Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak
merupakan suatu keadaan terjadinya ploriferasi sel stroma prostat yang akan
menyebabkan pembesaran dari kelenjar prostat (Kapoor, 2012). pada
pembesaran prostat jinak terjadi hiperplasia kelenjar perineutral yang akan
mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer (Sjamsuhidajat, 2012).
Pertumbuhan kelenjar protast terjadi secara konstan selama 20 tahun pertama
kehidupan lalu berhenti antara usia 20-40 tahun dan mulai kembali pada usia
50 tahun (Jiwanggana, 2016). Keadaan ini biasanya dialami oleh pria yang
berusia di atas 60 tahun sebanyak 70% dan meningkat hampir 90% pada usia
diatas 80 tahun (IAUI, 2015).
Pembesaran kelenjar prostat akan mengakibatkan terganggunya aliran
urine sehingga menimbulkan gangguan miksi (Purnomo, 2011). Pembesaran
kelenjar prostat jinak merupakan penyebab tersering terjadinya retensi urine
yaitu sekitar 65% pada laki-laki dewasa (Muruganandham, 2007). Pasien
akan merasakan sebagai keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau
Lower Urinary Tract Symptom (LUTS) (Barkin, 2011).
Pada penelitian Aprilia (2010) didapatkan bahwa 67,86% pasien
pembesaran prostat jinak mengalami leukositoria. Hematuria merupakan salah
satu komplikasi dari pembesaran prostat jinak yang biasanya disebabkan oleh
keadaan hipervaskuler dari pembesaran prostat yang menyebabkan
permukaan pembuluh darah prostat rapuh dan mudah terganggu saat
melakukan aktivitas (Speakman, 2014). Selain Hematuria, kerusakan pada
ginjal juga merupakan komplikasi dari pembeasran prostat jinak dan akan
ditemukan protein dalam urine.
Pembedahan merupakan pilihan tindakan yang tepat dalam
penatalaksanaan BPH. Keputusan untuk intervensi pembedahan didasarkan
pada beratnya obstruksi, adanya infeksi saluran kemih, dan perubahan fungsi f

1
isiologis pada prostat. Salah satu tindakan pembedahan yang sering dilakukan
adalah Open prostatektomy atau prostatektomi terbuka yang merupakan
mekanisme pengangkatan kelenjar melalui insisi abdomen (Purnomo, 2011).
Berdasarkan masalah latar belakang diatas, maka kelompok mengambil
kasus salah satu pasien dengan BPH untuk mengetahui bagaimana gambaran
pelaksanaan asuhan keperawatan pasien dengan Benigna Prostat Hyperplasia
Post Prostatektomy di Bangsal Flamboyan RSUD Muntilan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka
rumusan masalah nya “Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Benigna Prostat Hyperplasia Post Prostatectomy di Bangsal Flamboyan
RSUD Muntilan?”

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan penulisan laporan asuhan keperawatan ini adalah menyelesaikan
tugas praktik klinik majanemen keperawatan dan dapat mempelajari
asuhan keperawatan dengan Benigna Prostat Hyperplasia Post
Prostatectomy.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan laporan asuhan keperawatan ini adalah :
a) Melaksanakan pengkajian untuk mendapatkan data secara langsung
dari pasien.
b) Merumuskan diagnosa.
c) Melakukan rencana tindakan terhadap diagnosa yang telah
ditegakkan.
d) Melaksanakan atau mengimplementasikan rencana keperawatan.
e) Melakukan evaluasi terhadap tindakan yang telah dilakukan.

2
D. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Menambah wawasan dan pengetahuan serta menerapkan ilmu asuhan
keperawatan dengan Benigna Prostat Hyperplasia Post Prostatectomy.
2. Bagi Rumah Sakit
Sebagai masukan dan evaluasi dalam asuhan keperawatan dengan
Benigna Prostat Hyperplasia Post Prostatectomy.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Memberi referensi dan gambaran tentang asuhan keperawatan dengan
Benigna Prostat Hyperplasia Post Prostatectomy sebagai wacana dan
pengetahuan perkembangan ilmu.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50
tahun atau lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu
prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa
bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi urine ( Baradero, Dayrit,
dkk, 2007).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat
Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan
oleh proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas,
yang mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat menghambat
pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan.

B. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab
terjadinya BPH, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat
kaitanya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses
menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria
usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi
perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka
kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%,
dan usia 90 tahun sekiatr 100% (Purnomo, 2011).
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang
diduga menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH
menurut Purnomo (2011) meliputi, Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori
hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi
stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel
stem.

4
C. Pathway

(NANDA, 2015).

D. Manifestasi Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih
maupun keluhan diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda
dan gejala dari BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala
pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah

5
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung
kemih sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai
miksi), pancaran miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus),
dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi)
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin
miksi yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa
adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang
(merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda
infeksi atau urosepsis.
3. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau
hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saat
miksi sehingga mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun gejala
dan tanda lain yang tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat
didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri tekan, keletihan,
anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik, dan
gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan volume residual yang
besar.

E. Faktor Resiko
Dalam penelitian terakhir, pengaruh makanan terhadap pembesaran
prostat telah menjadi kontroversi. Menurut sebuah studi yang menganalisis
data dari kelompok plasebo dalam Prostate Cancer Prevention Trial (PCPT),
yang terdaftar 18.880 pria berusia lebih dari 50 tahun, tingginya konsumsi
daging merah dan diet tinggi lemak dapat meningkatkan risiko BPH, dan
tingginya konsumsi sayuran dikaitkan dengan penurunan risiko BPH.
Lycopene dan suplemen dengan vitamin D bisa menurunkan risiko
pembesaran prostat, tetapi vitamin C, vitamin E, dan selenium dilaporkan
tidak ada hubungannya dengan BPH. Aktivitas fisik juga terbukti mengurangi

6
kemungkinan pembesaran prostat dan Lower Urinary Tract Symptom
(LUTS). Dalam meta-analisis yang terdaftar 43.083 pasien laki-laki,
intensitas latihan itu terkait dengan pengurangan risiko pembesaran
prostat. Sebuah korelasi negatif antara asupan alkohol dan pembesaran
prostat telah ditunjukkan dalam banyak studi penelitian (Yoo & Cho,
2012).
Pria yang mengkonsumsi alkohol secara sedang memiliki risiko 30%
lebih kecil kemungkinan terjadi gejala BPH, 40% lebih kecil kemungkinan
untuk mengalami transurethral resection prostate, dan 20% lebih kecil
kemungkinan mengalami gejala nokturia. Namun, dalam meta-analisis dari 19
studi terakhir, menggabungkan 120.091 pasien, pria yang mengkonsumsi 35
gram atau lebih alkohol per hari dapat menurunkan risiko BPH sebesar 35%
tetapi peningkatan risiko LUTS dibandingkan dengan pria yang tidak
mengkonsumsi alkohol (Yoo & Cho, 2012).

F. Komplikasi
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk
menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO Prostate Symptom
Score (PSS). Derajat ringan: skor 0−7, sedang: skor 8−19, dan berat : skor
20−35 (Sjamsuhidajat dkk, 2012). Selain itu, ada juga yang membaginya
berdasarkan gambaran klinis penyakit BPH. Derajat penyakit BPH disajikan
pada tabel 1.

Tabel 1. Derajat penyakit BPH (Sumber: Sjamsuhidajat dkk, 2012).


Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin

I Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba <50 mL


II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai 50−100 mL
III Batas atas prostat tidak dapat diraba >100 mL
IV - Retensi urin total

7
G. Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika
dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi
lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini
menyebabkan perubahan anatomi buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor,
trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan
struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau LUTS yang dahulu dikenal dengan gejala
prostatismus (Purnomo, 2012).

Benign Prostate Hyperplasia

Penyempitan lumen uretra posterior

Peningkatan tekanan intravesikal

Buli-buli Ginjal dan ureter


- Hipertrofi otot detrusor - Refluks vesiko-ureter
- Trabekulasi - Hidroureter
- Divertikel buli-buli - Hidronefrosis
- Pionefrosis
- Gagal ginjal
Gambar 7. Pengaruh BPH pada saluran kemih (Sumber: Purnomo, 2012).

