Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 1996


di dunia terdapat 120 juta penderita diabetes mellitus yang diperkirakan naik
dua kali lipat pada tahun 2025. Kenaikan ini disebabkan oleh pertambahan
umur, kelebihan berat badan (obesitas), dan gaya hidup.
Salah satu komplikasi menahun dari DM adalah kelainan pada kaki yang
disebut sebagai kaki diabetik. Menurut dr Sapto Adji H Sp.OT dari bagian
bedah ortopedi Rumah Sakit Internasional Bintaro (RSIB), komplikasi yang
paling sering dialami pengidap diabetes adalah komplikasi pada kaki (15
persen) yang kini disebut kaki diabetes.
Di negara berkembang prevalensi kaki diabetik didapatkan jauh lebih
besar dibandingkan dengan negara maju yaitu 2-4%, prevalensi yang tinggi ini
disebabkan kurang pengetahuan penderita akan penyakitnya, kurangnya
perhatian dokter terhadap komplikasi ini serta rumitnya cara pemeriksaan
yang ada saat ini untuk mendeteksi kelainan tersebut secara dini.
Pengelolaan kaki diabetes mencakup pengendalian gula darah,
debridemen/membuang jaringan yang rusak, pemberian antibiotik, dan obat-
obat vaskularisasi serta amputasi. Komplikasi kaki diabetik adalah penyebab
amputasi ekstremitas bawah nontraumatik yang paling sering terjadi di dunia
industri. Sebagian besar komplikasi kaki diabetik mengakibatkan amputasi
yang dimulai dengan pembentukan ulkus di kulit. Risiko amputasi ekstremitas
bawah 15 – 46 kali lebih tinggi pada penderita diabetik dibandingkan dengan
orang yang tidak menderita diabetes mellitus. Lagi pula komplikasi kaki
adalah alasan tersering rawat inap pasien dengan diabetes, berjumlah 25% dari
seluruh rujukan diabetes di Amerika Serikat dan Inggris.

1
BAB II
STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Umur : 77 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Kecapi, RT 40, RW 07. Tahunan Jepara
Agama : Islam
Suku : Jawa
Status Pernikahan : Menikah
Masuk RS : 15 Mei 2019
Pemeriksaan : 18 Mei 2019

II. Anamnesis
Anamnesis diperoleh secara autoanamnesis pada:
 Tanggal : 18 Mei 2019
 Tempat : Dahlia 2
 DPJP Bedah : dr. Toni,Sp.B
 DPJP Interna : dr. Andri Sasmita,Sp.PD

A. Keluhan Utama
Luka di kaki kiri
B. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RS. Kartini dengan keluhan terdapat luka di
kaki kiri dirasakan sudah 5 bulan. Pasien mengatakan awalnya luka terjadi
saat pasien sedang pergi ke kebon dan tidak memakai alas kaki, luka besar
berisi cairan seperti luka terkena air panas.
Pasien mengaku luka tersebut pecah dan di bawa langsung ke klinik
dan dibersihkan disana, namun setelah itu pasien tidak pernah kontrol luka
lagi di klinik tersebut. Pada tanggal 15 Mei 2019 pasien datang karena
luka di kaki yang tidak kunjung sembuh, serta berlubang dan berisi nanah.

2
Pasien mengeluhkan kaki kiri terasa kemeng, dan nyeri, pasien juga
mengeluhkan badan terasa lemas, mual (+), penurunan nafsu makan (+).
BAB (+) normal , BAK (+) normal. Pasien menderita DM sejak 4 tahun
dan terkontrol dengan obat di klinik dekat rumahnya.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


o Riwayat Alergi : Disangkal
o Riwayat Penyakit Serupa : Disangkal
o Riwayat Hipertensi : Disangkal
o Riwayat Stroke : Disangkal
o Riwayat DM : Sejak 4 tahun yang lalu
o Riwayat Jantung : Disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
o Riwayat Hipertensi : Disangkal
o Riwayat DM : Ibu pasien punya keluhan serupa
o Riwayat Penyaki t jantung : Disangkal
o Riwayat Stroke : Disangkal
E. Keadaan Sosial Ekonomi
Pasien berobat dengan status pasien umum. Kesan ekonomi : cukup.
III. Pemeriksaan Fisik
Tanggal Pemeriksaan : 18 Mei 2019
Tempat Pemeriksaan : Ruang Dahlia 2

A. Keadaan Umum
KU : Baik.
Kesadaran : Compos Mentis ( GCS E4 V5 M6).
Gizi : Kesan cukup.
B. Vital Sign
Tekanan Darah : 120/80 mmHg.
Nadi : 65x/menit.
Respirasi : 18x/menit.
Suhu Tubuh : 36,0o C.
SpO2 : 99%.

