Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN KASUS

PPOK

Oleh :

Fitri Rahmalia Akbar

H1A013024

Pembimbing :

dr. Rina Lestari, Sp.P

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

SMF ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM/RSUP NTB

MATARAM

1
2017

BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. H. S
Umur : 55 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Lombok Tengah
Pekerjaan : Swasta
Suku : Sasak
Status : Menikah
MRS : 9September 2017
RM : 13-06-37
Tgl. Pemeriksaan : 11 Agustus 2017

B. Anamnesis
a. Keluhan Utama:​Sesak Napas
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan sesak napas, sesak napas sudah dirasakan
kambuh-kambuhan sekitar 2 tahun sebelumnya, dan semakin lama semakin memberat.
Serangan sesak kali ini memberat sejak 2 hari yang lalu. Sekitar 1 tahun yang lalu
frekuensi sesak biasanya hanya tiap bulan. Saat ini frekuensinya bisa setiap hari dan
meningkat tiap kali pasien batuk-batuk disertai dahak. Sesak yang dialami pasien
semakin memberat dengan aktifitas ringan seperti ke kamar mandi. Karena sering sesak
pasien jadi merasa mudah lelah dan 2 tahun terakhir ini sudah tidak bisa bekerja seperti
dulu. Pasien mengaku sesaknya tidak selalu terjadi pada malam hari. Sesak yang
dirasakan pasien juga tidak memberat jika terpapar debu, tungau ataupun musim

2
tertentu.Sesak tidak dipengaruhi oleh posisi tidur, pasien bisa tidur dengan menggunakan
satu bantal. Sesak juga tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi.
Selain sesak, pasien juga mengeluhkan batuk. Keluhan batuk sudah dialami
pasien sejak 2 tahun yang lalu. Batuk disertai dengan dahak berwarna putih tanpa disertai
darah. Setiap kali batuk, pasien langsung merasa sesak dan merasakan bunyi mengi saat
bernapas.Terkadang pasien juga mengalami nyeri dada setiap kali sesak. Nyeri dada yang
dirasakan pasien menjalar ke area punggung bagian kiri.Pasien juga mengeluhkan demam
sejak kemarin malam. Pasien menyangkal adanya penurunan berat badan yang signifikan.
Keluhan keringat pada malam harijuga disangkal. Keluhan mual dan muntahdisangkal.
BAB dan BAK pasien masih dalam batas normal.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sudah pernah mengalami keluhan berupa sesak nafas sebelumnyasehingga rutin
kontrol di Poli Paru, namun tidak pernah sampai harus rawat inap. Pasien mengaku
karena keluhan batuk berdahaknya pasien juga pernah dicek dahaknya dan pasien
mengatakan bahwa hasilnya negatif. Riwayat TBC disangkal. Riwayat asma disangkal.
Pasien juga mengaku memiliki penyakit jantung dan terkadang kontrol ke Poli
Jantung.Riwayat hipertensi disangkal.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa di keluarga disangkat. Riwayat asma, penyakit jantung dan
hipertensi pada keluarga disangkal.
e. Riwayat Pengobatan
Pasien rutin kontrol ke Poli Paru RSUD Provinsi NTB hampir setiap bulan dan
mendapatkan obat-obatan : Seretide 2x1 dan codein 3x1. Pasien juga mendapatkan
obat-obatan dari Poli Jantung seperti : Spironolakton 25mg-0-0, Furosemide ½ -0 -0 dan
Digoxin 0,25 1x1.
f. Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki alergi terhadap debu, tungau, makanan maupun obat-obatan
g. Riwayat Sosial

3
Pasien adalah seorang pekerja las kayu dan biasanya saat bekerja pasien jarang
memakai masker. Pasien sudah bekerja las kayu sejak 35 tahun yang lalu. Namun, 2
tahun terakhir ini pasien sudah jarang bekerja. Pasien juga merokoksejak 40 tahun yang
lalu, biasanya merokok 2 sampai 3 bungkus per hari. Pasien sudah tidak merokok selama
1 tahun terakhir. Pasien juga sering membakar sampah di kebun dekat rumahnya.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
a. Keadaan umum : Sedang
b. Kesadaran/GCS : Compos Mentis/ E4V5M6
c. Tanda vital
- Tekanan darah : 110/70 mmHg
- Nadi : 80kali/menit
- Pernapasan : 28 kali/menit
- Temperatur axila : 37,7 ˚C
- SpO​2 : 95%

Kepala
- Bentuk dan ukuran : normal
- Rambut : normal
- Edema : (-)
- Parese N. VII : (-)
- Hiperpigmentasi : (-)
- Nyeri tekan kepala : (-)
Mata
- Simetris
- Alis normal
- Exopthalmus : (-/-)

4
- Retraksi kelopak mata: (-/-)
- Lid Lag : (-/-)
- Ptosis : (-/-)
- Nystagmus : (-/-)
- Strabismus : (-/-)
- Edema palpebra : (-/-)
- Konjungtiva : anemis​ (-/-)​, hiperemia (-/-)
- Sclera : ikterus​ (-/-),​ hiperemia (-/-), pterygium (-/-).
- Pupil : Rp +/+, isokor, bentuk bulat, Ø 3 mm, miosis (-/-),
- Kornea : normal
- Lensa : normal, katarak (-/-)
- Pergerakan bola mata : normal ke segala arah
Telinga
- Bentuk : normal, simetris antara kiri dan kanan.
- Liang telinga (MAE) : normal, sekret (-/-), serumen (-/-).
- Nyeri tekan tragus : (-/-)
- Peradangan : (-/-)
- Pendengaran : kesan normal
Hidung
- Simetris
- Deviasi septum : (-/-)
- Napas cuping hidung : (-)
- Perdarahan : (-/-)
- Sekret : (-/-)
- Penciuman : kesan normal
Mulut
- Simetris
- Bibir : sianosis (-), pucat (-), stomatitis angularis (-).
- Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-).

5
- Lidah : glositis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-),
kemerahan di pinggir (-),lidah kotor (-).
- Gigi geligi : dalam batas normal
- Mukosa : normal
Leher
- Simetris
- Foss jugular : Tidak terdapat deviasi trakea
- Otot SCM : aktif (+/+), hipertrofi (+)
- Pembesaran KGB : (-)
- Kaku kuduk : (-)
- JVP : 5+5 cm (meningkat)
- Distensi Vena J. : (-)
- Pembesaran tiroid : (-)

Thoraks

6
- Inspeksi ​:
1) Bentuk dan ukuran dada : barrel chest (-), ukuran dada normal
2) Pergerakan dinding dada simetris
3) Permukaan dinding dada: ​scar (-), massa (-), spider naevi (-), ictus cordistidak
tampak.
4) Penggunaan otot bantu napas: SCM aktif (+), hipertrofi SCM (+), otot bantu
napas abdomen aktif (-).
5) Tulang iga dan sela iga: sela iga melebar (-), lebih horizontal (-).
6) Fossa supraklavikula dan infraklavikula cekung simetris, fossa jugularis: deviasi
trakea (-).
7) Tipe pernapasan torako-abdominal dengan frekuensi napas 24 kali/menit.

