Anda di halaman 1dari 26

Presentasi Kasus I

Kehamilan Ektopik Subdiafragma Dengan


Implantasi Plasenta pada Hepar

Presenter
Dr. Aria Indrabrata

Moderator
DR. Dr. H. Heriyadi Manan, SpOG(K),MARS

Pembimbing
Dr. Hj. Putri Mirani, SpOG(K)
Dr. Amirah Novaliani, SpOG(K)

Penilai
Prof. Dr. H. Syakroni Daud Rusydi, SpOG(K)
Dr. H. Agustria Zainu Saleh, SpOG(K)
Dr. H. Azhari, SpOG(K)
Dr. Awan Nurtjahyo, SpOG(K)
Dr. R.M. Aerul Chakra Alibasya, SpOG(K)

Pembahas
Dr. Raissa Nurwany
Dr. Gerry Irawan
Dr. Excellena

DEPARTEMEN OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Dipresentasikan pada hari Selasa, 18 September 2018 pukul 13.00
2
PENDAHULUAN

Kehamilan ektopik didefinisikan sebagai gestasi yang mengalami implantasi diluar


uterus, umumnya di tuba fallopi, namun juga bisa terjadi di serviks, skar sesar, ovarium, dana tau
visceral abdomen. Kehamilan ektopik merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
pada keamilan, terjadi pada 1-2% kehamilan. Risiko mortalitas akibat kehamilan ektopik adalah
0,48 dari 100.000 kelahiran hidup. Kejadian kehamilan ektopik selain tuba fallopi terjadi 5% dari
semua kehamilan ektopik. Kehamilan ektopik dan intrauterin yang terjadi bersamaan, kehamilan
heterotopik, juga dapat timbul pada 0,09% kehamilan. Kehamilan ektopik diluar tuba memiliki
risiko lebih tinggi mengalami komplikasi termasuk manajemen medis yang gagal dan
perdarahan. Kehamilan ektopik yang terletak di abdomen sangat jarang terjadi, sekitar 1% dari
seluruh kehamilan ektopik. Sebuah tinjauan menyatakan kehamilan ektopik di abdomen ini tidak
umum terjadi, yaitu 1 dari 2200 kasus hingga 1 dari 10.200 kasus. Kantung gestasi umumnya
terletak di pelvis atau di area tinggi vascular seperti hepar, limpa, dan mesenterika.Kejadian ini
juga lebih sering terjadi pada negara berkembang dibandingkan dengan negara maju.
Perbandingan prevalensi masing-masing lokasi kehamilan ektopik dapat dilihat pada gambar 1.2-
5

Risiko kematian pada kehamilan ektopik abdomen tujuh hingga delapan kali lebih tinggi
dibandingkan kehamilan pada tuba, dan 90 kali lebih besar dibandingkan kehamilan intrauterine,
sehingga meningkatkan mortalitas ibu. Oleh karena itu, diagnosis awal dan terapi sangat penting
untuk mencegahnya.2 Kehamilan abdominal ini memiliki beberapa gejala seperti nyeri perut,
perdarahan vagina ringan, atau sangat nyeri dan pergerakan fetus yang berlebihan hingga
hemoperitoneum dan syok hemoragik pada beberapa kasus yang sangat parah. Sangat jarang,
kehamilan abdominal terjadi setelah histerektomi, bahkan beberapa faktor resiko seperti infeksi
pelvis dan kontrasepsi juga berpengaruh dalam terjadinya kehamilan ektopik abdominal4,5
Terdapat dua kemungkinan etiologi untuk kehamilan abdominal yang termasuk
implantasi langsung terhadap peritoneum atau implantasi sekunder akibat aborsi tuba atau
rupture dengan ekstrusi dari jaringan trofoblas. Etiologi ini membagi kehamilan abdominal
menjadi dua, kehamilan abdomen primer dan sekunder. Kehamilan abdomen primer merujuk
pada kehamilan ketika implantasi dari ovum yang sudah difertilisasi langsung pada kavum
abdomen. Dalam beberapa kasus, tuba falopi dan ovarium intak. Hanya 24 kasus dari kehamilan
3
abdomen primer yang dilaporkan hingga tahun 2007. Kebalikannya, kehamilan abdominal
sekunder betanggung jawab pada sebagian besar kasus kehamilan di luar uterus. Hal ini timbul
setelah kehamilan ekstratuba yang ruptur atau aborsi dan mengalami implantasi ulang di dalam
abdomen. Setelah trimester pertama, ukuran plasenta akan bertambah dan perdarahan akibat
invasi trofoblas tidak lagi terjadi. Kecuali terdiagnosis atau mengalami komplikasi seperti
lepasnya plasenta, kehamilan dapat berlanjut hingga aterm. Kehamilan abdomen yang
mengalami implantasi pada hepar sangat jarang terjadi, sangat sulit di diagnosis, dan mengancam
kehidupan ibu. Meskipun jarang, implantasi ini juga dapat terjadi di limpa, usus, omentum dan
peritoneum.6,8