3
C. Status Generalis

- Kepala/leher : Normosefali, deformitas (-), bengkak (-)


: Pembesaran KGB -/-
: Pembesaran kelenjar tiroid -/-
- Mata : Reflek cahaya +/+
: Konjungtiva anemis -/-
: Sklera ikterik -/-
: Pupil isokor, 3mm/3mm
- Telinga/hidung : Deformitas (-), nyeri (-), sekret (-)
: Septum nasi ditengah
- Mulut/faring : Mukosa tidak pucat, hiperemis (-)
: Tonsil T1/T1
: Uvula ditengah
- Thorax
 Paru
Inspeksi : Bentuk dada normal dan simetris
: Gerak napas tertinggal (-)

Palpasi : Pergerakan dada kanan sama dengan dada kiri,


fremitus raba dada kanan sama dengan dada kiri
Perkusi : Bunyi sonor pada semua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler, wheezing -/-, ronki -/-
 Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Pekak, batas jantung normal

Batas jantung :
Batas jantung kanan atas : ICS II linea parasternalis
dextra
Batas jantung kanan bawah : ICS IV linea parasternalis
dextra
Batas jantung kiri atas : ICS II linea parasternalis

4
sinistra
Batas jantung kiri bawah : ICS VI 2 cm lateral linea
medioklavicula sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, reguler
- Abdomen

Inspeksi : Dinding perut sejajar dengan dinding dada, bekas luka (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Perkusi : Timpani, Pekak beralih (-)
Palpasi : Supel, Nyeri tekan epigastrik (-)
: Hepatomegali (-), splenomegali (-)
- Punggung : Nyeri punggung bawah (-)
- Ekstremitas
Inspeksi : Regio Dorsalis Pedis Sinistra tampak luka ± 4 cm x ± 3
cm, bentuk beraturan, ulkus (+), pus (+), oedem (+),
hiperemi (+).
Palpasi : Nyeri tekan (+)
IV. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan EKG

Hasil EKG :
Irama : Normal Sinus Rhythm
Heart Rate : 65 x/menit

5
B. Status Lokalis Pedis Sinistra
Sebelum Debridement

KLASIFIKASI PEDIS
Gangguan Perfusi 2 = Penyakit arteri perifer tidak parah
Ukuran (Extend) dalam Ukuran 5cm x 3 cm
Dalam mm dan Dalamnya 1 = Permukaan kaki hanya sampai
(Depth) dermis

Infeksi 2 = Hanya infeksi pada kulit dan


jaringan tisu
Hilang Sensasi 1 = Tidak ada
Sesudah Debridement

6
V. Daftar Masalah
Ulkus Diabetikum Regio Pedis Sinistra
DM Tipe II
Hipoalbuminemia
VI. Intial Planning
Rencana Debridement hari senin Tanggal 20 Mei 2019
VII. Penatalaksanaan
- Infus RL 20 tpm
- Injeksi Cefotaxim 1gr/24 jam (IV Skin test)
- Infus Metronidazole 500 mg/8 jam (Skin test)
- Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam (IV)
- Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam (IV)
- AI Sliding Scale sesuai GDS
PO :
- Paracetamol 3x500 mg
VIII. Pemeriksaan Laborat
Tanggal 15 Mei 2019
GDS IGD 222

Tanggal 16 Mei 2019


Laborat Pagi
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
Haemoglobin 11,0 gr % 14 – 18
Leucoccyt 6.480 mm 3 4000 – 10000
Trombocyt 540.000* mm 3 150000 - 400000
Hematokrit 31,8* % 40 – 48
LED 1 Jam 123* mm / jam 0 – 15
LED 2 Jam 134*
Eusinophil 2 % 1–3
Bashophile 0 % 0–1
Staf 2 % 2–6
Segmen 60 % 50 – 70

7
Lymphocyt 35 % 20 – 40
Monocyt 1 % 2–6
Golongan Darah - B – Rh (+)
Waktu Pembekuan (CT) 4’ 00’’ Menit 2–6
Waktu Perdarahan (BT) 2’ 15’’ Menit 1–3
Laborat Siang
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
GDS 75* mg % 80 - 150
Ureum 14,1 mg % 10 - 50
Creatinin 0,68 mg/dl 0,6 - 1,1
Albumin 3,0* gr % 3,5 - 5,5
Natrium 137,8 mmol / L 135 - 155
Kalium I Potasium 4,82 mmol / L 3,5 - 5,5
Calsium 8,9 mg % 8,1 - 10,4
Chlorida 108,9* mmol / L 95 - 105
Magnesium 2,18 mmol / L 1,9 - 2,5
HBSag (-) Negatif
Laborat malam
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
GDS 152* mg % 80 - 150
Colesterol 85 mg % 150 - 250
Trigliserid 112 mg % 74 – 150
HDL 23* mg % 35 - 55
LDL 19 mg % < 150
Total Protein 5,9* gr % 6-8
Albumin 2,4* gr % 3,5 - 5,5
Globulin 3,5* gr % 1,5 – 3,3
HbA1c 9,3* % <7

8
Tanggal 17 Mei 2019
Pagi
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
GDS 207* mg % 80 - 150
Sore
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
GDS 204* mg % 80 – 150
Tanggal 18 Mei 2019
Pagi
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
GDS 154* mg % 80 - 150
Sore
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
GDS 200* mg % 80 - 150
Tanggal 19 Mei 2019
Pagi
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
GDS 241* mg % 80 – 150
Sore
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
GDS 144 mg % 80 – 150
Tanggal 20 Mei 2019
Pagi
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
GDS 293* mg % 80 – 150
Tanggal 21 Mei 2019
Pagi
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
GDS 294* mg % 80 – 150

9
IX. Follow Up
Tanggal S O A P

18/05/2019 Kaki kiri TD : 120/90 DM Tipe II - Infus RL 20 tpm


terasa RR : 20x/menit dengan - Injeksi Cefotaxime
kemeng, nyeri HR : 80x/menit Ulkus 1gr/24 jam
dan badan Suhu : 36,50C Diabetikum - Infus
terasa lemas GDS : Regio Pedis Metronidazole
Malam : 204 Sinistra 500mg/8 jam
Pagi : 154 - Injeksi Ketorolac
Sore : 200 30mg/8 jam
- Injeksi Ranitidin
50mg/12 jam
- AI Sliding Scale
sesuai GDS
PO :
- Paracetamol
3x500mg

