Anda di halaman 1dari 17

Pada abad-abad yang lalu, banyak negeri di Nusantara

ini yang telah memiliki tata perundang-undangan yang

cukup lengkap. Bentuk kerajaan atau kesultanan tak

berarti bahwa negeri-negeri itu tak memiliki tata

hokum dan aturan yang memadai. Dasar, landasan, dan

bentuk hukum kenegaraan telah dirancang dan

diterapkan pada masa lalu.

Di Aceh Darussalam, telah muncul beragam kitab

perundang-undangan. Yang paling terkenal ialah al-

Qanun Tadhqirah Tabaqat Bustan Sultan as-Salatin fi

Khazinat al-Qanun Meukuta ‘Alam al-Asyi Dar as-Salam,

yang lebih dikenal sebagai Bustan as-Salatin, karangan

Nuruddin ar-Raniri. Selain itu, ada kitab lainnya yang

tak kalah terkenal: Qanun Meukuta Alam fi al-Asyi,

syarahan Teungku di Mulek, ulama Aceh yang hidup pada

abad ke 19 Masehi. Kitab ini kemudian disalin ulang dan


dialihaksarakan oleh Mohammad Kalam Daud, dan T.A.

Sakti, disunting oleh Darni M. Daud, dengan judul

Qanun Meukuta Alam dalam Syarah Tadhkirah Tabaqat

Tgk. Di Mulek dan Komentarnya diterbitkan oleh Syiah

Kuala University Press, pada tahun 2010.

Menurut Darni M. Daud pada kata pengantar buku ini,

Qanun Meukuta Alam telah tak utuh lagi, karena sudah

bercampur dengan beragam komentar. Meskipun

demikian, menurutnya lagi, aturan-aturan yang

termaktub di dalamnya cukup menyeluruh. Kerajaan

Aceh Darussalam dibangun, diurus dan dikelola secara

bersama sekalian penghuninya, walaupun negeri ini

berbentuk kerajaan.
Peraturan perundang-undangan ini menunjukkan bahwa

masyarakat Aceh telah memiliki hokum yang canggih

pada 2 atau 3 abad yang lalu. Hukum merata membawahi

setiap manusia di sana. Sekalipun kepada anak raja,

hukum tetap ditegakkan.

Kitab ini terdiri dari 16 bab. Pada tulisan ini kami

mengutip sebagian subbab dalam beberapa bab yaitu:

(1) tentang akhlak raja pada halaman 10-11, (2) tentang

pegangan raja dan rakyat pada halaman 11-15, kedua

subbab ini temasuk dalam bagian Bab Dua: Kerajaan

Aceh Darussalam, (3) Rukun Kerajaan Sultan pada

halaman 78, (4) Berhukum dengan Firman Allah Ta’ala

pada halaman 79-80, dan (5) Bangsa Jangan Lupa Diri

pada halaman 80-81, ketiganya menjadi sub bab dari

Bab Delapan: Rukun Kerajaan dalam Negeri Aceh.


Komunitas NuuN mencoba menghadirkan sedikit kutipan

dari Kitab ini dengan maksud agar kita semua dapat

“mencicipi” sedikit khazanah masa lalu bangsa kita

mengenai perundang-undangan

Akhlak Raja

Maka ketahui olehmu hai talib, bahwa tiap-tiap raja

atau rais jumhurjyyah dan sekalian wazirwazir dan

hulubalang dan sekalian panglima; yaitu yang ada

pangkatnya dan martabatnya dan jabatannya, maka

janganlah pekerjaannya aniaya, zalim dan khianat

kepada rakyat. Dan janganlah diberikan sakit hati

rakyat. Dan jangan mengharap banyak senjatanya dan


kuat laskarnya dengan kerasnya menindih rakyat dan

bermusuhan dengan rakyat.

Maka jikalau ada demikian sudah terang pemerintahnya

tidak kuat dan tidak aman; goyang selamalamanya, hanya

menunggu waktu ketika saat saja. Maka tiap-tiap raja

negeri atau rais hendaklah beserta dengan rakyat yang

amat kuat dan bulat. Serta mencari belaian kasih

sayang rakyat negeri serta istimewa kepada alim ulama.

Maka bertambah-tambah kuat raja dan pemerintah.

Sebab karena raja dengan rakyatnya itu seperti jasad

dengan ruh, maka jasad tidak ada ruh, maka jasad itu

tiadalah hidup. Sebab ruh telah keluar maka jasad

tiadalah boleh bergerak-gerak lagi karena telah mati.

Maka pasti merasakan jasad itu hancur luruh. Maka

demikian antara pemerintah dengan rakyat.


