ُضلُّ ْوا تَلَ ْن بِ ِه َما َم َّس ْكت ُ ْم تَ َما ا َ ْم َر ْي ِن فِ ْي ُك ْم ت ََر ْكت َ سنَّةُ َو هللاِ ِكت
ِ َاب اَبَدًا ُ س ْو ِل ِه
ُ َر
Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat selama
kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah Rasulnya”. (HR. Imam
Malik)
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai
berikut.
Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an, sehingga kedunya (Al-Qur’an
dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya Allah SWT didalam Al-
Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana ditetapkan dalam firmannya :
Artinya: “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)
Ayat diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.
1. Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum.
Misalnya, ayat Al-Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah
haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara
melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat, tidak memarkan cara-cara
melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan oleh rasullah SAW dalam haditsnya.
Contoh lain, dalam Al-Qur’an Allah SWT mengharamkan bangkai, darah dan daging babi.
Firman Allah sebagai berikut:
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang
boleh dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh
dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah SAW:
تْ ََّان لَنَا ا ُ ِحل ِ ْال َم ْيتَت: ُ َو ْال َج َراد ُ ْال ُح ْوت,ان َوا َ َّما
ِ دَ َم,َان فَا َّما
ِ ان َو َم ْيتَت ِ الدَّ َم: ُ الط َحا ِل فَ ْال َك ِبد
ِّ ِ َو
Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam
bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa…” (HR
Ibnu Majjah)
2. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al-Qur’an. Misalnya, cara
menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh kali, salah satunya dicampur
dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya: “Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing adlah dengan cara membasuh sebanyak
tujuh kali salah satunya dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)
Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan,
sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu
penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits
2. Hadits Makbul, adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai
Hujjah. Yang termasuk Hadits Makbul adalah Hadits Shohih dan Hadits Hasan
3. Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat
ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada
matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal
yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting
4. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih
atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu
sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak
dipenuhi
Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu:
1. Rawinya bersifat adil
2. Sempurna ingatan
3. Sanadnya tidak terputus
4. Hadits itu tidak berilat, dan
5. Hadits itu tidak janggal
A. Akal
Akal berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu’ yang secara lughawi memiliki banyak
makna, sehingga kata al ‘aql sering disebut sebagai lafazh musytarak, yakni kata yang memiliki
banyak makna. Dalam kamus bahasa Arab al-munjid fi al-lughah wa al a’lam, dijelaskan bahwa
‘aqala memiliki makna adraka (mencapai, mengetahui), fahima (memahami), tadarabba wa
tafakkara (merenung dan berfikir). Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti
nurun nuhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang
dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh
indera. Al-‘aql juga diartikan al-qalb, hati nurani atau hati sanubari.
Menurut pemahaman Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliah digunakan dalam arti
kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern
disebut kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity). Dengan demikian, orang
berakal adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, memecahkan
problem yang dihadapi dan dapat melepaskan diri dari bahaya yang mengancam. Lebih lanjut
menurutnya, kata ‘aql mengalami perubahan arti setelah masuk ke dalam filsafat Islam. Hal ini
terjadi disebabkan pengaruh filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam, yang
mengartikan ‘aql sama dengan nous yang mengandung arti daya berfikir yang terdapat dalam
jiwa manusia. Pemahaman dan pemikiran tidak lagi melalui al-qalb di dada akan tetapi melalui
al-aql di kepala (Harun Nasution, 1986: 7-8).
Pengaruh filsafat Yunani terhadap filosof-filosof muslim terlihat dalam pendapat
mereka tentang akal yang dipahami sebagai salah satu daya dari jiwa (an-nafs/ ar-ruh) yang
terdapat dalam diri manusia. Seperti Al-Kindi (796-873) yang terpengaruh Plato, menjelaskan
bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya, daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwatiyah) yang
berada di perut, daya berani (al-quwwah al-ghadabiyyah) yang bertempat di dada dan daya
berfikir (al-quwwah an-natiqah) yang berpusat di kepala.