- Palpasi ​:
1) Pergerakan dinding dada simetris
2) Posisi mediastinum: deviasi trakea (-), ictus cordis teraba di ICS V Midaxilaris
sinistra.
3) Nyeri tekan (-), benjolan (-), krepitasi (-)
4) Vocal fremitus

- Perkusi :​
1) Densitas Paru

2) Batas paru-jantung : Dextra → ICS II Parasternal dextra


Sinistra → ICS VMidaxilaris sinistra

7
3) Batas paru-hepar : Inspirasi ICS VI mid-clavicula dextra
Ekspirasi ICS V mid-clavicula dextra
- Auskultasi ​:
1) Cor : S​1​S​2 ​tunggal regular, gallop (-), murmur (-)
2) Pulmo :

- Vesikuler : - Ronkhi :

- Wheezing :

Abdomen
- Inspeksi :​
1) Distensi (-)
2) Umbilikus masuk merata
3) Permukaan kulit: tanda-tanda inflamasi (-), ​scar (-), massa (-), vena
kolateral (-), caput medusa (-).
- Auskultasi ​:
1) Bising usus (+) normal, 8X/menit
2) Metallic sound​ (-)
3) Bising aorta (-)
- Perkusi :​
1) Timpani (+) pada seluruh lapang abdomen

8
2) Nyeri ketok (-/-)
3) Tes undulasi (-)
4) Shifting dullness​ (-)
- Palpasi ​:
1) Nyeri tekan

2) Massa (-)
3) Hepar tidak teraba.
4) Lien/Ren tidak teraba
Ekstremitas
Ekstremitas Atas dan Bawah
● Akral dingin : -/-
● Deformitas : -/-
● Edema : -/-
● Sianosis : -/-
● Petekie : -/-
● Clubbing finger : +/+
● CRT : > 2 detik
Genitourinaria : tidak dievaluasi

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Lengkap
Darah Lengkap (09/09/2017) 15/09/2017 Batas Normal
HB 13,8 14,7 11,5-16,5 g/dl
RBC 4,93 5,29 3.5-5.5 x 10​6 ​/µL
HCT 42,4 44,4 35-55 %
MCV 86 83,9 75-100 fl
MCH 28 27,8 25-35 pg

9
MCHC 32,5 33,1 31-38 g/dl
WBC 21,52 14,26 3,5-10 x 10​3​/µL
PLT 198 175 150-400 10​3​/µL

2. Pemeriksaan Kimia Klinik


Kimia Klinik 9/09/2017 Nilai Normal
GDS​103 <160 mg%
Bilirubin Total​ 0,57 < 1,0 mg%
Bilirubin Direk ​ 0,32 < 0,2 mg%
Albumin ​3,4 3,5-5,0 gr%
Ureum ​48 10-15 mg%
Kreatinin ​ 1,0 0,9-1,3 mg%
SGOT​17 <40 U/L
SGPT ​17 <41 U/L

3. Pemeriksaan Elektrolit
Elektrolit9/09/2017 Nilai Normal (mmol/L)
Na​+​: 140 135–146
K​+​: 4,2 3,4 - 5,4
Cl​-​: 109 95 – 108

3. Pemeriksaan Rontgen Thorax​ (11/09/2017)

10
1. Identitas foto dan marker terbaca.

2. Posisi PAdan Simetris

3. kV cukup

4. Soft tissue normal, tidak ada emfisema subkutis

5. Tulang intak, tidak ada deformitas

6. Sela iga normal

7. Trakea posisi di tengah, tidak ada deviasi

8. Hilus normal

9. Cor: kardiomegali ( CTR = ( 2,5 + 6,5 ) : 17 x 100 % = 53 % ). Batas jantung kanan dan kiri
normal.

10. Diafragma normal

11
11. Sinus costophrenicus bersudut tajam

12. Pulmo : Tampak gambaran infiltrat pada seluruh lapang paru, terutama perihiler dekstra dan
sinistra, dengan air bronkogram (+). Terdapat multipel cavitas. Tidak tampak efusi pleura.

Kesimpulan : Gambaran Polycystic Lung Diseasedd Bronkiektasis

Gambaran Pneumonia

4. Pemeriksaan EKG ​(
18/08/ 2017)

Hasil : Irama sinus


takikardi, 110 x/menit,
Right Ventrikel Hipertrofi
1. ​Rasio R / S > 1 di V1 dan
< 1 di V6 dicurigai sebagai
hipertrofi ventrikel kanan.
2. Axis berdeviasi ke kanan.
3. Terdapat P pulmonal di lead II dan aVF

12
5. Pemeriksaan Echocardiografi

Hasil :
TR Minimal, RA/RV dilatasi, EF 55% diastolik abnormalitas, LVH (-)

13
6. Pemeriksaan Kultur Sputum

Pemeriksaan Kultur Sputum ( 15/09/2017)


Organisme : Pseudomonas Aeruginosa
Drug MIC SIR
Amikacin 30 mcg S
Ampicillin 10 mcg R
Ampicillin-Sulbactam R
Cefoperazone-Sulbactam 105 mcg I
Cefotaxime 30 mcg R
Cefoxitin R
Ceftazidime 30 mcg R
Ceftriaxone 30 mcg R
Cefuroxime 30 mcg R
Chloramphenicol 30 mcg R
Ciprofloxacin 5 mcg S
Clindamycin R
Daptomycin R
Erythromycin R
Gentamicin 10 mcg I
Levofloxacin 5 mcg S
Linezolid R
Meropenem 10 mcg S

14
Pemeriksaan Kultur Sputum ( 20/09/2017)
Organisme : Pseudomonas Aeruginosa
Drug MIC SIR
Amikacin <= 8 S
Ampicillin R
Amoxicillin-Clavulanate R
Azteronam 8 S
Cefazolin R
Cefepime 4 S
Cefoxitin R
Ciprofloxacin >2 R
Ertapenem R
Gentamicin <=2 S
Levofloxacin >4 R
Meropenem <=1 S
Piperacillin-Tazobactam 8/4 S
Tobramycin <=2 S

15
7. Pemeriksaan CT Scan Thorax

16
17
Hasil :
- Multipel lesi lusen/ kistik dengan septasi dan dinding tipis di pulmo dextra et sinista, ukuran
bervariasi. Ukuran terbesar di apex dextra 2,5x2,3 cm dan di apex sinistra 2,5 cm. Cor dan
mediastinum dalam batas normal. Tidak tampak pembesaran limfonodi.
- Kesan : Suggestif diffuse cystic lung disease

E. RESUME
Pasien datang dengan keluhan sesak napas, dirasakan kambuh-kambuhan sekitar 2 tahun
sebelumnya, dan semakin lama semakin memberat. Serangan sesak kali ini memberat sejak 2
hari yang lalu. Sekitar 1 tahun yang lalu frekuensi sesak biasanya hanya tiap bulan. Saat ini
frekuensinya bisa setiap hari dan meningkat tiap kali pasien batuk-batuk disertai dahak.
Sesak yang dialami pasien semakin memberat dengan aktifitas ringan seperti ke kamar
mandi. Karena sering sesak pasien jadi merasa mudah lelah dan 2 tahun terakhir ini sudah
tidak bisa bekerja. Selain sesak, pasien juga mengeluhkan batuk. Keluhan batuk sudah
dialami pasien sejak 2 tahun yang lalu. Batuk disertai dengan dahak berwarna putih tanpa
disertai darah. Setiap kali batuk, pasien langsung merasa sesak dan merasakan bunyi mengi
saat bernapas. Terkadang pasien juga mengalami nyeri dada setiap kali sesak. Nyeri dada

18
yang dirasakan pasien menjalar ke area punggung bagian kiri. Pasien mengeluhkan demam
sejak kemarin malam.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, pasien tampak sesak namun
masih bisa berbicara, kesadaran compos mentis. Tekanan darah: 110/70 mmHg, nadi 80
kali/menit, pernapasan 28 kali/menit, temperatur axial 37,7˚C, SpO​2​: 95%.
Pemeriksaan fisik thoraks didapatkan otot pernapasan SCM aktif, auskultasi wheezing
dan ronkhi di seluruh lapang paru. Pada ekstremitas didapatkan clubbing finger (+). Pada
foto thoraks didapatkan gambaran polycystic lung disease dan pneumonia. Pada pemeriksaan
EKG dan Echocardiografi didapatkan kesan pembesaran ruang jantung ventrikel kanan.