19/05/2019 Kaki kiri TD : 110/80 DM Tipe II - Infus RL 20 tpm


terasa RR : 20x/menit dengan - Injeksi Cefotaxime
kemeng, nyeri HR : 78x/menit Ulkus 2gr/24 jam
dan badan Suhu : 36,70C Diabetikum - Infus
terasa lemas GDS : Regio Pedis Metronidazole
Pagi : 241 Sinistra 500mg/8 jam
Sore : 144 - Injeksi Ketorolac
30mg/8 jam
- Injeksi Ranitidin
50mg/12 jam
- AI Sliding Scale
sesuai GDS
PO :
- Paracetamol

10
3x500mg

20/05/2019 Kaki kiri TD : 120/80 DM Tipe II - Infus RL 20 tpm


terasa kemeng RR : 18x/menit dengan - Injeksi Cefotaxime
dan nyeri HR : 78x/menit Ulkus 2gr/24 jam
Suhu : 36,90C Diabetikum - Infus
GDS : Regio Pedis Metronidazole
Pagi : 293 Sinistra 500mg/8 jam
- Injeksi Ketorolac
30mg/8 jam
- Injeksi Ranitidin
50mg/12 jam
- AI Sliding Scale
sesuai GDS
PO :
- Paracetamol
3x500mg
21/05/2019 Merasa TD : 110/70 DM Tipe II - Cefixime 2x200mg
enakan setelah RR : 20x/menit dengan - Paracetamol
kaki di HR : 80x/menit Ulkus 3x500mg
Debridement, Suhu : 37,20C Diabetikum - Glimepirid 1x2mg
tidak terasa GDS : Regio Pedis - Metformin
nyeri, dan Pagi : 294 Sinistra 1x500mg
kemeng, dan
sudah enakan
jika di pakai
berjalan

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes mellitus adalah salah satu penyakit metabolik berupa gangguan


metabolisme karbohidrat, yakni penurunan penggunaan glukosa yang rendah
sehingga mengkibatkan adanya penumpukan glukosa di dalam darah
(hiperglikemia). Adapun penyebab terjadinya penimbunan kadar glukosa
didalam darah tersebut ialah adanya gangguan berupa kurangnya sekresi
enzim insulin pada pancreas (DM tipe 1), atau terjadin gangguan fungsi pada
enzim insulin tersebut dalam metabolisme glukosa (DM tipe 2).
3.2 Diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis DM umumnya akan dipikirkan dengan adanya gejala khas DM
berupa poliuria, polidipsia, polofagi, lemas dan berat badan yang menurun.
Gejala lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata
kabur dan impotensia pada pasien pria serta pruritus vulvae pada pasien
wanita.

Gambar 1. Algoritma Diagnosis Diabetes Melitus

12
Diagnosis Diabetes Melitus dapat ditegakkan jika :
1. Kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dL pada orang yang memiliki
tanda klinis diabetes mellitus, atau
2. Kadar gula darah puasa >126 mg/dL. Puasa berarti tidak ada asupan
kalori selama 10 jam sebelum pengambilan sampel darah vena, atau
3. Kadar glukosa plasma >200 mg/dL, pada 2 jam sesudah pemberian
beban glukosa oral 75g.
3.3 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi


metabolik defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak
dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau
toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat
dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria.
Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan
pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena
glukosa hilang bersama urin, maka pasien akan mengalami keseimbangan
kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa alapar yang semakin besar
(polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien
mengeluh lelah dan mengantuk.
Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala
yang eksplosif dengan polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia,
lemah, somnolen yang terjadi beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien
dapat menjadi sakit berat dn timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal
kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Terapi insulin biasanya
diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan umumnya penderita peka
terhadap insulin.
Pasien diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan
gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah
di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia
yang lebih berat, pasien tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria,
lemah dan somnolpen. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis
karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya

13
relatif. Sejumlah insulin tetap sisekresi dan masih cukup untuk
menghambat ketoasidosis.
3.4 Klasifikasi

Klasifikasi berdasarkan American Diabetes Association (ADA) :3,4


1. Diabetes melitus
a. Tipe 1
Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenille-onset dan tipe
dependen insulin; namun kedua tipe ini dapat muncul pada
sembarang usia. Diabetes tipe 1 ini dapat dibagi dalam 2 subtipe : (a)
autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta;
dan (b) idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak diketahui
sumbernya.
b. Tipe 2
Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset
maturitas dan tipe nondependen insulin.
2. Diabetes gestasional
Diabetes gestasional (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan
dan mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya
GDM adalah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga,
dan riwayat gestasional terdahulu.
3. Tipe spesifik lain
a) Cacat genetik fungsi sel beta : MODY
b) Cacat genetik kerja insulin : sindrom resistensi insulin berat
c) Endokrinopati : sindrom cushing, akromegali
d) Penyakit eksokrin pankreas
e) Obat atau diinduksi secara kimia
f) infeksi
4. Gangguan toleransi glukosa (IGT)
Pasien dengan IGT tidak dapat memenuhi kriteria diabetes melitus,
tetapi tes toleransi glukosanya memperlihatkan kelainan. Pasien-pasien
ini asimtomatis.
5. Gangguan glukosa puasa (IFG)

