PEMANTAUAN JANIN/CARDIOTOCOGRAPHY
Ff
Oleh :
081371006595
Pembimbing :
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Bed Side Teaching (BST) yang
Ginekologi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. H. Defrin, Sp.OG (K)
sebagai pembimbing yang telah membantu dalam penulisan bed site teaching ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang membaca demi
kesempurnaan bed site teaching ini. Penulis juga berharap bed site teaching ini dapat
lainnya.
Penulis
1
DAFTAR ISI
BAB IV DISKUSI…………………………………………………………………...35
DAFTAR PUSTAKA
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
Pemantauan kesejahteraan janin merupakan hal penting dalam
pengawasan janin, terutama pada saat persalinan. Dukungan teknologi sangat
berperan dalam kemajuan pemantauan janin. Asuhan antenatal modern
memerlukan tatalaksana yang efisien, efektif, andal, dan komprehensif.
Standarisasi pemantauan sudah merupakan suatu prasyarat yang harus
dipenuhi agar evaluasi keberhasilan atau kegagalan pemantauan kesejahteraan
janin yang dikaitkan dengan luaran perinatal dapat dilaksanakan dengan baik. Bila
hal ini dapat dilakukan dengan baik, diharapkan angka kematian ibu dan perinatal
dapat diturunkan. Standarisasi memerlukan kegiatan yang terstruktur dan
berkesinambungan dengan evaluasi berkala melalui suatu pelatihan pemantauan
kesejahteraan janin.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
3
Gambar 2.1. Monitor Elektronik Eksternal
6
letargik, maka dapat dirangsang untuk bergerak dengan melakukan ketukan pada
uterus secara lembut.
No Indikasi Waktu
5
7
2. Indikasi Relatif, diuraikan dalam tabel 2.2. dibawah ini.
No Indikasi Waktu
8
2. Sistem saraf Parasimpatis
Sistem saraf parasimpatis terutama terdiri dari serabut nervus vagus yang
berasal dari batang otak. Sistem saraf ini akan mengatur nodus SA, nodus VA,
dan neuron yang terletak di antara atrium dan ventrikel jantung. Stimulasi nervus
vagus, misalnya dengan asetilkolin akan menurunkan frekuensi DJJ, sedangkan
inhibisi nervus vagus, misalnya dengan atropin, akan meningkatkan frekuensi
DJJ.
3. Baroreseptor
Reseptor ini letaknya pada arkus aorta dan sinus karotid. Bila tekanan
darah meningkat, baroreseptor akan merangsang nervus vagus dan nervus
glossofaringeus pada batang otak. Akibatnya akan terjadi penekanan aktivitas
jantung berupa penurunan frekuensi DJJ dan curah jantung.
4. Kemoreseptor
Kemoreseptor terdiri dari dua bagian, yaitu bagian perifer yang terletak
didaerah karotid dan korpus aortik; dan bagian sentral yang terletak dibatang otak.
Reseptor ini berfungsi mengatur perubahan kadar oksigen dan karbondioksida
dalam darah dan cairan serebrospinal. Bila kadar oksigen menurun dan
karbondioksida meningkat, akan terjadi refleks dari reseptor sentral berupa
takikardia dan peningkatan tekanan darah. Hal ini akan memperlancar aliran
darah, meningkatkan kadar oksigen, dan menurunkan kadar karbondioksida.
Keadaan hipoksia atau hiperkapnia akan mempengaruhi reseptor perifer dan
menimbulkan refleks bradikardia. Interaksi kedua macam reseptor tersebut akan
menyebabkan bradikardi dan hipotensi.
5. Susunan Saraf Pusat
Aktivitas otak meningkat sesuai dengan bertambahnya variabilitas DJJ dan
gerakan janin. Pada keadaan janin tidur, aktivitas otak menurun, dan variabilitas
DJJ pun akan berkurang.