Sementara itu, di kalangan teolog muslim, mengartikan akal sebagai daya untuk
memperoleh pengetahuan, seperti pendapat Abu al-Huzail, akal adalah daya untuk memperoleh
pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat membedakan dirinya dengan benda-benda
lain, dan mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap oleh panca indera. Di kalangan
Mu’tazilah akal memiliki fungsi dan tugas moral, yakni di samping untuk memperoleh
pengetahuan, akal juga memiliki daya untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan,
bahkan akal merupakan petunjuk jalan bagi manusia dan yang membuat manusia menjadi
pencipta perbuatannya sendiri (Harun Nasution, 1986: 12).
Letak akal Dikatakan di dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj (22) ayat 46,
yang artinya,” Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu bagi
mereka mempunyai al-qolb, yang dengan al-qolb itu mereka dapat memahami (dan memikirkan)
dengannya atau ada bagi mereka telinga (yang dengan telinga itu) mereka mendengarkan
dengannya, maka sesungguhnya tidak buta mata mereka tapi al-qolb (mereka) yang buta ialah
hati yang di dalam dada.”
Dari ayat ini maka kita tahu bahwa al-’aql itu ada di dalam al-qolb, karena, seperti yang
dikatakan dalam ayat tersebut, memahami dan memikirkan (ya’qilu) itu dengan al-qolb dan kerja
memahami dan memikirkan itu dilakukan oleh al-‘aql maka tentu al-‘aql ada di dalam al-qolb,
dan al-qolb ada di dalam dada. Yang dimaksud dengan al-qolb tentu adalah jantung, bukan hati
dalam arti yang sebenarnya karena ia tidak berada di dalam dada, dan hati dalam arti yang
sebenarnya padanan katanya dalam bahasa Arab adalah al-kabd.
Dengan demikian akal dalam pengertian Islam, bukanlah otak, akan tetapi daya berfikir
yang terdapat dalam jiwa manusia, daya untuk memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan
alam sekitarnya. Dalam pengertian inilah akal yang dikontraskan dengan wahyu yang membawa
pengetahuan dari luar diri manusia, yakni dari Allah SWT.
B. Fungsi Dan Kedudukan Akal
Al-quran juga memberikan tuntunan tentang penggunaan akal dengan mengadakan
pembagian tugas dan wilayah kerja pikiran dan qalbu. Daya pikir manusia menjangkau wilayah
fisik dari masalah-masalah yang relatif, sedangkan qalbu memiliki ketajaman untuk menangkap
makna-makna yang bersifat metafisik dan mutlak. Oleh karenanya dalam hubungan dengan
upaya memahami islam, akal memiliki kedudukan dan fungsi yang lain yaitu sebagai berikut:
1. Akal sebagai alat yang strategis untuk mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung
dalam al-Qur’an dan Sunnah Rosul, dimana keduanya adalah sumber utama ajaran islam.
2. Akal merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri manusia untuk mengetahui maksut-
maksut yang tercakup dalam pengertian al-Qur’an dan Sunnah Rosul.
3. Akal juga berfungsi sebagai alat yang dapat menangkap pesan dan nsemangat al-Qur’an dan
Sunnah yang dijadikan acuan dalam mengatasi dan memecahkan persoalan umat manusia dalam
bentuk ijtihat.
4. Akal juga berfungsi untuk menjabarkan pesan-pesan al-Quran dan Sunnah dalam kaitannya
dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah, untuk mengelola dan memakmurkan bumi
seisinya.
Namun demikian, bagaimana pun hasil akhir pencapaian akal tetaplah relatif dan tentatif.
Untuk itu, diperlukan adanya koreksi, perubahan dan penyempurnaan teru-menerus.
