Anda di halaman 1dari 10

REVITALISASI PERAN GURU TERHADAP KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER

PENDAHULUAN
Strategi untuk mewujudkan tujuan nasional mencerdaskan kehidupan bangsa, yakni
melalui pendidikan yang berkualitas atau bermutu pada setiap satuan pendidikan (Wardani,
2012). Berbagai pendapat dari para pakar mengatakan bahwa faktor moral, akhlak, karakter
adalah hal utama yang harus dibangun terlebih dahulu agar bisa membangun sebuah
masyarakat yang tertib, aman, dan sejahtera. Maka dari itu pemerintah mengeluarkan
kebijakan penguatan pendidikan karakter di lingkungan sekolah. Bahwasanya penguatan
pendidikan karakter gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk
memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan
olah raga dengan pelibatan dan kerjasama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat
sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (Kemendikbud, 2016).
Upaya untuk mewujudkan peradaban bangsa melalui pendidikan karakter, budaya dan
moral, tentulah sosok Ki Hadjar Dewantara menjadi rujukan utama. Bapak pendidikan
bangsa Indonesia ini telah merintis tentang konsep tri pusat pendidikan. Melalui tri pusat
pendidikan, kebijakan PPK dimulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan
lingkungan sosial (Budiyono, Yuni Harmawati, 2017). Pada lingkungan sekolah, guru saat ini
memiliki peran sangat besar dan semakin kompleks dalam pembentukan karakter anak/siswa.
Peran guru dalam dunia pendidikan modern sekarang ini, tidak sekedar sebagai pengajar
semata, pendidik akademis tetapi juga merupakan pendidik karakter, moral dan budaya bagi
siswanya. Guru haruslah menjadi teladan, seorang model sekaligus mentor dari anak/siswa di
dalam mewujudkan perilaku yang berkarakter yang meliputi olah pikir, olah hati dan olah
rasa (Wardani, 2012). Meskipun sumber yang dijadikan pijakan pendidikan karakter
bervariasi, yaitu dari hasil pemikiran manusia, berupa Pancasila/peraturan negara, budaya di
samping dari agama. Ada juga konsep pendidikan akhlak yang dikosepkan oleh Al Ghazali
yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah.
Memang tidak mudah untuk menghasilkan SDM yang tertuang dalam penguatan
pendidikan karakter tersebut. Salah satu sorotan permaslahannya dilingkungan sekolah,
pertama kurangnya pengembangan nilai-nilai kehidupan dalam pelaksanaan pendidikan nilai
dan karakter. Kedua kurangnya sosialisasi ke seluruh warga SD (siswa, guru, kepala sekolah,
orang tua) terkait visi, misi, dan tujuan pendidikan karakter. Ketiga, Penyusunan tata tertib
sekolah masih di dominasi oleh guru dan kepala sekolah. Terakhir, banyak sekolah yang
melakukan hukuman secara mekanik (Akbar, 2009). Dampaknya yang paling mudah
ditemukan banyak di antara mereka yang acuh tak acuh terhadap keberadaan guru (Laksana,
2015). "Semakin mudahnya ilmu didapat Guru semakin tidak
dihargai"(www.soloensis.com). Guru sudah tidak dekat dengan murid begitu pun juga dengan
halnya siswa-siswinya. Sekarang zamannya telah berubah. Guru tidak diperkenankan
memberi hukuman fisik kepada siswa. Apabila pihak sekolah atau guru memberi hukuman
fisik biasanya dikatakan melanggar Hak Asasi Manusia (www.soloensis.com). Kesadaran
orang tua yang kurang, mengikis kepercayaan orang tua terhadap peran guru. Lalu bagaimana
tujuan kebijakan penguatan pendidikan karakter dapat tercapai. Maka dari itu perlu adanya
revitalisasi peran guru terhadap konsep pendidikan karakter ki hadjar dewantara dan Al