Gambar 1. Lokasi implantasi kehamilan ektopik


Dikutip dari Tsikouras3

Penyebab kehamilan ektopik melibatkan berbagai faktor risiko. Hasil penelitian


menunjukkan faktor risiko terumum kejadian kehamilan ektopik adalah penggunaan kontrasepsi
(30%), diikuti dengan riwayat infeksi traktus genitalis (22,2%), kehamilan ektopik sebelumnya
(12%), dan operasi tuba sebelumnya (5,1%) juga ditemukan menjadi faktor risiko yang penting.
Penelitian ini juga menunjukkan kehamilan ektopik berhubungan erat dengan multiparitas,
riwayat kehamilan ektopik sebelumnya dan infeksi. Secara teoritis, semua faktor yang
mengganggu migrasi embrio ke dalam rongga endometrium dapat menyebabkan kehamilan
ekstrauterin. Obstruksi merupakan penyebab separuh kasuskehamilan ekstrauterin. Obstruksi
dapat terjadi karena inflamasi kronik, tumor intrauterin, dan endometriosis. Kebanyakan
4
kehamilan hepar mengalami implantasi di lobus kanan hepar. Secara anatomi, ovum yang
terfertilisasi memiliki kemungkinan lebih besar untuk implantasi di lobus kanan akibat ukuran
dan volumenya yang lebih besar, serta memiliki suplai darah yang banyak sehingga dapat
memberikan nutrisi yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan embrio.7,8
Diagnosis kehamilan abdominal dengan plasenta di hepar sulit dilakukan karena
sedikitnya gejala yang ditimbulkan. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menunjukkan letak bayi
dan plasenta di luar uterus dan posisi bagian tubuh bayi yang dekat dengan dinding abdomen ibu.
Diagnosis kehamilan abdominal umumnya baru ditegakkan setelah dilakukanlaparotomi, hanya
kurang dari separuh kasus kehamilan abdominal yang dapat ditegakkan sebelum laparotomi.
Namun sangat disayangkan, sensitivitas ultrasonografi telah dilaporkan paling tinggi sebesar
50% untuk identifikasi kehamilan abdominal. Sebagai tambahan, hasil pemeriksaan laboratorium
beta-hCG serial dapat juga dilakukan. Pemeriksaan radiologi dapat menggunakan CT scan dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat digunakan untuk diagnosa pre-operatif yang akurat.4
Pada tulisan ini akan dilaporkan kasus seorang perempuan usia 26 tahun yang didiagnosis
kehamilan abdominal subdiafragma dengan implantasi plasenta di liver.
5
I. REKAM MEDIK
A. ANAMNESIS UMUM

1. Identifikasi
Nama : Ny. Olivia Rahmawati
Umur : 26 tahun
Suku bangsa : Melayu
Agama : Islam
Pendidikan : Sarjana
Pekerjaan : IRT
Alamat : Jl. Mayor Zurbi Bustan, Kel. Sukajaya, Kec. Sukarami
MRS : 07/08/2018 Pkl: 01.47 WIB
Med. Rec. : 927221

2. Riwayat perkawinan
Menikah 1 kali, lama perkawinan 1 tahun
3. Riwayat reproduksi
Menarcheusia 14 tahun, lama siklus haid 28 hari, teratur, lamanya haid 5 hari.
Hari pertama haid terakhir (HPHT) :24 April 2018
4. Riwayat Persalinan/obstetri
1. Hamil ini
5. Riwayat Penyakit/operasi
Kuretase atas indikasi blighted ovum di RS Bhayangkara 29-06-2018. Hasil PA tidak
ada
6. Riwayat Gizi dan Sosial Ekonomi
Sedang
7. Riwayat pekerjaan
IRT
B. ANAMNESIS KHUSUS (Alloanamnesis)
Keluhan utama:
Hamil muda dengan nyeri perut kanan atas
6
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Sejak ± 1 jam SMRS pasien mengeluh nyeri perut kanan atas, hilang timbul dan
dirasakan di perut kanan atas. Riwayat mual dan muntah (+) sejak 1 minggu yang lalu.
Pasien kemudian ke RS Bhayangkara dan berobat ke Spesialis Obgin pada tanggal 29-06-
2018 dan dikatakan hamil yang tidak berkembang sehingga pasien disarankan dikuret.
Hasil PA tidak ada. 1 bulan berikutnya os kontrol ke RS Bunda dan dikatakan kehamilan
di luar kandungan. Lalu os dirujuk ke RSMH. Riwayat pendarahan dari kemaluan (-) ,
riwayat nyeri haid (-), riwayat nyeri saat berhubungan (-),BAB dan BAK seperi biasa.
Os mengaku terlambat haid 3 bulan.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Present
Tinggi badan : 158 cm Berat badan : 57 kg
Keadaan umum : sakit sedang Kesadaran : GCS E4M6V5
Tekanan darah : 110/80 mmHg Pernafasan : 20 x / menit
Nadi : 108 x/ menit Suhu : 36,3oC
Jantung/paru : dalam batas normal Ekstremitas : edema pretibial -
Payudara : hiperpigmentasi +/+

