Anda di halaman 1dari 274

Serial Penelitian Dan Penerbitan

The Acheh Renaissance Movement


(geumilang Aceh…. geumilang Islam)

Sejarah Perjuangan
Ummah
Aceh-Sumatra

Oleh
Al-Ustadz Hilmy Bakar Hasany Almascaty

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 1


Bismillahirrahmanirrahim
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang

Tentang Peneliti & Penulis

Al-Ustadz Hilmy Bakar Alhasany Almascaty,


adalah Pendiri dan Presiden Hilal Merah sebagai
rekomendasi Mudzakarah Nasional Ulama, Habaib
dan Cendekiawan Muslim ke XI di Medan Sumut.
Pernah menjabat sebagai: Panglima Operasi
Kemanusiaan DPP-Front Pembela Islam (FPI) dan
Ormas Islam di NAD, Ketua DPP Front Pembela Islam,
Wakil Ketua PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah, Ketua Umum
Aliansi Peduli Aktivis, Kordinator Nasional
Mudzakarah Ulama, Habaib dan Cendekiawan
Muslim, Ketua Persaudaraan Pekerja Muslim (PPMI),

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 2


Direktur R&D Universitas Islam Azzahra, Anggota
Pleno Partai Bulan Bintang, Bendahara Umum Partai
Daulat Rakyat, Preskom Madani Group, Pendiri dan
Deputy Presiden Intelektual Muda Muslim Asia
Tenggara, Direktur di beberapa Perusahaan
Multinasional Malaysia dan beberapa jabatan dan
konsultan di pemerintah. Dosen dan Direktur Institut
Pendidikan Safa Malaysia, Ketum Yayasan Islam An-
Nur NTB. Pernah aktiv di Pelajar Islam Indonesia (PII),
Persekutuan Pelajar Islam Asia Tenggara (PEPIAT),
Pengkajian Risalah Tauhid BKPMI, Darul Arqam dan
Gerakan Mujahidin Ansharullah sebagai Kepala Staf
KTWB.
Lahir di NTB pada 01 Agustus 1966. Mendapat
Pendidikan di SDN dan Madrasah Diniyah Mataram,
Madrasah Tsanawiyah Mataram, Madrasah Aliyah
Jogyakarta, Islamic College Malaysia, Ma’had Aly Al-
Dakwah, Sekolah Tinggi Ilmu Islam, Diploma Madya
Pentadbiran Perniagaan ITTAR Malaysia, Pasca
Sarjana Fakultas Pentadbiran Perniagaan Universiti
Kebangsaan Malaysia (UKM), Doktor Ekonomi-
Manajemen, International Institute of Management

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 3


Studies akredetasi Assocations of University and
College-USA.
Menulis Risalah: Problematika Umat Islam
Indonesia (Furqon Press, Yogya-1983), Studi Kritis
Terhadap Idiologi Pancasila di Zaman Soeharto
(Tanpa Penerbit, Yogya-1983), Risalah Panduan Jihad
(Annur, 1987).
Menulis buku : Ummah Melayu Kuasa Baru Abad
21 (Berita Publ. Malaysia-1994), Generasi
Penyelamat Ummah (Berita Publ. Malaysia-1995),
Panduan Jihad untuk Aktivis Islam (GIP-JKT, 2001),
Membangun Kembali Sistem Pendidikan Kaum
Muslimin (Azzahra Press, 2002). Buku yang akan
terbit : Manhaj Tanzily dan Heurmenotika al-Qur’an
Kontemporer dan The Acheh Renaissance.
Mempersiapkan : Kecerdasan Ketujuh,
Menggerakkan Kecerdasan Ilahiyah Menuju Manusia
Sempurna.
Menulis di berbagai koran dan majalah nasional
dan regional, terutama Malaysia. Menjadi nara
sumber di berbagai seminar/konferensi nasional dan
regional. Pernah diwawancarai media masa lokal dan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 4


internasional, CNN, BBC, CNBC, Al-Jazeera, Spain TV,
La Monde, TheWashington Post, Newsweek dll. Pada
2001 majalah internasional ASIAWEEK
meletakkannya sebagai cover dan menjuluki sebagai
tokoh jembatan Moderat Islam dengan Radikal Islam
di Asia Tenggara.
Sekarang hilir mudik dari Aceh-Kuala Lumpur-
Jakarta-Timur Tengah untuk mempersiapkan
beberapa penelitian puncak sebagai hujung dari
perjalanan spiritual yang tengah dilakukannya. Lihat
websitenya : www.hilmybakar.co.cc

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra


Jilid I

Pengantar Penulis
Latar Belakang Penulisan & Methodologi

1. Mendifinisikan Kembali Ummah Aceh-Sumatra


Sebagai Entitas Peradaban Muslim
2. Kegemilangan Peradaban Ummah Aceh-Sumatra
Pra-Islam

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 5


3. Dekonstruksi Teori Islamisasi Ummah Aceh-
Sumatra
4. Kerajaan Islam Jeumpa (156 H / 770 M),
Kerajaan Islam Pertama Di Wilayah Nusantara
5. Kerajaan Islam Perlak (225 H / 840 M)
6. Kerajaan Islam Pasai (1230 M)
7. Ketika Kerajaan Pasai-Sumatra Menggantikan
Bagdad Sebagai Pusat Khilafah Islamiyah.
8. Ketika Kerajaan Islam Pasai Menaklukkan
Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
9. Legenda Auliya Aceh : Dari Pasai Menaklukkan
Hindu-Majapahit Dan Mendirikan Kerajaan Islam
Demak Di Tanah Jawa

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra


Jilid II

10. Menghadapi Ancaman Imprialisme Barat


Eropa (Portogis, Inggris, Francis, Belanda dan
lain-lain)

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 6


11. Kebangkitan Kerajaan Aceh Darussalam
(1514 M)
12. Puncak Kegemilangan Aceh : Sultan
Iskandar Muda (1607-1636)
13. Awal Kemunduran Aceh : Dari Intrik Putro
Phang, Kelemahan Iskandar Tsani, Konflik Teologi
Raniry, Perpecahan Internal Elit Politik dan
Perang Saudara.
14. Peran Ulama Dan Auliya Dalam Kebangkitan
Ummah Aceh-Sumatra : Sayid Hussein Jamad al-
Kubra, Maulana Malik Ibrahim, Maulana Abu
Ishak, Makhdum Patakan, Hamzah Fansuri,
Syamsuddin al-Sumatrany, Nuruddin al-Raniry,
Maulana Syiah Kuala dan Habib Dianjung

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra


Jilid III

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 7


15. Sejarah Kedermawanan Abadi Habib Bugak
Asyi : Pewaqaf Baitul Asyi Makkah al-
Mukarramah
16. Jihad Melawan Penjajah Kaphe Sepanjang
500 Tahun Dan Implikasinya Pada Ummah Aceh-
Sumatra
17. Pergolakan dan Perubahan Sosial Ummah
Aceh-Sumatra (Peran ”Kaum Muda” Padang
Melalui Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA)
Dalam Pergolakan Sosial dan Perpecahan
Ummah Aceh-Sumatra)
18. Masa Genting Menjelang Kemerdekaan
Indonesia (Merdeka Sendiri atau Bergabung
Dengan Indonesia)
19. Dialog Imajiner Dengan Pemangku Sultan
Aceh Darussalam : Jika Aceh Tidak Bergabung
Dengan Indonesia, Mungkin Lebih Hebat Dari
Malaysia Dan Singapura

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 8


Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra
Jilid IV

20. Memahami Dinamika Pergerakan Rakyat


Aceh Pasca Kemerdekaan, Dari Jihad DI-TII,
Proklamasi Republik Islam Aceh, Pendirian Aceh
Merdeka, Perjuangan Gerakan Aceh Merdeka
Sampai Perdamaian Helsinki
21. Bencana Tsunami Dan Jalan Kemenangan
(Salman Bireuen)
22. Aceh Di Persimpangan Jalan : Merdeka Atau
Aceh Renaissance
23. Teori ”The Aceh Renaissance” Dan Masa
Depan Kegemilangan Ummah Aceh-Sumatra.
24. Negeri Yang Dinantikan (Baldah al-
Muntadzirah)

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 9


Pengantar Penulis

Ketika penulis mengikuti Konfrensi Internasional


Pembangunan Aceh Ke 2 di Lhokseumawe, pada
penghujung 2007 lalu yang diselenggarakan oleh
Universitas Malikus Saleh, penulis menyaksikan
bagaimana antusiasnya generasi muda Aceh,
khususnya para cendekia muda untuk mengetahui
secara pasti tentang Aceh, terutama sejarah
keagungan dan peradaban yang telah dicapai oleh
generasi pendahulu mereka. Maka sejak saat itu
penulis berazam untuk membuat sebuah pengantar
atau minimal sebuah rintisan untuk membuka

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 10


kembali lembaran sejarah Aceh yang selama ini
menjadi misteri bagi kebanyakan orang, bahkan bagi
generasi Aceh sendiri.
Hidup adalah perjuangan. Itulah kata bertuah
yang senantiasa penulis dengar sejak kecil. Jadi jika
kita berbicara tentang hidup, maka kita sebenarnya
sedang membicarakan perjuangan. Demikian halnya,
ketika kita ingin membicarakan sejarah kehidupan
sebuah ummah, maka sebenarnya kita juga sedang
membicarakan perjuangan mereka. Maka ketika
penulis ingin meneliti sejarah Aceh, sebenarnya
penulis ingin mengetahui lebih jauh tentang sejarah
perjuangan ummah di Aceh yang sangat melegenda
itu.
Walaupun wilayah Aceh bukanlah asing bagi
penulis, karena sejak tahun 1985 penulis sudah
mulai menginjakkan kaki di bumi Serambi Mekah ini,
namun terus terang penulis belum memberikan
perhatian yang besar pada sejarah Aceh. Padahal
pada saat itu penulis sedang mengadakan pemetaan
dakwah bersama para aktivis pemuda Islam dari
Jakarta dan Yogyakarta. Sampai akhir tahun 80-an,

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 11


penulis masih gelap dengan sejarah Aceh. Yang
penulis ketahui hanya sepintas tentang sejarah
Kerajaan Pasai dan penyebaran Islam. Sebatas itu
saja.
Pada awal tahun 90-an, atau sekitar
pertengahan 1991, penulis berkesempatan tinggal di
Aceh bersama dengan para aktivis dakwah dari
Malaysia. Namun sekali lagi penulis tidak
mendapatkan gambaran yang jelas tentang sejarah
Aceh, karena susahnya mendapatkan referensi yang
memadai. Walaupun sepanjang tahun 1992-1993
penulis mengadakan penelitian tentang kebangkitan
Islam di Asia Tenggara dengan fokus di sekitar Kedah
(Malaysia), Pattani (Thailand) dan Aceh (Indonesia),
namun secara umum penulis belum mendapatkan
juga secara utuh gambaran sejarah Aceh. Mungkin
pada saat itu penulis belum merasa perlu untuk
mengetahui secara mendalam sejarah Aceh. Toh
walaupun sampai dengan penghujung tahun 90-an
sampai awal tahun 2003 penulis bolak balik dari
Kuala Lumpur-Jakarta ke Aceh, baik mengurus
investasi, politik ataupun penelitian, sampai sejauh

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 12


itupun penulis belum masuk pada dataran ingin
mengetahui sejarah Aceh secara menyeluruh.
Keseriusan penulis kepada sejarah Aceh dimulai
sejak peristiwa bencana tsunami pada 26 Desember
2004. Setelah selesai memberikan bantuan
semaksimal mungkin pada masa tanggap darurat
dan masa rekunstruksi fisik, tepatnya pada tahun
2006, penulis bersama dengan beberapa tokoh
pemuda Aceh seperti Twk. Muhammad Z. Narukaya,
Muzakhir Rida, Baihaqi Abdul Majid, Tajudin Hasan,
M. Ali Husein dan lain-lainnya berkeinginan
memberikan sumbangan yang berharga untuk
generasi muda Aceh. Tepatnya pada tanggal 1
Agustus 2006, bertepatan dengan usia 40 tahun,
penulis menetapkan azam, berhijrah secara total ke
Aceh, menjadi bagian dari suka duka dan dinamika
masyarakat Aceh. Penulis ingin menjadi bagian dari
Aceh yang tersimpan banyak misteri. Penulis
berkeyakinan, hanya dengan menjadi bagian dari
Aceh-lah, misteri Aceh akan terungkap, terutama
sejarah masa lalu yang sangat penting artinya bagi

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 13


kebangkitan kembali masyarakat Aceh, bahkan
masyarakat Islam seluruhnya.
Pasca tragedi bencana tsunami dan perdamaian
Helsinki, penulis banyak melihat kemunculan
pemuda-pemuda Aceh yang sangat berpotensi
menggerakkan perubahan pada masyarakat Aceh.
Namun karena panjangnya masa konflik yang
menimbulkan berbagai trauma, menjadikan sebagian
cendekia sangat berhati-hati dalam menyampaikan
pendapat. Hal ini tentu memberikan pengaruh yang
besar terhadap proses dinamisasi kebangkitan
kembali masyarakat Aceh. Maka bersama dengan
teman-teman yang telah bernaung di lambaga Hilal
Merah (Red Crescent), penulis memulai sebuah
gerakan yang kami namakan dengan Aceh
Renaissance, renaisan Aceh, atau pencerahan
kembali masyarakat Aceh dengan memiliki
kesadaran akan keagungan masa lalu mereka untuk
merancang kebangkitan masa depannya. Renaisan
memang menjadi harapan generasi muda Aceh yang
mulai tercerahkan, namun bagaimana memulainya?

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 14


Untuk memulai sebuah renaisan, menurut hemat
penulis, sebuah masyarakat wajib mengenal diri
mereka, siapa mereka, potensi-potensi yang
dimilikinya dan tentu sejarah masa lalu yang akan
menjadi spirit dalam membangun masa depan. Maka
dalam kontek inilah, penulis menekankan pentingnya
sebuah sejarah bagi masyarakat yang ingin
menggapai renaisan, atau kebangkitan kembali. Allah
SWT telah memerintahkan kepada hamba-Nya: Maka
ceritakanlah tentang sejarah-sejarah itu, agar
mereka mengambil pelajaran darinya.
Demikian pula halnya, secara pribadi sebagai
orang luar Aceh yang ingin menjadi dan merasa
sebagai bagian dari orang Aceh, hal pertama yang
harus penulis lakukan adalah mengetahui tentang
masyarakat Aceh itu sendiri. Karena masyarakat
Aceh sangat spesial di mata masyarakat muslim
Indonesia, bahkan mungkin tingkat Asia Tenggara
ataupun dunia sekalipun. Sejak kecil penulis
mendengar tentang Aceh yang Islami sebagai
serambi Mekkah. Demikian pula halnya, ketika
pemerintah memberikan kebebasan kepada

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 15


masyarakat Aceh untuk menjalankan Syariat Islam di
bawah jaminan undang-undang, penulis sangat
tertarik menjadi bagian dari masyarakat yang
berkesempatan menjalankan Syariat Islam. Sebagai
orang yang pernah hidup di tengah derasnya arus
masyarakat jahiliyah di Jakarta, secara spiritual
penulis tentu merindukan sebuah tempat yang dapat
mengantarkan penulis pada tingkat keimanan dan
ketaqwaan yang sempurna sebagaimana
dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.
Setelah penulis menjadi bagian dari Aceh-lah,
barulah penulis mendapat gambaran-gambaran awal
tentang Aceh. Walaupun pada tahap awal penulis
merasa kecewa dengan kenyataan yang penulis
lihat, namun penulis anggap itu sebagai bagian dari
tugas seorang muslim terhadap masyarakatnya.
Penulispun mulai mencari referensi tentang Aceh,
mengadakan dialog dengan tokoh-tokoh Aceh dan
mengadakan perjalanan keliling ke seluruh wilayah
Aceh, terutama tempat-tempat bersejarah. Termasuk
mengunjungi maqam para Sultan, Habib, Ulama,
Auliya, panglima dan lainnya. Semakin penulis

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 16


meresapi dan terlibat secara mendalam, secara
rohani dan spiritual dengan perjalanan sejarah Aceh,
maka di luar dugaan, penulis mendapatkan
gambaran-gambaran mengejutkan tentang sejarah
Aceh dan keagungannya yang selama ini secara
sengaja dan tersistematika disembunyikan dari buku-
buku sejarah nasional. Ironisnya sebagian besar
generasi muda Aceh tidak mengetahui tokoh-tokoh
sejarahnya sendiri.
Sampai dengan penghujung 2008, di tengah
kesibukan mempromosikan investasi ke Aceh kepada
para penguasa Malaysia dan Negara-negara muslim
Timur Tengah, penulis tetap menyempatkan diri
untuk melihat langsung monumen-monumen sejarah
masyarakat Aceh. Bahkan secara spiritual terkadang
monumen itu menceritakan sejarahnya kepada
penulis dengan caranya sendiri. Terkadang dalam
satu bulan dua kali penulis mengadakan perjalanan
sepanjang Banda Aceh, Pidie, Bireuen, Aceh Utara
sampai Perlak dan Langsa, dan sekitarnya.
Perjalanan yang memberikan pengalaman-
pengalaman luar biasa dalam memahami sejarah

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 17


dan dinamika masyarakat Aceh. Pengalaman-
pengalaman spiritual inilah kemudian penulis
terjemahkan dan analisis dengan fakta-fakta sejarah,
merangkainya menjadi bahan-bahan awal untuk
sejarah Aceh. Dengan harapan, rintisan awal ini akan
membuka cakrawala para cendekia muda Aceh untuk
melanjutkan penulisan sejarah, atau mungkin lebih
tepat dikatakan sebagai analisis sejarah Aceh ini.
Karena penulis tidak mencukupi hanya dengan
memaparkan fakta sejarah, namun menganalisis
juga.
Sebagai seorang muslim, hamba Allah yang
lemah, penulis berharap karya ini menjadi amal saleh
yang bermanfaat untuk masyarakat Aceh, terutama
para generasi muda yang akan menjadi pemimpin
pergerakan masyarakat Aceh. Segala kekurangan
dan kesalahan dari tulisan ini harap dimaafkan,
karena bagian dari kelemahan dan kekuarangan
penulis sebagai seorang manusia. Karena kebenaran
itu mutlak hanyalah milik Allah SWT.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 18


Bugak, Bireuen, Nanggroe Aceh Darussalam 01-08-
2008

Prolog
Sejarah Perjuangan Aceh = Sejarah Heroisme &
Konflik

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 19


Aceh saat ini jika dilihat dari segi statistik
penduduknya adalah 99 % muslim namun ironisnya,
menduduki tingkat no 2 termiskin dari seluruh
propinsi di Indonesia. Di atas propinsi Papua di ujung
timur Indonesia yang penduduknya masih banyak
telanjang. Pasca bencana tsunami, menurut laporan
Bank Dunia 2007-2008 diperkirakan Aceh menduduki
rangking pertama dalam kemiskinan yang mencapai
40 %. Dari latar belakang sejarah, Aceh jika
dibandingkan dengan Papua ataupun daerah lainnya
di Indonesia, misalnya dalam pembangunan
peradaban dan pengetahuan, Aceh pernah menjadi
pusat penyebaran peradaban baru di Nusantara yang
lahir dari asimilasi peradaban dunia dari Arab, Persia,
India, Cina ataupun Eropah, yang kini menjadi
budaya utama di Asia Tenggara, terutama di
Indonesia dan Malaysia. Bahkan bahasa kebangsaan
Indonesia, Malaysia dan Brunei adalah bahasa yang
telah digunakan oleh Kerajaan-Kerajaan Islam awal di
Aceh, baik di Jeumpa, Perlak, Pasai dan Aceh
Darussalam. Artinya bahwa Aceh pernah menjadi
pusat kegemilangan di Asia Tenggara, namun kenapa

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 20


saat ini Aceh mengalami kemunduran drastis, jauh
dari wilayah yang pernah menjadi wilayah
taklukannya, seperti Malaysia dan mungkin juga
daerah Jawa lainnya.
Sebagian peneliti berkesimpulan bahwa
kemunduran Aceh dalam segala lini adalah akibat
konflik demi konflik yang telah melanda daerah
tersebut. Bermula dari konflik internal pada masa
Kerajaan Aceh Darussalam, konfik dan peperangan
sepanjang 500 tahun dengan kolonialis dan imprialis
kafir Barat, konflik internal antara Ulama Pembaharu
dengan Ulama Tradasional yang didukung Uleebalang
menjelang kemerdekaan Indonesia dan berlanjut
dengan konflik yang disertai peperangan di era
Soekarno dan Soeharto. Konflik yang telah
memusnahkan potensi SDM dan peradaban
masyarakat Aceh. Dan akhirnya konflik demi konflik
telah melahirkan penekanan, penderitaan,
kemiskinan, kemunduran masyarakat dalam segala
lini kehidupannya. Keadaan ini diperparah dengan
bencana tsunami pada 26 Desember 2004 lalu.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 21


Ketika kita mengunjungi Aceh sekarang,
terutama tempat-tempat yang pernah dicatat sejarah
sebagai pusat peradaban seperti Jeumpa, Perlak,
Pasai dan Banda Aceh. Maka kita tidak akan percaya
bahwa wilayah ini pernah menjadi pusat
pengembangan peradaban selama berabad-abad. Di
pusat Kerajaan Islam Pasai misalnya, di sekitar
Geudong Kecamatan Samudra Aceh Utara, kita tidak
akan melihat bekas-bekas kemegahan dan
keagungan Kerajaan sebagaimana diceritakan Marco
Polo dan Ibnu Batutah pada awal abad 14 M. Di sana
kini tidak ada bekas-bekas istana ataupun puing-
puingnya, kecuali hanya maqam-maqam para Sultan.
Peninggalan Kerajaan Pasai tenggelam hilang ditelan
bumi, kita tidak percaya di sana pernah ada pusat
kerajaan terbesar di Asia Tenggara pada abad 12
sampai 15 M. Konon penjajah Belanda telah
menghilangkan semua bukti-bukti kegemilangan
Pasai dan bahkan menjadikannya sebagai tempat
pembuangan para penderita lepra.
Sementara jika kita ke Banda Aceh, yang telah
menjadi pusat Kerajaan Aceh Darussalam, kitapun

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 22


tidak mendapatkan bekas-bekas keagungan
peninggalan Sultan Iskandar Muda. Misalnya di mana
letak Istana Darud Donya yang kemegahannya telah
membuat terperangah para pengunjung dari Prancis
ataupun Inggris itu. Pasca bencana tsunami, Banda
Aceh, terutama yang ditengarai sebagai pusat
Kerajaan Aceh Darussalam telah berubah menjadi
komplek perumahan kumuh yang tidak teratur,
penuh dengan rumah-rumah bantuan yang tidak
layak huni. Demikian pula dengan tingkat kesadaran
masyarakatnya yang sangat jauh tertibnya jika
dibandingkan dengan masyarakat Melayu Kuala
Lumpur misalnya. Kegemilangan Islam dan
kesadaran keislaman pada masyarakat Aceh secara
umum seakan telah sirna, walaupun secara formal
diberlakukan syari’at Islam. Dayah yang menjadi
kebanggaan Aceh sudah mulai sepi dan tidak
diminati generasi muda lagi.
Benarkah konflik demi konflik yang telah
mengantarkan Aceh yang dulunya sebagai pusat
pengembangan peradaban dan pengetahuan Islam
menjadi sebagai propinsi paling tertinggal dan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 23


termiskin di Indonesia? Jika konflik telah menjadikan
Aceh terpuruk sedemikian parahnya, apakah para
pemimpin Aceh tidak menyadari, bahkan konflik
telah menghancurkan masyarakat mereka sendiri,
dan tidak berusaha keluar dari konflik demi konflik
yang menambah keterpurukan dan kemunduran
masyarakatnya. Jika konflik memang dianggap
bertanggung jawab terhadap kemunduran, kenapa
semua pihak, terutama seluruh komponen
masyarakat Aceh, tidak mengakhiri konflik demi
konflik ini, agar Aceh kembali bangkit dan meraih
kegemilangannya kembali? Nah disinilah
masalahnya, apakah konflik demi konflik yang telah
menghancurkan Aceh ini hanya melibatkan internal
masyarakat Aceh saja? Ternyata memang konflik
demi konflik yang terjadi di Aceh tidak sesederhana
yang kita fikirkan.
Menurut pengamatan penulis, setelah mencoba
meneliti, menelaah lebih jauh dan mendalam, konflik
demi konflik yang menyebabkan keterbelakangan
Aceh secara menyeluruh tidak lain adalah salah satu
akibat dan buah dari sebuah skenario panjang

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 24


upaya-upaya tersistematis untuk menghancurkan
Aceh dengan sejarah kegemilangannya yang
berlandaskan Islam. Konflik berkepanjangan yang
terjadi di Aceh dirancang secara sistematis,
terorganisir dan melibatkan banyak fihak yang
bertujuan untuk menghilangkan eksistensi Aceh
dengan segala perbendaharaan peradabadan dan
sejarah kegemilangan masa lalunya yang sangat erat
berkaitan dengan Islam.
Sejarah mengungkapkan bahwa Aceh sejak awal
abad ke 8 M adalah promotor dan benteng pertama
Islamisasi di Asia Tenggara yang telah menggusur
peran Hindu-Budha dengan peradaban dan
budayanya. Pada era kolonialisasi, Aceh adalah
benteng sekaligus garda terdepan melawan agresi
penjajah kafir Portugis, Inggris, Belanda maupun
Amerika. Ketika seluruh Nusantara sudah bertekuk
lutut pada penjajah kafir, para pejuang mujahidin
Aceh masih berperang sampai titik darah
penghabisan mengusir musuh agama dan sekaligus
musuh kemanusiaan itu. Aceh menjadi hambatan
terbesar kolonialisasi, baratisasi, kafirisasi ataupun

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 25


nasionalisasi yang diserukan penjajah kafir dan
antek-anteknya yang telah mereka didik. Bahkan
Aceh menjadi benteng Islam dan Syareat Islam ketika
negara nasionalis Pancasila diproklamirkan Soekarno
dan diteruskan Soeharto dengan kebijakan asas
tunggalnya. Akhirnya sampai saat ini, tidak
diragukan Aceh menjadi benteng pertahanan terakhir
Islam di Asia Tenggara yang menjadi incaran musuh-
musuh Islam, baik kaum Salibis, Zionis dan sekutu-
sekutunya.
Perencanaan besar untuk menghapuskan masa
lalu yang akan berdampak pada masa depan Aceh
inilah yang patut dijadikan sebagai faktor utama
yang telah menimbulkan dilemma Aceh, yang
kemudian menimbulkan konflik demi konflik, perang
demi perang, pemberontakan demi pemberontakan,
intrik demi intrik, perpecahan demi perpecahan yang
pada akhirnya mengantarkan Aceh pada jurang
keterbelakangan, kemiskinan, kemunduran dan
kebodohan sebagaimana yang dialaminya saat ini.
Prof. Ismail R. Faruqi dalam sebuah kuliahnya
pada awal tahun 80an telah mengingatkan bahwa

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 26


diantara strategi musuh-musuh Islam untuk
menghancurkan masa depan Islam adalah dengan
memisahkan generasi muda muslim dari akar tradisi
dan keagungan sejarah masyarakatnya. Generasi
muda dihalang-halangi untuk mempelajari dan
mengetahui keagungan sejarah nenek moyang
mereka dan dirubah orientasinya agar bangga
dengan keagungan penjajah, sistem penjajah,
sejarah penjajah dan tokoh-tokoh penjajah. Agar
generasi muda ini dapat menjadi boneka-boneka
penjajah yang menyerukan ide-ide sesatnya, seperti
apa yang dilakukan Mustafa Kemal Atta Turk yang
telah menyerukan sekulerisasi untuk menghilangkan
keagungan masa lalu Khalifah Ustmaniyah.
Usaha-usaha pelumpuhan atau penaklukan
peradaban Aceh yang dilakukan musuh-musuhnya
sepanjang sejarah Aceh telah mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Aceh
selanjutnya. Mengambil istilah Huntington, benturan
peradaban (clash of civilization) inilah yang menjadi
penyebab utama kemunduran Aceh, yang kemudian
menimbulkan segala akibatnya. Dan kini ironisnya

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 27


sebagaian besar generasi muda Aceh mulai tercabut
dari akar masa lalunya, terputus dengan sejarah
kegemilangan dan keagungan nenek moyangnya dan
melupakan peninggalan peradaban yang diwarisi
pendahulunya. Yang paling parah, sebagaian besar
mereka tidak peduli dengan nilai-nilai kesempurnaan
Islam yang telah mengantarkan generasi
pendahulunya menuju keagungan dan kejayaan
akibat lain dari masuknya faham sekulerisme kafir
Barat yang dibawa relawan asing pasca tsunami.
Sejak Aceh menggapai puncak kegemilangnnya,
terutama sejak zaman pemerintahan Sultan Malikus
Saleh di Pasai pada awal abad ke 13 M sampai Sultan
Iskandar Muda di Aceh Darussalam pada awal abad
ke 17 M, tidak henti-hentinya datang musuh-musuh
yang ingin melumpuhkan dan menaklukkan gerakan
kebangkitan Aceh sebagai pusat peradaban baru
yang berdasarkan ajaran Islam. Demikian pula letak
geografi Aceh di ujung barat pulau Sumatra yang
sangat strategis, yang menjadi laluan perdagangan
atau penyebaran peradaban antara dunia Eropa
klasik, Arab dengan Cina melalui jalur laut sejak 2000

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 28


tahun sebelum masehi telah menarik banyak bangsa
untuk menguasainya sebagai pertimbangan
penguasan jalur ekonomi.
Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit pada abad ke 13
M dibawah pimpinan Mahapatih Gajah Mada telah
menyerang Kerajaan Islam Pasai yang sedang
bangkit menjadi pusat Islamisasi di Nusantara,
demikian pula halnya dengan Kerajaan Siam-Budha
di sebelah Barat. Kerajaan Hindu-Budha di Nusantara
telah bersekutu untuk menghancurkan Kerajaan
Islam Pasai sebagai pusat Islamisasi yang semakin
berpengaruh dan kuat. Namun berkat kegigihan dan
keberanian para mujahidin Kerajaan Pasai yang
berjuang menegakkan kebenaran Islam telah mampu
mengusir para tentara kafir tersebut dengan
memperoleh kemenangan besar sebagaimana
dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. Kerajaan Pasai
bangkit semakin kuat dan berpengaruh, terutama
setelah kejatuhan Bagdad pada tahun 1258 M dan
menjadi pusat Islamisasi di Asia Tenggara, bahkan
menjadi pusat Khilafah Islamiyah untuk menentang
keganasan tentara Mongol.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 29


Akhirnya kebesaran Pasai telah mengakhiri
riwayat Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan
diproklamirkannya Kerajaan Islam Demak yang
didukung oleh Wali Sembilan yang berasal dari Pasai.
Kekuatan dan kebesaran Kerajaan Islam Pasai telah
mendorong pula lahirnya Kerajan Islam di Champa,
Pattani, Kelantan, Malaka, Borneo, Bugis-Makassar
sampai di Maluku dan Fak-Fak di Papua yang memiliki
kekerabatan dengan Pasai. Kemenangan Pasai yang
telah mengislamkan Asia Tenggara menimbulkan
dendam dan sakit hati para generasi penerus
Kerajaan Hindu-Budha Majapahit dan pelanjut fanatik
peradabannya yang panjang, saat ini di kenal dengan
Kejawenisme. Sementara Kejawenisme adalah
sebuah faham yang kemudian berkembang luas di
kalangan masyarakat Jawa, sebagai sebuah
singkritisme atau perpaduan antara semua aliran
kepercayaan dan agama-agama, termasuk Islam dan
Kristen. Para penerus Majapahit dan Kejawenisme
yang dikalahkan Pasai menunggu waktu tepat untuk
bangkit dengan peradaban mereka dan menguasai

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 30


kembali serta mengadakan balas dendam peradaban
terhadap Pasai atau penerusnya Aceh.
Kemenangan bangsa Barat atas kaum Muslim di
Yerusalem, yang dilanjutkan dengan pengusiran dan
pembantaian Muslim di Eropa, dibawah komando
Alfonso de Albuquerque dari Portogis, tentara Salib
melanjutkan penaklukkannya ke Asia Tenggara,
terutama Malaka dan Pasai yang dikenal sebagai
pusat Islamisasi Nusantara. Pada tahun 1511 Portogis
berhasil menguasai Malaka dan mendirikan benteng
untuk memperkuat kedudukannya dalam menguasai
pusat Islamisasi Nusantara di Pasai. Selanjutnya pada
tahun 1520 Portogis menyerang Pidie dan
mendudukinya. Melalui bentengnya di Malaka dan
Pidie inilah Portugis berhasil menguasai Pasai pada
tahun 1521. Kejatuhan Pasai ke tangan penjajah
Kristen Portugis telah menghakhiri peran Pasai dan
selanjutnya kedudukannya sebagai patron Kerajaan
Islam Nusantara digantikan oleh Kerajaan Aceh
Darussalam yang berpusat di Bandar Aceh yang
diproklamirkan oleh Sultan Ali Mugayyat Syah pada
tahun 1514 M, atau bersamaan dengan mulai

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 31


melemahnya kekudukan Pasai dalam menghadapi
serangan Portugis.
Untuk memperkuat posisinya sebagai pengganti
peranan Kerajaan Islam Pasai, Kerajaan Aceh
Darussalam menguasai kembali kerajaan-kerajaan
kecil yang mulai memisahkan diri akibat lemahnya
Pasai. Setelah memiliki kekuatan yang cukup,
Kerajaan Aceh Darussalam membebaskan Pidie dari
cengkraman Kolonialis Portogis dan mempersiapkan
untuk membebaskan Pasai, Malaka dan lain-lainnya.
Perang membebaskan Malaka yang diprakarsai
Kerajaan Aceh Darussalam juga melibatkan Kerajan-
Kerajaan Islam di Tanah Jawa sampai Bugis-Makassar,
yang memang merupakan sebuah jaringan kekuatan
Islam masa itu. Dalam menghadapi peperangan
dengan Kerajaan Aceh, kaum kolonialis Barat, baik
Portugis, Francis, Inggris maupun Belanda telah
bersekutu satu sama lainnya. Ada yang mengadakan
perjanjian dagang secara halus seperti Inggris,
sementara Belanda tetap menggunakan jalur
peperangan. Namun hakikatnya para imprialis-
kolonialis Barat Kristen ini memiliki misi yang sama,

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 32


yaitu untuk menghancurkan Aceh sebagai benteng
utama Islam di Asia Tenggara. Itulah sebabnya,
setelah Belanda menguasai seluruh wilayah
Indonesia, namun tetap nekad untuk menguasai
Aceh walaupun dengan biaya besar atas dukungan
sekutu-sekutu Kristen Baratnya.
Sejarah membuktikan bahwa Aceh tidak mudah
ditaklukkan, perlawanan demi perlawanan terus
berkobar, yang pada akhirnya melemahkan logistik
Belanda sendiri. Walaupun sudah berperang dengan
Kerajaan Aceh sejak pertengahan abad 16 sampai
awal abad 20, Belanda tidak berhasil menaklukkan
Aceh secara total, hanya menguasai jalur
perdagangan laut dan terus mendapat perlawanan
sengit para pejuang Aceh. Kekalahan demi kekalahan
yang dialami kolonialis Kristen Barat telah
menimbulkan dendam mereka dan penerusnya,
terutama penganut agama mereka yang menunggu
waktu untuk membalas kekalahan pendahulu
mereka. Itulah sebabnya tidak mengherankan,
gerakan missionaris Kristen berlomba-lomba
menyerang Aceh pasca bencana tsunami dengan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 33


berbagai kedok organisasi kemanusiaan. Karena
hanya Acehlah yang tidak dapat dikristenkan oleh
penjajah yang membawa agamanya, bahkan Aceh
menjadi benteng terakhir bagi misi kristenisasi di
Asia Tenggara.
Ketika Indonesia akan memperoleh
kemerdekaannya, para kolonialis Kristen ini telah
mempersiapkan kader-kader terbaik mereka untuk
menduduki jabatan penting dalam negara baru
bernama Indonesia, berasal dari Hendos Nesos
(Kepulauan Hindu). Para kader kolonialis ini telah
bersatu dengan kader-kader penerus Majapahit dan
Kejawenisme sebagai musuh Islam dan menghalangi
Islam sebagai dasar negara Indonesia merdeka dan
menggagas idiologi campuran yang bernama
Pancasila. Dan sekali lagi masyarakat Aceh dibawah
pimpinan para alim ulama menentang idiologi yang
tidak mengakomodir Syareat Islam ini. Maka
tampillah Tgk. M. Daud Beureueh memimpin
perlawanan masyarakat Aceh sebagai benteng
utama Islam dan Syareat Islam. Perlawanan
masyarakat Aceh pasca kemerdekaan lebih bersifat

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 34


idiologis, karena penolakan mereka terhadap dasar
negara yang tidak mengakomodir pelaksanaan
syariah Islam sebagaimana tuntutan masyarakat
Aceh.
Perlawanan historis dan idiologis masyarakat
Aceh ironisnya dijawab para petinggi Indonesia yang
dipimpin Soekarno maupun Soeharto dengan
peperangan demi peperangan. Generasi Aceh
menyambut tantangan perang dengan semangat
membara, karena perang memang sudah menjadi
tradisi dan jalan hidup masyarakat Aceh sejak ribuan
tahun yang lalu. Mereka tidak gentar sedikitpun
menghadapi perang yang dilancarkan Jakarta,
bahkan perang telah membangkitkan kesadaran
sejarah mereka sebagai sebuah bangsa penakluk
yang mewarisi keberanian dan penaklukan generasi
pendahulu mereka sejak zaman nabi Ibrahim as,
Iskandar Zulkarnain, Muhammad saw dan para
shahabatnya serta panglima-panglima agung dari
Kerajaan Jeumpa, Kerajaan Perlak, Kerajaan Pasai dan
Kerajaan Aceh Darussalam. Dan hanya masyarakat
muslim Aceh-lah satu-satunya yang telah melahirkan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 35


panglima wanita gagah perkasa Laksamana
Malahayati dengan pasukan tempurnya yang
menakutkan penjajah Inong Bale.
Benturan Peradaban (clash of civilization) dalam
tingkat lokal Indonesia tidak diragukan telah terjadi
sejak diproklamirkannya kemerdekaan. Penghapusan
sistem kesultanan dan kerajaan oleh Soekarno
karena dianggap feodalisme, telah melahirkan sistem
kepemimpinan tunggal secara nasional, yang pada
hakikatnya adalah neo-feodalisme yang dibalut
demokrasi dengan nama demokrasi terpimpin.
Penolakan secara terbuka Soekarno terhadap Syariat
Islam telah membuktikan mulai terjadinya benturan
antara peradaban yang eksis berdasarkan Islam
seperti di Aceh dengan peradaban sekuler atau
selanjutnya dikenal dengan idiologi Nasakom
(Nasionalisme, Agama dan Komonisme). Pemaksaan
idiologi ini terhadap masyarakat Aceh oleh Soekarno
dengan berbagai cara, dapat diartikan sebagai
upaya-upaya penghapusan peradaban Aceh yang
berdasarkan pada ajaran Islam.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 36


Demikian halnya penerapan sistem sentralisasi
kekuasaan dan penguatan idiologi nasional yang
diterjemahkan secara kejawenisme oleh Soeharto
yang selanjutnya dilanjutkan dengan pemberlakuan
asas tunggal Pancasila telah meyakinkan generasi
muda Islam bahwa Indonesia sedang diarahkan
menuju negara Kejawenisme yang berbasiskan
singkritisme Animisme, Dinamisme, Hindu, Budha,
Islam, Kristen dan lainnya. Bahkan secara terbuka
Soeharto telah menterjemahkan Pancasila sebagai
Hanacaraka Datasawala. Hal ini telah menimbulkan
pemberontakan demi pemberontakan generasi muda
Islam. Dalam hal ini generasi Aceh mendapat
momentum yang tepat, karena pergolakan
menentang regime Jakarta telah berlangsung dari
generasi demi generasi. Dan sekali lagi Aceh menjadi
pusat sentral perlawanan terhadap Jakarta, dibawah
Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Pasca Tsunami, kini sebenarnya Aceh telah
menjadi semacam last frontier, benteng terakhir
kaum Muslimin untuk mempertahankan tradisi dan
peradaban Melayu-Sumatra yang berbasiskan Islam

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 37


yang mana peradaban ini tidak sempat secara
sempurna ditransformasikan kepada masyarakat
Jawa, akibat masuknya kolonialis-imprialis Portugis,
Belanda dan lainnya. Akibatnya peradaban
Kejawenisme berbasis Hindu-Budha bangkit kembali
dan mulai menguasai peradaban baru yang mereka
kemas dengan Pancasila dan Indonesia. Maka tidak
diragukan, inilah tugas selanjutnya dari Ummah
Aceh-Melayu-Sumatra untuk menyempurnakan
proses Islamisasi yang telah dirintis para pendahulu
kaum Muslimin. Dan tentu langkah ini mesti dimulai
dari kebangkitan ummah Aceh-Melayu-Sumatra
terlebih dahulu. Dan untuk bangkit, tidak diragukan
bahwa sejarah perjuangan perlu difahami kembali
dengan benar.....

