BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Epidemiologi
Di dunia, PUA diderita 14-25% wanita usia reproduktif. Di Indonesia, sampai saat
ini belum ada data pasti secara keseluruhan. Meskipun demikian, sebuah studi di RSUD
Dr.Soetomo Surabaya menunjukkan bahwa kasus perdarahan uterus abnormal mencapai
angka 12.48% dari seluruh kunjungan poli kandungan pada tahun 2007 dan sebanyak
8.8% pada tahun berikutnya. Penelitian lain yang dilakukan di RUMKITAL dr. Ramelan
Surabaya pada tahun 2016 menunjukkan proporsi wanita penderita PUA yang terbanyak
adalah pada kelompok usia 41-50 tahun (48,8%). Peningkatan usia dapat mempengaruhi
keadaan uterus, sehingga dapat menjadi salah satu risiko terjadinya kelainan struktural
pada uterus, seperti polip dan leiomioma yang kemudian bermanifestasi sebagai PUA.
3. Etiologi dan patogenesis
Terdapat berbagai macam penyebab perdarahan uterus abnormal. Beberapa di
antaranya diakibatkan masalah pada saluran reproduksi (polip, kanker), kondisi medis
lainnya (obesitas, penyakit tiroid, gangguan pembekuan darah, penyakit liver), serta obat-
obatan (pengencer darah, beberapa obat psikiatri, pil KB). Selain itu alat KB lain seperti
implan dan spiral juga dapat menyebabkan perdarahan uterus abnormal.
Pada tahun 2011, FIGO (Fédération Internationale de Gynecologie et
d'Obstétrique) menyetujui rumusan klasifikasi penyebab perdarahan uterus abnormal
pada perempuan usia reproduktif yang tidak hamil. Klasifikasi ini dirumuskan sebagai
hasil dari proses konsensus internasional yang bertujuan untuk menghindari definisi-
klasifikasi yang tidak tepat serta membingungkan untuk kasus perdarahan uterus
abnormal (seperti menoragia, menometroragia, polimenorea, oligomenorea,
hipomenorea, hipermenorea). Klasifikasi ini dinamakan “PALM-COEIN” yang
merupakan sebuah akronim dari berbagai kondisi yang bisa menyebabkan perdarahan
uterus abnormal, yaitu:
Polyp (AUB-P)
Adenomyosis (AUB-A)
Leiomyoma (AUB-L)
Malignancy and hyperplasia (AUB-M)
Coagulopathy (AUB-C)
Ovulatory Disfunction (AUB-O)
Endometrial (AUB-E)
Iatrogenic (AUB-I)
Not yet classified (AUB-N)
4. Penegakan diagnosis
a. Anamnesa
Anamnesis yang dapat dilakukan meliputi riwayat menstruasi, riwayat kehamilan,
riwayat kontrasepsi (KB hormonal, IUD), riwayat pemakaian obat-obatan yang dapat
menginduksi perdarahan uterus abnormal (seperti antikoagulan dan obat yang
menginduksi hiperprolaktinemia), dan riwayat penyakit lain yang dapat berhubungan
dengan perdarahan uterus abnormal (koagulopati, gagal ginjal kronis, penyakit liver,
hipertiroidisme, dll).
Untuk riwayat menstruasi perlu ditekankan perihal lama siklus menstruasi
(normal 21-35 hari), durasi menstruasi (normal 4.5-8 hari), dan volume darah
menstruasi selama satu siklus (normal ≤80 ml). Terdapat beberapa pola perdarahan
menstruasi yang berkaitan dengan perdarahan uterus abnormal. Dulunya pola-pola ini
dikenal dengan sebutan menoragia (hipermenorea), hipomenorea, polimenorea,
oligomenorea.