6. Sistem Pengaturan Hormonal
9
Pada keadaan stres, misalnya hipoksia intrauterin, medula adrenal akan
mengeluarkan epinefrin dan nor-epinefrin. Hal ini akan menyebabkan takikardia,
peningkatan kekuatan kontraksi jantung dan hipertensi.
7. Sistem kompleks proprioseptor, serabut saraf nyeri,
baroreseptor, stretch reseptors dan pusat pengaturan
Akselerasi DJJ dimulai bila ada sinyal aferen yang berasal dari salah satu
dari tiga sumber, yaitu (1) proprioseptor dan ujung serabut saraf pada jaringan
sendi; (2) serabut saraf nyeri yang terutama banyak terdapat di jaringan kulit; dan
(3) baroreseptor di aorta ascendens dan arteri karotis, dan stretch reseptors di
atrium kanan. Sinyal-sinyal tersebut diteruskan ke cardioregulatory center (CRC)
kemudian ke cardiac vagus dan saraf simpatis, selanjutnya menuju nodus
sinoatrial sehingga timbul akselerasi DJJ.
2.6. Teknik pemeriksaan
Teknik pemeriksaan KTG adalah sebagai berikut:7
1. Persetujuan tindak medik (informed consent): menjelaskan indikasi,
cara pemeriksaan dan kemungkinan hasil yang akan didapat.
Persetujuan tindak medik ini dilakukan oleh dokter penanggung jawab
pasien.
2. Kosongkan kandung kencing.
3. Periksa kesadaran dan tanda vital ibu.
4. Ibu tidur terlentang, bila ada tanda-tanda insufisiensi utero-plasenter
atau gawat janin, ibu tidur miring ke kiri dan diberi oksigen 4 liter /
menit.
5. Lakukan pemeriksaan Leopold untuk menentukan letak, presentasi
dan punktum maksimum DJJ.
6. Hitung DJJ selama satu menit; bila ada his, dihitung sebelum dan
segera setelah kontraksi berakhir.
7. Pasang transduser untuk tokometri di daerah fundus uteri dan DJJ di
daerah punktum maksimum.
10
8. Setelah transduser terpasang baik, beri tahu ibu bila janin terasa
bergerak, pencet bel yang telah disediakan dan hitung berapa gerakan
bayi yang dirasakan oleh ibu selama perekaman KTG.
9. Hidupkan komputer dan alat KTG.
10. Lama perekaman adalah 30 menit (tergantung keadaan janin dan hasil
yang ingin dicapai).
11. Lakukan pencetakkan hasil rekaman KTG.
12. Lakukan dokumentasi data pada komputer (data untuk rumah sakit).
13. Matikan komputer dan mesin KTG. Bersihkan dan rapikan kembali
alat pada tempatnya.
14. Beritahu pada pasien bahwa pemeriksaan telah selesai.
15. Berikan hasil rekaman KTG kepada dokter penanggung jawab atau
paramedik untuk membantu membacakan hasil interpretasi komputer
secara lengkap kepada dokter. Paramedik (bidan) dilarang
memberikan interpretasi hasil ctg kepada pasien.
11
1. Denyut jantung janin dasar (baseline fetal heart rate).
Yang termasuk disini adalah frekuensi dasar dan variabilitas DJJ saat
uterus dalam keadaan istirahat (relaksasi).
2. Perubahan periodik / episodik DJJ
Perubahan periodik DJJ adalah perubahan DJJ yang terjadi akibat
kontraksi uterus, sedangkan perubahan episodik DJJ adalah perubahan DJJ
yang bukan disebabkan oleh kontraksi uterus (misalnya gerakan janin dan
refleks tali pusat).
