PENDAHULUAN
Strategi untuk mewujudkan tujuan nasional mencerdaskan kehidupan bangsa, yakni
melalui pendidikan yang berkualitas atau bermutu pada setiap satuan pendidikan (Wardani,
2012). Berbagai pendapat dari para pakar mengatakan bahwa faktor moral, akhlak, karakter
adalah hal utama yang harus dibangun terlebih dahulu agar bisa membangun sebuah
masyarakat yang tertib, aman, dan sejahtera. Maka dari itu pemerintah mengeluarkan
kebijakan penguatan pendidikan karakter di lingkungan sekolah. Bahwasanya penguatan
pendidikan karakter gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk
memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan
olah raga dengan pelibatan dan kerjasama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat
sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (Kemendikbud, 2016).
Upaya untuk mewujudkan peradaban bangsa melalui pendidikan karakter, budaya dan
moral, tentulah sosok Ki Hadjar Dewantara menjadi rujukan utama. Bapak pendidikan
bangsa Indonesia ini telah merintis tentang konsep tri pusat pendidikan. Melalui tri pusat
pendidikan, kebijakan PPK dimulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan
lingkungan sosial (Budiyono, Yuni Harmawati, 2017). Pada lingkungan sekolah, guru saat ini
memiliki peran sangat besar dan semakin kompleks dalam pembentukan karakter anak/siswa.
Peran guru dalam dunia pendidikan modern sekarang ini, tidak sekedar sebagai pengajar
semata, pendidik akademis tetapi juga merupakan pendidik karakter, moral dan budaya bagi
siswanya. Guru haruslah menjadi teladan, seorang model sekaligus mentor dari anak/siswa di
dalam mewujudkan perilaku yang berkarakter yang meliputi olah pikir, olah hati dan olah
rasa (Wardani, 2012). Meskipun sumber yang dijadikan pijakan pendidikan karakter
bervariasi, yaitu dari hasil pemikiran manusia, berupa Pancasila/peraturan negara, budaya di
samping dari agama. Ada juga konsep pendidikan akhlak yang dikosepkan oleh Al Ghazali
yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah.
Memang tidak mudah untuk menghasilkan SDM yang tertuang dalam penguatan
pendidikan karakter tersebut. Salah satu sorotan permaslahannya dilingkungan sekolah,
pertama kurangnya pengembangan nilai-nilai kehidupan dalam pelaksanaan pendidikan nilai
dan karakter. Kedua kurangnya sosialisasi ke seluruh warga SD (siswa, guru, kepala sekolah,
orang tua) terkait visi, misi, dan tujuan pendidikan karakter. Ketiga, Penyusunan tata tertib
sekolah masih di dominasi oleh guru dan kepala sekolah. Terakhir, banyak sekolah yang
melakukan hukuman secara mekanik (Akbar, 2009). Dampaknya yang paling mudah
ditemukan banyak di antara mereka yang acuh tak acuh terhadap keberadaan guru (Laksana,
2015). "Semakin mudahnya ilmu didapat Guru semakin tidak
dihargai"(www.soloensis.com). Guru sudah tidak dekat dengan murid begitu pun juga dengan
halnya siswa-siswinya. Sekarang zamannya telah berubah. Guru tidak diperkenankan
memberi hukuman fisik kepada siswa. Apabila pihak sekolah atau guru memberi hukuman
fisik biasanya dikatakan melanggar Hak Asasi Manusia (www.soloensis.com). Kesadaran
orang tua yang kurang, mengikis kepercayaan orang tua terhadap peran guru. Lalu bagaimana
tujuan kebijakan penguatan pendidikan karakter dapat tercapai. Maka dari itu perlu adanya
revitalisasi peran guru terhadap konsep pendidikan karakter ki hadjar dewantara dan Al
Ghazali agar penumbuhan karakter sukses.
PEMBAHASAN
Penguatan Pendidikan Karakter
Gerakan Penguatan pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pengejawantahan
Gerakan Revolusi Mental sekaligus bagian integral Nawacita. Kebijakan PPK muncul dari
anggapan bahwa kemerosotan budaya dan karakter bangsa. Hal ini dapat teratasi salah
satunya dari lingkungan pendidikan, karena pendidikan masih memegang peran yang teramat
penting. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif yang diharapkan
dapat mengembangkan budaya dan karakter generasi muda bangsa kita dalam berbagai aspek
kehidupan, yang dapat mengurangi penyebab terjadinya berbagai masalah kemerosotan
budaya dan karakter bangsa (Amat Jaedun dkk, 2014)
Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan berprilaku yang
membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat dan
warga negara serta membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Inti tujuan pendidikan karater Penguatan dan pengembangan tujuan
pendidikan karakter memiliki makna bahwa pendidikan bukan hanya sekedar intelektualitas
namun juga meletakkan pendidikan karakter sebagai jiwa utama (PP No 87 Tahun 2017).
