Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 .Definisi

Tuberkulosis atau TB adalah penyakit infeksius yang terutama

menyerang parenkim paru. Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular

yang disebabkan oleh bakteri mikrobacterium tuberkulosis yang merupakan

salah satu penyakit saluran pernapasan bagian bawah yang sebagian besar basil

tuberkulosis masuk kedalam jaringan paru melalui airbone infection dan

selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai fokus primer dari ghon (

Hood Alsagaf, 1995 dalam KMB I, 2013)

Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh

mikobacterium tuberkulosa, yakni bakteri aerob yang dapat hidup terutama di

paru atau di berbagai organ tubuh lainnya yang mempunyai tekanan parsial

oksigen yang tinggi. (Tabrani, 2010)

2.2 Etiologi

a. Agen infeksius utama, mycobacterium tuberkulosis adalah batang

aerobik tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap

panas dan ultraviolet

b. Mycobacterium bovis dan mycobacterium avium pernah pada kejadian

yang jarang berkaitan dengan terjadinya infeksi tuberkulosi

4
2.3. Klasifikasi

Klasifikasi TB paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik,

radiologi dan riwayat pengobatan. Klasifikasi ini penting karena merupakan

salah satu faktor determinan untuk menetapkan strategi terapi. Sesuai dengan

program pencegahan penyakit TB klasifikasi TB paru dibagi sebagai berikut:

a. TB paru BTA positif dengan kriteria :

1) Dengan atau tanpa gejala klinik

2) BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif satu

kali disokong biakan positif satu kali atau disokong radiologik satu

kali

3) Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru

b. TB paru BTA negatif dengan kriteria :

1) Gejala klinik dan gambaran radiologi sesuai dengan TB paru aktif

2) BTA negatif, biakan negatif tetapi radiologi positif

c. Bekas TB paru dengan kriteria :

1) Bakteriologi (mikroskopik dan biakan) negatif

2) Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru

3) Radiologi menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan

serial foto yang tidak berubah

4) Ada riwayat pengobatan OAT yang adequat (lebih mendukung)

5
2.4.Penularan dan faktor-faktor resiko

Sumber penularan adalah penderita TB paru dengan BTA positif yang

ditularkan dari orang ke orang dengan transmisi melalui udara. Individu

terinfeksi melalui dahak ketika berbicara, batuk, bersin, tertawa atau bernyanyi

melepaskan droplet. Droplet yang besar menetap dalam udara bebas selama 1-2

jam, bahkan dapat bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan tergantung

pada ada tidaknya sinar ultra violet, ventilasi yang baik serta kelembaban

partikel ini kemudian droplet yang kecil tertahan di udara dan terhirup oleh

individu yang rentan. (Tabrani, 2010)

Tidak semua pasen TB Paru akan menularkan penyakitnya, pasien TB

Paru yang dapat menularkan penyakitnya ke orang lain adalah pasien yang

pada pemeriksaan dahak secara mikroskopik ditemukan BTA sekurang-

kurangnya 2 kali dari 3 kali pemeriksaan atau disebut BTA Positif. Seorang

pasien TB yang pada pemeriksaan dahak secara mikroskopik 3 kali tidak

ditemukan BTA tetapi pada pemeriksaan radiologi ditemukan kelainan yang

mengarah pada TB aktif maka disebut BTA Negatif, BTA negatif yang telah

diobati selama 2 minggu kecil kemungkinannya menularkan penyakit ke orang

lain. BTA negatif diperkirakan akan menjadi BTA Positif dalam jangka waktu

2 tahun bila tidak diobati (Depkes RI, 2002).

Penularan TB Paru juga dapat terjadi pada Individu yang beresiko tinggi

untuk tertular tuberkulosis adalah:

a. Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB

aktif

6
b. Individu imunosupresif (termasuk lansia, pasien dengan kanker,

mereka yang dalam terapi kortikosteroid atau mereka yang

terinfeksi dengan HIV)

c. Pengguna obat-obat IV dan alkoholik

d. Setiap individu tanpa perawatan kesehatan yang adequat

e. Setiap individu yang gangguan medis yang sudah ada sebelumnya

f. Imigran dari negara dengan insiden TB yang tinggi (Asia tenggara,

Afrika, Amerika latin, Karibia)