Wallahu a’lam..............

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 38


Mendifinisikan Kembali Aceh-Sumatra
Dengan Pendekatan Islami

Para cendekia, baik Muslim atau non-Muslim jika


mendefinisikan Aceh saat ini, kebanyakan dari
mereka hanya membatasinya pada wilayah propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam yang berjarak antara
Sabang sampai Tamiang-Singkil. Atau secara historis
hanya kembali kepada Kerajaan Aceh Darussalam
yang didirikan Sultan Mugayat Syah pada tahun

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 39


1514an saja sebagaimana yang difahami sebagian
besar generasi muda Aceh sekarang. Itulah sebabnya
sebagaian besar masyarakat Aceh saat ini
memahami mereka hanyalah sebuah bangsa yang
berasal dari Kerajaan Aceh Darussalam yang
mengalami kegemilangan pada zaman pemerintahan
Sultan Iskandar Muda (w.1637) dan menggunakan
bahasa Aceh yang ditetapkannya sebagai bahasa
bangsanya secara meluas, dengan meninggalkan
bahasa resmi yang telah diwariskan turun-temurun
yang merupakan gabungan dari Bahasa Arab, Persia,
India, Cina dan lainnya dengan penggunaan huruf
Arab.
Padahal jika diteliti lebih jauh, Kerajaan Aceh
Darussalam adalah kelanjutan dari beberapa
Kerajaan-Kerajaan sebelumnya, seperti Kerajaan
Jeumpa (760 M), Kerajaan Perlak (840 M), Kerajaan
Pasai (Abad 12 M), Kerajaan Pidier dan lain-lain yang
telah menjadi tapak persemaian kegemilangan
Peradaban baru, hasil asimilasi dan integrasi antara
peradaban Islam Arab, Persia, Cina, Hindia dan Eropa
yang telah melahirkan sebuah entitas peradaban

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 40


baru. Yang jika dikembalikan secara historis, maka
itulah yang disebut dengan Peradaban Aceh. Sebuah
Peradaban baru yang menjadi pengganti peradaban-
peradaban lama Animisme-Hindu-Budha dengan
wilayah kekuasaan yang terbentang luas dari Pattani,
Semenanjung Melayu, Pulau Sumatra sampai
Kepulauan Maluku.
Jika pemahaman Aceh, baik secara peradaban
ataupun wilayah kekuasaannya hanya dibatasi
sebagaimana yang difahami saat ini, hanya sebatas
wilayah Kerajaan Aceh Darussalam saja, maka jelas
hal ini akan menghilangkan mata rantai
kegemilangan dan keagungan peradaban
masyarakat Aceh sendiri yang mulai diasaskan di
Jeumpa dan Pasai sejak 700 tahun sebelumnya.
Peradaban yang merupakan hasil karya dan
perjuangan generasi sebelumnya. Bahkan
pembatasan ini sepatutnya dicurigai sebagai upaya
sistematis kaum penjajah dan antek-anteknya untuk
mengkerdilkan pencapaian dan kebesaran yang telah
dimiliki oleh generasi terdahulu masyarakat Aceh

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 41


sebagai pelopor, patron dan pejuang utama
Islamisasi di Asia Tenggara.
Itulah sebabnya, pemahaman dan pengertian
Aceh sangat perlu didefinisikan kembali. Memberikan
makna dan pengertian baru bukan hanya
berdasarkan pemahaman salah selama ini yang telah
mengecilkan makna Aceh, baik masyarakat,
peradaban dan keagungan sejarahnya. Pengertian
Aceh yang berdasarkan realitas keagungan dan
kebesaran sejarah masyarakat Aceh yang telah
menghasilkan sebuah entitas peradaban baru yang
berdasarkan pada ajaran Islam dan mendorong
kegemilangan masyarakat dengan tumbuh
berkembangnya Kerajaan-Kerajaan Islam seperti di
Jeumpa, Perlak, Pasai dan lainnya dan mengalami
puncaknya pada Kerajaan Aceh Darussalam.
Pengertian yang lebih mendekati hakikat
pertumbuhan dan perkembangan peradaban
masyarakat Aceh terdahulu, jika dengan sangat
terpaksa harus diidentifikasi, maka istilah
masyarakat atau peradaban Aceh-Sumatra adalah
yang lebih mendekati. Karena jika hanya

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 42


menyebutkan Aceh saja, maka tentu akan
disinonimkan hanya dengan Kerajaan Aceh
Darussalam yang didirikan pada tahun 1514 M,
namun dengan menambahkan kalimat Sumatra,
maka akan bermakna lebih luas. Karena
sebagaimana diketahui Sumatra sendiri adalah
berasal dari nama sebuah Kerajaan yang berada
diwilayah Aceh, yaitu Kerajaan Pasai-Samudra.
Orang-orang asing menyebut Samodra dengan
Samutra dan Sumatra. Namun kata terakhir inilah
yang lebih populer karena digunakan oleh para
penjajah Barat.
Namun demikian penggunaan kata ”bangsa”
kepada Aceh-Sumatra, adalah tidak tepat. Karena
konsep bangsa sendiri adalah sebuah konsep
Nasionalisme (kebangsaan) yang telah diperkenalkan
Barat dengan akar Sekulerisme yang mereka anut.
Sementara masyarakat Aceh-Sumatra telah berurat
berakar pada tradisi Islam dengan sistem sosialnya
sendiri yang memang menghapuskan Nasionalisme
sebagai batas kebangsaan dan kenegaraan
seseorang yang hanya didasarkan pada wilayah

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 43


geografi, etnis dan keturunan semata. Konsep yang
lebih tepat untuk masyarakat Aceh-Sumatra adalah
konsep Ummah, yang diperkenalkan Islam kepada
pengikutnya dalam mengatur sistem sosialnya. Maka
untuk mengganti istilah bangsa, akan digunakan
istilah Ummah, yaitu Ummah Aceh-Sumatra. Istilah
ini perlu diperkenalkan kembali kepada masyarakat
Aceh yang hendak menggapai kegemilangan dengan
sistem Islami dan sekaligus untuk membedakannya
dengan mereka yang menghendaki kemenangan
dengan menggunakan sistem Barat Sekuler yang
belum terbukti keampuhannya untuk menjayakan
kembali Aceh. Sedangkan sistem Islam terbukti telah
menjadikan Aceh-Sumatra sebagai sebuah Ummah
yang menggerakkan kemajuan dan peradaban di
Asia Tenggara.
Sebenarnya konsep ummah ini bukanlah perkara
baru, namun memang sudah ada sejak kedatangan
Islam. Pada dunia kontemporer, istilah ummah ini
diperkenalkan dengan inten oleh seorang intelektual
Palestina yang berdomisili di Amerika, Prof. Ismail R.
Faruqi. Menurutnya kata ummah, tidak dapat

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 44


diterjemahkan dan harus digunakan dalam bentuk
aslinya. Ia bukanlah sinonim kata masyarakat,
bangsa, negara, atau berbagai sebutan yang
ditentukan berdasarkan ras, geografi, bahasa,
sejarah, ataupun berbagai kombinasi antara yang
disebutkan itu. Ummah adalah trans-lokal, trans-
geografi. Setiap bagian dari ummah adalah
komunitas Islam, bagian dari ummah Islam walaupun
tidak berada dalam kekuasaan negara Muslim. Itulah
konsekwensi logis Islam sebagai agama universal,
dan dengan demikian konsep ummah ini
bertentangan dengan nasionalisme. Dan
nasionalisme digunakan musuh-musuh Islam untuk
memecah belah persatuan kaum Muslimin, dan isu
nasionalisme ini digunakan pertama kali untuk
memprovokasi dan menggoda pemuda Turki yang
idialis dalam mengejar kemajuan lalu mendorong
Arab untuk menentang kekhalifahan Usmaniyah. Dan
kenyataannya, di dunia Arab, penggerak utama
nasionalisme Arab adalah minoritas Arab Kristen
seperti Michel Aflaq yang mendirikan Partai Ba’ath
kemudian menyebarkan virus kekesatannya kepada

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 45


pemuda-pemuda Arab Muslim yang pada akhirnya
memecah belah, melemahkan dan menghancurkan
mereka.
Dengan asumsi pemahaman dasar inilah, maka
Aceh-Sumatra dalam kontek pandang Asia Tenggara
dapat disebut sebagai sebuah qabilah, bagian entitas
kesatuan dari ummah, yaitu sebuah komunitas yang
menjadi pelopor kebangkitan sebagaimana
kepeloporan Qabilah Qurasy dalam penyebaran Islam
pertama. Karena realitasnya, Aceh-Sumatra adalah
wilayah yang pertama tersentuh dakwah Islam,
masyarakatnya menerima Islam dengan terbuka dan
membangun Kerajaan-Kerajaan Islam yang penjadi
pelopor Islamisasi hampir ke seluruh Asia Tenggara.
Maka dalam kontek kekinian, dalam rangka proyek
kebangkitan kembali Islam di Asia Tenggara yang
didengungkan para pemimpin dan cendekiawannya,
maka masyarakat Aceh-Sumatra dapat memainkan
peranan sebagai Qurasy-nya Ummah di Asia
Tenggara. Qabilah yang telah mendorong,
mempelopori, memperjuangkan dan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 46


mempertahankan Peradaban Islam dengan segala
potensi yang dimilikinya.
Maka selanjutnya pada tulisan ini, Aceh-Sumatra
diartikan bukan hanya sebatas wilayah geografis
semata, baik pada saat ini, atau batas-batas
geagrofis yang ditunjuk oleh kolonial Pertogis, Inggris
ataupun Belanda. Tapi Aceh-Sumatra sebagai sebuah
entitas Peradaban Islam yang terbentuk dari hasil
dinamisasi masyarakat dengan segala potensi dan
keutamaannya, yang telah melahirkan sebuah corak
baru Peradaban Islam mainstrem, yang merupakan
kelanjutan dari peradaban Islam di Mekkah, Syam,
Persia dan Bagdad. Peradaban yang mulai
berkembang sejak zaman Kerajaan Islam Jeumpa
(760 M), diteruskan pada Kerajaan Islam Perlak (840
M) dan akhirnya mulai menampakkan keemasaannya
pada Kerajaan Islam Pase dibawah Sultan Malik al-
Salih (1240 M), dan menjadi pusat Khalifah Islamiyah
menggantikan peran Bagdad ketika jatuh ke tangan
Pasukan Mongol pada tahun 1258 M. Maka mulai
saat itulah Peradaban Islam Aceh-Sumatra menjadi
entitas peradaban Islam, yang selanjutnya menjadi

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 47


pilar pembentukan Peradaban Islam Asia Tenggara
atau Nusantara Raya, yang terbentang dari Champa-
Pattani-Senggora-Kelantan-Johor-Aceh-Banten,
Borneo-Sulu-Mindanao-Jawa-Makassar sampai
Maluku dan ada yang menyebut sampai ke Papua
dan Kepulauan Hawai, sebagai pewaris kerajaan
Hindu Majapahit. Sebuah Peradaban agung yang
berkembang dan mengalami keemasan selama 500
tahun, dan mencapai puncak kegemilangannya pada
masa Sultan Iskandar Muda (1607 M) dan mulai
menurun pada awal tahun 1700an M akibat konflik
internal dan usaha kolonialisasi penjajah kafir
Belanda.
Ada di kalangan cendekia yang konfius antara
Peradaban Aceh-Sumatra dengan Peradaban Melayu
yang sedang digali dan dikembangkan para cendekia
Malaysia kontemporer. Jika dilihat secara historis,
Peradaban Melayu yang sekarang diwarisi Malaysia
adalah bagian dari pada Peradaban Islam yang
berasal Aceh-Sumatra yang mulai berkembang pada
awal Islamisasi. Bahasa yang dikenal sebagai bahasa
Melayu saat ini, tidak diragukan adalah bahasa asli

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 48


Pase, yang merupakan gabungan antara bahasa
Arab, Parsia, Hindia, Cina dan tentunya Eropa dan
bahasa lokal. Dan bahasa ini menjadi bahasa Melayu
ketika bangsawan-bangsawan utama Pasai diangkat
menjadi Sultan di wilayah kekuasaan Kerajaan Pasai
atau yang dilindunginya. Para Raja pendiri
Kesultanan Melayu, baik di Patani, Malaysia dan
Borneo atau Sulu Mindanao secara genetis adalah
keturunan Raja-Raja Pasai, katakanlah pendiri
Kerajaan tertua Malaysia, Raja Kelantan pertama
Wan Bo, Wan Abdullah atau Sultan Umdatuddin
adalah anak dari Ali Nurul Alam atau cucu dari
Sayyid Hussein Jamadil Kubra yang merupakan ipar
dari Sultan Malik al-Zahir II, atau Sultan Pasai. Istilah
Peradaban Melayu mulai naik daun ketika Aceh
Darussalam mengalami serangkaian penjajahan dan
penaklukan, bahkan ketika menjadi bagian
Indonesiapun, entitas Peradaban Aceh-Sumatra yang
gemilang tidak mendapatkan tempat sewajarnya.
Secara gegrafis, Aceh-Sumatra adalah salah satu
kawasan di wilayah dunia Islam yang senantiasa
mendapat perhatian sejak dahulu kala sebagai pusat

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 49


pertemuan budaya dan peradaban dunia. Letak
strategis geografi Aceh di ujung barat pulau Sumatra
telah menjadikanya sebagai wilayah lintasan
peradaban dan budaya besar dunia yang dibuktikan
dengan penemuan situs ataupun barang peninggalan
dari budaya purbakala, Hindu, Budha maupun Islam.
Sementara masyarakat Aceh-Sumatra adalah
asimilasi dari masyarakat berperadaban tua, itulah
sebabnya ada yang berpendapat bahwa Aceh adalah
akronim dari Arab, Cina, Eropah dan Hindia, yang
merupakan perwakilan etnis terbesar umat manusia.
Bukti-bukti terbaru menunjukkan bahwa masyarakat
Aceh-Sumatra telah berinteraksi dan berhubungan
dengan dunia Arab, terutama Mesir sejak zaman
Fir’aun kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi atau
4000 tahun lalu. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya beberapa jenis bahan pengawet
mummi Fir’aun Mesir, diantaranya kafuuro atau
kapur barus yang terdapat di sekitar Aceh-Sumatra.
Bahkan tidak diragukan bahwa Barus yang dimaksud
adalah di Lamuri wilayah Aceh Besar. Claudius
Ptolemaeus, ahli ilmu bumi klasik dari Mesir

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 50


menyebut nama ”Barousai” sebagai negeri yang
terletak di pinggir jalan menuju Tiongkok.1
Hubungan erat Aceh-Sumatra dengan dunia
Arab juga dapat ditelusuri dari beberapa kata di
dalam al-Qur’an. Sebagaimana diketahui al-Qur’an
adalah kumpulan wahyu Allah SWT yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan
malaikat Jibril as sejak pertama diangkat menjadi
Nabi di Gua Hira’ sampai beliau wafat di Madinah
pada tahun 10 Hijriah. Telah disepakati para Ulama,
bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab,
sebagaimana dinyatakan al-Qur’an sendiri. Namun
bahasa Arab al-Qur’an adalah bahasa Arab tertinggi
yang telah melahirkan gramatika bahasa Arab
kontemporer. Para ulama juga berpendapat ada
beberapa kata al-Qur’an yang bukan berasal dari
bahasa Arab asli, namun bahasa non Arab yang

1
N.J. Kroom, Zaman Hindu, terjemahan Arief Effendi, Jakarta: Pembangunan, 1956, hlm. 10-12. D.G.E. Hall,
A History of South East Asia, London: Macmillan & Co. Ltd., 1960, hlm. 1-5. D.H. Burger dan Prajudi, Sejarah
Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15. Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan,
terjemahan dan edisi J.V.G. Mills, Hakluyt Society, 1970, hlm. 120. W.P. Groeneveldt, Historical Notes on
Indonesia & Malaya Compiled from Chinese Source, Jakarta: Bharata, 1960, hlm. 209. B. Schrieke, Indonesian
Sociological Studies, Part Two, The Hauge-Bandung: W. Van Hoeve Ltd, 1957, hlm. 17. M.A.P. Meilink-Roelofsz,
Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and abaout 1630, The Hague:
Martinus Nijhoff, 1962, hlm. 354.
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 51
sudah banyak digunakan dan dimengerti oleh
masyarakat Arab.2
Salah satu bahasa Aceh-Sumatra yang sudah
tersebar di dunia Arab, termasuk Mesir sejak zaman
kekuasaan Ramses (Fir’aun) adalah kafuur. Kafuur
min barus adalah sebuah komuditas mewah wangi-
wangian yang berasal dari inti kayu kamfer yang
dalam bahasa latin dikenal dengan champora. Tidak
diragukan bahwa penghasil terbesar kapur zaman itu
adalah wilayah yang terletak di ujung barat pulau
Sumatera, yang sekarang berada di wilayah Aceh.
Al-Qur’an surat al-Insan (76) ayat ke 5 menyebutkan:
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan
akan meminum dari gelas, minuman yang dicampur
kafuur. Kebanyakan mufassirin dalam tafsirnya
masing-masing seperti Ibn. Abbas, Jalalain, al-
Qurthubi, Ibn Katsir dan lain-lainnya, mengartikan
kafuuro sebagai campuran dari minuman yang
merehatkan, nikmat, yang dapat membuat tenang
dan biasanya dijadikan obat. Walaupun ada yang
2
Lebih terinci lihat misalnya : Dr. Subhi Shaleh, Mabahits fi ‘ulum al-Qur’an, Beirut : Dar Ilm li al-
Maliyin, tt. Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi ‘ulum al-Qur’an, Damsyik : Maktabah al-
Ghazaly, Thabaah Tsalist, 1981. Dr. M. Ali al-Hasan, al-Manar fi ‘ulum al-Qur’an, Amman : Matbaah al-
Syuruq, 1983. Dr. Shabir Thayyimah, Hazha al-Qur’an, Bairut : Dar al-Jiil, 1989. Syaikh Muhammad
Rasyid Ridho, al-wahy al-Muhammady, Bairut : Dar al-Fiqr, 1968.
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 52
menyebutkan sebagai nama mata air di syurga.
Namun hampir semuanya sepakat bahwa kata ini
bukan asli bahasa Arab, sebagaimana disebutkan Ibn
Manzhur dalam Lisan al-Arab karena tidak ditemukan
dalam bahasa Arab Jahiliyah atau bahasa Arab purba.
Kata "kafuur", menurut Karel Steenbrink, secara
pasti bukan istilah Arab. Akar kata "kafara" bisa
berarti menghindari atau tidak berterima kasih.
Sedangkan kata "kafur", yang berarti kapur barus
atau kamper, berasal dari bahasa Melayu. Steenbrink
menyimpulkan bahwa kata "kafur" bukan hanya
penghubung secara etimologis antara al-Qur'an dan
Nusantara, tetapi juga komoditas yang sejak abad
ke-7 telah dibawa oleh pedagang Muslim dari Aceh-
Sumatra.3
Dengan adanya hubungan Aceh-Sumatra sejak
2000 sebelum Masehi lalu dengan Mesir, maka tidak
mengherankan ketika nabi Muhammad saw
membawa Islam pada awal abad ke 7 Masehi,
langsung tersebar di kalangan para pedagang
Nusantara Aceh yang memang sudah berhubungan
melalui rute perdagangan di antara pelabuhan
3
Karel Steenbrink, Pondok Pesantren, Jakarta: LP3ES, hlm. 15
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 53
Yaman dan Hijaz Semenanjung Arabia. Dalam
beberapa riwayat dari shahabat Nabi disebutkan
sebuah bangsa dari sebelah timur yang bersama-
sama berperang dan menyebarkan Islam.
Penyebaran Islam secara langsung dilakukan para
pedagang Nusantara-Aceh dan dilanjutkan dengan
pengiriman misi dakwah dan perdagangan sejak
zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.
Demikian pula halnya ketika keturunan bani
Umayyah, terutama sejak Yazid bin Muawiyah
melakukan pembantaian terhadap keturunan
Sayyidina Husein ra, maka perpindahan keturunan
Nabi saw dan ulama-ulama yang setia padanya
semakin banyak ke Nusantara, terutama Aceh yang
terletak paling Barat dan karena masyarakatnya
sudah menerima dan memeluk ajaran Islam. Tidak
diragukan bahwa Islamisasi Nusantara, termasuk
penaklukan kerajaan terbesar Jawa-Hindu, Majapahit,
dirancang dan digerakkan dari Aceh-Sumatra silih
berganti sejak awal abad VIII Masehi berpusat di
Jeumpa, Pasai, Perlak dan lainnya bibawah pimpinan
sultan-sultan Islam yang merupakan mata rantai

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 54


gerakan Islamisasi dunia yang menjadikan Makkah
al-Mukarramah sebagai porosnya yang mendapat
dukungan penuh para Khalifah Islam turun temurun.4
Kegemilangan peradaban Aceh-Sumatra yang
berkembang pesat sebelumnya telah memudahkan
para pembawa Islam untuk memajukannya secara
maksimal. Hal ini mengantarkan masyarakat Aceh-
Sumatra sebagai bagian dari pergerakan
internasional pembebasan umat manusia dari
belenggu kegelapan yang membawanya sebagai
masyarakat berperadaban tinggi berdasarkan nilai-
nilai keuniversalan dan keagungan Islam. Dalam
Bustanu’l Salatin, Syekh Nuruddin telah
menggambarkan bagaimana tingginya pengetahuan
dan pemikiran masyarakat Aceh-Sumatra, baik di
kalangan para sultan, pejabat negara sampai kepada
masyarakat umum sehingga banyak ulama yang
datang ke Aceh-Sumatra harus kembali belajar agar
4
Rita Rose di Meglio, “Arab Trade with Indonesia and the Malay Peninsula from the 8 th to the 16th Century”.
Papers on Islamic History II, Islam and the Trade of Asia: A Colloquium, edited by D.S. Ricard, University of
Pennsylvania Press 1970, hlm. 115 (catatan no.29). S.M.N. Al-Attas, “Prelimenary Statement on A General Theory
of the Islamization”, dalam Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 1969, hlm. 11. Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, Medan: Panitia
Seminar, 1963, hlm. 87, 207. T.D. Situmorang dan A. Teeuw, Sejarah Melayu, Jakarta: Balai Pustaka, 1958, hlm.
65-66. T. Ibrahim Alfian (ed). Kronika Pasai, Yogjakarta: Gajah Mada University Press, 1973, hlm. 100.
Muhammad Yamin, Gajah Mada, Jakarta: Balai Pustaka, 1972, hlm. 60. Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad,
Medan: Waspada, 1981. Teuku Iskandar, De Hikayat Atjeh, (S-gravenhage: NV. De Nederlanshe Boek-en
Steendrukkerij V. H.L. Smits, 1959). Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia,
(Jakarta: LP3ES, 1996)
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 55
cukup pengetahuannya untuk mengajar. Itulah
sebabnya para pemuka Islam menjuluki Aceh
sebagai “Serambi Mekkah”, sebagai satu-satunya
serambi Mekkah di dunia, yang tidak lain bermakna
sebenarnya adalah karena Aceh telah menjadi pusat
rujukan ajaran dan fatwa Islam di Nusantara. Tradisi
dan peradaban Islam di Aceh sudah berkembang
pesat dan bahkan para ulama dan cerdik pandainya
memiliki kaliber yang sederajad dengan para ulama
Hijaz dan semenanjung Arabia lainnya. Kasus ini
dapat dilihat pada diamnya (tawaquf) ulama-ulama
Hijaz di Mekkah atas kepemimpinan wanita selama
lebih 50 tahun pemerintahan 4 orang Sultanah Aceh
atas dukungan fatwa Mufti dan Qadhi Malik al-Adhil,
Syekh Abdul Rauf al-Singkili (Maulana Syiah Kuala).
Hal ini tidak lain untuk mengormati ijtihad beliau
yang didasarkan pada pengetahuan mendalam dan
luas terhadap ajaran Islam. Setiap utusan Syarief
Mekkah yang datang kepada beliau harus mengakui
ketinggian ilmunya serta kesahihan ijtihad dan
fatwanya sehingga hujjahnya tak terpatahkan.
Namun setelah beliau wafat, maka Ketua Mufti

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 56


Mekkah mengeluarkan fatwa yang memakzulkan
(memberhentikan) Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah
pada 1699 dengan hujjah bahwa syari’at Islam tidak
membenarkan perempuan menjadi pemimpin
negara.5
Pemikir Islam kontemporer Ismail R. Faruqi6
menjuluki muslim nusantara, terutama pejuang
Aceh-Sumatra sebagai "One of the oldest and
bloodiest struggle of the Muslims have waged
against Christian-Colonialist aggression". Salah
satu rumpun bangsa yang paling tertua dan paling
berdarah diantara bangsa Muslim dalam menentang
agresi kaum Kristen-Kolonialis. Karena realitas
sejarah membuktikan hampir 500 tahun lebih
masyarakat Muslim Aceh dibawah kepemimpinan
para Sultan berperang silih berganti melawan kaum
Imprialis-Kolonialis ”kaphe” yang hendak menjajah
Aceh-Sumatra dan wilayah kekuasaannya. Dengan

5
Husein Djajaningrat, Kesultanan Aceh: Suatu Pembahasan Tentang Sejarah Kesultanan Aceh Berdasarkan
Bahan-bahan Yang Terdapat Dalam Karya Melayu, Teuku Hamid (terj.) (Banda Aceh: Depdikbud DI Aceh. 1983).
Siti Hawa Saleh (edt), Bustanus as-Salatin, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992). Denys Lombard,
Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636, (terj), (Jakarta: Balai Pustaka,1992). C. Snouck
Hurgronje, Een- Mekkaansh Gezantscap Naar Atjeh in 1683”, BKI 65, (1991) hlm. 144. Azyumardi Azra,
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), hlm.
196. A. Hasymi, 59 Aceh Merdeka Dibawah Pemerintah Ratu (Jakarta: Bulan Bintang, 1997). Hlm. 32-40.
6
Siddiq Fadhil, Rumpun Melayu Dalam Era Globalisasi, Makalah Seminar Serantau, (Kuala Lumpur:
PEPIAT: 1993). Lihat juga karya beliau, Minda Melayu Baru, (Kuala Lumpur: IKD,1994). Hilmy Bakar
Almascaty, Ummah Melayu Kuasa Baru Dunia Abad 21. (Kuala Lumpur: Berita Publishing, 1994)
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 57
gagah perkasa dan senjata apa adanya mereka
bangkit melawan tentara-tentara Salib dari Portugis
maupun Belanda yang telah memiliki persenjataan
modern pada masa itu.7
Aceh-Sumatra dengan segala kegemilangan
sejarah peradabannya sejak dahulu kala telah
melahirkan tokoh-tokoh berkaliber dunia pada
bidangnya masing-masing. Nama-nama besar dari
Aceh telah menghiasi perjalanan sejarah umat
manusia, diantaranya seperti Sultan Malikus Saleh,
Sultan Iskandar Muda, Hamzah Fansuri, Syamsuddin
al-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniri, Ratu Safiatuddin,
Maulana Syiah Kuala, Laksamana Malahayati, Tgk.
Chik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nya’ Dhien dan lain-
lainnya.8

7
Lihat : Ali Hasymi, Perang Aceh, (Jakarta: Beuna: 1983). Ibrahim Alfian (edt), Perang Kolonial Belanda di
Aceh, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1997). Lihat juga, Perang Di Jalan Allah, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1987)
8
Lihat misalnya : Edwin M. Luoeb, Sumatra Its History and People, (Kuala Lumpur: Oxford Univ. Press,
1972). Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Waspada, 1981. Muhammad Ibrahim, Sejarah Daerah
Provinsi DI Aceh, (Jakarta: Depdikbud, 1991). Abdul Hadi Arifin, Malikussaleh, (Lhokseumawe: Univ.
Malikussaleh Press, 2005). Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh Dalam Tahun 1520-1675, (Medan: Monara,
tt). C. Snouck Hurgronje, The Acehnese, (Leiden: AWS. O’Sullivan, 1906). SMN. Al-Attas, The Mysticism of
Hamzah Fansuri, (Kuala Lumpur: UM Press, 1970). C.A.O. van Nieuwenhuize, Samsu’l-Din van Pasai (Leiden,
1945). D.A. Rinkers, Abdurrauf van Singkel, (Leiden: 1909). Ahmad Daudi, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Sejarah
Hidup, Karya dan Pemikiran (Banda Aceh: P3KI IAIN Ar-Raniry, 2006). Ismail Yakkub, Tgk. Tjik Di Tiro,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1952).
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 58
Kegemilangan Ummah Aceh-Sumatra Pra-
Islam

Para kolonialis Barat dengan segala ambisinya


sebagai penjajah telah merancang berbagai strategi
untuk tetap menjadikan bangsa jajahannya sebagai

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 59


masyarakat yang bodoh, tertinggal dan tidak
memiliki harkat dan martabat. Salah satu cara efektif
yang dilakukannya adalah dengan memotong sejarah
peradaban bangsa yang dijajahnya. Peninggalan-
peninggalan agung nenek moyang mereka dibawa
kabur, dirampok bahkan dihancurkan agar generasi
muda tidak memiliki jati diri lagi. Itulah sebabnya
bangsa-bangsa penjajah, baik Inggris, Pertogis
maupun Belanda telah membawa semua bukti
peninggalan kegemilangan Islam Nusantara ke Eropa
dengan alasan pengembangan pengetahuan.
Selanjutnya mereka menjalankan politik belah
bambu dan pecah belah lalu menguasai.
Sebagaimana yang mereka telah lakukan di
Nusantara. Bangsa Muslim Nusantara dipecah belah
dengan pendekatan kesukuan dengan meniupkan
fanatisme jahiliyah menggantikan ghirah Islamiyah.
Bangsa yang tidak mau takluk dibawah jajahannya,
diadu domba dengan saudaranya, seperti penjajah
kaphe ini mengadu domba bangsa Padang dengan
bangsa Aceh yang sama-sama diketahui sebagai
pilar Islam Nusantara. Bangsa Padang direkrut

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 60


menjadi tentara Belanda yang terkenal dengan
Pasukan Marsose, lalu mereka diperintahkan untuk
memerangi bangsa Aceh yang tidak mau tunduk
kepada penjajah. Terjadilah pertumpahan darah
sesama Muslim, yang satu menjadi antek kaphe
Belanda dan yang satu sebagai pejuang yang
berjihad melawan kezaliman Belanda. Berapa banyak
mujahidien fie sabilillah di Aceh yang dibantai
pasukan Marsose yang didirikan oleh antek Belanda
Muhammad Syarief, tokoh Padang yang akhirnya
mendapat medali penghargaan tertinggi dari Ratu
Belanda karena berhasil membantai saudara
Muslimnya di Aceh.
Masyarakat Nusantara yang sudah tumbuh
berkembang dengan keagungan peradabannya sejak
beribu-ribu tahun lalu, digambarkan oleh para
sejarawan kolonial sebagai sebuah bangsa bar-bar,
nomaden, seperti keadaan orang-orang Papua di
Lembah Baliem saat ini, yang telanjang dan tinggal
di pohon-pohon. Padahal kenyataannya sangat jauh
berbeda. Karena masyarakat Nusantara adalah salah
satu rumpun bangsa tua yang telah berhasil

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 61


membangun sebuah entitas budaya dan
peradabannya sendiri, sesuai dengan kemajuan dan
perkembangan zaman. Dari penemuan peninggalan-
peninggalan situs sejarah dan benda-benda yang
menyertainya dapat diketahui bahwa di Aceh pernah
tumbuh berkembang sebuah peradaban yang
digerakkan oleh Raja dari Kerajaan-Kerajaan Hindu
seperti Kerajaan Indra Pura, Indra Purba, Indra Patra
dan lain-lainnya.
Di kalangan bangsa Yunani purba, Sumatera
sudah dikenal dengan Taprobana. Nama Taprobana
Insula telah dipakai oleh Claudius Ptolemeus, ahli
geografi Yunani abad kedua Masehi, tepatnya tahun
165, ketika dia menguraikan daerah ini dalam
karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemeus
menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri
yang menjadi jalan ke Tiongkok, sebuah bandar
niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal
menghasilkan wewangian dari kapur barus.
Disebutkan pula bahwa kapur barus yang diolah
dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir
untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 62


zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar
5000 tahun lalu. Naskah Yunani tahun 70, Periplous
tes Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa
Taprobana juga dijuluki chryse nesos, atau ‘pulau
emas’. Sejak zaman purba para pedagang sekitar
Laut Tengah sudah mendatangi Sumatera mencari
emas, kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur
barus (Dryobalanops aromatica) yang saat itu hanya
ada di Sumatera. Para pedagang Nusantara sudah
menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat
dan Afrika Timur, tercantum pada naskah Historia
Naturalis karya Plini abad pertama Masehi. Dalam
kitab Yahudi, Melakim (Raja-raja), fasal 9,
diterangkan bahwa Raja Solomon, raja Israil
menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus
yang berada dibawah kekuasaannya. Emas
didapatkan dari negeri Ophir. Al-Qur’an, Surat Al-
Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi
Sulaiman a.s. berlayar ke “tanah yang Kami berkati
atasnya” (al-ardha l-lati barak-Na fiha). Di manakah
gerangan letak negeri Ophir yang diberkati Allah ?
Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 63


Ophir itu terletak di Sumatera. Kota Tirus merupakan
pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh.
Ptolemeus pun menulis Geographike Hyphegesis
berdasarkan informasi dari seorang pedagang Tirus
yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa
pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke
Sumatera dengan asumsi bahwa di sanalah letak
negeri Ophir-nya King Solomon.9
Perdagangan antara negara-negara Timur
dengan Timur Tengah dan Eropa berlangsung lewat
dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat, yang
juga disebut ”jalur sutra” (silk road), dimulai dari
Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke
Laut Tengah. Jalur perdagangan ini, yang
menghubungkan Cina dan India dengan Eropa,
merupakan jalur tertua yang sudah di kenal sejak
500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut
dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) dan
Indonesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke
Laut Tengah dan Eropa, ada yang melalui Teluk Persia
9
N.J. Krom, Zaman Hindu, terjemahan Arief Effendi, Jakarta: Pembangunan, 1956, hal. 10-12.
(Nicholaas Johannes Krom, “De Naam Sumatra”, Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde , deel 100,
1941). William Marsden, The History of Sumatra, Oxford University Press, Kuala Lumpur, cetak ulang
1975. D.G.E. Hall, A History of South East Asia, London: Macmillan & Co. Ltd., 1960, hlm. 1-5. D.H.
Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15.
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 64
dan Suriah, dan ada juga yang melalui Laut Merah
dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara
Laut Merah, Cina dan Indonesia sudah berjalan sejak
abad pertama sesudah Masehi.10

Akan tetapi, karena sering terjadi gangguan


keamanan pada jalur perdagangan darat di Asia
Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan
Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi
semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab,
Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke
Timur dan terus ke Negeri Cina dengan
menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang
pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil
bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman
Sriwijaya, pedagang-pedagangnya telah
mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai
timur Afrika. Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat
Malaka, maka telah menumbuhkan kota-kota
pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau
Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin
banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur

10
D.H.Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15.)
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 65
laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin
ramai, termasuk di wilayah Aceh yang diketahui telah
memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya
terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota
pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota
perdagangan.11
Ini artinya peradaban Aceh adalah diantara
peradaban tua di wilayah Nusantara. Namun belum
banyak bukti yang dapat dikemukakan tentang
kegemilangan masa lalu peradaban Aceh, yang
menurut beberapa penelitian para ahli disebabkan
oleh beberapa faktor, diantaranya (i) belum
diadakannya menggalian terhadap situs sejarah
purba secara serius dan menyeluruh akibat
pertimbangan politik ataupun konflik berkepanjangan
(ii) hilangnya situs-situs penting, terutama dipinggir
laut akibat terjadinya beberapa kali gelombang
tsunami, sebagaimana tsunami 26 Desember 2004
lalu yang menghancurkan kota-kota purba Aceh yang
umumnya dipinggir pantai yang berhadapan
langsung dengan tsunami (iii) adalah menjadi tradisi

11
M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesia Archipelago. The Hague:
Martinus Nijhoff, 1962, hlm. 345 (catatan 122)
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 66
sebagian masyarakat Aceh untuk memusnahkan
peninggalan sejarah apabila sudah tidak dikehendaki
penguasanya, contoh terdekat adalah pembakaran
buku-buku ilmiyah karya Hamzah Fansuri dan ulama
aliran Wujudiyah di depan Masjid Baiturrahman atas
perintah Sultan Iskandar Tsani berdasarkan fatwa
Syekh Nuruddin al-Raniri, atau pembakaran Istana
Super Megah yang didirikan Sultan Iskandar Muda,
Darud Dunya akibat terjadinya pemberontakan pada
masa Sultanah Inayat Syah. Dan terakhir adalah
bumi hangus Istana pada zaman Sultan Muhammad
Daud Syah agar jangan sampai dikuasai penjajah
Belanda.
Keadaan revolusioner dan dinamis yang terjadi
di Aceh dari waktu ke waktu sepanjang 500 tahun
terakhir telah memecah konsentrasi para pemimpin
dan cendekiawan Aceh dalam memelihara
peninggalan sejarahnya sehingga banyak yang
terbengkalai, hilang, musnah bahkan sengaja
dihilangkan dengan alasan keamanan. Penulis
beberapa kali mendapatkan alasan ketakutan nara
sumber yang memiliki peninggalan berharga berupa

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 67


manuskrip penting, karena jika diketahui aparat akan
diambil dan mereka dituduh sebagai pemberontak
atau sparatis. Akibatnya banyak manuskrip-
manuskrip penting peninggalan peradaban Aceh
tertanam atau hilang.
Namun demikian, dari sumber-sumber sekunder
dapat diketahui kembali, walaupun masih tingkat
awal mula, tentang sejarah kegemilangan Aceh,
terutama pada masa pra-Islam. Data-data tersebut
sangat penting untuk mengetahui sejauh mana
tingkat peradaban dan pengetahuan masyarakat
Aceh pra-Islam, baik zaman pra-Hindu-Budha
ataupun sebelumnya. Mengingat letak geografi Aceh
yang strategis sebagai laluan dalam perjalanan
menuju pulau Jawa atau Timur Jauh lainnya dari
sumber peradaban tua umat manusia, baik di sekitar
Asia Tengah, Timur Tengah ataupun Afrika. Karena di
Jawa atau Kalimantan banyak ditemukan peradaban
manusia yang telah berusia ratusan ribu tahun.
Dari sumber-sumber sekunder, sebagaimana
telah disebutkan terdahulu, ternyata Aceh memiliki
peranan penting dalam sejarah peradaban manusia.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 68


Salah satu bukti otentik yang tidak diragukan adalah
perjalanan kapur Barus yang telah menembus
peradaban Yunani, Rumawi sampai Mesir klasik.
Produk unggulan Barus-Aceh ini telah menjadi
komuditas primadona dunia yang tinggi nilainya,
sehingga megantarkan Aceh sebagai salah satu
bagian dari kegemilangan dan ketinggian peradaban
klasik pra-Islam. Tentunya kedatangan manusia-
manusia modern pada zaman itu ke Aceh telah
membawa perubahan pada pengetahuan dan
kebiasaan masyarakat, sebagaimana pengaruh
kedatangan para relawan asing manca negara saat
ini ke Aceh yang membawa berbagai bentuk
pengetahuan, ilmu, budaya dan peradaban yang
mempengaruhi pola hidup masyarakat. Kedatangan
mereka sudah pasti akan membawa kemajuan dan
kemakmuran kepada masyarakat Aceh, dan tidak
diragukan bahwa kemakmuran akan mengantarkan
kegemilangan peradaban umat manusia seperti apa
yang dialami negara-negara maju seperti Amerika,
Eropa maupun Jepang, India dan Cina saat ini.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 69


