungan ketangguhan tarik dengan variasi komposisi filler dalam
kondisi kering semi-jenuh dan jenuh.
Berdasarkan Tabel 4.6 dapat dibuat grafik seperti tampak pada Gambar 4.5
menunjukkan perbandingan ketangguhan tarik untuk epoxy dengan komposisi filler (fly
ash / CaCO3) adalah (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% /
20%) pada kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh. Dari grafik terihat bahwa ada
terjadinya perubahan ketangguhan tarik pada epoxy dengan komposisi filler fly ash dan
CaCO3 pada kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh.
Ketangguhan tarik pada kondisi semi-jenuh dan jenuh naik dibandingkan
ketangguhan tarik pada kondisi kering. Pada kondisi semi-jenuh ketangguhan tarik resin
murni naik sebesar 15,91% dibanding ketangguhan tarik resin murni pada kondisi
kering. Pada kondisi semi-jenuh ketangguhan tarik epoxy dengan komposisi filler (fly
ash / CaCO3) pada filler (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% /
20%) naik masing-masing sebesar 63,50%, 67,19%, 90,08%, 14,75% dan 58,78%
dibanding ketangguhan tarik epoxy dengan komposisi filler pada kondisi kering. Pada
kondisi jenuh ketangguhan tarik resin murni naik sebesar 56,97% dibanding
ketangguhan tarik resin murni pada kondisi kering. Pada kondisi jenuh ketangguhan
tarik epoxy dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3) pada filler (20% / 0%), (15% /
5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) naik masing-masing sebesar 121,14%,
7,30%, 97,26%, 80,37% dan 114,07% dibanding ketangguhan tarik epoxy dengan
komposisi filler pada kondisi kering. Penyebab naiknya ketangguhan tarik spesimen
pada kondisi basah dibanding ketangguhan tarik spesimen pada kondisi kering dimana
40
penyerapan air pada spesimen yang menyebabkan kekakuan dari spesimen menurun dan
membuat spesimen menjadi lebih plastis atau lunak (Idris, 2016).
Pada kondisi kering untuk spesimen resin murni ketangguhan tariknya sebesar
1,51 MPa. Pada kondisi kering untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash /
CaCO3) ketangguhan tarikya menurun yang terjadi pada komposisi filler (20% / 0%),
(15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) masing-masing sebesar 29,05%,
34,03%, 52,63%, 35,24% dan 49,62 dibanding ketangguhan tarik spesimen resin murni.
Ketangguhan tarik rata-rata dari yang tertinggi sampai yang terendah pada kondisi
kering adalah spesimen dengan komposisi filler (20% / 0%), (15% / 5%), (5% / 15%),
(0% / 20%) dan (10% / 10%). Secara umum rata-rata ketangguhan tariknya cenderung
menurun pada semua komposisi filler. Karena dengan menambahkan filler cenderung
akan menghasilkan jumlah void lebih banyak dibandingkan dengan resin murni.
Semakin banyak partikel akan menghalangi proses deformasi plastis sehingga
mengakibatkan ketangguhan tarik dari spesimen menurun. Karena resin sebagai matriks
tidak dapat mengikat filler dengan baik. Akibatnya filler akan terjebak dalam matriks
tanpa memiliki ikatan yang kuat dengan matriksnya ( Idris, 2016)
Pada kondisi semi-jenuh untuk spesimen resin murni ketangguhan tariknya
sebesar 1,75 MPa. Pada kondisi semi-jenuh untuk spesimen dengan komposis filler (fly
ash / CaCO3) ketangguhan tariknya menurun yang terjadi pada filler (15%/ 5%), (10%
/ 10%), (5% / 15%) dan (0% / 20%) masing-masing sebesar 4,85%, 22,33%, 35,89%
dan 30,98% dibanding ketangguhan tarik spesimen resin murni, kemudian ketangguhan
tariknya naik pada komposisi filler (20% / 0%) yaitu sebesar 0,079% dibanding
ketangguhan tarik spesimen resin murni pada kondisi semi-jenuh. Ketangguhan tarik
rata-rata dari yang tertinggi sampai yang terendah pada kondisi semi-jenuh adalah
spesimen dengan komposisi filler (20% / 0%), (15% / 5% ), (10% / 10%), (0% / 20%)
dan (5% / 15%). Secara umum rata-rata ketangguhan tariknya cenderung menurun pada
semua komposisi filler. Penyebab turunnya ketangguhan tarik pada kondisi semi-jenuh
sama dengan penyebab menurunya ketangguhan tarik spesimen pada kondisi kering,
dimana dengan menambahkan filler cenderung akan menghasilkan jumlah void lebih
banyak dibandingkan dengan resin murni.
