Anda di halaman 1dari 3

1. Undang-undang Hak Cipta, ( Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014.

)
hak cipta adalah "hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
->hak cipta terbagi mjd dua yaitu:
A. PERLINDUNGAN TERHADAP HAK MORAL PENCIPTA UNTUK:
(1)tetap mencantumkan atau tidak mencatumkan namanya pada salinan sehubungan dengan
pemakaian ciptaannya untuk umum; (
2) menggunakan nama aliasnya atau samarannya;
(3) mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi
ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya.
B. UNTUK HAK EKONOMI, perlindungannya diberikan selama hidup pencipta dan terus
berlangsung selama 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1
Januari tahun berikutnya (Pasal 58 ayat (1) UU 28 Tahun 2014). Apabila hak cipta tersebut
dimiliki oleh suatu badan hukum, maka masa perlindungannya berlaku selama 50 tahun
sejak pertama kali dilakukan pengumuman.
2. Undang-Undang No 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan (UU Perdagangan) dan UU No 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) merupakan acuan bagi setiap
pelaku usaha dalam melakukan transaksi perdagangan, baik perdagangan konvensional maupun
perdagangan melalui online atau e-commerce.
(+)1. Produk dan layanan bervariasi
2. Mempersingkat rantai distribusi
3. Pembayaran lebih mudah
4. Brand lebih dekat dengan konsumen
5. Peningkatan kualitas layanan
6. Belanja kapan saja
7. Efisiensi biaya
(-)1. Ketergantungan yang sangat kuat pada teknologi informasi dan komunikasi
2. Kurangnya undang-undang yang memadai untuk mengatur kegiatan e-commerce, baik
nasional maupun internasional
3. Budaya pasar yang menolak perdagangan elektronik (pelanggan tidak bisa menyentuh
atau mencoba produk)
4. “Hilangnya” privasi, cakupan wilayah, serta identitas dan perekonomian negara
5. Rawannya melakukan transaksi bisnis online
6. Warna dan kualitas produk yang dijual belum tentu sama antara foto yang ditampilkan di
website dengan produk asli
3. regulasi tindak pencucian uang adalah undang udnang republik indonesia nomor 24 tahun
2003 ttg perubahan atas undang undang nomor 15 tahun 2002 ttg tindak pidana pecucian
uang, dlm regulasi tsb pencucian uang adl upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui
berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah
berasal dari kegiatan yang sah/legal.
->Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, di mana pencucian uang dibedakan dalam tiga tindak pidana:
1. Tindak pidana pencucian uang Aktif, (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010);
2. Tindak pidana pencucian uang Pasif (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010);
3. Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil
tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada Setiap Orang yang menyembunyikan
atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau
kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
4. Hak-hak konsumen ini dilindungi undang-undang : UU no 8 thn 1999 tentang
Perlindungan Konsumen," Berikut adalah beberapa hak yang Anda dapat sebagai konsumen:
1. Hak memilih barang atau yang akan dikonsumsi
2. Hak mendapat kompensasi dan ganti rugi
3. Hak dilayani, diperlakukan dengan baik tanpa diskriminasi
4. Hak mendapat advokasi dan perlindungan serta upaya penyelesaian sengketa
5. Hak didengar pendapat dan keluhannya
6. Hak atas keamanan, kenyamanan, keselamatan dlm mengkonsumsi
7. Hak mendapat informasi yg benar, jelas, dan jujur atas apa yang akan dikonsumsi
8. Hak mendapat barang/jasa sesuai nilai tukar dengan kondisi dan jaminan yg dijanjikan
• perlindungan lain: Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27,
dan Pasal 33.
• Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No.
3821
• Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Usaha Tidak Sehat.
• Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
• Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
• Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang
Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
• Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005
tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
5. 1. Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan Umum Pasa
pasall 45 ayat (2) UUPK menyatakan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat
menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara
konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan
umum mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 45 di atas.Adapun yang berhak melakukan gugatan
terhadap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha diatur dalam Pasal 46 ayat
(1) UUPK, yaitu:
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu
yang berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan
dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan perlindungan konsumen dan
telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak
sedikit.
Pengaturan yang diberikan oleh Pasal 46 ayat (1) UUPK maksudnya adalah: 1. Bahwa secara
personal (gugatan seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan)
sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a Pasal 46 ayat (1) UUPK, penyelesaian sengketa
konsumen dapat dilakukan melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen
yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana yang ditentukan dalam
UUPK atau melalui peradilan di lingkungan peradilan umum. 2. Sedangkan gugatan yang diajukan
oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau
pemerintah sebagaimana yang dimaksud huruf b, huruf c dan huruf d Pasal 46 ayat (1) UUPK,
penyelesaian sengketa konsumen diajukan melalui peradilan umum.
2. Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan Umum
Untuk mengatasi berlikunya proses pengadilan di peradilan umum, maka UUPK memberikan solusi
untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar peradilan umum.
Pasal 45 ayat (1) UUPK menyebutkan, jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu pihak atau para pihak yang lain yang bersengketa. Ini berarti, penyelesaian
sengketa di pengadilan tetap dibuka setelah para pihak gagal menyelesaikan sengketa mereka di
luar pengadilan
Dari sekian banyak cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, UUPK dalam Pasal 52 tentang
Tugas dan Wewenang BPSK, memberikan 3 (tiga) macam carapenyelesaian sengketa, yaitu
: 1. Mediasi: Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, di mana Majelis BPSK bersifat aktif sebagai
pemerantara dan atau penasehat.
2. Artibrase: Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. Dalam
mencari penyelesaian sengketa, para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis BPSK untuk
memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi.
3. konsilasi: Cara ini ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak di mana Majelis BPSK
bertugas sebagai pemerantara antara para pihak yang bersengketa dan Majelis BPSK bersifat pasif.

Anda mungkin juga menyukai