Kegemilangan masyarakat Aceh yang telah
berkembang pesat sebelum kedatangan Islam
dengan pencapaian-pencapaian peradabannya telah
memudahkan para pembawa Islam untuk
memajukannya secara maksimal. Karena lebih
mudah mengajarkan Islam yang sempurna dan
menyeluruh kepada orang-orang yang berperadaban,
berpengatahuan dan menggunakan akalnya untuk
berfikir. Itulah sebabnya, saat ini para pendakwah
kita lebih mudah menyebarkan Islam kepada
masyarakat modern di Amerika, Eropa ataupun
Jepang dari pada masyarakat di pedalaman Papua
atau Kalimantan yang masih hidup telanjang dan
jauh dari peradaban. Sebagaimana tersebar cerita
dikalangan pendakwah, jika di Eropa orang-orang
bule cerdik-pandai berlomba-lomba meninggalkan
gereja dan masuk Islam karena alasan rasional dan
sesuai dengan perkembangan zaman, tapi di negeri
ini orang-orang bodoh dan tolol bisa diajak masuk
gereja karena sebungkus super mie. Sungguh benar
sabda Rasul, kebodohan akan membawa kemiskinan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 70


dan kemiskinan akan menjadikan orang mudah
kepada kekafiran.
Masuknya Islam telah mengantarkan
masyarakat Aceh sebagai bagian dari pergerakan
internasional pembebasan umat manusia dari
belenggu kegelapan yang membawanya sebagai
masyarakat berperadaban tinggi berdasarkan nilai-
nilai keuniversalan dan keagungan Islam. Dalam
Bustanu’l Salatin, Syekh Nuruddin telah
menggambarkan bagaimana tingginya pengetahuan
dan pemikiran masyarakat Aceh, baik di kalangan
para sultan, pejabat negara sampai kepada
masyarakat umum sehingga banyak ulama yang
datang ke Aceh harus kembali belajar agar cukup
pengetahuannya untuk mengajar di tengah
masyarakat Aceh yang kosmopolit masa itu. Itulah
sebabnya para pemuka Islam menjuluki Aceh
sebagai “Serambi Mekkah”, sebagai satu-satunya
serambi Mekkah di dunia, yang tidak lain bermakna
sebenarnya adalah karena Aceh telah menjadi pusat
rujukan ajaran dan fatwa Islam di Nusantara. Tradisi
dan peradaban, terutama pemikiran Islam di Aceh

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 71


sudah berkembang pesat dan bahkan para ulama
dan cerdik pandainya memiliki kaliber yang
sederajad dengan para ulama Hijaz dan
semenanjung Arabia lainnya. Kasus ini dapat dilihat
pada diamnya (tawaquf) ulama-ulama Hijaz di
Mekkah atas kepemimpinan wanita selama lebih 50
tahun pemerintahan 4 orang Sultanah Aceh atas
dukungan fatwa Mufti dan Qadhi Malik al-Adhil,
Syekh Abdul Rauf al-Singkili (Maulana Syiah Kuala).
Hal ini tidak lain untuk mengormati ijtihad beliau
yang didasarkan pada pengetahuan mendalam dan
luas terhadap ajaran Islam. Setiap utusan Syarief
Mekkah yang datang kepada beliau harus mengakui
ketinggian ilmunya serta kesahihan ijtihad dan
fatwanya sehingga hujjahnya tak terpatahkan.
Namun setelah beliau wafat, maka Ketua Mufti
Mekkah mengeluarkan fatwa yang memakzulkan
(memberhentikan) Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah
pada 1699 dengan hujjah bahwa syari’at Islam tidak
membenarkan perempuan menjadi pemimpin
negara.12
12
Husein Djajaningrat, Kesultanan Aceh: Suatu Pembahasan Tentang Sejarah Kesultanan Aceh Berdasarkan
Bahan-bahan Yang Terdapat Dalam Karya Melayu, Teuku Hamid (terj.) (Banda Aceh: Depdikbud DI Aceh. 1983).
Siti Hawa Saleh (edt), Bustanus as-Salatin, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992). Denys Lombard,
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 72
Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah saw telah
berkata: ”Sebaik-baik kamu pada zaman jahiliyah,
akan menjadi sebaik-baik manusia setelah memeluk
Islam”. Ini adalah sebuah ungkapan yang telah
menjadi kenyataan dalam sejarah kegemilangan
Islam yang telah dipimpin Rasulullah saw. Pada
zaman pra-Islam, banyak sekali tokoh-tokoh
berpotensi, seperti Umar bin Khattab dan Khalid bin
Walid yang secara terang-terangan menentang Islam
pada awal perkembangannya. Umar sendiri sempat
mau membunuh Nabi Muhammad karena
dianggapnya sebagai sumber perpecahan
masyarakat Mekkah, namun akhirnya masuk Islam
setelah membaca lembaran al-Qur’an yang
dirampasnya dari adiknya yang sudah lebih dahulu
masuk Islam. Setelah memeluk Islam, Umar adalah
salah seorang pembela Islam yang berani dan telah
menjadi Khalifah yang menyebarkan Islam ke seluruh
pelosok dunia. Demikian pula dengan Khalid yang
sempat memimpin kaum musyrikin melawan Nabi
Muhammad sehingga kaum Muslim mengalami
Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636, (terj), (Jakarta: Balai Pustaka,1992). C. Snouck
Hurgronje, Een- Mekkaansh Gezantscap Naar Atjeh in 1683”, BKI 65, (1991) hlm. 144. Azyumardi Azra,
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), hlm.
196. A. Hasymi, 59 Aceh Merdeka Dibawah Pemerintah Ratu (Jakarta: Bulan Bintang, 1997). Hlm. 32-40.
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 73
kekalahan di perang Uhud. Namun setelah Khalid
masuk Islam, akhirnya dia digelar dengan ”Pedang
Allah” yang telah menumbangkan kekuasaan-
kekuasaan besar seperti Romawi dan Parsia.
Masyarakat Arab sendiri sebelum kedatangan
Islam adalah masyarakat yang terbelakang dari segi
peradaban dan pengetahuan jika dibandingkan
dengan bangsa-bangsa lainnya, baik Mesir, Rumawi
ataupun Persia. Bahkan al-Qur’an sendiri menyebut
masyarakat Arab di sekitar Mekkah sebagai
Ummiyun, masyarakat yang tidak memiliki
peradaban dan kekuasaan. Dalam sejarah disebutkan
bahwa masyarakat Arab di sekitar Mekkah jika terjadi
musim kemarau panjang, mereka terkadang menjadi
pengungsi dan pengemis di sekitar Kerajaan-kerajaan
besar seperti Mesir, Habsyah ataupun Parsia.
Masyarakat Arab pra-Islam digambarkan sebagai
sebuah suku bangsa kecil yang terpecah belah,
miskin lagi terbelakang dengan hidup yang
berpindah-pindah. Namun berkat Islam, bangsa yang
kecil dan tidak diperhitungkan ini, dalam waktu
kurang dari 30 tahun sejak kebangkitan Nabi

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 74


Muhammad, telah menjadi sebuah bangsa besar
yang menggetarkan semua super power, dan
akhirnya sejarah membuktikan bahwa semua super
power itu tunduk kepada masyarakat ummy yang
telah mendapatkan pencerahan dan kekuatan
spiritualitas dari keagungan nilai-nilai Islam.
Selanjutnya umat Islam menjadi mercusuar
peradaban manusia, yang menghubungkan
peradaban klasik paganis menjadi peradaban
modern rasionalis.
Hal inilah yang terjadi pada masyarakat Aceh.
Jika sebelum Islam mereka adalah sebuah bangsa
yang sudah berperadaban maju, maka kedatangan
Islam akan mendorong lebih kencang kemajuan dan
pencapaian peradaban mereka sebagaimana dicatat
sejarah. Jika sebelum Islam masyarakat Aceh hanya
sebuah kerajaan-kerajaan kecil dibawah
perlindungan Kerajaan Hindu seperti Sriwijaya, maka
setelah Islam datang menyinari masyarakat Aceh,
mereka bangkit menjadi sebuah kekuatan baru yang
pada akhirnya menjadi pelopor dan penggerak
Islamisasi di Nusantara. Termasuk menjadi sebab

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 75


utama tumbang dan lenyapnya kerajaan-kerajaan
Hindu-Budha, baik di Sumatra, Semenanjung Melayu,
Kalimantan, Jawa, Sulawesi sampai ke Maluku dan
Papua serta sampai di Sulu dan Mindanao yang telah
mapan selama ribuan tahun. Pusat Islamisasi
Nusantara Aceh digerakkan oleh Kerajaan-Kerajaan
Islam silih berganti yang masih memiliki hubungan
kekerabatan. Dimulai dari berdirinya Kerajaan Islam
Jeumpa pada tahun 770 M oleh Sasaniah Salman,
yang dilanjutkan perannya oleh Kerajaan Islam Perlak
tahun 805 M yang didirikan anak Raja Islam Jeumpa
bernama Meurah Syahr Nawi dikembangkan
keponakannya Maulana Abdul Aziz Syah dan
keturunannya, disambung oleh Kerajaan Pasai pada
abad XII yang didirikan keturunan Raja Jeumpa dan
Perlak bernama Meurah Silu atau Sultan Malik al-
Salih. dan seterusnya yang mulai mendapat
kegemilangan pada masa Kerajaan Aceh Darussalam
yang menggabungkan semua Kerajaan Islam Aceh,
menggapai puncaknya keagungannya pada zaman
Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607-1636 M yang
menguasai seluruh pulau Sumatra dan Semenanjung

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 76


Malaya serta menjadi pelindung Kerajaan-Kerajaan
Islam lainnya, baik di Jawa, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku sampai Sulu-Mindanao.
Demikian pula para Sultan Aceh ikut berperan
aktif mendirikan Kerajaan Islam Jawa terbesar, baik
Demak, Mataram maupun Banten. Kerajaan Islam
Perlak dan Pasai secara teratur dan berkala telah
mengirimkan para pendakwah Islam ke tanah Jawa
yang digerakkan oleh para ulama keturunan Nabi
Muhammad silih berganti. Yang paling terkenal
adalah sebuah gerakan Islamisasi dengan nama Wali
Sembilan atau Wali Songo yang dipimpin oleh
Maulana Malik Ibrahim (Syekh Maghribi) bersama
beberapa keluarga dekat dan keponakannya seperti
Sunan Ampel, Sunan Drajad, Sunan Bonang, Sunan
Gunung Jati dan lainnya yang memiliki satu jalur
keturunan dan bermuara pada Imam Ja’far Sadiq.
Penaklukan mereka terhadap Kerajaan Jawa-Hindu
Majapahit yang dominan masa itu, tidak dilakukan
secara perang konfrontatif mengingat kuatnya
Majapahit. Penyebaran Islam dilakukan melalui jalur
perdagangan, perubahan sosial-budaya, pendidikan,

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 77


dakwah dan yang paling strategis melalui jalur
perkawinan.
Wali Songo mengawinkan Raja Majapahit
terakhir, Brawijaya V dengan kader muslimah
terbaiknya yang dikenal dengan nama ”Puteri
Champa”, gadis cantik jelita dan cerdas, seorang
Puteri Kerajaan Islam Jeumpa Aceh yang juga masih
keponakan dari Sunan Ampel, yang ketika itu telah
membuka lembaga kaderisasi dan pendidikan di
Ampel Surabaya. Dari perkawinan ini lahirlah
seorang putera bernama Raden Fatah, yang sejak
kecil sudah diungsikan dari Istana Majapahit dan
mendapat pendidikan langsung para Wali Songo, dan
dibesarkan dalam lingkungan pendidikan Sunan
Ampel. Ketika dewasa, Raden Fatah diangkat menjadi
penguasa lokal di Demak, Jawa Tengah. Setelah
menggalang kekuatan dan mendapat dukungan
meluas, Wali Songo memproklamirkan berdirinya
Kerajaan Islam Demak dan mengangkat Raden Fatah
sebagai Sultan. Sejak saat itu, dimulailah penaklukan
demi penaklukan yang telah mengakhiri dominasi
Kerajaan Hindu-Budha di tanah Jawa dan mulai

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 78


berdiri Kesultanan-Kesultanan Islam. Sementara
Syarief Hidayatullah, tidak diragukan berasal dari
keturunan keluarga besar Kesultanan Perlak-Pasai
yang telah telah mendirikan Kesultanan Banten di
Jawa bagian Barat.

Dekonstruksi Teori Islamisasi Aceh


Versi Snouck Hourgronje

Sehubungan dengan proses Islamisasi di Aceh,


ada beberapa teori yang hingga kini masih sering
didiskusikan, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun
kalangan intelektual Islam sendiri. Salah satunya
adalah teori masuknya Islam ke Aceh dari Gujarat,
disebut juga sebagai Teori Gujarat. Teori ini berasal
dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh
hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam
di Aceh yang tidak mampu dijajah Belanda. Orientalis
ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 79


tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dan Islam
dengan sangat giat sampai ke Mesir dan Mekkah,
mengaku sebagai seorang Ulama Muslim, dan
bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang
tokoh di zamannya. Teori yang diusung oleh Snouck
ini mengatakan Islam masuk ke Nusantara, termasuk
Aceh dari wilayah-wilayah di anak benua India
seperti Gujarat, Bengali. Ironisnya Teori ini masih
dipakai dalam buku-buku sejarah sampai sekarang
yang menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita,
dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas,
bahkan di beberapa perguruan tinggi.
Dalam L’arabie et les Indes Neerlandaises,
Snouck menyebutkan teori tersebut didasarkan pada
pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai
Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal,
yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga
mengatakan, teorinya didukung dengan hubungan
yang sudah terjalin lama antara wilayah Nusantara
dengan daratan India. Sebetulnya, teori ini
dimunculkan pertama kali oleh Pijnappel, seorang
sarjana dari Universitas Leiden. Namun, nama

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 80


Snouck yang paling besar memasarkan teori Gujarat
ini. Salah satu alasannya adalah, karena Snouck
dipandang sebagai sosok yang mendalami Islam.
Teori ini diikuti dan dikembangkan oleh banyak
sarjana Barat lainnya.
Teori Gujarat yang dikembangkan bahkan
dipaksakan Snouck bersama antek-anteknya ini telah
memberikan pengaruh yang besar terhadap sejarah
dan jati di bangsa Aceh selanjutnya. Pengkerdilan ini
telah memutuskan mata rantai spiritualitas
keislaman yang telah berurat berakar pada tradisi,
budaya dan peradaban Aceh sebagai tapak awal
Islamisasi Nusantara. Dampak psikologis yang paling
kentara adalah kesan bahwa Aceh adalah salah satu
wilayah yang baru tersentuh Islam, yang maknanya
bahwa perkembangan peradaban Islam di Aceh baru
beberapa abad.
Untuk mendekonstruksi sejarah sekaligus
menguak kepalsuan Teori Gujarat yang disampaikan
antek penjajah Snouck ini, ada beberapa teori yang
ingin penulis sampaikan, diantaranya adalah:

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 81


a. Teori Mekkah (Arab)
Salah satu teori Islamisasi Aceh yang paling
populer dan memiliki kekuatan fakta adalah teori
yang dikembangkan oleh para pakar dan
cendekiawan Muslim dan mendapat dukungan di
kalangan cendekiawan non Muslim, teori ini di kenal
dengan Teori Mekkah (Arab). Teori Mekkah (Arab)
hakikatnya adalah koreksi terhadap teori Gujarat dan
bantahan terhadap teori Persia. Di antara para ahli
yang menganut teori ini adalah T.W. Arnold,
Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, SMN. Al-
Attas, A. Hasymi, dan Hamka.13
Arnold menyatakan para pedagang Arab
menyebarkan Islam ketika mereka mendominasi
perdagangan Barat-Timur sejak abad awal Hijriyah,
atau pada abad VII dan VIII Masehi. Meski tidak
terdapat catatan-catatan sejarah, cukup pantas

13
Masalah Islamisasi Nusantara, lihat misalnya : S.M.N. Al-Attas, “Prelimenary Statement on A General
Theory of the Islamization”, dalam Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1969,. Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, Medan: Panitia
Seminar, 1963. T.D. Situmorang dan A. Teeuw, Sejarah Melayu, Jakarta: Balai Pustaka, 1958, hlm. 65-66.
Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Waspada, 1981. Teuku Iskandar, De Hikayat Atjeh, (S-
gravenhage: NV. De Nederlanshe Boek-en Steendrukkerij V. H.L. Smits, 1959). Husein Djajaningrat, Kesultanan
Aceh: Suatu Pembahasan Tentang Sejarah Kesultanan Aceh Berdasarkan Bahan-bahan Yang Terdapat Dalam
Karya Melayu, Teuku Hamid (terj.) (Banda Aceh: Depdikbud DI Aceh. 1983). Siti Hawa Saleh (edt), Bustanus as-
Salatin, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992). Denys Lombard, Kerajaan Aceh, Jaman Sultan
Iskandar Muda 1607-1636, (terj), (Jakarta: Balai Pustaka,1992). C. Snouck Hurgronje, Een- Mekkaansh
Gezantscap Naar Atjeh in 1683”, BKI 65, (1991). Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 196. A. Hasymi, 59 Aceh Merdeka
Dibawah Pemerintah Ratu (Jakarta: Bulan Bintang, 1997).
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 82
mengasumsikan bahwa mereka terlibat dalam
penyebaran Islam di Indonesia. Asumsi ini lebih
mungkin bila mempertimbangkan fakta-fakta yang
disebutkan sumber Cina bahwa pada akhir
perempatan ketiga abad VII M seorang pedagang
Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab di
pesisir Sumatera. Sebagian mereka bahkan
melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal
yang kemudian membentuk komunitas muslim Arab
dan lokal. Anggota komunitas itu juga melakukan
kegiatan penyebaran Islam. Argumen Arnold di atas
berdasarkan kitab `Ajaib al-Hind, yang
mengisaratkan adanya eksistensi komunitas muslim
di Kerajaan Sriwijaya pada Abad X. Crawfurd juga
menyatakan bahwa Islam Indonesia dibawa langsung
dari Arabia, meski interaksi penduduk Nusantara
dengan muslim di timur India juga merupakan faktor
penting dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Sementara Keizjer memandang Islam dari Mesir
berdasarkan kesamaan mazhab kedua wilayah pada
saat itu, yakni Syafi’i. Sedangkan Nieman dan De
Hollander memandang Islam datang dari Hadramaut,

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 83


Yaman, bukan Mesir. Sementara cendekiawan senior
Nusantara, SMN. Al-Attas menolak temuan epigrafis
yang menyamakan batu nisan di Indonesia dengan
Gujarat sebagai titik tolak penyebaran Islam di
Indonesia. Batu-batu nisan itu diimpor dari Gujarat
hanya semata-mata pertimbangan jarak yang lebih
dekat dibanding dengan Arabia. Al-Attas
menyebutkan bahwa bukti paling penting yang perlu
dikaji dalam membahas kedatangan Islam di
Indonesia adalah karakteristik Islam di Nusantara
yang ia sebut dengan “teori umum tentang
Islamisasi Nusantara” yang didasarkan kepada
literatur Nusantara dan pandangan dunia Melayu.14
Menurut Al-Attas, sebelum abad XVII seluruh
literatur Islam yang relevan tidak mencatat satupun
penulis dari India. Pengarang-pengarang yang
dianggap oleh Barat sebagai India ternyata berasal
dari Arab atau Persia, bahkan apa yang disebut
berasal dari Persia ternyata berasal dari Arab, baik
dari aspek etnis maupun budaya. Nama-nama dan
gelar pembawa Islam pertama ke Nusantara
menunjukkan bahwa mereka orang Arab atau Arab-
14
Azra, op.cit. hal. 28
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 84
Persia. Diakui, bahwa setengah mereka datang
melalui India, tetapi setengahnya langsung datang
dari Arab, Persia, Cina, Asia Kecil, dan Magrib
(Maroko). Meski demikian, yang penting bahwa
faham keagamaan mereka adalah faham yang
berkembang di Timur Tengah kala itu, bukan India.
Sebagai contoh adalah corak huruf, nama gelaran,
hari-hari mingguan, cara pelafalan Al-Quran yang
keseluruhannya menyatakan ciri tegas Arab.15
Argumen ini didukung sejarawan Azyumardi Azra
dengan mengemukakan historiografi lokal meski
bercampur mitos dan legenda, seperti Hikayat Raja-
raja Pasai, Sejarah Melayu, dan lain-lain yang
menjelaskan interaksi langsung antara Nusantara
dengan Arabia.16
Hamka dalam pidatonya di acara Dies Natalis
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di
Yogyakarta pada tahun 1958, melakukan koreksi
terhadap Teori Gujarat. Teorinya disebut “Teori
Mekah” yang menegaskan bahwa Islam berasal
langsung dari Arab, khususnya Mekah. Teori ini

15
Al-Attas, op.cit. hal. 54-55
16
Azra, op.cit. hal.30
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 85
ditegaskannya kembali pada Seminar Sejarah
Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret
1963. Hamka menolak pandangan yang menyatakan
bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad
ke 13 dan berasal dari Gujarat. Hamka lebih
mendasarkan teorinya pada peranan bangsa Arab
dalam penyebaran Islam di Indonesia. Gujarat
hanyalah merupakan tempat singgah, dan Mekah
adalah pusat Islam, sedang Mesir sebagai tempat
pengambilan ajaran. Hamka menekankan
pengamatannya kepada masalah mazhab Syafi’i
yang istimewa di Mekah dan mempunyai pengaruh
besar di Indonesia. Sayangnya, hal ini kurang
mendapat perhatian dari para ahli Barat. Meski sama
dengan Schrike yang mendasarkan pada laporan
kunjungan Ibnu Bathuthah ke Sumatera, Hamka lebih
tajam lagi terhadap masalah mazhab yang dimuat
dalam laporan Ibnu Batutah. Selain itu Hamka, juga
menolak anggapan Islam masuk ke Indonesia pada
abad XIII. Islam sudah masuk ke Nusantara jauh
sebelumnya, yakni sekitar Abad VII.17

17
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia;
Bandung; Mizan; 1995; hal. 81.
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 86
Pandangan Hamka sejalan dengan Arnold, Van
Leur, dan Al-Attas yang menekankan pentingya
peranan Arab, meski teori Gujarat tidak mutlak
menolak peranan Arab dalam penyebaran Islam di
Nusantara. Arnold sendiri telah mencatat bahwa
bangsa Arab sejak abad kedua sebelum Masehi telah
menguasai perdagangan di Ceylon (Srilangka).
Memang tidak dijelaskan lebih lanjut tentang
sampainya ke Indonesia. Tetapi, bila dihubungkan
dengan kepustakaan Arab kuno yang menyebutkan
Al-Hind (India) dan pulau-pulau sebelah timurnya,
kemungkinan Indonesia termasuk wilayah dagang
orang Arab kala itu. Berangkat dari keterangan
Arnold, tidaklah mengherankan bila pada abad VII,
telah terbentuk perkampungan Arab di sebelah barat
Sumatera yang disebut pelancong Cina, seperti
disebutkan Arnold dan Van Leur.18

b. Teori Champa (Jeumpa) Versi Raffles


Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan
Inggris yang juga seorang peneliti sosial, Sir TS.
Raffles dalam bukunya The History of Java,
18
Op.cit, hal. 92-93
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 87
menyebutkan bahwa Champa yang terkenal di
Nusantara, bukan terletak di Kambodia sekarang
sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda.
Tapi Champa adalah nama daerah di sebuah wilayah
di Aceh, yang terkenal dengan nama ”Jeumpa”.
Champa adalah ucapan atau logat Jeumpa dengan
dialek ”Jawa”. Jeumpa (Champa) biasanya
dihubungkan dengan sebuah peristiwa pada zaman
kerajaan Majapahit, terutama pada masa
pemerintahan Brawijaya V yang memiliki seorang
istri yang dikenal dengan ”Puteri Champa”. Puteri
inilah yang melahirkan Raden Fatah, yang kemudian
menyerahkan pendididikan putranya kepada seorang
pamannya yang dikenal dengan Sunan Ampel di
Surabaya. Sejarah mencatat, Raden Fatah menjadi
Sultan pertama dari Kerajaan Islam Demak, Kerajaan
Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri
sejarah Kerajaan Hindu-Jawa Majapahit. Jeumpa yang
dinyatakan Raffles sekarang berada di sekitar daerah
Kabupaten Bireuen Aceh.19

19
Sir Thomas Stamford Raffles, The History of Java, from the earliest Traditions till the establisment of
Mahomedanism. Published by John Murray, Albemarle-Street. 1830. Vol II, 2nd Ed, Chap X, hal. 74. 122
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 88
Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar
Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, yang
disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah
Kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar
abad ke VIII Masehi yang berada di sekitar daerah
perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di
sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di
sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa
Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara,
sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu
Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman
yang padat penduduknya dan juga merupakan kota
bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala
Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng
ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh
kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala
Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung
ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke ”Pintou Rayeuk”
(pintu besar).20

Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah


yang diperkirakan sebagai tapak Maligai Kerajaan

20
Lihat : Modus, No.15/TH.V/23-29 Juli 2007 hal.31
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 89
Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal
dengan Buket Teungku Keujereun, ditemukan
beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti
kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca
jendela, porselin dan juga ditemukan semacam
cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke
lutut dan anting sebesar gelang tangan. Di sekitar
daerah ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini
sebagai pemakaman Raja Jeumpa dan kerabatnya
yang hanya ditandai dengan batu-batu besar yang
ditumbuhi pepohonan rindang di sekitarnya.

Berdasarkan silsilah keturunan Sultan-Sultan


Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei
Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan
Islam Jeumpa pada 154 Hijriah atau tahun 777
Masehi dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia
(India Belakang ?) yang bernama Syahriansyah
Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan
Puteri Mayang Seulodong dan memiliki beberapa
anak, antara lain Shahri Poli, Shahri Tanti, Shahri
Nawi, Shahri Dito dan Puteri Makhdum Tansyuri
yang menjadi ibu dari Sultan pertama Kerajaan Islam

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 90


Perlak. Menurut penelitian pakar sejarah Aceh, Sayed
Dahlan al-Habsyi, Shahri adalah gelar pertama yang
digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara
sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid,
Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil
dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri
Shahri Banun, anak Maha Raja Parsia terakhir.

Mengenai keberadaan Shahri Nawi ini,


disebutkan oleh Syekh Hamzah Fansuri. Syekh ini
adalah Ulama Sufi dan sastrawan terkenal Nusantara
yang berpengaruh dalam pembangunan Kerajaan
Aceh Darussalam, yang juga merupakan guru
Syamsuddin al-Sumatrani yang dikenal sebagai
Syekh Islam Kerajaan Aceh Darussalam pada masa
Iskandar Muda. A. Hasymi menyebutkan beliau juga
adalah paman dari Maulana Syiah Kuala (Syekh
Abdul Rauf al-Fansuri al-Singkili). Syekh Fansuri
dalam beberapa kesempatan menyatakan asal
muasalnya dan hubungannya dengan Shahri Nawi.
Diantaranya syair :
Hamzah ini asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Shahrnawi

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 91


Beroleh khilafat ilmu yang ’ali
Daripada ’Abd al-Qadir Jilani

Hamzah di negeri Melayu,


Tempatnya kapur di dalam kayu

Dari rangkaian syair ini, maka jelaslah bahwa


ada hubungan antara bumi Shahrnawi (Shahr Nawi)
dengan Fansur yang menjadi asal muasal kelahiran
Syekh Hamzah Fansuri dan tempat yang terkenal
kafur Barus. Sebagaimana disebutkan di atas,
Shahrnawi atau Syahr Nawi adalah anak daripada
Pangeran Salman (Sasaniah Salman) yang lahir di
daerah Jeumpa, di Aceh Bireuen saat ini. Syahrnawi
adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam
pengembangan Kerajaan Islam Perlak, bahkan beliau
dianggap arsitek pendiri kota pelabuhan Perlak pada
tahun 805 yang dipimpinnya langsung, dan
diserahkan kepada anak saudaranya Maulana Abdul
Aziz. Kerajaan Islam Perlak selanjutnya berkembang
menjadi Kerajaan Islam Pasai dan mendapat

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 92


kegemilangannya pada masa Kerajaan Aceh
Darussalam.
Maka tidak mengherankan jika Syekh Hamzah
Fansuri, mengatakan kelahirannya di bumi Sharhnawi
yang merupakan salah seorang generasi pertama
pengasas Kerajaan-Kerajaan Islam Aceh yang dimulai
dari Kerajaan Islam Jeumpa. Menurut beberapa data
dan analisis yang akan dikemukakan nanti, bahwa
hubungan antara Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh
berkaitan satu dengan lainnya. Pernyataan Syekh
Hamzah Fansuri ini juga menjadi hujjah yang
menguatkan teori bahwa Jeumpa, asal kelahiran
Shahrnawi adalah Kerajaan Islam pertama di
Nusantara.

c. Teori Hubungan Dagang Arab-Cina


Peter Bellwood dalam Reader in Archaeology
Australia National University, telah melakukan
banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia
Tenggara. Bellwood menemukan bukti-bukti yang
menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi,
beberapa jalur perdagangan utama telah

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 93


berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara
dengan Cina. Dia menulis “Museum Nasional di
Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari
beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu,
banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di
antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti
Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi
pribadi di London....”. Sifat perdagangan pada zaman
itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang,
tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang
dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan
raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan
Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera
baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967;
Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-
kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir
pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak
dijumpai catatannya.21
Perdagangan antara negara-negara Timur
dengan Timur Tengah dan Eropa berlangsung lewat
dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat, yang
21
Lihat juga: Peter Bellwood, Man’s Conquest of the Pacific. The Prehistory of Southeast Asia and
Oceania, New York: Oxford University Press. 1979. Peter Bellwood, Prehistory of the Indo-Malaysian
Archipelago, Orlando, Florida: Academic Press. 1985.
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 94
juga disebut ”jalur sutra” (silk road), dimulai dari
Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke
Laut Tengah. Jalur perdagangan ini, yang
menghubungkan Cina dan India dengan Eropa,
merupakan jalur tertua yang sudah di kenal sejak
500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut
dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) dan
Indonesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke
Laut Tengah dan Eropa, ada yang melalui Teluk Persia
dan Suriah, dan ada juga yang melalui Laut Merah
dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara
Laut Merah, Cina dan Indonesia sudah berjalan sejak
abad pertama sesudah Masehi.22

Seringnya terjadi gangguan keamanan pada


jalur perdagangan darat, terutama di sekitar di Asia
Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan
Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi
semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab,
Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke
Timur dan terus ke Negeri Cina dengan
menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang

22
D.H.Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15.)
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 95
pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil
bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman
Sriwijaya, pedagang-pedagangnya telah
mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai
timur Afrika. Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat
Malaka, maka telah menumbuhkan kota-kota
pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau
Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin
banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur
laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin
ramai, termasuk di wilayah Aceh yang diketahui telah
memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya
terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota
pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota
perdagangan.23
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara
—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga
diakui oleh sejarahwan G.R. Tibbetts. Bahkan
Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti
hubungan perniagaan yang terjadi antara para
pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang

23
M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesia Archipelago. The Hague:
Martinus Nijhoff, 1962, hlm. 345 (catatan 122)
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 96
dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam.
Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak
dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat
itu. “Keadaan ini terjadi karena kepulauan Sumatra
telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal
pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak
24
abad kelima Masehi,”

Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga


menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun
700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15
tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama
atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah
berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di
sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan
sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih
berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha
Sriwijaya. Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang
menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok
yang mengembara pada tahun 674 M telah
menemukan sekelompok bangsa Arab yang

24
Tibbetts; Pre Islamic Arabia and South East Asia, JMBRAS, 19 pt. 3, 1956, hal. 207. Dr. Ismail Hamid
“Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam” .Jakarta: Pustaka Al-Husna cet. 1, 1989, hal. 11).
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 97
membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat
Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa
penemuan tersebut telah mengubah pandangan
orang tentang sejarah masuknya agama Islam di
Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan
ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat
sejarah dunia Islam di Princetown University di
Amerika.25
Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu
T’hang Shu disebutkan pernah mendapat kunjungan
diplomatik dari orang-orang Ta Shih, sebutan untuk
orang Arab, pada tahun tahun 651 Masehi atau 31
Hijirah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama
kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’.
Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul
Mukminin. Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo
ni’ menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan
Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti
kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang
pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin
Affan.

25
Prof. Dr. HAMKA, Dari Perbendaharaan Lama; Jakrta: Pustaka Panjimas; cet.III; 1996; Hal. 4-5.
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 98
Para pengembara Arab ini tak hanya berlayar
sampai di Cina saja, tapi juga terus menjelajah
sampai di Timur Jauh. Jauh sebelum penjelajah dari
Eropa punya kemampuan mengarungi dunia, terlebih
dulu pelayar-pelayar dari Arab dan Timur Tengah
sudah mampu melayari rute dunia dengan intensitas
yang cukup padat. Pada masa Dinasti Umayyah, ada
sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada
Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri Cina.
Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri
beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau
Kanton.
Setelah abad ke-7 M, Islam sudah berkembang
pesat, misalnya menurut laporan sejarah negeri
Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta
Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah
mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah
26
negeri di Nusantara (Kerajaan Islam Perlak).

d. Teori Barus-Fansur Aceh

26
F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries,
St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159.
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 99
Barus-Fansur adalah tempat yang dikaitkan
dengan penghasil kayu kamper sebagai penghasil
kapur (kamfer atau al-kafur dalam bahasa Arab)
terdapat dalam banyak sumber asli Arab, Persia, dan
China dalam berbagai buku perjalanan, botani,
kedokteran, dan pengobatan. Kapur, yang dalam
bahasa Latin disebut camphora, merupakan bagian
dalam (inti) kayu kamfer yang padat berisi minyak
yang harum. Masyarakat pra-Islam telah mengenal
kafur yang masyhur itu, hal ini dibuktikan dengan
penemuan penggunaan kata kafur yang disebut
berkali-kali dalam syair-syair Arab sebelum lahirnya
Nabi Muhammad SAW.27
Dalam karya dua orang sejarawan, Ibn al-Atir
(wafat tahun 1233 M), dan Ibn al-Baladuri (wafat
tahun 1473) tercatat bahwa pada tahun 16 H/637 M,
sewaktu perebutan ibu kota Dinasti Sassanid, yaitu
Ctesiphon, orang-orang Arab menemukan
kamper/kafur yang dikira garam di antara rempah-
rempah dan wangi-wangian.28

27
Lihat: artikel "Kafur", A. Dietrich, Ensiklopedia Islam (E.I) 2 hal: 435-436.
28
W. Heyd, Histoire du commerce du Levant [Sejarah Pergadangan di Kawasan Syria-Libanon], edisi
Prancis yang disusun kembali oleh Furcy Raynand, Amsterdam: Adolf M, Hakkert, 1967, tambahan I,
hal 590).
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 100
Ibn Gulgul, abad ke-10 M, seorang ahli
biobibliografi dan ilmu kedokteran dari Andalusia,
mencata kafur atau kamfer dalam 63 bahan obat-
obatan baru yang belum dikenal sebelumnya sebagai
obat, kecuali hanya pewangian dan alat-alat ritual
semata di agama-agama paganisme. Ibn Sarabiyun
pada abad ke-10 juga mulai memperkenalkan zat
yang sangat ampuh ini. Ibn al-Baytar yang mengutip
Ishaq ibn Imran yang hidup awal abad ke-9 M juga
melakukan hal yang sama. Ketiganya melalui
serangkaian eksperimen yang dilakukan berhasil
menjelaskan berbagai fungsi dan kegunaan kafur
dengan berbagai campuran untuk khasiat yang
berbeda-beda. Fungsinya dalam berbagai bentuk
olahan diantaranya adalah, sebagai balsem,
penghobatan kandung empedu, radang hati, demam
tinggi, berbagai penyakit mata, sakit kepala akibat
liver, memperkuat organ dan indra, mengontrol
syaraf, pembiusan alami, pendarahan, menguatkan
gigi, dan lain-lain.
Al-Kindi, salah seorang intelektual Arab,
menyebutkan kapur barus sebagai salah satu unsur

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 101


penting untuk membuat wangi-wangian. Sekitar
abad ke-8, kapur barus merupakan salah satu dari
lima rempah dasar dalam ilmu kedokteran Arab dan
Persia. Empat unsur yang lain adalah kesturi, ambar
abu-abu, kayu gaharu, dan safran. Pada zaman
Abbasiyah, hanya orang kaya dan para pemimpin
saja yang menggunakan pewangi dari air kapur
barus untuk cuci tangan selepas perjamuan makan.
Ibnu Sina atau yang dalam literatur Eropa
dikenal sebagai Aveceena, dalam bukunya yang
terkenal tentang ensiklopedia pengobatan dan obat-
obatan, al-Qanun Fi al-Tib, mencatat manfaat kamfer
sebagai obat penenang dan mendinginkan suhu
badan yang tinggi. Kamfer juga dipakai sebelum dan
sesudah pembedahan, sebagai obat liver, obat diare,
sakit kepala, mimisan, dan sariawan. Aviceena
menulis: "Jika kafur dipakai sedikit, maka obat ini
dapat membantu menenangkan, karena bahan ini
dingin. Kadang kala obat ini menurunkan suhu badan
yang tinggi akibat badan kurang sehat karena lemah.
Efek yang menguatkan dan menenangkan ini disertai
efek harumnya. Efek pendinginannya dikurangi

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 102


dengan kasturi dan ambar, dan kekeringannya
dikurangi dengan minyak wangi dan pelunaknya,
misalnya minyak cengkeh dan minyak bunga
berwarna ungu lembayung. Kafur merupakan
penangkal racun, khususnya racun panas. Berkat
kafur pikiran menjadi lebih tajam dan terang; oleh
karena itu kafur menguatkan dan menyenangkan.
Efeknya serupa ambar kuning, tetapi lebih kuat dan
lebih bermanfaat."29
Selain bangsa Arab, bangsa Persia juga
berdatangan untuk meneliti kegunaan kafur dari
Fansur ini. Buku tertua mengenai ilmu kedokteran
yang ditulis dalam bahasa Persia adalah buku
Muwaffak al-Din Abu Mansur Ali al-Harawi (abad ke-
10 M), yang berjudul Kitab al-Abniya 'an haqa'iq al-
Adwiya [Buku mengenai dasar dan kebenaran obat-
obatan asli]. Dalam bukunya yang berjudul Hidayat
al-muta'alimin fi al-tibb (Panduan untuk mahasiswa
ilmu kedokteran), al-Bukhori (abad ke-10) seorang
mahasiswa Harawi dan dokter terkenal al-Razi (abad
ke-9 dan 10 M) berhasil mengembangkan kafur
dalam berbagai bentuk resep, sebanyak 31 resep.
29
Ibn Baytar, Traite des Simples par Ibn el-Beithar. Terj. Dr. L. Leclerc, 3 jil. –Paris: 1881-1887.
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 103
Salah satunya adalah dalam penanggulanagn
penularan penyakit pes.
Orang-orang Yunani telah terlibat secara intens
dalam pengembangan ilmu kedokteran. Salah satu
buku yang berhasil ditemukan seperti catatan Actius
dari Amide dari abad ke-6 dan ke-7 M, menyebutkan
kafur dalam karyanya Libri Medicinales.
Salah satu surat pertama dari riga surat karya
al-Kind yang berjudul al-rasail al-hikmiyya fi asrul al-
ruhaniyya [Risalah-risalah Hukum tentang Rahasia-
Rahasia Batin], dikatakan bahwa kafur milik Devi
Venus dan digunakan dalam pengasapan yang
dipersembahkan kepadanya. "Allah Yang Maha Kuasa
telah menciptakan Venus dari cahaya dan kecerahan;
Venus memberi kebaikan dalam semua posisinya …
di antaranya batu maha yang dimilikinya; dalam
badan manusia, perut dan usus yang dimilikinya;
dalam abjad tiga huruf yang dimilikinya ('ain, ha dan
kaf); di antara bahan murni untuk pengasapan yang
dimilikinya terdapat: ambar abu-abu, qust, tanaman
fagara, kafur, bunga mawar kering, laudanum."30
30
G. Celentano, L.V. Vaglieri, "Trois Epitres d'al-Kindi: textes et traduction avec XIX plaches facsimile des
trois epitres", dalam Annali dell Istituto universitario Orientale di Nipoli, jil 34, buku 3 (1974) hal 523-
562.
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 104
Dijelaskan di Alf Layla wa layla (Seribu Satu
Malam) oleh Sindbad, sang petualang yang terkenal:
"Sesudah bangun keesokan harinya, kami pergi
melewati gunung-gunung tinggi ke Pulau Riha yang
kaya dengan pohon kafur. Setiap pohon dapat
membayangi lebih dari 100 orang. Puncak pohonnya
ditoreh dan air yang mengalir darinya dapat mengisi
beberapa wadah. Kafur mulai menetes dan
tetesannya mirip lem. Sesuadah itu kafur tidak
meleleh lagi dan pohonnya menjadi kering." Riha
adalah berarti kafur yang bermutu tinggi yang berarti
al-Kafur al-Fansuri. Jadi Pulau Riha yang dimaksud
adalah daerah Fansur.
Kapur barus juga dipakai untuk memandikan
jenazah sebelum dikuburkan. Variasi penggunaan
kapur barus ini menyebabkan nilai jualnya sangat
tinggi. Manfaat kapur barus ini kemudian menyebar
ke Yunani dan Armenia karena pada periode tersebut
ilmu kedokteran dari Arab dan Persia menjadi acuan
dunia.
Di akhir abad ke-4 M, istilah "P'o-lu" yang berarti
Barus mulai dikenal oleh Bangsa Cina. Istilah ini