Ghazali agar penumbuhan karakter sukses.
PEMBAHASAN
Penguatan Pendidikan Karakter
Gerakan Penguatan pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pengejawantahan
Gerakan Revolusi Mental sekaligus bagian integral Nawacita. Kebijakan PPK muncul dari
anggapan bahwa kemerosotan budaya dan karakter bangsa. Hal ini dapat teratasi salah
satunya dari lingkungan pendidikan, karena pendidikan masih memegang peran yang teramat
penting. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif yang diharapkan
dapat mengembangkan budaya dan karakter generasi muda bangsa kita dalam berbagai aspek
kehidupan, yang dapat mengurangi penyebab terjadinya berbagai masalah kemerosotan
budaya dan karakter bangsa (Amat Jaedun dkk, 2014)
Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan berprilaku yang
membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat dan
warga negara serta membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Inti tujuan pendidikan karater Penguatan dan pengembangan tujuan
pendidikan karakter memiliki makna bahwa pendidikan bukan hanya sekedar intelektualitas
namun juga meletakkan pendidikan karakter sebagai jiwa utama (PP No 87 Tahun 2017).
Pendidikan karakter secara lebih luas, sebagai pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan
budi pekerti, pendidikan watak, yang bertujuan: mengembangkan kemampuan peserta didik
dalam memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan
kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari degan sepenuh hati (Idris S, 2014). Maka dari itu
penguatan pendidikan karakter tentu akan berbicara mengenai nilai yang akan di tanamkan
dalam peserta didik
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa
bersumber; agama, pancasila, budaya dan tujuan nasional pendidikan. (Kemendiknas, 2010).
Adapun 18 nilai yang perlu diterapkan dalam pelaksanaan penguatan pendidikan karakter.
PPK dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan karakter
terutama meiliputi nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatit mandiri,
demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan
bertanggungjawab (PP No 87 Tahun 2017). Selanjutnya, dari ke 18 nilai karakter kemudian
dikristalisasi menjadi 5 nilai karakter utama. Kelima nilai karakter utama bangsa tersebut
yaitu: religius, nasionalis, mandiri, gotong royong dan integritas (Kemendikbud, 2016).
Penguatan keteraturan setiap tindakan dan diukur berdasarkan hirarki nilai tidaklah
mudah, penuh tantangan dan urgensi yang harus di ketahui dunia pendidikan. Tantangan dan
urgensi yang harus diketahui pada penguatan pendidikan karakter adalah sebagai berikut:
1. Harmonisasi pengembangan potensi siswa yang belum optimal antara olah hati (etik),
olah pikir (literasi), olah rasa (estetik), dan olah raga (kinestetik)
2. Besarnya populasi siswa, guru, dan sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia
3. Belum optimalnya sinergi tanggungjawab terhadap pendidikan karakter anak antara
sekolah, orang tua dan masyarakat
4. Tantangan globalisasi, pengaruh negatif teknologi informasi dan komunikasi terhadap
gaya hidup remaja, serta pudarnya nilai-nilai religiusitas dan kearifan lokal bangsa
5. Terbatasnya pendampingan orang tua mengakibatkan krisis identitas dan disorientasi
tujuan hidup anak
6. Keterbatasan sarana belajar dan infrastruktur, prasana dan sarana sekolah, sarana
transportasi, jarak antara rumah siswa ke sekolah (jalur sungai, hutan), sehingga PPK
diimplementasikan bertahap.