Obstruksi pada leher kandung kemih mengakibatkan berkurangnya atau


tidak adanya aliran kemih, dan ini memerlukan intervensi untuk membuka
jalan keluar urin. Metode yang mungkin adalah prostatektomi parsial,
Transurethral Resection of Prostate (TURP) atau insisi prostatektomi
terbuka, untuk mengangkat jaringan periuretral hiperplasia insisi transuretral
melalui serat otot leher kandung kemih untuk memperbesar jalan keluar urin,

8
dilatasi balon pada prostat untuk memperbesar lumen uretra, dan terapi
antiandrogen untuk membuat atrofi kelenjar prostat (Price & Wilson, 2012).
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap kelenjar.
Pada prostat normal rasio stroma dibanding dengan kelanjar adalah 2:1, pada
BPH, rasionya meningkat menjadi 4:1, hal ini menyebabkan pada BPH terjadi
peningkatan tonus otot polos prostat dibandingkan dengan prostat normal.
Dalam hal ini massa prostat yang menyebabkan obstruksi komponen statik
sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai
penyebab obstruksi prostat (Purnomo, 2012).

H. Gejala Klinis
Gejala klinis berkembang lambat karena hipertrofi detrusor kandung
kemih mengkompensasi untuk kompresi uretra. Seiring dengan osbtruksi
berkembang, kekuatan pancaran urin menurun, dan terjadi keragu-raguan
dalam memulai berkemih dan menetes diakhir berkemih. Disuria dan urgensi
merupakan tanda klinis iritasi kandung kemih (mungkin sebagai akibat
peradangan atau tumor) dan biasanya tidak terlihat pada hiperplasia prostat.
Ketika residual pasca-miksi bertambah, dapat timbul nokturia dan overflow
incontinence (Saputra, 2009).
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih
maupun keluhan di luar saluran kemih, yaitu:
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) terdiri atas gejala
voiding, storage, dan pasca-miksi. Untuk menilai tingkat keparahan dari
keluhan pada saluran kemih bagian bawah, beberapa ahli dan organisasi
urologi membuat sistem penilaian yang secara subjektif dapat diisi dan
dihitung sendiri oleh pasien. Sistem penilaian yang dianjurkan oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah Skor Internasional Gejala
Prostat atau International Prostatic Symptom Score (IPSS) (Purnomo,
2012).

9
Sistem penilaian IPSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan miksi dan satu pertanyaan yang
berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0−5, sedangkan keluhan
yang menyangkut kualitas hidup diberi nilai 1−7. Dari skor IPSS itu
dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu ringan (skor
0−7), sedang (skor 8−19), dan berat (skor 20−35) (Purnomo, 2012).
Timbulnya dekompensasi buli-buli biasanya didahului oleh beberapa
faktor pencetus, seperti volume kandung kemih tiba-tiba terisi penuh,
yaitu pada saat cuaca dingin, menahan kencing terlalu lama,
mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung diuretikum
(alkohol, kopi), dan minum air dalam jumlah yang berlebihan, massa
prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual
atau mengalami infeksi prostat akut, setelah mengkonsumsi obat-obatan
yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor atau dapat mempersempit
leher buli-buli, antara lain: golongan antikolinergik atau adrenergik alfa
(Purnomo, 2012).
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih
bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan
di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), dan demam yang
merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis (Purnomo, 2012).
c. Gejala di luar saluran kemih
Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya
hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena
sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan
tekanan intra-abdominal (Purnomo, 2012).
Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang terisi
penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urin.
Kadang-kadang didapatkan urin yang selalu menetes tanpa disadari oleh
pasien yaitu merupakan tanda dari inkontinensia paradoksa. Pada colok

10
dubur yang diperhatikan adalah tonus sfingter ani/refleks bulbo-
kavernosus untuk menyingkirkan adanya kelainan buli-buli neurogenik,
mukosa rektum, dan keadaan prostat, antara lain: kemungkinan adanya
nodul, krepitasi, konsistensi prostat, simetrisitas antara lobus dan batas
prostat (Purnomo, 2012).
Colok dubur pada pembesaran prostat jinak menunjukkan konsistensi
prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris
dan tidak didapatkan nodul, sedangkan pada karsinoma prostat,
konsistensi prostat keras atau teraba nodul dan mungkin di antara prostat
tidak simetri (Purnomo, 2012).

