Anda di halaman 1dari 41

Case Report Session

Morbus Hansen

Oleh :

Nurul Khairantih 1840312665


Shinta Chamarelza 1840312704

Preseptor :

dr. Rina Gustia, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR.M. DJAMIL
PADANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
ANDALAS 2019
1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae. M.Leprae hidiup intraseluler


dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (sel schwan) dan sel dari sistem
retikuloendotelial. Waktu pembelahannya sangat lama berkisar 2-3 minggu. Diluar tubuh
manusia (dalam keadaan tropis) kuman kusta yang berasal dari secret nasal dapat bertahan
sampai 9 hari. Sampai saat ini hanya manusia satu-satunya yang dianggap sebagai sumber
1
penularan. Kuman kusta banyak ditemukan di mukosa hidung manusia.
Jumlah kasus kusta pada tahun 2015 sebanyak 210.578 penderita hal ini menurun
dibandingkan tahun 2014 dimana tercatat sebanyak 219.899 kasus kusta baru. Kusta bukan
merupakan penyakit keturunan. Kuman kusta dapat ditemukan dikulit, folikel rambut, kelenjer
keringat, dan air susu ibu. Kuman kusta jarang ditemukan pada urin. Kusta dapat mneyerang
2
semua umur. Anak-anak lebih rentan terkena kusta dibandingkan orang dewasa.
Pada tahun 2000 status kusta di Indonesia adalah eleminasi, dimana terdapat <1
kasus per 10.000 penduduk. Angka prevalensi kusta tahun 2017 merupakan angka terendah
dalam 5 tahun terakhir yaitu sebesar 0,70 kasus / 10.000 penduduk. Di Sumatera Barat
berdasarkan Depkes tahun 2013 merupakan provinsi dengan peringkat ke 19.2
Untuk menegakkan diagnosis kusta, setidaknya ditemukan satu tanda kardinal, yaitu
bercak kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi, dan adanya basil tahan asam (BTA)
didalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear). Obat antikusta yang paling banyak dipakai
pada saat ini adalah DDS (diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin dan rifampisin.
Untuk mencegah resistensi, pengobatan tuberkulosis telah menggunakan multidrug

treatment (MDT) sejak tahun 1951, sedangkan untuk kusta baru di mulai pada tahun 1971.3
Kusta merupakan penyakit yang banyak ditakuti. Penyakit kusta dapat terjadi
ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja
tetapi karena dikucilkan dari masyarakat. Hal ini disebabkan karena terjadi kerusakan saraf
besar yang irreversible pada wajah dan ekstremitas, motorik serta sensorik. Serta juga

terjadi kerusakan berulang pada daerah anestetik disertai paralisis dan atrofi otot. 1

2
1.2.Batasan Masalah
Penulisan case report session ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatatalaksanaan, komplikasi dan prognosis
morbus Hansen.

1.3.Tujuan Penulisan
Penulisan case report session ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami mengenai
morbus Hansen.

1.4.Metode Penulisan
Penulisan case report session ini disusun berdasarkan studi kepustakaan yang merujuk
kepada berbagai literatur.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ
1
lain kecuali susunan saraf pusat.
2.2 Epidemiologi
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan. Cara penularan masih belum
diketahui secara pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung
antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, karena M. leprae
masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.1
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar
diseluruh dunia disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut.
Faktor – faktor yang perlu dipertimbangkan adalah pathogenesis kuman penyebab, cara
penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan
dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya reservoir diluar manusia.
Penyakit kusta bukanlah penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel
rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, dan jarang didapat didalam urin. Sputum
merupakan tempat yang banyak mengandung M. Leprae yang berasal dari traktus

respiratorius atas.1
Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun didapatkan kurang lebih
13%, tetapi jarang pada anak dibawah umur 1 tahun. Frekuensi tertinggi terdapat pada
kelompok umur 23-35 tahun. Kusta terdapat diseluruh dunia terutama asia, afrika, amerika
1
latin daerah tropis dan subtropis serta sosial ekonominya rendah. Kusta terdapat di 120
negara di seluruh dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis dengan hotspot di Afrika
Tengah, sebagian Asia dan Brasil. WHO memilki tujuan adalah untuk mengurangi (yaitu
kurang dari 1kasus terdaftar per 10000 penduduk) penyakit di seluruh dunia pada tahun
2000 belum terpenuhi, namun kejadian ini perlahan-lahan menurun, dan kurang dari

seperempat juta diagnosa baru dibuat setiap tahun.1

Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat tahun 2015 adalah 17.682 orang.
Menurut data Depkes, pada tahun 2017 Sumatera Barat merupakan provinsi dengan peringkat
2
ke-21. angka prevalensi kusta di Indonesia pada tahun 2017 sebesar 0,70 kasus/10.000

4
penduduk dan angka penemuan kasus baru 6,08 kasus per 100.000 penduduk.2,3

2.3 Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae ditemukan oleh
sarjana GH Armauer Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. M. Leprae berbentuk kuman
dengan ukuran 3-8 μ x 0.5μ. Kuman ini bersifat intraselular obligat, tahan asam, dan
alkohol. Saraf perifer sebagai afinitias pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius
1
bagian atas dan belum dapat dikultur dalam media artifisial.

Gambar 2.1 Mycobacterium leprae

2.4 Patogenesis
M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita
yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat,
ataupun sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit,
tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, sehingga mempengaruhi timbulnya
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh
karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih

sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya.1


Masuknya kuman penyebab kusta yang dikenal dengan M. leprae sampai sekarang
masih belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian telah memperlihatkan M. leprae
masuk kedalam tubuh paling sering melalui kulit terutama kulit yang lecet pada bagian
tubuh yang bersuhu dingin dan juga melalui mukosa nasal. Adanya kuman didalam tubuh
akan menyebabkan terjadinya suatu reaksi antara tubuh dengan kuman penyebab dengan
4,5
mengeluarkan makrofag untuk melakukan proses fagositosis.
M.leprae memiliki sel target untuk pertumbuhannya yaitu Sel Schwann, disamping
itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai
fagositosis. Apabila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat
bermigrasi dan beraktivasi. Sehingga kondisi ini menyebabkan aktifitas regenerasi saraf
5
berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif. 4 Gejala klinis klinis yang timbul
akibat terinfeksi M. leprae bergantung dari respon tubuh terhadap mikroorganisme tersebut.
Jika imunitas seluler orang tersebut bagus dan kuat, maka gejala klinis yang terjadi adalah
MH tipe tuberkuloid. Apabila imunitas selulernya lemah, maka gejala klinisnya adalah MH
tipe lepramatosa.4
a. Patogenesis MH tipe tuberkuloid
MH tipe TT, memilik fungsi sistem imunitas seluler yang tinggi, sehingga makrofag
sanggup menghancurkan kuman melalui proses fagositosis. Setelah semua kuman
difagositosis, makrofag berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan
terkadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Apabila kondisi infeksi ini tidak segera
diatasi maka akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya akibat reaksi