Manifestasi klinis yang terjadi pada perdarahan uterus abnormal adalah sebagai
berikut:
Menoragia dan metroragia
Adanya perubahan pola dalam siklus menstruasi berupa interval yang
normal teratur tetapi jumlah darah dan durasinya lebih dari normal merupakan
menoragia. Interval yang tidak teratur dengan jumlah perdarahan dan durasi yang
lebih dari normal merupakan metroragia. Banyak gangguan yang bersifat
patologis yang menyebabkan menoragia, metroragia ataupun keduanya
(menometroragia).
Perdarahan pascakoitus
Perdarahan pascakoitus merupakan perdarahan yang paling umum
dijumpai pada wanita berusia 20 - 40 tahun serta pada mereka yang multipara.
Lesi yang dijumpai pada perdarahan pascakoitus biasanya jinak. Berdasarkan
observasi yang dilakukan pada 248 wanita dengan perdarahan pascakoitus
didapatkan bahwa seperempat dari kasus tersebut disebabkan oleh eversi serviks.
Penyebab lain yang dapat mendasari diantaranya polip endoserviks, servisitis,
dan polip endometrium. Pada servisitis, penyebab yang paling sering adalah
infeksi Chlamydia trachomatis. Menurut penelitian Bax et al., risiko relatif
infeksi klamidia pada wanita dengan pendarahan pascakoitus adalah 2,6 kali
lebih tinggi daripada kelompok kontrol tanpa perdarahan.
Pada beberapa wanita, perdarahan pascakoitus dapat berasal dari neoplasia
serviks atau saluran kelamin. Pada neoplasia intraepitel serviks dan kanker yang
invasif, epitel menjadi tipis dan rapuh sehingga mudah lepas dari serviks. Pada
wanita dengan perdarahan pascakoitus, neoplasia intraepitel seviks ditemukan
sebanyak 7 – 10%, kanker yang invasif sebanyak 5%, dan kanker endometrium
sebanyak kurang dari 1%.
Dalam studi lain, Jha dan Sabharwal melaporkan bahwa sejumlah
perempuan dengan perdarahan pascakoitus memiliki lesi patologis yang
diidentifikasi dengan kolposkopi. Sebagian besar wanita dengan perdarahan yang
tidak dapat dijelaskan pascakoitus harus menjalani pemeriksaan kolposkopi jika
sumber perdarahan belum dapat diidentifikasi.
Nyeri pelvis
Adanya kram yang menyertai perdarahan diakibatkan dari peran
prostaglandin. Dismenore yang terjadi bersamaan dengan perdarahan uterus
abnormal dapat disebabkan oleh polip, leiomioma, adenomiosis, infeksi, dan
komplikasi kehamilan.
Nyeri yang dirasakan saat berhubungan seksual dan nyeri nonsiklik jarang
dirasakan pada wanita dengan perdarahan uterus abnormal. Jika nyeri ini
dirasakan, maka penyebabnya adalah kelainan dari struktural atau infeksi.
Lippman et al., melaporkan peningkatan tingkat dispareunia dan nyeri panggul
nonsiklik pada wanita dengan leiomioma uterus. Sammour et al., menyatakan
adanya korelasi nyeri panggul yang meningkat seiring dengan adanya invasi
miometrium dengan adenomiosis.
b. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis maka pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari
tanda dari penyebab perdarahan uterus abnormal.
Pemeriksaan fisik untuk menilai stabilitas keadaan hemodinamik
Memastikan bahwa perdarahan berasal dari kanalis servikalis dan tidak
berhubungan dengan kehamilan
Pemeriksaan Indeks Massa Tubuh (IMT), tanda hiperandrogen, pembesaran
kelenjar tiroid atau manifestasi hipotiroid / hipertiroid, galaktorea
(hiperprolaktinemia) gangguan lapang pandang (adenoma hipofisis), purpura dan
ekimosis wajib diperiksa.