Pendidikan karakter Ki Hajar Dewantara


a. Hakikat pendidikan karakter Ki Hajar Dewantara
Pendidikan karakter dalam istilah sederhananya adalah pendidikan budi pekerti. Kata
karakter berasal dari bahasa inggris character, artinya sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi
pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain (KBBI, 2018). Selanjutnya Ki Hadjar
Dewantara mengatakan, yang dinamakan “budi pekerti” atau watak atau dalam bahasa asing
disebut “karakter” yaitu “bulatnya jiwa manusia” sebagai jiwa yang “berasas hukum
kebatinan”. Budi pekerti, watak, atau karakter, bermakna bersatunya gerak pikiran, perasaan,
dan kehendak atau kemauan, yang menimbulkan tenaga (Ki Hariyadi, 1989). Ketahuilah
bahwa “budi” itu berarti pikiran–perasaan–kemauan, sedang “pekerti” itu artinya “tenaga”.
Jadi “budipekerti” itu sifatnya jiwa manusia, mulai angan-angan hingga terjelma sebagai
tenaga. Dengan “budi pekerti” itu tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka
(berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri (mandiri, zelfbeheersching).
Inilah manusia yang beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan (Majelis Luhur
Persatuan Taman Siswa, 1977).
Padangan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara merupakan usaha kebudayaan
yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak agar dalam
kodrat pribadinya serta pengaruh lingkunganannya, mereka memperoleh kemajuan lahir batin
menuju ke arah adab kemanusiaan (Ki Suratman, 1987). Lalu bagaimana hubungan karakter
dengan budaya. Istilah karakter (budi pekerti ) berhubungan erat sekali dengan budaya karena
keduanya sama-sama berkaitan dengan akal dan tindakan yang dilakukan oleh manusia dalam
hidup bermasyarakat. Budi pekerti adalah keselarasan antara akal dan tindakan. Tindakan
yang baik harus dilandasi akal dari jiwa yang sudah masak yang diatur menurut sistem
norma dari budaya yang melatar belakanginya. Dari dua kalimat kunci tersebut dapat
dimaknai bahwa manusia bereksistensi ragawi dan rokhani atau berwujud raga dan jiwa.
Adapun pengertian jiwa dalam budaya bangsa meliputi “ngerti, ngrasa, lan
nglakoni”(cipta, rasa, dan karsa) . Cipta ialah kemampuan pikiran untuk mengadakan sesuatu
yang baru; angan-angan yang kreatif. Rasa ialah pendapat (pertimbangan) mengenai baik
atau buruk, salah atau benar. Karsa ialah daya (kekuatan) jiwa yang mendorong makhluk
hidup untuk berkehendak (KBBI, 2018). Dengan demikian bahwa pendidikan itu suatu
tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak.
Pendidikan sebagai suatu tuntunan, maka pendidik harus sadar. Anak itu sebagai
makhluk, sebagai manusia tumbuhnya anak-anak itu terletak di luar kehendak para pendidik.
Pendidik hanya dapat menuntun agar siswa dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya)
hidup dan tumbuhnya itu. Konsepsi tersebut dmemberikan pandangan guru kepada murid,
bahwa pendidik.
1) Menempatkan anak didik sebagai pusat pendidikan
2) Memandang pendidikan sebagai suatu proses yang dengan demikian bersifat
dinamis
3) Mengutamakan keseimbangan antar cipta, rasa, dan karsa dalam diri anak.
Dengan demikian hakikat pendidikan karakter menurut Ki Hadjar Dewantara adalah
usaha sadar penanaman/internalisasi nilai-nilai moral dalam sikap dan perilaku anak didik
agar memiliki sikap, perilaku dan budi pekerti yang luhur (akhlaqul karimah) dalam
keseharian baik berinteraksi dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dengan alam lingkungan
maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil.