berlebihan dan masa epiteloid.5


Kuman masuk ke dalam tubuh melalui kontak langsung dengan kulit penderita atau
melalui inhalasi, kemudian masuk melalui pembuluh limfe dan darah kemudian mencapai
5
target dari basal antara lain :
1. Sel Schwann saraf tepi
2. Sel endotel pembuluh darah
3. Sel pericytes pembuluh darah
4. Sel monosit dan makrofag
Imunitas seluler seseorang pada MH tipe TT menjadi kompenen cukup penting
dalam mengatasi kuman. Imunitas seluler yang tinggi ditandai dengan uji lepromin yang
positif. Hal ini dapat mengakibatkan dalam waktu yang singkat sel-sel radang akan
berkumpul ke sekitar makrofag atau sel Schwann. Tujuan sel radang tersebut adalah
memfagosit kuman-kuman dan mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan kuman M.
leprae Efek samping dari peradangan tersebut akan menyebabkan penekanan pada saraf

sehingga proses anestesinya terjadi lebih cepat dan berat.5


Peradangan terjadi hanya disekitar sel Schwann yang terbatas pada saraf kulit saja, tidak
masuk ke pembuluh darah. Hal ini menyebabkan lesi hanya sedikit dan asimetris, dengan batas
tegas karena dibatasi oleh sel radang, kelenjar ekrin dan pilosebaseus akan tertekan sehingga
5
menyebabkan keringat berkurang, kulit kering dan rambut kulit tidak ada.
b. Patogenesis MH tipe lepramatosa
Pada MH tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular sehingga makrofag yang
berperan dalam proses fagositosis tidak mampu menghancurkan kuman. Hal ini
menyebabkan terjadinya multifikasi kuman secara bebas yang kemudian dapat merusak

6
jaringan.9 Sistem imun seluler yang rendah dan ditandai dengan uji lepromin negatif
menyebabkan proses fagositosis menjadi lemah, sehingga kuman bermultiplikasi lebih
banyak di dalam sel makrofag atau sel Schwann.
Makrofag yang tidak mampu melakukan proses fagositosis berubah menjadi sel
Virchow atau Foam cell yang mengandung banyak kuman basil sehingga apabila kondisi ini
terus berlanjut maka kuman basil yang banyak akan menyebabkan pecahnya Foam cell
sehingga kuman basil akan keluar kemudian di tangkap oleh sel Schwann yang lain
sehingga terjadi penyebaran sesuai dengan jaras saraf tepi. Kemudian kuman basil akan
masuk kedalam aliran darah dan menimbulkan lesi pada kulit dengan jumlah banyak,
9
simteris, batas tegas, dengan anestesi yang lama terjadi.
c. Patogenesis MH tipe Borderline
Pada MH tipe ini klinisnya berada di antara tipe tuberkuloid dan lepromatosa dapat
berubah tipe karena merupakan tipe yang tidak stabil.8

2.5 Manifestasi Klinis


Diagnosis penyakit kusta didasarkan atas gambaran klinis, bakterioskopis,
histopatologis, dan serologis. Jika memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin untuk
membantu penentuan tipe. Namun, hasilnya cukup lama diketahui yaitu sekitar 3 minggu.
M. Leprae yang masuk kedalam tubuh seseorang dapat menimbulkan gejala klinis sesuai
dengan imunitas orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler
penderita. Bila imunitas seluler baik akan tambah gambaran klinis ke arah tuberkuloid,
sebaliknya jika sistem imunitas seluler rendah memberikan gambaran lepromatosa.
Manifestasi klinis penyakit MH pada pasien mencerminkan tingkat kekebalan selular pasien
10
tersebut. Gejala dan keluhannya tergantung pada:
1. Multifikasi dan diseminasi kuman M. leprae
2. Respon imun penderita terhadap kuman M. leprae
3. Komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.
Terdapat tiga tanda kardinal pada penyakit kusta. Jika terdapat 1 dari 3 tanda
tersebut sudah cukup untuk menetapkan diagnosis penyakit MH ini. Tanda kardinal tersebut
10
diantaranya:
1. Lesi kulit yang anestesi
2. Penebalan saraf perifer
3. Ditemukan M. leprae (bakteriologis positif)
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai adalah klasifikasi menurut Ridley dan

7
Jopling yang mengelompokan penyakit MH menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran
klinis, bakteriologis, histopatologis, dan imunologis.1
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat
berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang
regrasi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi
bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan
saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi
tuberkuloid dan tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu
8,10
yang adekuat terhadap kuman MH.
2. Tipe Boderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang sering
disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi hipopigmentasi,
kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Gangguan saraf tidak seberat
tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf
8,10
perifer yang menebal.
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe penyakit MH. Merupakan
bentuk dimorfik. Lesi dapat berupa makula infiltratif, permukaan lesi dapat berkilap, batas
lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi
sangat bervariasi baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi
8,10
punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.

Lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan dengan cepat
menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Papul dan
nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodus
tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan
bagian pinggir dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pingir luarnya, dan beberapa
plak tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa kerusakan sensasi,
hipopigmentasi, berkurangnya keringat, dan hilangnya rambut lebih cepat muncul
dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat-tempat penebalan
8,10
saraf.
5. Tipe Lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa, berkilap,

8
berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi
lesi khas, yakni di wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan di badan
mengenai bagian yang dingin seperti lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor
tungkai bawah. Pada stadium lanjut terdapat penebalan kulit yang progresif, cuping telinga
menebal, garis muka menjadi kasar, dan cekung membentuk facies leonina yang dapat disertai
8,10
dengan madarosis, iritis, keratitis. Lebih lanjut dapat terjadi deformitas hidung.
Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat terjadi
atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove anaesthesia.
Bila menjadi progresif, muncul makula dan papula baru sedangkan lesi lama menjadi plakat
dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin
8,10
atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.

Tabel 2.1 Klasifikasi Morbus Hansen1


Madrid Ridley-Jopling WHO
Tuberkuloid Tuberkuloid polar (TT) Pausibasiler (PB)
Tuberkuloid Indefinite (Ti)
Borderline Tuberkuloid (BT)
Borderline Mid Borderline (BB) Multibasiler (MB
Borderline Lepromatous (BL)
Lepromatous indefinite (Li)
Lepromatosa Lepromatosa polar (LL)

Gambar 2.2 Soliter, nestesi dan lesi anular pada tuberkuloid polar leprosy, yang telah
ada sejak 3 bulan. Tepi yang tajam, dan eritem. Pinprick perception pada sentral lesi tidak
ada. Sentral lesi lebih hipopigmentasi jika dibandingkan dengan kulit sekitarnya yang
9
normal.

9
Gambar 2.3 beberapa lesi Borderline leprosy (BT), ysng memiliki konfigurasi anular
9
yang inkomplit dengan papul satelit. bandingan dengan TT lesi, lesi in lebih kurang eritema.