2.7.1. Frekuensi Dasar DJJ
Frekuensi dasar DJJ adalah frekuensi rata-rata DJJ yang terlihat
selama periode 10 menit, tanpa disertai periode variabilitas DJJ yang
berlebihan (lebih dari 25 dpm), tidak terdapat perubahan periodik atau
episodik DJJ, dan tidak terdapat perubahan frekuensi dasar yang lebih dari
25 denyut per menit (dpm). Dalam keadaan normal, frekuensi dasar DJJ
berkisar antara 120 – 160 dpm. Frekuensi dasar DJJ yang lebih dari 160
dpm disebut takikardia, bila kurang dari 120 dpm disebut bradikardia. Ada
juga yang memakai batasan normal 115 – 160 dpm atau 110 – 160 dpm.4,6
12
Takikardia dapat terjadi pada keadaan hipoksia ringan janin, akan
tetapi gambaran tersebut biasanya tidak berdiri sendiri. Bila takikardia
disertai dengan variabilitas DJJ yang normal, biasanya janin masih dalam
keadaan baik. Takikardia dapat juga terjadi oleh sebab lain yang bukan
hipoksia, seperti:4,5,6
1. Janin pada kehamilan kurang dari 30 minggu
2. Infeksi pada ibu atau janin (khorioamnionitis)
3. Anemia janin.
4. Ibu gelisah.
5. Kontraksi uterus yang terlampau sering (takhisistolik)
6. Ibu hipertiroid
7. Obat (atropin, skopolamin, ritrodrin, isoxsuprin, dsb)
8. Takiaritmia janin (biasanya diatas 200 dpm)
13
tersebut.Pada keadaan ini akan terjadi bradikardia yang kurang dari 100
dpm, disertai dengan berkurang atau menghilangnya variabilitas DJJ.4,7,8
14
1. Variabilitas jangka pendek (short term variability)
Variabilitas ini merupakan perbedaan interval antara denyut yang terlihat
pada gambaran KTG yang juga menunjukkan variasi dari frekuensi antara
denyut pada DJJ. Rata-rata variabilitas jangka pendek DJJ yang normal
antara 2-3 dpm. Arti klinis dari variabilitas jangka pendek masih belum
banyak diketahui, akan tetapi biasanya tampak menghilang pada janin
yang akan mengalami kematian dalam rahim.
2. Variabilitas jangka panjang (long term variability)
Variabilitas ini merupakan gambaran osilasi yang lebih kasar dan lebih
jelas tampak pada rekaman KTG dibanding dengan variabilitas jangka
pendek. Rata-rata mempunyai siklus 3-6 kali permenit. Penilaian
variabilitas DJJ yang paling mudah adalah dengan mengukur besarnya
amplitudo dari variabilitas jangka panjang (long term variability).
Berdasarkan besarnya amplitudo tersebut, variabilitas DJJ dapat
dikategorikan menjadi:
a. Variabilitas normal: amplitudo berkisar antara 5 – 25 dpm
b. Variabilitas berkurang: amplitudo 2 – 5 dpm
c. Variabilitas menghilang: amplitudo kurang dari 2 dpm
d. Variabilitas berlebih (saltatory): amplitudo lebih dari 25 dpm.
