Anda di halaman 1dari 8

1

Kisah Penyembelihan

Pada suatu hari, Nabi Ibrahim AS menyembelih kurban fisabilillah berupa 1.000 ekor
domba, 300 ekor sapi, dan 100 ekor unta. Banyak orang mengaguminya, bahkan para
malaikat pun terkagum-kagum atas kurbannya.

“Kurban sejumlah itu bagiku belum apa-apa. Demi Allah! Seandainya aku memiliki anak
lelaki, pasti akan aku sembelih karena Allah dan aku kurbankan kepada-Nya,” kata Nabi
Ibrahim AS, sebagai ungkapan karena Sarah, istri Nabi Ibrahim belum juga mengandung.

Kemudian Sarah menyarankan Ibrahim agar menikahi Hajar, budaknya yang negro, yang
diperoleh dari Mesir. Ketika berada di daerah Baitul Maqdis, beliau berdoa kepada Allah
SWT agar dikaruniai seorang anak, dan doa beliau dikabulkan Allah SWT. Ada yang
mengatakan saat itu usia Ibrahim mencapai 99 tahun. Dan karena demikian lamanya
maka anak itu diberi nama Isma'il, artinya "Allah telah mendengar". Sebagai ungkapan
kegembiraan karena akhirnya memiliki putra, seolah Ibrahim berseru: "Allah mendengar
doaku".

Ketika usia Ismail menginjak kira-kira 7 tahun (ada pula yang berpendapat 13 tahun),
pada malam tarwiyah, hari ke-8 di bulan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim AS bermimpi ada
seruan, “Hai Ibrahim! Penuhilah nazarmu (janjimu).”

Pagi harinya, beliau pun berpikir dan merenungkan arti mimpinya semalam. Apakah
mimpi itu dari Allah SWT atau dari setan? Dari sinilah kemudian tanggal 8 Dzulhijah
disebut sebagai hari tarwiyah (artinya, berpikir/merenung).

Pada malam ke-9 di bulan Dzulhijjah, beliau bermimpi sama dengan sebelumnya. Pagi
harinya, beliau tahu dengan yakin mimpinya itu berasal dari Allah SWT. Dari sinilah hari
ke-9 Dzulhijjah disebut dengan hari ‘Arafah (artinya mengetahui), dan bertepatan pula
waktu itu beliau sedang berada di tanah Arafah.

Malam berikutnya lagi, beliau mimpi lagi dengan mimpi yang serupa. Maka, keesokan
harinya, beliau bertekad untuk melaksanakan nazarnya (janjinya) itu. Karena itulah, hari
itu disebut denga hari menyembelih kurban (yaumun nahr). Dalam riwayat lain
dijelaskan, ketika Nabi Ibrahim AS bermimpi untuk yang pertama kalinya, maka beliau
memilih domba-domba gemuk, sejumlah 100 ekor untuk disembelih sebagai kurban.
2

Tiba-tiba api datang menyantapnya. Beliau mengira bahwa perintah dalam mimpi sudah
terpenuhi. Untuk mimpi yang kedua kalinya, beliau memilih unta-unta gemuk sejumlah
100 ekor untuk disembelih sebagai kurban. Tiba-tiba api datang menyantapnya, dan
beliau mengira perintah dalam mimpinya itu telah terpenuhi.

Pada mimpi untuk ketiga kalinya, seolah-olah ada yang menyeru, “Sesungguhnya Allah
SWT memerintahkanmu agar menyembelih putramu, Ismail.” Beliau terbangun seketika,
langsung memeluk Ismail dan menangis hingga waktu Shubuh tiba. Untuk melaksanakan
perintah Allah SWT tersebut, beliau menemui istrinya terlebih dahulu, Hajar (ibu Ismail).
Beliau berkata, “Dandanilah putramu dengan pakaian yang paling bagus, sebab ia akan
kuajak untuk bertamu kepada Allah.” Hajar pun segera mendandani Ismail dengan
pakaian paling bagus serta meminyaki dan menyisir rambutnya.

Kemudian beliau bersama putranya berangkat menuju ke suatu lembah di daerah Mina
dengan membawa tali dan sebilah pedang. Pada saat itu, Iblis terkutuk sangat luar biasa
sibuknya dan belum pernah sesibuk itu. Mondar-mandir ke sana ke mari. Ismail yang
melihatnya segera mendekati ayahnya.

“Hai Ibrahim! Tidakkah kau perhatikan anakmu yang tampan dan lucu itu?” seru Iblis.

“Benar, namun aku diperintahkan untuk itu (menyembelihnya),” jawab Nabi Ibrahim AS.

Setelah gagal membujuk ayahnya, Iblsi pun datang menemui ibunya, Hajar. “Mengapa
kau hanya duduk-duduk tenang saja, padahal suamimu membawa anakmu untuk
disembelih?” goda Iblis.