b. Konsep Pendidikan karakter Ki Hajar Dewantara


Kosep pendidikan Ki Hadjar Dewantara menggunakan sistem Among. Sistem
Among” sebagai perwujudan konsepsi beliau dalam menempatkan anak sebagai sentral
proses pendidikan. Tiga semboyan inilah yang dijadikan sebagai konsep dasar pendidikan
karakter.
1) Ing Ngarsa Sung Tuladha
Ing ngarsa berarti ‘di depan’ atau ‘di muka’. Sun berasal dari kata ingsun yang berarti
‘saya’. Tulodo berarti ‘teladan’. Jadi ing ngarsa sung tuladha mengandung makna, seorang
pamong atau pendidikharus mampu memberikan suri teladan bagi anak didiknya. Pendidik
sebagai seorang pemimpin, maka ia harus memiliki sikap dan perilaku yang baik di segala
langkah dan tindakannya agar dapat dijadikan dapat dijadikan sebagai “central figure” bagi
siswa.
2) Ing Madya Mangun Karsa
Ing madya berarti ‘di tengah-tengah’, mbangun berarti ‘membangkitkan’ atau
‘menggugah’, sedangkan karso diartikan sebagai ‘bentuk kemauan’ atau ‘niat’. Jadi ing
madya mangun karsa mengandung makna bahwa seorang pemimpin ditengan kesibukannya
harus mampu membangkitkan atau menggugah semangat kerja anggota bawahannya. Oleh
karenanya, seorang pamong atau pendidik sebagai pemimpin hendaknya mampu menumbuh-
kembangkan minat, hasrat dan kemauan anak didik untuk dapat kreatif dan berkarya, guna
mengabdikan diri kepada cita-cita yang luhur dan ideal.
3) Tutwuri Handayani
Tutwuri berarti ‘mengikuti dari belakang’. Sedangkan handayani berarti ‘memberikan
dorongan moral atau dorongan semangat’. Jadi Tutwuri Handayani berarti seorang pendidik
adalah pemimpin yang harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang.
Ki Hadjar Dewantara menjelaskan lebih jauh dan detail bahwa anak didik mencari jalan
sendiri selama mereka mampu dan bisa melakukan itu karena ini merupakan bagian dari
pendidikan pendewasaan diri yang baik dan membangun. Kemajuan anak didik, dengan
membiarkan hal seperti itu, akan menjadi sebuah kemajuan sejati dan hakiki. Namun,
kendatipun begitu, biarkan mereka berjalan sendiri, bukan berarti tidak diperhatikan dan
dipedulikan, pendidik harus mengawasi kemanakah mereka akan menempuh jalan. Pendidik
hanya mengamati, memberi teguran, maupun arahan ketika mengambil jalan yang salah dan
keliru. Ini sesungguhnya yang dimaksud. Arahan dan teguran akan datang ketika anak
didiknya akan tergelincir ke jalan yang tidak baik.
Konsep ajaran pendidikan Ki Hadjar Dewantara selain sistem atau metode among,
yakni sistem paguron. Melaui peranan rumah guru atau pamong sebagai tempat yang
dikunjungi anak didik. Orang tua menitipkan anaknya agar memperoleh pendidikan lanjutan
yang terarah, terprogram, terkonsep, untuk jenjang kedewasaan yang lebih baik.
Implementasinya sekarang melalui sistem pendidikan pesantren atau pendidikan asrama.
Sistem paguron ini memiliki perbebedaan dengan sistem sekolah, antara lain:
1. Guru dan anak didik berada pada lokasi yang sama
2. Interaksi guru dan murid setiap hari bahkan berbulan-bulan
3. Transformasi kehidupan yang menyentuh, integral, dan sangat efektif.
4. Anak didik akan mewarisi nilai-nilai kepribadian sang guru.
Materi Pendidikan Karakter
Dalam pelaksanaan pendidikan karakter menurut Ki Hadjar Dewantara haruslah
sesuai dengan tingkatan umur para peserta didik. Hal ini dikarenakan seorang guru harus
memahami tentang kondisi psikis dari peserta didik dengan tujuan bahwa ketika materi
pendidikan karakter disampaikan harus dapat dipahami dan dicerna secara utuh.
adapun materi pendidikan karakter tersebut adalah sebagai berikut:
1) Taman Indria dan Taman Anak (5-8 tahun)
Periode ini disebut periode sarikat, artinya peserta didik dapat mengetahui
kebaikan dan keburukan melalui tingkah laku dari peserta didik itu sendiri. Materi
pengajaran karakter bagi anak yang masih di sekolah ini berupa, latihan mengarah
pada kebaikan yang memenuhi syarat bebas yaitu sesuai kodrat hidup anak.
Contoh: ayo, duduk yang baik; jangan ramai-ramai; dengarkan suaraku.
2) Taman Muda (umur 9-12 tahun)
Periode ini disebut periode hakikat, artinya anak-anak sudah dapat mengetahui
tentang hal baik dan buruk.pembelajaran diajarkan melalui pengertian tentang