14
Gangguan glukosa puasa ditetapkan dengan nilai antara 110 dan 126
mg/100 ml.
3.5 Penatalaksanaan

Modalitas yang ada pada penatalaksanaan DM terdiri dari;


pertama terapi non farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup
dengan melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi
medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang
berkaitan dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus menerus,
kedua terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat anti diabetes oral
dan injeksi insulin. Terapi farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika
penerapan terapi non farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat
mengendalikan kadar glukosa darah sebagainana yang diharapkan.
Pemberian terapi farmakologis tidak meninggalkan terapi non
farmakologis yang telah diterapkan sebelumnya.3,4
1. Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman :
 Perjalanan penyakit DM
 Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
 Penyulit DM dan risikonya
 Intervensi farmakologis dan non farmakologis serta target
perawatan
 Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik dan hipoglikemik
orak atau insulin serta obat-obat lainnya
 Cara pemantauan glukosa darah
 Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti hipoglikemia
 Pentingnya perawatan diri
2. Terapi Gizi Medis
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
a. Karbohidrat
Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetisi
tidak boleh lebih dari 55-65% dari total kebutuhan energi sehari,

15
atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasikan dengan
pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA =
monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat
terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori.
b. Lemak
Lemak mempunyai kandungan sebesar 9 kilokalori per gramnya.
Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak dikelompokkan
menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan
lemak jenuh dan kolesterol sangat disarankan bagi para diabetisi
karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal yang
sering dijumpai pada diabetes. Asam lemak tidak jenuh rantai
tunggal (MUFA = monounsaturated fatty acid), merupakan salah
satu asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah
dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi dapat
menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total, kolesterol VLDL
dan meningkatkan kadar kolesterol HDL. Sedangkan asam lemak
tidak jenuh rantai panjang (PUFA = polyunsaturated fatty acid)
dapat melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida,
memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak
omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan
meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein lipase yang dapat
menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer, sehingga dapat
menurunkan kadar kolesterol LDL. Untuk mencukupi kebutuhan
asam lemak tidak jenuh rantai panjang, dianjurkan untuk
mengkonsumsi ikan seminggu 2-3 kali.
c. Protein
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15%
dari total kalori per hari.
Perhitungan jumlah kalori :
Laki-laki : BB idaman (kg) x 30 kalori
Perempuan : BB idaman (kg) x 25 kalori
Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi

16
(20%), makan siang (30%), makan malam (25%) serta 2-3 porsi
ringan (10-15%) di antara makan besar.
3. Latihan Jasmani
Jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan dengan teratur 3-5
kali per minggu dengan durasi 30-60 menit. Latihan jasmani yang
dipilih sebaiknya yang disenangi serta memungkin untuk dilakukan dan
hendaknya melibatkan otot-otot besar.
4. Terapi Farmakologis
Golongan Insulin Sensitizing yaitu yang memperbaiki sensitivitas
insulin ;
 Biguanid
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai ialah
metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di
usus dan hati, tidak dimetabolisme tapi dikeluarkan secara cepat
melalui ginjal. Karena cepatnya proses tersebut maka metformin
biasanya diberikan 2-3 kali sehari kecuali dalam bentuk extended
release. Efek samping yang terjadi dapat berupa asidosis laktat dan
untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal( kreatinin > 1,3 mg/dl pada wanita
dan > 1,5 mg/dl pada pria) atau pada gangguan fungsi hati dan
gagal jantung serta harus hati-hati pada orang lanjut usia.
Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya
terhadap kerja insulin pada tingkat seluler,distal reseptor insulin
dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan
pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa
darah dan juga diduga menghambat absorpsi glukosa di usus
sesudah asupan makan. Setelah diberikan secara oral, metformin
akan mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan
dieksresikan lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2
jam.
Metformin dapat menurunkan glukosa darah tapi tidak
menyebabkan hipoglikemik. Pemakaian tunggal metformin dapat

17
menurunkan glukosa darah sampai 20% dan konsentrasi insulin
plasma pada keadaa basal juga turun. Pada pemakaian kombinasi
dengan sulfonilurea, hipoglikemik dapat terjadi akibat pengaruh
sulfonilureanya. Metformin tidak menyebabkan kenaikan berat
badan seperti pada pemakaian sulfonilurea. Pada pemakaian
kombinasi metformin dengan insulin dapat dipertimbangkan untuk
pasien gemuk dengan glikemia yang sukar dikendalikan.
 Glitazone atau Thiazolidinediones
Obat ini dapat diberikan secara oral dan monoterapinya dapat
memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa sebanyak 59-80
mg/dl dan A1C 1,4-2,6% dibandingkan dengan plasebo. Glitazone
merupakan agonis peroxicame activated receptor gamma (PPAR)
yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma terdapat
dijaringan target kerja insulin yang merupakan regulator
homeostatis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin. Glitazone
dapat merangsang ekskresi beberapa protein yang dapat
memperbaiki sensitifitas insulin dan memperbaiki glikemia serta
dapat mempengaruhi ekspresi dan pelepasan mediator resistensi
insulin seperti TNF-alpha dan leptin.
Glitazone diabsorpsi dengan cepat dan mencapai konsentrasi
tertinggi setelah 1-2 jam dan makanan tidak mempengaruhi
farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar 3-4 jam bagi
rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazone. Obat ini dapat
digunakan dalam monoterapi ataupun kombinasi dengan
metformin dan sekretago insulin. Secara klinik rosiglitazone dapat
diberikan 4 & 8 mg/hr ( dosis tunggal/terbagi 2x sehari)
memperbaiki glukosa darah puasa sampai 55 mg/dl. Sedangkan
pioglitazone sebagai monoterapi/kombinasi dapat menurunkan
glukosa darah dengan dosis 45 mg/dl.