Pemeriksaan Luar :
Abdomen :lemas, datar, simteris, NT (+) di kuardan kanan atas abdomen, BU (+)
normal. Fundus uteri teraba 1 jari di atas simfisis.
Inspekulo :Portio livide, OUE tertutup,fluor (-), fluxus (-), E/L/P (-)

2. Pemeriksaan Penunjang
USG (Dr. Hj. Putri Mirani, SpOG(K)):
- tampak uterus retrofleksi bentuk dan ukuran membesar. Cavum uteri terbuka, tidak
berisi massa abnormal
- tampak janin tunggal hidup pada lobus posterior dextra hepar.
- Biometri janin ~ 14 minggu:
BPD: 2,61 cm HC: 9.64 cm
7
AC: 8.46 cm FL: 1.74 cm
EFW: 60.46 gram
- Pulsasi (+). FHR: 161 x/menit
- Tampak gambaran hematokel pada retroperitoneum. Cairan bebas (+)
Kesan/ Kehamilan ekstrauterin
8
9
Laboratorium (7 Agustus 2018 pukul 03.11 WIB)
Hb: 9,8g/dl Leukosit:24.300/mm3 Trombosit:251.000/ul
Ht: 26% DC: 0/0/88/8/4
SGOT:17 SGPT:16
Ureum: 11 Kreatinin: 0.57

D. DIAGNOSA
Kehamilan ektopik terganggu (di hepar)

E. PROGNOSIS
Ibu : dubia ad bonam
Janin : malam

F. PENATALAKSANAAN
- Observasi tanda vital ibu dan tanda- tanda pendarahan
- O2 4L/menit nasal kanul
- Kateter urin
- IVFD RL gtt xx/menit
- Periksa laboratorium: darah rutin, kimia darah, cross match
- Rencana laparatomi eksplorasi (konsul intraoperatif dengan TS Bedah Digestif)
- Informed consent
- Injeksi ceftriaxone 1 g/ 12 jam iv (skin test)
- Assesment Anestesi
10
G. FOLLOW UP
Tanggal
07.06.18 Pukul 11.30 WIB Operasi dimulai
11.30 Penderita dalam posisi terlentang dengan general anestesi. Dilakukan tindakan
OBGIN aseptik dan antiseptik pada daerah abdomen dan sekitarnya. Lapangan operasi
dipersempit dengan doek steril. Dilakukan insisi mediana dimulai dari atas simfisis
sampai 1 jari dibawah processus xhyphoideus. Insisi diperdalam secara tajam dan
tumpul sampai menembus peritoneum. Dilakukan eksplorasi didapatkan:
 Tampak bekuan darah dalam kavum abdomen ± 500cc  dilakukan evakuasi
 Tampak uterus bentuk dan ukuran membesar, sesuai kehamilan 14 minggu.
Kedua tuba dalam batas normal, kedua ovarium dalam batas normal
 Dilakukan eksplorasi, didapatkan janin di daerah subdiafragma lateral kanan
dengan plasenta yang berimplantasi di kapsul cranial hepar lateral kanan.
Dilakukan konsul intraoperatif dengan TS Bedah Digestif. Dilakukan evakuasi
janin  berhasil. Kemudian dilanjutkan dengan evakuasi plasenta lengkap
dari tempat implantasi
 Tampak ruptur hepar lobus kanan cranial  dilakukan repair hepar oleh TS
Bedah Digestif  perdarahan aktif (-)
 Tampak rembesan darah dari subdiafragma lateral kanan  dilakukan
penjahitan dengan teknik ”tabac sac technique” dengan benang PGA 2.0
 Pendarahan dirawat sebagaimana mestinya
 Dilakukan pemasangan spongostan 4 buah  perdarahan aktif (-)
 Dilakukan pemasangan stabwound drain
 Kavum abdomen ditutup lapis demi lapis dengan cara:
 Peritoneum dan otot dijahit secara jelujur dengan plain no 2.0
 Fascia dijahit secara jelujur PGA no. 1
 Kulit dijahit secara jelujur subkutikuler dengan PGA no.3.0
 Luka operasi ditutup dengan opsite
Pkl. 14.00 WIB Operasi selesai
11
Cairan masuk: Cairan keluar:
RL: 3500cc Darah :3000 mL
Darah : 600cc Urine : 500 mL
Jumlah :4100cc Jumlah : 3500 mL