segala tingkah laku kebaikan dalam hidupnya sehari-hari. Materi pendidikan ini
setiap anjuran perlu di jelaskan mengenai maksud dan tujuan pendidikan karakter
agar mencapai rasa damai.
3) Taman Dewasa (umur 14-16 tahun)
Periode ini disebut periode tarekat, artinya anak didik melatih diri terhadap segala
laku yang sukar dan berat dengan niat yang disengaja. inti dari pengajaran
pendidikan pada periode ini adalah semua laku (tidakan) yang disengaja yang
memerlukan kekuatan kehendak (usaha) dan kekuatan tenaga (aplikasi). Materi ini
dapat dilaksanakan melalui pendidikan kesenian dan olahraga.
4) Taman Madya dan Taman Guru (umur 17-20)
Periode ini disebut periode ma’rifat, artinya mereka telah dalam tingkatan
pemahaman. Pengajaran tentang karakter yang harus diberikan pada periode ini
adalah berupa ilmu atau pengetahuan yang agak mendalam dan halus. materi
yang berkaitan dengan ethik dan hukum kesusilaan. Jadi bukan hanya berkenaan
dengan kesusilaan saja melainkan juga tentang dasar-dasar kebangsaan,
kemanusiaan, keagamaan, kebudayaan, adat istiadat dan sebagainya
Melihat dari materi pendidikan karakter di atas dapat kita dipahami bahwa Ki Hadjar
Dewantara menghendaki bahwa dalam penyampaian pendidikan karakter haruslah
disesuaikan dengan umur si peserta didik. Pernyataan Asas Taman Siswa tahun 1922 itu
berisi 7 pasal yang dapat diringkas sebagai berikut :
a. Pasal 1 dan 2 mengandung dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur
dirinya sendiri. Bila diterapkan kepada pelaksanaan pengajaran, maka hal itu
merupaan usaha mendidik murid-murid supaya dapat berperasaan, berpikiran dan
bekerja merdeka di dalam batas-batas tujuan mencapai tertib-damainya hidup
bersama.
b. Pasal 3 menyinggung kepentingan-kepentingan sosial, ekonomi dan politik.
Kecenderungan bangsa kita untuk menyesuaikan diri dengan hidup dan
penghidupan kebarat-baratan akan menimbulkan berbagai kekacauan.
c. Pasal 4 mengandung dasar kerakyatan. Daerah pengajaran harus diperluas”,
menjadi dasar pelaksanaan dan wajib belajar bagi segenap mereka yang sudah
waktunya mendapat pengajaran.
d. Pasal 5 merupakan asas yang sangat penting bagi semua orang yang ingin
mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuh-penuhnya.
e. Pasal 6 berisi persyaratan dalam mengejar kemerdekaan diri dengan jalan
keharusan untuk membelanjai sendiri segala usaha.
f. Pasal 7 mengharuskan adanya keikhlasan lahir batin bagi guru untuk
mendekati anak didiknya (Surjomihardjo, 1986).
Konsep Pendidikan Karakter Al-Ghazali
a. Hakikat Pendidikan Karakter Al-Ghazali
Akhlaq menurut al-Ghazali bukanlah pengetahuan (ma'rifah) tentang baik dan jahat
maupun kodrat (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi'il), yang baik dan
jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap (hay'a rasikha fi-n-nafs). Akhlaq menurut
al-Ghazali adalah "suatu kemantapan jiwa yang menghasilkan perbuatan atau pengamalan
dengan mudah, tanpa harus direnungkan dan disengaja Muslih, Masnur. ( 2011). Jika
kemantapan itu sudah melekat kuat, sehingga menghasilkan amal-amal yang baik.
Meskipun sumber yang dijadikan pijakan pendidikan karakter bervariasi, yaitu dari
hasil pemikiran manusia, berupa Pancasila/peraturan negara, budaya di samping dari agama.
Sedangkan pendidikan akhlak bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah.
Nilai-nilai Pendidikan Akhlak yang dicetuskan oleh Al-Ghazali termaktub dalam kitab
“Bidayat al-Hidayah” yang berarti permulaan petunjuk, mempunyai nilai-nilai pendidikan
akhlak yang holistik yakni meliputi akhlak kepada Allah Swt, akhlak kepada diri sendiri dan
akhlak kepada orang lain (Basri Hasan, 2009). Kitab “Bidayat al-Hidayat” merupakan
panduan setiap muslim dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Demikian halnya dengan pendidikan karakter, dapat terlihat bahwa dalam pendidikan
karakter juga mengandung unsur teori pengetahuan tentang sikap-sikap terpuji (knowing the
good). Kemudian berlanjut pada feeling the good, agar seseorang dapat merasakan dan
mencintai kebaikan, dan setelah itu sampai pada tahap melakukan perbuatan tersebut (acting
the good) yang kemudian akan menjadi suatu kebiasaan (habit).