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 105


diketahui sebagai rujukan kepada seluruh wilayah
utara Sumatera. Barulah pada akhir abad ke-9,
seorang ahli geografi Arab, Ibn Khurdadhbih
menyebutkan nama Ram(n)i: "Di belakang Serendib
terletak daerah Ram(n)I, dimana hewan badak dapat
ditemukan… Pulau ini menghasilkan pohon bambu
dan kayu Brazil, akar-akar yang dapat digunakan
sebagai obat anti racun-racun mematikan…Di negeri
ini juga tumbuh pohon-pohon kapur yang
tinggi,"31
Kira-kira pada abad yang sama, sebuah buku
Akhbar al-Sin wa al-Hind juga menyebutkan nama
Ramni: "Ramni (yang) terdapat didalamnya gajag-
gajah dalam jumlah yang banyak berserta kayu
Brazil dan bambu. Pulau itu dikelilingi oleh dua
lautan..Harkand dan dan Salahit" . Nama Ramni atau
Ram(n)I, kemungkinan besar, dengan melihat peta
dan posisi Sri Lanka atau Serendib, adalah Sumatera
bagian utara dan lebih tepatnya lagi timur laut
Aceh. (The sea of Harkand was the Bay of Bengal.
Salaht (or Salahit) is believed to be derived from the

31
Tibbetts, Arabic Texts, hal. 27-28.
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 106
Malay word selat or Straits, i.e., what is now known
as the Selat Melaka).32
Abu Zaid Hasan pada tahun 916 M, saat dia
menjelaskan penguasa Maharaja Zabaj (Sriwijaya)
menyebut juga Ranmi: "nama pulau tersebut adalah
Rami (Ramni) yang luasnya delapan ratus parasangs
(From the Persian farsakh, it was approximately 3 Y2
miles in extent) di daerah tersebut. Di sana dapat
ditemukan kayu Brazil, kapur dan tumbuhan
lainnya."33
Pada tahun 943, Masudi mencatat: “Kira-kira
seribu parasangs (dari Serendib) masih terdapat
sebuah pulau yang bernama Ramin (yakni Ramni)
yang dihuni dan diperintah oleh raja-raja. Daerah
tersebut penuh dengan tambang emas, dan dekat
dengan tanah Fansur, yang menjadi asal kapur
fansur, yang hanya dapat ditemukan di Fansur
dengan jumlah yang besar dalam tahun-tahun yang
penuh dengan topan dan gempa bumi.34
'Ajaib al-Hind', yang ditulis tahun 1000 M,
menjelaskan banyak referensi mengenai Lambri.
32
Wolters, Early Indonesian Commerce, hal. 178)
33
Tibbetts, Arabic Texts, hal. 30
34
Ibid, hal. 37-38
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 107
Muhammad ibn Babishad melaporkan: ”Di Pulau
Lamuri terdapat zarafa yang tingginya tidak terkira.
Dikatakan bahwa pelaut-pelaut yang terdampar
di Fansur, terpaksa harus pindah ke Lamuri.
Mereka mengungsi di waktu malam karena takut
dengan zarafa; karena mereka tidak muncul di siang
hari… Di pulau ini juga terdapat semut-semut
raksasa dalam jumlah besar, terutama di kawasan
Lamuri ”.... "Lububilank, yang merupakan sebuah
teluk, (Tibbetts identifies this with Lho' Belang Raya
(Telok Balang), 5°32f N, 95°17' E. Ibid., p. 141)
terdapat orang-orang yang memakan manusia.
Orang-orang kanibal ini mempunyai ekor, dan
35
menghuni tanah antara Fansur dan Lamuri."
Lambri dalam karya para ahli geografi Arab tidak
dijelaskan lebih lanjut. Ramni juga disebutkan oleh
Biruni pada tahun 1030. Nama tersebut juga ditulis
dalam teks Dimashqi di tahun 1325 dalam buku
Cowan,"Lamuri," hal. 421.
Satu-satunya sumber India menyebutkan Lambri
dalam transkrip Tanjore dari Bangsa Tamil dalam
pemerintahan Rajendra Cola, dimana nama
35
Ibid, hal. 44-45
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 108
"Ilamuridesam yang sangat murka terlibat dalam
perang" disebutkan bersama toponim lain sebagai
daerah target-target penggempuran mereka pada
tahun 1025.36
Ahli geografi Cina Chou Ch'u-fei menulis, pada
tahun 1178, nama Lan-li dimana kapal-kapal dari
Canton atau Guangdong sering merapat sambil
menunggu bulan purnama untuk memudahkan
mereka berlayar menuju Lautan India tepatnya Sri
Lanka dan India.37
Hampir lima puluh tahun kemudian, Chau Ju-kua
menyebut Lan-wu-li, dan melaporkan bahwa; "Hasil-
hasil produksi kerajaan Lan-wu-li adalah kayu sapan
(Brazilwood (Caesalpinia sappan, Linn.), gading gajah
dan rotan putih. Penduduknya menyukai perang dan
sering menggunakan panah beracun. Dengan angin
utara, pelaut dapat berlayar selama dua puluh hari
ke Silan…."38
Dia selanjutnya mendukung informasi yang
diberikan oleh Chou Ch'u-fei:
36
K. A. Nilakanta Sastri, History of Srivijaya (Madras: University of Madras, 1949), hal. 80, 81.
37
Almut Netolitzky, Das Ling-wai Tai-ta von Chou-chu-fei,( Weisbaden: Heiner Verlag, 1977), hal. 40-41)
38
Friedrich Hirth and W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the
Twelfth and Thirteenth Centuries, Entitled Chu-fan-chi (St. Petersburg: Imperial Academy of Sciences,
1911), hal. 72).
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 109
”Ta-shi terletak di Timur Laut dari Ts'uan-chou
dengan jarak yang sangat jauh, jadi kapal-kapal
asing kesulitan untuk melakukan pelayaran
langsung. Setelah kapal-kapal tersebut
meninggalkan Ts'uan-chou mereka akan berlayar
terlebih dahulu selama empat puluh hari ke Lan'li,
dimana mereka akan menyempatkan diri untuk
berdagang. Tahun berikutnya akan kembali ke laut,
dengan dukungan angin mereka akan menghabiskan
enam puluh hari untuk melanjutkan perjalanan.39
Marco Polo, sekembalinya dari Cina ke Eropa
tahun 1292, menyebutkan, selain Perlak yang sudah
memeluk Islam, nama Lambri bersama lima kerajaan
kafir lainnya. Dia menulis bahwa; "Penduduknya
penyembah berhala, dan menyebut dirinya hamba
Kaan yang agung. Mereka memiliki kapur dalam
jumlah yang besar dan sejumlah spesis lainnya.
Mereka juga memiliki kayu brazil dalam jumlah yang
besar…" Di tahun 1284 dan juga tahun 1286, Lambri
dilaporkan mengirimkan upeti kepada Dinasti Yuan di
China.40
39
Ibid, hal.114
40
Henry Yule and Henri Cordier, The Book of Ser Marco Polo, 2 vols. (Reprint, Amsterdam: Philo Press, 1975),
2:299)
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 110
Seorang musafir Persia, Rashiduddin, pada tahun
1310 menulis bahwa para saudagar dari berbagai
negara sering datang ke Lamori, dan pada tahun
1323, Friar Odoric dari Pordenone menjelaskan
bahwa Lambri merupakan pusat perdagangan di
mana para saudagar dari negara-negara yang sangat
jauh, dan kapur, emas dan pohon gaharu juga
tersedia. Di sini dia kehilangan pandangan terhadap
bintang utara.41
Wang Ta-yuan pada tahun 1349, menulis tentang
Nan-wu-li, yang katanya: ”Tempat ini merupakan
pusat perdagangan yang sangat penting di Nan-wu-
li. Pegunungan raksasa bak gelombang terdapat
dibelakangnya, terletak di pinggiran laut Jih-yueh
wang yang sangat diragukan di sana ada tanah.
Penduduk setempat hidup di sepanjang bukit, setiap
keluarga tinggal di rumah masing-masing. Masing-
masing lelaki dan wanita menggulung rambut
mereka dalam sanggul di atas namun membiarkan
bagian atas tubuh mereka terbuka, dan bagian
bawah dibungkus sarung. Buminya sangat tandus,
panennya sangat jarang, dan iklimnya sangat panas.
41
Ibid, hal. 300
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 111
Sebagai kebiasaan, mereka tunduk kepada bajak laut
seperti orang-orang di Niu-tan-his (Tumasek).
Komoditas lokal adalah sarang burug, cangkang
kura-kura, cangkang penyu dan kayu laka, yang
sangat bermutu dalam hal aroma. Komoditas yang
biasanya diperdagangkan di sini adalah emas, perak,
aksesoris besi, bunga mawar, muslin merah, kapur,
porcelin dengan desain biru dan putih dan lain-
lain.”42
Pada tahun 1365, Kronik Jawa, Negarakrtagama,
menggambarkan Lamuri sebagai negara yang
tergantung kepada Majapahit.43
Ma Huan yang menulis pada awal tahun 15 M,
menyebutkan Nan-po-li, yang dikunjungi oleh kapal
induk dinasti Ming, dengan nakhoda Cheng Ho:
”Kerajaan ini terletak di samping laut, dan
penduduknya terdiri dari hanya seribu keluarga.
Semuanya Muslim, dan mereka sangat jujur dan
tulus. Di bagian timur teritori itu, terletak sebuah
negeri bersama Li-tai, dan di bagian barat dan utara
terletak lautan luas; jika anda pergi ke selatan,

42
ibid
43
Th. C. Th. Pigeaud, Jam in the Fourteenth Century, 5 vols. (The Hague: Nyhoff, I960), 1:11
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 112
terdapat pegunungan; dan di bagian selatan
pegunungan tersebut terletak lagi lautan. Ma Huan
juga menyebutkan nama Pulau Wei, sebuah pulau
sekitar sembilan mil lauty di lepas pantai Timur Laut
Aceh yang juga terdapat pelabuhan alami yang
bagus, sekarang terdapat pelabuhan Sabang. Pulau
Wei sering disebutkan dalam sumber-sumber sejarah
dan dalam terjemahan bahasa Cina bernama "pulau
Hat". Ch'ieh-nan-mao, sebuah daerah penghasil kayu
gaharu.44
Ma Huan menggambarkan Pulau Wei: ”Terletak
di arah laut Timur Laut Lambri, dimana terdapat
pegunungan raksasa yang sangat curam, yang dapat
dicapai dengan setengah hari perjalanan; namanya
pegunungan Mao. Di bagian barat pegunungan ini,
juga, terdapat lautan luas; ini namanya Samudra
Barat yang disebut Samudra Nan-mo-li, kapal-kapal
yang datang dari Samudra dari arah barat berlabuh
di sini, dan mereka melihat pegunungan ini sebagai
petunjuk arah. Di laut yang dangkal, sekitar dua cang
dalamnya, di pinggir pegunungan, tumbuh pohon-
pohon laut; penduduk di sana mengumpulkannya
44
Mills, Ma Huan, hal 122-123.
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 113
dan menjualnya sebagai komoditas yang berharga.
Ini namanya karang. Kerajaan ini tunduk kepada
jurisdiksi kerajaan Nan-po-li.45
Awal abad ke-16 M, Tome Pires memberikan
gambaran yang lebih tepat mengenai lokasi Lambri.
Dia mengatakan bahwa; "Aceh merupakan negara
pertama di bagian pulau Sumatera, dan Lambri
benar-benar di bagian kanannya, yang terletak
menjorok ke darat dan tanah Biar (45) terletak
antara Aceh dan Pidie, dan sekarang negeri-
negeri ini tunduk kepada Aceh dan memerintah
di kedua wilayah tersebut dan dialah raja satu-
satunya di sana. Raja ini adalah Moo…".46
Istilah Lambri dan beberapa versi lainnya
biasanya ditujukan kepada seluruh pantai utara
Aceh, nampaknya hal tersebut di atas menunjukkan
pada titik tertentu yang menjadi informasi kepada
pelayaran yang aman dari ombak Teluk Bengal,
sebuah sumber air segar. Buku Hikayat Atjeh juga
memberikan petunjuk. Pada halaman 17 dari
manuskrip tersebut, diterbitkan oleh Teuku Iskandar,

45
Ibid, hal. 123-124
46
ibid
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 114
terdapat sebuah petunjuk mengenai Lambri, "teluk
Lambri".47
Chau Ju-kua tidak menyebutkan kapur
diperdagangkan di Lambri, tapi diduga bahwa Ujung
Pancu dan Kuala Pancu di Lhok Lambro dekat banda
Aceh kemungkinan besar sangat berhubungan
dengan Fansur. Kapal-kapal yang harus memutar di
Ujung Pancu, harus melalui Lambri ke Barus. Nama
Lambri dan Barus, makanya, sering dibingungkan
dalam pelayaran kuno karena eratnya kedua kota ini.
Sementara Chia Tan yang menulis buku pada era
awal abad ke-8, menyebutkan pelabuhan P'o-lu,
merupakan daerah yang kaya dengan emas, mercury
dan kapur. Pelabuhan tersebut merupakan titip
kepergian bagi kapal-kapal yang datang dari
Sriwijaya barat melalui Samudera India ke Sri
Langka.

f. Teori Kaafuro Dalam al-Qur’an


Hubungan erat Aceh-Melayu dengan dunia Arab
juga dapat ditelusuri dari beberapa kata di dalam al-
Qur’an. Sebagaimana diketahui al-Qur’an adalah
47
T. Iskandar, Hikayat Atjeh, op.cit. hal. 17
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 115
kumpulan wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw melalui perantaraan malaikat
Jibril as sejak pertama diangkat menjadi Nabi di Gua
Hira’ sampai beliau wafat di Madinah pada tahun 10
Hijriah. Sampai saat ini tidak ada satupun manusia
yang dapat menyanggah bahwa al-Qur’an dengan
segala kemukjizatannya bukan berasal dari Allah
Sang Pencipta. Karena mana mungkin seorang yang
buta huruf seperti Nabi Muhammad dapat membuat
sebuah kitab agung yang memiliki gaya bahasa Arab
tertinggi dan tidak mampu dijangkau oleh seorang
pujangga teragung sekalipun. Karena al-Qur’an
bukan hanya kitab sastra, tapi kitab hukum, undang-
undang, pengetahuan, politik dan seterusnya yang
disampaikan dengan untaian indah. Terlalu banyak
makhluk yang tertegun dengan keindahan al-Qur’an.
Telah disepakati para Ulama, bahwa al-Qur’an
diturunkan dalam bahasa Arab, sebagaimana
dinyatakan al-Qur’an sendiri. Namun bahasa Arab al-
Qur’an adalah bahasa Arab tertinggi yang telah
melahirkan gramatika bahasa Arab kontemporer.
Para ulama juga berpendapat ada beberapa kata al-

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 116


Qur’an yang bukan berasal dari bahasa Arab asli,
namun bahasa non Arab yang sudah banyak
digunakan dan dimengerti oleh masyarakat Arab.48
Salah satu bahasa Aceh-Melayu yang sudah
tersebar di dunia Arab, termasuk Mesir sejak zaman
kekuasaan Ramses (Fir’aun) adalah kafur.
Sebagaimana dijelaskan terdahulu dalam teori kafur
Barus, bahwa kafur min barus adalah sebuah
komuditas mewah wangi-wangian yang berasal dari
inti kayu kamfer yang dalam bahasa latin dikenal
dengan champora. Tidak diragukan bahwa penghasil
terbesar kapur zaman itu adalah wilayah yang
terletak di ujung barat pulau Sumatera, yang
sekarang berada di wilayah Aceh. Bahkan dalam
teori terdahulu telah disebutkan banyak dalil tentang
Barus-Fansur awal, yang berada di sekitar Lamuri-
Aceh.
Pada al-Qur’an surat al-Insan (76) ayat ke 5
menyebutkan: Sesungguhnya orang-orang yang
berbuat kebajikan akan meminum dari gelas,
48
Lebih terinci lihat misalnya : Dr. Subhi Shaleh, Mabahits fi ‘ulum al-Qur’an, Beirut : Dar Ilm li al-
Maliyin, tt. Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi ‘ulum al-Qur’an, Damsyik : Maktabah al-
Ghazaly, Thabaah Tsalist, 1981. Dr. M. Ali al-Hasan, al-Manar fi ‘ulum al-Qur’an, Amman : Matbaah al-
Syuruq, 1983. Dr. Shabir Thayyimah, Hazha al-Qur’an, Bairut : Dar al-Jiil, 1989. Syaikh Muhammad
Rasyid Ridho, al-wahy al-Muhammady, Bairut : Dar al-Fiqr, 1968.
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 117
minuman yang dicampur kafur. Kebanyakan
mufassirin dalam tafsirnya masing-masing seperti
Ibn. Abbas, Jalalain, al-Qurthubi, Ibn Katsir dan lain-
lainnya, mengartikan kafur sebagai campuran dari
minuman yang merehatkan, nikmat, yang dapat
membuat tenang dan biasanya dijadikan obat.
Walaupun ada yang menyebutkan sebagai nama
mata air di syurga. Pendapat pertama lebih banyak
dirujuk mengingat penggunaan kafur yang sudah
umum sebagai bahan obat-obatan, wangi-wangian
dan bahan perisa di dunia Arab pra-Islam seperti di
Alexenderia Mesir dan lainnya. Namun hampir
semuanya sepakat bahwa kata ini bukan asli bahasa
Arab, sebagaimana disebutkan Ibn Manzhur dalam
Lisan al-Arab karena tidak ditemukan dalam bahasa
Arab Jahiliyah atau bahasa Arab purba. Maka dengan
demikian, tidak diragukan bahwa kata kafur yang
dimaksudkan al-Qur’an adalah kapur dari Barus
sebagai lambang kemewahan pada zaman itu .
Kata "kafur", menurut Karel Steenbrink, secara
pasti bukan istilah Arab. Akar kata "kafara" bisa
berarti menghindari atau tidak berterima kasih.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 118


Sedangkan kata "kafur", yang berarti kapur barus
atau kamper, berasal dari bahasa Melayu. Steenbrink
menyimpulkan bahwa kata "kafur" bukan hanya
penghubung secara etimologis antara al-Qur'an dan
Nusantara, tetapi juga komoditi yang sejak abad ke-7
telah dibawa oleh pedagang Muslim dari Nusantara.49
Dengan terdapatnya kata kafur di dalam al-
Qur’an, maka dapat diartikan bahwa daerah
penghasil kafur yang paling populer di seluruh dunia,
seperti Barus, Fansur, Lamri dan sekitarnya di
wilayah Aceh, tentu telah berhubungan erat dengan
masyarakat tempat al-Qur’an diturunkan, yaitu
masyarakat Arab. Saking populernya kafur dalam
masyarakat Arab sebagai sebuah simbol kenikmatan,
sehingga dimasukkan sebagai kata dalam al-Qur’an.
Jika kita boleh mengambil hikmah dimasukkannya
kata kafur ke dalam al-Qur’an, Sang Sumber al-
Qur’an mudah-mudahan bermaksud untuk memberi
perhatian dan kehormatan pada asal benda ini, Aceh,
sebagai kawasan yang memiliki peranan penting
dalam penyebaran agama-Nya. Dan memang sejarah
telah membuktikan bahwa Aceh telah menjadi tapak
49
Karel Steenbrink, Pondok Pesantren, Jakarta: LP3ES,
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 119
persemaian penting Islam di Nusantara yang telah
melahirkan Kerajaan-Kerajaan Islam yang sangat
berpengaruh dalam proses Islamisasi dan menggusur
peran Hindu-Budha. Hanya Allah Yang Maha
Tahu..........

f. Teori Korespondensi Khalifah Abdul Aziz-Raja


Sri Indravarman
Ibn Abd Al Rabbih dalam karyanya Al Iqd al Farid
sebagaimana dikutip Azyumardi Azra dalam
bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII
menyebutkan ada proses korespondensi yang
berlangsung antara raja Sriwijaya kala itu Sri
Indravarman dengan khalifah Umar bin Abdul Azis
yang terkenal adil tersebut.
“Dari Raja di Raja [Malik al Amlak] yang adalah
keturunan seribu raja; yang istrinya juga cucu seribu
raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat
seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat dua
sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu
wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 120


wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil;
kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-
tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan
kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan
hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda
persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada
saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam
kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang
hukum-hukumnya,”

Diperkirakan hubungan diplomatik antara kedua


pemimpin wilayah ini berlangsung pada tahun 100
Hijriah atau 718 Masehi. Tak dapat diketahui apakah
selanjutnya Sri Indravarman memeluk Islam atau
tidak. Tapi hubungan antara Sriwijaya dan
pemerintahan Islam di Arab menjadi penanda babak
baru Islam di Nusantara. Jika awalnya Islam masuk
memainkan peranan hubungan ekonomi dan dagang,
maka kini telah berkembang menjadi hubungan
politik keagamaan. Dan pada kurun waktu ini pula
Islam mengawali kiprahnya memasuki kehidupan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 121


raja-raja dan kekuasaan di wilayah-wilayah
Nusantara.50

g. Teori Kerajaan Islam Perlak


Perlak pada tahun 805 Masehi adalah bandar
pelabuhan yang dikuasai pedagang keturunan Parsi
yang dipimpin seorang keturunan Raja Islam Jeumpa
Pangeran Salman al-Parsi dengan Putri Manyang
Seuludong bernama Meurah Shahr Nuwi. Sebagai
sebuah pelabuhan dagang yang maju dan aman
menjadi tempat persinggahan kapal dagang
Muslim Arab dan Persia. Akibatnya masyarakat
Muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang
cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak
terjadinya perkawinan di antara saudagar Muslim
dengan wanita-wanita setempat, sehingga
melahirkan keturunan dari percampuran darah Arab
dan Persia dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini
membawa pada berdirinya kerajaan Islam Perlak
pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M.
50
Azyumardi Azra, op.cit.
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 122
Sultan pertama kerajaan ini merupakan keturunan
Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah,
bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul
Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi, pedagang
Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan
Syi'ah.51
Wan Hussein Azmi dalam Islam di Aceh
mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi
Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747.
Revolusi ini di pimpin Abdullah bin Mu'awiyah
yang masih keturunan Ja'far bin Abi Thalib. Bin
Mu'awiyah telah menguasai kawasan luas selama
dua tahun (744-746) dan mendirikan istana di
Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya
sebagai raja Madian, Hilwan, Qamis, Isfahan, Rai, dan
bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian
dihancurkan pasukan Muruan di bawah pimpinan
Amir bin Dabbarah tahun 746 dalam pertempuran
Maru Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang
melarikan diri ke Timur Jauh. Para ahli sejarah
berpendapat, mereka terpencar di semenanjung

51
Wan Huseein Azmi, Islam di Aceh, Kuala Lumpur: UKM. hal.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 123


Malaysia, Cina, Vietnam, dan Sumatera, termasuk
ke Perlak.
Pendapat Wan Hussein Azmi itu diperkaya dan
diperkuat sebuah naskah tua berjudul Idharul Haqq
fi Mamlakatil Ferlah w'l-Fasi, karangan Abu Ishak
Makarni al-Fasy, yang dikemukakan Prof. A. Hasjmi.
Dalam naskah itu diceritakan tentang pergolakan
sosial-politik di lingkungan Daulah Umayah dan
Abbasiyah yang kerap menindas pengikut Syi'ah.
Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin
Harun al-Rasyid (813-833), seorang keturunan Ali bin
Abi Thalib, bernama Muhammad bin Ja'far Shadiq bin
Muhammad Baqr bin Zaenal Abidin bin Husein bin
Ali bin Abi Thalib, memberontak terhadap
Khalifah yang berkedudukan di Baghdad dan
memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang
berkedudukan di Makkah.
Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi
Muhammad bin Ja'far Shadiq dan para tokoh
pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi
ampunan. Makmun menganjurkan pengikut Syi'ah
itu meninggalkan negeri Arab untuk meluaskan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 124


dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara,
dan Cina. Anjuran itu pun lantas dipenuhi. Sebuah
Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang
pimpinan Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh
Syi'ah Arab, Persia, dan Hindi ---termasuk
Muhammad bin Ja'far Shadiq--- segera bertolak ke
timur dan tiba di Bandar Perlak pada waktu Syahir
Nuwi menjadi Meurah (Raja) Negeri Perlak. Syahir
Nuwi kemudian menikahkan Ali bin Muhammad bin
Ja'far Shadiq dengan adik kandungnya, Makhdum
Tansyuri. Dari perkawinan ini lahir seorang putra
bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram
225 H dilantik menjadi Raja dari kerajaan Islam
Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana
Abdul Azis Syah.
Dari beberapa teori di atas, dapatlah
disimpulkan bahwa proses Islamisasi ke Aceh sudah
terjadi sejak awal perkembangannya, ketika Nabi
Muhammad saw masih hidup yang dilakukan oleh
para saudagar Arab yang memang sudah hilir mudik
berdagang dari Mesir, Aden, Muscat, Parsia, Gujarat
ke Cina melalui Barus-Fansur yang dipastikan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 125


terletak di ujung barat pulau Sumatera. Para
saudagar Arab pra-Islam diketahui sudah memiliki
perkampungan di sekitar pesisir pulau Sumatera,
terbentang dari Barus-Fansur, Jeumpa, Perlak sampai
di Palembang pada zaman Kerajaan Hindu Sriwijaya.
Islamisasi Aceh mengalami puncaknya pada
zaman Khalifah al-Rasyidin, terutama di zaman
pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab yang
gencar mengirimkan para duta yang merangkap
sebagai pendakwah Islam sampai ke negeri Cina,
pada sekitar awal abad ke VII Masehi. Cina menjadi
tujuan dakwah para Khalifah berkaitan dengan
sebuah hadits Nabi yang populer: tuntutlah ilmu
walau sampai ke negeri Cina. Karena Cina pada
zaman itu telah mencapai keemasaanya,
sebagaimana Rumawi, Yunani ataupun Mesir dan
Parsia sebagai pusat-pusat perdagangan, peradaban
dan kemakmuran dunia yang jejaknya masih
terekam jelas pada peta jalur sutera (silk road). Jalur
ini kemudian dipindahkan ke jalur laut karena
berkembang pesatnya teknologi kelautan dengan
kapal-kapalnya yang mampu berlayar lama.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 126


Para pembawa Islam datang langsung dari
Semenanjung Arabia yang merupakan utusan resmi
Khalifah atau para pedangan profesional Islam yang
memang telah memiliki hubungan perdagangan
dengan Aceh, sebagai daerah persinggahan dalam
perjalanan menuju Cina. Hubungan yang sudah
terbina sejak lama, yang melahirkan asimiliasi
keturunan Arab-Aceh di sekitar pesisir ujung pulau
Sumatra, telah memudahkan penyiaran Islam
dengan bahasa asal mereka, yaitu bahasa Arab yang
dengan al-Qur’an diturunkan. Pengaruh bahasa Aceh-
Melayu dalam al-Qur’an dapat dijumpai pada kata
kafuro, yang tidak pernah ada dalam bahasa Arab
pra-Islam.
Hubungan baik antara masyarakat Aceh dengan
pendatang dari Arab telah mendorong tumbuhnya
perkampungan yang membesar menjadi Kerajaan-
Kerajaan Islam sebagai pengganti Kerajaan-Kerajaan
Hindu-Budha. Kerajaan Islam pertama di Aceh, yang
juga merupakan Kerajaan Islam pertama di
Nusantara adalah Kerajaan Islam Jeumpa yang
didirikan oleh salah satu keturunan Nabi Muhammad

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 127


yang melarikan diri dari Persia bernama Sasaniah
Salman al-Parsi pada tahun 154 Hijriah atau sekitar
tahun 777 Masehi. Kerajaan Jeumpa menjadi salah
satu pusat Islamisasi di Nusantara, khususnya Aceh.
Salah seorang Pangeran Jeumpa, Shahrnawi, yang
namanya disebut oleh Syekh Hamzah Fansuri,
menjadi pelopor pedirian Kerajaan Islam Perlak pada
tahun 805 Masehi, dan mengangkat anak
saudaranya, Maulana Abdul Aziz cicit dari Imam Ja’far
Sidiq sebagai Sultan pertama Kerajaan Perlak pada
tahun 840 M.
Maka jelaslah kebohongan Teori Gujarat yang
dipopulerkan Snouck bersama antek-anteknya.
Karena ternyata Islam berkembang sejak awal abad
ke VII Masehi, lebih awal 600 tahun dari yang
dikemukakan Teori Gujarat Snouck. Selanjutnya
diharapkan para cendekiawan Muslim dapat
mengadakan penelitian yang lebih mendalam lagi
tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara,
terutama Aceh sebagai serambi Mekkah.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 128


Kerajaan Jeumpa, Kerajaan Islam Pertama Di
Nusantara

Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa


sebelum Nabi Muhammad saw membawa Islam,
Dunia Arab dengan Dunia Melayu sudah menjalin
hubungan dagang yang erat sebagai dampak
hubungan dagang Arab-Cina melalui jalur laut yang
telah menumbuhkan perkampungan-perkampungan
Arab, Parsia, Hindia dan lainnya di sepanjang pesisir
pulau Sumatera. Karena letak gegrafisnya yang
sangat strategis di ujung barat pulau Sumatra,
menjadikan wilayah Aceh sebagai kota pelabuhan
transit yang berkembang pesat, terutama untuk
mempersiapkan logistik dalam pelayaran yang akan
menempuh samudra luas perjalanan dari Cina
menuju Persia ataupun Arab. Hadirnya pelabuhan
transito sekaligus kota perdagangan seperti Barus,
Fansur, Lamri, Jeumpa dan lainnya dengan komuditas
unggulan seperti kafur, yang memiliki banyak
manfaat dan kegunaan telah melambungkan wilayah
asalnya dalam jejaran kota pertumbuhan peradaban

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 129


dunia. ”Kafur Barus”, ”Kafur Fansur”, ”Kafur Barus
min Fansur” yang telah menjadi idiom kemewahan
para Raja dan bangsawan di Yunani, Romawi, Mesir,
Persia dan lainnya. Kedudukan Barus-Fansur lebih
kurang seperti kedudukan Paris saat ini yang terkenal
dengan inovasi minyak wangi mewahnya.

Hadirnya komuditas unggulan ini telah


melahirkan berbagai teknologi pengolahan dalam
penangannya. Karena sangat dibutuhkan sebagai
bahan obat-obatan, wangi-wangian ataupun sebagai
barang sakral dalam ritual keagamaan pagan,
menjadikan asal kafur dan wilayah sekitarnya
berkembang pesat. Tentu dari para petani, pedagang
sampai para pengolah, peneliti, tabib sampai tukang
sihir terlibat dalam proses pembuatan kafur yang
bermutu. Tentu hal ini mengakibatkan hadirnya para
pakar ke kota penghasil kafur dan membuat
komunitas baru sesuai dengan peran masing-masing.
Itulah sebabnya wajah orang Aceh berbeda dengan
wajah orang Jawa, Makassar ataupun Melayu. Wajah
mereka lebih kosmopolit yang merupakan perpaduan
dari keturunan Arab, Cina, India, Parsi dan tentunya

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 130


Eropa. Dan perpaduan ini telah berjalan berabad-
abad sebelum kedatangan Islam di wilayah ini.

Sehubungan dengan penyebaran Islam, tentu


perkampungan para keturunan Arab lebih dominan,
relatif lebih mudah dalam menerima kedatangan
Islam, dengan beberapa alasan (i) sumber utama al-
Qur’an dan pengajarannya menggunakan bahasa
Arab, yang tentu lebih mudah difahami oleh mereka
yang sudah terbiasa dengan bahasa Arab seperti
keturunan Arab yang sudah menyebar di sepanjang
Barus-Fansur-Lamuri, (ii) hukum, budaya, pola hidup
ataupun tradisi yang dibawa Islam lebih dekat
dengan kebiasaan orang Arab yang memang sudah
dilaksanakan sejak zaman Nabi Ibrahim as dan Nabi
Ismail as yang merupakan bapak kaum Arab,
sehingga keturunan Arab pra-Islam ini mudah
langsung mengikutinya karena sudah menjadi
kebiasaan hidupnya, (iii) semangat kekeluargaan dan
kesukuan sangat tinggi di kalangan bangsa Arab,
termasuk Arab pra-Islam yang sangat menghormati
dan menghargai sesamanya, itulah sebabnya banyak
orang Arab yang membela Rasul walaupun tidak

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 131


masuk Islam, inilah yang terjadi pada keturunan
perantauan Arab ini, ada kebanggaan kesukuan
memeluk agama Islam yang dibawa dari tanah
leluhurnya daripada mengikuti ajaran lain, (iv) tentu
ajaran Islam yang rasional, adil, menawarkan
persamaan kedudukan dan status menjadi daya tarik
bagi masyarakat kosmopolit yang telah berbaur
dengan berbagai peradaban besar sebagaimana
yang dialami keturunan Arab (v) disamping
kepandaian dan ketampanan para pembawa Islam
keturunan Arab telah membuat jatuh hati para Raja
dan Meurah, mengangkat mereka jadi menantu,
penasihat atau panglima dan ada yang
menggantikan kedudukan Raja atas dukungan
komunitas Arab yang memang sudah mapan dan
memiliki kedudukan terhormat.

Jadi dengan demikian, tidak diragukan bahwa


Islam telah tumbuh berkembang di Aceh, terutama di
pesisirnya bersamaan dengan perkembangannya di
semenanjung Arabia dan Parsia. Penyiaran ini
utamanya dilakukan para pedagang Muslim asal
Aceh yang bergagang ke Arab, ataupun pedagang

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 132


Arab, Persia, India, Cina atau lainnya yang memang
telah hilir mudik antara Dunia Arab Mesir sampai ke
Tiongkok Cina melalui sebuah daerah yang oleh
Claudius Ptolemaeus, disebut bernama ”Barousai”,
yang tidak diragukan maksudnya adalah Barus di
dekat Lamuri wilayah Aceh.52

Penyebaran Islam juga dilakukan oleh para


diplomat yang di utus para Khalifah yang
menggantikan kedudukan Nabi Muhammad,
terutama di zaman Khalifah Umar bin Khattab yang
terbukti telah mengutus beberapa orang shahabat ke
Cina yang meninggal di sana. Di samping untuk
berdakwah tentu untuk memberikan sebuah tawaran
umum para Khalifah kepada semua Raja: ”Engkau
memeluk Islam, artinya bersaudara dengan kami,
jika tidak engkau membayar jizyah sebagai tanda
ketundukan pada Islam, jika engkau menolak
keduanya, berarti akan terjadi peperangan, karena
sabda Nabi saw : ”Aku diperintah memerangi
manusia pembangkang sehingga mereka mengakui
52
D.G.E. Hall, A History of South East Asia, London: Macmillan & Co. Ltd., 1960, hlm. 1-5. D.H. Burger dan
Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15. Ma Huan, Ying-yai
Sheng-lan, terjemahan dan edisi J.V.G. Mills, Hakluyt Society, 1970, hlm. 120. W.P. Groeneveldt, Historical
Notes on Indonesia & Malaya Compiled from Chinese Source, Jakarta: Bharata, 1960, hlm. 209. B. Schrieke,
Indonesian Sociological Studies, Part Two, The Hauge-Bandung: W. Van Hoeve Ltd, 1957, hlm. 17.
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 133
tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusannya”. Cina menjadi salah satu tujuan dakwah
Islam, karena pada masa itu Cina sudah menjadi
salah satu Kerajaan besar. Tentu sebelum sampai ke
Cina, para diplomat itu akan singgah di sekitar
pesisir pantai Sumatra dan mencari perkampungan
Arab dengan komunitasnya.

Bukti-bukti ilmiah telah ditemukan bahwa


perdagangan antara Timur dengan Timur Tengah
dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat
dan jalur laut. Jalur darat atau ”jalur sutra” (silk
road), terbentang dari Cina Utara lewat Asia Tengah
dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur
menghubungkan Cina, India, Persia, Arab dengan
Eropa, adalah jalur tertua yang di kenal sejak 500
tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai
dari Cina (Semenanjung Shantung) dan Nusantara,
melalui Selat Malaka (Fansur) ke India; selanjutnya ke
Laut Tengah dan Eropa, ada pula jalur yang melalui
Teluk Persia dan Suriah, dan melalui Laut Merah dan
Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 134


Merah, Cina dan Fansur (Sumatra) sudah berjalan
sejak abad pertama sesudah Masehi.53

Gangguan-gangguan keamanan sering terjadi


pada jalur perdagangan darat di Asia Tengah, maka
sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-Barat
melalui laut (Selat Malaka/Fansur) menjadi semakin
ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan
India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan
terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin
musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-
kapal Sumatra telah mengambil bagian dalam
perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya atau
sebelumnya, pedagang-pedagang Fansur atau
Nusantara telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan
Cina, dan pantai timur Afrika.54

Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka,


telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang
terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra.
Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di
antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah
53
D.H.Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm.
15.
54
M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesia Archipelago. The Hague:
Martinus Nijhoff, 1962, hlm. 345 (catatan 122)
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 135
menjadikan kota pelabuhan semakin ramai,
termasuk di wilayah Aceh yang diketahui telah
memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya
terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota
pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota
perdagangan.55

Maka berdasarkan fakta sejarah ini pulalah,


keberadaan Kerajaan Jeumpa Aceh yang diperkirakan
berdiri pada abad ke 7 Masehi dan berada disekitar
Kabupaten Bireuen sekarang menjadi sangat logis.
Sebagaimana kerajaan-kerajaan purba pra-Islam
yang banyak terdapat di sekitar pulau Sumatra,
Kerajaan Jeumpa juga tumbuh dari pemukiman-
pemukiman penduduk yang semakin banyak akibat
ramainya perdagangan dan memiliki daya tarik bagi
kota persinggahan. Melihat topografinya, Kuala
Jeumpa sebagai kota pelabuhan memang tempat
yang indah dan sesuai untuk peristirahatan setelah
melalui perjalanan panjang.

Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar


Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, yang
55
Ibid

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 136


disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah
Kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar
abad ke 7 Masehi yang berada di sekitar daerah
perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di
sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di
sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa
Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara,
sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu
Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman
yang padat penduduknya dan juga merupakan kota
bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala
Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng
ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh
kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala
Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung
ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke ”Pintou Rayeuk”
(pintu besar).

Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah


yang diperkirakan sebagai tapak Maligai Kerajaan
sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan
Buket Teungku Keujereun, ditemukan beberapa
barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 137


kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan
juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai
yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar
gelang tangan. Di sekitar daerah ini pula ditemukan
sebuah bukit yang diyakini sebagai pemakaman Raja
Jeumpa dan kerabatnya yang hanya ditandai dengan
batu-batu besar yang ditumbuhi pepohonan rindang
di sekitarnya.

Menurut legenda yang berkembang di sekitar


Jeumpa, sebelum kedatangan Islam di daerah ini
sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh
yang dipimpin turun temurun oleh seorang Meurah
dan negeri ini sudah dikenal di seluruh penjuru dan
mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina,
India, Arab dan lainnya. Sekitar awal abad ke 8
Masehi datanglah seorang pemuda tampan bernama
Abdullah yang memasuki pusat Kerajaan di kawasan
Blang Seupeueng dengan kapal niaga yang datang
dari India belakang (Parsi ?) untuk berdagang. Dia
memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut
lewat Kuala Jeumpa. Selanjutnya Abdullah tinggal
bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 138


Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima
Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang
sopan dan sangat ramah. Dia dinikahkan dengan
puteri Raja, dan Abdullah dinobatkan menjadi Raja
menggantikan bapak mertuanya, yang kemudian
wilayah kekuasaannya dia berikan nama dengan
Kerajaan Jeumpa, sesuai dengan nama negeri
asalnya di India Belakang (Persia) yang bernama
”Champia”, yang artinya harum, wangi dan
semerbak.