Pada kondisi jenuh untuk spesimen resin murni ketangguhan tariknya sebesar
1,59 MPa. Pada kondisi jenuh untuk spesimen dengan komposisi filler (fly ash / CaCO3)
ketangguhan tariknya naik yang terjadi pada komposisi filler (20% / 0%), (10% / 10%),
41
(5% / 15%) dan (0% / 20%) masing-masing sebesar 40,24%, 24,64%, 14,28% dan
35,33% dibanding ketangguhan tarik spesimen resin murni, kemudian ketangguhan
tariknya menurun pada komposisi filler (15% / 5%) yaitu sebesar 32,00% dibanding
ketangguhan tarik spesimen resin murni pada kondisi jenuh. Ketangguhan tarik rata-rata
dari yang tertinggi sampai yang terendah pada kondisi jenuh adalah spesimen dengan
komposisi filler (20% / 0%), (0% / 20%), (10% / 10%), (5% / 15%) dan (15% / 5%).
Secara umum rata-rata ketangguhan tariknya cenderung naik pada semua komposisi
filler. Penyebab naiknya ketangguhan tarik pada spesimen kondisi jenuh, dimana
penyerapan air pada spesimen yang menyebabkan kekakuan dari spesimen menurun dan
membuat spesimen menjadi lebih plastis atau lunak (Idris, 2016).
Dari tabel 4.7 dapat dibuat anova dengan satu arah seperti pada tabel 4.8 sebagai berikut:
Tabel 4.8 Hasil analisa varian satu arah pada penyerapan air komposisi filler
Source of Variation SS df MS Fhitung Ftabel
Komposisi 6,208 5 1,241 277,459 3,105
Eror 0,053 12 0,004
Total 6,2622 17
42
Tabel 4.9 Data anova pada laju difusi
Fly ash Fly ash Fly ash Fly ash Fly ash
Resin
20%/CaCO3 15%/CaCO3 10%/CaCO3 5%/CaCO3 0%/CaCO3
murni
0% 5% 10% 15% 20%
0,00330556 0,003064082 0,003195681 0,003030472 0,003014338 0,003083897
0,00343776 0,003004323 0,003128113 0,003288994 0,003021351 0,003134357
0,00407798 0,003040194 0,003077188 0,003123013 0,003072129 0,003108595
Dari tabel 4.9 dapat dibuat anova dengan satu arah seperti pada tabel 4.10 sebagai berikut:
Tabel 4.10 Hasil analisa varian satu arah laju difusi komposisi filler
Source of Variation SS df MS Fhitung Ftabel
7 7
Komposisi 6,962x10 5 1,39x10 4,309 3,105
7 8
Eror 3,877x10 12 3,23x10
Total 1,084x106 17
43
40,45888 27,94608 9,41265
Fly ash 5%/CaCO3 15% 45,68932 22,84419 8,906174
41,88446 28,51214 8,827609
45,95841 35,77907 8,372107
Flyash 0%/CaCO3 20% 42,41428 29,34557 8,176523
43,10484 30,44879 8,192447
39,69365 29,3836 10,9028
Dari tabel 4.11 dapat dibuat anova dua arah dengan pengulangan seperti pada tabel 4.12 sebagai
berikut:
Tabel 4.12 Hasil analisa data kekuatan tarik dengan kombinasi filler fly ash / CaCO3 dalam
kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh menggunakan anova dua arah dengan pengulangan.
