Anda di halaman 1dari 15

A.

Anatomi dan Fisiologi

Nasofaring adalah ruang trapezoid di belakang koana yang berhubungan dengan


orofaring dan terletak di superior palatum molle. Ukuran nasofaring pada orang
dewasa yaitu 4 cm tinggi, 4 cm lebar dan 3 cm pada dimensi anteroposterior. Dinding
posteriornya sekitar 8 cm dari aparatus piriformis sepanjang dasar hidung. Bagian
atap dibentuk oleh permukaan yang melandai dibatasi oleh basis sfenoid, basis
oksiput dan bagian posterior dibatasi vertebra cervicalI dan II. Dinding anterior
nasofaring adalah daerah sempit jaringan lunak yang merupakan batas koana
posterior. Batas inferior nasofaring adalah palatum molle. Batas dinding lateral
merupakan fasia faringobasilar dan m. konstriktor faring superior.
Tuba Eustachius membelah dinding lateral ini, masuk dari telinga tengah ke
nasofaring melalui celah di fasia faringobasilar di daerah posterosuperior, tepat di atas
batas superior muskulus konstriktor faring superior, disebut fossa russenmuller
(resessus faringeal). Fossa russenmuller merupakan tepi dinding posterosuperior
nasofaring, yang merupakan tempat asal munculnya sebagian besar KNF dan yang
paling sensitif terhadap penyebaran keganasan pada nasofaring.
Fossa russenmuller mempunyai hubungan anatomi dengan sekitarnya, sehingga
berperan dalam kejadian dan prognosis KNF. Tepat di atas apeks dari fossa
russenmuller terdapat foramen laserum, yang berisi arteri karotis interna dengan
sebuah lempeng tipis fibrokartilago. Lempeng ini mencegah penyebaran KNF ke
sinus kavernosus melalui karotis yang berjalan naik. Tepat di anterior fossa
russenmuller, terdapat nervus mandibula (V3) yang berjalan di dasar tengkorak
melalui foramen ovale. Kira-kira 1.5 cm posterior dari fossa russenmuller terdapat
foramen jugulare, yang dilewati oleh saraf kranial IX-XI, dengan kanalis hipoglosus
yang terletak paling medial.
Fossa russenmuller yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan
tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi ruang ini menjadi 3 kompartemen,
yaitu :
1. Kompartemen prestiloid, berisi a. maksilaris, n. lingualis dan n. alveolaris inferior
2. Kompartemen poststiloid, yang berisi sarung karotis
3. Kompartemen retrofaring, yang berisi kelenjar Rouviere.
Kompartemen retrofaring ini berhubungan dengan kompartemen retrofaring
kontralateral, sehingga pada keganasan nasofaring mudah terjadi penyebaran menuju
kelenjar limfa leher kontralateral. Lokasi fossa russenmuller yang demikian itu dan
dengan sifat KNF yang invasif, menyebabkan mudahnya terjadi penyebaran KNF ke
daerah sekitarnya yang melibatkan banyak struktur penting sehingga timbul berbagai
macam gambaran klinis.
Dinding daerah nasofaring mengandung komponen lapisan otot, jaringan fibrosa
dan mukosa. Ujung medial dari tuba Eustachius membentuk sebuah penonjolan (torus
tubarius) yang terletak di bagian atas dinding lateral.
Lapisan mukosa ialah daerah nasofaring yang dilapisi oleh mukosa dengan epitel
kubus berlapis semu bersilia pada daerah dekat koana dan daerah di sekitar atap,
sedangkan pada daerah posterior dan inferior nasofaring terdiri dari epitel skuamosa
berlapis. Daerah dengan epitel transisional terdapat pada daerah pertemuan antara
atap nasofaring dan dinding lateral. Lamina propria seringkali diinfiltrasi oleh
jaringan limfoid, sedangkan lapisan submukosa mengandung kelenjar serosa dan
mukosa.
Pembuluh darah arteri utama yang memperdarahi daerah nasofaring
adalah arteri faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens,
dan cabang faringeal arteri sfenopalatina. Semua pembuluh darah tersebut berasal
dari arteri karotis eksterna dan cabang- cabangnya. Pembuluh darah vena berada di
bawah membran mukosa yang berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah
superior dan fasia posterior atau vena jugularis interna di bawahnya.
Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas otot
konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris saraf
glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion
servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf
glossofaringeus, hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisuim tuba yang
mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina
yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus.
Batas nasofaring:
 Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
 Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat
subjektif karena tergantung dari palatum durum.
 Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.
 Posterior : - vertebra cervicalis I dan II
- Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar
- Mukosa lanjutan dari mukosa atas
 Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang
- Muara tuba eustachii
- Fossa rosenmulleri