Menurut silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu,


yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam
dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam
Jeumpa dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia
(India Belakang ?) yang bernama Syahriansyah
Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan
Puteri Mayang Seulodong dan memiliki beberapa
anak, antara lain Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri
Nuwi, Syahri Dito dan Makhdum Tansyuri yang
menjadi ibu daripada Sultan pertama Kerajaan Islam
Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi. Menurut
penelitian Sayed Dahlan al-Habsyi, Syahri adalah

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 139


gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi
Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan
gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku
dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina
Husein bin Ali, Puteri Syahribanun, anak Maha Raja
Parsia terakhir yang ditaklukkan Islam.

Sampai saat ini, penulis belum menemukan


silsilah keturunan Pengeran Salman ke atas, apakah
beliau termasuk dari keturunan Nabi Muhammad saw
atau murni keturunan raja-raja Parsia yang telah
memeluk Islam. Karena di silsilah yang dikeluarkan
Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu tidak
disebutkan asal keturunannya. Namun menurut
pengamatan pakar sejarah Aceh, Sayed Dahlan al-
Habsyi, beliau adalah termasuk keturunan Sayyidina
Husein ra. Karena (i) beliau memberikan gelar
Syahri kepada anak-anaknya, yang jelas menunjuk
kepada moyang perempuannya Puteri Syahr
Banun, Puteri Maharaja Kerajaan Parsi yang menjadi
istri Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah bin
Muhammad Rasulullah saw (ii) beliau
mengawinkan anak perempuannya dengan cucu

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 140


Imam Ja’far Sadiq, yang menjadi tradisi para Sayid
sampai saat ini (iii) anak beliau, Syahri Nuwi adalah
patron dari rombongan Nakhoda Khalifah, bahkan
ada yang menganggap kedatangan rombongan ini
atas permintaan Syahri Nuwi untuk mengembangkan
kekuatan Ahlul Bayt atau keturunan Nabi saw di
Nusantara setelah mendapat pukulan di Arab dan
Parsia. Itulah sebabnya, hubungan Syahri Nuwi
dengan rombongan Nakhoda Khalifah yang
bermazhab Syi’ah sangat dekat dan menganggap
mereka sebagai bagian keluarga.

Terlepas dari perbedaan nama Raja pertama dari


Kerajaan Islam Jeumpa tersebut, apakah Raja
Abdullah atau Raja Salman, atau memang beliau
menggunakan dua nama akibat menghindar dari
kejaran para Penguasa Parsia yang sedang memburu
pelarian keturunan Nabi, atau memang Pangeran
Salman adalah bapak daripada Raja Abdullah,
namun yang penting disepakati bahwa Islam telah
bertapak di Kerajaan Jeumpa yang dipimpin oleh
seorang Raja Muslim dan memiliki rakyat yang
Muslim juga. Ini artinya Islam sudah mulai tersebar

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 141


pada awal abad ke 8 atau sekitar tahun 150an Hijriah
di wilayah Aceh dan memiliki hubungan dengan
wilayah Islam lainnya. Hal ini jelas bertentangan
dengan teori yang berkembang selama ini bahwa
Islam masuk ke Aceh pada abad ke 12 Masehi dan
Kerajaan Pasai adalah Kerajaan Islam pertama di
Nusantara.

Yang perlu dicermati, kenapa Pangeran Salman


al-Parsi memilih kota kecil di wilayah Jeumpa sebagai
tempat mukimnya, dan tidak memilih kota
metropolitan seperti Barus, Fansur, Lamuri dan
sekitarnya yang sudah berkembang pesat dan
menjadi persinggahan para pedagang manca
negara? Ada beberapa kemungkinan, (i) beliau
diterima dengan baik oleh masyarakat Jeumpa dan
memutuskan tinggal di sana, (ii) beliau merasa
nyaman dan sesuai dengan penguasa (meurah), (iii)
keinginan untuk mengembangkan wilayah ini
setingkat Barus, Lamuri dan lainnya dan (iv)
menghindar dari pandangan penguasa.

Alasan terakhir ini, mungkin dapat diterima


sebagai alasan utama. Mengingat Pangeran Salman
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 142
adalah salah seorang pelarian politik dari Parsia yang
tengah bergejolak akibat peperangan antara
Keturunan Nabi saw yang didukung pengikut Syiah
dengan Penguasa Bani Abbasiah masa itu (tahun
150an Hijriah). Beliau bersama para pengikut
setianya memilih ujung utara pulau Sumatera
sebagai tujuan karena memang daerah sudah
terkenal dan sudah terdapat banyak pemeluk Islam
yang mendiami perkampungan-perkampungan Arab
atau Persia. Kemungkinan Jeumpa adalah salah satu
pemukiman baru tersebut. Untuk menghindari
pengejaran itulah, beliau memilih daerah pinggiran
agar tidak terlalu menyolok dalam membangun
kekuatan baru sebagai basis perjuangan Islamisasi
dan membangun dinasti Ahlul Bayt di Nusantara.
Itulah sebabnya, Pangeran Salman juga dikenal
dengan nama-nama lainnya, seperti Meurah Jeumpa,
atau ada yang mengatakan beliau sebagai Abdullah.

Di bawah pemerintahan Pangeran Salman,


Kerajaan Islam Jeumpa berkembang pesat menjadi
sebuah kota baru yang memiliki hubungan luas
dengan Kerajaan-Kerajaan besar lainnya. Potensi,

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 143


karakter, pengetahuan dan pengalaman Pangeran
Salman sebagai seorang bangsawan calon pemimpin
di Kerajaan maju dan besar seperti Persia yang telah
mendapat pendidikan khusus sebagaimana lazimnya
Pangeran Islam, tentu telah mendorong
pertumbuhan Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu
pusat pemerintahan dan perdagangan yang
berpengaruh di sekitar pesisir utara pulau Sumatra.
Jeumpa sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara
memperluas hubungan diplomatik dan
perdagangannya dengan Kerajaan-Kerajaan lainnya,
baik di sekitar Pulau Sumatera atau negeri-negeri
lainnya, terutama Arab dan Cina. Banyak tempat di
sekitar Jeumpa berasal dari bahasa Parsi, yang paling
jelas adalah Bireuen, yang artinya kemenangan,
sama dengan makna Jayakarta, asal nama Jakarta
yang didirikan Fatahillah, yang dalam bahasa Arab
semakna, Fath mubin, kemenangan yang nyata.

Untuk mengembangkan Kerajaannya, Pangeran


Salman telah mengangkat anak-anaknya menjadi
Meurah-Meurah baru. Ke wilayah barat, berhampiran
dengan Barus-Fansur-Lamuri yang sudah

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 144


berkembang terlebih dahulu, beliau mengangkat
anaknya, Syahri Poli menjadi Meurah mendirikan
Kerajaan Poli yang selanjutnya berkembang menjadi
Kerajaan Pidie. Ke sebelah timur, beliau mengangkat
anaknya Syahr Nawi sebagai Meurah di sebuah kota
baru bernama Perlak pada tahun 804. Namun dalam
perkembangannya, Kerajaan Perlak tumbuh pesat
menjadi kota pelabuhan baru terutama setelah
kedatangan rombongan keturunan Nabi yang
dipimpin Nakhoda Khalifah berjumlah 100 orang.
Syahr Nuwi mengawinkan adiknya Makhdum Tansyuri
dengan salah seorang tokoh rombongan tersebut
bernama Ali bin Muhammad bin Jafar Sadik, cicit
kepada Nabi Muhammad saw. Dari perkawinan ini
lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan
pada 1 Muharram 225 H atau tahun 840 M dilantik
menjadi Raja dari Kerajaan Islam Perlak dengan
gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis
Syah. Melalui jalur perkawinan ini, hubungan erat
terbina antara Kerajaan Islam Jeumpa dengan
Kerajaan Islam Perlak. Karena wilayahnya yang
strategis Kerajaan Islam Perlak akhirnya berkembang

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 145


menjadi sebuah Kerajaan yang maju menggantikan
peran dari Kerajaan Islam Jeumpa.
Setelah tampilnya Kerajaan Islam Perlak sebagai
pusat pertumbuhan perdagangan dan kota
pelabuhan yang baru, peran Kerajaan Islam Jeumpa
menjadi kurang menonjol. Namun demikian, Kerajaan
ini tetap eksis, yang mungkin berubah fungsi sebagai
sebuah kota pendidikan bagi kader-kader ulama dan
pendakwah Islam. Karena diketahui bahwa Puteri
Jeumpa yang menjadi ibunda Raden Fatah adalah
keponakan dari Sunan Ampel. Berarti Raja Jeumpa
masa itu bersaudara dengan Sunan Ampel.
Sementara Sunan Ampel adalah keponakan dari
Maulana Malik Ibrahim, yang artinya kakek, mungkin
kakek saudara dari Puteri Jeumpa. Maka dari
hubungan ini dapat dibuat sebuah kesimpulan
bahwa, para wali memiliki hubungan dengan
Kerajaan Jeumpa yang boleh jadi Jeumpa masa itu
menjadi pusat pendidikan bagi para ulama dan
pendakwah Islam Nusantara. Namun belum
ditemukan data tentang masalah ini.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 146


Setelah berdirinya beberapa Kerajaan Islam baru
sebagai pusat Islamisasi Nusantara seperti Kerajaan
Islam Perlak (840an) dan Kerajaan Islam Pasai
(1200an), Kerajaan Islam Jeumpa yang menjalin
kerjasama diplomatik tetap memiliki peran besar
dalam Islamisasi Nusantara, khususnya dalam
penaklukkan beberapa kerajaan besar Jawa-Hindu
seperti Majapahit misalnya. Di kisahkan bahwa Raja
terakhir Majapahit, Brawijaya V memiliki seorang istri
yang berasal dari Jeumpa (Champa), yang menurut
pendapat Raffless berada di wilayah Aceh dan bukan
di Kamboja sebagaimana difahami selama ini. Puteri
cantik jelita yang terkenal dengan nama Puteri
Jeumpa (Puteri Champa) ini adalah anak dari salah
seorang Raja Muslim Jeumpa yang juga keponakan
dari pemimpin para Wali di Jawa, Sunan Ampel dan
Maulana Malik Ibrahim. Mereka adalah para Wali
keturunan Nabi Muhammad yang dilahirkan,
dibesarkan dan dididik di wilayah Aceh, baik Jeumpa,
Perlak, Pasai, Kedah, Pattani dan sekitarnya. Dan
merekalah konseptor penaklukan Kerajaan Jawa-
Hindu Majapahit dengan gerakannya yang terkenal

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 147


dengan sebutan Wali Songo atau Wali Sembilan.
Perkawinan Puteri Muslim Jeumpa Aceh dengan Raja
terakhir Majapahit melahirkan Raden Fatah, yang
dididik dan dibesarkan oleh para Wali, yang
selanjutnya dinobatkan sebagai Sultan pada Kerajaan
Islam Demak, yang ketahui sebagai Kerajaan Islam
pertama di pulau Jawa. Kehadiran Kerajaan Islam
Demak inilah yang telah mengakhiri riwayat
kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.

Sejarah ini dapat diartikan sebagai keberhasilan


strategi Kerajaan Islam Jeumpa Aceh yang kala itu
sudah berafiliasi dengan Kerajaan Islam Pasai yang
telah menggantikan peranan Kerajaan Islam Perlak
dalam menaklukkan dan mengalahkan sebuah
kerajaan besar Jawa-Hindu Majapahit dan mengakhiri
sejarahnya dan menjadikan pulau Jawa sebagai
wilayah kekuasaan Islam di bawah Kerajaan Islam
Demak yang dipimpin oleh Raden Fatah, yang ibunya
berasal dari Kerajaan Jeumpa di Aceh. Jadi dapat
dikatakan bahwa, Kerajaan Jeumpa Acehlah yang
telah mengalahkan dominasi Kerajaan Jawa-Hindu
Majapahit dengan strategi penaklukan lewat

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 148


perkawinan yang dilakukan oleh para Wali Sembilan,
yang memiliki garis hubungan dengan Jeumpa,
Perlak, Pasai ataupun Kerajaan Aceh Darussalam.

Setelah Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada


tahun 805 Masehi tumbuh dan berkembang, maka
pusat aktivitas Islamisasi nusantarapun berpindah ke
wilayah ini. Dapat dikatakan bahwa Kerajaan Islam
Perlak adalah kelanjutan atau pengembangan
daripada Kerajaan Islam Jeumpa yang sudah mulai
menurun peranannya. Namun secara diplomatik
kedua Kerajaan ini merupakan sebuah keluarga yang
terikat dengan aturan Islam yang mengutamakan
persaudaraan. Apalagi para Sultan adalah keturunan
dari Nabi Muhammad yang senantiasa
mengutamakan kepentingan agama Islam di atas
segala kepentingan duniawi dan diri mereka. Bahkan
dalam silsilahnya, Sultan Perlak yang ke V berasal
dari keturunan Kerajaan Islam Jeumpa.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 149


Putro Jeumpa Dewi Manyang Seuludang:
Maha Ratu Islam Pertama Nusantara

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 150


Menurut penelitian terkini para ahli sejarah,
diketahui bahwa sebelum datangnya Islam pada awal
abad ke 7 M, Dunia Arab dengan Dunia Melayu-
Sumatra sudah menjalin hubungan dagang yang erat
sejak 2000 tahun SM atau 4000 tahun lalu. Hal ini
sebagai dampak hubungan dagang Arab-Cina melalui
jalur laut yang telah menumbuhkan perkampungan-
perkampungan Arab, Parsia, Hindia dan lainnya di
sepanjang pesisir pulau Sumatera. Karena letak
geografisnya yang sangat strategis di ujung barat
pulau Sumatra, menjadikan wilayah Aceh sebagai
kota pelabuhan transit yang berkembang pesat,
terutama untuk mempersiapkan logistik dalam
pelayaran yang akan menempuh samudra luas
perjalanan dari Cina menuju Persia ataupun Arab. Di
antara pelabuhan transito sekaligus kota
perdagangan adalah Barus, Fansur, Lamri, Jeumpa
dan lainnya dengan komuditas unggulan seperti
kafur, yang memiliki banyak manfaat dan kegunaan.
Komuditas ini telah melambungkan wilayah asalnya
dalam jajaran kota pertumbuhan peradaban dunia.
”Kafur Barus”, ”Kafur Fansur”, ”Kafur Barus min

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 151


Fansur” yang telah menjadi idiom kemewahan para
Raja dan bangsawan di Yunani, Romawi, Mesir, Persia
dan lainnya. Kedudukan Barus-Fansur lebih kurang
seperti kedudukan Paris saat ini yang terkenal
dengan inovasi minyak wangi mewahnya.
Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar
Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, yang
disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah
Kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar
abad ke 7 Masehi yang berada di sekitar daerah
perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di
sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di
sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa
Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara,
sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu
Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman
yang padat penduduknya dan juga merupakan kota
bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala
Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng
ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh
kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala
Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 152


ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke ”Pintou Rayeuk”
(pintu besar).
Menurut legenda yang berkembang di sekitar
Jeumpa, sebelum kedatangan Islam di daerah ini
sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh
yang dipimpin turun temurun oleh seorang Meurah
dan negeri ini sudah dikenal di seluruh penjuru dan
mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina,
India, Arab dan lainnya. Sekitar awal abad ke 8
Masehi datanglah seorang pemuda tampan yang
dikenal dengan Shahrianshah Salman al-Farisi atau
Sasaniah Salman Al-Farisi sebagaimana disebut
dalam Silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang
dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan
Kesultanan Sulu-Mindanao dan juga disebutkan
dalam Silsilah Raja-Raja Aceh Darussalam oleh Dinas
Kebudayaan NAD. Sebagian ahli sejarah
menghubungkan silsilah Pangeran Salman dengan
keturunan dari Sayyidina Hussein ra cucunda Nabi
Muhammad Rasulullah saw yang telah menikah
dengan Puteri Maharaja Parsia bernama
Syahribanun. Dari perkawinan inilah kemudian

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 153


berkembang keturunan Rasulullah yang telah
menjadi Ulama, Pemimpin Spiritual dan Sultan di
Dunia Islam, termasuk Nusantara, baik di Aceh,
Pattani, Sumatera, Malaya, Brunei sampai ke Filipina
dan Kepulauan Maluku.
Dikisahkan Pangeran Salman memasuki pusat
Kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal
niaga dengan segala awak, perangkat dan pengawal
serta muatannya yang datang dari Parsi untuk
berdagang dan utamanya berdakwah
mengembangkan ajaran Islam, sebagai sebuah misi
utama para keturunan Rasulullah saw. Dia memasuki
negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala
Jeumpa. Sang Pangeran sangat tertarik dengan
kemakmuran, keindahan alam dan keramahan
penduduknya. Selanjutnya beliau tinggal bersama
penduduk dan menyiarkan agama Islam yang telah
menjadi anutan nenek moyangnya di Parsia. Rakyat
di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam
karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang
sopan dan sangat ramah. Apalagi beliau adalah

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 154


seorang Pangeran dari negara maju Parsia yang
terkenal kebesaran dan kemajuannya masa itu.
Keutamaan dan kecerdasan yang dimiliki
Pangeran Salman yang tentunya telah mendapat
pendidikan terbaik di Parsia negeri asalnya, sangat
menarik perhatian Meurah Jeumpa dan
mengangkatnya menjadi orang kepercayaan
Kerajaan. Karena keberhasilannya dalam
menjalankan tugas-tugasnya, akhirnya Pangeran
Salman dinikahkan dengan puteri Raja dan
dinobatkan menjadi Raja menggantikan bapak
mertuanya. Setelah menjadi Raja, wilayah
kekuasaannya diberikan nama dengan Kerajaan
Jeumpa, sesuai dengan nama negeri asalnya di
Persia yang bernama ”Champia”, yang artinya
harum, wangi dan semerbak. Sejak saat Kerajaan
Islam Jeumpa terkenal dan berkembang pesat
menjadi kota perdagangan dan transit bagi
pedagang-pedagang Arab, Cina, India dan lainnya.
Kerajaan Jeumpa menjadi maju dan makmur
sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam di wilayah
Sumatra bahkan Nusantara. Shahrianshah Salman al-

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 155


Farisi memproklamirkan Kerajaan Islam Jeumpa pada
tahun 156 H atau sekitar tahun 770 an M. Maka tidak
diragukan, Kerajaan Jeumpa adalah Kerajaan Islam
pertama di seluruh Nusantara.
Tentu di balik kesuksesan Pangeran Salman
membangun dan memimpin Kerajaan Jeumpa, di
dukung oleh seorang Maha Ratu yang sangat
berperan, karena sebagaimana pepatah
menyebutkan di setiap keberhasilan lelaki, pasti ada
perempuan yang mendukung keberhasilannya.
Siapakah wanita agung yang telah mendukung
kegemilangan Maha Raja Jeumpa yang berhasil
sebagai pendiri Kerajaan Islam pertama di Nusantara
ini? Menurut Silsilah Sultan Melayu dan Silsilah Raja
Aceh, beliau tidak lain adalah Putro Manyang
Seulodong atau ada yang menyebutnya dengan
Dewi Ratna Keumala, anak Meurah Jeumpa yang
cantik rupawan serta cerdas dan berwibawa. Putro
Jeumpa inilah yang telah mendukung karir dan
perjuangan suaminya sehingga berhasil
mengembangkan sebuah Kerajaan Islam yang
berwibawa, yang selanjutnya telah melahirkan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 156


Kerajaan Islam di Perlak, Pasai, Pedir dan Aceh
Darussalam.
Tidak semua Puteri Raja menjadi pendukung
keberhasilan suaminya, bahkan ada yang menjadi
penyebab kehancurannya. Ingatlah sosok Cleopatra,
Sang Maha Ratu Mesir yang penuh intrik dan telah
menghancurkan karir Penakluk Agung Yulius Ceaser.
Karena Yulius menikahi Cleopatra, maka karirnya
sebagai Penguasa Agung atau Kaisar Agung Romawi
hancur, dia dikhianati oleh pendukung dan
pemujanya, bahkan rakyatnya sendiri
melecehkannya karena membawa Cleopatra ke
Romawi. Akhirnya Yulius yang diagungkan dipecat
senat Romawi bahkan dibantai oleh anggota Senat
dihadapan dewan terhormat tersebut tanpa
pembelaaan. Demikian pula yang telah menimpa
Anthony, pengganti Yulius karena nekad menikahi
Cleopatra, karirnya hancur dan bunuh diri di Mesir
akibat intrik Cleopatra yang penuh tipu daya.
Putro Manyang Seuludong bukanlah Cleopatra
yang penuh intrik dan tipudaya, walaupun sama-
sama Maha Ratu yang memiliki kekuasaan besar

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 157


terhadap Kerajaan dan rakyatnya. Jika Cleopatra
menggunakan kekuasaan, kecantikan dan
kecerdasannya untuk memperdaya Yulius dan
Anthony serta menghancurkannya, namun Putro
Jeumpa ini menggunakannya untuk mendukung
kesuksesan suaminya tercinta Pangeran Salman.
Bersama suaminya, Sang Maha Ratu Jeumpa ini bahu
membahu memajukan Kerajaannya sehingga
menjadi sebuah Kerajaan yang terkenal di dunia
internasional dan menjadi kota persinggahan para
pedagang-pedagang dari Arab, Parsia, Cina, India
dan lainnya. Apalagi geografi Jeumpa sangat
strategis yang berdekatan dengan Barus, Lamuri,
Fansur yang lebih dahulu berkembang di ujung barat
pulau Sumatra.
Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah
yang diperkirakan sebagai tapak Maligai Kerajaan
Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal
dengan Buket Teungku Keujereun, ditemukan tapak
bangunan istana dan beberapa barang peninggalan
kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x
20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 158


semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya
sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan.
Semua ini tentu menggambarkan kemakmuran dan
kemajuan dari Kerajaan Jeumpa 14 abad silam.
Maha Ratu Manyang Seuludong bukan hanya
berhasil menjadi pendamping suaminya dalam
membangun Kerajaan Jeumpa, tetapi juga berhasil
menjadi seorang pendidik agung yang telah
melahirkan anak-anak yang melanjutkan
perjuangannya menyebarkan dakwah Islamiyah.
Sebagai seorang ibu, sudah sepatunya Maha Ratu
Jeumpa ini dibanggakan, karena telah berhasil
mencetak pemimpin-pemimpin agung untuk agama
dan bangsanya. Sang Maha Ratu dikaruniai beberapa
orang anak yang menjadi Raja dan Ratu yang sangat
berpengaruh dalam perjalanan sejarah
pengembangan Islam Nusantara.
Anak beliau bernama Syahri Poli adalah pendiri
dari Kerajaan Poli yang selanjutnya berkembang
menjadi Kerajaan Pidier di wilayah Pidie sekarang
yang wilayah kekuasaannya sampai ujung barat
Sumatera. Syahri Tanti mengembangkan kerajaan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 159


yang selanjutnya menjadi asas perdirinya Kerajaan
Samodra-Pasai. Syahri Dito, yang melanjutkan
mengembangkan Kerajaan Jeumpa. Syahri Nuwi
menjadi Meurah dan pendiri dari Kerajaan Perlak.
Sementara putrinya Makhdum Tansyuri adalah ibu
dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak, Maulana
Abdul Aziz Syah yang diangkat pada tahun 840
Masehi.
Kecerdasan dan kecantikan Putro Jeumpa ini
telah diwariskan kepada keturunannya yang menjadi
lambang keagungan putri-putri Islam yang berjiwa
penakluk dalam memperjuangkan tegaknya Islam di
bumi Nusantara. Tidak diragukan bahwa Putro
Manyang Seuludong telah menjadi inspirasi bagi
perjuangan para Ratu dan putro-putro Jeumpa
sesudahnya. Dari keturunan beliaulah telah
berkembang puteri-puteri Jeumpa yang terkenal
kecantikan dan kecerdasannya ke seluruh kerajaan di
Nusantara. Puteri-puteri Jeumpa telah menjadi
lambang kewibawaan para Ratu Islam di istana-
istana Perlak, Pasai, Malaka bahkan sampai
Majapahit sekalipun. Itulah sebabnya dalam

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 160


perjalanan sejarah Aceh, senantiasa dipenuhi dengan
wanita-wanita agung yang berjiwa patriotik dan
penakluk serta membuat sejarah kegemilangannya
masing-masing yang tidak pernah dicapai oleh
wanita-wanita lainnya di Nusantara, bahkan di negeri
Arab sekalipun.
Dalam sejarah Aceh selanjutnya, tidak diragukan
Putro Jeumpa Manyang Seuludong telah memberikan
inspirasi kepada anak keturunannya, dan telah
melahirkan wanita-wanita agung yang sangat
berpengaruh dan memiliki kharisma serta
kecantikan. Di antaranya adalah Maha Ratu Kerajaan
Perlak bernama Makhdum Tansyuri (ibunda Maulana
Abdul Aziz Syah, Sultan Perlak pertama), Maha Ratu
Kerajaan Pasai bernama Nahrishah, Maha Ratu
Darwati (Dhawarawati) yang menjadi Maha Ratu
Majapahit (ibunda Raden Fatah, Sultan Kerajaan
Islam pertama di tanah Jawa bernama Demak), Maha
Ratu Tajul Alam Safiatuddin yang menjadi Maha Ratu
Kerajaan Aceh Darussalam. Di samping itu ada yang
menjadi panglima agung yang ditakuti musuh,

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 161


seperti Laksamana Malahayati, Tjut Nyak Dhien, Tjut
Muetia dan lain-lainnya.
Sepatutnya wanita-wanita agung inilah yang
menjadi teladan bagi mereka yang memperjuangkan
emansipasi wanita di Serambi Mekah ini. Bahwa
kenyataannya, sebelum Barat melaungkan
emansipasi, wanita-wanita Aceh telah menikmati
kesetaraannya secara maksimal sebagai seorang
Maha Ratu dan Panglima Tertinggi di bawah naungan
kesempurnaan ajaran Islam, ketika wanita-wanita
Barat masih dianggap sebagai budak pemuas oleh
kaum lelakinya. Wajarlah jiwa wanita-wanita Barat itu
menuntut haknya, tapi kenapa wanita Aceh membeo
mengikutinya? Itulah paradoksnya, terkadang kita
bangga dengan budaya dan sejarah asing namun
melupakan keagungan budaya dan sejarah sendiri.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 162


Kerajaan Islam Perlak

Setelah dewasa Syahri Nuwi, salah seorang anak


Pengeran Salman, Raja Kerajaan Islam Jeumpa,
berhasil mengembangkan sebuah perkampungan
pelabuhan yang dihuni para pedagang keturunan
Arab, Parsi, India dan lainnya di sekitar wilayah
Perlak yang pada waktu itu sekitar tahun 805
menjadi sebuah kota pelabuhan yang sedang
berkembang pesat. Dengan bimbingan dari ayahnya,
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 163
Syahri Nuwi kemudian berhasil mengembangkan
pelabuhan kecil ini menjadi sebuah bandar baru yang
banyak disinggahi para pedagang dari seluruh
penjuru dunia, terutama dari Arab, Persia, India dan
Cina. Sejak saat itu, Bandar Perlak menjadi salah
satu bandar terpenting di pulau Sumatra, bahkan
menggantikan peranan Bandar Fansur ataupun Barus
sebagai tempat persinggahan para pedagang yang
belayar dari Cina menuju Arab maupun Eropa.
Kepemimpinannya yang menonjol telah
mengantarkan Syahri Nuwi menjadi penguasa baru
di Kerajaan yang diberikannya nama dengan
Kerajaan Peureulak (Perlak) dengan gelar Meurah
Syahri Nuwi.

Di bawah kepemimpinannya masyarakat Muslim


di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup
pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya
perkawinan di antara saudagar Muslim dengan
wanita-wanita setempat, sehingga melahirkan
keturunan dari percampuran darah Arab dan Persia
dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa
pada berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, pada

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 164


hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama
kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy
bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar Sultan
Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut
Wan Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia
tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah.56
Wan Hussein Azmi dalam Islam di Aceh
mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi
Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747.
Revolusi ini di pimpin Abdullah bin Mu'awiyah
yang masih keturunan Ja'far bin Abi Thalib. Bin
Mu'awiyah telah menguasai kawasan luas selama
dua tahun (744-746) dan mendirikan istana di
Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya
sebagai raja Madian, Hilwan, Qamis, Isfahan, Rai, dan
bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian
dihancurkan pasukan Muruan di bawah pimpinan
Amir bin Dabbarah tahun 746 dalam pertempuran
Maru Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang
melarikan diri ke Timur Jauh. Para ahli sejarah
berpendapat, mereka terpencar di semenanjung

56
Wan Huseein Azmi, Islam di Aceh, op.cit.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 165


Malaysia, Cina, Vietnam, dan Sumatera, termasuk
ke Perlak.
Pendapat Wan Hussein Azmi itu diperkaya dan
diperkuat sebuah naskah tua berjudul Idharul Haqq
fi Mamlakatil Ferlah w'l-Fasi, karangan Abu Ishak
Makarni al-Fasy, yang dikemukakan Prof. A. Hasjmi.
Dalam naskah itu diceritakan tentang pergolakan
sosial-politik di lingkungan Daulah Umayah dan
Abbasiyah yang kerap menindas pengikut Syi'ah.
Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin
Harun al-Rasyid (813-833), seorang keturunan Ali bin
Abi Thalib, bernama Muhammad bin Ja'far Shadiq bin
Muhammad Baqr bin Zaenal Abidin bin Husein bin
Ali bin Abi Thalib, memberontak terhadap
Khalifah yang berkedudukan di Baghdad dan
memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang
berkedudukan di Makkah.
Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi
Muhammad bin Ja'far Shadiq dan para tokoh
pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi
ampunan. Makmun menganjurkan pengikut Syi'ah
itu meninggalkan negeri Arab untuk meluaskan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 166


dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara,
dan Cina. Anjuran itu pun lantas dipenuhi. Sebuah
Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang
pimpinan Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh
Syi'ah Arab, Persia, dan Hindi ---termasuk
Muhammad bin Ja'far Shadiq--- segera bertolak ke
timur dan tiba di Bandar Perlak pada waktu Syahir
Nuwi menjadi Meurah (Raja) Negeri Perlak. Syahir
Nuwi kemudian menikahkan Ali bin Muhammad bin
Ja'far Shadiq dengan adik kandungnya, Makhdum
Tansyuri. Dari perkawinan ini lahir seorang putra
bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram
225 H dilantik menjadi Raja dari kerajaan Islam
Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana
Abdul Azis Syah.57

Pertanyaannya adalah, kenapa rombongan


Nakhoda Khalifah yang dipimpin oleh para Keturunan
Nabi Muhammad saw dan para pendukung setianya,
baik dari Arab maupun Persia, yang datang dari
Semenanjung Arabia itu memilih Perlak sebagai
persinggahannya? Apakah mereka datang secara

57
ibid
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 167
kebetulan dan mendarat sekenanya di Perlak
kemudian berhasil merebut hati Meurah Perlak, dan
selanjutnya keturunan mereka menjadi Sultan?

Menurut analisis penulis, bahwa kedatangan


rombongan ini bukanlah sebuah kebetulan sejarah
belaka. Namun merupakan sebuah perencanaan
besar dari para pemimpin Ahlul Bayt saat itu yang
sedang mencari wilayah baru bagi perkembangan
Islam dan tentunya sebuah kerajaan yang mampu
melindungi eksisitensi Ahlul Bayt sebagai sebuah
entitas yang diamanahkan Allah dan Rasul-Nya
sebagai penjaga Islam sepanjang masa.

Dalam sebuah hadits (hadits tsaqolain) yang


diriwayatkan Muslim, Rasulullah saw bersabda agar
pengikutnya berpegang teguh kepada dua perkara
supaya tidak sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah
(al-Qur’an dan Sunnah) dan Itrah (Ahlul
Bayt/keturunannya). Dua perkara inilah yang menjadi
penghubung antara Rasulullah dengan umatnya,
sehingga mereka diwajibkan membaca shalawat
untuk beliau dan keluarga keturunannya. Karena
Ahlul Bayt diamanahkan sebagai benteng utama
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 168
Islam oleh Allah dan Rasul-Nya dan ummat
diperintahkan untuk mencintai, menghormati dan
berpegang teguh kepadanya, maka sejak awal
kebangkitan Islam para Itrah Rasul mendapat
kehormatan dan kedudukan masyarakat Muslim
dimanapun mereka datang, baik di Persia, Afrika,
Mesir, India, Cina dan tentunya termasuk di alam
Nusantara. Apalagi di sepanjang pulau pesisir pulau
Sumatra sudah tumbuh perkampungan-
perkampungan Arab ataupun Parsia sebelum
kedatangan Islam, yang nantinya menjadi pendorong
lahirnya Kerajaan Islam setelah kedatangan Islam
yang dibawa para pedagang Muslim.
Ahli sejarah telah mencatat beberapa dinasti
Kerajaan Ahlul Bayt Nusantara, baik di wilayah
Sumatera, Semenanjung Melayu, Borneo-Kalimantan,
Jawa, Sulawesi sampai ke Maluku dan Papua
sekarang. Ditengarai, generasi awal datang dari
Persia sekitar akhir abad pertama Hijriah atau sekitar
abad VII Masehi, yang mendirikan kerajaan di sekitar
Aceh-Sumatra, yang menjadi cikal bakal Kerajaan
Perlak dan Pasai. Jika diurut silsilah para Sultan di

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 169


Nusantara, sebagian besar akan bertemu pada jalur
Imam Ja’far Sadiq yang sampai kepada Sayyidina
Husein bin Sayyidah Fatimah binti Rasulullah saw,
baik Maulana Abdul Aziz Syah (Perlak), Sultan Malik
al-Shalih (Pasai), Mughayat Syah (Aceh), Syarif
Hidayatullah (Banten), Sultan Wan Abdullah
(Kelantan) dan lain-lainnya. Dan tidak diragukan,
sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya,
diantara mereka senantiasa memelihara kekerabatan
dan saling topang menopang dalam menegakkan
Islam dalam sebuah jaringan Ahlul Bayt. Tokoh-tokoh
Ahlul Bayt yang sudah memegang kekuasaan segera
akan memberikan bantuan kepada yang lainnya.
Ketika Ahlul Bayt di Semenanjung Arabia tengah
mendapat kesulitan pada zaman Maulana
Muhammad bin Ja’far Shidiq, maka segera keluarga
mereka yang sudah mapan meminta kedatangan
mereka ke Perlak yang tengah membangun kekuatan
baru di bawah pimpinan generasi yang lebih awal
datang, dalam hal ini Syahri Nuwi anak daripada
Pangeran Salman yang datang dari Persia, yang tidak
diragukan memiliki hubungan kekerabatan dengan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 170


rombongan yang datang. Itulah sebabnya Syahri
Nuwi menikahkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan
Maulana Ali bin Muhammad bin Ja’far Shidiq.
Perkawinan dua keluarga besar Ahlul Bayt ini telah
melahirkan generasi baru, Maulana Abdul Aziz, yang
dinobatkan menjadi Sultan pertama Kerajaan Islam
Perlak, yang akhirnya menjadi pusat pergerakan
Islamisasi di Nusantara, sekaligus menjadi
penghubung dengan dinasti-dinasti Ahlul Bayt di
seluruh dunia.

Dan tidak diragukan bahwa perkembangan


Kerajaan Perlak menjadi sebuah kota kosmopolitan
baru di pesisir pulau Sumatra tidak lain disebabkan
oleh kedatangan para pendukung Ahlul Bayt dari
seluruh penjuru dunia untuk membesarkan Kerajaan
Islam di Nusantara ini. Dengan segala kepakaran,
pengetahuan, jaringan, logistik dan potensi lainnya
yang mereka miliki, mereka curahkan untuk
membangun sebuah pusat pergerakan baru bagi
pertumbuhan Islam di Nusantara khususnya.
Berbeda halnya dengan Kerajaan Islam Jeumpa yang
didirikan lebih awal oleh para Ahlul Bayt secara

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 171


sembunyi dan tidak diekspose, Kerajaan Perlak
didirikan dengan kemegahan dan terang-terangan
memberikan gelar Sayyid Maulana kepada
Sultannya, sebagai sebuah proklamasi Kerajaan yang
dipimpin Ahlul Bayt. Selanjutnya kegemilangan
Kerajaan Islam Perlak dipimpin oleh Sultan keturunan
dari Maulana Muhammad bin Ja’far Shadiq dan
secara berganti dilanjutkan oleh keturunan dari
Syahri Nuwi yang telah menggunakan gelar
Makhdum, yang juga merupakan keluarga besar
Ahlul Bayt.

Terkadang para peneliti sejarah Islam terjebak


dalam kebingungan peristilahan ini, akibat
ketidakfahaman mereka dengan jaringan keluarga
Ahlul Bayt yang sangat mengutamakan kekerabatan
dan silaturrahmi di kalangan mereka. Pergantian dari
satu Sultan dengan Sultan lainnya adalah hal yang
biasa dalam dinamika kekuasaan Ahlul Bayt yang
mengutamakan kualitas personal pemimpinnya.
Contoh nyata adalah bagaimana Syahri Nuwi rela
menyerahkan kepemimpinan Kerajaan Perlak yang
berkembang pesat kepada keponakannya, Maulana

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 172


Abdul Aziz, dan setelah beberapa generasi Perlak
dipimpin oleh keturunan Makhdum dari keluarga
Syahri Nuwi kembali. Hal ini dinilai sebagai sebuah
perebutan kekuasaan diantara para Sultan jika tidak
dilihat dari sebuah perancangan besar dinasti Ahlul
Bayt secara menyeluruh yang memiliki hirarki dan
kepemimpinan spiritual sambung menyambung.

Kerajaan Perlak telah menjadi basis Islamisasi


Nusantara pada zamannya yang berhasil mengirim
para pendakwah dan pembimbing Islam ke penjuru
Nusantara. Namun sejauh ini, Kerajaan Perlak belum
berhasil secara totalitas mengsilamkan beberapa
Kerajaan Hindu-Budha di tanah Jawa yang menjadi
penghalang utama Islamisasi Nusantara. Namun
Kerajaan Islam Perlak telah berhasil membangun
infrastruktur dan jaringan Islamisasi yang akan
memudahkan Kerajaan Islam selanjutnya dalam
mengislamisasikan Nusantara, sekaligus
menghancurkan dominasi Kerajaan Hindu-Budha di
tanah Jawa dan sekitarnya. Pada saat bersamaan,
telah tumbuh pula pusat-pusat bandar Islam
berpotensi yang dikembangkan oleh para keturunan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 173


dinasti Ahlul Bayt terdahulu, diantaranya adalah
Pasai, yang akan melanjutkan peranan Kerajaan
Islam Perlak sebagai pusat Islamisasi Nusantara.

Para Sultan Perlak :

1. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Syah


(840 – 864)
2. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Rahim Syah
(864 – 888)
3. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abbas Syah (888
– 913)
4. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Ali Mughat Syah
(915 – 918)
5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah
Johan Berdaulat (928 – 932)
6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad
Amin Syah Johan Berdaulat (932 – 956)
7. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah
Johan Berdaulat (956 – 983)
8. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah
Johan Berdaulat (986 – 1023)
9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah
Johan Berdaulat (1023 – 1059)
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 174
10. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Syah
Johan Berdaulat (1059 – 1078)
11. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah
Syah Johan Berdaulat (1078 – 1109)
12. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Syah
Johan Berdaulat (1109 – 1135)
13. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud
Syah Johan Berdaulat (1135 – 1160)
14. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Syah
Johan Berdaulat (1160 – 1173)
15. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad
Syah Johan Berdaulat (1173 – 1200)
16. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Syah
Johan Berdaulat (1200 – 1230)
17. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad
Amin Syah II Johan Berdaulat (1230 – 1267)
18. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz
Johan Berdaulat (1267 – 1292)

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 175


Kerajaan Islam Pasai

Kerajaan Islam Pasai yang juga terkenal dengan


Samodra Pasai adalah sebuah Kerajaan Islam di
pesisir utara pulau Sumatra. Bahkan menurut ahli
sejarah, perkataan Sumatra sendiri berasal dari
perkataan Samodra, yang dalam loghat Arab
berbunyi Samutra, dan ketika bangsa Eropa datang
menyebutnya dengan Sumatra. Sejak itulah pulau
besar ini disebut dengan Sumatra yang juga menjadi
bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Samodra
yang berpusat di Pasai. Sementara asal kata Pasai
ada yang berpendapat berasal dari bahasa Aceh
Pase (pasir) atau pohon Pase. Namun penelitian yang
lebih mendekati, bahwa Pasai berasal dari kata Parsi
(Persia), yang dilogatkan dalam bahasa masyarakat
lokal Aceh sebagai Pasee. Hal ini berkaitan dengan
banyaknya orang-orang dari Persia yang bermukim

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 176


menempati wilayah Pasai masa itu, sehingga
dinamakan dengan Pasee sebagai kebiasaan orang
dulu untuk menamakan kampung halamannyanya
jika menempati wilayah baru. Seperti di Kedah ada
kampung Aceh, atau di beberapa tempat terdapat
nama kampung Melayu, kampung Bugis atau
kampung Jawa.