Source of Variation SS df MS Fhitung Ftabel
Komposisi 260,58 5 52,11 8,07 2,47
Perlakuan 10251,35 2 5125,67 793,06 3,25
Interaksi 110,29 10 11,02 1,71 2,11
Error 232,67 36 6,46
Total 10854,91 53
44
Tabel 4.13 Data anova pada modulus elastis
Perlakuan
Komposisi
Kondisi kering Kondisi semi jenuh Kondisi jenuh
Resin murni 1636,9 1148,9 157,12
1627,2 1203,3 111,34
1483,8 1160,6 112,45
Fly ash 20%/CaCO3 0% 1937,1 1439,8 160,71
2096,5 1305,4 279,41
1940,1 1514 191,65
Fly ash 15%/CaCO3 5% 1800,5 1168,2 69,388
1858,9 934,21 67,751
1764,8 1046,6 53,531
Fly ash 10%/CaCO3 10% 2148,3 1336,9 201,44
2006,3 1615,6 224,14
2273,3 1335,3 171,06
Fly ash 5%/CaCO3 15% 2177 1375,1 195,61
2014,6 1499,8 102,02
2135,2 1609,2 177,99
Flyash 0%/CaCO3 20% 2203,4 1385,7 140,65
2153,9 1424,9 180,16
1936,1 1440,3 239,19
Dari tabel 4.13 dapat dibuat anova dua arah dengan pengulangan seperti pada tabel 4.14 sebagai
berikut:
Tabel 4.14 Hasil analisa data modulus elastis uji tarik dengan kombinasi filler fly ash /
CaCO3 dalam kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh menggunakan anova dua arah dengan
pengulangan.
Source of Variation SS df MS Fhitung Ftabel
Komposisi 896524,45 5 179304,89 23,12 2,47
Perlakuan 29984806,74 2 14992403,37 1933,95 3,25
Interaksi 340899,40 10 34089,94 4,39 2,11
Error 279079,21 36 7752,20
Total 31501309,81 53
Berdasarkan perhitungan modulus elastis uji tarik menggunakan anova dua arah
dengan pengulangan untuk α = 0,05 pada tabel 4.14, dapat disimpulkan bahwa:
1. Untuk variasi komposisi filler hasilnya diperoleh 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka H0
ditolak, sehingga komposisi filler berpengaruh signifikan terhadap modulus
elastis suatu spesimen.
2. Untuk variasi perlakuan material kering, semi-jenuh dan jenuh, hasilnya
diperoleh 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka H0 ditolak, sehingga perlakuan spesimen
45
kering, semi-jenuh dan jenuh berpengaruh signifikan terhadap modulus elastis
suatu spesimen.
3. Untuk interaksi antara komposisi dengan perlakuan, diperoleh 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙
maka H0 ditolak, sehingga disimpulkan adanya interaksi antara komposisi
dengan perlakuan spesimen terhadap modulus elastis.
Dari tabel 4.15 dapat dibuat anova dua arah dengan pengulangan seperti pada tabel 4.16 sebagai
berikut:
Tabel 4.16 Hasil analisa data regangan tarik saat patah dengan kombinasi filler fly ash /
CaCO3 dalam kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh menggunakan anova dua arah dengan
pengulangan.
Source of Variation SS df MS Fhitung Ftabel
Komposisi 0,00281 5 0,00056 0,87850 2,47717
46
Error 0,02306 36 0,00064
Total 0,86866 53
Berdasarkan perhitungan regangan tarik saat patah menggunakan anova dua arah
dengan pengulangan untuk α = 0,05 pada tabel 4.16, dapat disimpulkan bahwa:
1. Untuk variasi komposisi filler hasilnya diperoleh 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka H0
diterima, sehingga komposisi filler tidak berpengaruh signifikan terhadap
regangan tarik suatu spesimen.