1
Tabel 2.2 Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta Pusibasiler

10
Tabel 2.3 Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta multibasiler1

Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan kedalam
kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau

apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus di obati dengan regimen MDT-TB.1

1
Tabel 2.4 Klasifikasi Klinis Kusta Berdasarkan WHO 1995
PB MB
1.Lesi kulit (makula yang  1-5 lesi  > 5 lesi
datar, papul yang  Hipopigmentasi/eritema
meninggi, infiltrat, plak  Distribusi tidak simetris  Distribusi simetris
eritem, nodus)

2.Kerusakan saraf  Hilangnya sensasi yang  Hilangnya sensasi


(menyebabkan hilangnya jelas kurang jelas
sensasi/kelemahan otot  Hanya satu cabang saraf  Banyak cabang saraf
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena)

11
2.6 Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum jelas betul, terminologi dan
klasifikasi masih bermacam-macam. Mengenai patofisiologinya yang belum jelas tersebut
akan dijelaskan secara imunologik. Reaksi imun dapat menguntungkan tetapi dapat juga
merugikan yang disebut reaksi imun patologik dan reaksi kusta ini tergolong di dalamnya.
Dalam klasifikasi yang bermacam-macam itu yang tampaknya paling banyak di anut pada
1
akhir – akhir ini, yaitu:
a. ENL (eritema nodusum leprosum)
b. Reaksi reversal atau reaksi upgrading
ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti
makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan timbul ENL. Secara
imunopatologis, ENL termasuk respon imun humoral, berupa fenomena kompleks imun

akibat reaksi antara antigen M. Leprae + antibodi (IgM, IgG) + Komplemen kompleks
1
imun.
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema dan nyeri dengan tempat
predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti
iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis dan nefritis akut dengan adanya
proteinuria. Reaksi ENL dapat disertai gejala konsitusi dari ringan sampai berat. Gejala klinis
reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan
atau timbul lesi baru yang relatif singkat, arttinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi
1
makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas.

Reaksi ENL dan reversal secara klinis, ENL dengan lesi eritema nodusum sedangan
reversal tanpa nodusm sehingga disebut reaksi lepra nodular, sedangkan reaksi reversal
adalah reaksi non nodular. Hal ini penting membantu menegakkan diagnosis atas dasar leso
ada atau tidaknya nodus. Kalau ada berarti reaksi non nodular atau reaksi reversal atau

reaksi borderline.1

2.7 Diagnosis
Morbus Hansen atau kusta adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh
kuman kusta (Mycobacterium laprea) yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa saluran nafas bagian atas, dapat menyerang organ tubuh
lain kecuali susunan saraf pusat. Atas dasar definisi tersebut, maka untuk mendiagnosis kusta
dicari kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf tepi dan kelainan yang

12
tampak pada kulit.9
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau tanda
kardinal (cardinal sign), yaitu:9,10,11

1. Bercak kulit yang mati rasa Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula)
atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap
rasa raba, suhu, dan nyeri.

2. Penebalan saraf tepi Dapat/tanpa disertai rasa nyeri dan gangguan fungsi saraf yang
terkena, yaitu:
- Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
- Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
Adanya pembesaran saraf perifer yang diketahui dengan cara palpasi bisanya
mengindikasikan adanya kelainan fungsi saraf yang bersangkutan. Untuk itu perlu
untuk melakukan voluntary muscle test. Saraf perifer yang diperiksa antara lain: n.
fasialis, n. aurikularis magnus, n. radialis, n. ulnaris, n. medianus, n. poplitea lateralis,
dan n. tibialis posterior. Pada pemeriksaan akan dinilai hal-hal sebagai berikut:
• Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan
• Ada pembesaran saraf atau tidak
• Bentuk pembesaran regular (smooth) atau irregular,bergumpal
• Perabaan keras atau kenyal
• Nyeri atau tidak
- Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang
terganggu.

3. Ditemukan basil tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear).
Bahan pemeriksaan berasal dari apusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian
yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi saraf.

Diagnosis kusta ditegakkan bila ditemukan paling sedikit satu tanda kardinal. Bila tidak
atau belum dapat ditemukan, disebut tersangka/suspek kusta, dan pasien perlu diamati dan
diperiksa ulang 3 sampai 6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau
3
disingkirkan. Selain tanda kardinal di atas, dari anamnesis dapat ditanyakan apakah pasien
ada keluhan bercak kulit berwarna merah atau putih berbentuk plakat, terutama diwajah dan
telinga. Bercak kulit yang mati rasa dan tidak gatal. Lepuh pada kulit yang dirasakan tidak
nyeri. Pada anamnesis juga bisa didapatkan adanya riwayat pasien kontak lama dengan

13
penderita kusta lain, latar belakang keluarga dengan riwayat tinggal di daerah endemis
kusta dan keadaan sosial ekonomi rendah, imunokompromais, atau memiliki riwayat
4
pengobatan kusta sebelumnya.
Pada pasien kusta perlu dilakuakn pemeriksaan fisik meliputi:
1. Pemeriksaan Kulit
Dengan pencahayaan yang cukup (sebaiknya dengan sinar oblik), lesi kulit (lokasi
dan morfologi) harus diperhatikan. Tanda-tanda pada kulit seperti bercak kulit yang
merah atau putih dengan ukuran plakat pada kulit terutama di wajah dan telinga, bercak
yang mati rasa dan tidak gatal, kulit mengkilap atau kering bersisik, adanya kelainan
kulit yang tidak berkeringat dan atau tidak berambut, hilangnya sensasi nyeri dan suhu.
9,12
Pada kulit dapat pula ditemukan nodul.
Untuk memeriksa sensai rasa raba pada kulit dapat memakai ujung kapas yang
dilancipkan kemudian disentuhkan secara tegak lurus pada kelainan kulit yang
dicurigai, sebaiknya penderita duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih dulu petugas
menerangkan bahwa bilamana merasa disentuh bagian tubuh dengan kapas, ia harus
menunjuk kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya,menghitung jumlah sentuhan
atau dengan menunjukkan jari tangan keatas untuk bagian yang sulit dijangkau, ini
dikerjakan dengan mata terbuka bilamana hal ini telah jelas,maka ia diminta menutup
matanya. Kelainan-kelainan dikulit diperiksa secara bergantian untuk mengetahui ada
tidaknya anestesi. Pada telapak tangan dan kaki memakai bolpoin karena pada tempat
1
ini kulit lebih tebal.
2. Pemeriksaan Nervus
a. Nervus Ulnaris
Tangan kanan pemeriksa memegang lengan kanan bawah penderita dengan posisi
siku sedikit ditekuk sehingga lengan penderita rileks. Dengan jari telunjuk dan jari
tengah tangan kiri pemeriksa mencari sambil meraba saraf ulnaris di dalam sulkus
nervus ulnaris yaitu lekuken diantara tonjolan tulang siku dan tonjolan kecil di bagian

medial (epicondilus medialis). 4,7


Dengan memberi tekanan ringan pada saraf Ulnaris sambil digulirkan dan
menelusuri keatas dengan halus sambil melihat mimik / reaksi penderita adalah
tampak kesakitan atau tidak. 4,7
b. Saraf Peroneus Communis (Poplitea Lateralis).
1. Penderita diminta duduk disuatu tempat (kursi dll) dengan kaki dalam
keadaan rilek.