Pegangan Raja dan Rakyat

Syahdan, maka ketahui olehmu hai taljb, bahwasanya

raja atau rais sekali-kali tidak boleh bercerai dengan

rakyat. Yaitu misal umpamanya daging dengan darah dan

tulang dengan urat dan bulu dengan kulit dan hati

dengan jantung dan akal dengan pikir. Maka demikianlah

raja-raja atau rais, yakni kepala negara dengan rakyat

yaitu seperti jasad. Jika satu urat tersalah atau satu

tulang tersalah atau patah, niscaya maka susahlah jasad

menanggung sakitnya. Maka demikianlah raja-raja

dengan sekalian rakyat. Sebab adalah asal raja itu dari

pada rakyat dan dengan pilihan rakyat jua. Dan bukan

asal rakyat dari pada raja.


Akan tetapi adalah raja itu buat mengurus rakyat dan

sekalian pemerintah negeri dengan berpegangan yang

tetap lagi kokoh, yaitu: Pertama, ikrar dan tasdiq

dengan pengakuan yang sah beriman kepada Allah dan

Rasulullah Saw. Menghentikan sekalian tegah Allah dan

tegah Rasulullah Saw. Kedua, berkasih sayang kepada

sekalian manusia anak Adam dan istimewa raja kasihnya

kepada rakyat. Sebab jika tiada rakyat, maka di

manakah raja. Ketiga, yaitu tolong bertolongan antara

satu sama lain dengan keadilan dan kebenaran dari raja-

raja kepada rakyat. Dan dari rakyat hendaklah taat

dengan kasih sayang kepada raja dan rais. Keempat,

hendaklah raja membikin kemakmuran dan memberi

kesenangan kepada rakyat. Maka rakyat itu anak kepada

raja dan raja itu ayah kepada rakyat. Dan negeri itu

bunda kepada rakyat dan raja itu suami kepada negara.


Kelima, rakyat maka yaitu ada haknya masing-masing.

Rakyat menegah sekalian pekerjaan yang zalim. Dan

boleh memakzulkan raja oleh rakyat dengan beristifad

sekalian rakyat, apabila raja atau rais itu zalim.

Dan berhak raja bersuara. Dan tiada boleh rakyat

berkhianat atas perintah raja atau rais, jika perintah

itu memberi keuntungan kepada kemakmuran rakyat dan

keamanan negeri dan keadilan yang sama dengan Tertib

Majelis masing-masing rakyat. Maka jika rakyat

berkhianat kepada yang .benar maka dihukumnya dengan

hukuman satu tahun dalam pageue dan kena adat qanun

makruf dan uruf setahil dua mas. Tetapi jika benar

halnya, maka mendapat hadiahnya dari pada negeri dua

tahil empat emas, akan tetapi dengan sempurna segala

keterangannya yang sah.


Maka inilah hak rakyat yang termaktub dalam Qanun

Meukuta (Alam al-Asyi Darussalam.

Seperti firman Allah Ta'ala: Innalladhina tafarraqu

dinahum wa kanu syiya’an innama amruhum ilallah

thumma yunabbi-uhum bima kanu yaf’alun .

Artinya: Bahwa sesungguhnya orang-orang yang

bercerai berai mereka itu pada agamanya dan ada

mereka itu berpuak-puak dan berkafilah-kafilah,

berpartaipartai, maka sekali-kali tiadalah engkau hai

Nabi Muhammad dari pada mereka itu pada sesuatu

juga.
Hanya sesungguhnya perbuatan itu masing-masing

terserah kepada Allah Ta'ala. Dan kemudian hari Allah

Ta’ala akan mengkhabarkan dan membalas akan mereka

itu masing-masing dengan apa-apa yang telah

memperbuat mereka itu akan dia.

III Rukun Kerajaan Sultan

Telah termaktub dalam Kitab a1Qanun Tadhqirah

Tabaqat Bustan Sultan as-Salatin fi Khazinat alQanun

Meukuta “Alam al-Asyi Dar as-Salam bahwa menyatakan

_ rukun kerajaan sultan atau rais jumhuriyyah, yaitu

empat perkara: yang pertama, pedang keadilan. ]ika

tiada pedang, maka tidak ada kerajaan. Kedua, qala.

Jika tidak ada kitab undangundang tidak ada kerajaan.


Ketiga, ilmu. Jika tidak mengetahui ilmu dunia dan

akhirat, tidak bisa mengatur kerajaan. Keempat, kalam.

Jika tidak ada bahasa maka tidak bisa berdiri kerajaan.

Maka dalam negeri Aceh adalah empat perkara:

pertama, ilmu bisa memegang pedang. Kedua, ilmu bisa

menulis. Ketiga, ilmu bisa mengetahui menyusun dan

mengatur negeri. Keempat, kalam ada bahasa dan nama

masingmasing.