F. ASSESSMENT
1. PPOK Eksaserbasi Akutdd Polycystic Lung Disease dd Bronkiektasis dengan
komplikasi CorPulmonale Chronic Decompensata
2. Pneumonia

G. PLANNING
a. Planning Diagnostik
● Pemeriksaan Spirometri
● EKG
● Echocardiografi
● Pemeriksaan Kultur Sputum

b. Planning Terapi
Medikamentosa
● Inj Ceftriaxone 2 gr/hari
● Inj Levofloxacin 750 mg/hari
● Drip Aminophylin 240 mg dalam D5 % 500 cc (14 tpm)
● Inj. Metilprednisolon62,5 mg/12 jam
● Nebulizer Combiven 1amp /8jam

19
● Ambroxol 3 x 1 tablet
● Paracetamol 3x500 mg (jika perlu)
Non Medikamentosa
● Oksigen nasal kanul4 lpm
● IVFD NaCl 0,9 %16 tetes/menit
● Berhenti merokok, dan menghindari faktor pencetus PPOK yang lain seperti debu serta
polusi udara untuk mencegah progresifitas penyakit
● Rehabilitasi paru-paru dengan latihan pernapasan
● Pasien dan keluarga diberikan penjelasan mengenai penyakit yang diderita dan
penatalaksanaannya.

H. MONITORING
- Keluhan
- Tanda vital

I. PROGNOSIS
- Ad Vitam : Dubia ad Malam
- Ad Functionam : Dubia ad Malam
- Ad Sanactionam : Dubia ad Malam

20
21
J. FOLLOW UP

Tgl Subyektif Obyektif Assessment Plannin


12/09 Sesak (+), Batuk TD : 100/70 PPOK
/2017 Berdahak warna putih Nadi : 82 x/m Cor Pulmonale - Oksigen nasal k
(+), nyeri dada RR : 25 x/m Pneumonia - IVFD NaCl 0,9
berkurang. Demam (+). Tax : 37,7​o​C - Drip aminophyl
K/L : D5 % 500 cc (14
Otot SCM (+) - Inj Levofloxacin
SN : - Inj. Metilpredni
V V jam
V V - Ambroxol 3 x 1
V V - Paracetamol 3x5
- Nebulizer Comb

Ronkhi :
+ + Monitoring :

+ + oting : Keluhan, vital sig

+ +

Wheezing :
+ +
+ +
+ +

Ekstremitas : Clubbing
Finger (+)
13/09 Sesak (+), Batuk TD : 110/70 PPOK
/2017 Berdahak warna putih Nadi : 80 x/m Cor Pulmonale - Oksigen nasal k
RR : 23 x/m Pneumonia - IVFD NaCl 0,9

22
(+), nyeri dada (-). Tax : 37,5 o​​ C - Drip aminophyl
Demam (+). K/L : D5 % 500 cc (14
Otot SCM (+) - Inj Levofloxacin
SN : - Inj. Metilpredni
V V jam
V V - Ambroxol 3 x 1
V V - Paracetamol 3x5
- Nebulizer Comb

Ronkhi :
+ + oting : Keluhan, vital sig

+ +
+ +

Wheezing :
+ +
+ +
+ +

Ekstremitas : Clubbing
Finger (+)
14/09 Sesak (+), Batuk TD : 100/70 PPOK
/2017 Berdahak warna putih Nadi : 80 x/m Cor Pulmonale - Darah Lengkap
(+), nyeri dada (-). RR : 24 x/m Pneumonia - Sputum kultur
Demam (+). Tax : 37,5​o​C
K/L : - Oksigen nasal k
Otot SCM (+) - IVFD NaCl 0,9
SN : - Drip aminophyl
V V D5 % 500 cc (14
V V - Inj Levofloxacin

23
V V - Inj. Metilpredni
jam
Ronkhi : - Ambroxol 3 x 1
+ + - Paracetamol 3x5

+ + - Nebulizer Comb

+ + Monitoring :
oting : Keluhan, vital sig

Wheezing :
- -
- -
- -

Ekstremitas : Clubbing
Finger (+)
15/09 Sesak (+), Batuk TD : 100/70 PPOK
/2017 Berdahak warna putih Nadi : 84 x/m Cor Pulmonale - CT Scan Thorax
(+), nyeri dada (-). RR : 20 x/m Pneumonia
Demam (-). Tax : 36,7​o​C - Oksigen nasal k
K/L : - IVFD NaCl 0,9
Otot SCM (+) - Drip aminophyl
SN : D5 % 500 cc (14
V V - Inj Levofloxacin
V V - Inj. Metilpredni
V V jam
- Ambroxol 3 x 1

Ronkhi : - Nebulizer Comb

+ + Monitoring :

+ + oting : Keluhan, vital sig

+ +

24
Wheezing :
- -
- -
- -

Ekstremitas : Clubbing
Finger (+)
16/09 Sesak (+), Batuk TD : 110/70 PPOK
/2017 Berdahak warna putih Nadi : 80 x/m Cor Pulmonale - Oksigen nasal k
(+). Demam (-) RR : 20 x/m Pneumonia - IVFD NaCl 0,9
Tax : 36 o​​ C - Drip aminophyl
K/L : D5 % 500 cc (14
Otot SCM (+) - Inj Levofloxacin
SN : - Inj. Metilpredni
V V jam
V V - Ambroxol 3 x 1
V V - Nebulizer Comb
Monitoring :

Ronkhi : oting : Keluhan, vital sig

+ +
+ +
+ +

Wheezing :
- -
- -
- -

25
Ekstremitas : Clubbing
Finger (+)
18/09 Sesak (+) meningkat TD : 110/70 PPOK
/2017 sejak kemarin malam, Nadi : 76 x/m Cor Pulmonale - Konsul Bagian J
batuk berdahak warna RR : 36 x/m Pneumonia
merah (+) sejak kemarin Tax : 35,3​o​C - Oksigen nasal k
malam, lemas (+), sakit SpO​2​ : 78 % - IVFD NaCl 0,9
kepala (+), nyeri dada (-) K/L : - Drip aminophyl
demam (-). Otot SCM (+) D5 % 500 cc (14
SN : - Inj Levofloxacin
V V - Inj. Metilpredni
V V jam
V V - Inj. Asam Tran
8 jam