Pemeriksaan ginekologi perlu dilakukan termasuk pemeriksaan pap smear dan
harus disingkirkan kemungkinan adanya mioma uteri, polip, hiperplasia
endometrium atau keganasan.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mencari penyebab dari perdarahan
uterus abnormal. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah darah lengkap
serta faktor pembekuan darah untuk menilai adanya gangguan koagulasi, kadar TSH
untuk menilai adanya gangguan tiroid, kadar β-hCG untuk pemeriksaan kehamilan,
kadar estrogen, FSH, prolaktin juga perlu diperiksa untuk menentukan apakah
perdarahan uterus abnormal berasal dari gangguan hormonal.
Pencitraan pada umumnya menggunakan ultrasonography (USG) transvaginal
untuk melihat adanya kelainan struktural pada organ genitalia atau untuk mencari
adanya tumor atau anomali lainnya yang dapat menyebabkan perdarahan uterus
abnormal yang dialami oleh pasien.
Biopsi jaringan endometrium dilakukan apabila pasien berusia diatas 35 tahun
atau berusia dibawah 35 tahun tetapi dengan faktor risiko karsinoma endometrium
yaitu:
Siklus anovulasi kronis
Obesitas
Nulipara
Diabetes mellitus
Penggunaan tamoxifen
5. Penatalaksanaan
Tujuan dari terapi pada perdarahan uterus abnormal adalah menyembuhkan
penyebab kelainan yang menyebabkan perdarahan tersebut. Berdasarkan algoritma yang
ada pertama harus dibedakan terlebih dahulu perdarahan termasuk anovulasi atau ovulasi.
Pada tipe anovulasi, setelah mengevaluasi derajat risiko terjadinya karsinoma
endometrium dan menentukan perlu tidaknya dilakukan biopsi endometrium maka terapi
dapat dimulai. Apabila wanita tersebut tidak memiliki faktor risiko karsinoma
endometrium dan masih berusia dibawah 35 tahun maka akan diberikan obat kontrasepsi
oral kombinasi berupa ethinyl-estradiol atau medroxyprogesterone-asetat selama 10-14
hari per bulan. Bila keluhan berlanjut maka lakukan biopsi endometrium serta
transvaginal USG untuk mencari penyebab perdarahan tersebut.
Apabila wanita tersebut memiliki faktor risiko karsinoma endometrium atau
berusia lebih dari 35 tahun maka lakukan biopsi endometrium. Hasil biopsi akan
menentukan tatalaksana yang diberikan, hasil biopsi yang normal akan mendapatkan
terapi yang telah disebutkan diatas. Sedangkan hasil biopsi berupa hiperplasia tanpa
atypia akan mendapatkan medrodyprogesterone-asetat 10 mg selama 14 hari per bulan
atau megesterol 40 mg per hari atau dapat juga dipasang Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
(AKDR) dengan levonogestrel (Mirena), setelah 3-6 bulan ulangi biopsi endometrium,
apabila hasil masih menunjukan hiperplasia maka pasien dapat dirujuk ke ginekologis.
Untuk hasil biopsi hiperplasia dengan atipia sebaiknya pasien dirujuk langsung ke
ginekologis, sedangkan untuk hasil biopsi adenokarsinoma dianjurkan pasien dirujuk ke
ginekologis-onkologi.
Pada wanita dengan tipe perdarahan ovulasi dievaluasi terlebih dahulu apakah
perdarahan disebabkan oleh kelainan sistemis, kelainan anatomis dengan menggunakan
pemeriksaan lab dan pencitraan berupa USG transvaginal, bila terdapat kecurigaan akan
adanya massa maka dapat dilakukan juga biopsi jaringan endometrium. Apabila tidak
ditemukan kelainan anatomis dan gambaran USG memberikan hasil yang normal maka
pasien dapat diberikan 10 mg medroxyprogesteron-asetat selama 21 hari per bulan
selama 3-6 bulan atau AKDR Mirena atau digunakan NSAID pada hari pertama haid
sampai haid berakhir atau dapat juga diberikan asam tranexamat sebanyak 2 kapsul 650
mg 3 kali sehari pada hari ke 1 sampai ke 5 saat haid. Bila perdarahan masih berlanjut
setelah pemberian terapi selama 3-6 bulan maka dapat dipertimbangkan untuk dilakukan
evaluasi ulang dengan biopsi endometrium, histeroskopi atau dilakukan tindakan ablasi
endometrium atau histerektomi.