15
Gambar 2.6. Gambaran variabilitas DJJ menurun
Pada hipoksia serebral, variabilitas DJJ akan menghilang apabila janin
tidak mampu mengadakan mekanisme kompensasi hemodinamik untuk
mempertahankan oksigenasi serebral. Dapat disimpulkan bahwa variabilitas
DJJ yang normal menunjukkan sistem persarafan janin mulai dari korteks
serebri – batang otak – nervus vagus – dan sistem konduksi jantung dalam
keadaan baik. Variabilitas DJJ akan menghilang pada janin yang mengalami
asidosis metabolik.7
Beberapa keadaan bukan hipoksia yang dapat menyebabkan
variabilitas DJJ berkurang:9,10
1. Janin tidur (suatu keadaan fisiologis dimana aktivitas otak berkurang)
2. Janin anensefalus (korteks serebri tidak terbentuk)
3. Janin preterm (sistem persarafan belum sempurna)
4. Obat (narkotik, diazepam, MgSO4, betametason)
5. Blokade vagal
6. Defek jantung bawaan.
Suatu keadaan dimana variabilitas jangka pendek menghilang
sedangkan variabilitas jangka panjang tampak dominan sehingga tampak
gambaran sinusoidal. Hal ini sering ditemukan pada:7,8
1. Hipoksia janin berat
2. Anemia kronik
3. Fetal eritroblastosis
4. Rh-sensitized
5. Pengaruh obat-obat Nisentil, alpha prodine
Beberapa perubahan periodik/episodik DJJ yang dapat dikenali pada
pemeriksaan KTG adalah akselerasi dan deselerasi.7,8,9
1. Akselerasi (accelerations)
Akselerasi adalah peningkatan DJJ sebesar 15 dpm atau lebih,
berlangsung selama 15 detik atau lebih, yang terjadi akibat gerakan atau
16
stimulasi janin. Akselerasi yang berlangsung selama 2 – 10 menit disebut
akselerasi memanjang (prolonged acceleration).9,10
Penilaian akselerasi sering digunakan untuk menentukan
kesejahteraan janin, dan merupakan dasar dari pemeriksaan non-stress test
(NST). Janin yang tidak menunjukkan tanda akselerasi DJJ bukan berarti
dalam keadaan bahaya, namun merupakan indikasi untuk pemeriksaan lebih
lanjut, seperti contraction stress test (CST) atau penilaian profil biofisik
janin.9,10
17
2. Deselerasi dini (early decelerations)
Deselerasi dini adalah penurunan DJJ sesaat yang terjadi bersamaan
dengan timbulnya kontraksi. Gambaran penurunan DJJ pada deselerasi dini
menyerupai bayangan cermin dari kontraksi, yaitu timbul dan berakhirnya
deselerasi sesuai dengan saat timbul dan berakhirnya kontraksi. Nadir (bagian
terendah) deselerasi terjadi pada saat puncak kontraksi.7,10
Penurunan DJJ pada deselerasi dini biasanya tidak mencapai 100 dpm.
Deselerasi dini tidak mempunyai arti patologis jika tidak disertai kelainan
pada gambaran DJJ lainnya.8,9
18
Gambar 2.9. Perubahan periodik DJJ – Deselerasi dini
Deselerasi dini sering terjadi pada persalinan normal / fisiologis
dimana terjadi kontraksi uterus yang periodik dan normal. Deselerasi saat ini
disebabkan oleh penekanan kepala janin oleh jalan lahir yang mengakibatkan
hipoksia dan merangsang reflex vagal.9,10
19
Gambar 2.10. Patofisiologi deselerasi lambat
Ciri-ciri deselerasi lambat adalah sebagai berikut:9,10
1. Timbulnya sekitar 20-30 detik setelah kontraksi uterus dimulai
2. Berakhirnya sekitar 20-30 detik setelah kontraksi uterus menghilang
3. Lamanya kurang dari 90 detik (rata-rata 40-60 detik)
4. Timbul berulang pada setiap kontraksi dan beratnya sesuai dengan
intensitas kontraksi uterus
5. Frekuensi dasar denyut jantung janin biasanya normal atau takikardi
ringan, akan tetapi pada keadaan hipoksia yang berat bisa bradikardi
Gambaran deselerasi lambat yang “halus” (penurunan DJJ sangat
sedikit) mungkin sulit dideteksi pada KTG, akan tetapi tetap mempunyai arti
patologis (abnormal). Penurunan aliran darah pada sirkulasi ibu akan
20
menyebabkan janin mengalami hipoksia. Apabila janin masih mempunyai
cadangan yang mencukupi dan masih mampu mengadakan kompensasi
keadaan tersebut, maka tidak tampak adanya gangguan pada gambaran KTG
selama tidak ada stress yang lain.
Bila terjadi kontraksi uterus, maka aliran darah ke plasenta akan
semakin berkurang dan akan memperberat keadaan hipoksia janin. Keadaan
terakhir ini akan menyebabkan rangsangan pada kemoreseptor dan n.vagus
dan terjadilah deselerasi lambat tersebut. Jarak waktu antara timbulnya
kontraksi dan terjadinya deselerasi sesuai dengan waktu yang diperlukan
untuk rangsangan kemoreseptor dan n.vagus. pada fase awal, dimana tingkat
hipoksia belum sampai menyebabkan hipoksia otak dan tubuh masih mampu
mengadakan kompensasi untuk mempertahankan sirkulasi otak, variabilitas
DJJ biasanya normal.
