Alkhamdulillahi rabbil 'alamin, Wa bihi nasta'iinu 'alaa umuuriddunya waddiin, wash shalatu
was salamu 'alaa asyrafil anbiya i wal mursalin, wa 'ala aalihi wa ash-habihi ajma'in, amma
ba'du:
Hadirin yang di rahmati Allah pada kesempatan berbahagia ini, kami ingin membawakan
topik mengenai ibadah Haji & Puasa Arafah,
Sudah kita ketahui bersama bahwa haji adalah ibadah yang amat mulia. Ibadah tersebut
adalah bagian dari rukun Islam bagi orang yang mampu menunaikannya. Keutamaan haji
banyak disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Berikut beberapa di antaranya:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Amalan apa yang paling afdhol?” Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang
bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji mabrur”,
jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1519)
Kedua: Jika ibadah haji tidak bercampur dengan dosa (syirik dan maksiat), maka
balasannya adalah surga
“Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari no.
1773 dan Muslim no. 1349). An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud, ‘tidak
ada balasan yang pantas baginya selain surga’, bahwasanya haji mabrur tidak cukup jika
pelakunya dihapuskan sebagian kesalahannya. Bahkan ia memang pantas untuk masuk
surga.” (Syarh Shahih Muslim, 9/119)
Ketiga: Haji termasuk jihad fii sabilillah (jihad di jalan Allah)
“Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol.
Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji
mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1520)
“Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan
maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no.
1521).
“Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa
sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak. Sementara tidak
ada pahala bagi haji yang mabrur kecuali surga.” (HR. An Nasai no. 2631, Tirmidzi no.
810, Ahmad 1/387. Kata Syaikh Al Albani hadits ini hasan shahih)
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
َ سأَلُوهُْفَأَع
ْطاهُم َ َُُّْللاِْدَ َعاهُمْفَأ َ َجابُوه
َ ْو َّ ْوفدَ ُّْوال ُمعت َِم ُر
َ ْوال َحاج َّ س ِبي ِل
َ َِّْللا َ َْازىْ ِفى
ِ الغ
“Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-
tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika
mereka meminta kepada Allah pasti akan Allah beri” (HR. Ibnu Majah no 2893. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Begitu luar biasa pahala dari berhaji. Semoga kita pun termasuk orang-orang yang
dimudahkan oleh Allah untuk menjadi tamu-Nya di rumah-Nya. Semoga kita dapat
mempersiapkan ibadah tersebut dengan kematangan, fisik yang kuat, dan rizki yang halal.
Semoga Allah mengaruniakan kita haji yang mabrur yang tidak ada balasan selain surga.
Hari Arafah -9 Dzulhijjah- adalah hari yang mulia saat di mana datang pengampunan dosa
dan pembebasan diri dari siksa neraka. Pada hari tersebut disyari’atkan amalan yang mulia
yaitu puasa. Puasa ini disunnahkan bagi yang tidak berhaji.
. Dari Abu Qotadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْىَّْللاِْأَن ْيُ َك ِفِّ َر
َّ َورا َء ْأَحتَسِبُ ْ َعل
َ شُ صيَا ُم ْيَو ِم ْ َعا َ ُسنَةَْالَّتِىْبَعدَه
ِ ْو َ ُسنَةَْالَّتِىْقَبلَ ْه
َّ ْوال َّ ىَّْللاِْأَن ْيُ َك ِفِّ َر ْال
َّ َعل َ ْ ُصيَا ُم ْيَو ِم ْ َع َرفَةَ ْأَحتَسِب
ِ
ُ سنَةَْالَّتِىْقَبلَ ْه
َّ ال
“Puasa Arofah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan
datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR.
Muslim no. 1162)
Imam Nawawi dalam Al Majmu’ (6: 428) berkata, “Adapun hukum puasa Arafah menurut
Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah: disunnahkan puasa Arafah bagi yang tidak berwukuf di
Arafah. Adapun orang yang sedang berhaji dan saat itu berada di Arafah, menurut Imam
Syafi’ secara ringkas dan ini juga menurut ulama Syafi’iyah bahwa disunnahkan bagi mereka
untuk tidak berpuasa karena adanya hadits dari Ummul Fadhl.”
“Dari Ummul Fadhl binti Al Harits, bahwa orang-orang berbantahan di dekatnya pada hari
Arafah tentang puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka mengatakan,
‘Beliau berpuasa.’ Sebagian lainnya mengatakan, ‘Beliau tidak berpuasa.’ Maka Ummul
Fadhl mengirimkan semangkok susu kepada beliau, ketika beliau sedang berhenti di atas unta
beliau, maka beliau meminumnya.” (HR. Bukhari no. 1988 dan Muslim no. 1123).
Mengenai pengampunan dosa dari puasa Arafah, para ulama berselisih pendapat. Ada yang
mengatakan bahwa yang dimaksud adalah dosa kecil. Imam
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Jika bukan dosa kecil yang diampuni, moga dosa besar
yang diperingan. Jika tidak, moga ditinggikan derajat.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 51)
Sedangkan jika melihat dari penjelasan Ibnu Taimiyah rahimahullah, bukan hanya dosa kecil
yang diampuni, dosa besar bisa terampuni karena hadits di atas sifatnya umum.
(Lihat Majmu’ Al Fatawa, 7: 498-500).
Lalu bagaimana apabila jadwal wukuf di Arafah dan 9 Dzulhijjah nantinya di tanah air
berbeda untuk tahun tertentu?
Maka jawaban Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin juga mendapat pertanyaan
sebagai berikut, “Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arafah disebabkan
perbedaan mathla’ (tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan daerah. Apakah
kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali ataukah mengikuti ru’yah
Haromain (dua tanah suci)?”
Syaikh rahimahullah menjawab, “Permasalahan ini adalah turunan dari perselisihan ulama
apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah.
Pendapat yang benar, hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. (Majmu’ Fatawa
wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20: 47-48). Baca Fatwa Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Kesimpulan dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, puasa Arafah mengikuti penanggalan
atau penglihatan di negeri masing-masing dan tidak mesti mengikuti wukuf di Arafah. Kita
harus berlapang dada karena para ulama berselisih pula dalam memberikan jawaban untuk
masalah ini.
Wallahu a’lam, wallahu waliyyut taufiq.
Sekian yang dapat kami sampaikan semoga mendapat manfaat darinya
Subhaanaka Allaahumma wabihamdika asyhadu an laa-ilaaha illaa Anta astaghfiruka wa-
atuubu ilaik.
Wassalamu alaikum warohmatullahi wabarokaatuh