Sejak kedatangan Islam abad ke-13 hingga saat ini, pemahaman tentang ke-Islaman
ummat Islam di Indonesia sangat variatif. Keadaan ini juga terjadi pada negara lain. Gejala
seperti ini apakah memang sudah alami yang menjadi sebuah kenyataan untuk bisa diambil
hikmahnya, ataukah diperlukan standart umum untuk bisa mengetahui keadaan yang variatif
seperti ini. Sehingga sesuatu yang variatif ini tidak keluar dari ajaran yang tekandung dalam al-
Qur’an dan As-Sunnah sehingga tidak akan keluar dari keabsahannya.
Dalam buku yang berjudul Tentang Sosiologi Islam, karya Ali Syariati dijumpai uraian
singkat tentang metode memahami yang pada intinya Islam harus di lihat dari berbagai dimensi.
Dalam hubungan ini ia mengatakan jika kita meninjau Islam dari satu sudut pandangan saja,
maka yang akan terlihat hanya satu dimensi saja dari gejalanya yang bersegi banyak. Mungkin
kita berhasil melihatnya secara tepat, namun tidak cukup apabila kita memahami secara
keseluruhan.
Ali Syariati lebih lanjut mengatakan, ada berbagai cara memahami Islam
a. Dengan mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agama lain
b. Dengan mempelajari Kitab suci Al-Qur’an dan membandingkan dengan kitab-kitab samawi
(atau kitab-kitab yang dikatakan sebagai samawi) lainnya.
c. Mempelajari kepribadian Rasul Islam dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh besar
pembahruan yang pernah hidup dalam sejarah.
d. Mempelajari tokoh-tokoh Islam terkemuka dan membandingkan tokoh-tokoh utama agama
maupun aliran-aliran pemikiran lain.
Pada intinya metode ini adalah metode komparasi (perbandingan). Secara akademis suatu
perbandingan memerlukan persyaratan tertentu. Perbandingan menghendaki obyektifitas. Selain
dengan menggunakan pendekatan komparasi, Ali Syariati juga menawarkan cara memahami
Islam melalui pendekatan aliran. Tugas intelektual hari ini ialah mempelajari memahami Islam
sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan kehidupan manusia, perseorangan maupun
masyarakat.
NASRUDDIN RAZAK metode memahami Islam sama dengan Ali Syariati menawarkan
metode pemahaman Islam secara menyeluruh. Memahami Islam secara menyeluruh adalah
penting walaupun tidak secara detail. Begitulah cara paling minimal untuk memahami agama
paling besar sekarang ini agar menjadi pemeluk agama yang mantap dan untuk menumbuhkan
sikap yang hormat bagi pemeluk agama lainnya. Untuk memahami agama Islam secara benar
Nasruddin Razak mengajukan empat cara :
1. Islam harus dipelajari dari sumber aslinya Al-Qur’an dan hadits. Kekeliruan memahami
Islam, karena orang mengenalnya dari sebagian ulama dan pemeluknya yang telah jauh dari
bimbingan Al-Qur’an dan Al-Sunah, atau melalui pengenalan dari sumber kitab-kitab fiqh dan
tasawuf yang semangatnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Mempelajari Islam
dengan cara demikian akan menjadikan orang tersebut sebagai pemeluk Islam yang sinkretisme,
yakni bercampur dengan hal-hal yang tidak islami jauh dari ajaran islam yang murni.
2. Islam harus di pelajari dengan integral, tidak dengan cara persial artinya ia dipelajari secara
menyeluruh sebagai satu kesatuan yang bulat tidak secara sebagian saja. Memahami Islam secara
persial akan membahayakan, menimbulkan skeptis, bimbang dan penuh keraguan.
3. Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar dan Islam,
karena pada umumnya mereka memiliki pemahaman Islam yang baik yaitu pemahaman yang
lahir dari perpaduan ilmu yang dalam terhadap ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah dengan
pengalaman yang indah dari praktek ibadah yang dilakukan setiap hari.
4. Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan teologi normatif yang ada dalam al-Qur’an, baru
kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris dan sosiologis yang ada di
masyarakat.