g. Setiap individu yang tinggal di institusi (misalnya: perawatan

jangka panjang, institusi psikiatrik, penjara)

h. Individu yang tinggal di perumahan sub standar kumuh

i. Petugas kesehatan

j. Resiko untuk tertular TB juga tergantung pada banyaknya

organisme yang terdapat di udara

2.5.Tanda dan gejala

a. Gejala utama

Gejala utama pada penyakit TB paru adalah batuk terus menerus selama tiga

minggu atau lebih

b. Gejala tambahan yang sering dijumpai

1) Dahak bercampur darah

2) Batuk darah

3) Sesak napas dan rasa nyeri dada

7
4) Badan lemah, nafsu makan berkurang, berat badan turun, rasa

kurang enak badan (malaise)

5) Berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan

6) Demam meriang lebih dari sebulan

2.6. Pencegahan

a. Vaksinasi BCG dapat melindungi anak yang berumur kurang dari 15 tahun

sampai 80%, akan tetapi dapat mengurangi makna dari pemeriksaan tes

tuberkulin.

b. Kasus dengan sputum positif harus diobati secara efektif agar tidak

menularkan kepada orang lain.

c. Untuk orang yang telah kontak dengan dengan pasien tuberkulosa maka

harus dibuktikan dengan pemeriksaan tes tuberkulin dan foto thorak

d. Dilakukan pemeriksaan dan pengawasan pada pasien yang dicurigai

menderita tuberkulosa

e. Memberikan penerangan pada penderita untuk menutup mulut dengan

sapu tangan bila batuk serta tidak meludah atau mengeluarkan dahak di

sembarang tempat dan menyediakan tempat ludah yang diberi lisol atau

bahan lain yang dianjurkan dan mengurangi aktivitas kerja serta

menenangkan pikiran

8
2.7. Diagnosis Tuberkulosis

Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan

ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis, hasil

pemeriksaan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen BTA hasilnya

positif.

Bila hanya satu yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut

yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS ulang. Kalau hasil rontgen

mendukung TBC, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TBC BTA

positif kalau hasil rontgen tidak mendukung TBC maka pemeriksaan dahak

SPS ulangi, apabila fasilitas memungkinkan maka dilakukan pemeriksaan lain

misalnya biakan.

Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif diberikan antibiotik

spektrum luas (misalnya kotrimoxazole atau amoxicillin) selama 1-2 minggu,

bila tidak ada perubahan namun gejala klinis tetap mencurigakan TBC ulangi

pemeriksaan dahak SPS. Kalau hasil SPS positif diadnosis sebagai penderita

TBC BTA positif, kalau hasil SPS tetap negatif lakukan pemeriksaan foto

rontgen dada untuk mendukung diagnosis TBC. Bila hasil rontgen mendukung

TBC didiagnosis sebagai penderita TBC BTA negatif rontgen positif, bila hasil

rontgen tidak didukung TBC penderita tersebut bukan TBC.

2.8. Pengobatan Tuberkulosis paru

a. Tujuan Pengobatan

9
Tujuan utama pengobatan TB adalah memusnahkan basil tuberkulosis

dengan cepat dan mencegah kekambuhan. Pengobatan penyakit tuberkulosis

dilakukan dengan beberapa tujuan, yaitu menyembuhkan penderita,

mencegah kematian, mencegah kekambuhan, menurunkan resiko penularan

(Depkes RI, 2002)

Dan Menurut Siswono (2009) tujuan pengobatan pada penderita Tb

adalah menyembuhkan, mencegah kematian, mencegah kekambuhan atau

timbulnya resistensi terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan

memutuskan mata rantai

1. Jenis dan Dosis obat anti tuberkulosa paru

Menurut Depkes RI (2002), TB harus diobati dengan

kombinasi beberapa obat, untuk menghindari terjadinya resistensi,

ada lima macam pilihan obat yang biasanya dipakai di Indonesia:

a. Isoniazid (H)

Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh

90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan.

Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan

metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis

harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk

pengobatan intermitten 3 kali seminggu diberikan dengan

dosis 10mg/kg BB.

b. Rifamfisin (R)

10
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi –dormant

(persister) yang tidak dapat dibunuh oleh isiniazid, dosis 10

mg/kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun

intermitten 3 kali seminggu

c. Pirasinamid (Z)

Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam

sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan

25mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali

seminggu diberikan diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB

d. Streptomisin (S)

Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB

sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu

digunakan dosis yang sama penderita yang berumur sampai 60

tahun dosisnya 0,75 gr/hr sedangkan untuk berumur 60 tahun

atau lebih diberikan 0,50 gr/hr

e. Ethambutol (E)

Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan

15 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali

seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB.