Ronkhi : - Inj. Furosemide

+ + - Nebulizer Comb

+ + oring :

+ + oting : Keluhan, vital sig

Wheezing :
+ +
+ +
+ +

Ekstremitas : Clubbing
Finger (+)
19/09 Sesak (+), batuk TD : 110/70 PPOK
/2017 berdahak warna merah Nadi : 72 x/m Cor Pulmonale - Oksigen nasal k
RR : 28 x/m Pneumonia - IVFD NaCl 0,9

26
(+), lemas (+), sakit Tax : 36​o​C - Drip aminophyl
kepala (+). K/L : D5 % 500 cc (14
Otot SCM (+) - Inj Levofloxacin
SN : - Inj. Metilpredni
V V jam
V V - Inj. Asam Tran
V V 8 jam
- Inj. Furosemide

Ronkhi : - Nebulizer Comb

+ +
+ + oring :

+ + oting : Keluhan, vital sig

Wheezing :
+ +
+ +
+ +

Ekstremitas : Clubbing
Finger (+)
20/09 Sesak (+), batuk TD : 110/70 PPOK
/2017 berdahak warna putih(+). SpO​2 :​ 71 % Cor Pulmonale - Oksigen nasal k
Nadi : 76 x/m Pneumonia - IVFD NaCl 0,9
RR : 24 x/m - Drip aminophy
Tax : 36 o​​ C D5 % 500 cc (1
K/L : - Inj Levofloxaci
Otot SCM (+) - Inj. Metilpredn
SN : jam
V V

27
V V - Inj. Asam Tran
V V 8 jam
- Nebulizer Co
Ronkhi : /8jam

+ + - Furosemid Tab

+ + - Spironolakton 2

+ +
oring :

Wheezing : oting : Keluhan, vital sig

+ +
+ +
+ +

Ekstremitas : Clubbing
Finger (+)
22/09 Sesak (+) berkurang, TD : 110/70 PPOK
/2017 batuk berdahak warna SpO​2 :​ 90 % Cor Pulmonale - Oksigen nasal k
putih(+). Nadi : 72 x/m Pneumonia - IVFD NaCl 0,9
RR : 28 x/m - Drip aminophy
Tax : 35,7​o​C D5 % 500 cc (1
K/L : - Inj Meropenem
Otot SCM (+) - Inj. Metilpredn
SN : jam
V V - Inj. Asam Tran
V V 8 jam
V V - Nebulizer Co
/8jam

Ronkhi : - Furosemid Tab

+ + - Spironolakton 2

28
+ +
+ + oring :
oting : Keluhan, vital sig
Wheezing :
+ +
+ +
+ +

Ekstremitas : Clubbing
Finger (+)
23/09 Sesak (+), batuk TD : 120/80 PPOK
/2017 berdahak warna putih SpO​2 :​ 85 % Cor Pulmonale - Oksigen nasal k
(+), lemas (+), sakit Nadi : 72 x/m Pneumonia - IVFD NaCl 0,9
kepala (+). RR : 40 x/m - Drip aminophy
Tax : 36 o​​ C D5 % 500 cc (1
K/L : - Inj Meropenem
Otot SCM (+) - Inj. Metilpredn
SN : jam
V V - Inj. Asam Tran
V V 8 jam
V V - Nebulizer Co
/8jam

Ronkhi : - Furosemid Tab

+ + - Spironolakton 2

+ +
+ + oring :
oting : Keluhan, vital sig

Wheezing :
+ +

29
+ +
+ +

Ekstremitas : Clubbing
Finger (+)
25/09 Sesak (+), batuk TD : 120/80 PPOK
/2017 berdahak warna putih SpO​2 :​ 80 % Cor Pulmonale - Oksigen nasal k
(+), lemas (+), sakit Nadi : 72 x/m Pneumonia - IVFD NaCl 0,9
kepala (+). RR : 40 x/m - Drip aminophy
Tax : 36 o​​ C D5 % 500 cc (1
K/L : - Inj Meropenem
Otot SCM (+) - Inj. Metilpredn
SN : jam
V V - Inj. Asam Tran
V V 8 jam
V V - Nebulizer Co
/8jam

Ronkhi : - Furosemid Tab

+ + - Spironolakton 2

+ +
+ + oring :
oting : Keluhan, vital sig

Wheezing :
+ +
+ +
+ +

Ekstremitas : Clubbing
Finger (+)

30
26/09 Sesak (+), batuk TD : 120/80 PPOK
/2017 berdahak warna putih SpO​2 :​ 75 % Cor Pulmonale - Oksigen nasal k
(+), semakin lemas (+), Nadi : 72 x/m Pneumonia - IVFD NaCl 0,9
sakit kepala (+). Demam RR : 40 x/m - Drip aminophy
(+) sejak kemarin Tax : 37,8​o​C D5 % 500 cc (1
malam. K/L : - Inj Meropenem
Otot SCM (+) - Inj. Metilpredn
SN : jam
V V - Inj. Asam Tran
V V 8 jam
V V - Nebulizer Co
/8jam

Ronkhi : - Furosemid Tab

+ + - Spironolakton 2

+ + - Paracetamol 3x

+ +
oring :

Wheezing : oting : Keluhan, vital sig

+ +
+ +
+ +

Ekstremitas : Clubbing
Finger (+)

31
BAB II
Tinjauan Pustaka
Penyakit Paru Obstruktif Kronik
DEFINISI

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh
hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel
parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.Bronkitis
kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan
dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit
lainnya.Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.​1,2
PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati. PPOK ditandai oleh adanya
hambatan aliran udara di saluran nafas bersifat persisten dan progresif yang berhubungan dengan
abnormalitas saluran nafas dan atau alveolar akibat paparan partikel atau gas berbahaya. Adanya
hambatan aliran udara kronik pada PPOK disebabkan oleh penyakit pada saluran nafas
(bronchitis kronik) dan destruksi parenkim (emfisema). 3​

EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai Kesehatan
RumahTangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 5
sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992
menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat
ke - 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia.Berdasarkan hasil suvey pada tahun
2002 oleh WHO, PPOK merupakan penyakit penyebab kematian ke 5 di negara dengan
pendapatan yang tinggi dan peringkat ketiga di negara dengan pendapatan menengah ke bawah.
Di Amerika sekitar 24 juta orang memiliki PPOK dan merupakan penyebab kematian no 4
diantara semua orang dewasa. PPOK Eksaserbasi akut (EA) merupakan suatu serangan yang
ditandai dengan keadaan klinis yang memberat, dan seiring dengan seringnya seorang pasien

32
mengalami serangan akan meningkatkan pengeluaran dalam berobat, ketidakhadiran dan
kehilangan produkivitas dalam bekerja.​1,2