Pendidikan karakter secara lebih luas, sebagai pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan
budi pekerti, pendidikan watak, yang bertujuan: mengembangkan kemampuan peserta didik
dalam memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan
kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari degan sepenuh hati (Idris S, 2014). Maka dari itu
penguatan pendidikan karakter tentu akan berbicara mengenai nilai yang akan di tanamkan
dalam peserta didik
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa
bersumber; agama, pancasila, budaya dan tujuan nasional pendidikan. (Kemendiknas, 2010).
Adapun 18 nilai yang perlu diterapkan dalam pelaksanaan penguatan pendidikan karakter.
PPK dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan karakter
terutama meiliputi nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatit mandiri,
demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan
bertanggungjawab (PP No 87 Tahun 2017). Selanjutnya, dari ke 18 nilai karakter kemudian
dikristalisasi menjadi 5 nilai karakter utama. Kelima nilai karakter utama bangsa tersebut
yaitu: religius, nasionalis, mandiri, gotong royong dan integritas (Kemendikbud, 2016).
Penguatan keteraturan setiap tindakan dan diukur berdasarkan hirarki nilai tidaklah
mudah, penuh tantangan dan urgensi yang harus di ketahui dunia pendidikan. Tantangan dan
urgensi yang harus diketahui pada penguatan pendidikan karakter adalah sebagai berikut:
1. Harmonisasi pengembangan potensi siswa yang belum optimal antara olah hati (etik),
olah pikir (literasi), olah rasa (estetik), dan olah raga (kinestetik)
2. Besarnya populasi siswa, guru, dan sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia
3. Belum optimalnya sinergi tanggungjawab terhadap pendidikan karakter anak antara
sekolah, orang tua dan masyarakat
4. Tantangan globalisasi, pengaruh negatif teknologi informasi dan komunikasi terhadap
gaya hidup remaja, serta pudarnya nilai-nilai religiusitas dan kearifan lokal bangsa
5. Terbatasnya pendampingan orang tua mengakibatkan krisis identitas dan disorientasi
tujuan hidup anak
6. Keterbatasan sarana belajar dan infrastruktur, prasana dan sarana sekolah, sarana
transportasi, jarak antara rumah siswa ke sekolah (jalur sungai, hutan), sehingga PPK
diimplementasikan bertahap.
Seseorang peserta didik yang harus memiliki niat baik dalam mencari ilmu (tholab al-
Ilmi) dan akhlak untuk selalu mengingat Allah ( Gunawan H, 2012). Salah satunya, sebagai
seorang peserta didik harus memiliki kesadaran bahwa mencari ilmu hendaknya memiliki
niat yang baik, yakni niat hanya karena Allah Swt (Basuki dan Miftahul Ulum, 2007). Bukan
hanya sekedar menjadi yang terunggul, mencari jabatan, popularitas pekerjaan dan
kedudukan semata. Hal ini yang dikenal dengan istilah kapitalisme pendidikan. Jika mencari
ilmu hanya bertujuan pada hal-hal tersebut, maka pendidikan seolah hanya akan menjadi
komoditas perdagangan.
Peran guru
Peranan guru ibarat sekeping mata uang, di satu sisi sebagai pendidik dan sisi lain
sebagai pengajar. Kedua peran itu dapat dibedakan tetapi tidak pernah dapat dipisahkan.
Peran guru tidak sekedar sebagai pengajar semata, yakni sebagai penyebar ilmu dan teknologi
pada siswa di sekolah, namun peran guru dalam menamamkan sikap, nilai karakter, moral
dan budaya bagi siswanya.
1. Para pendidik yang selain memahami ilmu pengetahuan juga memiliki kepribadian, baik
tingkah lakunya, tutur katanya, sehingga menjadi cermin dan panutan.
2. Guru harus bisa sebagai seorang model sekaligus mentor dari anak/siswa di dalam
mewujudkan perilaku yang berkarakter yang meliputi olah pikir, olah hati dan olah rasa.