2. Prinsip Pengobatan

Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa

jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6 – 8 bulan, supaya

semua kuman dapat dibunuh termasuk kuman persister, dosis tahap

11
intensif dan lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal sebaiknya pada saat

perut kosong. Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (

jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan) kuman TBC akan

berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin

kepatuhan penderita menelan obat pengobatan perlu dilakukan dengan

pengawasan langsung (DOT: Directly Observed Treatment ) oleh

seorang pengawas menelan obat. Pengobatan TBC diberikan dalam 2

tahap yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan. Pada tahap intensif (awal)

penderita mendapat obat tiap hari dan diawasi langsung untuk

mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT terutama

rifamfisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara

tepat biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun

waktu 2 minggu, sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi

BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif, pengawasan

ketat dalam tahap intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya

kekebalan obat. Dan pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat

lebih sedikit, namun dalam jangka waktu lebih lama, dalam tahap

lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga

mencegah tejadinya kekambuhan

3. Panduan OAT di Indonesia

Menurut Depkes RI (2002) program nasional pengggulangan TB

Paru di Indonesia menggunakan panduan OAT, panduan obat ini

disediakan dalam dalam bentuk paket kombipak dengan tujuan untuk

12
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan

sampai selesai satu paket untuk satu penderita dalam satu masa

pengobatan.

1) Kategori 1 (2HRZE) / 4H3R3)

Tahap intensif diberikan selama 2 bulan (2HRZE) yang

terdiri dari Isoniazid (H), Rifamfisin (R), Pirasinamid (Z) dan

Ethambutol (E), kemudian dilajutkan tahap lanjutan yang

terdiri dari Isonoazid (H) dan Rifamfisin (R) diberikan 3 kali

dalam seminggu selama 4 bulan (4H 3R3) obat ini diberikan

untuk penderita TB Paru BTA Positif, TB Paru Negatif Ronsen

Positif yang sakit berat dan TB akstra paru berat.

2) Kategori 2 (2HRZES / HRZE / 5H3R3E3)

H,R,Z,E dan suntikan streptomisin setiap hari dilanjutkan

satu bulan dengan H,R,Z,E setiap hari. Tahap lanjutan selama

5 bulan dengan H,R,E 3 kali seminggu, obat ini diberikan

untuk penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure), dan

penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)

3) Kategori 3 (2HRZ / 4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama

2 bulan (2HRZ) diteruskan dengan tahapan lanjutan terdiri dari

H,R selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3) obat

ini diberikan untuk penderita baru BTA negatif ronsen positif

sakit ringan, penderita ekstra paru ringan.

13
4) OAT sisipan (HRZE)

Bila pada akhir tahap intensif dan pengobatan dengan

kateogori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang

dengan kategori 2 hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif

diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan

4. Efek samping OAT

Sebagian besar penderita TB Paru dapat menyelesaikan

pengobatan tanpa efek samping, namun sebagian kecil dapat

mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan efek

samping sangat penting dilakukan selama pengobatan dengan cara

menjelaskan kepada penderita tanda-tanda efek samping,

menanyakan adanya gejala efek samping pada waktu penderita

mengambil OAT

Tabel 1
Efek samping Ringan dari OAT

Efek samping Penyebab Penanganan

tidak ada nafsu makan, Rifampisin obat diminum malam sebelum


mual, sakit perut tidur
Nyeri sendi pirasinamid Beri aspirin
Kesemutan s/d terbakar di INH Beri vitamin B6
kaki
Warna kemerahan pada air Rifamfisin Tidak perlu diberi apa-apa tapi
seni perlu penjelasan kepada penderita

Sumber : Depkes RI (2002)