ETIOLOGI
Di seluruh dunia, faktor risiko mayor PPOK yang paling banyak ditemui adalah merokok
tembakau. Polusi udara saat bekerja maupun dan udara yang dihasilkan dari pembakaran bahan
bakar biomassa juga merupakan faktor risiko mayor PPOK. Orang-orang yang tidak merokok
pun dapat menderita PPOK akibat eksposur terus menerus terhadap gas dan partikel berbahaya,
dikombinasikan dengan berbagai faktor host, termasuk genetika, hiperresponsivitas saluran
napas dan perkembangan paru-paru yang buruk selama masa kanak-kanak.​3
Risiko terjadinya PPOK terkait dengan faktor-faktor berikut​1​:
1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab yang terpenting, jauh lebih
penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu
diperhatikan
Riwayat merokok
a. Perokok aktif
b. Perokok pasif
c. Bekas perokok
Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang
rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
d. Ringan : 0-200
e. Sedang : 200-600
f. Berat : >600
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
3. Hipereaktivitas bronkus
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

PATOFISIOLOGI

33
Etiologi Mekanisme
Asap rokok Adanya partikel asap di paru-paru menyebabkan respons inflamasi
dengan peningkatan infiltrasi makrofag dan neutrofil ke paru-paru.
Sel-sel kekebalan ini melepaskan sitokin, kemokin dan elastases, yang
merusak parenkim paru dari waktu ke waktu.
Paparan terhadap debu Respons inflamasi serupa yang merusak alveoli.
dan bahan kimia
Defisiensi antitripsin Alpha-1 antitrypsin adalah serin protease inhibitor (serpin) disekresi
alfa-1 oleh hati ke dalam darah yang menghambat enzim neutrofil elastase
dari merusak jaringan paru-paru. Kekurangan alpha-1 antitrypsin
mengarah ke elasteolysis (penghancuran serat elastin di dinding
alveolar) dan terjadinya emfisema dini.
Faktor-faktor risiko seperti inhalasi asap rokok atau gas berbahaya, paparan pembakaran
bahan biomass, faktor genetik seperti defisiensi antitripsin alfa, dan faktor lainnya akan
mengaktifasi makrofag dan sel epitel untuk melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih
banyak makrofag dan neutrofil. Kemudian, makrofag dan neutrofil ini meningkatkan neutrophil
elastase dan matrix metalloproteinase yang merusak struktur pada paru-paru. Protease
sebenarnya dapat diatasi dengan antiprotease endogen namun tidak berimbangnya antiprotease
terhadap dominasi aktivitas protease pada akhirnya akan merusak alveolus sehingga terjadi
penurunan rekoil yang mengakibatkan gangguan difusi gas, pembesaran ruang alveolus, dan air
trapping saat ekspirasi. Hal ini akan berujung pada terjadinya emfisema.​4,5

Inflamasi kronis mengakibatkan metaplasia sel dan peningkatan sel goblet sehingga
mengakibatka hipersekresi mukosa, peningkatan massa otot halus, dan fibrosis. Terdapat pula
disfungsi silier pada epitel, menyebabkan terganggunya klirens produksi mucus yang berlebihan.
Secara klinis, proses inilah yang bermanifestasi sebagai bronchitis kronis, ditandai oleh
batuk produktif kronis.​4,5

Pada parenkim paru, penghancuran elemen structural yang dimediasi protease


menyebabkan emfisema. Kerusakan sekat alveolar menyebabkan berkurangnya elastisitas recoil

34
pada paru dan kegagalan dinamika saluran udara. Keseluruhan proses ini mengakibatkan

obstruksi paten pada saluran napas dan timbulnya gejala patofisiologis lainnya. 4,5

Obstruksi saluran udara menghasilkan alveoli yang tidak terventilasi atau kurang
terventilasi; perfusi berkelanjutan pada alveoli ini akan menyebabkan hypoxemia (PaO2 rendah)
oleh ketidakseimbangan antara ventilasi dan aliran darah (V/Q tidak sesuai). Ventilasi dari
alveoli yang tidak berperfusi atau kurang berperfusi meningkatkan ruang buntu (Vd),
menyebabkan pembuangan CO2 yang tidak efisien. Hiperventilasi biasanya akan terjadi untuk
mengkompensasi keadaan ini, yang kemudian akan meningkatkan kerja yang dibutuhkan untuk
mengatasi resistensi saluran napas yang telah meningkat, pada akhirnya proses ini gagal, dan
terjadilah retensi CO​2​ (hiperkapnia) pada beberapa pasien dengan PPOK berat.​5

Hipoksia alveolar akan mengakibatkan terjadinya vasokostriksi pulmonal yang kemudian


menyebabkan terjadinya Hipertensi Pulmonal. Hipertensi pulmonal dapat mengakibatkan
terjadinya cor pulmonal yang bermanifestasi sebagai peningkatan JVP maupun edem perifer.​5

35
Gambar 1 : Patofisiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik 6​

36
Gambar 2 : Patofisiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik 6​
DIAGNOSIS
a. Anamnesis​1
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi
- saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara

37
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisik​1
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
• Inspeksi
- Pursed - lips breathing (​ mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest ​(diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i leher dan edema
tungkai
- Penampilan ​pink puffer a​ tau ​blue bloater
• Palpasi
- Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
• Perkusi
- Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah
• Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
- Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan
pursed – lips breathing. Pursed - lips breathing a​dalah sikap seseorang yang bernapas
dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai
mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme
tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

38
Blue bloater
- Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai
dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pemeriksaan Penunjang​1
a. Pemeriksaan rutin
1) Faal paru
o Spirometri (VEP​1​, VEP​1​ prediksi, KVP, VEP​1​/KVP)
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP​1 prediksi (%) dan atau VEP​1​/KVP (%). Obstruksi :
% VEP​1​(VEP​1​/VEP​1​ pred) < 80% VEP​1​% (VEP​1​/KVP) < 75 %
- VEP​1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun
kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi
dan sore, tidak lebih dari 20%.
o Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit
kemudiandilihat perubahan nilai VEP​1​atau APE, perubahan VEP​1 atau APE < 20% nilai
awal dan< 200 ml.
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.
2) Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3) Radiologi
Foto torak PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar

39
- Jantung menggantung (jantung pendulum/​tear drop/eye drop appearance​)
Pada bronkitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1) Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasitas Residu Fungsional (KRF), Kapasitas Paru Total (KPT),
VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw​ meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw​ meningkat
- Variabilitas harian APE kurang dari 20 %
2) Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3) Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktivitas bronkus derajat ringan.
4) Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30-50 mg per hari selama 2 minggu yaitu peningkatan VEP​1
pasca bronkodilator >20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat
kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.
5) Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6) Radiologi

40
- CT - Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak
terdeteksi oleh foto torak polos
- Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
7) Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
8) Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan
9) Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan gram dan kultur resistensi diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas
berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
10) Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi
antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
Penilaian terhadap COPD bertujuan untuk menentukan derajat keparahan penyakit,
pengaruhnya terhadap kondisi kesehatan pasien, dan risiko selanjutnya (eksaserbasi, opname,
kematian) serta untuk tatalaksana. Penilaian dilakukan terhadap aspek-aspek berikut​3​:
● Klasifikasi derajat hambatan aliran udara (memakai spirometri)
● Gejala yang timbul pada pasien
● Rwayat dan risiko eksaserbasi
● Adanya komorbiditas
Klasifikasi Derajat Hambatan Aliran Udara

Klasifikasi derajat hambatan aliran udara dinilai dengan menggunakan spirometri. Tes
menggunakan spirometri dilakukan setelah pemberian minimal satu bronkodilator inhalasi kerja
pendek untuk meminimalkan variabilitas.​3