Gambar 1 Anatomi nasofaring


Gambar 2 Fossa of Rosenmuller

Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena
dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle.
Nasofaring akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu
menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu.
Struktur penting yang ada di Nasopharing
1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva
2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang
disebabkan karena cartilago tuba auditiva
3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang
disebabkan karena musculus levator veli palatini.
4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius
5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan
penonjolan dari musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka
ostium faringeum tuba auditiva terutama ketika menguap atau menelan.
6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat
predileksi Karsinoma Nasofaring.
7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid jika
ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis.
8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.
9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan
oropharing karena musculus sphincterpalatopharing
10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei

Gambar 3 Nasofaring

Nasofaring mempunyai pleksus submukosa limfatik yang luas. Kelompok


pertama adalah kelompok nodul pada daerah retrofaringeal yang terdapat pada ruang
retrofaring antara dinding posterior nasofaring, fasia faringobasilar dan fasia
prevertebra.
Dileher kita banyak mengandung jaringan limfatik, yang dapat berefek terhadap
metastasis dari suatu kanker. Kelenjar limfe leher terdiri dari kelenjar limfe oksipital,
aurikularis posterior, servikalis posterior, servikalis superfisial dan profunda,
tonsilaris, submaksilaris, submental, aurikularis anterior dan supraclavikularis.
Gambar 4. Kelenjar Limfatik Leher

Fungsi nasofaring :
 Sebagai jalan udara pada respirasi
 Jalan udara ke tuba eustachii
 Resonator
 Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung
B. Karsinoma Nasofaring
a. Definisi
Karsinoma atau yang biasa dikenal dengan kanker merupakan suatu
penyakit keganasan yang timbul akibat pertumbuhan sel tubuh yang tidak normal.
Karsinoma nasofaring adalah kanker yang berada di daerah nasofaring,
yang terletak di atas tenggorokan dan dibelakang hidung. Karsinoma jenis ini
kebanyakan adalah tipe sel skuamosa. Sebagian besar sel karsinoma ini berasal
dari fossa rossen muller.
b. Stadium Karsinoma Nasofaring
Stadium karsinoma nasofaring diklasifikasikan oleh American Joint
Commite on Cancer.

Tumor Primer (T)


TX Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak terdapat tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas pada nasofaring, atau tumor meluas ke orofaring dan atau
rongga hidung tanpa perluasan ke parafaringeal
T2 Tumor dengan perluasan ke parafaringeal
T3 Tumor melibatkan struktur tulang dari basis kranii dan atau sinus
paranasal
T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau keterlibatan saraf kranial,
hipofaring, orbita, atau dengan perluasan ke fossa infratemporal /
masticator space

KGB regional (N)


NX KGB regional tidak dapat dinilai
N0 Tidak terdapat metastasis ke KGB regional
N1 Metastasis unilateral di KGB, 6 cm atau kurang di atas fossa
supraklavikula
N2 Metastasis bilateral di KGB, 6 cm atau kurang dalam dimensi terbesar di
atas fosa supraklavikulaN3Metastasis di KGB, ukuran > 6 cm
N3a Ukuran >6 cm
N3b Perluasan ke fosa supraklavikula

Metastasis Jauh (M)


MX Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak terdapat metastasis jauh
M1 Terdapat metastasisjauh

Pengelompokkan Stadium
Stadium T N M
Stadium 0 Tis N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T1 N1 M0
T2 N0-N1 M0
Stadium III T1-T2 N2 M0
T3 N0-N2 M0
Stadium IV A T4 N0-N2 M0
Stadium IV B T1-T4 N3 M0
Stadium IV C T1-T4 N0-N3 M1

Secara histologis, WHO membagi klasifikasi karsinoma nasofaring atas 3 tipe:

1. Tipe 1, keratinizing squamous cell carcinoma, diferensiasi sel skuamosa


baik dengan adanya jembatan interseluler dan/atau keratinisasi diatasnya,
merupakan 25% dari seluruh karsinoma nasofaring.
2. Tipe 2, differentiated non keratinizing carcinoma, Tipe ini dibagi menjadi
dua subtipe yaitu terdapat diferensiasi (diffierentiated) dan tidak terdapat
diferensiasi (undifferentiated). Tipe diferensiasi sel tumor dengan
rangkaian maturasi yang terjadi di dalam sel, tidak/sedikit berkeratin,
merupakan 20% dari seluruh karsinoma nasofaring. Tipe undifferentiated
carcinoma, sel-sel tumor memiliki inti vesikuler yang oval atau bulat dan
nukleolus yang menonjol, batas sel tidak terlihat, dan tumor menunjukkan
gambaran sinsitial. Tipe ini merupakan 55% dari seluruh karsinoma
nasofaring.
3. Tipe 3, carsinoma sel skuamosa basaloid (Basaloid Squamous Cell
Carcinoma). Tipe ini memiliki dua komponen yaitu sel-sel basaloid dan
sel-sel skuamosa. Sel-sel basaloid berukuran kecil dengan inti
hiperkromatin dan tidak dijumpai anak inti dan sitoplasma sedikit.
Tumbuh dalam pola soliddengan konfigurasi lobular.