Diagnosis prabedah : G1P0A0 hamil 14 minngu dengan kehamilan abdominal


janin tunggal hidup intraabdomen
Diagnosis pascabedah : Post laparotomi eksplorasi + evakuasi janin + post repair
rupture hepar + stabwound drain ai kehamilan subdiafragma
Jenis tindakan : Laparotomi eksplorasi + evakuasi janin + adesiolisis + repair rupture
hepar + hecting diafragma + stab wound drain
12
13
14
15

07.06.2018 S: habis operasi dengan pendarahan hebat A: Post laparatomy


ICU exploration ai. Kehamilan
O: St. present: GCS: DPO ektopik subdiafragma+
20.00 TD: 110/78 R: 16x/menit, HR: 98x/menit T:
evakuasi janin intraabdominal
36,7’C SaO2: 99% dengan kanule 3 liter
/menit + repair liver + suture of
subdiapraghm + stab wound
St. ginekologi: PL: abdomen datar lemas, drain
simetris , fundus uteri teraba 1 jari di atas
simfisis, luka operasi tenang tertutup opsite.
Drain tidak aktif. P: - obs TTV, pendarahan
- Inj. Ceftriaxone 2x 1
Laboratorium: gram
 Hb:9.4 g/dl - Inj tramadol 100 gr/ 8
 WBC: 25.000/uL jam
- Inj asam tranexamat
 Ht: 28 %
500 gr/ 8 jam
 Platellet: 128 /uL - Therapi lain sesuai TS
 SGOT 222 anestesi
 SGPT: 191
 Ureum :11
 Kreatinin: 0.58

08.06.2018 S: habis operasi A: Post laparatomy


ICU exploration ai. Kehamilan
O: St. present: GCS: E4M5V6 ektopik subdiafragma+
TD: 110/78 R: 16x/menit, HR: 98x/menit T:
16
07.00 36,7’C SaO2: 99% dengan kanule 3 liter evakuasi janin intraabdominal
/menit + repair liver + suture of
subdiapragma + stab wound
St. ginekologi: PL: abdomen datar lemas,
drain
simetris , fundus uteri teraba 1 jari di atas
simfisis, luka operasi tenang tertutup opsite.
Drain tidak aktif.
Balance cairan: + 106 cc/ 24 jam P: - obs TTV, pendarahan
- Inj. Ceftriaxone 2x 1
gram
- Inj tramadol 100 gr/ 8
jam
- Inj asam tranexamat
500 gr/ 8 jam
- Pindah ke bangsal
09.06.2018 S: nyeri luka operasi A: Post laparatomy
OBGIN exploration ai. Kehamilan
O: St. present: GCS: E4M5V6 ektopik subdiafragma+
TD: 120/80 R: 16x/menit, HR: 69x/menit T:
evakuasi janin intraabdominal
36,7’C
+ repair liver + suture of
St. ginekologi: PL: abdomen datar lemas, subdiapragma + stab wound
simetris , fundus uteri teraba 1 jari di atas drain
simfisis, luka operasi tenang tertutup opsite.
Drain tidak aktif.
P: - obs TTV, pendarahan
- Inj. Ceftriaxone 2x 1
gram
- Inj tramadol 100 gr/ 8
jam
- Inj asam tranexamat
500 gr/ 8 jam
- mobilisasi

10.06.2018 S: nyeri luka operasi A: Post laparatomi explorasi


OBGIN ai. Kehamilan ektopik
O: St. present: GCS: E4M5V6 subdiafragma+ evakuasi janin
TD: 110/80 R: 16x/menit, HR: 78x/menit T:
intraabdominal + repair liver
36,7’C
+ suture of subdiapraghm +
St. ginekologi: PL: abdomen datar lemas, stab wound drain
simetris , fundus uteri teraba 1 jari di atas
simfisis, luka operasi tenang tertutup opsite.
P: - obs TTV, pendarahan
- Inj. Ceftriaxone 2x 1
gram
- Inj tramadol 100 gr/ 8
17
jam
- Inj asam tranexamat
500 gr/ 8 jam
- Aff drain
- Perawatan luka
- Acc pulang
18
II. PERMASALAHAN
A. Bagaimana penegakkan diagnosis pada pasien ini?
B. Bagaimanakah penatalaksanaan dan manajemen plasenta pada kasus ini?