I. Pemeriksaan Penunjang
a. Endapan Urin
Untuk memeriksa unsur-unsur pada endapan urin ini diperlukan
pemeriksaan sedimen urin. Pemeriksaan tersebut merupakan salah satu
dari tiga jenis pemeriksaan rutin urin yaitu pemeriksaan makroskopis,
pemeriksaan miskroskopis (pemeriksaan sedimen) dan pemeriksaan
kimia urin. Pada pemeriksaan makroskopis yang diperiksa adalah
volume, warna, kejernihan, berat jenis, bau dan pH urin. Pemeriksaan
kimia urin dipakai untuk pemeriksaan pH, protein, glukosa, keton,
bilirubin, darah, urobilinogen dan nitrit (Hapsari, 2010).
Yang dimaksud dengan pemeriksaan mikroskopik urin yaitu
pemeriksaan sedimen urin. Ini penting untuk mengetahui adanya kelainan
pada ginjal dan saluran kemih serta berat ringannya penyakit. Pada BPH
sendiri, unsur sedimen yang paling banyak terdapat antara lain adalah
eritrosit, leukosit, dan bakteri. Keberadaan dari endapan urin ini
mengiritasi dan dapat menyebabkan luka pada dinding kandung kemih
sehingga menyebabkan terjadinya perdarahan mukosa. Hal ini lebih
lanjut terlihat pada terjadinya hematuria makros (darah pada urin).
Terkumpulnya endapan urin yang lebih banyak dapat menyebabkan

11
obstruksi aliran kemih sehingga lama kelamaan menjadi tidak dapat
mengeluarkan urin sama sekali (Hapsari, 2010).
b. Ultrasonografi (USG)
Merupakan penggunaan gelombang suara frekuensi sangat tinggi
atau ultrasonik (3,5−5 MHz) yang dihasilkan oleh kristal piezo-elektrik
pada transduser untuk membantu diagnosis. Yang digunakan dalam
bidang kedokteran antara 1−10 MHz (Hapsari, 2010).
Gelombang tersebut berjalan melewati tubuh dan dipantulkan
kembali secara bervariasi, tergantung pada jenis jaringan yang terkena
gelombang. Dengan transduser yang sama, selain mengirimkan suara,
juga menerima suara yang dipantulkan dan mengubah sinyal menjadi
arus listrik, yang kemudian diproses menjadi gambar skala abu-abu. Citra
yang bergerak didapatkan saat transduser digerakkan pada tubuh.
Potongan-potongan dapat diperoleh pada setiap bidang dan kemudian
ditampilkan pada monitor. Tulang dan udara merupakan konduktor suara
yang buruk, sehingga tidak dapat divisualisasikan dengan baik,
sedangkan cairan memiliki kemampuan menghantarkan suara dengan
sangat baik (Hapsari, 2010).
Pada pemeriksaan USG kelenjar prostat, zona sentral dan perifer
prostat terlihat abu-abu muda sampai gelap homogen. Sedangkan zona
transisional yang terletak lebih anterior terlihat hipoekogenik heterogen.
Keheterogenan dan kehipoekogenikan tergantung dari variasi jumlah sel
stromal dan epitelial kelenjar (Hapsari, 2010).
c. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi merupakan suatu cara yang dilakukan
untuk melihat perubahan metabolisme dari perubahan jaringan yang
terjadi. Pemeriksaan ini sangat penting dalam kaitan diagnosis penyakit
karena salah satu pertimbangan dalam penegakan diagnosis adalah
melalui hasil pengamatan terhadap jaringan yang diduga terganggu
(McVary & Roehrborn, 2010).

12
J. Penatalaksanaan
Tidak semua pasien BPH perlu menjalani tindakan medik. Kadang-
kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa
mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat dan konsultasi saja
(Purnomo, 2012).
a. Tanpa terapi (watchful waiting)
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor
IPSS <8 dan ≥8, tetapi gejala LUTS tidak mengganggu aktivitas sehari-
hari. Pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan
mengenai sesuau hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya,
misalnya tidak boleh mengkonsumsi kopi atau alkohol sebelum tidur
malam, kurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-
buli (kopi atau cokelat), dan hindari penggunaan obat dekongestan atau
antihistamin (McVary & Roehrborn, 2010; Purnomo, 2012).
Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya
keluhannya yang mungkin menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor
yang baku), disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu
urin, atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah buruk daripada
sebelumnya, mungkin dipikirkan untuk memilih terapi yang lain
(Purnomo, 2012).
b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab
obstruksi intravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergik-α
(adrenergic α-blocker) dan mengurangi volume prostat sebagai
komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormon
testosteron/dihidrotestosteron melalui penghambat 5α-reduktase. Selain
kedua cara di atas, sekarang banyak dipakai obat golongan fitofarmaka
yang mekanisme kerjanya masih belum jelas (Purnomo, 2012).