14
2. Pemeriksa duduk didepan penderita dengan tangan kanan memeriksa kaki-
kiri penderita dan tangan kiri memeriksa kaki kanan.
3. Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada pertengahan betis
bagian luar penderita sambil pelan-pelan meraba keatas sampai menemukan
benjolan tulang (caput fibula) setelah menemukan tulang tersebut jari
pemeriksa meraba saraf peroneus 1 cm kearah belakang.
4. Dengan tekanan yang ringan saraf tersebut digulirkan bergantian kekanan
4,7
dan kiri sambil melihat mimik / reaksi penderita.
c. Saraf Tibialis Posterior.
1. Penderita masih duduk dalam posisi rileks.
2. Dengan jari telunjuk dan tengah pemeriksa meraba saraf Tibialis Posterior
dibagian belakang bawah dari mata kaki sebelah dalam (maleolus medialis)
dengan tangan menyilang (tangan kiri memeriksa saraf tibialis kiri dan tangan
kanan pemeriksa memeriksa saraf tibialis posteior kanan pasien)
3. Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil melihat mimik/ reaksi
dari penderita. 4,7
Untuk mengetahui adanya gangguan pada fungsi saraf yang perlu diperiksa adalah
Mata, Tangan, dan Kaki, Pemeriksaan Fungsi Rasa Raba dan Kekuatan Otot. Alat yang
4,7
diperlukan: ballpoin yang ringan dan kertas serta tempat duduk untuk penderita.
Cara pemeriksaan Fungsi Saraf. Periksa secara berurutan agar tidak ada yang
terlewatkan mulai dari kepala sampai kaki. 4,7
1. Mata
Fungsi Motorik (Saraf Facialis)
- Penderita diminta memejamkan mata.
- Dilihat dari depan / samping apakah mata tertutup dengan sempurna / tidak,
apakah ada celah.
- Bagi mata yang menutup tidak rapat, diukur lebar celahnya lalu dicatat, misal
lagofthalmus ± 3 mm, mata kiri atau kanan.
Catatan: Untuk fungsi sensorik mata (pemeriksaan kornea, yaitu fungsi saraf
Trigeminus) tidak dilakukan dilapangan. 4,7
2. Tangan
1) Fungsi Sensorik (Saraf Ulnaris dan Medianus )
a. Posisi penderita: Tangan yang akan diperiksa diletakkan diatas meja/paha penderita
atau tertumpu pada tangan kiri pemeriksa sedemikian rupa, sehingga semua ujung

1
5
jari tersangga.
b. Menjelaskan kepada penderita apa yang akan dilakukan padanya, sambil
memperagakan dengan menyentuhkan ujung ballpoin pada lengannya dan satu
atau dua titik pada telapak tangan
c. Bila penderita merasakan sentuhan tersebut diminta untuk menunjukkan tempat
sentuhan tersebut dengan jari tangan yang lain.
d. Tes diulangi sampai penderita mengerti dan kooperatif.
e. Penderita diminta tutup mata atau menoleh kearah berlawanan dari tangan yang
diperiksa.
f. Penderita diminta menunjuk tempat yang terasa disentuh.
g. Usahakan pemeriksaan titik tersebut acak dan tidak berurutan
4,7
h. Penyimpangan letak titik yang bisa diterima < 1,5 cm.
2) Fungsi Motorik (Kekuatan Otot) Saraf Ulnaris Medianus dan Radialis.
a. Saraf Ulnaris (Kekuatan Otot Jari kelingking).
- Tangan kiri pemeriksa memegang ujung jari 2, 3, dan 4 tangan kanan penderita
dengan telapak tangan penderita menghadap keatas dan posisi ektensi (jari
kelingking /5 bebas bergerak tidak terhalang oleh tangan pemeriksa.
- Minta penderita mendekatkan dan menjauhkan kelingking dari jari- jari lainnya,
bila penderita dapat melakukannya minta pasien menahan kelingkingnya pada
posisi jauh dari jari lainnya, dan kemudian ibu jari pemeriksa mendorong pada

bagian pangkal kelingking. 4,7

- Bila jari kelingking penderita tidak dapat mendekat atau menjauh berarti dari jari
lainnya berarti lumpuh.
- Bila jari kelingking penderita tidak dapat menahan dorongan pemeriksa
berarti lemah.
- Bila jari kelingking penderita dapat menahan dorongapemeriksa ibu jari bisa
maju dan dapat menahan dorongan ibu jari pemeriksa berarti masih kuat.
Bila masih ragu, penderita diminta menjepit sehelai kertas yang diletakkan
diantara jari manis dan jari kelingking tersebut, lalu pemeriksa menarik kertas
tersebut sambil menilai ada tidaknya tahanan/ jepitan terhadap kertas tesebut. 4,7
Penilaian:
- Bila kertas terlepas dengan mudah berarti kekuatan otot lemah.
4,7
- Bila ada tahanan terhadap kertas tersebut berarti otot masih kuat.

16
b. Saraf Medianus (Kekuatan Otot Ibu Jari )
- Tangan kanan pemeriksa memegang jari telunjuk sampai kelingking tangan
kanan penderita agar telapak tangan penderita menghadap keatas dan dalam
posisi ekstensi.
- Ibu jari penderita ditegakkan keatas sehingga tegak lurus terhadap telapak
tangan penderita (seakan-akan menunjuk kearah hidung) dan penderita
diminta untuk mempertahankan posisi tersebut.
- Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari yaitu dari bagian batas
4,7
antara punggung dengan telapak mendekati telapak tangan.

- Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat.


- Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti sudah lemah.
4,7
- Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh.

c. Saraf Radialis (Kekuatan otot Pergelangan tangan).

- Tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan bawah tangan kanan


penderita.
- Penderita diminta menggerakkan pergelangan tangan yang terkepal keatas
(ektensi).
- Penderita diminta bertahan pada posisi ektensi (keatas) lalu dengan tangan
kanan pemeriksa menekan tangan penderita kebawah kearah fleksi. 4,7
Penilaian:

- Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat.

- Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah.

- Bila tidak ada gerakan dan tahanan berarti lumpuh (pergelangan tangan tidak bisa
4,7
digerakkan keatas).
3. Kaki

a) Fungsi Rasa Raba (Saraf Tibialis Posterior)

- Kaki kanan penderita diletakan pada paha kiri, usahakan telapak kaki menghadap
keatas.
- Tangan kiri pemeriksa menyangga ujung jari kaki penderita.

Cara pemeriksaan sama seperti pada rasa raba tangan.

- Pada daerah yang menebal sedikit menekan dengan cekungan berdiameter 1cm.
1
7
- Jarak penyimpangan yang bisa diterima maksimal 2,5 cm. 4,7

b) Fungsi Motorik: Saraf Peroneus (Saraf Poplitea Lateralis )

- Dalam keadaan duduk, penderita diminta mengangkat ujung kaki dengan tumit
tetap terletak dilantai / ektensi maksimal (seperti berjalan dengan tumit).
- Penderita diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut lalu pemeriksa dengan
4,7
kedua tangan menekan punggung kaki penderita kebawah/lantai.
Keterangan:
- Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti kuat.
- Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah.
- Bila tidak ada gerakan dan tahanan lumpuh (ujung kaki tidak bisa ditegakkan
keatas).