41
Tabel 1 :Klasifikasi Derajat Keparahan Hambatan Aliran Udara pada PPOK (berdasarkan FEV​1
Post-Bronkodilator).​ 3

Penilaian Terhadap Gejala

Pasien PPOK sering dikarakteristikan dengan gejala sesak. Penilaian sederhana terhadap
sesak menggunakan kuisioner mMrc (​Modified British Medical Research Council​) secara
adekuat dapat digunakan sebagai penilaian terhadap symptom.Penilaian terhadap gejala
dilakukan menggunakan kuisioner seperti CAT (​COPD Assessment Test)​ maupun CCQ
(​Clinical COPD Questionnaire)​ untuk menilai symptom secara komprhensif. 3​

Tabel 2. Kuisioner CAT dan mMrc (​Modified British Medical Research Council​).​3

42
Penilaian Risiko Eksaserbasi

Eksaserbasi PPOK merupakan kondisi akut yang ditandai dengan memburuknya gejala
respiratori pasien yang bervariasi antara hari ke hari. Eksaserbasi dianggap sering bila terjadi 2
kali atau lebih per tahun.​ 3

Penilaian Komorbiditas

Penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, depresi dan kecemasan, disfungsi otot skeletal,


sindrom metabolik, dan kanker paru. Kondisi komorbid tersebut dapat meningkatkan risiko
kematian dan masuk rumah sakit.​3

43
Tabel 3. Kombinasi Penilaian terhadap PPOK.​ 3

TATA LAKSANA

Tujuan penatalaksanaan PPOK anatara lain : mengurangi gejala, mencegah eksaserbasi


berulang, memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru, dan meningkatkan kualiti hidup
penderita. Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi : edukasi, obat – obatan, terapi oksigen,
ventilasi mekanik, nutrisi, dan rehabilitasi. 1​
Tatalaksana Non-Medikamentosa

Berhenti merokok merupakan hal yang terpenting dan memberi pengaruh tersebesar
terhadap penderita PPOK..Rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk perjalanan
penyakit. Di samping itu zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi harus dihindari. Karena zat itu
menimbulkan ekserbasi/memperburuk perjalanan
penyakit.Edukasi terhadap keluarga dan penderita juga merupakan hal yang penting. Mereka
harus mengetahui faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi serta faktor yang bisa
memperburuk penyakit. Hal ini perlu peranan aktif penderita untuk usaha pencegahan.​3

44
Tabel 4. Tatalaksana Non Medikamentosa pada PPOK​3

Tatalaksana Medikamentosa

Bronkodilator

45
Obat bronkodilator pada PPOK paling sering diberikan secara teratur untuk
mencegahatau mengurangi gejala. Penggunaan bronkodilator kerja pendek secara teratur
umumnya tidak direkomendasikan.Menggabungkan bronkodilator dengan mekanisme dan durasi
aksi yang berbeda dapat meningkatkan tingkat bronkodilatasi dengan risiko efek samping yang
lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan dosis bronkodilator tunggal.​3

Tabel 5. Bronkodilator pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik​3

​ ​2
Golongan Agonis β

Reseptor beta berhubungan erat dengan adenil siklase yaitu substansi penting yang
menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan bronkodilatasi. Pemberian dalam bentuk aerosol
lebih efektif. Obat yang tergolong beta-2 agonis long acting (LABA) adalah : formoterol,
salmeterol, dan indacaterol.​3

Antimuskarinik

Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor kolinergik sehingga menekan enzim
guanilsiklase. Kemudian pembentukan cAMP sehingga bronkospasme menjadi terhambat seperti
mekanisme pada ipratropium bromidayang diberikan dalam bentuk inhalasi.Obat antimuskarinik
menghambat efek bronchoconstrictor acetylcholine pada reseptor M3 muscarinic dalam otot
polos saluran napas. Short-acting antimuscarinics (SAMA), yaitu ipratropium dan oxitropium

46
dan long actingantimuscarinics antagonis (LAMAs), seperti iotropium, aclidinium,
glycopyrroniumbromida dan umeclidinium Percobaan klinis telah menunjukkan efek yang lebih
baik pada tingkat eksaserbasi dengan pengobatan LAMA(tiotropium) dibandingkan pengobatan
LABA.​3

Derivat Xantin

Sejak dahulu obat golongan teofilin sering digunakan pada emfisema paru. Obat ini
menghambat enzim fosfodiesterase sehingga cAMP yang bekerja sebagai bronkodilator dapat
dipertahankan pada kadar yang tinggi seperti : teofilin, aminofilin.Masih terdapat kontroversi
tentang efek pasti dari turunan xantin.Teofilin, methylxanthine adalag obata yang paling umum
digunakan, dimetabolisme oleh sitokrom P450. Penambahan teofilin pada pemberian salmeterol
menghasilkan perbaikan FEV1 yang lebih besar dari pada pemberian salmeterol saja.​3

47
Tabel 6. Terapi Farmakologi pada Penyakit Paru Obstruktif Kronis ​
3

48
Agen Antiinflamasi

Tabel 7. Antiinflamasi pada Penyakit Paru Obstruktif Kronis 3​

Kortikosteroid

Kortikosteroid dapat dikombinasikan dengan terapi bronkodilator jangka panjang. Pada


pasien dengan COPD dan eksaserbasi sedang sampai sangat parah, pemberian kortikosteroid
yang dikombinasikan dengan LABA lebih efektifdalam memperbaiki fungsi paru, status
kesehatan danmengurangi eksaserbasi.​3

Ekspektoran dan Mukolitik

49
Pada pasien PPOK tidak menerima kortikosteroid inhalasi, perawatan rutin dengan
mucolytics seperti carbocysteine dan N-acetylcysteine dapat mengurangi eksaserbasi dan
memperbaiki kesehatan pasien.​3

Antibiotik

Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi terutama pada keadaan
eksaserbasi. Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan semakin memburuk. Studi
yang lebih baru menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik macrolide secara teratur dapat
dilakukan mengurangi tingkat eksaserbasi .​3

Pada saat eksaserbasi, terapi yang diberikan adalah kombinasi terapi dengan
memberikan​3​ :
● Oksigen : oksigen sebaiknya diberikan untuk meningkatkan saturasi oksigen pasien dengan
target saturasi 88 – 92%.
● Bronkodilator : ​short acting beta​2 ​agonist ​inhalasi dengan atau tanpa ​short acting
anticholinergic ​merupakan bronkodilator yang direkomendasikan untuk tatalaksana pada
kondisi eksaserbasi.
● Kostikosteroid sistemik : dapat mempercepat waktu pemulihan, meningkatkan fungsi paru
(FEV​1​) dan hipoksemia arterial (PaO​2​), dan menurunkan risiko kambuh, tatalaksana
kegagalan, dan menurunkan durasi opname. Dosis yang direkomendasikan adalah
prednisone 40 mg/hari selama 5 hari.
● Antibiotik : sebaiknya diberikan pada pasien:
- Dengan 3 simptom cardinal: sesak yang memburuk, produksi sputum meningkat, dan
peningkatan purulensi sputum;
- Dengan peningkatan purulensi sputum dan 1 simptom cardinal lainnya;
- Yang membutuhkan ventilasi mekanik.