B. Kanker Serviks
1. Definisi
Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks, yaitu sepertiga
bagian bawah uterus, berbentuk silindris, menonjol dan berhubungan dengan vagina
melalui ostium uteri eksternum. Kanker serviks serviks disebabkan oleh infeksi
Human Papilloma Virus, terutama tipe 6,11,16 dan 18. Tipe ini merupakan virus yang
ditransmisikan lewat hubungan seksual.
2. Epidemiologi
Kanker serviks merupakan keganasan keempat terbanyak yang menyerang wanita
di dunia menurut data WHO. Diperkirakan 570.000 kasus baru muncul dengan
311.000 di dunia pada tahun 2018. Di Indonesia sendiri, kanker serviks merupakan
keganasan kedua terbanyak yang menyerang wanita, setelah kanker payudara.
3. Patofisiologi
Karsinoma serviks biasa timbul di daerah yang biasa disebut skuamo-
columnar junction (SCJ) yaitu batas antara epitel yang melapisi ektoserviks
(posio) dan endoserviks. Letak SCJ ini dipengaruhi oleh usia, paritas dan aktivitas
seksual. Pada wanita muda, SCJ berada diluar ostium uteri eksternum sedangkan
pada wanita diatas 35tahun SCJ terletak di dalam kanalis serviks. Hal ini
menyebabkan SCJ pada wanita muda lebih rentan terhadap factor luar yang akan
memicu dysplasia SCJ tersebut. Namun penelitian akhir-akhir memfokuskan pada
adanya infeksi virus sebagai penyebab kanker serviks. Pada proses karsinogenesis
asam nukleat virus dapat Bersatu ke dalam gen dan DNA sel host yang
menyebabkan terjadinya mutasi gen. Sel yang mutase dapat berkembang menjadi
sel displastik sehingga terjadi kelainan epitel yang disebut dysplasia. Dysplasia
sel sendiri akan dapat berkembang menjadi karsinoma invasif. Yang dimaksud
dengan karsinoma invasif adalah sel-sel tumor menembus membrana basalis
(basement membrane) dan menyerang jaringan stroma dibawahnya Waktu rata-
rata yang diperlukan untuk berkembang menjadi kanker invasif sejak awal mula
mengalami displasia adalah 10-20 tahun. Bentuk dysplasia sel kini
diklasifikasikan kedalam Neoplasia Intraepitel Serviks (NIS).
4. Faktor Risiko
1) Infeksi Human Papillomavirus
2) Aktivitas seksual
- Aktivitas seksual dimulai usia <18th
- Berganti-ganti pasangan seksual
- Partner berganti-ganti pasangan seksual
3) Usia
Usia yang paling banyak terkena kanker serviks adalah kelompok usia 41-65 tahun
dengan grade paling banyak berada pada grade 3-4Imunodefisiensi
4) Merokok
Menurut American Cancer Society [ACS] (2014) mengemukakan bahwa wanita
yang merokok sekitar dua kali lebih berisiko terjadi kanker serviks dibandingkan
dengan non-perokok
5) Jumlah Paritas
Wanita lebih dari 3 kali melahirkan lebih rentan mengalami gangguan pada saat
dan post kehamilan
6) Tingkat Pendidikan rendah
Berhubungan dengan tingkat social , ekonomi dan hygiene yang rendah
7) Infeksi dan inflamasi kronis
5. Penyebaran
Penyebarannya dapat melalui pembuluh getah bening dalam parametrium kanan
dan kiri sel tumor dapat menyebar ke kelenjar iliaka luar dan kelenjar iliaka dalam.