18
Golongan Sekretorik Insulin
Mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin
oleh sel beta pankreas. Golongan ini berupa sulfonilurea dan glinid.
 Sulfonilurea
Efek hipoglikemi sulfonilurea adalah dengan merangsang
channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas.
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas
untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Karena itu hanya dapat
bermanfaat pada pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk
sekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai untuk DM
tipe 1. Efek akut obat golongan sulfonil urea berbeda dengan efek
pada pemakaian jangka lama. Glibenklamid misalnya mempunyai
masa paruh 4 jam pada pemakaian akut tapi pemakaian jangka
lama > 12 minggu, masa paruhnya memanjang sampai 12 jam.
Karena itu, dianjurkan hanya sekali sehari. Glibenklamid
menurunkan glukosa darah puasa (36%) lebih besar dari glukosa
sesudah makan (21%). Pada pemakaian jangka lama efektifitas
golongan obat ini dapat berkurang.
Pemakaian sulfonilurea selalu dimulai dengan dosis rendah
untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Dosis
permulaannya tergantung pada beratnya hiperglikemia. Bila
konsentrasi glukosa darah puasa < 200 mg/dl, SU sebaiknya
dimulai dengan dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2
minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130 mg/dl. Bila
glukosa darah puasa > 200 mg/dl dapat diberikan dosis awal yang
lebih besar . Obat ini sebaiknya diberi setengah jam sebelum
makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberi
sekali sehari sebaiknya diberi pada waktu makan pagi atau pada
makan makanan porsi terbesar.
 Glinid
Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea dan memiliki
struktur yang mirip tapi tidak mempunyai efek sepertinya.

19
Repaglinid & nateglinid diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian
oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati
sehingga diberikan 2-3 kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan
glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang
singkat karena lama menempel pada kompleks SUR sehingga
dapat menurunkan ekuivalen A1C pada SU.
Nateglinid mempunyai masa tinggal lebih singkat dan tidak
menurunkan glukosa darah puasa. Sehingga keduanya merupakan
sekretagok yang khusus menurunkan glukosa pascaprandial dengan
efek hipoglikemik yang minimal.
Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa
glukosidase didalam saluran cerna sehingga menurunkan penyerapan
glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja
dilumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan tidak
berpengaruh pada kadar insulin.
Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa gejala
gastrointestinal seperti meteorismus,diare. Acarbose dapat digunakan
sebagai monoterapi atau kombinasi dengan insulin,metformin,glitazone
atau sulfonilurea. Untuk mendapat efek maksimal obat ini harus
digunakan pada saat makanan utama karena merupakan penghambat
kompetitif dan sudah harus ada pada saat kerja enzimatik pada saat
yang sama karbohidrat berada diusus halus. Monoterapi acarbose dapat
menurunkan glukosa postprandial 40-60 mg/dl dan glukosa puasa rata-
rata 10-20 mg/dl. Sedangkan dengan terapi kombinasi akan
menurunkan glukosa postprandial sebesar 20-30 mg/dl dari keadaan
sebelumnya.
Dipeptidyl Peptidase-4 inhibitors DPP-4 inhibitor
DPP-4 merupakan protein membran yang diekspresikan pada
berbagai jaringan termasuk sel imun. DPP-4 Inhibitor adalah molekul
kecil yang meningkatkan efek GLP-1 dan GIP yaitu meningkatkan
“glucose- mediated insulin secretion” dan mensupres sekresi glukagon.

20
Penelitian klinik menunjukkan bahwa DPP-4 Inhibitor menurunkan
A1C sebesar 0,6-0,9 %.Golongan obat ini tidak meninmbulkan
hipoglikemia bila dipakai sebagai monoterapi. Obat yang termasuk
golongan ini : sitagliptin, vildagliptin, saxagliptin, and linagliptin.
Insulin
Terapi insulin diperlukan pada keadaan:
 Penurunan BB yang cepat
 Hiperglikemia berat disertai ketosis
 Ketoasidosis diabetik
 Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
 Hiperglikemia dengan asidosis laktat
 Stres berat( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )
 Kehamilan dengan DM / DMG yang tidak terkendali dengan TGM
 Gangguan fungsi hati/ginjal berat
 Kontraindikasi/alergi dengan OHO
 Kanker
 Sirosis hati
 TBC paru
 Fraktur
 Tirotoksikosis
3.6 Komplikasi

Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi 2 kategori


mayor yaitu komplikasi metabolik akut dan komplikasi-komplikasi
vaskular jangka panjang.
1. Komplikasi metabolik akut
 Ketoasidosis Diabetik (DKA)
Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami
hiperglikemia dan glukosuria barat, penurunan lipogenesis,
peningkatan lipolisis, dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas
disertai pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat dan
aseton). Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis.