2. Untuk variasi perlakuan material kering, semi-jenuh dan jenuh, hasilnya
diperoleh 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka H0 ditolak, sehingga perlakuan spesimen
kering, semi-jenuh dan jenuh berpengaruh signifikan terhadap regangan tarik
suatu spesimen.
3. Untuk interaksi antara komposisi dengan perlakuan, hasilnya diperoleh 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔
< 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka H0 diterima, sehingga disimpulkan tidak adanya interaksi antara
komposisi dengan perlakuan spesimen terhadap regangan tarik.
47
Flyash 0%/CaCO3 20% 0,876234 1,386303 1,677333
0,757096 0,873055 1,69698
0,658144 1,379108 3,097253
Dari tabel 4.17 dapat dibuat anova dua arah dengan pengulangan seperti pada tabel 4.18 sebagai
berikut:
Tabel 4.18 Hasil analisa data ketangguhan tarik saat patah dengan kombinasi filler fly ash
/ CaCO3 dalam kondisi kering, semi-jenuh dan jenuh menggunakan anova dua arah dengan
pengulangan.
Source of Variation SS df MS Fhitung Ftabel
Komposisi 1,428 5 0,286 1,822 2,477
Total 16,666 53
48
4.3.0 Mode Patahan Uji Tarik
Setelah dilakukan pengujian tarik pada spesimen kering dan basah diperoleh
mode patahan mikro yang tertera pada foto patahan yang ditampilkan pada Gambar 4.6.
Sumber retak
Sumber retak
Sumber retak
Sumber retak
Sumber retak
Sumber retak
50
Sumber retak
Sumber reak
Sumber retak
Sumber retak
Sumber retak
Sumber retak
Gambar 4.6 Menunjukkan foto patahan spesimen uji Tarik dalam kondisi kering, semi-jenuh
dan jenuh (perbesaran 50x).
51
Gambar 4.6 menunjukkan foto patahan spesimen-spesimen uji tarik kondisi
kering, semi-jenuh dan jenuh di sekitar daerah sumber retak untuk spesimen komposisi
filler (fly ash / CaCO3) adalah (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%), (0% /
20%). Dapat dilihat bahwa ada perbedaan bentuk patahan antara spesimen kering, semi-
jenuh dan jenuh. Perbedaan yang mencolok juga bisa dilihat dari segi warna spesimen,
dimana spesimen semi-jenuh dan jenuh terlihat lebih gelap jika dibandingkan dengan
spesimen kering. Bentuk patahan spesimen rata-rata masih getas, namun terdapat sedikit
perbedaan antara spesimen hasil pengujian kering dengan spesimen semi-jenuh dan
jenuh. Dimana patahan spesimen kering pada permukaan patahan masih kasar hampir
pada seluruh permukaan, begitupun dengan spesimen semi-jenuh hampir mirip dengan
spesimen kering, sementara pada spesimen jenuh tampak patahan yang halus pada
beberapa bagian permukaannya. Jika diperhatikan lebih detail lagi, bentuk patahan
spesimen kering lebih beraturan dari spesimen semi-jenuh dan jenuh. Sedangkan pada
spesimen semi-jenuh dan jenuh bentuk patahan spesimen ini terlihat acak atau tidak
beraturan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa air telah terserap ke dalam spesimen.
Air yang terserap menyebabkan penurunan nilai kekakuan spesimen, plastisitas pada
spesimen meningkat dan penurunan nilai kekuatan tarik pada spesimen yang direndam.