3. Guru mampu menampilkan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai moral seperti
kejujuran, keadilan,
4. Guru mampu mematuhi kode etik profesional.
5. Hubungan antara guru atau pendidik dan siswa, harus dilandasi cinta kasih, saling
percaya, jauh dari sifat otoriter dan situasi yang memanjakan.
6. ing ngarsa sung tuladha, maksudnya bila seseorang atau guru berada di depan
diharapkan mampu menjadi teladan atau contoh yang baik bagi anak buah atau
pengikutnya.
7. ing madya mangun karsa, maksudnya posisi seseorang atau guru di level menengah
diharapkan mampu menuangkan gagasan dan ide-ide yang baru untuk mendukung
program yang ditetapkan.
8. tutwuri Handayani berarti pemimpin atau guru mengikuti dari belakang, memberi
kemerdekaan bergerak yang dipimpinya, tetapi handayani, mempengaruhi dengan daya
kekuatan, kalau perlu dengan paksaan dan kekerasan apabila kebebasan yang diberikan
itu dipergunakan untuk menyeleweng dan akan membahayakan diri.
PENUTUP
Kesimpulan
Upaya mewujudkan peradaban bangsa melalui pendidikan karakter bangsa tidak
pernah terlepas dari lingkungan pendidikan baik di dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.
Guru memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter,
berbudaya, dan bermoral. Dewasa ini, tuntutan dan peran guru semakin kompleks, tidak
sekedar sebagai pengajar semata, pendidik akademis tetapi juga merupakan pendidik
karakter, moral dan budaya yang berlaku di Indonesia. Guru diharapkan menjadi model dan
teladan bagi anak didiknya dalam mewujudkan perilaku yang berkarakter yang meliputi olah
pikir, olah hati dan olah rasa. Untuk mewujudkan manusia Indonesia yang berkarakter kuat,
perlu kiranya diterapkan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dengan sistem among, tut
wuri handayani dan tringa.
Saran
Mariah kita rombak cara kita mengajar. Tujuan pendidikan tidak hanya mencerdaskan
bangsa ttetapi menguatkan karakter sehingga muncul akhlak baik. Oleh karenanya maka kita
harus koreksi sudahkan cara kita mendidik karakter kepada siswa dengan memanusiakan
mereka. Jika murid melanggar lantas kita hukum keras, apakah itu tidak memberikan contoh
buruk kepada mereka. Menempatkan diri seperti mereka dalam hal mengajarkan
pembelajaran, sikap serta sanksi jika mereka melanggar.
DAFTAR RUJUKAN
Ahmad Saebani, Beni dan Abdul Hamid. (2010). Ilmu Akhlak. Bandung: Pustaka Setia.
Amat Jaedun, Sutarto, Ikhwanuddin. (2014). Model Pendidikan Karakter Di SMK Melalui
Program Pengembangan Diri dan Kultur Sekolah. Yogyakarta: Jurnal Pendidikan
Teknologi dan Kejuruan Volume 22
Akbar, Sa’dun. (2013). Revitalisasi Pendidikan Karakter Pada Satuan Pendidikan dengan
Pendekatan Komprehenshif. Disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Karakter
Bangsa di IAIN Tulungagung.
Basuki dan Miftahul Ulum. (2007). Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. Ponorogo: Stain Po
Press.
Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah. (2017). Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017
Tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Jakarta: Depdiknas.
Idris, S. (2014). Demokrasi dan Filsafat Pendidikan (Akar Filosofis dan Implikasinya dalam
Pengembangan Filsafat Pendidikan). Ar-Raniry Press.
Gunawan, Heri. (2012). Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi. Bandung: Alfabeta.
Basri, Hasan.( 2009). Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia,
Laksana, Sigit Dwi. (2015). Urgensi Pendidikan Karakter. Unmuh Ponorogo: Staf Pengajar
PGMI Fakultas Agama Islam. Vol.05 No.01 Januari-Juni 2015 ISSN 2088-3390.
Surjomiharjo, Abdurrachman. (1986). Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah
Indonesia Modern. Jakarta: Sinar Harapan.
Wardani, Kristi. (2012). Guru dan pendidikan karakter (konsep ki hadjar dewantara dan
relevansinya saat ini) .Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta: PGSD
FKIP.
https://www.utakatikotak.com/kongkow/detail/10314/Semakin-mudahnya-ilmu-didapat.-
Guru-semakin-tidak-dihargaiGus-Mus
http://www.soloensis.com/13/10/2017/hukuman-membentuk-karakter-siswa-1917.html