Pendapat kata Pasai berasal dari Parsia ini


dikuatkan dengan beberapa bukti sejarah, seperti
hubungan erat Kerajaan Pasai dengan Persia masa
itu. Demikian pula makam-makam para Sultan Pasai
sangat mirip dengan makam-makam di Persia,
bahkan ditemukan huruf Arab-Persia dan beberapa
ukiran dan relief yang berbau Persia. Pada makam
Sultan Malik al-Saleh dan makam Sultanah Nahrishah
sendiri ditemukan beberapa kalimat dalam bahasa
Persia dengan tulisan kaligrafi Arab-Persia. Demikian
pula silsilah para Sultan di Pasai, sebagaimana juga
Sultan di Perlak menyambung dengan Pangeran dari
Persia bernama Syahriansyah Salman al-Parisi yang
memiliki anak Shahr Nuwi dan menjadi Sultan di
Perlak, yang menjadi nenek moyang para Sultan di

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 177


Pasai. Dengan demikian tidak diragukan bahwa kata
Pasai (Pasee) berasal dari kata Persia.

Secara silsilah kekeluargaan, tidak diragukan


bahwa Kerajaan Islam Pasai adalah kelanjutan dari
Kerajaan Islam Perlak yang terlebih dahulu telah
didirikan oleh Meurah Shahri Nuwi putra Sharianshah
Salman al-Farisi (Raja Islam Jeumpa tahun 770 M di
Bireuen). Dimana Kerajaan Perlak mulai mengalami
kejayaan sejak dipimpin oleh Maulana Abdul Aziz
Syah pada tahun 225 H atau 840 M. Salah seorang
keturunan dari Sultan Perlak dari garis Shahri Nuwi,
yang dikenal dengan Sultan Malik al-Salih (w. 1297
M) yang digelar sebagai Meurah Silu
mengembangkan sebuah kawasan perdagangan
baru di antara Kerajaan Jeumpa dengan Kerajaan
Perlak, kemudian berkembang menjadi kekuatan
politik baru dengan berdirinya Kerajaan Islam Pasai.
Perkembangan yang cepat Kerajaan Pasai pada
akhirnya menggantikan peranan Kerajaan Islam
Perlak yang mulai menurun peranannya pada awal
abad ke 13 Masehi.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 178


Di sini perlu diluruskan beberapa legenda yang
menyatakan bahwa Meurah Silu bukan terlahir
sebagai seorang Muslim, namun dia menganut Islam
sesudah menjadi Raja Pasai sebagaimana yang
dinyatakan dalam Sejarah Melayu berdasarkan
kepada hikayat Raja-Raja Pasai yang diragukan
kredibilitasnya. Realitas ini sungguh bertentangan
dengan fakta sejarah, karena jelas silsilah Meurah
Silu (Malik al-Salih) menyambung kepada keturunan
Ahlul Bayt, diperkirakan menyambung dengan
Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin
Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah binti
Muhammad saw. Fakta ini diperkuat oleh peristiwa
kedatangan Nakhoda Khalifah yang dipimpin oleh
Sayyid Muhammad Diba’i bin Imam Ja’far Ash-Shaqid
bin Imam Muhammad Al-Baqir, diterima baik oleh
Shahir Nuwi di Perlak, bahkan anak Sayyid
Muhammad bernama Sayyid Ali dikawinkan dengan
Saudara Shahr Nuwi bernama Makhdum Tansyuri
yang melahirkan Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah.

Adapun silsilah Sultan Malik al-Saleh (Meurah


Silu) adalah: Sultan Malik al-Saleh (Meurah Silu)

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 179


putra Meurah Makhdum Malik Ahmad (Raja Jeumpa)
putra Meurah Makhdum Ahmad (Raja Samalanga)
putra Meurah Makhdum Malik Ibrahim (Raja Jeumpa)
putra Meurah Makhdum Malik Masir (Raja Isak-Gayo
II) putra Muerah Makhdum Malik Isak (Raja pertama
Isak-Gayo) putra Sultan Makhdum Alaiddin Abdul
Malik Syah (Sultan Perlak VII) putra Sultan Makhdum
Alaiddin Muhammad Amin Syah (Sultan Perlak VI)
putra Sultan Makhdum Alaiddin Abdulkadir Syah
(Sultan Perlak V) putra Meurah Makhdum Ahmad
(Perdana Menteri Perlak pada masa Sultan Perlak II,
Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdurrahman Syah)
putra Meurah Makhdum Bahrum (Perdana Menteri
Perlak pada masa Sultan Perlak I, Sultan Alaiddin
Maulana Sayyid Abdul Aziz Syah) putra Meurah
Shahri Nuwi (pendiri Perlak) putra Sahriansyah
Salman al-Parisi (Raja Islam pertama Jeumpa) yang
datang dari Persia. Menurut ahli sejarah beliau
adalah keturunan dari Sayyidina Husein bin
Sayyidina Ali, cucu Nabi Muhammad saw yang
dilahirkan di Persia dan menjadi Raja di Jeumpa
Bireuen.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 180


Penelitian para ahli sejarah Ahlul Bayt, seperti
Tun Suzanna dari Malaysia menyimpulkan bahwa ada
2 gelombang kedatangan keturunan Nabi saw ke
Nusantara. Yang pertama langsung dari Persia,
umumnya keturunan dari Imam Ja’far Shadiq yang
telah menjadi petinggi di Kerajaan Persia dengan
menggunakan gelar Syah (Shah), dan di Aceh dikenal
dengan Syahri seperti yang digunakan oleh Pangeran
Salman al-Parisi kepada anak-anaknya Shahri Nuwi,
Shahri Poli, Shahri Dito, Shahri Duli. Sementara
keturunan Shahri Nuwi selanjutnya menggunakan
gelar Makhdum kepada keturunannya. Sementara
gelombang kedua yang datang dari Yaman atau
Hadramaut dari keturunan Muhammad Isa al-Muhajir,
sudah menggunakan gelar Sayyid dengan tambahan
dibelakang marga seperti Jamalullail, Al-Habsyi, Al-
Idrus dan lainnya.

Dengan demikian jelas bahwa Sultan Makhdum


Malik al-Salih adalah salah seorang Ahlul Bayt Nabi
Muhammad yang memiliki hubungan dekat dengan
para Sultan Kerajaan Perlak maupun Jeumpa yang
menjadi penggerak Islamisasi Nusantara. Itulah

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 181


sebabnya tidak mengherankan apabila Sultan Malik
al-Salih begitu tampil memimpin Kerajaan Pasai,
kemudian memproklamirkannya sebagai pusat
Islamisasi Nusantara menggantikan peranan
Kerajaan Perlak atau sebelumnya Kerajaan Jeumpa.

Sebelumnya Pasai adalah sebuah perkampungan


yang menjadi bandar transit bagi para pedagang
yang menggunakan kapal layar dari negeri Arab
menuju Cina ataupun sebaliknya. Namun dengan
kemunculan Kerajaan Pasai pada awal abad 13
Masehi yang dipimpin Sultan Malik al-Salih, telah
terjadi perubahan drastis dalam lalu lintas
perdagangan di selat Malaka. Aceh yang dahulunya
dikenal sebagai daerah penghubung, kini menjadi
lebih aktif dalam perdagangan. Kerajaan Pasai
menjadi pusat perdagangan dalam mengekspor
hasil-hasil hutan dan pertanian. Komuditas Lada
adalah diantara hasil pertanian yang sangat digemari
oleh orang-orang Eropa, Arab dan Cina, yang telah
menaikkan nama Kerajaan Pasai di seluruh dunia
yang mendorong hadirnya saudagar-saudagar asing
dari seluruh dunia. Berbagai kapal dagang dari

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 182


seluruh dunia datang membawa bermacam-macam
dagangan untuk diperjual-belikan di pelabuhan Pasai.

Di bawah kepemimpinan Sultan Malik al-Salih


yang memiliki kemampuan besar kepemimpinan
serta berpegang teguh pada ajaran Islam, Kerajaan
Pasai berkembang pesat bukan hanya sebagai
bandar pelabuhan yang mengimpor berbagai
komuditas di kawasan Selat Malaka pada saat itu,
namun beliau mendorong rakyatnya menguasai
berbagai teknologi. Dan terbukti masyarakatnya
tergolong memiliki teknologi yang maju, khususnya
dalam teknologi pertanian. Itulah sebabnya Kerajaan
Pasai menjadi salah satu negeri pengekspor berbagai
bentuk hasil pertanian, seperti lada, bawang,
semangka, pisang, tebu, jeruk dan lain-lainnya.

Pasai Sebagai Pusat Khilafah Islamiyah

Bersamaan dengan kebangkitan Kerajaan Islam


Pasai sekitar tahun 1250an M, pusat-pusat Khilafah
Islamiyah yang berada di Bagdad, Persia, dan
sekitarnya sedang mengalami masa-masa tersulit

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 183


akibat penyerangan demi penyerangan yang
dilakukan oleh pasukan bar-bar Mongolia yang
dipimpin Jenghis Khan yang terkenal sadis dan haus
darah. Setelah berhasil menguasai daratan Cina,
maka pasukan bar-bar Mongolia Jenghis Khan
menyerang pusat-pusat peradaban Islam yang
tengah mengalami kelalaian akibat kemegahan yang
mereka alami.

Pada mulai tahun 1258 M, Bagdad sebagai pusat


Khilafah Islamiyah jatuh ke tangan tentara Mongol
dan mengalami penghancuran demi penghancuran.
Para ahli sejarah menggambarkan Sungai Tigris dan
Eufrat berubah menjadi hitam bercampur merah
akibat darah kaum muslimin dan tinta dari buku-
buku yang mengandung peradaban Islam yang
mengalir ke sungai tersebut. Sementara pasukan
Mongol tidak berhenti sampai di Bagdad, namun
terus menguasai wilayah-wilayah Islam lainnya. Dan
hampir semua dunia Islam Arab bertekuk lutut
kepada kekejaman tentara bar-bar Mongol. Bahkan
tentara bar-bar berhasil menguasai pusat-pusat
peradaban Barat di Roma, Yunani dan lainnya. Itulah

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 184


sebabnya Jenghis Khan dijuluki sebagai penakluk
terbesar dengan wilayah jajahan 4 kali lebih besar
dari jajahan yang dilakukan Alexander The Great
(Iskandar Zulkarnain) ataupun penaklukan Muslim.

Keadaan ini telah mendorong hijrah besar-


besaran kaum muslimin, baik para pemimpin, ulama,
cendekiawan, ilmuawan dan lainnya ke negeri
muslim yang lebih aman dari pembantaian tentara
Jenghis Khan. Salah satu pilihan terbaik adalah
berhijrah ke Kerajaan Islam Pasai yang memang
sudah menjadi bagian penting dari jaringan Khilafah
Islamiyah yang diwariskan turun temurun oleh
Kerajaan Islam di Sumatra sejakan zaman Khalifah
Umar bin Khattab. Apalagi sebelumnya, para Raja
Muslim di Sumatra, termasuk di Pasai adalah berasal
dari negeri Arab dan Persia yang memiliki hubungan
kekerabatan dengan para penguasa di tanah Arab,
terutama yang memiliki garis keturunan dengan Bani
Quraisy, baik keturunan Rasulullah (Ahlul Bayt), Bani
Umayyah ataupun Abbasyiah.

Dengan datangnya para pemimpin, ulama,


cendekiawan, ilmuawan dan lainnya ke Pasai, maka
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 185
secara otomatis Pasai bangkit menjadi sebuah
kekuatan baru di Pulau Sumatra. Kedatangan para
Muslim dari Bagdad dan pusat-pusat peradaban
Islam disekitarnya seperti Samarkand, Bukhara dan
lainnya telah memberikan kedudukan baru kepada
Pasai sebagai sebuah pusat pertumbuhan peradaban
Islam di kawasan alam Asia Tenggara, yang
terbentang dari Sumatra, Semenanjung Melayu,
Borneo, Cilabes, Mindanao, Maluku sampai ke
Australia dan Kepulauan Hawai.

Kepemimpinan Sultan Malik al-Saleh yang


didukung oleh kaum muslimin terbaik yang hijrah ke
Pasai telah membangkitkan Kerajaan Pasai menjadi
pusat sentral kekuatan dunia Islam di sebelah timur,
baik kekuatan politik, ekonomi sekaligus sebagai
pusat kebangkitan peradaban Islam, sebagai
kelanjutan dan kesinambungan dari peradaban Islam
yang telah berkembang di dunia Arab, baik Syam,
Persia, Bagdad dan lainnya. Dan akhirnya, dengan
kemajuan-kemajuan yang digapainya, tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa Kerajaan Islam Pasai
menjadi Pusat Khilafah Islamiyah yang menggantikan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 186


peranan Bagdad, terutama sebagai pusat
pengembangan kekuatan politik, pertahanan,
ekonomi dan peradaban. Realitas inilah yang telah
mengkwatirkan Kerajaan Hindu Jawa-Majapahit
sehingga berniat untuk menyerang dan menaklukkan
Pasai. Namun menaklukkan Pasai di puncak
kegemilangannya dengan sumber daya manusia
unggul dari penjuru dunia, bukanlah perkara mudah.
Kegagalan Majapahit dalam menaklukkan Pasai inilah
yang selanjutnya mendorong para pemimpin
Kerajaan Pasai untuk menaklukkan Majapahit yang
semakin melemah.

Pada tahap awal, menaklukkan Jawa-Majapahit


bukanlah menjadi prioritas dari Kerajaan Islam Pasai
yang kini telah menjadi Pusat Khilafah Islamiyah di
timur. Prioritas utama adalah menyelamatkan dunia
Muslim Arab, khususnya Mekkah al-Mukarramah dari
ancaman pasukan bar-bar Mongol yang haus darah.
Sekaligus mengkonsolidasi kekuatan dunia Muslim
dengan menggalang kerjasama dengan para
pemimpin Islam, baik di dunia Arab, Persia sampai ke
daratan Cina kecil. Berkat persatuan aliansi Kerajaan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 187


Islam di Dunia Arab, Persia dan Cina dengan pusat
kordinasi di Pasai, maka kekuatan Mongolpun dapat
dijinakkan, sekaligus mengislamkan pemimpinnya,
Timur Lank, cucu dari Jenghis Khan. Dan sejak saat
itu, kekuatan Islam terbentang dari dunia Afrika,
Arab, Persia, Asia Tengah, Mongolia sampai ke Cina,
dan tentu Pasai sebagai salah satu poros kekuatan di
Asia Tenggara yang dikenal bangsa Arab dengan
bilad Tahta Jawi atau Negeri Bawah Angin, yang
akhirnya sisebut Jawi saja atau Jawa sekarang.

Kebesaran dan kemegahan Kerajaan Islam Pasai,


yang dikenal dengan Samudra Pasai, juga telah
mempengaruhi nama dari pulau yang sekarang
bernama Sumatra. Sebagaimana diterangkan
terdahulu, Samudra, jika dibaca dengan lidah asing
akan terdengar sebagai Samutra, yang akhirnya
berevalusi menjadi Sumatra, yang menjadi sebutan
bagi pulau besar sebelah barat, yang terbentang
sepanjang Salahit atau Selat, yang sekarang
dinamakan dengan Selat Malaka.

Letak georafi Kerajaan Pasai yang strategis,


yang di dukung oleh alamnya yang subur, digerakkan
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 188
oleh masyarakat kosmopolit dizamannya yang
berhijrah pasca kejatuhan Bagdad serta dukungan
kebijakan penguasa, telah mengantarkan Pasai
menjadi salah satu bintang kebangkitan Islam di
timur. Kebesaran nama Pasai telah mendorong
kedatangan para cerdik pandai Muslim dari negeri
Arab, Persia, India dan lainnya untuk membangun
kekuatan baru, baik secara politik maupun ekonomi.

Sepeninggal Sultan Malik al-Salih, Kerajaan Pasai


berkembang dengan pesatnya di bawah
kepemimpinan keturunan beliau yang tetap
menjalankan kebijakan yang telah digariskan para
pendahulunya, bahwa Pasai sebagai penggerak dan
pusat Islamisasi Nusantara. Ibnu Batutah, seorang
musafir dan peneliti sosial asal Maroko telah
mengunjungi Kerajaan Pasai antara tahun 1345-1346
Masehi. Dia menyebutkan dalam catatannya bahwa
kerajaan ini sudah maju dalam perdagangan;
hubungan dagang telah diadakan secara luas dengan
Tiongkok dan India. Sultan Malik al-Zahir, yang
memerintah Kerajaan Pasai pada waktu itu, adalah
seorang sultan yang saleh lagi sangat taat kepada

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 189


agama. Ia bermazhab Syafie dan sangat gemar
mengadakan pertemuan ilmiah, dengan para ulama
untuk berdiskusi tentang masalah-masalah agama.
Setiap hari jum’at ia pergi ke masjid dengan berjalan
kaki. Ibnu Batutah juga menyebutkan sejumlah
ulama menjadi pembesar istana, antara lain: Amir
Daulasa dari Delhi, Qadi Amir Said dari Shiraz dan
ahli hukum Tajudin dari Isfahan. Pengamatannya
menyimpulkan bahwa pada saat itu, Kerajaan Pasai
dalam kemakmuran dan kedamaian yang luar biasa.
Hal ini dibuktikan ketika Sultan mengadakan acara
pernikahan putra beliau yang menggambarkan
kebesaran dan kemewahan istana Kerajaan Pasai.

Perkembangan pesat Kerajaan Pasai yang telah


mengantarkan kemakmuran dan kebesaran
masyarakatnya, dan terutama kemampuannya
sebagai pelopor dan penggerak Islamisasi di
Nusantara, telah menimbulkan hasud dan dengki
kerajaan-kerajaan lainnya, terutama kerajaan Budha
Thailand yang bekerjasama dengan kerajaan Jawa-
Hindu Majapahit yang telah merancang penyerangan
dan penghancuran Kerajaan Pasai dengan berbagai

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 190


cara agar melemahkan semangat Islamisasi di
Nusantara. Pada pertengahan abad ke 14 Masehi
Kerajaan Majapahit melakukan penyerangan
terhadap Kerajaan Pasai yang mendapat perlawanan
hebat dari para mujahidin Pasai yang telah mendapat
pendidikan kerohanian dari para Wali, sehingga
banyak menimbulkan korban di kedua belah pihak.
Bahkan dikabarkan, Mahapatih Gadjah Mada yang
memimpin penyerangan ke Pasai telah menjadi
korban dan terbunuh ketika melarikan diri. Itulah
sebabnya Kerajaan Pasai tetap eksis dan bangkit
kembali menjadi salah satu Kerajaan Islam yang
terkuat di Asia Tenggara.

Kemakmuran dan kebesaran Pasai dalam abad-


abad berikutnya, bukan saja telah menjadikannya
sebagai pusat penyebaran agama Islam dengan
mengirimkan para muballigh ke tempat-tempat yang
diperlukan, terutama ke Patani, Malaka, Borneo, Jawa
sampai Mindanao dan Maluku. Tetapi juga sebagai
pusat pengajian tinggi Islam di mana berkumpul
berbagai ulama dan sarjana yang mengajar dan
membahas masalah-masalah agama serta menjawab

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 191


pertanyaan-pertanyaan keagamaan yang muncul
dan datang dari daerah-daerah sekitar Asia
Tenggara. Disebutkan dalam Sejarah Melayu bahwa
seorang ulama sufi dari Mekkah, Syekh Abu Ishak
telah menulis sebuah buku berjudul Durr al-Manzum,
yang terdiri dari dua bab, pertama tetang zat Allah
dan kedua tentang sifat Allah. Atas anjuran muridnya
Maulana Abu Bakar, kitab tersebut ditambah bab
ketiga tentang af’al Allah (perbuatan Allah).
Kemudian Maulana Abu Bakar membawa kitab
tersebut ke Sultan Malaka, Sultan Mansyur Syah.
Sultan menerima kitab tersebut dengan upacara
khusus kebesaran seperti menyambut tamu
kehormatan Kerajaan. Selanjutnya kitab tersebut
dikirim ke Pasai untuk diberi penjelasan lebih
mendalam oleh seorang ulama Pasai bernama
Makhdum Patakan. Pemahaman keislaman para
Sultan, Ulama, Cendekiawan dan rakyat Pasai pada
saat itu berkembang pesat, yang tidak hanya
membahas aspek-aspek fiqih dan hukum semata,
namun sudah mencapai pembahasan yang bersifat
”esoterik” sebagaimana yang dibuktikan dengan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 192


beberapa jawaban Ulama Pasai bernama Makhdum
Muda kepada Sultan Malaka yang telah mengutus
Tun Bija Wangsa.

Kebesaran dan kemakmuran Kerajaan Pasai


akhirnya telah mengantarkannya sebagai pusat
rujukan dan pengembangan pemikiran Islam di timur
jauh, tempat berkumpul para Ulama dan
Cendekiawan membahas masalah-masalah
keagamaan dan tentunya sebagai pusat pendidikan
tingkat tinggi keislaman. Itulah sebabnya Kerajaan
Pasai dianggap oleh daerah-daerah lain di Nusantara
sebagai pusat rujukan dan fatwa yang berwenang
dalam menyelesaikan masalah-masalah agama. Hal
ini memang sangat memungkinkan, sebagaimana
disebutkan Ibnu Batutah, bahwa di Kerajaan Pasai
telah tinggal beberapa jenis Ulama dan
Cendekiawan, seperti ahli hukum Islam, para
penyair, para hukama (ahli filsafat) dan lain-lain.

Peran sentral Kerajaan Pasai sebagai motor


penggerak Islamisasi di Nusantara, terutama
menjelang abad ke 15 Masehi semakin menonjol,
sehingga banyak menarik minat para Cendekiawan
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 193
Muslim dari seluruh penjuru dunia untuk datang. Di
antara tokoh yang nantinya sangat berpengaruh
dalam Islamisasi Nusantara, khususnya Islamisasi
Jawa yang masih di bawah dominasi Kerajan Hindu-
Budha, adalah Saiyid Hussein Jamadul Kubra dengan
dua orang anaknya, Maulana Ishak dan Maulana
Malik Ibrahim yang datang dari derah Samarkand,
Parsia. Kedatangan tokoh-tokoh Ulama dan
Cendekiawan besar dunia Islam, baik dari Yaman,
Hadramaut, Maroko (Maghribi), Persia maupun India
dan lain-lainnya, benar-benar telah menjadikan Pasai
sebagai poros baru peradaban Islam, khususnya
dalam pengembangan pemikiran keislaman atau
selanjutnya berperan dalam melahirkan gerakan-
gerakan seperti Wali Sembilan yang telah
mengislamkan tanah Jawa dengan pendekatannya
yang khas.

Gerakan Auliya Sikureng (Wali Sembilan)


Kerajaan Islam Pasai
Bumi Aceh sangat terkenal dengan bumi para
auliya. Namun tidak banyak di antara orang-orang

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 194


Aceh sendiri yang dapat menyebutkan nama-nama
para wali yang telah berperan mengembangkan
Islam sehingga menjadikan Aceh sebagai bangsa
maju dan besar, sehingga menjadi pelopor dalam
dakwah Islamiyah. Ironisnya, ada di antara auliya
yang berasal dari tanah Aceh, namun tidak dikenal
oleh bangsa asalnya, namun sangat terkenal di
tanah Jawa.
Misalnya Wali Sembilan, auliya sikureung, yang
di tanah Jawa sangat terkenal dengan sebutan Wali
Songo. Mereka adalah para tokoh penggerak
Islamisasi di Nusantara yang telah berperan aktif
dalam pendirian Kerajaan Demak, sebagai Kerajaan
Islam pertama yang telah mengakhiri riwayat
kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit, simbol
kemegahan masyarakat Hindu Jawa. Disamping itu
mereka juga telah mendirikan Kerajaan Islam dari
Pattani, Champa, Kelantan, Brunei, Sulu, Mindanao,
Pontianak, Banten, Makassar sampai Maluku dan Fak-
Fak Papua. Namun tidak banyak yang mengetahui,
dari manakah asal para auliya ini dan dimanakah

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 195


pusat gerakan mereka dalam mengislamisasikan
Nusantara.
Sampai sekarang banyak para peneliti, baik
yang Muslim dan non Muslim berbeda pendapat
tentang asal-usul mereka. Ada yang menyatakan
mereka berasal dari negeri Cina, Turki, Bukhara
(Rusia) dan lain-lainnya sehingga menimbulkan
kekeliruan sejarah yang berdampak buruk pada
kebenaran sejarah Islam yang sepatutnya menjadi
teladan dan pengajaran generasi masa kini. Maka
untuk meluruskan kekeliruan tersebut, diperlukan
sebuah penelitian menyeluruh terhadap peristiwa-
peristiwa yang berkaitan dengan sejarah para wali
ini.

Gerakan Wali Sembilan Awal


Wali Sembilan awal, adalah para wali yang telah
berperan menggerakkan dakwah Islamiyah terutama
sebelum lahirnya gerakan Wali Sembilan (Wali
Songo) yang terkenal di tanah Jawa. Menurut
sejarahnya, para wali ini sangat berperan dalam
mendorong lahirnya gerakan dakwah Islamiyah yang

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 196


telah melahirkan gerakan Wali Songo. Boleh
dikatakan bahwa wali sembilan awal ini pelopor dan
peristis terbentuknya gerakan yang nantinya dikenal
dengan Wali Songo. Bahkan mereka adalah kakek,
bapak atau guru daripada Wali Songo yang telah
berhasil mendirikan Kerajaan Islam Demak, kerajaan
Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri
Kerajaan Hindu Majapahit. Di tanah Jawa memang
sejarah mereka tidak banyak beredar sehingga nama
mereka tidak dikenal luas, kecuali beberapa orang
seperti Sayyid Jamaluddin al-Husein dan Maulana
Malik Ibrahim. Tapi di Champa, Pattani, Kelantan dan
Semenanjung Malaya nama mereka sangat terkenal,
bahkan keturunan mereka sampai sekarang menjadi
Sultan di Malaysia.
Karena dalam tulisan ini hanya membahas
peranan para wali di sekitar Kerajaan Pasai dan yang
berperan atau berhubungan dengan gerakan Wali
Songo di tanah Jawa, maka penulis hanya
membatasinya dengan tokoh-tokoh yang hidup
disekitar Pasai dan memiliki peranan langsung
dengan Wali Songo. Menurut penelitian penulis,

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 197


mereka yang dapat dikategorikan sebagai Wali
Sembilan Awal adalah: (1).Sayyid Jamaluddin Syah
Jalal, (2).Sayyid Qamaruddin Syah Jalal, (3).Sayyid
Majduddin Syah Jalal, (4).Sayyid Tsanauddin Syah
Jalal, (5).Maulana Malik Ibrahim, (6).Maulana Sayyid
Ibrahim Sayyid Jamaluddin, (7).Sayyid Wan Abdullah
Sayyid Jamaluddin (Wan Bo/Raja Champa), (8).Sayyid
Ali Nurul Alam Sayyid Jamaluddin (Raja Kelantan),
(9). Sultan Malik Al-Zahir II (Sultan Pasai).

Sayyid Jamaluddin Kubra (Maulana Sayyid


Akbar-Sayyid Hussein Jamadil Kubra)
Martin Van Bruinessen telah memetik tulisan
Sayyid ‘Al-wi Thahir al-Haddad, dalam bukunya Kitab
Kuning, Pesantren ..“Putra Syah Ahmad, Jamaluddin
dan saudara-saudaranya (wali no 1 sd no 6) konon
telah mengembara ke Asia Tenggara..... Jamaluddin
sendiri pertamanya menjejakkan kakinya ke Aceh
(Pasai) dan Kamboja, Pattani kemudian belayar ke
Semarang dan menghabiskan waktu bertahun-tahun
di Jawa, hingga akhirnya melanjutkan
pengembaraannya ke Pulau Bugis, di mana dia

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 198


meninggal.” (al-Haddad 1403 :8-11). Diriwayatkan
pula anaknya, Sayyid Ibrahim (wali no 6) ditinggalkan
di Aceh (Pasai) untuk mendidik masyarakat dalam
ilmu keislaman. Kemudian, Sayyid Jamaluddin ke
Majapahit, selanjutnya ke negeri Bugis, lalu
meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan). Tahun
kedatangannya di Sulawesi adalah 1452M dan tahun
wafatnya 1453M”. Inilah tokoh utama Wali Sembilan
Awal, atau yang menjadi jalan lahirnya Wali Sembilan
atau Wali Songo yang terkenal di tanah Jawa.
Sayyid Syah Ahmad atau ayahanda Sayyid
Jamaluddin adalah seorang Gubernur di zaman
Maharaja India dari Kesultanan Delhi yang bernama
Sultan Muhammad Taghlug yang memerintah pada
tahun 1325-1351. Beliau adalah keturunan dari
Sayyid Ahmad Isa Al-Muhajir dari jalur Sayyid Abdul
Malik Alawi yang lahir di kota Qasam, Hadramaut
yang berhijrah ke India dan mendapat kedudukan
terhormat di Kesultanan Islam India masa itu. Pada
pertengahan abad 14 M, anak Sayyid Syah Ahmad
yang bernama Sayyid Jamaluddin Al-Hussein
meninggalkan India untuk mengembangkan dakwah

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 199


Islamiyah ke sebelah timur, menuju Kerajaan Islam
Pasai yang telah berkembang menjadi pusat
Islamisasi Nusantara dan telah menggantikan
peranan Bagdad yang hancur lebur akibat
penyerangan tentara bar-bar Mongolia.
Adapun silsilah lengkap Sayyid Jamaluddin
adalah : Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein
Jamadil Kubra ) bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah
bin Abdul Malik bin Alawi Amal Al-Faqih bin
Muhammad Syahib Mirbath bin ‘Ali Khali’ Qasam bin
Alawi bin Muhammad bin Alawi bini Al-Syeikh
Ubaidillah bin Ahmad Muhajirullah bin ‘Isa Al-Rumi
bin Muhammad Naqib bin ‘Ali Al-Uraidhi bin Jaafar As-
Sadiq bin Muhammad Al-Baqir bin ‘Ali Zainal Abidin
bin Al-Hussein bin Sayyidatina Fatimah binti
Rasulullah SAW.
Rombongan Sayyid Jamaluddin tiba di Kerajaan
Islam Pasai diperkirakan pada zaman pemerintahan
Sultan Malik al-Zahir II antara tahun 1360an M. Pada
masa inilah masa-masa puncak kegemilangan
Kerajaan Islam Pasai yang terkenal ke seluruh
penjuru dunia sebagai Kerajaan Samodra yang

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 200


berpusat di Pasai. Kegemilangnnya Kerajaan
Samodra telah mempengaruhi nama dari pulau
tempat Kerajaan Islam ini, Sumatera, (Samodra-
Samotra(arab)-Sumatera(eropa). Rombongan para
Sayyid dari Kerajaan Islam Tughlug India ini
mendapat sambutan dan penghormatan besar di
Kerajaan Islam Pasai, karena mereka adalah para
Ulama dan Maulana yang menjadi guru pengajaran
Islam. Apalagi Sultan Malik al-Zahir II dan
ayahandanya, Sultan Malik al-Zahir atau kakeknya
Sultan Malik al-Saleh adalah keturunan dari para
Sultan Perlak (Maulana Abdul Aziz Syah) dan Raja
Jeumpa (Syahir Nawi-Shahriansyah Salman) yang
kedua-dunya bertemu pada jalur Ja’far Shadiq, cucu
dari Sayyidina Hussein bin Fatimah binti Rasulullah
saw.
Menurut catatan Ibn Batutah dalam Rihlah Ibnu
Batutah, jilid II, hal. 185-187 dan 209-210, Sultan
Malik al-Zahir II, yang memerintah Kerajaan Pasai
pada waktu itu, adalah seorang sultan yang saleh
lagi sangat taat kepada agama dan sangat gemar
mengadakan pertemuan ilmiah, dengan para ulama

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 201


untuk berdiskusi tentang masalah-masalah agama.
Setiap hari jum’at ia pergi ke masjid dengan berjalan
kaki. Ibnu Batutah juga menyebutkan sejumlah
ulama menjadi pembesar istana, antara lain: Amir
Daulasa dari Delhi, Qadi Amir Said dari Shiraz dan
ahli hukum Tajudin dari Isfahan. Pengamatannya
menyimpulkan bahwa pada saat itu, Kerajaan Pasai
dalam kemakmuran dan kedamaian yang luar biasa.
Hal ini dibuktikan ketika Sultan mengadakan acara
pernikahan putra beliau yang menggambarkan
kebesaran dan kemewahan istana Kerajaan Pasai.
Itulah sebabnya mengapa rombongan Sayyid
Jamaluddin dan Maulana Malik Ibrahim mendapat
sambutan dan penghormatan luar biasa oleh Sultan
dan para petinggi Kerajaan Pasai. Karena memang
sebelumnya hubungan antara Pasai dengan Delhi,
sebagai negeri asal rombongan Sayyid Jamaluddin,
sudah terhubung rapat yang dibuktikan dengan
adanya ulama besar dari Delhi di Kerajaan Pasai,
Maulana Amir Daulasa sebagaimana disebutkan Ibnu
Batutah. Mungkin saja kedatangan Sayyid
Jamaluddin merupakan sebuah kelanjutan muhibbah

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 202


antara Pasai dan Delhi. Maka tidak mengherankan
apabila Sayyid Jamaluddin memilih Pasai sebagai
tujuannya, karena kebesaran Pasai sudah menjadi
legenda di Kerajaan Delhi.
Sebagaimana kedudukan Maulana Amir Daulasa
pada Kerajaan Pasai, maka tidak diragukan bahwa
Sayyid Jamaluddin dengan rombongannya, termasuk
Grand Master gerakan Wali Songo di tanah Jawa,
Maulana Malik Ibrahim, juga mendapat kedudukan
terhormat di Kerajaan Pasai. Mereka telah menjadi
tokoh-tokoh utama dan sentral yang mempengaruhi
kebijakan Kerajaan Islam Pasai, khususnya pada
zaman pemerintahan Sultan Malik al-Zahir II, atau
penggantinya Sultan Zainal Abidin dan Sultan
Salahuddin. Peranan mereka bukan hanya sebagai
tokoh agama saja, tapi juga mengurusi masalah-
masalah politik internasional, membangun jaringan
politik internasional yang menghubungkan antara
dunia Arab, Parsia, India, Cina dengan dunia Islam
Nusantara yang berpusat di Kerajaan Islam Pasai. Di
antara fokus mereka adalah mengembangkan
kekuasaan Kerajaan Islam Pasai ke seluruh Nusantara

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 203


agar menjadi patron bagi Kerajaan Islam di seluruh
Nusantara. Karena dengan semakin besarnya
kekuasaan dan wilayah Kerajaan Pasai akan
mempermudah gerakan Islamisasi Nusantara,
termasuk startegi jitu untuk meredam perkembangan
Kerajaan Budha Thailand di sebelah barat dan
Kerajaan Hindu Majapahit di sebelah timur.
Sayyid Jamaluddin menikah dengan salah
seorang puteri di Kerajaan Pasai yang dikenal dengan
”Putri Jeumpa”, yang juga saudara ipar dari Sultan
Malik al-Zahir II, Sultan Pasai. Jadi Sayyid Jamaluddin
dengan Sultan Malik al-Zahir II sepengambilan
(biras). Pernikahan Sayyid Jamaluddin ini melahirkan
putera yang bernama Sayyid Ibrahim al-Akbar (bukan
Maulana Malik Ibrahim). Selanjutnya Sayyid Ibrahim
mendapat pendidikan dari Maulana dan Ulama
Kerajaan Pasai. Beliau menikah dengan kerabat
bangsawan Kerajaan Pasai, yang dikenal dengan
julukan ”Putri Jeumpa” bernama Candra Wulan.
Puteri inilah bersaudara dengan ”Puteri Jeumpa” dari
kerabat Kerajaan Pasai yang terkenal bernama
Darwati (Dwarawati) yang menjadi Maha Ratu dari

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 204


Raden Brawijaya V dari Kerajaan Jawa-Majapahit.
Perkawinan Sayyid Ibrahim dengan Putri Candra
Wulan telah melahirkan dua orang putera yang
menjadi Ulama besar, yaitu Maulana Sayyid Ishaq
yang menjadi Ulama dan penasihat utama Sultan
Pasai di zaman Sultan Zainal Abidin dan Sultan
Salahuddin, dan beliau juga sekaligus ayahanda dari
Raden Paku atau Sunan Giri, anggota Wali Songo.
Putra yang lain adalah Maulana Sayyid Rahmatullah
yang di tanah Jawa terkenal dengan Raden Sayyid
Rahmat atau Sunan Ampel yang menjadi pemimpin
utama Wali Songo di tanah Jawa. Beliau lahir pada
tahun 1401 M di lingkungan istana Kerajaan Pasai.
Setelah mempersiapkan diri dengan berbagai
perlengkapan dakwah di Kerajaan Islam Pasai, maka
berangkatlah ke arah barat, Sayyid Jamaluddin Syah
Jalal bersama beberapa Maulana untuk
mengislamkan negeri Siam (Thailand), Cina Kecil dan
Semenanjung Melayu. Beliau berhasil mengislamkan
beberapa kawasan seperti Champa, Senggora,
Pattani, Kelantan, Kedah dan sekitarnya. Kemudian
beliau mendirikan Kerajaan Islam di Champa dan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 205


mengangkat anaknya bernama Wan Bo atau Wan
Abdullah menjadi Sultan Champa pertama.
Selanjutnya beliau mendirikan Kerajaan Islam di
Pattani dan Kelantan. Walaupun secara politik beliau
tidak dapat menaklukkan Kerajaan Budha Siam
(Thailand) yang memiliki kekuatan besar, namun
beliau telah meletakkan dasar-dasar dakwah
Islamiyah di wilayah tersebut. Di Kelantan Sayyid
Jamaluddin menikah dan memiliki putra bernama
Sayyid Ali Nurul Alam. Sementara Sayyid Ali Nurul
Alam memiliki dua orang putera yang menjadi
Sultan, yaitu Syarif Hidayatullah yang dibesarkan di
Pasai dan menjadi Sultan Kerajaan Islam Banten-Jawa
Barat pertama dan Sultan Ba’abullah yang menjadi
Sultan Ternate-Maluku. Selanjutnya Sayyid
Jamaluddin berangkat ke Majapahit mendukung
perjuangan Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu
mengembangkan dakwah. Setelah beberapa lama
beliau ke negeri Bugis, lalu meninggal dunia di Wajok
(Sulawesi Selatan). Tahun kedatangannya di Sulawesi
adalah 1452M dan tahun wafatnya 1453M”.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 206


Maulana Malik Ibrahim bin Sayyid Husein
Jamadil Kubra
Adapun Wali Sembilan Awal yang berdakwah ke
timur (Jawa-Majapahit) adalah Maulana Malik
Ibrahim. Beliau adalah tokoh paling senior dan Grand
Master dalam gerakan para Wali yang di tanah Jawa
dikenal dengan Wali Songo. Pada awal abad ke 14,
beliau berangkat ke tanah Jawa dan memusatkan
gerakan dakwahnya di daerah pelabuhan sekitar
kota Gresik dan Tuban Jawa Timur, berdekatan
dengan pusat Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.
Namun dakwahnya tidak mendapat sambutan akibat
besarnya pengaruh Kerajaan Hindu-Majapahit
terhadap rakyatnya, karena Raja Majapahit dianggap
titisan Dewa oleh rakyatnya, sehingga mereka tidak
berani untuk menentang atau berbeda pendapat
dengan Maha Raja. Maulana Malik hanya dapat
mengislamkan rakyat jelata dari kasta rendah,
sementara kalangan istana Majapahit menolak
dakwahnya.
Sebagai seorang pejuang dan pendakwah Islam
kawakan sekaligus sebagai utusan Kerajaan Islam

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 207


Pasai, Maulana Malik tidak pernah berputus asa
untuk berdakwah. Beliau bersama dengan para
pendakwah lainnya mendirikan pusat Islamisasi dan
pendidikan seperti sistem pondok pesantren untuk
mendidik para pendakwah Islam Gresik Tuban Jawa
Timur. Beliau juga mempelajari seluk beluk
masyarakat Jawa secara mendalam, dan
berkesimpulan bahwa dakwah Islam akan mudah
diterima apabila telah dianut oleh kalangan Kerajaan
Majapahit. Maka atas nama Kerajaan Pasai beliau
datang sebagai utusan diplomatik sekaligus sebagai
pendakwah Islam. Beliau juga merancang agar salah
seorang Puteri Kerajaan Pasai terbaik yang sudah
muslimah dan bertaraf kader dakwah dapat menjadi
Permaisuri Kerajaan Majapahit. Tujuannya jelas agar
Sang Puteri Pejuang ini dapat memberi jalan bagi
perkembangan dakwah Islamiyah ke dalam istana
Kerajaan Hindu-Majapahit kelak. Maka bersama-sama
dengan para alim ulama dan Sultan, diputuskan
Puteri terbaik itu jatuh pada Putri Jeumpa Darwati
(Dwarawati), saudara ipar dari Sayyid Ibrahim al-

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 208


Akbar atau saudara ibunda Maulana Sayyid
Rahmatullah (Sunan Ampel).
Dipilihnya Putro Dwarawati sebagai pejuang
garda terdepan dakwah Islamiyah ke jantung
kekuatan Kerajaan Hindu terbesar Majapahit, tentu
bukan asal-asalan, tapi tentu dengan pertimbangan
fatwa agama dan politik tingkat tinggi. Karena tidak
dimungkinkan seorang wanita muslimah untuk
menikah dengan seorang Hindu. Tapi fatwa telah
diputuskan oleh Ulama dan Maulana dari Kerajaan
Pasai dengan pertimbangan fiqh yang lebih luas dan
tingkat tinggi, demi untuk kepentingan dakwah dan
perkembangan Islam.
Berkat diplomasi ulungnya, maka Raden Prabu
Brawijaya V, Maha Raja Majapahit menikah dengan
Putro Darwati (Dwarawati), Puteri Jeumpa yang telah
menjadi keluarga besar Kerajaan Islam Pasai.
Pernikahan ini telah melahirkan Raden Fatah yang
kelak menjadi Sultan Islam pertama di tanah Jawa.
Setelah Raden Fatah lahir, maka Putro Darwati
meninggalkan istana Majapahit menuju Kerajaan
Islam Palembang untuk membesarkan anaknya

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 209


dengan suasana yang Islam agar kelak menjadi
pemimpin Islam di tanah Jawa.
Maulana Malik Ibrahim meninggal tahun 1419 di
Gresik, Tuban Jawa Timur. Raffles menyebutnya
sebagai orang besar, sementara sejarawan G.W.J.
Drewes menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah
tokoh yang pertama-tama dipandang sebagai wali di
antara para wali. ''Ia seorang mubalig paling awal,''
tulis Drewes dalam bukunya, New Light on the
Coming of Islam in Indonesia. Gelar Syekh dan
Maulana, yang melekat di depan nama Malik Ibrahim,
menurut sejarawan Hoessein Djajadiningrat,
membuktikan bahwa ia ulama besar. Gelar tersebut
hanya diperuntukkan bagi tokoh muslim yang punya
derajat tinggi.
Peran terbesar dari Wali Sembilan Awal ini
adalah memperkuat sistem di Kerajaan Islam Pasai
sehingga menjadi sebuah Kerajaan yang menjadi
poros dan pusat Islamisasi di Nusantara. Kehadiran
mereka memperkuat Kerajaan Islam Pasai yang
sudah mulai mengalami kegemilangan di zaman
Sultan Malik al-Saleh dan penggantinya Sultan Malik

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 210


al-Zahir. Dengan pengetahun dan pengalaman yang
mereka miliki di Kerajaan Delhi, para wali telah
menjadi guru bagi bangsawan Pasai. Demikian pula,
mereka telah berhasil mendirikan perwakilan atau
jaringan Kerajaan Pasai di Champa (Kambodia),
Pattani, Senggora (Thailand), Kedah, Kelantan,
Malaka (Malaya) dan sampai ke Borneo dan Sulu-
Mindanao di Filipina. Walaupun mereka tidak berhasil
menaklukkan Kerajaan Budha Siam (Thailand),
namun mereka sudah mengepung Kerajaan Budha ini
dari sebelah barat dengan berdirinya Kerajaan
Champa dan dari sebelah timur dengan berdirinya
Kerajaan Pattani dan Senggora. Sehingga Kerajaan
Budha Siam akan berpikir panjang untuk menyerang
kembali Kerajaan Pasai sebagai jantung Islamisasi
Nusantara. Maka tugas untuk menyempurnakan
dakwah dan perjuangan mereka kini diembankan
kepada generasi sesudah mereka yang di kemudian
hari di kenal dengan Wali Songo.