13
c. Intervensi
Penyelesaian masalah pasien BPH jangka panjang yang paling baik
saat ini adalah pembedahan, karena pemberian obat-obatan atau terapi
non-invasif lainnya membutuhkan jangka waktu yang sangat lama untuk
melihat hasil terapi (Purnomo, 2012).
Desobstruksi kelenjar prostat akan menyembuhkan gejala obstruksi
dan miksi yang tidak lampias. Hal ini dapat dikerjakan dengan cara
operasi TURP, atau Insisi Prostat Transurehtra (TUIP atau BNI).
Pembedahan direkomendasikan pada pasien BPH yang tidak
menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa, mengalami
retensi urin, infeksi saluran kemih berulang, hematuria, gagal ginjal, dan
timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi saluran
kemih bagian bawah (Purnomo, 2012).
1) Pembedahan terbuka
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal,
retropubik atau perineal. Pada operasi melalui kandung kemih dibuat
sayatan perut bagian bawah, kemudian prostat dienukleasi dari dalam
simpainya. Keuntungan teknik ini adalah dapat sekaligus untuk
mengangkat batu buli-buli atau divertikelektomi apabila ada
divertikulum yang cukup besar (Katzung, 2012).
Cara pembedahan retropubik dikerjakan melalui sayatan kulit
perut bagian bawah dengan membuka simpai prostat tanpa membuka
kandung kemih, kemudian prostat dienukleasi. Kedua cara
pembedahan tersebut masih kalah dibandingkan dengan cara TURP,
yaitu mordibitasnya yang lebih lama, tetapi dapat dikerjakan tanpa
memerlukan alat endoskopi yang khusus, dengan alat bedah baku.
Prostatektomi melalui sayatan perineal tidak lagi dikerjakan
(Katzung, 2012)
2) Transurethra Resection of Prostate
Transurethral Resection of The Prostate adalah tatalaksana
bedah standar untuk pasien BPH. Cairan irigan (pembilas) non-

14
konduktif digunakan selama TURP untuk menjaga visibilitas yang
baik dari lapangan operasi selama tindakan berlangsung. Cairan ini
tidak mengandung elektrolit, dan penyerapan larutan hipotonik ini ke
dalam aliran darah dapat menyebabkan kelebihan cairan dan
hiponatremia, sehingga dapat menyebabkan efek kardiovaskular dan
sistem saraf yang merugikan. Sindrom TURP didefinisikan sebagai
tingkat natrium serum <125 mmol/L yang dikombinasikan dengan
gejala klinis kardiovaskular atau manifestasi neurologis. Namun,
manifestasi klinis juga dapat terjadi dengan tingkat natrium
serum >125 mmol/L (Fujiwara dkk., 2014).

K. Pengkajian Fokus
Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita
BPH merujuk pada teori menurut Tucker dan Canobbio (2008) ada berbagai
macam, meliputi :
a. Demografi
Kebanyakan menyerang pada pria berusia diatas 50 tahun. Ras kulit hitam
memiliki resiko lebih besar dibanding dengan ras kulit putih. Status social
ekonomi memili peranan penting dalam terbentuknya fasilitas kesehatan
yang baik. Pekerjaan memiliki pengaruh terserang penyakit ini, orang
yang pekerjaanya mengangkat barang-barang berat memiliki resiko lebih
tinggi..
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien BPH keluhan keluhan yang ada adalah frekuensi , nokturia,
urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis miksi,
hesistensi (sulit memulai miksi), intermiten (kencing terputus-putus), dan
waktu miksi memanjang dan akhirnya menjadi retensi urine.
c. Riwayat penyakit dahulu
Kaji apakah memilki riwayat infeksi saluran kemih (ISK), adakah
riwayat mengalami kanker prostat. Apakah pasien pernah menjalani
pembedahan prostat / hernia sebelumnya.