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan


diagnosis dari kusta sebagai berikut:

a. Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit).1

Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu penegakan diagnosis dan


follow up pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulityang di warnai dengan
pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA), antara lain dengan Ziehl-Neelsen. Hasil
pemeriksaan bakterioskopik yang negatif pada seorang penderita, belum tentu orang
1
tersebut tidak mengandung kuman lepra.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut RIDLEY. 0

bila tidak ada BTAdalam 100 lapang pandang (LP).1

18
Tabel 2.5 Kepadatan BTA7
0 BTA
-
1 – 10/ 100 +1
LP
1–10/10LP +2

1–10/1LP +3

10 – 100/ 1 +4
LP
100 – 1000/ 1 +5
LP
> 1000/ 1 LP +6

Indeks Morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan


7
jumlah solid dan nonsolid.
Rumus:

Jumlah BTA solid x 100 % = X %


Jumlah BTA solid + non solid

Syarat perhitungan:

a. Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA

b. IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya, karena untuk medapat 100 BTA harus mencari
dalam 1000 sampai 10.000 lapangan

c. Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+ maksimum harus dicari
dalam 100 lapangan.4

b. Pemeriksaan Histopatologik
Granuloma adalah akumulasi makrofag atau derivat-derivatnya. Gambaran
histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak
ada basil atau hanya sedikit dan bersifat non solid. Pada tipe lepromatosa terdapat zona
sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di bawah
19
epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak basil.

Pada tipe borderline, terdapat campuran unsur-unsur tersebut.1

Tabel 2.6 Karakteristik histologis berbagai tipe kusta menurut Ridley-Jopling.5


Tipe
TT BT BB BL LL
TT Ti BT BB BL Li LL
Reaksi lepromin 3+ 2+ 1+ - - - -
Stabilitas imunologik ++ + ± - ± + ++
Reaksi borderline - ± + ++ + ± -
Eritema - - - - - + +
nodusu
m leprosum
Basil dalam hidung - - - - + ++ ++
Basil dalam granuloma 0 0-1+ 1-3+ 3-4+ 4-5+ 5-6+ 5-6+
Sel epiteloid + + + + - - -
Sel datia langhans +++ ++ + + - - -
Globi - - - - - + +
Sel busa (sel Virchow) - - - - + ++ +++
Limfosit +++ +++ ++ + + +/± ±
Infiltrasi zona + + +/- - - - --
sub
epidermal
Kerusakan saraf ++ +++ ++ + ± + -

c. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik
terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi
antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi tidak spesifik antara lain antibodi
1
anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ini adalah dapat membantu diagnosis kusta yang
meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Disamping itu dapat
membantu menentukan kusta subklinis karena tidak didapati lesi kulit, misalnya pada
20
narakontak serumah.1
Macam-macam pemeriksaan serologik kusta adalah uji MLPA (Mycobacterium
Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) dan uji

ML dipstick (Mycobacterium Leprae Dipstick).1

2.8 Diagnosis Banding


Banyak penyakit kulit lain yang secara klinis menyerupai kelainan kulit pada penyakit
kusta. Bahkan ada istilah yang menyebutkan penyakit kusta sebagai peniru terhebat (the
great imitator) dalam penyakit kulit. Berdasarkan munculan lesi diagnosis banding dari
kusta sebagai berikut:9,11
a. Bercak eritem:

- Psoariasis: bercak merah berbatas tegas, dengan sisik berlapis-lapis

- Tinea Circinata: bercak meninggi, sering meradang, mengandung vesikel/krusta

- Dermatitis seboroik: lesi didaerah sebore (berminyak) dengan sisik kuning


berminyak, gatal, kronis, residif, tidak ada rasa baal
b. Bercak Hipopigmentasi:
- Vitiligo: pigmen kulit hilang total, warna kulit sangat putih
- Pitiriasis Versikolor: Punggung tampak lesi berupa plak hipopigmentasi dengan
skuama halus dan batas tegas
- Pityriasis alba: Makula bentuk bundar/oval, dengan sisik, rasa raba normal
c. Nodul:
- Neuro fibromatosis: bercak café au lait (bercak coklat muda berbatas tegas)
yang sering timbul sejak lahir. Nodus dan tumor bertangkai pada usia yang lebih
lanjut tersebar luas tanpa rasa baal. Pemeriksaan BTA (-)
- Sarkoma Kaposi: Nodus lunak berwarna biru keunguan lokalisata (terutama
pada kaki). Pemeriksaan BTA (-)
- Varuka vulgaris: Papul-papul diatas dengan permukaan kasar.

2.9 Tatalaksana
Nonmedikamentosa
1. Rehabilitasi medik, meliputi fisioterapi, penggunaan protese, dan terapi okupasi.
2. Rehabilitias non-medik, meliputi: rehabilitasi mental, karya dan sosial.

21
3. Edukasi kepada pasien, keluarga dan masyarakat: menghilangkan stigma dan
penggunaan obat.
4. Setiap kontrol, harus dilakukan pemeriksaan untuk pencegahan disabilitas.
Medikamentosa
Pengobatan dengan multidrug therapy (MDT) berdasarkan rekomendasi WHO
9,10
(1998, 2016). Tujuan pengobatan MDT adalah:
1. Memutuskan mata rantai penularan
2. Mencegah resistensi obat
3. Memperpendek masa pengobatan
4. Meningkatkan keteraturan berobat
5. Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah
ada sebelum pengobatan.
Kombinasi obat dapson (DDS), rifampisin, dan klofazimin (lampren) bertujuan untuk
mengurangi resistensi dapson, memperpendek masa pengobatan, mempercepat memutus
mata rantai penularan, serta mengurangi ketidak-taatan pasien dan menurunkan angka putus
obat.6 Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita kusta
dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasilar dengan lesi tunggal, pausibasilar dengan lesi 2-5
buah dan penderita multibasilar dengan lesi lebih dari 5 buah. Oleh sebab itu skema rejimen
8
MDT-WHO menjadi sebagai berikut:
1. Rejimen PB dengan lesi kulit 2-5 buah, terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali, di
bawah pengawasan, ditambah dengan DDS 100 mg/hari (1-2 mg/kgBB) swakelola
selama 6 bulan.
2. Rejimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 buah, terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg
sebulan sekali di bawah pengawasan, DDS 100 mg/hari swakelola ditambah klofazimin 300
mg sebulan sekali diawasi dan 50 mg/hari swakelola. Lama pengobatan 1 tahun.
3. Rejimen PB dengan lesi tunggal, terdiri atas rifampisin 600 mg ditambah dengan
ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
Dosis tersebut merupakan dosis dewasa, untuk anak-anak disesuaikan dengan berat
8
badan.
Berikut merupakan kelompok orang yang membutuhkan MDT: 3
1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT.
2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal dibawah ini:
a. Relaps
b. Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)

22
c. Pindahan (pindah masuk)
d. Ganti klasifikasi/tipe
Berikut merupakan regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang
direkomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 2.6 Pengobatan Morbus Hansen Pausibasiler8
Jenis Obat <5 th 5-9 th 10-15 th >15 th Keterangan
Minum
Rifampisin 300mg/bln 450 mg/bln 600 mg/bln didepan
petugas
Berdasarkan Minum di
berat badan 25 mg/bln 50mg/bln 100 mg/bln depan
DDS petugas
Minum di
25 mg/hari 50 mg/hari 100 mg/hari
rumah

Keterangan:
 Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum diminum didepan petugas)

2 kapsul rifampisin @ 300mg (600 mg)