21
Peningkatan produksi keton meningkatkan bebas ion hidrogen dan
asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat
menyebabkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan
kehilangan elektrolit. Pasien dapat mengalami hipotensi dan syok.
Akhirnya akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan
mengalami koma dan meninggal. DKA ditangani dengan
perbaikan kekacauan metabolik akibat kekurangan insulin,
pemulihan keseimbangan air dan elektrolit, dan pengobatan
keadaan yang mempercepat ketoasidosis (infeksi).
 Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik (HHNK)
Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum >600 mg/dl.
Hiperglikemia mneyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik
dan dehidrasi berat. Pengobatan HHNK adalah rehidrasi,
penggantian elektrolitdan insulin reguler.
 Hipoglikemia
Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin
(berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan palpitasi), juga akibat
kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh,
sensorium yang tumpul dan koma). Penatalaksanaan hipoglikemia
adalah perlu segera diberikan karbohidrat, baik oral maupun
intravena.
2. Komplikasi kronik jangka panjang
 Mikroangiopati : retinopati diabetik, nefropati diabetik, neuropati
diabetik.
Nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien
diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300
mg/24 jam atau >200 μg/menit) pada minimal 2 kali pemeriksaan
dalam kurun waktu 3-6 bulan.
 Makroangiopati
Makroangiopati diabetik akan mengakibatkan penyumbatan
vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat
mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai

22
kaludikasio intermiten dan gangren pada ekstrimitas serta
insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteria
koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark
miokardium.
3.7 Ulkus Diabetikum

Ulkus diabetikum merupakan salah satu komplikasi diabetes mellitus


yang berupa kematian jaringan akibat kekurangan aliran darah, biasanya
terjadi dibagian ujung kaki atau tempat tumpuan tubuh. Gambaran luka
berupa adanya ulkus diabetik pada punggung kaki kanan sudah mencapai
tendon atau tulang sehingga kaki diabetik pada penderita ini mungkin
dapat dimasukkan pada derajat III klasifikasi kaki diabetik menurut
Wagner. Sedangkan pada kaki kiri terdapat gangren pada seluruh kaki
sehingga dapat dimasukkan pada derajat V klasifikasi kaki diabetik
menurut Wagner.
3.8 Patofisiologi
1. Neuropati Perifer
Neuropati perifer pada diabetes adalah multifaktorial dan
diperkirakan merupakan akibat penyakit vaskuler yang menutupi vasa
nervorum, disfungsi endotel, defisiensi mioinositol-perubahan sintesis
mielin dan menurunnya aktivitas Na-K ATPase, hiperosmolaritas
kronis, menyebabkan edema pada saraf tubuh serta pengaruh
peningkatan sorbitol dan fruktose.
Neuropati disebabkan karena peningkatan gula darah yang lama
sehingga menyebabkan kelainan vaskuler dan metabolik. Peningkatan
kadar sorbitol intraseluler, menyebabkan saraf membengkak dan
terganggu fungsinya. Penurunan kadar insulin sejalan dengan
perubahan kadar peptida neurotropik, perubahan metabolisme lemak,
stres oksidatif, perubahan kadar bahan vasoaktif seperti nitrit oxide
mempengaruhi fungsi dan perbaikan saraf. Kadar glukosa yang tidak
teregulasi meningkatkan kadar advanced glycosylated end product
(AGE) yang terlihat pada molekul kolagen yang mengeraskan
ruangan-ruangan yang sempit pada ekstremitas superior dan inferior

23
(carpal, cubital, dan tarsal tunnel). Kombinasi antara pembengkakan
saraf yang disebabkan berbagai mekanisme dan penyempitan
kompartemen karena glikosilasi kolagen menyebabkan double crush
syndrome dimana dapat menimbulkan kelainan fungsi saraf motorik,
sensorik dan autonomik.
Perubahan neuropati yang telah diamati pada kaki diabetik
merupakan akibat langsung dari kelainan pada sistem persarafan
motorik, sensorik dan autonomik. Hilangnyafungsi sudomotor pada
neuropati otonomik menyebabkan anhidrosis dan hiperkeratosis. Kulit
yang terbuka akan mengakibatkan masuknya bakteri dan
menimbulkan infeksi. Berkurangnya sensibilitas kulit pada penonjolan
tulang dan sela-sela jari sering menghambat deteksi dari luka-luka
kecil pada kaki.
Neuropati autonomik mengakibatkan 2 hal yaitu anhidrosis dan
pembukaan arteriovenous (AV) shunt. Neuropati motorik paling
sering mempengaruhi otot intrinsik kaki sebagai akibat dari tekanan
saraf plantaris medialis dan lateralis.
2. Penyakit Arterial
Penderita diabetes, seperti orang tanpa diabetes, kemungkinan
akan menderita penyakit atherosklerosis pada arteri besar dan sedang,
misalnya pada aortailiaca, dan femoropoplitea. Alasan dugaan bentuk
penyakit arteri ini pada penderita diabetes adalah hasil beberapa
macam kelainan metabolik, meliputi kadar Low Density Lipoprotein
(LDL), Very Low Density Lipoprotein (VLDL), peningkatan kadar
faktor von Willbrand plasma, inhibisi sintesis prostasiklin,
peningkatan kadar fibrinogen plasma, dan peningkatan adhesifitas
platelet. Secara keseluruhan, penderita diabetes mempunyai
kemungkinan besar menderita atherosklerosis, terjadi penebalan
membran basalis kapiler, hialinosis arteriolar, dan proliferasi endotel.
Peningkatan viskositas darah yang terjadi pada pasien diabetes
timbul berawal pada kekakuan mernbran sel darah merah sejalan
dengan peningkatan aggregasi eritrosit, Karena sel darah merah