Penyebaran melalui pembuluh darah (bloodborne metastasis) jarang ditemukan.
Kanker serviks umumnya terbatas pada daerah panggul saja, tergantung dari kondisi
imunologik tubuh penderita KIS akan berkembang menjadi mikro invasif dengan
menembus membrana basalis dengan kedalaman invasi 1 mm dari membrana basalis,
atau <1 mm tetapi sudah tampak berada dalam pembuluh limfe atau darah, maka
prosesnya sudah invasif. Sesudah tumor menjadi invasif, penyebaran secara limfogen
menuju kelenjar limfe, regional dan menjalar menuju fornix vagina, korpus uterus,
rektum dan kandung kemih, yang pada tingkat akhir dapat menimbulkan fistula
rektum atau kandung kemih. Penyebaran limfogen ke akan menuju ke kelenjar
regional melalui ligamentum latu, kelenjar-kelenjar iliaka, obturator, hipogastrik,
prasakral, praaorta, dan seterusnya secara teoritis dapat melanjut melalui trunkus
limfatikus di kanan dan vena subclavia di kiri mencapai para - paru, hati, ginjal, tulang
dan otak.
5. Penegakan Diagnosa
a) Gejala dan Tanda
Lesi pra kanker biasana tidak menimbulkan gejala dan hanya dapat dideteksi
dengan pemeriksaan sitologi. Gejala akan mulai dirasakan ketika sudah terbentuk
lesi karsinoma yaitu berupa
- Perdarahan pasca senggama, diluar siklus menstruasi, atau post menopause
(AUB)
- Duh vagina berbau (akibat adanya infeksi)
- Nyeri panggul
- Gejala sesuai gangguan system yang sudah mengalami metastase
b) Pemeriksaan Fisik
PF General: umunya pasien nampak baik
PF Lokalis
- Eksternal : pada stadium awal vulva tampak tenang dan tidak Nampak
kelainan lain. Pada stadium lanjut beberapa pasien menunjukan keluar
darah dari vagina dan juga duh
- Inspekulo : Pada stadium awal vagina tampak normal dan tenang. Pada
stadium lanjut akan Nampak ulkus, erosi hingga massa yang bahkan bias
sangat rapuh dan mudah berdarah
- VT : dapat teraba normal hingga adanya massa di portio, vagina, uterus dan
nyeri goyang adneksa
c) Pemeriksaan penunjang dan Skrinning
Skrinning
1) IVA
Inspeksi Visual dengan Asam asetat (IVA) merupakan metode
pemeriksaan dengan mengoles serviks atau leher rahim dengan asam
asetat. Kemudian diamati secara langsung ada tidaknya perubahan
warna pada area yang diolesi. Hasil positif apabila terjadi perubahan
warna menjadi putih , hal ini menunjukkan adanya lesi pre kanker.
Sedangkan apabila Nampak massa seperti bunga kola tau rapuh dan
mudah berdarah, maka hasil akan mengarah pada kanker serviks.
2) PAP Smear
Tes pap smear bertujuan untuk melihat prekanker, perubahan sel
pada leher rahim (serviks) yang mungkin untuk terjadinya kanker
serviks. Tes pap smear dianjurkan bagi wanita yang berusia 21-65
tahun.
Diagnosis
1) Kolposkopi
2) Biopsi
Metode biospi dilakukan dengan pengangkatan jaringan serviks untuk
kemudian dilihat secara mikroskopis apakah terdapat perubahan sel
yang mengarah pada kanker.
6. Staging
a) Klasifikasi Lesi Pra Kanker
7. Tatalaksana
8. Prognosis
Prognosis kanker serviks tergantung dari stadium
a) Stadium I : survival rate 90%
b) Stadium II : surviva rate 60-80%
c) Stadium III : survival rate 50%
d) Stadium IV : Survival rate <30%
DAFTAR PUSTAKA