Tumor tipe 2 dan tipe 3 biasanya lebih radiosensitif dan memiliki hubungan
yang kuat dengan virus Epstein-Barr.
c. Etiologi
Etiologi dari karsinoma nasofaring masih belum diketahui secara pasti.
Namun ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
karsinoma nasofaring yaitu:
1. Virus Epstein Barr
Pada daerah endemik, EBV berkaitan dengan karsinoma yang tipe 2
dan 3 namun hubungan virus EBV dengan tipe 1 masih belum diketahui
hubungannya. Virus ini merupakan virus famili herpesvirus, EBV telah
menginfeksi 90% manusia namun masih dalam fase inaktif. EBV
merupakan penyebab beberapa penyakit keganasan seperti limfoma
Burkitt, limfoma sel T, Hodgkin disease, karsinoma nasofaring (KNF),
karsinoma mammae dan karsinoma gaster.
Penularan EBV dapat terjadi melalui melalui air liur dimana infeksi
primer terjadi melalui epitel orofaring kemudian diikuti dengan terjadinya
replikasi virus. Dinegara berkembang hampir 99,9% anak-anak telah
terinfeksi oleh EBV namun infeksi masih dalam tahap infeksi primer dimana
belum nampak ditemukannya gejala klinis. Namun EBV yang telah
memasuki tubuh manusia akan terus bertahan di tubuh orang tersebut
seumur hidup (persisten). Virus epstein barr sebelum menimbulkan
gejala akan mengalami aktivasi oleh beberapa hal seperti nitrosamine,
benzopyrene, bensoanthracene dan beberapa hydrocarbon.
Terdapat hubungan antara IgA dan IgG dengan antigen kapsid EBV
(VCA) karena pada pemeriksaan terdapat peningkatan terutama pada
karsinoma tipe undifferentiated atau tipe 3. Karsinoma nasofaring tipe 1
tidak ditemukan hubungannya dengan EBV hal ini disebabkan karena tidak
di temukaannya DNA virus tersebut dan juga tidak ditemukan peningkatan
titer antibodi ataupun terjadi peningkatan dalam jumlah yang sangat rendah.
Karsinoma nasofaring tipe 1 banyak disebabkan karena mutasi genetik
secara spontan atau karena sel karsinogenik.
Berdasarkan penelitian, infeksi EBV yang menetap pada epitel akan
menyebabkan epitel tersebut rentan terhadap paparan karsinogen. Kadar
konsentrasi EBV dalam plasma sebelum dan setelah pengobatan dapat
menjadi prediksi metastasis dan sebagai metode dalam menentukan kombinasi
terapi.
2. Faktor Genetik
Genetik merupakan salah satu faktor risiko dari karsinoma nasofaring.
Bila seseorang memiliki riwayat anggota keluarga yang mengalami karsinoma
nasofaring maka risiko untuk mengalami keganasan ini akan meningkat.
Faktor yang berperan terhadap hal ini yaitu HLA (human leukocyt antigen).
dibeberapa negara HLA penyebab karsinoma nasofaring berbeda-beda,
contohnya di Tunisia yaitu HLA-B13, Algeria HLA-A3,B5 dan B-15, Maroko
HLA-B18. Benua Asia sendiri terutama negara Cina jenis HLA tersering yang
menjadi penyebab karsinoma nasofaring ini yaitu HLA-A2 dan B46.
Berdasarkan literature ditemukan bahwa 10% dari penderita karsinoma
nasofaring memiliki riwayat keluarga yang mengalami penyakit yang sama
ataupun mengalami keganasan lainnyadan untuk 5% lainnya penderita ini
sama-sama menderita karsinoma nasofaring dengan keluarga lainnya.
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang berperan pada karsinoma nasofaring ada banyak
hal seperti riwayat merokok, faktor makanan dan zat karsinogenik. Merokok
berisiko terhadap kejadian karsinoma nasofaring yaitu sekitar 30-100% lebih
tinggi dibandingkan orang yang bukan perokok. Asap rokok mengandung
4000 senyawa kimia dan sekitar 50 merupakan zat karsinogenik. Zat
karsinogenik yang teridentifikasi yaitu polycyclic aromatic hydrocarbon
(PAHs), nitrosamines, aromatic amine, aza-arenes, aldehydes, various organic
compounds, inorganic compounds. Rokok mengandung tar yang merupakan
bahan karsinogenik dan nikotin bukan zat karsinogen melainkan zat adiktif
yang menimbulkan rasa ketergantungan kepada pemakainya. Enzyme
Cythochrome P450 2EI merupakan enzim aktivasi sehingga berefek pada
perkembangan kanker nasofaring.
Merokok dapat menyebabkan peningkatan serum anti-EBV. Peningkatan
serum anti-EBV biasanya dimiliki oleh perokok aktif dengan riwayat merokok
lebih dari 20 tahun. Berdasarkan penelitian di Amerika 2/3 dari karsinoma
nasofaring tipe 1 disebabkan karena asap rokok. Penelitian yang dilakukan di
RSUP Sanglah Denpasar pada 68 penderita KNF ditemukan bahwa 36 orang
penderita karsinoma nasofaring tidak memiliki kebiasaan merokok sedangkan
20 orang memiliki kebiasaan merokok sebanyak >30 bungkus/ tahun atau >20
batang/hari atau biasa disebut dengan perokok berat dan sisanya yaitu
sebanyak 12 responden memiliki kebiasaaan merokok< 30 bungkus/ tahun
atau <20 batang/hari.
Makanan berpengaruh pada kejadian karsinoma nasofaring orang
mengonsumsi ikan asin sejak kecil akan berisiko tinggi untuk mengalami
karsinoma nasofaring. Proses pembuatan ikan asin menggunakan bantuan
sinar matahari akan menyebabkan gugus nitrit dan nitrat yang terbentuk
bereaksi sehingga membentuk nitrosamine. Nitrosamine ada 2 jenis yaitu
eksogen dan endogen. Nitrosamine endogen berasal dari sintesis dalam
lambung sedangkan nitrosamine eksogen berasal dari makanan atau bahan
lain yang mengandung nitrosamine.
Asap kayu bakar dan debu berisiko terhadap kejadian karsinoma
nasofaring. Orang yang memasak menggunakan kayu bakar selama lebih dari
10 tahun maka akan meningkatkan risiko terjadinya karsinoma nasofaring
sebanyak enam kali lipat. Debu merupakan partikel yang berukuran sedang
sehingga mudah diserap oleh nasofaring yang dapat mengakibatkan iritasi dan
inflamasi pada epitel nofaring. Alkohol juga berefek pada peningkatan risiko
karsinoma nasofaring. Alkohol memiliki beberapa komponen yang dapat
menyebabkan perkembangan kanker seperti etanol dan komponen lain yaitu
asetaldehid yang dapat bersifat toksik, karsinogenik dan mutagenik.
Mengkonsumsi alkohol dalam kadar yang tinggi dapat menyebabkan induksi
enzim sitokrom p450 sehingga membuat kerusakan pada sel. Mengkonsumsi
alkohol dapat menyebabkan defisiensi vitamin dan mineral sehingga
menyebabkan regulasi dan differensiasi sel. Seseorang yang mengkonsumsi
alkohol dalam kadar yang tinggi berisiko terhadap karsinoma nasofaring
dengan tipe karsinoma sel skuamosa undifferentiated dan tipe karsinoma sel
skuamosa tidak berkeratin.
d. Patofisiologi
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid
icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat
berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T,
mononukleosis dan karsinoma nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor ganas
yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan
Rosen muelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang
diduga berhubungan dengan KNF, yaitu: adanya infeksi EBV, faktor lingkungan,
genetik
1. Virus Epstein-Barr
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten
dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama
yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada
limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen
komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul
EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini
merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam
DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal.
Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel
nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua
reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel
nasofaring yaitu CR2 dan PIGR ( Polimeric Immunogloblin Receptor ). Sel
yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa
kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr
dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi sel
dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal
atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga
mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel
menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu
EBERs EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan
dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran
LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya
dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang
paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein
LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada
ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam
amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi
perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor ) dan meningkatkan
regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon
imun lokal.
2. Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi
kerentana terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu
relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi
menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim
sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi
metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen
3. Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di
berbagai daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan
asin dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar
nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan
nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik
karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena
paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu
kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan
kembali infeksi dari EBV.
Penyebaran karsinoma nasofaring dapat berupa :
1. Penyebaran ke atas
Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fosa medialis, disebut
penjalaran Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum, kemudian ke
sinus kavernosus, fosa kranii mediadan fosa kranii anterior mengenai saraf-
saraf kranialis anterior (N.I dan N. VI). Kumpulan gejala yang terjadi akibat
rusaknya saraf kranialis anterior akibat metastasis tumor ini disebut Sindrom
Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah diplopia dan neuralgia
trigeminal (pareseN. II-N.VI).
2. Penyebaran ke belakang
Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia
faringobasilaris yaitu sepanjang fosa posterior (termasuk di dalamnya foramen
spinosum, foramen ovaledan sebagainya), di mana di dalamnya terdapat N. IX
dan XII; disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah grup
posterior dari saraf otak yaitu N. VII danN. XII beserta nervus simpatikus
servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan pada N. IX dan N. XII disebut
Sindrom Retroparotidean/Sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII
jarang mengalami gangguan akibat tumor karena letaknya yang tinggi dalam
sistem anatomi tubuh.
3. Penyebaran ke kelenjar getah bening
merupakan salah satu penyebab utama sulitnya menghentikan proses
metastasis suatu karsinoma. Pada karsinoma nasofaring, penyebaran ke
kelenjar getah bening sangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelenjar
getah bening pada lapisan submukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke
kelenjar getah bening diawali pada nodus limfatik yang terletak di lateral
retrofarin gyaitu Nodus Rouvierre. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh
dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai
benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri
karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat
berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya.
Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan
gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala
utama yang mendorong pasien datang ke dokter.
4. Metastasis jauh
sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai
organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang, hati
dari paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan prognosis sangat buruk.

Daftar Pustaka
Komite Penanggulangan Kanker Nasional. 2015. Pedoman nasional pelayanan
kedokteran kanker nasofaring. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Situasi penyakit kanker. Jakarta :
Pusat Data dan Informasi. Hlm.1–8
American Joint Commite on Cancer (AJCC). 2012. AJCC cancer staging atlas: a
companion to the 7th editions of AJCC cancer staging manual and handbook.Edisi ke-2. New
York: Springer.
Averdi Roezin, Aninda Syafril. 2001. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A. Soepardi
(Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Edisi kelima. Jakarta: FKUI.
Hal.146-50.
Ballenger J. Jacob.. 1994. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. ed.13.
Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara. Hal. 371-396
Putri EB. 2011. Karakteristik penderita karsinoma nasofaring di departemen ilmu
kesehatan THT-KLFKUP/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode Tahun 2006 -2010
[skripsi]. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Rahman S, Budiman BJ, Subroto H. 2015. Faktor risiko non viral pada karsinoma
nasofaring. Jurnal Kesehatan Andalas. 4(3):988–95

Anda mungkin juga menyukai