III. ANALISA KASUS


A. Bagaimana penegakkan diagnosis pada pasien ini?
Pasien datang dengan keluhan utama nyeri perut kanan atas, hilang timbul dan
dirasakan di perut kanan atas. Pasien juga mengeluh mual dan muntah sejak 1 minggu
yang lalu. Pasien kemudian ke RS Bhayangkara dan berobat ke Spesialis Obgin pada
tanggal 29-06-2018 dan dikatakan hamil yang tidak berkembang sehingga pasien
disarankan dikuret. Hasil PA tidak ada. Satu bulan berikutnya pasien kontrol ke RS
Bunda dan dikatakan kehamilan di luar kandungan. Lalu pasien dirujuk ke RSMH.
Riwayat pendarahan dari kemaluan disangkal, riwayat nyeri haid disangkal, riwayat nyeri
saat berhubungan disangkal, BAB dan BAK seperi biasa. Pasien juga mengaku terlambat
haid 3 bulan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan abdomen lemas, datar, simteris, dan nyeri
tekan teraba di kuardan kanan atas abdomen, bising usus normal. Fundus uteri teraba 1
jari di atas simfisis dan pemeriksaan USG menunjukkan janin dan plasenta berada di luar
uterus (tampak janin tunggal hidup pada lobus posterior hepar). Pemeriksaan
laboratorium darah rutin menunjukkan adanya anemia sedang (Hb: 9,3 g/dL) dan lain-
lain dalam batas normal. Pasien didiagnosis dengan G2P1A0 hamil 14 minggu janin
tunggal hidup dengan kehamilan abdominam.
Pasien dikonsulkan dengan Bagian Bedah Digestif. Dari pemeriksaan USG
ditemukan gambaran cairan bebas. Tidak didapatkan tanda-tanda akut abdomen dan
observasi dilanjutkan. Setuju untuk join operation dengan bedah digestif dengan rencana
laparatomi eksplorasi.
Pasien dikonsulkan dengan Bagian Anestesi dan disetujui untuk operasi
laparatomi eksplorasi dengan general anestesi dan kondisi ASA II kehamilan.
Kehamilan abdominal merupakan komplikasi obstetrik yang jarang terjadi dengan
angka mortalitas ibu dan bayi yang tinggi. Kehamilan abdominal sekunder
betanggungjawab pada sebagian besar kasus kehamilan ekstra uterus. Hal ini timbul
19
setelah kehamilan ekstratuba yang ruptur atau aborsi dan mengalami implantasi ulang di
dalam abdomen. Setelah trimester pertama, ukuran plasenta akan bertambah dan
perdarahan akibat invasi trofoblas tidak lagi terjadi. Kecuali terdiagnosis atau mengalami
komplikasi seperti lepasnya plasenta, kehamilan dapat berlanjut hingga aterm. Kehamilan
abdomen yang mengalami implantasi pada hepar sangat jarang terjadi, sangat sulit di
diagnosis, dan mengancam kehidupan ibu. Meskipun jarang, implantasi ini juga dapat
terjadi di limpa, usus, omentum dan peritoneum.1,2
Diagnosis kehamilan abdominal sulit dilakukan karena tidak ada gejala yang khas.
Pasien dengan kehamilan abdominal dapat datang dengan nyeri perut persisten dengan
tingkat nyeri yang bervariasi, anemia, nyeri tekan pada saat palpasi abdomen,
malpresentasi fetus, bagian fetus yang mudah terpalpasi, pergeseran serviks, dan uterus
terpalpasi terpisah dari konseptus, dan kurangnya stimulasi uterus dengna induksi
oksitosin.9 Kondisi ini akan sangat berbahaya jika terjadi ruptur, dan umumnya pasien
akan mengalami syok hemoragik, penurunan kesadaran, samapi terjadi kematian.
Pemeriksaan penunjang yang menjadi pilihan adalah ultrasonografi(USG) dan
pemeriksaan Human Chorionic Gonadotropin (HCG) urin maupun serum.Saat ini
terdapat transvaginal ultrasonography yang lebih tinggi resolusinyadibanding abdominal
ultrasonography. Ultrasonografi dapat membedakan adanya janin di uterus atau tidak,
tanda lainnya adalah pseudoplasenta previa, oligohidramnion, kurangnya ketebalan
jaringan myometrium, dan plasenta ditutupi oleh gas usus dan malpresentasi fetus.
Namun sangat disayangkan, sensitivitas ultrasonografi telah dilaporkan paling tinggi
sebesar 50% untuk identifikasi kehamilan abdominal, yang menyebabkan diagnosis ini
sulit untuk dilakukan. Selain itu, Meski demikian, ultrasonografi abdomen dapat
menemukan kehamilan hepar abdomen sebesar 2/3 kasus dalam penelitian yang di
publikasi di pada jurnal internasional. Hanya dua kasus dari kehamilan hepar
midtrimester yang dilaporkan menggunakan MRI. Pemeriksaan radiologi dapat
menunjukkan tulang belakang ibu yang tumpang tindih dengan bagian kecil bayi pada
foto lateral dan bayangan usus ibu barcampur dengan bagian tubuh bayi pada tampakan
antero-posterior. CT scan dan magnetic resonance imaging (MRI) dapat digunakan untuk
diagnosis pre-operatif yang akurat. Magnetic resonance imaging (MRI) dapat menjadi
modalitas yang lebih baik dalam memisahkan antar jaringan berdasarkan densitas sinyal.
20
Pada tempat dengan sumber yang buruk, kateter foley diinflasikan dalam segmen bawah
uterus untuk memastikan apakah fetus terletak di dalam uterus atau tidak.4,9Pemeriksaan
histopatologi ditujukan untukmemastikan diagnosis kehamilan abdominal karena massa
yang ada dapat merupakan suatu keganasan.10

Gambar 2. MRI pada abdomen bagian bawah. (a) plasenta, (b) area invasi, (c) kolon sigmoid, (d)
cavum uteri.