b. Konsep Pendidikan Karakter Al-Ghazali


Nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat dalam kitab “Bidayat al-
Hidayah” adalah:
1) akhlak seseorang harus memiliki niat baik dalam mencari ilmu
2) mengingat Allah
3) menggunakan waktu dengan baik
4) akhlak pribadi untuk menjauhi larangan-larangan Allah
5) etika sebagai seorang pendidik
6) akhlak peserta didik menjaga kesopanan terhadap pendidik
7) menjaga etika terhadap orang tua
8) menjaga hubungan baik dengan orang awam
9) menjaga hubungan baik dengan teman dekat/sahabat
10) menjaga hubungan baik dengan orang yang baru dikenal ( Gunawan H, 2012).
Sebagaimana dalam teori ruang lingkup pendidikan akhlak yang mencakup perilaku
akhlak kepada Allah, akhlak kepada diri sendiri, dan akhlak dalam konteks kemasyarakatan,
baik keluarga, kerabat maupun interaksi sosial yang lebih luas. Berikut akan dipaparkan
penjelasannya:
1. Nilai pendidikan akhlak terhadap Allah

Seseorang peserta didik yang harus memiliki niat baik dalam mencari ilmu (tholab al-
Ilmi) dan akhlak untuk selalu mengingat Allah ( Gunawan H, 2012). Salah satunya, sebagai
seorang peserta didik harus memiliki kesadaran bahwa mencari ilmu hendaknya memiliki
niat yang baik, yakni niat hanya karena Allah Swt (Basuki dan Miftahul Ulum, 2007). Bukan
hanya sekedar menjadi yang terunggul, mencari jabatan, popularitas pekerjaan dan
kedudukan semata. Hal ini yang dikenal dengan istilah kapitalisme pendidikan. Jika mencari
ilmu hanya bertujuan pada hal-hal tersebut, maka pendidikan seolah hanya akan menjadi
komoditas perdagangan.

2. Nilai pendidikan akhlak terhadap diri sendiri


Akhlak terhadap diri sendiri bahwa perilaku seseorang terhadap dirinya sebagai hasil
dari pengendalian nafsu dan penerimaan terhadap apa yang menimpanya. Terkait dengan hal
tersebut, tampak bahwa al-Ghazali menggunakan konsep takhalli, yakni mengosongkan diri
dari akhlak tercela serta membebaskan jiwa dari hawa nafsu duniawi yang dapat
menjerumuskan manusia pada kerakusan dan bertindak layaknya binatang (Ahmad Saebani,
Beni dan Abdul Hamid, 2010). Sehingga “menjaga diri” diartikan sebagai menjaga diri dari
isi lahir maupun dari sisi batin.
3. Nilai pendidikan akhlak terhadap orang lain

1) Akhlak terhadap keluarga.


2) Ahklak terhadap lingkungan sekolah.
3) Akhlak terhadap masyarakat.

Peran guru
Peranan guru ibarat sekeping mata uang, di satu sisi sebagai pendidik dan sisi lain
sebagai pengajar. Kedua peran itu dapat dibedakan tetapi tidak pernah dapat dipisahkan.
Peran guru tidak sekedar sebagai pengajar semata, yakni sebagai penyebar ilmu dan teknologi
pada siswa di sekolah, namun peran guru dalam menamamkan sikap, nilai karakter, moral
dan budaya bagi siswanya.

1. Para pendidik yang selain memahami ilmu pengetahuan juga memiliki kepribadian, baik
tingkah lakunya, tutur katanya, sehingga menjadi cermin dan panutan.
2. Guru harus bisa sebagai seorang model sekaligus mentor dari anak/siswa di dalam
mewujudkan perilaku yang berkarakter yang meliputi olah pikir, olah hati dan olah rasa.
3. Guru mampu menampilkan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai moral seperti
kejujuran, keadilan,
4. Guru mampu mematuhi kode etik profesional.
5. Hubungan antara guru atau pendidik dan siswa, harus dilandasi cinta kasih, saling
percaya, jauh dari sifat otoriter dan situasi yang memanjakan.
6. ing ngarsa sung tuladha, maksudnya bila seseorang atau guru berada di depan
diharapkan mampu menjadi teladan atau contoh yang baik bagi anak buah atau
pengikutnya.
7. ing madya mangun karsa, maksudnya posisi seseorang atau guru di level menengah
diharapkan mampu menuangkan gagasan dan ide-ide yang baru untuk mendukung
program yang ditetapkan.
8. tutwuri Handayani berarti pemimpin atau guru mengikuti dari belakang, memberi
kemerdekaan bergerak yang dipimpinya, tetapi handayani, mempengaruhi dengan daya
kekuatan, kalau perlu dengan paksaan dan kekerasan apabila kebebasan yang diberikan
itu dipergunakan untuk menyeleweng dan akan membahayakan diri.