Wali Sembilan – Wali Songo di Tanah Jawa

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 211


Istilah Wali Songo sangat populer di tanah Jawa,
namun para ahli berbeda pendapat tentang asal usul
mereka. Perbedaan ini terjadi karena kesalahan
dalam memahami Jeumpa di wilayah Aceh (Bireuen)
sebagai Champa yang berada di Kamboja. Akibatnya
banyak penyimpangan sejarah yang terjadi. Bahkan
kemudian ada yang menyimpulkan bahwa para wali
berasal dari Cina. Di antara ahli sejarah yang
berpendapat ”Champa” sebagai asal para Wali juga
merupakan wilayah yang terkenal dan berpengaruh
pada proses Islamisasi Nusantara adalah Jeumpa di
Aceh, seperti TS. Rafless, Prof. Hamka dan Prof.
Saifuddin Zuhri, Prof. A. Hasymi dan lain-lainnya.
Dengan pemahaman ini, maka sejarah dapat
diluruskan sebagaimana adanya.
Pendapat yang menyatakan bahwa para Wali,
terutama Raden Rahmat (Sunan Ampel) berasal dari
Champa di Kambodia, perlu diluruskan dengan
beberapa fakta, diantaranya adalah: Keadaan
Champa Kambodia ketika zaman Maulana
Rahmatillah (awal abad 15 M) sedang huru hara dan
terjadi pembantaian terhadap kaum Muslim yang

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 212


dilakukan oleh Dinasti Ho yang membalas dendam
atas kekalahannya pada pasukan Khulubay Khan,
Raja Mongol yang Muslim. Keadaan ini sangat jauh
berbeda dengan keadaan Jeumpa yang menjadi
mitra Kerajaan Pasai pada waktu itu yang menjadi
jalur laluan dan peristirahatan menuju kota besar
seperti Barus, Fansur dan Lamuri dari Pasai ataupun
Perlak. Kerajaan Pasai adalah pusat pengembangan
dan dakwah Islam yang memiliki banyak ulama dan
maulana dari seluruh penjuru dunia. Sementara para
sultan adalah diantara yang sangat gemar berbahas
tentang masalah-masalah agama, di istananya
berkumpul sejumlah ulama besar dari Persia, India,
Arab dan lain-lain, sementara mereka mendapat
penghormatan mulia dan tinggi. Dan Sejarah Melayu
menyebutkan bahwa ”segala orang Samudra (Pasai)
pada zaman itu semuanya tahu bahasa Arab.
Menurut beberapa catatan, Champa di Kambodia
sedang di perintah oleh Chế Bồng Nga antara tahun
1360-1390 Masehi, dikenal dengan The Red King
(Raja Merah) seorang Raja terkuat dan terakhir
Champa. Tidak diketahui apakah Raja ini Muslim atau

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 213


Budha sebagaimana mayoritas penduduk Kambodia
masa ini dengan banyak peninggalan kuil-kuilnya.
Beliau berhasil menyatukan dan mengkordinasikan
seluruh kekuatan Champa pada kekuasaannya, dan
pada tahun 1372 menyerang Vietnam melalui jalur
laut. Champa berhasil memasuki kota besar Hanoi
pada 1372 dan 1377. Pada penyerangan terakhir
tahun 1388, dia dikalahkan oleh Jenderal Vietnam Ho
Quy Ly, pendiri Dinasti Ho . Che Bong Nga meninggal
dua tahun kemudian pada 1390. Tidak banyak
catatan hubungan Penguasa Champa ini dengan
Islam, apalagi tidak didapat bekas-bekas
kegemilangan Islam, sebagaimana yang ditinggalkan
para pendakwah di Perlak, Pasai ataupun Malaka.
Tidak mungkin seorang ulama besar dapat lahir
dalam suasana yang tidak kondusif seperti di
Kambodia masa itu.
Maka tidak diragukan bahwa Wali Sembilan
Awal, Sayyid Hussein Jamadil Kubra, Maulana Malik
Ibrahim ataupun Sayyid Ibrahim, ayahanda Maulana
Rahmatullah, menjadikan Kerajaan Islam Pasai yang
sudah berkembang pesat sebagai pusat pengajaran

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 214


Islam menjadi basis awal perjuangan mereka dalam
mengislamisasikan Nusantara. Apalagi diketahui para
Sultan sejak Sultan Malik al-Salih adalah orang-orang
yang alim dan taat beragama serta memiliki
komitmen yang kuat terhadap penyebaran dakwah
Islamiyah. Kerajaan Islam Pasai yang sudah menjadi
patron kerajaan-kerajaan Islam yang baru berdiri di
wilayah Nusantara sangat berkepentingan untuk
membantu dakwah Islamiyah para Wali, disamping
sebagai tuntutan agama sekaligus menjadi strategi
untuk mempertahankan eksistensi kerajaan Islam
dari gangguan penyerangan Kerajaan Hindu
Majapahit yang berambisi menguasai Kerajaan Pasai.
Kepentingan Sultan Pasai dan para Wali bertemu
pada satu titik utama, mengislamkan Majapahit atau
memeranginya sehingga menjadi wilayah taklukan
Kerajaan Islam Pasai.
Gerakan dakwah Islamiyah yang juga sekaligus
merupakan gerakan penaklukan kerajaan-kerajaan
Hindu Nusantara dilakukan secara simultan dan
teristematis oleh para Wali dan pengikutnya dengan
dukungan penuh penguasa Pasai. Kebutuhan logistik

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 215


para Wali sampai militer didukung oleh Kerajaan
Pasai. Bahkan para Sultan dari kerajaan-kerajaan
Islam yang baru berdiri, seperti di Champa, Pattani,
Kelantan sampai Sulu, Mindanao, Banten, Makassar
dan Maluku adalah para kerabat dekat istana Pasai
yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan para
Wali. Akhirnya memang gerakan dakwah Islamiyah
para Wali menyatu dengan misi perluasaan wilayah
kekuasaan Kerajaan Islam Pasai. Sebuah langkah
strategis dan jenius yang telah menjadikan
Nusantara sebagai wilayah Islam terbesar di dunia
sampai saat ini.
Jadi para Wali yang agung dan mulia ini bukan
hanya mengajarkan ajaran agama semata
sebagaimana difahami kebanyakan orang. Tapi
mereka benar-benar telah menegakkan Islam secara
menyeluruh sesuai dengan perkembangan zaman
dan masyarakatnya. Mereka bukan hanya
memahami Islam sebagai sebuah ritual kerohanian
semata, tetapi mereka menegakkan Islam menjadi
sebuah sistem sosial dan pemerintahan dengan
berdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang menegakkan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 216


syareat Islam secara bertahap sesuai pemahaman
masyarakat zamannya.

Maulana Rahmatillah bin Sayyid Ibrahim


(Sunan Ampel)
Gerakan dakwah Islamiyah Wali Sembilan Awal
yang digerakkan Sayyid Hussein Jamadil Kubra, yang
selanjutnya diteruskan Maulana Malik Ibrahim yang
telah wafat tahun 1419 di Gresik, Tuban Jawa Timur
ke wilayah timur Pasai, dari Palembang dan tanah
Jawa seterusnya dilanjutkan oleh para sahabat dan
muridnya yang datang silih berganti dari Kerajaan
Pasai. Diantara penggantinya yang paling menonjol
adalah anak keponakannya bernama Maulana
Rahmatullah, anak dari Sayyid Ibrahim yang dikenal
di tanah Jawa dengan Raden Rahmat atau Sunan
Ampel. Beliau lahir pada tahun 1401 M di lingkungan
istana Kerajaan Pasai dari pernikahan Sayyid Ibrahim
bin Sayyid Jamaluddin al-Hussein dengan seorang
Putri bangsawan Jeumpa di kerajaan Pasai yang
bernama Chandra Wulan.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 217


Adapun silsilah keturunan Maulana Rahmat
(Sunan Ampel) adalah : Maulana Rahmatullah bin
Sayyid Ibrahim bin Jamaluddin Al-Husain (Sayyid
Hussein Jamadil Kubra ) bin Ahmad Syah Jalal bin
Abdullah bin Abdul Malik bin Alawi Amal Al-Faqih bin
Muhammad Syahib Mirbath bin ‘Ali Khali’ Qasam bin
Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Al-Syeikh
Ubaidillah bin Ahmad Muhajirullah bin ‘Isa Al-Rumi
bin Muhammad Naqib bin ‘Ali Al-Uraidhi bin Jaafar As-
Sadiq bin Muhammad Al-Baqir bin ‘Ali Zainal Abidin
bin Al-Hussein bin Sayyidatina Fatimah (Sayyidina Ali
bin Abi Thalib) binti Rasulullah SAW.
Maulana Rahmatullah atau Raden Rahmat yang
terkenal di Jawa dengan Sunan Ampel mendapat
pendidikan terbaik dengan sistem terbaik dan
termaju saat itu di Kerajaan Islam Pasai, tempat
beliau dilahirkan dan dibesarkan. Karena pada saat
itu Kerajaan Pasai sudah berkembang menjadi
sebuah Kerajaan Islam yang kuat dan maju serta
makmur. Kemajuan dan kemakmuran inilah yang
telah mendorong datangnya para ulama dan
cendekiawan seluruh dunia, apalagi para Sultan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 218


Pasai adalah orang-orang yang alim dan saleh yang
sangat berminat pada pengembangan agama Islam.
Pada awal abad ke 15 M, Kerajaan Pasai telah
berkembang menjadi pusat pengajian tinggi Islam
yang berhubungan langsung dengan pusat-pusat
peradaban Islam di Makkah, Mesir, Persia, India,
Andalusia dan lainnya. Di bawah asuhan para ulama,
auliya dan cendekiawan besar di Kerajaan Pasai,
Maulana Rahmat yang terkenal cerdas menjadi
seorang ulama dan auliya yang disegani dan sangat
diandalkan dalam penyebaran dakwah Islamiyah,
khususnya ke tanah Jawa untuk meneruskan
perjuangan kakeknya, Sayyid Hussein ataupun
pamannya, Maulana Malik Ibrahim.
Setelah mendapat pendidikan di Kerajaan Islam
Pasai, Maulana Rahmat berdakwah di pulau
Sumatera, bersama dengan para auliya lainnya telah
mengislamkan Kerajaan Palembang. Selanjutnya
Maulana Rahmat berhijrah pada tahun 1443 M ke
Jawa. Kehadirannya membawa perubahan besar
dalam dakwah Islamiyah di tanah Jawa. Karena
kharisma dan ketinggian ilmunya, beliau sangat

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 219


disegani oleh para petinggi Majapahit. Pada saat
yang sama, saudara ibunya, Dwarawati sudah
menjadi Maha Ratu Majapahit, yang semakin
memudahkan gerakan dakwahnya. Bahkan bibinya
inilah yang mengundang Maulana Rahmat datang ke
Kerajaan Majapahit di tanah Jawa, karena kerajaan
Hindu besar ini tengah mengalami masa-masa krisis
yang ditimpa kemunduran akibat perpecahan,
perang saudara, perbuatan amoral yang melanda
masyarakat. Diharapkan dengan kehadiran Maulana
Rahmat dengan ketinggian ajaran moralitas Islam
keadaan dapat diperbaiki dan mengembalikan
wibawa dan kegemilangan Majapahit.
Dengan senang hati Maulana Rahmat datang
berdakwah ke Majapahit, apalagi tujuan utama beliau
adalah untuk mendirikan sebuah Kerajaan Islam di
tanah Jawa sebagai ekspansi Kerajaan Islam Pasai,
yang sekaligus dapat menjadi penaung gerakan
Islamisasi khususnya di tanah Jawa dan sekitarnya.
Namun seruannya untuk menjadikan Kerajaan Hindu-
Majapahit sebagai Kerajaan Islam tidak mendapat
sambutan dari Maha Raja Majapahit, Prabu Brawijaya

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 220


V. Maka beliau memulai gerakan besarnya dengan
mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam
dengan sistem pondok pesantren di Ampeldenta
Surabaya.
Dalam perjalanannya menuju Ampeldenta dari
Majapahit, Maulana Rahmatullah berdakwah kepada
masyarakat luas dan mendapat sambutan yang luar
biasa dari masyarakat Jawa yang tengah merindukan
jalan kebenaran. Dengan pendekatan dakwahnya
yang khas, beliau telah mendapatkan murid dan
pengikut setia yang banyak. Karena ketinggian ilmu
pengetahuan dan pengaruhnya yang besar, Bupati
Tuban menikahkan beliau dengan putrinya dan
Maulana Rahmatullah mendapatkan gelar Raden.
Gelar bangsawan yang akan memudahkan
dakwahnya di tengah-tengah masyarakat Jawa yang
masih sangat feodal dan kental dengan budaya
Hindu yang masih memakai sistem kasta.
Lembaga pendidikan Islam model pondok
pesantren yang didirikan Maulana Rahmatullah,
berkembang pesat dan dijadikan sebagai basis untuk
menggerakkan dakwah Islamiyah, terutama untuk

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 221


mengislamisasikan tanah Jawa yang masih mayoritas
beragama Hindu dan Budha. Di lembaga pendidikan
ini diajarkan bukan hanya pelajaran agama dan
moral saja, namun juga mengajarkan berbagai
pengetahuan yang berkembang masa itu, termasuk
ilmu pemerintahan dan ilmu kemiliteran. Karena
terbukti kemudian lulusan lembaga pendidikan ini
adalah para pemimpin kerajaan dan panglima-
panglima perang yang berpengaruh dalam
menaklukkan beberapa kerajaan Hindu.
Di antara murid terkemuka Maulana
Rahmatullah adalah Raden Fatah yang juga saudara
sepupunya, yaitu anak dari Putroe Dwarawati dengan
Prabu Brawijaya V. Di samping itu beliau juga
mendidik anak-anaknya sendiri serta beberapa
pemuda-pemuda Islam lainnya yang kelak menjadi
Sunan, seperti Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan
Giri dan lainnya. Setelah gerakan dakwahnya
berkembang pesat dan pengikutnya bertambah
banyak, Raden Rahmat membentuk sebuah gerakan
yang beranggotakan para ulama dan auliya, dimana

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 222


gerakan ini dikenal dengan Wali Songo atau Wali
Sembilan.
Gerakan Wali Sembilan dianggotai oleh :
(1).Maulana Rahmatullah bin Sayyid Ibrahim (Raden
Rahmat atau Sunan Ampel), (2).Maulana Makhdum
Ibrahim bin Maulana Rahmatullah (Sunan Bonang),
(3).Maulana Syarifuddin Hasyim bin Maulana
Rahmatullah (Sunan Drajat), (4).Maulana Jaafar Sadiq
bin Maulana Rahmatullah (Sunan Kudus), (5).Maulana
Ahmad Hassan bin Maulana Rahmatullah (Sunan
Lamongan), (6).Maulana Ainul Yaqin bin Maulana
Ishaq (Sunan Giri), (7).Syarif Hidayatullah bin Sayyid
Ali Nurul Alam (Sunan Gunung Jati), (8).Raden Mas
Syahid (Sunan Kalijaga menantu Maulana
Rahmatullah) dan (9).Raden Umar Said (Sunan
Muria).
Para Wali yang sangat dekat dan menjadi
kerabat istana Kerajaan Pasai ini, setelah berdakwah
dan memiliki pengikut setia, akhirnya
mempersiapkan berdirinya sebuah Kerajaan Islam di
tanah Jawa. Sebagaimana tradisi masyarakat Jawa
yang menghormati Maha Raja dan keturunannya,

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 223


maka Raden Rahmat mempersiapkan murid, anak
menantu, saudara sepupu dari jalur ibunya yang juga
anak dari Raden Brawijaya V, Maha Raja Majapahit
bernama Raden Fatah yang telah dididiknya di
Pondok Pesantren Ampeldenta Surabaya sebagai
calon Sultan dari Kerajaan Islam pertama di Jawa.
Sebagai seorang Pangeran atau Prabu Majapahit,
maka Raden Fatah berhak mendapat wilayah
kekuasaan sendiri di wilayah Majapahit. Maka Raden
Fatah diberikan wilayah kekuasaan di Bintaro Demak.
Setelah mendapat dukungan kuat, Para Wali
Sembilan di bawah pimpinan auliya dan kerabat
Kerajaan Pasai, Maulana Raden Rahmat atau Sunan
Ampel memproklamasikan berdirinya Kerajaan Islam
Demak sebagai Kerajaan Islam pertama di tanah
Jawa dan mengangkat Raden Fatah sebagai Sultan
Kerajaan Islam Demak dengan gelar Sultan Alam
Akbar Al-Fattah pada tahun 1481 M. Selanjutnya
Kerajaan Islam Demak menjadi patron kepada
Islamisasi di pusat kekuasaan Kerajaan Hindu
terbesar dan termegah, Majapahit. Berdirinya
Kerajaan Demak telah melemahkan Majapahit yang

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 224


terpecah belah menjadi kerajaan-kerajaan kecil.
Maka tamatlah riwayat Kerajaan Hindu-Majapahit dan
digantikan perannya oleh Kerajaan Demak yang
menyebarkan Islam ke tanah Jawa. Akhirnya
tercapailah cita-cita agung para auliya di Pasai untuk
menaklukkan Kerajaan Hindu terbesar oleh kader
terbaiknya Maulana Rahmat dan murid-muridnya.

Darawati : Putri Jeumpa Pejuang Pasai


Penakluk Majapahit

Tidak banyak yang mengenal apalagi


mengetahui sejarah hidup Darwati (Dharawati),
seorang Putro Jeumpa yang secara tidak langsung
bertanggungjawab atas penaklukkan Kerajaan Jawa-
Hindu Majapahit. Sejarah agung kehidupannya dapat
dikenal dengan mengungkap misteri keberadaan
seorang putri yang di tanah Jawa di kenal dengan
”Putri Champa”.

”Putri Champa” biasanya dihubungkan dengan


istri Prabu Brawijaya V yang dalam Babad Tanah
Jawi, disebutkan bernama Anarawati atau Dwarawati
(Darawati) yang beragama Islam. Ada yang
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 225
berpendapat bahwa putri inilah yang melahirkan
Raden Fatah, yang kemudian menyerahkan
pendididikan putranya kepada salah seorang
keponakannya yang lahir di Pasai yang dikenal
dengan Sunan Ampel (Raden Rahmat) di Ampeldenta
Surabaya. Sejarah mencatat, Raden Fatah menjadi
Sultan pertama dari Kerajaan Islam Demak, Kerajaan
Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri
sejarah kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu
Majapahit.

Menurut Gubernur Jendral Hindia Belanda dari


Kerajaan Inggris yang juga seorang peneliti sosial, Sir
TS. Raffles dalam bukunya The History of Java
menyebutkan bahwa Champa bukan terletak di
Kambodia, tapi Champa adalah nama daerah di
sebuah wilayah di Aceh, yang terkenal dengan nama
”Jeumpa”. Champa adalah ucapan atau logat Jeumpa
dengan dialek ”Jawa”, karena penyebutannya inilah
banyak ahli yang keliru dan mengasosiasikannya
dengan Kerajaan Champa di wilayah Kambodia dan
Vietnam sekarang. Jeumpa yang dinyatakan Raffles

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 226


sekarang berada di sekitar daerah Kabupaten
Bireuen Aceh.

Keadaan Jeumpa di sebelah barat pada masa


kegemilangan Kerajaan Pasai menjadi jalur laluan
dan peristirahatan menuju kota besar seperti Barus,
Fansur dan Lamuri dari Pasai ataupun Perlak.
Kerajaan Pasai adalah pusat pengembangan dan
dakwah Islam yang memiliki banyak ulama dan
maulana dari seluruh penjuru dunia. Sementara para
sultan adalah diantara yang sangat gemar berbahas
tentang masalah-masalah agama, di istananya
berkumpul sejumlah ulama besar dari Persia, India,
Arab dan lain-lain, sementara mereka mendapat
penghormatan mulia dan tinggi. Dan Sejarah Melayu
menyebutkan bahwa ”segala orang Samudra (Pasai)
pada zaman itu semuanya tahu bahasa Arab.

Jeumpa terkenal dengan putri-putrinya yang


cerdas dan cantik jelita, buah persilangan antara
Arab-Parsi-India dan Melayu, yang di Aceh sendiri
sampai saat ini terkenal dengan Buengong Jeumpa,
gadis cantik putih kemerah-merahan. Sampai saat ini
Jeumpa masih menyisakan kecantikan putri-putrinya
Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 227
yang sekarang berada di sekitar Kabupaten Bireuen.
Pada masa kegemilangan Pasai, istilah putri Jeumpa
(Champa) sangat populer, mengingat sebelumnya
ada beberapa Putri Jeumpa yang sudah terkenal
kecantikan dan kecerdasannya. Putri Manyang
Seuludang, Permaisuri Raja Muslim pertama Jeumpa
asal Persia, Shahrianshah Salman al-Parisi, yang juga
ibunda kepada Syahri Nuwi pendiri kota Perlak. Putri
Jeumpa lainnya, Putri Makhdum Tansyuri (anak
Pengeran Salman-Manyang Seuludong/Adik Syahri
Nuwi) yang menikah dengan kepala rombongan
Nakhoda Khalifah, Maulana Ali bin Muhammad bin
Ja’far Shadik, yang melahirkan Maulana Abdul Aziz
Syah, Raja pertama Kerajaan Islam Perlak. Putri
Makhdum Khudawi, anak Shahr Nuwi dan istri
Maulana Abdul Aziz Syah. Mereka seterusnya
menurunkan Raja dan bangsawan Perlak, Pasai
sampai Aceh Darussalam. Demikian pula keturunan
Syahri Nuwi dari Sultan Perlak bergelar Makhdum
juga disebut sebagai Putri Jeumpa, karena beliau
lahir di Jeumpa.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 228


Kecantikan dan kecerdasan putri-putri Jeumpa
sudah menjadi legenda di antara pembesar-
pembesar istana Perlak, Pasai, Malaka, bahkan
sampai ke Jawa. Itulah sebabnya kenapa Maharaja
Majapahit, Barawijaya V sangat mengidam-idamkan
seorang permaisuri dari Jeumpa. Bahkan dalam
Babat Tanah Jawi, disebutkan bagaimana mabok
kepayangnya sang Prabu ketika bertemu dengan
Putri Jeumpa yang datang bersama dengan
rombongan Maulana Malik Ibrahim dan para petinggi
Pasai yang datang untuk berdakwah ke pusat
Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.

Pada masa hidup Putri Darwati dari Jeumpa,


Kerajaan tempatnya tinggal di Pasai sudah menjadi
pusat Islamisasi Nusantara dan sangat
berkepentingan untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-
Hindu Majapahit karena ia adalah satu-satunya
penghalang utama untuk pengislaman tanah Jawa
secara menyeluruh. Maka para Sultan dan para
Ulama serta cerdik pandai Kerajaan Pasai telah
menyusun strategi terus menerus dengan segala
jaringannya untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 229


ini. Bahkan Kekaisaran Cinapun yang telah dikuasai
Muslim ikut andil dalam Islamisasi ini, terbukti
dengan mengirimkan Penglima Besar dan
kepercayaan Kaisar yang bernama Laksamana Cheng
Ho. Jalan peperangan tidak mungkin ditempuh,
mengingat jauhnya jarak antara Pasai dengan Jawa
Timur sebagai pusat Kerajaan Majapahit. Maka
ditempuhlan jalan diplomasi dan dakwah para duta
dari Kerajaan Pasai.

Grand Master Wali Sembilan (Aulia Sikurueng),


Maulana Malik Ibrahim sebagai utusan senior para
pendakwah yang berpusat di Kerajaan Pasai,
menemukan sebuah cara yang dianggap bijak, yaitu
melalui jalur perkawinan. Maka dikawinkanlah
iparnya yang bernama Dwarawati atau Putri Jeumpa
yang cantik jelita dan cerdas tentunya, dengan Prabu
Brawijaya V, yang konon masih memeluk Hindu.
Kenapa Sang Bapak Para Wali Songo ini berani
mengambil kebijakan itu. Tentu hanya Allah dan
beliau yang tahu. Dan akhirnya sejarah kemudian
mencatat, anak perkawinan Putri Jeumpa Dwarawati
dengan Prabu Brawijaya V, bernama Raden Fatah

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 230


adalah Sultan Kerajaan Islam Demak pertama yang
telah mengakhiri dominasi Kerajaan Jawa-Hindu
Majapahit dan Kerajaan-Kerajaan Hindu lainnya.

Mungkin pertimbangan Maulana Malik Ibrahim


menikahkan iparnya Putri Jeumpa berdasarkan ijtihad
beliau setelah mengadakan penelitian panjang
terhadap tradisi dan budaya orang Jawa yang sangat
menghormati dan patuh bongkokan kepada Raja
atau Pangeran yang selama ini dianggap sebagai
titisan para Dewata, sebagaimana cerita-cerita
pewayangan di Jawa. Jika ada seorang Raja atau
Pangeran yang masuk Islam, maka akan mudah bagi
perkembangan Islam. Karena Jawa adalah salah satu
daerah yang sangat sulit diislamkan sampai saat itu,
mengingat kuatnya dominasi Kerajaan Hindu
Majapahit. Itulah sebabnya, ketika Putri Jeumpa telah
hamil, dia ditarik dari istana Majapahit, dihijrahkan ke
wilayah Islam lainnya, kabarnya ke Kerajaan Melayu
Palembang. Setelah lahir anaknya, Raden Fatah, Putri
Jeumpa kembali ke Jawa Timur, tapi bukan ke istana
Majapahit, tapi ke Ampeldenta Surabaya, ke tempat
anak saudaranya Raden Rahmat (Sunan Ampel)

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 231


untuk mendidik Raden Fatah agar menjadi pemimpin
Islam. Setelah dewasa, karena masih Raden
Pangeran Majapahit, maka Raden Fatah berhak
mendapat jabatan, dan beliau diangkat sebagai
seorang Bupati di sekitar Demak. Saat itulah para
Wali Sembilan yang sudah mapan mendeklarasikan
sebuah Kerajaan Islam Demak, di Bintaro Demak,
sebagai Kerajaan Islam pertama di Jawa. Karena
Raden Fatah adalah titisan Raja Majapahit, maka
orang-orang Jawapun dengan cepat mengikuti
agamanya dan membela perjuangannya
sebagaimana dicatat sejarah dalam buku Babat
Tanah Jawi.

”Darwati Putri Jeumpa Penakluk Majapahit” ini


adalah wanita luar biasa. Dia adalah seorang ibu
yang tabah, besar hati, penyayang namun mewarisi
semangat perjuangan yang tidak kalah hebat dengan
wanita-wanita agung Aceh seperti Laksamana
Malahayati, Tjut Nya’ Dhien, Tjut Mutia dan lainnya.
Bagaimana tidak, dia harus berpisah jauh dari
lingkungannya ke tanah Jawa yang asing baginya,
tiada handai tolan, hidup dilingkungan masyarakat

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 232


Jawa-Hindu yang berbeda budaya dan tradisi dengan
negeri asalnya, bahkan ada yang menyatakan
suaminyapun masih beragama Hindu dalam tradisi
Kerajaan Majapahit yang feodalis. Namun karena
para Ulama-Pejuang sekelas Maulana Malik Ibrahim
atas dukungan para Sultan Muslim menugaskannya
berdakwah dengan caranya, wanita agung inipun
ikhlas melakoni peran perjuangannya. Demi
kelanjutan agamanya, dia rela meninggalkan
kegemerlapan istana Majapahit sebagai permaisuri
agung untuk memastikan putranya dapat pendidikan
terbaik agar menjadi seorang pemimpin Islam di
Jawa. Raden Fatah kecil mendapat kasih sayang serta
bimbingan ibundanya bersama para Wali yang
dipimpin sepupunya Raden Rahmat (Sunan Ampel)
yang juga dilahirkan di Kerajaan asal ibunya.

Putri Darwati dari Jeumpa telah sukses gemilang


menjalankan tugas agamanya, dia seorang ibu
pendidik agung (madrasat al-kubra), pejuang suci
(mujahidah fi sabilillah), pendakwah Islam (da’i)
sekaligus sebagai penyebab (asbab) keruntuhan
sebuah dinasti Hindu terbesar yang menjadi lambang

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 233


keagungan dan kebesaran Jawa, dengan Mahapatih
sadis Gadjah Mada itu. Dari sisi manapun kita nilai,
wanita ini adalah wanita besar, namun terhijab peran
agungnya oleh wanita selir Jawa sekelas RA. Kartini,
seorang selir Bupati Rembang yang dijadikan tokoh
wanita hanya karena bisa bahasa penjajah Belanda
dan dekat dengan penjajah kaphe. Siapa Kartini jika
disandingkan dengan Ratu Tajul Alam Syafiatuddin,
Sultanah Aceh yang memimpin masyarakat
kosmopilit masa itu dan memiliki kekuasaan seluruh
Sumatra dan Semenjang Melayu?

Raden Fatah: Ujung Tombak Walisongo


Menaklukkan Majapahit
Bagi masyarakat Hindu-Majapahit, tidak ada
tokoh yang dibenci dan dicaci sedemikian hebatnya,
selain Raden Fatah (Raden Patah) yang dituduh
sebagai anak durhaka yang melawan orang tua dan
menentang tradisi Hindu nenek moyangnnya,
bahkan dituduh meruntuhkan kehebatan
peradabannya sendiri di Kerajaan Majapahit yang
menjadi kebanggaan masyarakat Jawa Hindu. Raden

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 234


Fatah dianggap bertanggung jawab bersama para
Wali Songo mengubur peradaban Hindu-Jawa yang
diangung-agungkan selama berabad-abad dan
menggantikannya dengan tradisi dan peradaban
Islam. Itulah sebabnya pribadi agung ini senantiasa
difitnah dan didiskreditkan, bahkan segaja
disamarkan sejarah hidupnya yang agung dan mulia,
dituduh sebagai anak haram dan durhaka oleh
mereka yang dendam terhadap keberhasilan proses
Islamisasi tanah Jawa.
Sebenarnya Raden Fatah adalah anak dari Maha
Raja Majapahit Brawijaya V. Menurut Babat Tanah
Jawi, ibunya adalah seorang puteri yang berasal dari
Cina yang sangat cantik dan menjadi istri dari Prabu
Brawijaya V, sehingga menimbulkan kecemburuan
Permaisuri Kerajaan yang berasal Cempa (Jeumpa)
bernama Darwati (Dharawati). Ketika sedang hamil,
putri Cina tersebut diusir dari Istana Majapahit atas
permintaan Permaisuri, diberikan kepada Aria Damar
di Kerajaan Palembang, dan Raden Patah lahir di
Palembang. Namun cerita Babat ini perlu dikritisi
kebenarannya.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 235


Permaisuri Prabu Brawijaya V yang dikatakan
berasal dari Cempa, bernama Darwati (Dharawati),
sebenarnya adalah Puteri Jeumpa dan seorang
Muslimah yang taat, seorang wanita pejuang dari
Pasai yang dikirim oleh Maulana Malik Ibrahim dan
para Wali di Pasai untuk memberikan jalan kepada
dakwah Islamiyah di Kerajaan Majapahit. Wanita
mulia ini rela berpisah dari sanak saudaranya dan
berjuang di garda terdepan masyarakat Hindu-
Majapahit, meninggalkan kepentingan pribadinya
demi untuk pengembangan dakwah Islamiyah.
Apakah wanita agung ini memiliki akhlak yang buruk
dan perangai jahat sehingga rela mengusir
saudaranya sendiri, apalagi Puteri Cina itu juga
diketahui seorang Muslimah?
Disinilah kejanggalan cerita Babat Tanah Jawi
yang ditulis oleh cendekiawan Jawa ini.Bahkan sudah
masuk kepada dataran fitnah terhadap seorang
Muslimah pejuang agung Puteri Jeumpa Darwati yang
memang diketahui memberikan dukungan terhadap
Islamisasi Majapahit dan perlindungan terhadap para
pendakwah Islam dari Pasai yang menyebarkan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 236


Islam. Wanita agung ini adalah saudara ibunda
Maulana Rahmatillah (Raden Rahmat/Sunan Ampel),
beliaulah juga yang mengundang dan memberikan
dukungan kepada Sunan Ampel ini berdakwah ke
tanah Jawa. Putri Jeumpa Darwati adalah kerabat dan
kader Kerajaan Islam Pasai yang ditugaskan untuk
memberikan jalan kepada proses Islamisasi
Majapahit, atau minimal mencegah ambisi Majapahit
untuk menyerang Kerajaan Pasai. Tidak mungkin
seorang Muslimah yang sudah mengedepankan
kepentingan Islam akan berbuat keji seperti itu.
Itulah sebabnya, sejarah yang dikemukakan
Babat Tanah Jawi, yang menjadi referensi utama
masyarakat Jawa harus ditelaah ulang karena
mengandung banyak sekali kejanggalan. Yang
menjadi pertanyaan, kenapa dan bagaimana Raden
Patah dapat menjadi murid utama dan menantu dari
Sunan Ampel, darimanakah hubungan ini? Apakah ini
terjadi dengan sendirinya dan apa hubungannya
dengan grand strategi para Wali Pasai dalam
menaklukkan Kerajaan Majapahit?