24
bentuknya harus lentur ketika melewati kapiler, kekakuan pada
membran sel darah merah dapat menyebabkan hambatan aliran dan
kerusakan pada endotelial. Glikosilasi non enzimatik protein spectrin
membran sel darah merah bertanggung jawab pada kekakuan dan
peningkatan aggregasi yang telah terjadi. Akibat yang terjadi dari dua
hal tersebut adalah peningkatan viskositas darah. Mekanisme
glikosilasi hampir sama seperti yang terlihat dengan hemoglobin dan
berbanding lurus dengan kadar glukosa darah.
Penurunan aliran darah sebagai akibat perubahan viskositas
memacu meningkatkan kompensasinya dalam tekanan perfusi
sehingga akan meningkatkan transudasi melalui kapiler dan
selanjutnya akan meningkatkan viskositas darah. Iskemia perifer yang
terjadi lebih lanjut disebabkan peningkatan afinitas hemoglobin
terglikolasi terhadap molekul oksigen. Efek merugikan oleh
hiperglikemia terhadap aliran darah dan perfusi jaringan sangatlah
signifikan.

3. Deformitas kaki
Perubahan destruktif yang terjadi pada kaki Charcot
menyebabkan kerusakan arkus longitudinal medius, dimana akan

25
menimbulkan gait biomekanik. Perubahan pada calcaneal pitch
menyebabkan regangan ligamen pada metatarsal, cuneiform, navicular
dan tulang kecil lainnya dimana akan menambah panjang lengkung
pada kaki. Perubahan degeneratif ini nantinya akan merubah cara
berjalan (gait), mengakibatkan kelainan tekanan tumpuan beban,
dimana menyebabkan kolaps pada kaki. Ulserasi, infeksi, gangren dan
kehilangan tungkai merupakan hasil yang sering didapatkan jika
proses tersebut tidak dihentikan pada stadium awal.
4. Tekanan
Diabetes dapat memberikan dampak buruk pada beberapa sistem
organ termasuk sendi dan tendon. Hal biasanya tejadi pada tendon
achiles dimana advanced glycosylated end prodruct (AGEs)
berhubungan dengan molekul kolagen pada tendon sehingga
menyebabkan hilangnya elastisitas dan bahkan pemendekan tendon.
Akibat ketidak mampuan gerakan dorsofleksi telapak kaki, dengan
kata lain arkus dan kaput metatarsal mendapatkan tekanan tinggi dan
lama karena adanya gangguan berjalan.
Hilangnya sensasi pada kaki akan menyebabkan tekanan yang
berulang, injuri dan fraktur, kelainan struktur kaki, misalnya
hammertoes, callus, kelainan metatarsal, atau kaki Charcot; tekanan
yang terus menerus dan pada akhirnya terjadi kerusakan jaringan
lunak. Tidak terasanya panas dan dingin, tekanan sepatu yang salah,
kerusakan akibat benda tumpul atau tajam dapat menyebabkan
pengelepuhan dan ulserasi. Faktor ini ditambah aliran darah yang
buruk meningkatkan resiko kehilangan anggota gerak pada penderita
diabetes.
3.9 Klasifikasi Kaki Diabetik
Klasifikasi Ulkus diabetika pada penderita diabetes melitus terdiri
dari 6 tingkat (Boulton, Meneses dan Ennis (1999); Waspadji (2007) dan
Adhiarta (2011). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2.5.

26
Tabel 3.1 Klasifikasi kaki Diabetik menurut Wagner

Tingkat Lesi
0 Tidak ada luka terbuka, kulit utuh
1 Ulkus superfisialis, terbatas pada kulit
2 Ulkus menyebar ke ligament, tendon, sendi, fascia dalam
tanpa adanya abses atau osteomyelitis
3 Ulkus disertai abses, osteomyelitis atau sepsis sendi
4 Gangrene yang terlokalisir pada ibu jari, bagian depan kaki
atau tumit
5 Gangrene yang membesar meliputi kematian semua jaringan
kaki
Tabel 3.2 Klasifikasi PEDIS
KLASIFIKASI PEDIS
Gangguan Perfusi 1 = Tidak ada
2 = Penyakit arteri perifer tidak parah
3 = Iskemia parah pada kaki
Ukuran (Extend) dalam 1 = Permukaan kaki hanya sampai
Dalam mm dan Dalamnya dermis
(Depth) 2 = Luka pada kaki sampai di bawah
dermis meliputi fasia, otot, atau
tendon
3 = Sudah mencapai tulang dan sendi
Infeksi 1 = Tidak ada gejala
2 = Hanya infeksi pada kulit dan
jaringan tisu
3 = Eritema > 2cm atau infeksi meliputi
subkutan tetapi tidak ada tanda
inflamasi
4 = Infeksi dengan manifestasi demam,
leukosotosis, hipotensi, dan azotemia
Hilang Sensasi 1 = Tidak ada
2 = Ada