Terdapat beberapa indikasi rawat inap pada pasien PPOK yang dapat dilihat pada tabel berikut:

50
Tabel 8.Indikasi Rawat Inap Pada Pasien PPOK.​3

Tabel 9​.​Algoritma Tatalaksana Penyakit Paru Obstruktif Kronik.​3

KOMPLIKASI

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK yaitu​1​:


1. Gagal napas
Gagal napas kronik : hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH
normal, penatalaksanaan :
● Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2

51
● Bronkodilator adekuat
● Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
● Antioksidan
● Latihan pernapasan dengan ​pursed lips breathing
Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh : sesak napas dengan atau tanpa
sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam dan kesadaran menurun
2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal
inimemudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih rendah,
ditandaidengan menurunnya kadar limfosit darah.
3. Kor pulmonal
Kor pulmonal : ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal
jantung kanan
PROGNOSIS

Bila dapat berhenti merokok lebih dini maka prognosis dapat lebih baik. Akan tetapi
prognosis akan memburuk bila sering mengalami eksaserbasi karena dapat menurunkan fungsi
paru lebih cepat.​ 1

52
COR PULMONAL

DEFINISI

Menurut ​World Health Organization (WHO), definisi kor pulmonal adalah keadaan
patologis dengan hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan
struktur paru. Tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan
penyakit jantung kongenital (bawaan). Kor pulmonal adalah hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan
akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh darah
paru yang tidak berhubungan dengan kelainan jantung kiri. Istilah hipertrofi yang bermakna
patologi menurut Weitzenblum sebaiknya diganti menjadi perubahan struktur dan fungsi
ventrikel kanan.​7,8
EPIDEMIOLOGI
Kor pulmonal mempunyai insidensi sekitar 6-7 % dari seluruh kasus penyakit jantung
dewasa di Amerika Serikat, dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) karena bronchitis
kronis dan emfisema menjadi penyebab lebih dari 50% kasus kor pulmonal. Prevalensi PPOK di
Amerika Serikat yaitu sekitar 15 juta, namun prevalensi dari kor pulmonal sulit ditentukan
karena tidak terjadi pada semua kasus PPOK. Kor pulmonal juga menjadi penyebab sekitar
10-30% kejadian gagal jantung dekompensasi di Amerika Serikat.​7,9
ETIOLOGI
Penyakit yang mendasari terjadinya kor pulmonal dapat digolongkan menjadi 4
kelompok​7​ :
1. Penyakit pembuluh darah paru.
2. Penekanan pada arteri pulmonal oleh tumor mediastinum, aneurisma, granuloma atau
fibrosis.
3. Penyakit neuro muskular dan dinding dada.

53
4. Penyakit yang mengenai aliran udara paru, alveoli, termasuk Penyakit Paru Obstruktif
Kronis (PPOK), penyakit paru interstisial.

Penyakit yang menjadi penyebab utama dari kor pulmonal kronis adalah PPOK,
diperkirakan 80-90% kasus.​7

Tabel 10. Berikut Beberapa Penyakit Sistem Respirasi yang Berkaitan dengan Kejadian Cor
Pulmonal. 8​

PATOFISIOLOGI

Kor pulmonal biasanya didahului terjadinya peningkatan resistensi vaskuler paru dan
hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal pada akhirnya meningkatkan beban kerja dari
ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal jantung.​7

54
Seiring dengan timbulnya hipertensi pulmoner maka beban kerja ventrikel kanan akan
bertambah bersamaan dengan peningkatan afterload. Hipertrofi karena proses adaptasi
meningkatkan massa otot dan kebutuhan oksigen. Namun penebalan massa otot dan
kekakuan ventrikel kanan sendiri dapat menekan lumen arteri koroner kanan sehingga
timbul gangguan perfusi miokard. Akibatnya ventrikel kanan dalam kondisi relative iskemia
dan perlahan-lahan mengalami disfungsi. Dilatasi ventrikel kanan juga menyebabkan
regurgitasi katup tricuspid dan memperberat beban ventrikel kanan. Ventrikel kanan
mengalami perubahan struktur agar mampu menghasilkan kontraksi lebih kuat untuk
melawan resistensi paru yang meningkat.​7

Kor pulmonale kronik dihubungkan dengan perjalanan penyakit yang perlahan.


Ventrikel kanan dapat beradaptasi menjadi pompa yang bersifat seperti ventrikel kiri dan
mampu mengatasi tekanan tinggi, sehingga fungsinya mungkin dipertahankan normal
selama bertahun-tahun. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa sebagian besar pasien
PPOK tahap lanjut tidak pernah mengalami episode gagal jantung kanan. Derajat hipertensi
pulmoner, kecepatan perburukan serta perjalanannya menjadi gagal jantung kanan
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Yang pertama adalah proses perubahan pada fungsi
ventilasi, peningkatan tekanan alveolar akan mempengaruhi fungsi ventrikel kanan. Faktor
berikutnya adalah perubahan proses pertukaran gas, yaitu perbaikan atau perburukan
hipoksemia, hiperkapnia dan asidosis. Perubahan pada beban volume juga berperan penting,
yaitu dinamika saat exercise, peningkatan denyut jantung, polisitemia serta retensi
garam dan air. Pada suatu titik ventrikel kanan tidak mampu lagi berfungsi dalam kondisi
beban tekanan tinggi sehingga terjadi gagal jantung kanan.​7,9

Perubahan hemodinamik kor pulmonal pada PPOK dari normal menjadi hipertensi
pulmonal, kor pulmonal, dan akhirnya menjadi kor pulmonal yang diikuti dengan gagal
jantung.​9

55
Gambar 3 : Patofisiologi Terjadinya Cor Pulmonale pada PPOK​9

DIAGNOSA

Anamnesis mengenai penyakit paru yang mendasari dapat ditanyakan gejala seperti batuk
kronik yang produktif, sesak nafas waktu beraktifitas, nafas yang berbunyi, mudah lelah.
Dispnea merupakan gejala yang paling umum terjadi, biasanya karena adanya peningkatan kerja
pernapasan akibat adanya perubahan dalam elastisitas paru-paru (fibrosis penyakit paru) atau
adanya over inflasi pada penyakit PPOK). Nyeri dada atau angina juga dapat terjadi. Hal ini
terjadi disebabkan oleh iskemia pada ventrikel kanan atau teregangnya arteri pulmonalis.
Hemoptisis, karena rupturnya arteri pulmonalis yang sudah mengalami arteroslerotik atau
terdilatasi akibat hipertensi pulmonal juga dapat terjadi.​7

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan keadaan sianosis, suara P2 yang mengeras,
ventrikel kanan dapat teraba di parasternal kanan. Terdapatnya murmur pada daerah pulmonal
dan triskuspid dan terabanya ventrikel kanan merupakan tanda yang lebih lanjut. Bila sudah

56
terjadi fase dekompensasi, maka gallop (S3) mulai terdengar dan selain itu juga dapat ditemukan
murmur akibat insufisiensi trikuspid. Dilatasi vena jugularis, hepatomegali, splenomegali, asites
dan efusi pleura merupakan tanda-tanda terjadinya overload pada ventrikel kanan.​9