1 tablet dapson/DDS 100mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28

1 tablet dapson/DDS100 mg

Tabel 2.7 Pengobatan Morbus Hansen Multibasiler.3


Jenis Obat <5 th 5-9 th 10-15 th >15 th Keterangan
Minum
Rifampisin 300 mg/bln 450 mg/bln 600 mg/bln didepan
petugas
Minum
Berdasarkan
25 mg/bln 50 mg/bln 100 mg/bln didepan
berat badan
Dapson petugas
Minum
25 mg/bln 50 mg/bln 100 mg/bln
dirumah
Lampren 100 mg/bln 150 mg/bln 300 mg/bln Minum

23
didepan
petugas
50 mg 2x 50 mg setiap 50 mg Minum
seminggu 2 hari perhari dirumah

Keterangan:
a. Dewasa

Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan
petugas) o 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)
o 3 tablet lampren @ 100mg (300 mg)
o 1 tablet dapson/DDS 100 mg

Pengobatan harian: hari ke 2-28
o 1 tablet lampren50 mg
o 1 tablet dapson/DDS 100 mg b.
Dosis MDT MB untuk anak (10-14 tahun)

Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminumdi depan
petugas) o 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
o 3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)
o 1 tablet dapson/DDS 50 mg

Pengobatan harian: hari ke 2-28
o 1 tablet lampren 50 mg selang sehari
o 1 tablet dapson/DDS 50 mg
Pasien dengan keadaan khusus

9
1. Hamil dan menyusui: regimen MDT aman untuk ibu hamil dan anaknya.

2. Tuberkulosis: bila seseorang menderita tuberculosis (TB) dan kusta, maka


pengobatan antituberkulosis dan MDT dapat diberikan bersamaan, dengan dosis
9
rifampisin sesuai dosis untuk tuberculosis.
a. Untuk pasien TB yang menderita kusta tipe PB
Untuk pengobatan kusta cukup ditambah dapson 100 mg, karena
rifampisin sudah diperoleh dati OAT. Lama pengobatan tetap sesuai
dengan jangka waktu pengobatan PB.
b. Untuk pasien TB yang menderita kusta tipe MB
Pengobatan kusta cukup dengan dapson dan clofazimine karena rifampisin
sudah diperoleh dari OAT. Lama pengobatan tetap disesuaikan
24
dengan jangka waktu pengobatan MB. Jika pengobatan TB sudah selesai
maka pengobatan kusta kembali sesuai blister MDT.9
c. Untuk pasien resisten obat:
Berdasarkan guidelines WHO pasien dengann resisten rifampicin
ditatalaksana dengan pemberian dua obat second-lines: clarithromycin,
minocycline, atau quinolone (ofloxacin, levofloxacin, atau moxifloxacin),
ditambah clofazimine setiap hari selama 6 bulan, dilanjutkan pemberian

clofazimine ditambah satu obat second-line setiap hari selama 18 bulan.2


Pada kasus pasien yang resisten dengan rifampicin dan ofloxacin, obat
quinolone tidak dipilih, sehingga untuk regimen pengobatannya
diberikan clarithromycin, minocycline, dan clofazimine selama 6 bulan
dilanjutkan dengan clarithromycin atau minocycline ditambah

clofazimine selama 18 bulan.10


10
Tabel 2.8 Rekomendasi Regimen pada Pasien Resisten Obat

Tatalaksana
Tipe Resisten
Fisrt 6 months (daily) Next 18 months (daily)

Resisten Rifampicin Ofloxacin 400mg + Ofloxacin 400mg atau


minocycline 100 mg + minocycline 100 mg +
clofazimine 50 mg clofazimine 50 mg

Ofloxacin 400mg + Ofloxacin 400mg +

clarithromycin 500 clofazimine 50 mg


mg + clofazimine 50
mg

Resisten Rifampicin clarithromycin 500 clarithromycin 500 mg


dan ofloxacin mg + minocycline 100 atau minocycline 100
mg + clofazimine 50 mg + clofazimine 50
mg mg

Catatan : Ofloxacin 400mg dapat diganti dengan levofloxacin 500 mg atau


moxifloxacin 400 mg.

25
2.5 Pencegahan Kecacatan
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan kecacatan atau prevention of
disabilities adalah (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta,
pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat, selanjutnya dengan mengenali
gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai

pengobatan sesegera mungkin.4


WHO expert Committee on leprosy (1997) membuat klasifikasi kecacatan
pada penderita kusta, yaitu: 4
Cacat pada tangan dan kaki
a. Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau
deformitas yang terlihat.
b. Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas tanpa kerusakan atau deformitas yang
terlihat
c. Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas

Cacat pada mata


a. Tingkat 0 : tidak ada kelainan / kerusakan pada mata (termasuk visus)
b. Tingkat 1 : ada kelainan / kerusakan pada mata tetapi tidak terlihat dengan
visus sedikit berkurang
c. Tingkat 2: ada kelainan mata yang terlihat dan atau visus yang terganggu
Kerusakan pada tangan atau kaki dapat berupa ulserasi, absorbs, mutilasi,
dan kontraktur.Kerusakan pada mata dapat berupa anestesi kornea, iridosiklitis,

dan lagoftalmos.1,4

2.10 Prognosis9
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam hingga dubia ad malam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam hingga dubia ad malam
1. Cenderung ke dubia ad bonam:
- Diagnosis dini
- Tanpa kerusakan saraf pda saat awal diagnosis
- Pengobatan cepat dan tepat dan adekuat
- Melaksanakan kegiatan perawatan diri.
2. Cenderung ke dubia ad malam:

26
- Tanpa pengobatan, pasien tipe-B akan downgrading ke kutub lepromatosa dan
mempunyai konsekuensi menularkan penyakit dan berisiko mengalami reaksi
tipe-1 yang akan menyebabkan kerusakan saraf
- Komplikasi berhubungan dengan hilangnya sensasi pada anggota tubuh dan jari-
jari, menyebabkan pasien mengabaikan luka atau luka bakar kecil sampai terjadi
infeksi. Luka terutama pada telapak kaki menimbulkan problematik
- Kerusakan saraf dan komplikasinya mungkin menyebabkan terjadinya cacat,
terutama apabila semua alat gerak dan ke dua mata terkena
- Sering terjadi neuritis dan reaksi yang mungkin menyebabkan kerusakan
permanen, walaupun telah diobati dengan steroid
- Tidak melakukan perawatan diri.

27
BAB 3
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. CS
Umur : 31 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nomor RM : 01.05.60.61
Pekerjaan : Pedagang minuman
Pendidikan : SLTA
Alamat : Jorong Padang Sawah, Kelurahan Binjai, Kecamatan Tigo Nagari,
Kabupaten Pasaman
Status : Menikah
Agama : Islam
Suku : Minang
Negeri Asal : Indonesia
No. Hp : 081374255670

ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berusia 31 tahun rujukan dari RSUD Lubuk Basung
datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUP. Dr. M. Djamil Padang, dengan:

Keluhan Utama
Bercak- bercak merah yang mati rasa pada kedua telinga, wajah, badan,
punggung, kedua lengan, kedua tungkai, kedua kaki meningkat sejak 1 bulan ini.