“Kau jangan berdusta padaku, mana mungkin seorang ayah membunuh anaknya?”
jawab Hajar.

“Mengapa ia membawa tali dan sebilah pedang, kalau bukan untuk menyembelih
putranya?” rayu Iblis lagi.

“Untuk apa seorang ayah membunuh anaknya?” jawab Hajar balik bertanya.

“Ia menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk itu”, goda Iblis meyakinkannya.
3

“Seorang Nabi tidak akan ditugasi untuk berbuat kebatilan. Seandainya itu benar,
nyawaku sendiri pun siap dikorbankan demi tugasnya yang mulia itu, apalagi hanya
dengan mengurbankan nyawa anaku, hal itu belum berarti apa-apa!” jawab Hajar
dengan mantap.

Iblis gagal untuk kedua kalinya, namun ia tetap berusaha untuk menggagalkan upaya
penyembelihan Ismail itu. Maka, ia pun menghampiri Ismail seraya membujuknya, “Hai
Isma’il! Mengapa kau hanya bermain-main dan bersenang-senang saja, padahal ayahmu
mengajakmu ketempat ini hanya untk menyembelihmu. Lihat, ia membawa tali dan
sebilah pedang,”

“Kau dusta, memangnya kenapa ayah harus menyembelih diriku?” jawab Ismail dengan
heran. “Ayahmu menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk itu” kata Iblis
meyakinkannya.

“Demi perintah Allah! Aku siap mendengar, patuh, dan melaksanakan dengan sepenuh
jiwa ragaku,” jawab Ismail dengan mantap.

Ketika Iblis hendak merayu dan menggodanya dengan kata-kata lain, mendadak Ismail
memungut sejumlah kerikil ditanah, dan langsung melemparkannya ke arah Iblis hingga
butalah matanya sebelah kiri. Maka, Iblis pun pergi dengan tangan hampa. Dari sinilah
kemudian dikenal dengan kewajiban untuk melempar kerikil (jumrah) dalam ritual
ibadah haji.

Sesampainya di Mina, Nabi Ibrahim AS berterus terang kepada putranya, “Wahai


anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
pikirkanlah apa pendapatmu?…” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 102).

“Ia (Ismail) menjawab, ‘Hai bapakku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu,
Insya Allah! Kamu mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Ash-Shâffât,
[37]: 102).

Mendengar jawaban putranya, legalah Nabi Ibrahim AS dan langsung ber-tahmid


(mengucapkan Alhamdulillâh) sebanyak-banyaknya.
4

Untuk melaksanakan tugas ayahnya itu Ismail berpesan kepada ayahnya, “Wahai
ayahanda! Ikatlah tanganku agar aku tidak bergerak-gerak sehingga merepotkan.
Telungkupkanlah wajahku agar tidak terlihat oleh ayah, sehingga tidak timbul rasa iba.
Singsingkanlah lengan baju ayah agar tidak terkena percikan darah sedikitpun sehingga
bisa mengurangi pahalaku, dan jika ibu melihatnya tentu akan turut berduka.”

“Tajamkanlah pedang dan goreskan segera dileherku ini agar lebih mudah dan cepat
proses mautnya. Lalu bawalah pulang bajuku dan serahkan kepada agar ibu agar
menjadi kenangan baginya, serta sampaikan pula salamku kepadanya dengan berkata,
‘Wahai ibu! Bersabarlah dalam melaksanakan perintah Allah.’ Terakhir, janganlah ayah
mengajak anak-anak lain ke rumah ibu sehingga ibu sehingga semakin menambah
belasungkawa padaku, dan ketika ayah melihat anak lain yang sebaya denganku,
janganlah dipandang seksama sehingga menimbulka rasa sedih di hati ayah,” sambung
Isma'il.

Setelah mendengar pesan-pesan putranya itu, Nabi Ibrahim AS menjawab, “Sebaik-baik


kawan dalam melaksanakan perintah Allah SWT adalah kau, wahai putraku tercinta!”

Kemudian Nabi Ibrahim as menggoreskan pedangnya sekuat tenaga ke bagian leher


putranya yang telah diikat tangan dan kakinya, namun beliau tak mampu
menggoresnya.

Ismail berkata, “Wahai ayahanda! Lepaskan tali pengikat tangan dan kakiku ini agar aku
tidak dinilai terpaksa dalam menjalankan perintah-Nya. Goreskan lagi ke leherku agar
para malaikat megetahui bahwa diriku taat kepada Allah SWT dalam menjalan perintah
semata-mata karena-Nya.”