Sebagai tambahan, hasil pemeriksaan laboratorium beta-hCG serial dapat


meningkat sehingga lebih jauh mengaburkan diagnosis. Diagnosis kehamilan hepatik
primer umumnya dapat ditegakkan dari tingginya hasil beta hCG serial dan radiologi ini.
Pemeriksaan kadar serumprogesteron juga dapat membedakan kehamilan
intrauterin normal dan kehamilanyang abnormal, kadar serum progesteron yang terlalu
tinggi atau terlalu rendahcuriga adanya kehamilan ektopik. Dari sebuah studi yang besar,
kadar progesterone >25ng/ml menyingkirkan diagnosis kehamilan ektopik dengan
sensitifitas 97,4%. Kadar progesteron ≤ 5ng/ml menyingkirkan kehamilan intrauterin
normal dengansensitivitas 100%.Progesteron juga bermanfaat untuk menentukan
21
prognosis, bilakadarnya <10ng/ml dan kadar beta HCG <1500 IU/ml menandakan
resolusi spontan darikehamilan ektopik.1,9
Kelemahan USG abdomen pada kehamilan awal sulit untuk memvisualisasi adanya
kantong kehamilan, tetapi dengan adanya USGtrans-vaginal, yang memiliki resolusi yang
lebih tinggi sehingga kehamilan intrauterinesudah dapat terlihat 24 hari pascaovulasi atau
38 hari setelah menstruasi terakhir,dimana satu minggu lebih awal dari USG abdominal.1,8
Kehamilan abdominal dapat dibagi menjadi dua yaitu kehamilan abdominal
primer dan kehamilan abdominal sekunder. Kehamilan abdominal primer lebih jarang
terjadi dibanding yang sekunder. Kehamilan ektopik primer harus memenuhi kriteriayang
diperkenalkan oleh Studiforrd, yaitu:
1. tuba fallopi dan ovarium dalam keadaan normal,
2. tidak adanya fistula dari uterus ke cavum abdomen,
3. perlekatan hasil konsepsi hanya pada permukaan organ abdomen dan tidak ada
tanda perlekatan pada tuba sebelumnya
Kehamilan abdominal sekunder terjadi bila plasenta dari kehamilan di tuba, kornu
dan uterus meluas dan melekat pada jaringan serosa sekitarnya.6 Kehamilan pada kasus
ini dapat diasumsikan sebagai kehamilan abdominal primer dengan implantasi pada
hepar. Saat intraoperatif, tidak didapatkan tanda- tanda abortus pada tuba, dan tidak
ditemukan implantasi pada tuba ataupun adnexa lainnya. Uterus ditemukan dalam batas
normal dan tidak dijumpai adanya fistula uteroabdominal.
Setelah diagnosis kehamilan hepatik ditegakkan, prinsip utama yang harus
dilakukan adalah terminasi kehamilan segera sebelum terjadi tanda- tanda pendarahan
yang hebat karena lepasnya plasenta atau rupture pada tempat implantasi plasenta.
Mortilitas yang tinggi dapat terjadi bila terjadi pendarahan hebat tidak teratasi pada
tempat implantasi plasenta
22
B. Bagaimanakah penatalaksanaan dan manajemen plasenta pada kasus ini?
Untuk menentukan tata laksana kehamilan abdominal ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan, yaitu : komplikasi yang dialami ibu,kelainankongenital janin, usia
kehamilan, ketersediaan fasilitas perawatan neonates bila janin viable. Janin yang sudah
meninggal menjadi indikasi untuk melakukan operasi, untuk menghindari resikoinfeksi,
perdarahan dan disseminated intravascular coagulation (DIC).4,6
Terapi yang dapat diberikan adalah methotrexate (MTX) karena MTX dapat
melakukan inhibisi pada dihidrofolat reductase (DHFR), yang menghasilkan dihidrofolat
tidak dapat berubah menjadi tetrahidrofolat (THFA) dengan aktivitas biologis. Terlebih,
biosintesis DNA juga diinhibisi sehingga trofoblas plasenta dapat terlepas karena
karakteristik kemoterapi dari MTX. Namun sampai sekarang belum ada pasein yang
sembuh sepenuhnya hanya dengan injeksi MTX intramuscular pada kasus kehamilan
abdominal.
Ketika ada tanda-tanda syok, akut abdomen (peritonitis), atau pendarahan akut,
maka operasi terbuka segera harus menjadi pilihan utama, kebanyakan pasien dilakukan
laparotomi, termasuk laparotomi dengan kombinasi MTX ke dalam kantung kehamilan,
laparotomy dihubungkan dengan injeksi MTX paska operasi, dan juga embolisasi arteri
hepatis setelah operasi. Terapi tanpa operasi terbuka sangat popular karena keamanan,
efektifitas dan pemulihan yang cepat, sehingga teknologi campuran dari penggunaan USG
dan injeksi MTX, penggunaan laparoskopi juga menunjukkan hasil yang memuaskan.
Maka dari itu, pasien dengan kehamilan ektopik dan hemodinamik stabil harus
dipertimbangkan untuk mengikuti operasi laparoskopi.8
Penanganan terhadap plasenta masih menjadi perdebatan, apakahplasenta
ditinggalkan secara utuh, dikeluarkan sebagian atau dikeluarkan secara utuh.Pelepasan
plasenta akan selalu menyebabkan perdarahan, dan sering sekali parah. Jika tidak ada
perdarahan dari lokasi implantasi, tali pusat dapat dipotong pendek dan plasenta
ditinggalkan in situ. MTX paskaoperatif dapat dimasukkan bila plasenta ditinggalkan.
Plasenta disarankan untuk ditinggalkan in situ kecuali suplai aliran darah ke plasenta dapat
diamankan dengan risiko minimal pada pasien. Methotrexate dapat digunakan untuk