Pemeriksaan darah :Hipertensi pulmoner (HP) dihubungkan dengan hipoksemia dan hiperkapnia
pada pasien PPOK, dengan kecenderungan untuk terjadi HP jika PaO2 <60 mmHg dan Pa CO2
>40 mmHg. Peningkatan nilai hematokrit juga dapat berperan untuk terjadinya HP.​7

Radiologi : Gambaran radiologi hipertensi pulmonal adalah dilatasi arteri pulmonalis utama dan
cabang-cabangnya, meruncing ke perifer, dan lapang paru perifer tampak relatif oligemia. Pada
hipertensi pulmonal, diameter arteri pulmonalis kanan >16mm dan diameter arteri pulmonalis
kiri >18mm pada 93% penderita. Hipertrofi ventrikel kanan terlihat pada rontgen thoraks PA
sebagai pembesaran batas kanan jantung, pergeseran kearah lateral batas jantung kiri dan
pembesaran bayangan jantung ke anterior, ke daerah retrosternal pada foto dada lateral.​8

Elektrokardiogram :
Kelainan EKG pada kor pulmonal menggambarkan Hipertrofi ventrikel kanan, ventrikel kana
yang meregang, atau penyakit paru yang mendasarinya. Perubahan elektrokardiografi yang
mungkin ditemukan adalah :​ 8
1. Axis dengan dviasi ke kanan
2. Rasio R / S di V1 >1
3. Rasio R / S di V6 < 1
4. Gambaran P-pulmonale (peningkatan gelombang P di lead II,III, dan aVF)
5. Gambaran S1 Q3 pola T3 dan tidak lengkap (atau lengkap) RBBB, terutama jika
disebabkan emboli paru.
6. Tegangan rendah QRS karena PPOK dengan hiperinflasi
Ekokardiografi : salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan penegakan
diagnosis kor pulmonal adalah dengan ekokardiografi. Dari hasil ekokardiografi dapat ditemukan
dimensi ruang ventrikel kanan yang membesar, tapi struktur dan dimensi ventrikel kiri normal.
Peningkatan ketebalan dinding ventrikel kanan dengan gerakan paradoks septum interventrikular

57
selama sistol terjadi. Pada stadium lanjut, dilatasi ventrikel kanan terjadi dan septum
menunjukkan diastolik abnormal yang menyeluruh.​8
Magnetic resonance imaging​ (MRI) : ​Sebagian besar penelitian terbaru menggunakan MRI
sebagai baku emas (gold standard). Dengan MRI dapat dihitung indeks hipertrofi ventrikel
kanan, didapat dari membagi ketebalan dinding bebas ventrikel kanan dengan ketebalan dinding
posterior ventrikel kiri, sehingga dapat dipakai untuk mendeteksi hipertensi pulmoner.​8,7
TATALAKSANA
Penatalaksanaan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk menurunkan hipertensi
pulmonal, mengoptimalkan pertukaran gas, meningkatkan kelangsungan hidup, dan mengobati
penyakit dasar dan komplikasinya.​7

Terapi Oksigen

Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat menigkatkan kelangsungan hidup belum


diketahui pasti, namun ada 2 hipotesis: (1) terapi oksigen mengurangi vasokontriksi dan
menurunkan resistensi vaskuler paru yang kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan,
(2) terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan hantaran oksigen ke
jantung, otak, dan organ vital lainnya.​7

Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam (​National Institute of Health, USA​); 15
jam (​British Medical Research Counsil​) , dan 24 jam (NIH) meningkatkan kelangsungan hidup
dibandingkan dengan pasien tanpa terapi oksigen.​7
Indikasi terapi oksigen adalah PaO2 ≤ 55 mmHg atau SaO2 ≤ 88%, PaO2 55-59 mmHg,
dan disertai salah satu dari tanda seperti, edema yang disebabkan gagal jantung kanan, P
pulmonal pada EKG, dan eritrositosis hematokrit > 56%.​7
Vasodilator
Vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis alfa adrenergik, ACE-I,
dan postaglandin belum direkomendasikan pemakaiannya secara rutin.​7
Digitalis
Digitalis hnya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai gagal jantung kiri. Digitalis
tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel kanan pada pasien kor pulmonal dengan fungsi

58
ventrikel normal, hanya pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun,
digoksin bisa meningkatkan fungsi ventrikel kanan. Pada pemberian digitalis perlu diwaspadai
resiko aritmia.​7
Diuretika
Diuretika diberikan untuk mengurangi tanda-tanda gagal jantung kanan. Namun harus
dingat, pemberian diuretika yang berlebihan dapat menimbulkan alkalosis metabolik yang bisa
memicu peningkatan hiperkapnia. Disamping itu, dengan terapi diuretika dapat terjadi
kekurangan cairan yang mengakibatkan ​preload​ ventrikel kanan dan curah jantung menurun.​7
Antikoagulan
Diberikan untuk menurunkan resiko terjadinya tromboemboli akibat disfungsi dan
pembesaran ventrikel kanan dan adanya faktor imobilisasi pada pasien.​7
PROGNOSIS
Kejadian gagal jantung kanan yang ditandai edema perifer merupakan prognosis yang
buruk pada pasien-pasien cor pulmonale. Pada pasien COPD dengan tingkat ringan hipertensi
pulmonal (20-35 mmHg) tingkat kelangsungan hidup lima tahun sekitar 50%. Prognosis ini akan
memburuk pada pasien dengan hipertensi pulmonal derajat berat.​8

59
DAFTAR PUSTAKA

1. Persatuan Dokter Paru Indonesia. ​Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.​ Persatuan Dokter Paru Indonesia:
2003;1-32. Diakses melalui : ​http://klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf
pada 16 September 2017.
2. Departemen Kesehatan RI. ​Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK).​ 2008. Diakses melalui :
http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream//123456789/1357/1/BK2008-Sep12.pdf
pada 16 September 2017.
3. Caverley P, Augusti A, Anzueto, et al, eds. ​Global Initiative for Chronic Obstructive
Pulmonary Disease​. Medical Communications Resources; 2017. Diakses melalui :
http://goldcopd.org/wp-content/uploads/2016/12/wms-GOLD-2017-Pocket-Guide.pdf
pada 16 September 2017.
4. Rubin M. Tuder and Irina Petrache. ​Pathogenesis Of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease.​ 2012. Diakses melalui :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3408733/​ pada 16 September 2017.
5. William MacNee. ​ABC Of Chronic Obstructive Pulmonary Disease Pathology,
Pathogenesis, and Pathophysiology.​ 2008. Diakses melalui :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1463976/​pada 16 September 2017.
6. Sultan Chaudhry​, ​Benny Dua and ​Eric Wong​. ​Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD). 2012. Diakses melalui : ​http://www.pathophys.org/copd/​pada 16 September
2017.

60
7. Harun S, Ika PW. ​Kor Pulmonal Kronik​. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed 5.
Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009; 1680-81
8. Weitzenblum E. ​Chronic Cor Pulmonale​. Dalam : ​Education in Heart. ​2003. Diakses
melalui : ​http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1767533/ pada 16 September
2017.
9. Fauci AS, Dennis LK, dkk. ​Heart Failure and Cor Pulmonale. Dalam Harrison’s
Principles of Internal Medicine 18​th ed. United States of America. The McGraw-Hill
Companies, Inc​.​ 2012.

61

Anda mungkin juga menyukai