Nabi Ibrahim as melepaskan ikatan tangan dan kaki putranya, lalu beliau hadapkan
wajah anaknya ke bumi dan langsung menggoreskan pedangnya ke leher putranya
dengan sekuat tenaganya, namun beliau masih juga tak mampu melakukannya karena
pedangnya selalu terpental. Tak puas dengan kemampuanya, beliau menghujamkan
pedangnya kearah sebuah batu, dan batu itu pun terbelah menjadi dua bagian. “Hai
pedang! Kau dapat membelah batu, tapi mengapa kau tak mampu menembus daging?”
gerutu beliau.
5

Atas izin Allah SWT, pedang menjawab, “Hai Ibrahim! Kau menghendaki untuk
menyembelih, sedangkan Allah penguasa semesta alam berfirman, ‘jangan disembelih’.
Jika begitu, kenapa aku harus menentang perintah Allah?”

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (bagimu).
Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shâffât, [37]:
106)

Menurut satu riwayat, bahwa Ismail diganti dengan seekor domba kibas yang dulu
pernah dikurbankan oleh Habil dan selama itu domba itu hidup di surga. Malaikat Jibril
datang membawa domba kibas itu dan ia masih sempat melihat Nabi Ibrahim AS
menggoreskan pedangnya ke leher putranya. Dan pada saat itu juga semesta alam
beserta seluruh isinya ber-takbir (Allâhu Akbar) mengagungkan kebesaran Allah SWT
atas kesabaran kedua umat-Nya dalam menjalankan perintahnya. Melihat itu, malaikai
Jibril terkagum-kagum lantas mengagungkan asma Allah, “Allâhu Akbar, Allâhu Akbar,
Allâhu Akbar”. Nabi Ibrahim AS menyahut, “Lâ Ilâha Illallâhu wallâhu Akbar”. Ismail
mengikutinya, “Allâhu Akbar wa lillâhil hamd”. Kemudian bacaan-bacaan tersebut
dibaca pada setiap hari raya kurban (Idul Adha).

Sumber: Nasiruddin, S.Ag, MM, 2007, Kisah Orang-Orang Sabar, Republika, Jakarta
dengan beberapa perubahan
6

Hakikat Qurban
Idul Qurban berasal dari dua kata dalam bahasa Arab, Ied dan Qurban. "Ied" dari
kata ‘aada -ya'uudu, bermakna ‘kembali'. Qurban, dari kataqaraba-yaqrabu,
bermakna ‘mendekat'. ‘Qarib'adalah ‘dekat', dan ‘Al-Muqarrabuun' adalah‘(hamba)
yang didekatkan'. Idul Qurban kemudian bisa kita maknai sebagai sebuah hari dimana
kita berupaya kembali pada hakikat kemanusiaan kita yang mendambakan dekat dengan
yang Maha Rahim. Banyak cara yang bisa kita tempuh untuk mendekat kepada-
Nya (taqarrub Ilallah),

Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah
dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di
jalan-Nya, agar kamu beruntung" (QS. Al-Maidah: 35).

"Ketahuilah, sesungguhnya infak itu suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri
(kepada Allah)." (QS. At-Taubah: 99)

"Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah". (QS. 108: 2)

Qurban tidak saja bermakna memotong seekor kambing yang terbaik, melainkan lebih
jauh dari itu, yakni mengurbankan kecintaan kepada selain Allah SWT, khususnya
kecintaan terhadap sesuatu yang mendominasi ruang hati ini, agar tauhid menjadi
bersih, agar Allah mengaruniai makna dari ‘Ahadiyah’ secara hakiki. Sebagaimana kisah
Nabiyullah Ibrahim,as., yang begitu lama mendambakan seorang putra dan dengan
khusyu melantunkan doa-doa. Setelah dikaruniai seorang putra yang bernama Ismail,
membuat hatinya berpaling, yang tadinya hanya terisi Allah SWT mulai berbagi, oleh
karenanya Allah memerintahkan menyembelih putra tersayang ini, agar hatinya kembali
murni, hanya mencintai Allah SWT saja.

Tentu logika pemikiran kita perlu diajak untuk memaknai, mengapa akhirnya kita
mafhumi banyak sekali umat Islam, para saudara kita yang setiap tahun berhasil
mengeluarkan sebagian dananya untuk berkurban, namun tidak ada apapun yang
berhasil mereka peroleh dari penyisihan sebagian uangnya itu, selain hal tersebut lewat
begitu saja dengan tidak membawa perubahan sedikitpun kedalam dirinya. Itu
menunjukkan bahwa makna Idul Qurban belum berhasil diperolehnya. Ketika kedekatan
dengan Allah tidak bertambah, jiwa tidak menjadi semakin halus dan bersih, dan jasad
tidak semakin beramal baik, maka kita sebenarnya tidak mendapat manfaat dari nilai-
nilai Idul Qurban. Padahal sebenarnya melalui Idul Qurban itu, kita dapat menemukan,
bukan saja amal baik, tetapi bisa jadi Allah berkenan menuntun kepada amal shalih-nya
7