Riwayat Penyakit Sekarang


- Satu bulan ini muncul bercak-bercak merah baru yang mati rasa pada wajah, badan,
punggung, kedua lengan, kedua tungkai, dan kaki. Pada kaki kanan terasa kesemutan
dan dirasakan paling baal. Pada bercak-bercak merah di lengen kiri terasa baal dan
pada bercak- bercak merah diwajah terasa seperti kesemutan.
- Riwayat pandangan kabur atau penurunan penglihatan tidak ada
- Riwayat pendengaran berkurang tidak ada, riwayat penciuman berkurang dan suara
serak tidak ada

28
- Riwayat sering terlepas memakai sandal tanpa disadari tidak ada
- Riwayat kelopak mata tidak dapat menutup sempurna tidak ada
- Riwayat kerontokan alis, jenggot, kumis, serta rambut-rambut pada kulit lainnya tidak
ada
- Riwayat hidung tersumbat dan sulit bernafas tidak ada
- Riwayat tangan yang susah digerakkan tidak ada
- Riwayat tungkai yang susah digerakkan tidak ada
- Nyeri sendi tidak ada
- Riwayat memakai alat mandi bersama tidak ada
- Riwayat sering meminjam baju orang lain tidak ada
- Pasien jarang berolah raga
- Pasien tidak memakai pakaian ketat, berlapis dan memakai pakaian 1x dan lansung
dicuci
- Pasien mandi 2x sehari

Riwayat Penyakit Dahulu


- Awalnya, bercak-bercak merah yang tersa tebal muncul pada lengan kiri, empat tahun
yang lalu. Bercak merah sempat berkurang dan mengilang tanpa diobati, namun rasa
tebal masih ada dirasakan sampai saat ini. Pasien menyangkal adanya demam dan nyeri
sendi.
- Pasien pernah mendapatkan imunisasi BCG, tetapi pasien tidak ingat imunisasi
lengkap atau tidakPasien tidak ada riwayat batuk-batuk lama dan minum obat paket 6
bulan
- Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat
- Riwayat Hipertensi, DM, penyakit jantung tidak ada

Riwayat Pengobatan
- Pasien berobat ke puskesmas lalu dirujuk ke RSUD Lubuk Basung dan lansung
dirujuk ke RSUP M. Djamil Padang.
- Pengobatan anti nyeri jangka lama, herbal, beli obat sendiri tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga


- Tidak ada riwayat anggota keluarga yang menggalami bercak kemerahan atau
hipopigmentasi yang mati rasa
- Riwayat anggota keluarga pasien yang pernah meminum obat paket selama 6 – 12

29
bulan tidak ada
- Riwayat atopi pada keluarga tidak ada

Riwayat pekerjaan, sosial, dan ekonomi


- Pasien seorang pedagang minuman, pasien berjualan didepan rumahnya
- Pasien tinggal bersama istri dan satu orang anaknya dirumah dengan ukuran 7x4 m ,
dengan ventilasi cukup

Riwayat Penyakit Atopi


- Riwayat kaligata tidak ada
- Riwayat bersin-bersin pagi hari tidak ada
- Riwayat alergi makanan tidak ada
- Riwayat alergi obat tidak ada
- Riwayat mata merah, gatal, dan berair tidak ada
- Riwayat asma tidak ada
- Riwayat alergi serbuk sari dan bulu binatang tidak ada

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran : Komposmentis Kooperatif
Nadi : 80 x/menit
Napas : 18 x/menit
Berat Badan : 72 kg
Tinggi badan : 164 cm

IMT : 26,8 kg/m2


Status gizi : overweight
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
lagoftalmus (-), proptosis (-), visus tidak dilakukan
KGB : Tidak ada pembesaran
Pemeriksaan thorak : Dalam batas normal
Pemeriksaan abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : CRT < 2 s, edema (-/-)

30
Status Dermatologikus
Lokasi : Wajah, Kedua daun telinga, kedua lengan, badan, punggung, kedua
tungkai, kedua kaki.
Distribusi : Regional
Bentuk : Bulat, oval sampai tidak khas
Susunan : Tidak khas
Batas : Tegas
Ukuran : Numular-plakat
Effloresensi : Plak eritem,
Status Venerologikus : Tidak dilakukan pemeriksaan
Kelainan selaput : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan kuku : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan rambut : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan Kelenjar Limfe : Tidak terdapat pembesaran KGB

Gambar 3.1 Lesi pada kedua telinga

31
Gambar 3.2 Lesi pada wajah

Gambar 3.3 Lesi pada badan dan punggung.

32
Gambar 3.4 Lesi pada tungkai

33
Gambar 3.5 lesi pada kaki

34
Gambar 3.6 Lesi pada kedua lengan

Pemeriksaan Sensibilitas
- Rasa raba : Anestesia pada lesi di lengan kiri bawah, dan anestesi
pada kaki kanan
- Rasa tusuk : Hipoestesi pada lengan kiri bawah dan hipoestesi pada
jari 2 dan 3 kaki kanan

Pembesaran Saraf Perifer


- N. Aurikularis Magnus
Kanan : Tidak teraba pembesaran, nyeri (-)
Kiri : Tidak teraba pembesaran, nyeri (-)
- N. Ulnaris
Kanan : Tidak teraba pembesaran, nyeri (-)
Kiri :Tidak teraba pembesaran, nyeri (-)
- N. Peroneus Lateral
Kanan : Teraba pembesaran, nyeri (+)
Kiri : Tidak teraba pembesaran, nyeri (-)
- N. Tibialis Posterior
Kanan :Tidak teraba pembesaran, nyeri (-)
Kiri:Tidak teraba pembesaran, nyeri (-)

35
Pemeriksaan Motoris:
- M. orbicularis oculi : 5/5
- M. abductor digitiminimi : 5/5
- M. interoseous dorsalis : 5/5
- M. abductor pollicis brevis : 5/5
- M. tibialis anterior : 5/5

Pemeriksaan kecacatan:
- Mutilasi : Tidak ada
- Absorbsi : Tidakada
- Atrofi otot : minimal di distal maleolus medial
- Xerosiskutis : Ada
- Ulkus trofik : Tidak ada
- Madarosis : Tidak ada
- Lagoftalmus : Tidak ada
- Claw hand : Tidak ada
- Ape hand : Tidak ada
- Wrist drop : Tidak ada
- Dropped foot : Tidak ada
- Faciesleonina : Tidak ada

Resume
Seorang laki-laki berusia 31 tahun dating dengan keluhan sejak 1 bulan ini muncul
bercak-bercak merah baru yang mati rasa pada kedua telingan, wajah, badan, punggung, kedua
lengan, kedua tungkai, dan kedua kaki. Pada kaki kanan terasa kesemutan dan paling baal. Pada
bercak-bercak merah di lengan kiri terasa baal dan pada bercak- bercak merah diwajah terasa
seperti kesemutan. Nyeri tidak ada, gatal tidak ada. Pasien berobat ke puskemas lalu dirujuk ke
RSUD Lubuk Basung kemudian dirujuk ke RSUP Dr M Djamil Padang untuk penatalaksaan
lebih lanjut. Pasien dilakukan pemeriksaan penunjang didapatkan BTA negatif dan dilakukan
biopsi jaringan namun hasil pemeriksaan belum keluar. Demam tidak ada dan riwayat demam
ada.. Pasien seorang pedagang minuman dengan aktivitas fisik ringan sampai sedang. Riwayat
atopi disangkal. Pada pemeriksaan fisik umum dalam batas normal. Pemeriksaan status
dermatologikus ditemukan makula eritem regional pada wajah, kedua daun telinga, kedua
lengan atas, badan, dada, punggung, kedua

36
tungkai, kedua kaki. Bentuk bulat, oval sampai tidak khas, susunan tidak khas, batas tegas
dengan ukuran numular sampai plakat.