mempercepat involusi dan resorpsi plasenta. Kewaspadaan terhadap kehamilan abdomen
sangatlah penting, mengingat tingginyaangka morbiditas dan mortalitas pada perempuan
23
yang mengalami hal tersebut. Jika janin hidup, harus segera dilakukan laparotomi karena
risiko terlepasnya plasentadan terjadinya perdarahan yang hebat. Tapi bila usia kehamilan
di atas 24 minggu, keadaan ibu dan janin baik, operasi dapat ditunda untuk memberi waktu
bagi janin menjadi lebih matang, tetapi harus dilakukan observasi yang ketat (dirumah
sakit), terutama untukmengantisipasi terjadinya perdarahan setelah pelepasan plasenta,
yang dapat mengancam jiwa.4,9-11
Padakasus ini dilakukan terminasi kehamilan perabdominam elektif, dengan
pertimbangantidak ada tanda-tanda syok ataupun peritonitis. Laparatomi eksplorasi dengan
konsultasi dan operasi bersama dengan bagian bedah digestif dilakukan untuk mengurangi
resiko terburuk saat operasi berlangsung. Pendarahan hebat sudah dapat diprediksi pada
saat operasi. Hasil laboratorium dengan nilai hemoglobin dan hematokrit yang rendah
menandakan adanya perdarahan atau keadaan anemia sebelumnya belum dapat
disingkirkan karena riwayat pemeriksaan tidak ada, Tindakan terminasi tersebut dinilai
tepat karena dapatmencegah terjadinya komplikasi yang lebih lanjut pada ibu.9,11
Tatalaksana plasenta pada kehamilan abdominal masih menjadi perdebatan. Pelepasan
plasentasebagian dapat mengakibatkan perdarahan yang hebat. Pengangkatan plasenta
secarautuh dilakukan hanya bila pembuluh darah yang mendarahi plasenta tersebut dapat
diidentifikasi dan dilakukan ligasi. Regresi total plasenta akan terjadi sempurna
dalamwaktu 4 bulan. Beberapa penelitian juga menyatakan kemungkinan terjadinya infeksi
akibat jaringan plasenta yang tertinggal in situ.Pengangkatan plasenta sebagian ketika
pembuluh darah tidak terindentifikasidan terligasi dapat menimbulkan perdarahan yang
hebat sampai syok. Pada beberapa keadaan plasenta terlepas spontan yang menstimulasi
terjadinya solusio namun pada keadaan dimana perdarahan tidak terkendali biasanya
berasal dari kegagalan pengangkatan plasenta. Untuk melepaskan plasenta memerlukan
ligasi pembuluh darah yang memsuplai plasenta dan manipulasi insersi plasenta. Pelepasan
plasenta tidak selalu lancar dapat terjadi kegagalan pada 40% kasus.9,10,11
Methotrexate dapat diberikan pasca operasi untuk mempercepat absorpsi plasenta.
Retensi plasenta in situ memiliki risiko komplikasi perdarahan sekunder, pembentukan
abses, ileus paralitik, obstruksi usus, preeklampsia dan eklampsia. Resorpsi plasenta yang
ditinggalkan in situ dapat dipantau dengan sonografi, MRI, atau CT scan.Plasenta masih
berfungsi kurang lebih 50 hari dari operasi dan total absorpsi lengkap mencapai 4 bulan.
24
Massa hiperekoik plasenta dilaporkan tampak hingga paling lama lima tahun setelah
persalinan.Beberapa penelitian menyarankan pemberian methotrexate pre-operatif untuk
meminimalisasi kemungkinan perdarahan dan memfasilitasi pengangkatan plasenta yang
maksimal. Pendekatan ini dapat diterapkan pada pasien kehamilan abdominal dengan
implantasi plasenta di organ visera abdomen dan pembuluh darah. Pemberian methotrexate
direkomendasikan pada seluruh usia kehamilan.11,12
Pada kasus ini, plasenta ditemukan berimplantasi pada lobus kanan hepar dengan
perlekatan di bagian posterior. Kantung kehamilan diidentifikasi pada bagian lateral
subdiafragma kanan. Intraoperatif, plasenta diangkat secara keseluruhan sehingga
menimbulkan pendarahan hebat dan ruptur pada lobus hepar. Pendarahan dirawat dan
dilakukan hemostasis oleh sejawat dari bedah digestif. Dilakukan teknik tabacsac untuk
menghentikan pendarahan pada lobus hepar. Setelah pendarahan pada lobus hepar teratasi
dan tidak ada pendarahan aktif, dilakukan eksplorasi sisa plasenta pada tempat implantasi.
Tidak dijumpai sisa plasenta ataupun jaringan lain pada lobus hepar dan bagian lateral
subdiafragma kanan.
Dengan hasil intraoperatif demikian, maka diputuskan untuk perawatan intensif
setelah operasi untuk observasi tanda – tanda perdarahan intraabdomen. Selama observasi
tidak dijumpai tanda- tanda pendarahan aktif dan syok pada pasien ini. Keadaan umum
pasien post operasi cenderung stabil. Pasien dipulangkan pada hari kelima setelah operasi.
25
IV. Kesimpulan
1. Diagnosis kehamilan abdominal umumnya baru ditegakkan setelah dilakukanlaparotomi,
hanya kurang dari separuh kasus kehamilan abdominal yang dapatditegakkan sebelum
laparotomi.Pada kasus ini kehamilan abdominal ditegakkan dari pemeriksaan fisik dan
ultrasonografi.
2. Penatalaksanaan yang dipilih pada kasus ini adalah terminasi kehamilan secara
laparotomi, dan plasenta bisa dievakuasi seluruhnyasehingga pemberian MTX tidak
dipergunakan pada kasus ini.
26
DAFTAR PUSTAKA