N Berhukum dengan Firman Allah Ta'ala

Pasal Bab Firman Allah Ta'al: Wa man Iam yahkum bima

anzala Allah fa ulajka hum a1 -kaf1'run . Fa u1a1' ka

hum a1-za11'mun . Fa ulaika hum a] -fasjqun .


Artinya: Barang siapa tiada mengh ukumkan dengan

hukum Allah Ta 'ala, yakni hukum Quran, maka mereka

itulah yang kafir, lagi zalim, lagi fasiq.

Bahwa jika raja adil, maka yaitu: (pertama), berilmu

dunia dan ilmu akhirat. Kedua, kuat iman takut kepada

Allah dan malu

kepada Rasulullah serta mengerjakannya syariat Nabi.

Ketiga beramal

salih. Keempat, berbuat adil‘ kepada sekalian rakyat.

Kelima, melawankan hawa nafsu syaitan. Keenam,

maksud selamat dan bahagia dunia dan akhirat.


Bahwa jika raja zalim, maka yaitu: Pertama, jahil

perbuatannya. Kedua, yaitu fasik dan daif imannya.

Ketiga ‘asi kepada Allah dan zalim hukumnya. Keempat,

beramal dengan amalan maksiat. Kelima, menurut

kehendak hawa nafsu syaitan. Keenam, maksud selamat

dunia saja.

Bahwa negeri Aceh Darussalam adalah negeri hukum

yang mutlak sah dan bukan negeri hukuman yang mutlak

sah. Dan rakyat bukan patung yang berdiri di tengah

padang, akan tetapi rakyat seperti pedang sembilan

mata yang amat tajam; lagi besar matanya; lagi panjang

sampai ke timur dan ke barat; jangan dipermudah

sekali-kali rakyat.
V Bangsa Jangan Lupa kepada Diri

Pasal bab tiap-tiap bangsa jangan lupa kepada diri

sendiri. Yaitu kepada alam dan kepada negeri dan

kepada hidup dan kepada tabi'at dan kepada gagah dan

kepada berani dan kepada tertib, sopan dan kepada

perusahan dan kepada kelakuan. Dan ingat selama-lama

itulah ruh patriot yang kuat, yang tajam lebih dari pada

besi apapun juga dan lebih panas daripada api dan lebih

keras daripada angin dan yang lebih daripada laut yang

tidak bertepi dan lebih tinggi daripada matahari yang

pada langit yang keempat. Maka itulah yang kami

katakan semangat ruh patriot yang kamu sirnpankan

wahai sekalian bangsa kami yang rakyat Aceh semuanya.

Bahwa jangan sekali-kali diberikan negeri kita Aceh ini

kepada musuh daripada bangsa apapun juga yang hendak

menduduki negeri Aceh ini. Maka hancurkan oleh kamu


hai segala putra Aceh dengan sungguh dan ikhlas sebab

tiap-tiap bangsa yang telah kena tindih oleh bangsa lain,

maka tandanya bangsa itu tiada harga lagi pada mata

dunia luar, yaitu timur dan barat.

Dan ingat-ingat hai sekalian bangsa kami yang rakyat

Aceh, bahwa musuh kita yang terbesar ialah bangsa

(kulit) putih, istimewa telah berperang dengan kita

yaitu Portugis. Akan tetapi' dekat dengan diri kita

masingmasing, yaitu dengki dan bercerai berai. Dan

senjata kita yang amat kuat lagi tajam, yaitu persatuan

dan ikhlas lahir batin. Maka persatuan dan ikhlas, maka

inilah senjata yang tidak dapat dikalahkan oleh musuh.

***
Demikian kutipan ringkas kami atas Kitab Qanun

Meukota Alam. Tentu saja ada banyak catatan yang

dapat kita lihat dari kutipan di atas. Selain “mencicip”

perundangan pada masa lampau, kita pun dapat

merasakan resam Bahasa yang meski berbeda tetapi tak

terlalu jauh dengan keseharian berbahasa kita.

Mudah-mudahan bermanfaat...

L Wazir: menteri, pembantu raja/presiden 2. Kepala

laskar, pemimpin pasukan, kepala negeri, prajurit

pengawal 3. Pembenaran, mengakui kebenaran 4.

Makzul: diturunkan (dari pangkat, jabatan) 5. sepakat 6.

Menurut aturan perundangundangan 7. Pageue: Pagar. Di

sini dimaksudkan nama suatu tempat


tahanan/kurungan/penjara 8. QS 6: 159 9. Q-S 5:44

10. Q.S 5:45 11. QS 5:47 12. Usaha, perbuatan

Anda mungkin juga menyukai