Patahan spesimen dimulai karena adanya void, kemudian disekitar void terlihat
lebih halus atau disebut dengan (mirror zone). Kemudian menjalar seperti kabut atau
disebut dengan kabut area, selanjutnya akan membentuk daerah yang lebih kasar atau
disebut juga patahan akhir, kemudian merambat sampai spesimen patah. Kesimpulan
dari semua gambar diatas bahwa sember retak memang sudah ada dari awal sebelum
spesimen diuji. Sumber retak yang timbul akibat kurang teliti saat pembuatan spesimen
atau dari alat yang tidak bersih. Sehingga dari sumber retak yang sudah ada
mengakibatkan titik lemah dari spesimen pada saat dilakukan pengujian tarik. Sehingga
spesimen yang diuji patah pada daerah sumber retak atau titik lemahnya.
Dari semua spesimen uji tarik rata-rata tempat terjadinya patah yaitu berada di
daerah patahnya. Hal ini menunjukkan bahwa tegangan maksimum uji tarik berada di
tengah-tengah spesimen atau daerah patahnya. Terjadinya patah juga disebabkan oleh
adanya void yang menyebabkan spesimen patah sebelum beban maksimum (Saputra,
2018).
52
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan tersebut dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut:
a. Kadar air kesetimbangan epoxy berfiller (fly ash / CaCO3) yang komposisinya
adalah (20% / 0%), (15% / 5%), (10% / 10%), (5% / 15%), (0% / 20%), secara
umum menunjukan penurunan dengan rata-rata prosentase untuk semua
komposisi sebesar 19,91% dibandingkan resin murni.
b. Pada kondisi kering kekuatan tarik spesimen berfiller hybrid fly ash dan CaCO3
rata-rata dari semua komposisi mengalami penurunan dibandingkan spesimen
resin murni sebesar 5,67%. Pada kondisi semi-jenuh kekuatan tarik spesimen
resin murni turun dibanding resin murni kondisi kering sebesar 28,53%, untuk
spesimen berfiller hybrid semi-jenuh rata-rata dari semua komposisi turun
12,40% dibandingkan spesimen resin murni. Pada kondisi jenuh kekuatan tarik
spesimen resin murni turun dibandingkan spesimen resin murni kondisi kering
sebesar 83,40%, untuk spesimen berfiller hybrid jenuh rata-rata dari semua
komposisi naik 20,13% dibandingkan spesimen resin murni.
c. Dengan menggunakan Analisis of varian dua arah dengan interaksi, diperoleh
nilai pengaruh variasi komposisi filler, variasi perlakuan, dan interaksi antara
komposisi dengan perlakuan berturut-turut pada kekuatan tarik dengan nilai
Fhitung > Ftabel ( 8,07 > 2,47), Fhitung > Ftabel ( 793,06 > 3,25), dan Fhitung < Ftabel
(1,71 < 2,11). Untuk modulus elastis uji tarik diperoleh nilai Fhitung > Ftabel (
23,12 > 2,47), Fhitung > Ftabel ( 1933,95 > 3,25), dan Fhitung > Ftabel (4,39 > 2,11).
Untuk regangan tarik saat patah diperoleh nilai Fhitung < Ftabel ( 0,87850 <
2,47717), Fhitung > Ftabel ( 652,82561 > 3,25945), dan Fhitung < Ftabel (1,01711 <
2,10605). Untuk ketangguhan tarik diperoleh nilai Fhitung < Ftabel ( 1,822 <
2,477), Fhitung > Ftabel ( 18,741 > 3,259 dan Fhitung > Ftabel (2,371 > 2,106).
5.2 Saran
Mengingat skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga pada penelitian
selanjutnya diharapkan :
53
a. Pada waktu pembuatan spesimen kehendaknya penelitian lebih teliti dan cermat,
guna bisa meminimalisasi cacat-cacat pada spesimen yang akan berpengaruh
terhadap hasil pengujian.
b. Untuk penelitian selanjutnya dapat memvariasikan jenis filler, fraksi volume dan
jenis perekat yang digunakan.
54