1. Brady, Paula C. New Evidence to Guide Ectopic Pregnancy Diagnosis and


Management. Obstetrical & gynecological survey, 2017, 72.10: 618-625.
2. Pérez, Vera, et al. Primary abdominal ectopic pregnancy. Case report’s abstract. Multimed,
2016, 20.2: 408-419.Diakses dari http://www.medigraphic.com/.
3. Tsikouras, Panagiotis, et al. Differential Diagnosis of Ectopic Pregnancy-Morbidity and
Mortality. In: Ectopic Pregnancy-Modern Diagnosis and Management. InTech, 2011.
4. Ecker, Amanda; Guido, Richard. Abdominal Pregnancy. In: Ectopic Pregnancy. Springer,
Cham, 2015. p. 109-114.
5. Amit Kumar Dey., et al. “Intra-Abdominal Ectopic Pregnancy, A Diagnostic Dilemma”. EC
Gynaecology 6.1 (2017): 17-19.
6. Singh Y, Singh SK, Ganguly M, Singh S, Kumar P. Secondary abdominal
pregnancy. Medical Journal, Armed Forces India. 2016;72(2):186-188.
doi:10.1016/j.mjafi.2015.03.003.
7. Parkash, Reeta Chander; Javed, Arshia. Risk factor leading to ectopic pregnancy. Pak J
Surg, 2017, 33.1: 70-73.
8. Wang, Jicai, et al. Diagnosis and management of primary hepatic pregnancy: literature
review of 31 cases. Archives of gynecology and obstetrics, 2018, 1-8.
9. Brouard, Kendall Jane; Howard, Bruce Richard; Dyer, Robert Anthony. Hepatic pregnancy
suspected at term and successful delivery of a live neonate with placental attachment to the
right lobe of the liver. Obstetrics & Gynecology, 2015, 126.1: 207-210.
10. Wang, Tao; Chen, PingYang; BIAN, DuJun. Primary hepatic pregnancy. Clinics and
research in hepatology and gastroenterology, 2017, 41.3: 241-242.
11. Mahbuba, et al. Advanced Abdominal Pregnancy with a Full-Term Live Fetus: Case Report.
Faridpur Med. Coll. J. 2013;8(1): 40-43.
12. Kim, Myung Joo, et al. Therapeutic outcomes of methotrexate injection in unruptured
interstitial pregnancy. Obstetrics & gynecology science, 2017, 60.6: 571-578.
13. Tchatou, A. Sibetcheu, et al. Successful medical treatment of a hepatic pregnancy: a case
report. Journal of medical case reports, 2017, 11.1: 70.

Anda mungkin juga menyukai