27
3.10 Penatalaksanaan Ulkus Diabetes
Debridement
Debridement menjadi salah satu tindakan yang terpenting dalam
perawatan luka. Debridement adalah suatu tindakan untuk membuang
jaringan nekrosis, callus dan jaringan fibrotik. Jaringan mati yang dibuang
sekitar 2-3 mm dari tepi luka ke jaringan sehat. Debridement meningkatkan
pengeluaran faktor pertumbuhan yang membantu proses penyembuhan luka.
Metode debridement yang sering dilakukan yaitu surgical (sharp),
autolitik, enzimatik, kimia, mekanis dan biologis. Metode surgical, autolitik
dan kimia hanya membuang jaringan nekrosis (debridement selektif),
sedangkan metode mekanis membuang jaringan nekrosis dan jaringan hidup
(debridement non selektif).
Surgical debridement merupakan standar baku pada ulkus diabetes
dan metode yang paling efisien, khususnya pada luka yang banyak terdapat
jaringan nekrosis atau terinfeksi. Pada kasus dimana infeksi telah merusak
fungsi kaki atau membahayakan jiwa pasien, amputasi diperlukan untuk
memungkinkan kontrol infeksi dan penutupan luka selanjutnya.
Debridement enzimatis menggunakan agen topikal yang akan
merusak jaringan nekrotik dengan enzim proteolitik seperti papain,
colagenase, fibrinolisin-Dnase, papainurea, streptokinase, streptodornase
dan tripsin. Agen topikal diberikan pada luka sehari sekali, kemudian
dibungkus dengan balutan tertutup. Penggunaan agen topikal tersebut tidak
memberikan keuntungan tambahan dibanding dengan perawatan terapi
standar. Oleh karena itu, penggunaannya terbatas dan secara umum
diindikasikan untuk memperlambat ulserasi dekubitus pada kaki dan pada
luka dengan perfusi arteri terbatas.
Debridement mekanis mengurangi dan membuang jaringan nekrotik
pada dasar luka. Teknik debridement mekanis yang sederhana adalah pada
aplikasi kasa basah-kering (wet-to-dry saline gauze). Setelah kain kasa
basah dilekatkan pada dasar luka dan dibiarkan sampai mengering, debris
nekrotik menempel pada kasa dan secara mekanis akan terkelupas dari dasar
luka ketika kasa dilepaskan.

28
Offloading
Offloading adalah pengurangan tekanan pada ulkus, menjadi salah
satu komponen penanganan ulkus diabetes. Ulserasi biasanya terjadi pada
area telapak kaki yang mendapat tekanan tinggi. Bed rest merupakan satu
cara yang ideal untuk mengurangi tekanan tetapi sulit untuk dilakukan.
Total Contact Casting (TCC) merupakan metode offloading yang
paling efektif. TCC dibuat dari gips yang dibentuk secara khusus untuk
menyebarkan beban pasien keluar dari area ulkus. Metode ini
memungkinkan penderita untuk berjalan selama perawatan dan bermanfaat
untuk mengontrol adanya edema yang dapat mengganggu penyembuhan
luka. Meskipun sukar dan lama, TCC dapat mengurangi tekanan pada luka
dan itu ditunjukkan oleh penyembuhan 73-100%. Kerugian TCC antara lain
membutuhkan ketrampilan dan waktu, iritasi dari gips dapat menimbulka
luka baru, kesulitan untuk menilai luka setiap harinya.
Karena beberapa kerugian TCC tersebut, lebih banyak digunakan Cam
Walker, removable cast walker, sehingga memungkinkan untuk inspeksi
luka setiap hari, penggantian balutan, dan deteksi infeksi dini.
Penanganan Infeksi
Ulkus diabetes memungkinkan masuknya bakteri, serta
menimbulkan infeksi pada luka. Karena angka kejadian infeksi yang tinggi
pada ulkus diabetes, maka diperlukan pendekatan sistemik untuk penilaian
yang lengkap. Diagnosis infeksi terutama berdasarkan keadaan klinis seperti
eritema, edema, nyeri, lunak, hangat dan keluarnya nanah dari luka.
Penentuan derajat infeksi menjadi sangat penting.
Menurut The Infectious Diseases
Society of America membagi infeksi menjadi 3 kategori, yaitu:
 Infeksi ringan : apabila didapatkan eritema < 2 cm
 Infeksi sedang: apabila didapatkan eritema > 2 cm
 Infeksi berat : apabila didapatkan gejala infeksi sistemik.
Ulkus diabetes yang terinfeksi dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
 Non-limb threatening : selulitis < 2cm dan tidak meluas sampai
tulang atau sendi.

29
 Limb threatening : selulitis > 2cm dan telah meacapai tulang atau
sendi, serta adanya infeksi sistemik.
Penelitian mengenai penggunaan antibiotika sebagai terapi ulkus
diabetes masih sedikit, sehingga sebagian besar didasarkan pada
pengalaman klinis. Terapi antibiotik harus didasarkan pada hasil kuftur
bakteri dan kemampuan toksistas antibiotika tersebut.
Pada infeksi yang tidak membahayakan (non-limb threatening)
biasanya disebabkan oleh staphylokokus dan streptokokus. Infeksi ringan
dan sedang dapat dirawat poliklinis dengan pemberian antibiotika oral,
misalnya cephalexin, amoxilin-clavulanic, moxifloxin atau clindamycin.
Sedangkan pada infeksi berat biasanya karena infeksi polimikroba, seperti
staphylokokus, streptokokus, enterobacteriaceae, pseudomonas, enterokokus
dan bakteri anaerob misalnya bacteriodes, peptokokus, peptostreptokokus.
Pada infeksi berat harus dirawat dirumah sakit, dengan pemberian
antibiotika yang mencakup gram posistif dan gram negatif, serta aerobik dan
anaerobik. Pilihan antibiotika intravena untuk infeksi berat meliputi
imipenem-cilastatin, B-lactam B-lactamase (ampisilin-sulbactam dan
piperacilin tazobactam), dan cephalosporin spektrum luas.

30

Anda mungkin juga menyukai