masing-masing. Sehingga pada akhirnya ‘Idul Qurban, sebagaimana maknanya, juga


menjadi sebuah pintu ke arah tangga transformasi diri seorang hamba untuk menjadi
‘Al-Muqarrabuun’.
Nama lain Idul Qurban, adalah Idul Adha. Adha memiliki makna penyembelihan. Harus
ada yang kita sembelih pada hari itu. Bukan persoalan apa kita memiliki harta atau tidak
untuk menyembelih. Kita yang termasuk belum memiliki kemampuan untuk
menyembelih hewan qurban, sesungguhnya telah diberi kemampuan untuk melakukan
prosesi penyembelihan lain, menyembelih ‘kambing', 'sapi', maupun ‘hewan ternak' lain
yang beranak pinak dalam diri kita. Hewan ternak sesungguhnya tamsil dari dominasi
hawa nafsu dan syahwat kita. Tamsil segala kesesatan dan keburukan; kebodohan,
kedengkian, ketakaburan, buruk sangka, kemalasan, kecintaan pada hal-hal material dan
aspek lainnya yang harus kita sembelih dari diri kita. Allah SWT menyebut orang-orang
yang buta hati, akal dan pikirannya lebih sesat dari hewan ternak.

“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, ‘Bunuhlah dirimu dan
keluarlah dari kampungmu,” niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian
kecil dari mereka. Dan sesungguhnya jikalah mereka melaksanakan pelajaran yang
diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian adalah lebih baik bagi mereka,
dan lebih menguatkan.” (QS An Nisa 4 : 66).

Sudah waktunya sekarang, pada saat kita memasuki pergantian tahun baru ini, dan
pergantian perilaku yang baru ini, marilah kita sama-sama belajar untuk ‘membunuh
diri’ yaitu belajar untuk menyembelih dominasi aspek kedengkian, aspek ketakaburan,
aspek buruk sangka, aspek kemalasan, aspek keinginan pengakuan bahwa diri ini begitu
berharga dimata orang lain, aspek kecintaan kita pada uang dan harta benda, dan segala
aspek lainnya dalam diri kita yang memang perlu disembelih, untuk kemudian
mempersembahkan hasilnya, yaitu diri kita yang telah ‘tersembelih’ dari aspek-aspek
tersebut, kepada Allah Yang Maha Qorib.

Sudah waktunya pula kita belajar untuk ‘keluar dari kampung’ kita yaitu belajar untuk
keluar dan memerdekakan diri dari dominasi jasadiyah terhadap jiwa kita yang sejati,
dan belajar untuk keluar dari dunia fisikal dan jasadiyah ini. Kerena sesungguhnya masih
ada dunia lain, di luar ‘kampung’ kita ini yang lebih Indah dan Damai.

“Sekali-kali tidaklah daging-daging dan darahnya itu dapat mencapai Allah, melainkan
ketaqwaan yang dilakukan Ruhani kamu (yang dapat mencapai-Nya)… ” (QS Al hajj 22 :
37)
8

Bukan dagingnya, bukan darahnya, bukan uangnya. Tetapi ketaqwaan yang dilakukan
oleh ruhani kita yang dapat mencapai-Nya. Mampukah kita ber-qurban atau ber-infaq
hingga pada titik yang kita benar-benar merasa berat, karena kita mencintai qurban
sejumlah itu ?

Memang tidak mudah menyembelih semua dominasi syahwat dan hawa nafsu ini.
Untuk belajar menghargai waktu saja bukanlah hal yang sederhana, untuk belajar
memaafkan orang lain pun juga bukanlah hal remeh, apalagi kita mencoba berjuang
menemukan amal-amal shalih kita…

Tapi yang membuat kita senantiasa memiliki harapan kuat, adalah, karena Allah tidak
pernah merasa bosan menerima dan menerima terus, setiap penyesalan kita, setiap
kesadaran diri bahwa kita lemah, setiap pengakuan dosa kita, dan setiap keinginan
taubat kita. Semoga pengakuan ini menjadi tanda bahwa kita memang butuh dan selalu
membutuhkan Dia Sang Maha Pengayom dan Pembuka Jalan. Semoga kita berhasil
merayakan Idul Qurban atau Idul Adha kita dengan bersama-sama membangun
kesadaran diri.

Ya Allah, semoga pengorbanan hamba demi taqarrub kepada-Mu Engkau terima,


semoga Engkau beri pula hamba kekuatan untuk dapat menyembelih setiap dominasi
hawa nafsu dan syahwat yang senantiasa menenggelamkan hamba.

Anda mungkin juga menyukai