14
Tabel 2
Efek samping berat dari OAT

Efek samping Penyebab Penatalaksanaan

Gatal dan kemerahan kulitSemua jenis Ikut petunjuk pelaksaan


OAT
Tuli Streptomysin Streptomisin dihentikan ganti
etambutol
Gangguan keseimbangan Streptomysin Streptomisin dihentikan ganti
etambutol
Ikterus tanpa penyebab Hampir Hentikan semua OAT sampai
lain semua OAT ikterus menghilang
Bingung dan muntah- Hampir Hentikan etambutol
muntah (pemulaan ikterus semua OAT
karena obat)
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Rifampisin
Purpura dan renjatan Rifampisin
(syok)

Sumber: Depkes RI (2002)

5. Hasil pengobatan

Menurut Crofton, Horne dan Miller, hasil pengobatan dapat

dikategorikan sebagai:

1) Sembuh

Penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap

dan pemeriksaan ulang dahak satu bulan sebelum akhir

pengobatan dan pada akhir pengobata BTA negatif

2) Meninggal

Penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal

karena sebab apapun

3) Default atau drop out

15
Penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut

atau lebih sebelum masa pengobatan selesai

4) Gagal

Penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap

positif atau kembali menjadi positif sebelum akhir pengobatan

atau pada akhir pengobatan

2.9. PMO ( Pengawas Menelan Obat)

Salah satu komponen dari DOTS adalah pengobatan paduan OAT

jangka pendek dengan pengawasan langsung untuk menjamin keteraturan

pengobatan diperlukan seorang PMO (Depkes RI, 2002)

a. Persyaratan PMO

1) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh petugas

kesehatan maupun penderita. Selain itu harus disegani dan dihormati

oleh penderita

2) Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita

3) Bersedia membantu penderita dengan sukarela

4) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan

penderita

b. Siapa yang bisa jadi PMO

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di desa,

Perawat, Pekarya sanitarian, juru Imunisasi, dll. Bila tidak ada petuga

16
kesehatan yang memungkinkan, PMO bisa berasal dari petugas kesehatan,

guru, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga

c. Tugas PMO

1) Mengawasi penderita TBC agar menelan obat secara teratur

sampai selesai pengobatan

2) Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur

3) Mengingatkan penderita untuk memeriksa dahak pada waktu

yang telah ditentukan

4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TBC yang

mempunyai gejala-gejala tersangka TBC untuk segera

memeriksakan diri ke unit ke unit pelayanan kesehatan.

d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan

1) TBC bukan penyakit keturunan atau kutukan

2) TBC dapat disembuhkan dengan berobat teratur

3) Tata laksana pengobatan penderita pada tahap intensif dan

lanjutan

4) Pentingny berobat secara teratur karena itu pengobatan perlu

diawasi

5) Efek samping obat dan tindakan yang harus dilakukan bila terjadi

efek sampung tersebut

6) Cara penularan dan mencegah penularan

17
2.10.DOTS

Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu

berdasarkan lokasi tuberkulosa, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan

bakteriologi, hapusan dahak dan riwayat pengobatan sebelumnya. Disamping

itu perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal

sebagai Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) yang

direkomendasikan oleh WHO yang terdiri dari lima komponen, yaitu :

a. Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambil keputusan

dalam penanggulangan TB

b. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik

langsung dengan pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksan

radiologis dan kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan yang

memiliki sarana tersebut

c. Pengobatan TB dengan paduan OAT jangka pendek dengan

pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat (PMO)

khususnya dalam 2 bulan pertama dimana penderita harus minum

obat setiap hari baik itu petugas kesehatan atau anggota keluarga

yang mengawasi pasien minum obat.

d. Kesinambungan ketersediaan paduan obat jangka pendek yang

cukup

e. Pencatatan dan pelaporan yang baku

18
DAFTAR PUSTAKA

Kemenkes RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan


Lingkungan (2011). Strategi Nasional Pengendali TB di
Indonesia 2010-2014.

Tabrani (2010). Ilmu Penyakit Dalam. Trans Info Media : Jakarta

Brunner & Suddart (1996) . Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah .EGC :

Jakarta

Suyono, S. (1996). Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit : Jakarta

Badan POM RI (2006). Kepatuhan Pasien : Faktor Penting dalam Keberhasilan

Terapi

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.(2002). Pedoman Nasional


Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.

Dinkes Cianjur (2012). Distribusi Penderita TB Paru.

Notoatmodjo (2007). Promosi Kesehatan & Ilmu Prilaku. Jakarta Rineka Cipta

19

Anda mungkin juga menyukai