PENUTUP
Kesimpulan
Upaya mewujudkan peradaban bangsa melalui pendidikan karakter bangsa tidak
pernah terlepas dari lingkungan pendidikan baik di dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.
Guru memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter,
berbudaya, dan bermoral. Dewasa ini, tuntutan dan peran guru semakin kompleks, tidak
sekedar sebagai pengajar semata, pendidik akademis tetapi juga merupakan pendidik
karakter, moral dan budaya yang berlaku di Indonesia. Guru diharapkan menjadi model dan
teladan bagi anak didiknya dalam mewujudkan perilaku yang berkarakter yang meliputi olah
pikir, olah hati dan olah rasa. Untuk mewujudkan manusia Indonesia yang berkarakter kuat,
perlu kiranya diterapkan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dengan sistem among, tut
wuri handayani dan tringa.
Saran
Mariah kita rombak cara kita mengajar. Tujuan pendidikan tidak hanya mencerdaskan
bangsa ttetapi menguatkan karakter sehingga muncul akhlak baik. Oleh karenanya maka kita
harus koreksi sudahkan cara kita mendidik karakter kepada siswa dengan memanusiakan
mereka. Jika murid melanggar lantas kita hukum keras, apakah itu tidak memberikan contoh
buruk kepada mereka. Menempatkan diri seperti mereka dalam hal mengajarkan
pembelajaran, sikap serta sanksi jika mereka melanggar.

DAFTAR RUJUKAN
Ahmad Saebani, Beni dan Abdul Hamid. (2010). Ilmu Akhlak. Bandung: Pustaka Setia.

Amat Jaedun, Sutarto, Ikhwanuddin. (2014). Model Pendidikan Karakter Di SMK Melalui
Program Pengembangan Diri dan Kultur Sekolah. Yogyakarta: Jurnal Pendidikan
Teknologi dan Kejuruan Volume 22

Akbar, Sa’dun. (2013). Revitalisasi Pendidikan Karakter Pada Satuan Pendidikan dengan
Pendekatan Komprehenshif. Disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Karakter
Bangsa di IAIN Tulungagung.

Basuki dan Miftahul Ulum. (2007). Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. Ponorogo: Stain Po
Press.

Budiyono, Yuni Harmawati. (2017). Penguatan pendidikan karakter melalui nilai-nilai


Keteladanan guru dan orang tua Pada siswa sekolah dasar .Universitas PGRI
Madiun: Prosiding Seminar Nasional Ppkn.

Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah. (2017). Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017
Tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Jakarta: Depdiknas.

Idris, S. (2014). Demokrasi dan Filsafat Pendidikan (Akar Filosofis dan Implikasinya dalam
Pengembangan Filsafat Pendidikan). Ar-Raniry Press.

Gunawan, Heri. (2012). Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi. Bandung: Alfabeta.
Basri, Hasan.( 2009). Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia,

Kemendikbud. Konsep Dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter. Jakarta: Kementerian


Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia .

Kemendikbud. (2016). Panduan Penilaian Penguatan Pendidikan Karakter. Jakarta:


Kemendikbud.

Ki Hadjar Dewantara. Bagian Pertama: Pendidikan. ( Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan


Taman Siswa, 1977), h. 24.

Ki Hariyadi. (1989). Ki Hadjar Dewantara sebagai Pendidik, Budayawan, Pemimpin Rakyat


dalam Buku Ki Hadjar Dewantara dalam Pandangan Para Cantrik dan Mentriknya.
Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Ki Suratman. (1987). Pokok-pokok Ketamansiswaan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan


Taman Siswa.

Laksana, Sigit Dwi. (2015). Urgensi Pendidikan Karakter. Unmuh Ponorogo: Staf Pengajar
PGMI Fakultas Agama Islam. Vol.05 No.01 Januari-Juni 2015 ISSN 2088-3390.

Muslih, Masnur. ( 2011). Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis


Multidimensional. akarta; Bumi Aksara,

Surjomiharjo, Abdurrachman. (1986). Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah
Indonesia Modern. Jakarta: Sinar Harapan.

Wardani, Kristi. (2012). Guru dan pendidikan karakter (konsep ki hadjar dewantara dan
relevansinya saat ini) .Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta: PGSD
FKIP.

KBBI. (2018). Karakter. Diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/karakter

https://www.utakatikotak.com/kongkow/detail/10314/Semakin-mudahnya-ilmu-didapat.-
Guru-semakin-tidak-dihargaiGus-Mus

http://www.soloensis.com/13/10/2017/hukuman-membentuk-karakter-siswa-1917.html

Anda mungkin juga menyukai