DIAGNOSIS KERJA
Morbus Hansen tipe MB

DIAGNOSIS BANDING
- Granuloma anular
- Ptiriasis Rosea

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Rutin :
- Hb : 14,6 g/dl
- Leukosit : 7800 mm3
- Hematockrit : 45%
- Trombosit : 306000 mm3
- PT : 10,6 s
- APTT : 35,7 s
Pemeriksaan BTA (negatif)

TATALAKSANA

Terapi Umum:
- Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit kusta disebabkan oleh infeksi
M. leprae dan komplikasinya dapat menyebabkan kecacatan.
- Menjelaskan kepada pasien untuk berobat secara teratur dan tidak boleh
putus obat serta menjelaskan mengenai efek samping obat yang dapat
membaik setelah obat dihentikan.
- Menerangkan kepada pasien untuk selalu memakai sarung tangan setiap
akan memegang benda panas atau setiap akan bekerja menggunakan benda
tajam.
- Selalu memakai sandal setiap akan berakifitas jika perlu memakai kaus kaki
- Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka dan merawat luka.
- Menyarankan untuk melakukan pemeriksaan pada anggota keluarga serumah
karena penyakit ini merupakan penyakit yang menular pada kontak

37
lama dan erat.

Terapi Khusus:
Pengobatan bulanan : Hari 1 obat dimunum didepan petugas
Rifampicin 600 mg (2 x 300 mg)
Dapson 100 mg
Lampren 300 mg (3 X 100 mg)
Pengobatan Harian untuk hari ke 2 -28
1 tablet Lampren 50 mg

1 tablet dapson 100 mg

1 blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister untuk 12- 18 bulan

PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Sanam : Dubia ad Bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad Malam

38
BAB 4
DISKUSI

Seorang laki-laki berusia 31 tahun datang dengan keluhan sejak 1 bulan ini muncul
bercak-bercak merah baru yang terasa tebal pada kedua telinga, wajah, badan, punggung,
kedua lengan, kedua tungkai, dan kedua kaki. Pada kaki kanan terasa kesemutan dan paling
baal. Pada bercak-bercak merah di lengan kiri terasa baal dan pada bercak- bercak merah
diwajah terasa seperti kesemutan. Nyeri tidak ada, gatal tidak ada. Pasien berobat ke
puskemas lalu dirujuk ke RSUD Lubuk Basung kemudian dirujuk ke RSUP Dr M Djamil
Padang untuk penatalaksaan lebih lanjut.
Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat menentukan terapi yang sesuai. Bila
kuman M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai dengan
kerentanan orang tersebut. Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda
utama atau tanda cardinal yaitu kelainan kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi yang disertai
dengan gangguan fungsi saraf, dan adanya BTA didalam kerokan jaringan kulit. Seseorang
dinyatakan sebagai penderita kusta jika terdapat satu dari tanda-tanda cardinal tersebut. Pada
pasien ini tanda cardinal yang ditemukan adalah ditemukannya terasa mati rasa pada kaki
kanan. Serta ditemukan kelainan kulit yang merupakan tanda-tanda tersangka kusta yaitu
bercak kulit yang merah, keluhan mati rasa, dan terasa seperti kesemutan pada lesi.
Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, begitu juga sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit
tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda-beda. Yang menggugah timbulnya reaksi
granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena
itu, penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding
dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya.
Sumber infeksi dari pasien ini sulit diidentifikasi berdasarkan anamnesis. Tidak ada
keluarga dengan riwayat keluhan yang sama sebelumnya. Berdasarkan tanda klinis pasien kita
bisa mendiagnosis pasien dengan penyakit kusta secara klinis. Namun, pemeriksaan BTA pada
psien ini didapatkan negatif. Penyakit kusta pada pasien ini diduga multibasiler. Sifat dari kusta
tipe MB ini adalah bentuk lesi bisa makula plakat atau papul, dengan jumlah lesi sukar dihitung
namun masih ada kulit yang sehat, distribusi hamper simetris, permukaan halus berkilat, batas
agak jelas, anesthesia tidak jelas. Diagnosis kusta pada pasien ini sudah dapat ditegakkan secara
klinis namun perlu dipastikan untuk menentukan tipenya karena

39
hasil BTA pada pasien didapatkan negatif. Pengobatan pada pasien ini adalah MDT MB
berdasarkan diagnosis yang ditegakkan.
Selain terapi medikamentosa, pada pasien juga diberikan edukasi berupa
pengobatan kusta ini harus dijalankan secara teratur hal ini berguna untuk mempercepat
pemulihan. Menjelaskan bahwa pentingnya higienitas pada pasien. Serta menyarankan
melakukan pemeriksaan pada semua anggota keluarga pasien yang tinggal serumah karena
penyakit ini merupakan penyakit menular pada kontak erat dan lama.
Untuk prognosis kesembuhan dan kehidupan pada pasien ini adalah bonam selama
pasien dapat berobat dan kontrol teratur, prognosis fungsi adalah dubia ad malam karena
sudah terdapat anestesi, serta prognosis kosmetik adalah malam karena terdapat lesi yang
luas.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Wisnu I, Daili ESS, Menaldi. Kusta. Dalam: Menaldi SL (eds). Ilmu Penyakit kulit
dan Kelamin. Edisi ke-7. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2017. pp: 87-102
2. Kusta. Pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan RI. 2018.pp: 1-12.
3. Aditama, dkk, 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.
4. Wolff, Klaus.Richard Allen Johnson.Arturo P. Saavedra. Leprosy dalam Fitzpatrick’s
Color Atlas and Synopsis Of Clinical Dermatology Seventh Edition. New York: Mc
Graw Hill. 2013. Hal 569-574.
5. James WD, Berger TG, Elston DM, eds. Andrews’ Disease of the Skin, Clinical
Dermatology.11th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.
6. Agusni I, Menaldi SL. 2003. Beberapa Prosedur Diagnosis Baru pada Penyakit Kusta.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 59-65.
7. Burns T., B.S., Cox N. et al,Rook’s Textbook of Dermatology.8th Edition.2010.
8. Schieke SM, Garg A. Fungal disease: superficial fungal infection. In:Goldsmith LA,
Katz SI,Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, eds. Fitzpatrick’s Dermatology
in GeneralMedicine. 8th Ed: Volume 2. New York: McGraw-Hill; 2012. p.2277-97
9. Dirjen PP&PL Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pengendalian Kusta. Pedoman Nas
Pengendali Kusta. 2012;192.
10. Global Leprosy Strategy 2016-2020. World Health Organization. 2016.
11. PERDOSKI. Panduan Praktik Klinis PERDOSKI [Internet]. 2017. 406 p. Available
from: https://www.perdoski.id/uploads/original/2017/10/PPKPERDOSKI2017.pdf
12. IDI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
Menteri Kesehat Republik Indonesia; 2017.

41

Anda mungkin juga menyukai