15
d. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji adanya keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita
penyakit BPH.
e. Pola kesehatan fungsional
1) Eliminasi
Pola eliminasi kaji tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya,
ragu ragu, menetes, jumlah pasien harus bangun pada malam hari
untuk berkemih (nokturia), kekuatan system perkemihan. Tanyakan
pada pasien apakah mengedan untuk mulai atau mempertahankan
aliran kemih. Pasien ditanya tentang defikasi, apakah ada kesulitan
seperti konstipasi akibat dari prostrusi prostat kedalam rectum.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Kaji frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan, jumlah
minum tiap hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau keadaan
yang mengganggu nutrisi seperti anoreksia, mual, muntah,
penurunan BB.
3) Pola tidur dan istirahat
Kaji lama tidur pasien, adanya waktu tidur yang berkurang karena
frekuensi miksi yang sering pada malam hari ( nokturia ).
4) Nyeri/kenyamanan
Nyeri supra pubis, panggul atau punggung, tajam, kuat, nyeri
punggung bawah.
5) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Pasien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan,
penggunaan alkhohol.
6) Pola aktifitas
Tanyakan pada pasien aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan
waktu senggang, kebiasaan berolah raga. Pekerjaan mengangkat
beban berat. Apakah ada perubahan sebelum sakit dan selama sakit.
Pada umumnya aktifitas sebelum operasi tidak mengalami gangguan,

16
dimana pasien masih mampu memenuhi kebutuhan sehari – hari
sendiri.
7) Seksualitas
Kaji apakah ada masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampua
seksual akibat adanya penurunan kekuatan ejakulasi dikarenakan
oleh pembesaran dan nyeri tekan pada prostat.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau
dirasakan pasien sebelum pembedahan dan sesudah pembedahan
pasien biasa cemas karena kurangnya pengetahuan terhadap
perawatan luka operasi.

L. Diagnosa Keperawatan
Post Operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah,
edema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
b. Nyeri akut berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi
sekunder pada pembedahan.
c. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler
( tindakan pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih.
e. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan
impoten akibat dari pembedahan.
f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek
pembedahan

M. Fokus Intervensi dan Rasional


Menurut Nanda, 2015.
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah,
edema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.

17
Tujuan : Pasien berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi
Kriteria Hasil : Menunjukkan perilaku yang meningkatkan control
kandung kemih/urinaria, pasien mempertahankan keseimbangan cairan :
asupan sebanding dengan haluaran.
Intervensi Rasional
Kaji haluaran urine dan system drainase, Retensi dapat terjadi karena edema area bedah,
khususnya selama irigasi berlangsung bekuan darah dan spasme kandung kemih
Bantu pasien memilih posisi normal untuk Mendorong pasase urine dan menngkatkan rasa
berkemih normalitas.
Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan Kateter biasa lepas 2-5 hari setelah bedah, tetapi
ukuran aliran setelah kateter dilepas. berkemih dapat berlanjut sehingga menjadi
masalah untuk beberapa waktu karena edema
uretral dan kehilangan tonus.
Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai Mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi
toleransi, batasi cairan pada malam hari ginjal untuk aliran urine “penjadwalan” masukan
setelah kateter dilepas cairan menurunkan kebutuhan
berkemih/gangguan tidur selama malam hari.
Pertahankan irigasi kandung kemih continue Mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan
(continous bladder irrigation)/CBI sesuai debris untuk mempertahankan patensi kateter.
indikasi pada periode pascaoperasi

b. Nyeri akut berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi


sekunder pada pembedahan, dan pemasangan kateter.
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
1. Pasien mengatakan nyeri berkurang
2. Ekspresi wajah pasien tenang atau rileks
3. Pasien akan tidur / istirahat dengan tepat
4. Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Intervensi Rasional
Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala Nyeri tajam, intermitten dengan dorongan
0-10) berkemih sekitar kateter menunjukkan spasme
kandung kemih
Jelaskan pada pasien tentang gejala dini Pasien dapat mendeteksi gajala dini spasmus
spasmus kandung kemih kandung kemih.
Pertahankan patensi kateter dan system Mempertahankan fungsi kateter dan drainase

18
drainase. Pertahankan selang bebas dari system. Menurunkan resiko distensi/spasme
lekukan dan bekuan. kandung kemih.
Berikan informasi yang akurat tentang Menghilangkan ansietas dan meningkatkan
kateter, drainase, dan spasme kandung kerjasama
kemih.
Kolaborasi pemberian antispasmodic : Merilekskan otot polos, untuk memberikan
Oksibutinin klorida (Ditropan), supositoria, penurunan spasme dan nyeri dan menghilangkan
Propantelin bromide (pro-bantanin) spasme kandung kemih oleh kerja
antikolinergik.

c. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler


(tindakan pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah.
Tujuan : Tidak terjadi perdarahan
Kriteria Hasil :
1) Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan
2) Tanda – tanda vital dalam batas normal
3) Urine lancar lewat kateter.
Intervensi Rasional
Jelaskan pada pasien tentang sebab terjadi Menurunkan kecemasan pasien dan mengetahui
perdarahan setelah pembedahan dan tanda – tanda – tanda perdarahan
tanda perdarahan
Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan Gumpalan dapat menyumbat kateter,
dalm saluran kateter menyebabkan peregangan dan perdarahan
kandung kemih
Sediakan diet makanan tinggi serat dan Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik
memberi obat untuk memudahkan defekasi yang akan mengendapkan perdarahan
Mencegah pemakaian termometer rektal, Dapat menimbulkan perdarahan prostat
pemeriksaan rektal atau huknah, untuk
sekurang – kurangnya satu minggu
Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di Traksi kateter menyebabkan pengembangan
pasang dan kapan traksi dilepas balon ke sisi fosa prostatik, menurunkan
perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah
pembedahan
Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam, Deteksi awal terhadap komplikasi,dengan
masukan dan haluaran warna urine intervensi yang tepat mencegah kerusakan
jaringan yang permanen.

19
d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif : alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering
Tujuan : Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi
Kriteria Hasil :
1) Pasien tidak mengalami infeksi.
2) Dapat mencapai waktu penyembuhan.
3) Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Intervensi Rasional
Pertahankan sistem kateter steril, berikan Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi.
perawatan kateter dengan steril.
Anjurkan intake cairan yang cukup (2500– Meningkatkan output urine sehingga resiko
3000) sehingga dapat menurunkan potensial terjadi ISK dikurangi dan mempertahankan
infeksi fungsi ginjal
Pertahankan posisi urinebag dibawah Menghindari refleks balik urine yang dapat
memasukkan bakteri ke kandung kemih
Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda Mencegah sebelum terjadi shock
– tanda shock dan demam
Observasi urine: warna, jumlah, bau Mengidentifikasi adanya infeksi
Kolaborasi dengan dokter untuk memberi Untuk mencegah infeksi dan membantu proses
obat antibiotic penyembuhan.

e. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan


impoten akibat dari pembedahan.
Tujuan : Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai
tingkat dapat diatasi.
Kriteria Hasil : Menyatakan pemahaman situasional individu,
menunjukan pemecahan masalah dan menunjukkan rentang yang tepat
tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
Intervensi Rasional
Dampingi pasien dan bina hubungan saling Menunjukkan perhatian dan keinginan untuk
percaya membantu.
Berikan informasi yang tepat tentang harapan Impotensi fisiologis terjadi bila syaraf perineal
kembalinya fungsi seksual dipotong selama prosedur radikal.
Diskusikan ejakulasi retrograde bila Cairan seminal mengalir kedalam kandung
pendekatan transurethral/suprapubik kemih dan disekresikan melalui urine, hal ini

20
digunakan tidak mempengaruhi fungsi seksual tetapi akan
menurunkan kesuburan dan menyebabkan urine
keruh.
Anjurkan pasien untuk latihan perineal dan Meningkatkan peningkatan control otot
interupsi/continue aliran urin. kontinensia urin dan fungsi seksual.

f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan


Tujuan : Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil :
1) Pasien mampu beristirahat / tidur dalam.
2) waktu yang cukup.
3) Pasien mengungkapan sudah bisa tidur.
4) Pasien mampu menjelaskan faktor.
5) penghambat tidur .
Intervensi Rasional
Jelaskan pada pasien dan keluarga penyebab Meningkatkan pengetahuan pasien sehingga mau
gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk kooperatif dalam tindakan perawatan
menghindari.
Ciptakan suasana yang mendukung, suasana Suasana tenang akan mendukung istirahat
tenang dengan mengurangi kebisingan
Beri kesempatan pasien untuk Menentukan rencana mengatasi gangguan
mengungkapkan penyebab gangguan tidur
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian Mengurangi nyeri sehingga pasien bisa istirahat
obat yang dapat mengurangi nyeri/analgetik dengan cukup

21

Anda mungkin juga menyukai