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 237


Jika memang benar puteri Cina yang tidak jelas
identitasnya itu telah melahirkan Raden Patah, maka
Permaisuri Darwati adalah diantara orang yang telah
merancang kepergian puteri Cina ini dari Majapahit
menuju Kerajaan Islam Palembang mitra dari
Kerajaan Islam Pasai saat itu, karena disana sudah
ada keponakannya Maulana Rahmatillah yang
menjadi Ulama. Sebagaimana diketahui bahwa
masyarakat Jawa sangat patuh kepada Rajanya yang
mereka anggap titisan para Dewa. Untuk
menaklukkan Majapahit secara totalitas, harus
digerakkan oleh keturunan dari Maha Raja Majapahit
sendiri. Itulah sebabnya sebelum lahir putra mahkota
ini, diungsikan ke Kerajaan Islam dengan harapan
akan lahir dan besar sebagai seorang Muslim. Maka
Raden Patahpun lahir di Palembang dan menjadi
seorang Muslim yang taat serta berguru kepada
Maulana Rahmatillah (Sunan Ampel), dan menjadi
murid setianya yang ikut ke Ampel Denta Surabaya.
Menurut sumber lain, Raden Patah sebenarnya
memiliki hubungan dengan Sunan Ampel dan juga
para Wali Songo, sehingga mendapat kedudukan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 238


yang mulia dan terhormat di kalangan mereka.
Bahkan Raden Patah dijadikan menantu oleh
Maulana Rahmatillah. Itulah sebabnya ada yang
menghubungkan bahwa sebenarnya yang dikatakan
sebagai Puteri Cina itu adalah Puteri Jeumpa (Campa)
Darwati sendiri. Karena sejarah hidup Putri Darwati
yang menjadi Permaisuri Majapahit tidak banyak
ditulis di Jawa, termasuk di Babat Tanah Jawi. Kisah
hidup dan perjuangannya menjadi misterius dan
tidak dikenal luas oleh masyarakat Jawa. Itulah
sebabnya kemudian ada ahli sejarah yang
menghubungkan bahwa Puteri Cina itu adalah Puteri
Darwati yang berasal dari Cempa (Jeumpa). Apalagi
di banyak manuskrip Jawa, istilah Cempa sering
diidentikkan dengan Cina.
Ketika kecil, Raden Patah juga dikenal dengan
nama Pangeran Jin Bun, sebuah nama Cina, yang
kemudian mengelirukan banyak orang tentang
asalnya dari Cina. Boleh saja nama ini adalah nama
panggilan atau nama samaran untuk menghindar
dari hasad orang-orang Majapahit yang percaya
kepada ramalan bahwa Majapahit akan diruntuhkan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 239


oleh salah seorang keturunan Majapahit sendiri,
sebagaimana disebutkan Babat Tanah Jawi.
Raden Patah mendapat pendidikan dari Maulana
Rahmatillah dan para ulama di Kerajaan Islam
Palembang sebelum beliau hijrah ke tanah Jawa.
Ketika Maulana Rahmatillah sudah mendirikan
pesantren di Ampel Denta Surabaya, Raden Patah
ikut menyusul ke tanah Jawa dan tinggal di Ampel
Denta berguru kepada Maulana Rahmatillah atau
Sunan Ampel. Setelah memiliki pengetahuan yang
memadai, Raden Patah diperintahkan gurunya untuk
mengembangkan dakwah Islamiyah ke sebelah
barat, kawasan hutan dan tanah subur yang
bernama Bintara. Di daerah ini Raden Patah
mendirikan pesantren dan mengajarkan Islam,
banyak masyarakat yang memeluk Islam dan tinggal
bersamanya sehingga Bintara menjadi ramai dan
berkembang menjadi kota baru.
Babat Tanah Jawi menceritakan perkembangan
Bintara: Prabu Brawijaya mendengar berita bahwa
ada orang yang bertempat tinggal di hutan Bintara,
terkenal di mana-mana tentang kebesaran

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 240


pedukuhan dan kesaktiannya. Raja memanggil para
menteri untuk menanyakan benar-tidaknya kabar itu.
Adipati Terung memang benar adanya berita itu.
Sang Prabu lalu memerintahkan untuk
memanggilnya……Raden Patah segera berangkat ke
Majapahit. Sang Prabu sangat gembira, jatuh hatinya
kepada Raden Patah sebab rupanya sangat mirip
sang Prabu. Lalu diakui sebagai putra, diangkat
menjadi adipati Bintara, serta diberi abdi sepuluh
ribu orang….. Lama-lama pedukuhan Bintara
(Demak) menjadi semakin gemah-ripah (makmur-
sejahtera).
Setelah memiliki pengikut yang banyak, maka
sudah saatnya para Wali dan pengikutnya untuk
mendirikan sebuah Kerajaan Islam di tanah Jawa
sebagai pendukung gerakan dakwah Islamiyah dan
sekaligus menjaga Islam dan pengikutnya dari
gangguan Kerajaan Hindu, terutama Majapahit.
Karena Bintara yang dipimpin Raden Patah telah
berkembang pesat, maka para Wali memutuskan
untuk mendirikan kerajaan Islam di Bintara, yang
dinamakan dengan Kerajaan Islam Demak, sebagai

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 241


Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa dan
mengangkat Raden Patah sebagai Sultan Kerajaan
Islam Demak dengan gelar Sultan Alam Akbar Al-
Fattah pada tahun 1481 M. Selanjutnya Kerajaan
Islam Demak menjadi patron kepada Islamisasi di
pusat kekuasaan Kerajaan Hindu terbesar dan
termegah, Majapahit. Berdirinya Kerajaan Demak
telah melemahkan Majapahit yang terpecah belah
menjadi kerajaan-kerajaan kecil.
Tentang keruntuhan Majapahit, Babat Tanah Jawi
dalam Runtuhnya Majapahit, menceritakan
bagaimana proses runtuhnya kerajaan Hindu
terbesar di tanah Jawa tersebut akibat dari
penyerangan yang dilakukan oleh para Wali dan
Sultan Demak. Diceritakan bahwa seluruh kaum
muslimin dari penjuru Jawa telah berkumpul di
Bintara-Demak dengan kekuatan yang sangat besar.
Lalu mereka berangkat menuju pusat Kerajaan
Majapahit. Semuanya lalu bersama berangkat ke
Majapahit. Banyaknya barisan tak terhitung. Kota
Majapahit dikepung. Orang Majapahit banyak takluk
kepada adipati Bintara, tak ada yang berani

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 242


menyambut perang…Dikisahkan selanjutnya Prabu
Brawijaya meninggalkan istana dan Kerajaan
Majapahit akhirnya takluk dan runtuh oleh Kerajaan
Islam Demak.
Keruntuhan Majapahit oleh Kerajaan Islam
Demak, telah mengakhiri kejayaan Kerajaan Hindu di
tanah Jawa. Sejak saat itu pusat kekuasaan di tanah
Jawa telah beralih dari Kerajaan Majapahit ke
Kerajaan Islam Demak. Islamisasi di tanah Jawa terus
dijalankan oleh para Wali dan murid-muridnya yang
mendirikan banyak pondok pesantren di seluruh
tanah Jawa. Sejak berdirinya Kerajaan Islam Demak,
maka telah berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam
lainnya di tanah Jawa yang berafialiasi ke Kerajaan
Demak. Pada saat yang sama, hubungan antara
Kerajaan Demak dengan Kerajaan Palembang, dan
khususnya dengan Kerajaan Islam Pasai semakin
erat. Karena para petinggi, khususnya para Sunan
yang memegang kendali spiritual di Kerajaan Demak
adalah anak dan cucu dari para petinggi dan ulama
di Kerajaan Pasai.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 243


Akhirnya memang tidak dapat dibantah bahwa
Kerajaan Islam Pasai telah memiliki peran sentral
dalam mengembangkan dakwah Islamiyah di
Nusantara, terutama dalam melahirkan gerakan para
Wali yang telah mendirikan Kerajaan Islam dan
meruntuhkan dominasi Kerajaan Hindu-Majapahit.
Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Raden
Patah adalah ujung tombak Kerajaan Islam Pasai
melalui Wali Songo dalam meruntuhkan Kerajaan
Hindu-Majapahit yang telah menyerang Pasai
sebelumnya.

Sunan Gunung Jati: Melanjutkan Misi Pasai Di


Tanah Jawa
Setelah Sayyid Hussein Jamadil Kubra
menyerahkan tugas dakwahnya kepada anaknya
Sayyid Ibrahim (ayahanda Maulana
Rahmatillah/Sunan Ampel) di Pasai, maka beliau
berangkat berdakwah menuju barat untuk menahan
serangan Kerajaan Budha Thailand (Siam) yang
sangat berambisi menaklukkan Kerajaan Islam Pasai.
Beliau berdakwah di wilayah yang sekarang dikenal

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 244


dengan Senggora di wilayah Patani, Thailand selatan
dan Kelantan di Malaysia. Beliau menikah dengan
seorang puteri raja Patani dan mendapat anak
bernama Maulana Ali Nurul Alam, yang menjadi
ayahanda kepada Sayyid Abdullah atau dikenal
dengan Wan Bo, Raja pertama Kerajaan Islam untuk
wilayah Champa, Senggora, Patani dan Kelantan.
Menurut Babat Cirebon, ketika Sayyid Abdullah
berada di Mekkah, bertemu dengan seorang puteri
dari Kerajaan Pajajaran bernama Rara Santang putri
Prabu Siliwangi, kemudian mereka menikah dan
mempunyai anak yang sempat belajar ke Kerajaan
Pasai dan memperdalam ilmu di Ampel Denta
bernama Syarif Hidayatullah. Di tanah Jawa beliau
dikenal dengan Raden Sunan Gunung Jati yang
menjadi anggota dari Wali Songo. Beliau lahir sekitar
tahun 1450 M, namun ada juga yang mengatakan
bahwa beliau lahir pada sekitar 1448 M
Adapun silsilah keturunan Syarief Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati) adalah : Syarif Hidayatullah bin
Sayyid Abdullah bin Maulana Ali Nurul Alam bin
Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 245


Kubra ) bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah bin Abdul
Malik bin Alawi Amal Al-Faqih bin Muhammad Syahib
Mirbath bin ‘Ali Khali’ Qasam bin Alawi bin
Muhammad bin Alawi bin Al-Syeikh Ubaidillah bin
Ahmad Muhajirullah bin ‘Isa Al-Rumi bin Muhammad
Naqib bin ‘Ali Al-Uraidhi bin Jaafar As-Sadiq bin
Muhammad Al-Baqir bin ‘Ali Zainal Abidin bin Al-
Hussein bin Sayyidatina Fatimah (Sayyidina Ali bin
Abi Thalib) binti Rasulullah SAW.
Sebagai seorang keturunan para Maulana dan
Ulama Ahlul Bayt, Raden Syarif Hidayatullah
mewarisi ketinggian pengetahuan keislaman yang
telah dikembangkan nenek moyangnnya, sekaligus
memiliki kecendrungan spiritual yang sangat tinggi,
terutama dari kakek buyutnya Syekh Maulana Akbar
(Sayyid Husien al-Akbar) yang terkenal sebagai tokoh
sufi di Nusantara. Ketika telah selesai belajar agama
di pesantren Syekh Kahfi maupun Ampel Denta,
beliau meneruskan pelajarannya kepada Maulana
dan Ulama ke Kerajaan Islam Pasai sebagai tempat
pengajian tinggi Islam di Nusantara saat itu. Para
Ulama dan Maulana di Pasai sendiri pada saat itu

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 246


adalah kerabat beliau juga. Selanjutnya beliau
meneruskan ke Timur Tengah, terutama Mekkah dan
Madinah. Ada juga yang menyebutkan beliau belajar
sampai Mesir, Bagdad, Persia dan India. Dalam usia
muda Syarif Hidayatullah sudah menguasai ilmu
keislaman yang tinggi, sekaligus memiliki kekuatan
spiritual (karamah).
Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran
Cakrabuwana, saudara ibunda Syarif Hidayatullah,
membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai
pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden
Syarif Hidayatullah mengambil peranan mambangun
kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan
Muslim yang baru dibentuk itu setelah saudara
ibundanya wafat. Beliau menikahi adik dari Bupati
Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari
pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri
yaitu Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin
yang kelak menjadi Sultan Banten I.
Sebagai seorang Maulana yang berpengaruh di
sekitar Cirebon Jawa Barat, Syarif Hidayatullah yang
sudah dikenal dengan Sunan Gunung Jati ikut

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 247


bersama para Wali Songo memproklamasikan
Kerajaan Islam Demak pada tahun 1481. Ada yang
berpendapat bila Syarif Hidayatullah keturunan
Syekh Maulana Akbar dari pihak ayah, maka Raden
Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak
ibu yang lahir di Cempa yang terkenal dengan nama
Puteri Dharawati (Darwati) yang menjadi Permaisuri
Maharaja Brawijaya V di Kerajaan Majapahit.
Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai
Sultan di seluruh tanah Jawa menggantikan peranan
Majapahit yang sudah runtuh dan bukan hanya di
Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara
Bagian bawahan dari Kerajaan Islam Demak. Hal ini
terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang
pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai
Sultan Cirebon. Hal ini sesuai dengan strategi yang
telah digariskan Maulana Rahmatillah atau Sunan
Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan dalam Wali
Sembilan. Agama Islam akan disebarkan di seluruh
tanah Jawa dengan Demak sebagai pusat
pemerintahan. Pada saat yang sama para Wali tetap

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 248


menjalin hubungan dengan Kerajaan Islam Pasai
sebagai sentral gerakan Islamisasi di Asia Tenggara.
Dalam banyak riwayat dan babad, Syarif
Hidayatullah dilukiskan sebagai seorang Ulama
kharismatik yang memiliki peranan penting dalam
pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di
pelataran Masjid Demak. Beliau ikut membimbing
Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima
hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu
kekebalan tubuhnya. Eksekusi yang dilakukan Sunan
Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya
Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging
di Kesultana Demak telah tercabut.
Setelah pendirian Kerajaan Islam Demak, antara
tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling
sulit dalam perjuangan dakwah Islam di tanah Jawa,
baik bagi Syarif Hidayatullah di Cirebon Jawa Barat
maupun Raden Patah di Demak Jawa Timur. Karena
pada masa ini proses Islamisasi secara damai
mengalami gangguan internal dari kerajaan Hindu
Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Kerajaan Hindu
Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur), yang

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 249


diperparah oleh gangguan external dari Portugis
yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.
Awal abad 16, seiring masuknya Portugis di
Malaka dan Pasai, Raja Pakuan merasa mendapat
sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif
Hidayatullah yang telah berkembang di Cirebon dan
Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam
kekuasaan Pakuan. Di saat yang genting inilah Syarif
Hidayatullah berperan membimbing Sultan Demak II
Pati Unus, pengganti Raden Patah yang juga
menantunya dalam pembentukan armada perang
gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di
Jawa dengan misi utama mengusir Portugis di Malaka
yang mengancam kedaulatan Kerajaan Islam Pasai.
Namun armada perang ini dikalahkan oleh Portugis
dan Pati Unus syahid di selat Malaka.
Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang
sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif
Hidayatullah merombak Pimpinan Armada Gabungan
yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai
dikenal dengan Fatahillah, untuk menggantikan Pati
Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 250


berikutnya dan menyusun strategi baru untuk
memancing Portugis bertempur di Jawa. Ketika Raja
Pakuan mengundang Portugis ke Sunda Kelapa, maka
saatnya bagi tentara Muslim menyerang mereka.
Maka pada tahun 1527 bulan Juni armada Portugis
datang dihantam serangan dahsyat dari tentara
gabungan Islam. Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa
secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon
dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus
Pasai mendapat gelar Fatahillah.
Sebelum wafat, Syarif Hidayatullah
menuntaskan tugas dakwahnya dengan menguasai
Kerajaan Pajajaran, menawan Pakuan ibu kota
Kerajaan Sunda pada tahun 1568 atau setahun
sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh
hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam
perundingan terakhir dengan para Pembesar istana
Pakuan, Syarif Hidayatullah memberikan 2 opsi. Yang
pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia
masuk Islam akan dijaga kedudukan dan
martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau
Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 251


masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak
bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton
masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk
diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo
sekarang yang dikenal dengan suku Baduy.

Pati Unus: Dari Jawa Memerangi Portugis


Membela Pasai
Nama asli Pati Unus adalah Raden Maulana
Abdul Qadir bin Muhammad Yunus. Beliau dijuluki
dengan Raden Adipati bin Yunus, dan orang Jawa
menyingkat menjadi Pati Unus. Beliau juga terkenal
dengan gelar Pangeran Sabrang Lor, artinya
Pangeran Sebrang Lautan, karena beliau adalah
Panglima besar yang memimpin langsung
penyerangan penjajah Portugis di Malaka dan
sekitarnya yang mulai mengancam eksistensi pusat
Islamisasi Asia Tenggara di Kerajaan Islam Pasai
bersama-sama dengan aliansi angkatan perang dari
Demak, Cirebon, Banten, Palembang, Makassar,
Malaka dan tentunya Pasai. Pati Unus lahir di Jepara,

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 252


Jawa Tengah pada tahun 1480 dan menjadi Sultan
Demak ke 2 pengganti Raden Patah dengan gelar
Sultan Akbar Al-Fattah 2.
Adapun silsilah Pati Unus adalah Maulana Abdul
Qadir (Raden Pati Unus) bin Syekh Muhammad Yunus
bin Syekh Khaliqul Idrus (Abdul Khaliq Al-Idrus) bin
Syekh Muhammad Al-Alsiy (wafat di Parsi) bin Syekh
Abdul Muhyi Al-Khayri (wafat di Palestina) bin Syekh
Muhammad Akbar Al-Ansari (wafat di Madinah) bin
Syekh Abdul Wahhab (wafat di Mekkah) bin Syekh
Yusuf Al-Mukhrowi (wafat di Parsi) bin Imam Besar
Hadramawt Syekh Muhammad Al-Faqih Al-
Muqaddam. Imam Faqih Muqaddam seorang Ulama
besar sangat terkenal di abad 12-13 M yang
merupakan keturunan cucu Nabi Muhammad,
Sayyidus Syuhada Imam Husayn putra Imam Besar
Sayyidina Ali bin Abi Talib Karromallohu Wajhahu
dengan Sayyidah Fatimah Al Zahra.
Dari pihak ibu, Pati Unus masih berhubungan
dengan para Maulana dan Ulama Pasai, terutama
Maulana Sayyid Hussein Jamadil Kubra (Maulana
Akbar). Menurut beberapa riwayat, kakek Pati Unus

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 253


yang bernama Syekh Khalikul Idrus (Abdul Khaliq Al-
Idrus) menikah dengan puteri Maulana Akbar di
Kerajaan Islam Pasai. Itulah sebabnya Pati Unus
masih memiliki darah Pasai karena ayahandanya
(Maulana Syekh Muhammad Yunus) diperkirakan
lahir dan mendapat pendidikan di Pasai dan
ditugaskan menjadi Maulana di daerah Jepara Jawa
Tengah untuk membantu saudara sepupu dari pihak
ibunya, Maulana Rahmatillah atau Sunan Ampel.
Pati Unus lahir dan besar dalam lingkungan Ahlul
Bayt yang sudah menjadi para Ulama dan Maulana di
Kerajaan Islam Demak. Beliau tumbuh dan belajar di
tengah-tengah pusat Islamisasi di tanah Jawa dan
pada masa-masa puncak kejayaan Islam yang
ditinggalkan oleh para Wali yang datang dari
Kerajaan Islam Pasai, terutama Maulana Rahmatillah
yang lahir di Pasai dan meninggal di Ampel
Surabaya. Kejayaan Demak telah mempengaruhi
kepribadian dan kepemimpinan Pati Unus sehingga
menjadi seorang pemuda yang alim, cerdas serta
berani. Itulah sebabnya Raden Patah, Sultan Demak
I, mengangkatnya menjadi menantu dan ketika akan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 254


wafat mewasiatkan agar Pati Unus menggantikan
beliau sebagai Sultan Kerajaan Islam Demak II atas
persetujuan Para Wali yang pada saat itu dipimpin
oleh Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati.
Berkat pendidikan orang tuanya yang Maulana
dan para guru-gurunya, terutama Maulana Syarif
Hidayatullah, Pati Unus tumbuh menjadi seorang
panglima perang yang gagah berani dan diangkat
menjadi bupati di Jepara. Namun berkat
kepribadiannya yang menonjol, gabungan antara
seorang Maulana, panglima perang dan
administratur pemerintahan, karirnya terus
menanjak dan diangkat menjadi Panglima angkatan
perang Kerajaan Islam Demak pada zaman Raden
Patah. Keutamaan yang dimilikinya pula telah
memikat hati para Wali dan Sultan sehingga Maulana
Abdul Qadir atau Pati Unus kemudiaan dinobatkan
menjadi Sultan dari Kerajaan Islam Demak.
Setelah Raden Abdul Qadir beranjak dewasa di
awal 1500-an beliau diambil mantu oleh Raden Patah
yang telah menjadi Sultan Demak I. Dari Pernikahan

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 255


dengan putri Raden Patah, Abdul Qadir resmi
diangkat menjadi Adipati wilayah Jepara (tempat
kelahiran beliau sendiri). Karena ayahanda beliau
(Raden Yunus) lebih dulu dikenal masyarakat, maka
Raden Abdul Qadir lebih lebih sering dipanggil
sebagai Adipati bin Yunus (atau putra Yunus).
Kemudian hari banyak orang memanggil beliau
dengan yang lebih mudah Pati Unus. Untuk
mempererat hubungan dengan Cirebon-Banten, Pati
Unus menikah lagi dengan Ratu Ayu putri Sunan
Gunung Jati tahun 1511.
Kemudian Pati Unus diangkat sebagai Panglima
Gabungan Armada Islam membawahi armada
Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon, diberkati
oleh mertuanya sendiri yang merupakan Pemimpin
Spiritual umat Islam di tanah Jawa, Syekh Syarif
Hidayatullah bergelar Sunan Gunung Jati yang telah
menjadi pemimpin tertinggi para Wali tanah Jawa.
Gelar Pati Unus yang baru adalah Senapati Sarjawala
dengan tugas utama merebut kembali tanah Malaka
yang telah jatuh ke tangan Portugis.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 256


Tidak diragukan bahwa Kerajaan Islam Demak,
Cirebon dan Banten di tanah Jawa adalah bagian
yang tidak terpisahkan dari Kerajaan Islam Pasai
sebagai pusat Islamisasi di Asia Tenggara. Itulah
sebabnya ketika penjajah kafir Portugis pada tahun
1511 menguasai Kerajaan Malaka dan mengancam
eksistensi Kerajaan Islam Pasai, maka para Wali,
Sultan dan petinggi Kerajaan Islam Demak mengatur
strategi untuk menyerang penjajah kafir Portugis di
Malaka. Di bawah kordinasi Kerajaan Islam Demak,
angkatan mujahidin Islam dari Demak, Bugis,
Makassar, Maluku-Ambon, Cirebon, Banten,
Palembang, Patani, Tanah Malaya dan tentunya dari
Pasai dan sekitar Aceh membentuk angkatan
mujahidin gabungan untuk melakukan operasi Jihad
ke Malaka.
Maka tahun 1513 dikirim armada kecil, ekspedisi
Jihad I yang mencoba mendesak masuk benteng
Portugis di Malaka tapi gagal dan angkatan mujahidin
balik kembali ke tanah Jawa. Kegagalan ini karena
kurang persiapan menjadi pelajaran berharga untuk
membuat persiapan yang lebih baik. Maka

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 257


direncanakanlah pembangunan armada besar
sebanyak 375 kapal perang di tanah Gowa, Sulawesi
yang masyarakatnya sudah terkenal dalam
pembuatan kapal.
Tahun 1518 Raden Patah, Sultan Demak I, atas restu
para Wali beliau berwasiat agar mantunya Pati Unus
diangkat menjadi Sultan Demak berikutnya. Maka
diangkatlah Pati Unus atau Raden Sayyid Abdul Qadir
bin Yunus, Adipati wilayah Jepara yang garis nasab
(Patrilineal)-nya adalah keturunan Ahlul Bayt
menjadi Sultan Demak II bergelar Sultan Alam Akbar
At-Tsaniy.
Penjajah Portugis terus melakukan penaklukan
demi penaklukan di sekitar Kerajaan Islam Pasai
untuk mempermudah penguasaan Pasai sekaligus
untuk meredam Islamisasi di Asia Tenggara dengan
menguasai jantung kekuasaannya di Pasai. Pada saat
yang sama, akibat serangan demi serangan yang
dilakukan Portugis, Kerajaan Pasai semakin lemah,
apalagi Kerajaan Pidier di sebelah barat telah
bersekutu dengan Portugis. Dalam keadaan yang
mencekam ini, salah satu jaringan Kerajaan Islam di

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 258


ujung barat Sumatra, memproklamirkan berdirinya
sebuah kerajaan baru pada tahun 1514 yang
bernama Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin
oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Akhirnya Pasai jatuh
ke Portugis pada tahun 1521, dan selanjutnya
peranan Pasai sebagai pusat Islamisasi Nusantara
digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang
sudah semakin kuat.
Kejatuhan Pasai ke tangan penjajah kafir Portugis
telah menimbulkan kesedihan mendalam pada para
petinggi Demak, Cirebon, Banten dan jaringan
Kerajaan Islam lainnya. Terutama Pati Unus yang kini
telah menjadi Sultan Demak. Beliau tidak rela tanah
leluhurnya di Pasai terjajah oleh kaum kafir. Pada
tahun itu juga, 1521, Pati Unus dengan kekuatan 375
kapal perang yang telah selesai dibangun di Wajo
Sulawesi siap kembali berjihad melawan kafir
Portugis membebaskan Pasai dan Malaka. Walaupun
baru menjabat Sultan selama 3 tahun Pati Unus tidak
sungkan meninggalkan segala kemewahan,
kemudahan dan kehormatan dari kehidupan istana
tanah Jawa bahkan ikut pula 2 putra beliau yang

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 259


masih sangat remaja. Demi Islam, Sang Sultan
Demak sendiri memimpin armada perang yang
terdiri dari gabungan jaringan kerajaan Islam.
Armada perang Islam siap berangkat dari
pelabuhan Demak dengan mendapat pemberkatan
dari Para Wali yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati.
Armada perang yang sangat besar untuk ukuran dulu
bahkan sekarang. Dipimpin langsung oleh Pati Unus
bergelar Senapati Sarjawala, Sultan Demak II.
Armada perang Islam yang sangat besar berangkat
ke Malaka dan Portugis pun sudah mempersiapkan
pertahanan menyambut Armada besar ini dengan
puluhan meriam besar pula yang mencuat dari
benteng Malaka.
Ketika mendarat di Malaka, kapal yang
ditumpangi Pati Unus terkena peluru meriam. Beliau
gugur sebagai Syahid karena berperang melawan
penjajah kafir dan kewajiban membela kaum Muslim
yang tertindas. Sebagian pasukan Islam yang
berhasil mendarat kemudian bertempur dahsyat
hampir 3 hari 3 malam lamanya dengan
menimbulkan korban yang sangat besar di pihak

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 260


Portugis, karena itu sampai sekarang Portugis tak
suka mengisahkan kembali pertempuran dahsyat di
tahun 1521 ini.
Armada Islam gabungan yang menderita banyak
korban kemudian memutuskan mundur kembali ke
tanah Jawa untuk membangun kekuatan dan strategi
baru. Sementara jihad demi jihad terus dilanjutkan
para mujahidin Islam terhadap penjajah kafir Portugis
di bawah komando Kerajaan Aceh Darussalam yang
bangkit menjadi bintang baru Islam di ujung barat
Sumatra, sebagai kelanjutan Kerajaan Islam Pasai.
Setelah Pati Unus gugur sebagai syahid di
Malaka, maka komando armada gabungan Islam di
tanah Jawa diambil alih oleh Fadhlulah Khan yang
terkenal dengan julukan Tubagus Pasai atau Sang
Pangeran Pasai atau Falathehan alias Fatahillah yang
diangkat Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati
sebagai Panglima Armada Gabungan yang baru.
Sang Maulana gagah perkasa, Sayyid Abdul
Qadir bin Syekh Muhammad Yunus, Adipati Yunus,
Pati Unus dengan gelar Sultan Akbar Al-Fattah Al-
Tsany sudah menunaikan tugasnya, dan kembali

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 261


kehadirat Illahi sebagai syuhada dalam membela
agama, kaum muslimin dan tanah leluhurnya di
Pasai.

Fatahillah: Pangeran Pasai Pendiri Jakarta


Fatahillah adalah gelar yang diberikan kepada
Maulana Fadhilah Khan Al-Pasee yang telah berhasil
merebut pelabuhan Sunda Kelapa dari penjajah
Portugis pada bulan juni 1527. Setelah direbutnya
kota itu dinamakannya dengan Jaya Karta atau Kota
Kemenangan (al-Fath), yang sekarang dikenal
dengan Jakarta ibukota negara Indonesia. Sementara
penjajah Portugis mengenalnya dengan nama
Falatehan. Pribadinya yang memikat, cerdas, alim
dan pemberani telah menjadikannya sebagai tokoh
legendaris di Asia Tenggara. Sampai-sampai orang
Malaya mengakuinya sebagai tokoh legenda
Laksamana Hang Tuah dari Kerajaan Malaka pada
masa Sultan Mahmud Syah yang memerintah

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 262


kesultanan Malaka pada tahun 1488-1511 yang
menjabat sebagai Panglima Pengawal Selat Malaka.
Maulana Fadhilah lahir di Kerajaan Islam Pasai
sekitar tahun 1471, itulah sebabnya beliau bergelar
Fadhilah Khan Al-Pasee yang di tanah Jawa disebuat
sebagai Tubagus Pasee atau Pangeran dari Pasai.
Beliau lahir dari lingkungan kerabat istana Kerajaan
Pasai dari pihak ibu, sementara ayahadanya adalah
seorang Petinggi Pasai, Ulama dan Maulana yang
terkenal dengan gelar Maulana Makhdum Patakan
Ibrahim yang hidup pada masa pemerintahan Ratu
Nahrishah (1424) sampai Sultan Mudzafar Syah
(1497). Dalam sejarah Melayu, ayah beliau ini
terkenal sebagai penterjemah kitab Durrul Manzum,
karya Abu Ishaq ulama Mekkah yang diserahkan
kepada Sultan Malaka Sultan Mansyur Syah dan
meminta bantuan raja Pasai Sultan Muzafar Syah
(wafat 1497) menerjemahkan kitab tersebut. Tugas
ini dilakukan oleh Ulama besar Pasai Makhdum
Patakan Ibrahim, ayahanda Maulana Fadhilah.
Sementara Makhdum Patakan adalah cucu dari
Maulana Sayyid Hussein Jamadil Kubra.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 263


Secara lengkap silsilah beliau adalah: Maulana
Fadhilah Khan (Fatahillah) bin Maulana Makhdum
Nuruddin Ibrahim Patakan bin Sayyid Maulana Alam
Baraqat Syekh Maulana Ismail bin Sayyid Hussein
Jamadil Kubra (Maulana Akbar Hussien) dan
seterusnya yang bersambung sampai dengan
Sayyidina Hussein bin Sayyidina Ali ra, cucu Nabi
Muhammad saw. Jadi sebenarnya beliau juga adalah
keluarga satu buyut dari Maulana Rahmatillah (Sunan
Ampel) dan juga Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung
Jati).
Maulana Fadhilah hidup dan berkembang di
penghujung masa kegemilangan Kerajaan Pasai
dengan segala kelimpahan dan kemakmurannya dan
menjadi penaung bagi kerajaan-kerajaan Islam yang
baru berkembang di Nusantara. Beliau belajar di
bawah asuhan para Ulama dan Maulana yang
menjadi rujukan utama kaum Muslimin dan sebagai
pusat pengkajian Islam tingkat tinggi dengan sistem
zawiyah yang kemudian di tanah Jawa di kenal
dengan pesantren. Karena Maulana Fadhilah adalah
anak seorang Maulana terkemuka Pasai, Maulana

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 264


Makhdum Ibrahim Patakan, maka wajarlah jika
ayahandanya mengharapkan beliau menjadi Ulama
kelak. Namun Sang Pangeran lebih cendrung tumbuh
sebagai seorang panglima gagah perkasa.
Setelah beranjak dewasa, Maulana Fadhilah hilir
mudik berlayar dari Pasai ke Malaka. Ketenaran
ayahandanya di Malaka sebagai Ulama besar Pasai
telah menempatkannya di dalam lingkungan istana
Malaka. Apalagi di Malaka Pangeran Pasai muda ini
dengan gagah perkasa memperlihatkan
kepiawaiannya sebagai pendekar ulung yang mampu
menggerakan Jong (perahu layar) dan dengan lincah
memburu setiap perompak yang mengacau di Selat
Malaka. Maka tak mengherankan bila banyak para
petinggi kerajaan, baik Pasai ataupun Malaka merasa
hormat dan segan kepada Pangeran Pasai ini.
Pada usinya yang ke 24, pada tahun 1495/6
diangkat menjadi Hulubalang Malaka oleh Sultan
Mahmud Syah (1488 – 1528). Selanjutnya Maulana
Fadhilah Sang Pangeran Pasai ini mendapat gelar
Laksamana Hang Tuah, Panglima Pengawal Selat
Malaka. Naskah Cina menyebutkan, bahwa Kaisar

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 265


pernah memberikan hadiah khusus kepada Hang
Tuah, karena keberhasilannya menyelamatkan kapal-
kapal dagang Cina dari perompak di selatan Selat
Malaka. Setelah 15 tahun berkarier sebagai
Laksamana Hang Tuah, Fadhilah berhenti tahun
1508, dan pada tahun 1509 Sang Pangeran kembali
ke Pasai tanah kelahirannya.
Sekembalinya di Pasai, Sang Pangeran
memperdalam pengetahuan keislaman kepada para
Ulama, Maulana dan Auliya yang mendapat tempat
terhormat di Kerajaan Pasai. Kecerdasan dan
ketekunan yang didukung oleh garis keturunan
(genetik unggul) telah mengantarkan Sang Pangeran
sebagai seorang Maulana terkemuka di Pasai dengan
kedudukan tinggi.
Disebutkan ketika pasukan gabungan Islam
pimpinan Pati Unus (Adipati bin Yunus atau Maulana
Abdul Qadir) menyerang Malaka pada tahun 1513
yang sudah dikuasai Portugis sejak 1511, Maulana
Fadhilah ikut andil sebagai salah seorang Panglima
perang. Kegagalan mengalahkan Portugis pada
ekspedisi Jihad I ini telah membulatkan tekad Sang

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 266


Pangeran muda ini untuk belajar lebih giat
menguasai teknologi perang. Karena Portugis
memiliki teknologi perang yang canggih sehingga
gabungan angkatan Islam kalah.
Pasai tidak cukup baginya, dan atas dukungan
Sultan dan para Ulama Pasai, sekitar tahun 1516
beliau berangkat memperdalam pengetahuan ke
Gujarat India, tempat asal usul moyangnya, Maulana
Syah Jalal Al-Akbar dan turunannya yang menjadi
Petinggi Kerajaan Thaglug. Di Gujarat beliau
mendapat gelar sebagai Maulana Fadhilah Khan.
Selanjutnya beliau mengembara belajar menuju
pusat-pusat ilmu Islam dan teknologi seperti Mekkah,
Madinah, Mesir, Baghdad, Samarkand dan Turki. Di
Turki beliau mempelajari teknologi persenjataan,
terutama pembuatan meriam.
Sang Pangeran dalam perjalanan belajarnya,
diriwayatkan pernah ikut berperang bersama
pasukan Turki sebagai salah seorang Panglima untuk
menduduki Konstantinopel. Setelah pasukannya
berhasil menduduki Konstantinopel dan merubahnya
menjadi Istambul, nama beliau sangat terkenal.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 267


Beliau diundang pulang untuk bergabung untuk
membesarkan Kesultanan Demak di tanah Jawa.
Maulana Fadhilah diundang para pemimpin Wali
Songo yang masih paman-pamannya sendiri agar
bisa membawa para ahli pembuat meriam untuk
bergabung dengan Kesultanan Demak dalam
menghadapi Portugis. Tidak satupun kerajaan di
Nusantara di masa itu yang memiliki tekhnologi
pembuatan meriam.
Setelah 5 tahun belajar ke penjuru dunia,
Maulana Fadhilah Khan pulang ke Pasai pada tahun
1521. Namun pada saat itu peperangan tengah
berkecamuk yang dipicu oleh ambisi penjajah
Portugis, sehingga kapal beliau tidak dapat berlabuh
di Pasai dan langsung ke Palembang-Bengkulu
sebagai pusat baru perlawanan kaum muslimin di
sebelah timur. Sementara di barat berpusat pada
Kerajaan Aceh Darussalam yang baru
diproklamasikan oleh Sultan Ali Mughayyat Syah
pada tahun 1514. Selanjutnya Maulana Fadhilah
melanjutkan pelayarannya ke tanah Banten, tempat
pamannya yang sudah menjadi Pemimpin Spiritual

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 268


(Aulia) Kerajaan Islam Demak-Cirebon-Banten
bernama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati, sebagai mana yang diungkapkan dalam buku
catatan pelayaran Achmad Ghulam Khaan yang
ditulis tahun 946 Hijriah atau 1539 M, dan ditulis
ulang oleh Musthafa Khaan, India 1973.
Kedatangan Maulana Fadhilah Khan Pangeran
Pasai ke tanah Jawa disambut gembira oleh armada
gabungan tentara Islam yang tengah
mempersiapkan ekspedisi Jihad II untuk
membebaskan Malaka dari penjajah Portugis yang
dipimpin langsung oleh Sultan II Kerajaan Demak,
Pati Unus. Sunan Gunung Jati sebagai Pemimpin
tertinggi spiritual Wali Songo menunjuk Fadhilah
Khan Al-Pasee sebagai Wakil Panglima angkatan
perang gabungan Demak, Cirebon, Banten,
Makassar, Palembang, Pasai, Malaka, Aceh dan
lainnya. Pasukan berangkat dari pelabuhan Demak
Jawa dengan kekuatan 375 kapal perang. Pada
kesempatan ini Maulana Fadhillah Khan dianugrahi
gelar Raden Hidayat Tubagus Pasai dari Kerajaan
Banten dan Wong Ageng Pasai dari Kerajaan Demak.

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 269


Ternyata ekspedisi Jihad II mengalami kekalahan
telak setelah berperang 3 hari 3 malam, Sultan
Demak II Pati Unus bersama 2 putranya syahid di
Malaka. Komando tertinggi diambil alih Maulana
Fadhilah dan memerintahkan pasukan mundur
kembali ke tanah Jawa. Kekalahan ini telah memberi
pengaruh mendalam kepada Tubagus Pasai Fadhullah
Khan terhadap penjajah Portugis. Setelah Armada
Gabungan kembali ke tanah Jawa, beliau diangkat
menjadi pengganti Pati Unus sebagai Panglima
Armada Islam Gabungan tanah Jawa dan dinikahkan
oleh Sunan Gunung Jati dengan putri beliau, Ratu Ayu
janda Pati Unus untuk memperkuat kekerabatan.
Beliau menetap di Kerajaan Cirebon-Banten bersama
dengan sisa-sisa pasukan perangnya untuk mengatur
kembali strategi mengalahkan Portugis. Beliau
ditugaskan mertuanya Maulana Syarif Hidayatullah
memperkuat koalisi Kerajaan Islam di Jawa, terutama
Demak-Cirebon-Banten dalam menghadapi Kerajaan
Hindu Pakuan-Galuh-Pajajaran.

Kegagalan ekspedisi Jihad II di Malaka 1521


membuat kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa,

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 270


terutama Demak-Cirebon-Banten mengambil sikap
defensif dan memancing Portugis untuk datang
menyerang ke tanah Jawa. Akhirnya saat yang
ditunggu-tunggu tiba jua setelah Kerajaan Hindu
Galuh berkoalisi dengan penjajah Portugis. Bulan Juni
1527, Portugis yang telah merasa diatas angin
mencoba menguasai pelabuhan Sunda Kelapa di
wilayah Jakarta Utara sekarang. Dengan persiapan
yang matang, gabungan armada Islam dibawah
pimpinan Maulana Fadhullah Khan Tubagus Pasai,
Wong Ageng Pasai langsung meluluhlantakkan
penjajah kafir Portugis bersama pasukan dan antek-
anteknya. Kemenangan besar berada di pihak Islam,
Maulana Fadhullah Khan atau Tubagus Pasai diberi
gelar baru Fatahillah, yang berarti Kemenangan
Allah SWT. Kemenangan besar ini kemudian
dirayakan sebagai hari lahir Jayakarta dan kemudian
disebut Jakarta sampai sekarang (22 Juni 1527).

Setelah kemenangan ini Maulana Fadhullah


Khan, Tubagus Pasai, Wong Ageng Pasai atau
Fatahillah diangkat Sunan Gunung Jati sebagai
Penasehat Agung Kesultanan Cirebon-Banten yang

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 271


kini tengah berusia mendekati 60 tahun. Kota
Jayakarta diserahkan ke menantu Fadhullah Khan,
anak Maulana Hasanuddin atau cucu Maulana Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang bergelar
Tubagus Angke. Setelah wafatnya Tubagus Angke
diserahkan kepada putra beliau Pangeran Jayakarta
yang kemudian pada 1619 karena kalah dalam
konflik dengan VOC-Belanda, meninggalkan Jayakarta
yang dibumihanguskan.

Akhir perjalanan panjang hidup Sang Pangeran


Pasai yang gagah dan berani ini, sepanjang 40 tahun
lebih, memilih tugas menyiarkan agama Islam
sebagai da'i, pembimbing spiritual dan menjadi
ulama dan maulana di Tanah Pasundan di Jawa Barat.
Beliau sangat terkenal sebagai seorang Maulana
yang menguasai ajaran-ajaran tasawwuf, namun
beliau juga bergandeng bahu dengan Syarif
Hidayatullah menaklukkan kerajaan-kerajaan Hindu
yang tersisa di Jawa Barat sebagai penasihat dan
pemimpin spiritual bagi Sultan-sultan muda Kerajaan
Islam. Demikian pula bersama dengan Syarif
Hidayatullah, Maulana Fadhilah Khan Tubagus Pasai

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 272


ikut andil menaklukkan Kerajaan Sunda-Pakuan di
wilayah Bogor Jawa Barat pada tahun 1568, atau dua
tahun sebelum beliau wafat.
Maulana Fadhilah Khan Al-Pasee, Tubagus Pasee,
Wong Ageng Pasee, Fatahillah Al-Pasee putra
Maulana Makhdum Patakan Ibrahim seorang ulama
besar sufi yang hidup dimasa kejayaan Kerajaan
Islam Pasai, juga dikenal dengan Maulana Fatahillah
ibnu Sayyid Kamil Maulana Mukhdum Ibrahim
(Makhdum Patakan Ibrahim) Rahmattullah ibnu
Syeikh Nuruddin Ibrahim Maulana Ismail, wafat di
tanah Pasundan Jawa Barat, tepatnya di Cirebon
pada tahun 1570 dalam usia hampir 100 tahun.
Beliau di makamkan berdampingan dengan keluarga,
sahabat dan gurunya, seorang Auliya dan Maulana,
Syarif Hidayatullah yang sudah wafat mendahului
beliau dua tahun di komplek pemakaman Sunan
Gunung Jati, di Gunung Sembung Cirebon.

BERSAMBUNG.....................

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 273


Mohon doa agar Allah SWT selalu melapangkan
penulis dalam menyelesaikan penelitian ini

Sejarah Perjuangan Ummah Aceh-Sumatra 274

Anda mungkin juga menyukai