Akan tetapi bila keadaan hipoksia semakin berat dan berlangsung
lebih lama maka jaringan otak akan mengalami hipoksia. Sebagai akibatnya
adalah variabilitas DJJ yang menurun dan akhirnya menghilang sebelum
janin akhirnya mati dalam rahim.7,9,10
21
Penanganan apabila ditemukan deselerasi lambat adalah memberikan
infus, ibu tidur miring, berikan oksigen, menghentikan kontraksi uterus
dengan memberikan obat-obatan tokolitik, dan segera direncanakan terminasi
kehamilan dengan seksio sesarea.9
4. Deselerasi variabel (variable decelerations)
Deselerasi variabel mempunyai bentuk yang bervariasi, dan kaitan
timbulnya deselerasi dengan kontraksi juga bervariasi. Deselerasi variabel
terjadi akibat kontraksi uterus, terutama pada partus kala II dan penyebab
paling sering adalah kompresi tali pusat pada kehamilan atau kala I.
Kompresi ini bisa oleh karena lilitan tali pusat, tali pusat menumbung, atau
oligohidramnion. Selama variabilitas DJJ masih baik, biasanya janin tidak
mengalami hipoksia yang berarti. Penanganan yang dianjurkan pada keadaan
ini adalah perubahan posisi ibu, reposisi tali pusat bila ditemukan adanya tali
pusat terkemuka atau menumbung, pemberian oksigen pada ibu, amnio-
infusion untuk mengatasi oligohidramnion bila memungkinkan, dan terminasi
persalinan bila diperlukan.10
22
Ciri-ciri deselerasi variabel adalah sebagai berikut:9
1. Gambaran deselerasi bervariasi, baik saat timbulnya, lamanya, amplitude
maupun bentuknya
2. Saat dimulai dan berakhirnya deselerasi terjadi dengan cepat dan
penurunan frekuensi dasar DJJ (amplitudo) bisa sampai 60 dpm
3. Biasanya terjadi akselerasi sebelum (akselerasi predeselerasi) atau
sesudah (akselerasi pascadeselerasi) terjadinya deselerasi variabel
4. Bila terjadi deselerasi variabel yang berulang terlalu sering, atau
deselerasi variabel memanjang (prolonged) harus waspada terhadap
kemungkinan terjadinya hipoksia janin yang berlanjut.
23
3. Deselerasi variabel berat, apabila DJJ menurun sampai di bawah 60 dpm
dan lamanya lebih dari 60 detik.
Istilah deselerasi variable memanjang (prolonged variable
decelerations) digunakan untuk menyatakan penurunan DJJ lebih dari 30
dpm dan lamanya lebih dari 2,5 menit. Deselerasi variabel merupakan jenis
deselerasi yang paling sering dijumpai, yaitu pada sekitar 50% - 80% partus
kala II; dan kebanyakan tidak berbahaya bagi janin. Tanda-tanda deselerasi
variabel yang tidak berbahaya bagi janin adalah sebagai berikut:9,10
1. Timbul dan menghilangnya deselerasi berlangsung cepat
2. Variabilitas DJJ masih normal
3. Terdapat akselerasi DJJ pada saat kontraksi.
Tanda-tanda deselerasi variabel yang berbahaya bagi janin adalah
sebagai berikut:8,10
1. Terjadinya lebih lambat dari saat timbulnya kontraksi
2. Pemulihan (menghilangnya) deselerasi berlangsung lambat.
3. Variabilitas DJJ berkurang, atau meningkat secara berlebihan
4. Menghilangnya akselerasi pra- dan pasca-deselerasi
5. Semakin beratnya derajat deselerasi variabel
Derajat beratnya deselerasi variabel ditentukan oleh amplitude,
frekuensi, dan lamanya deselerasi. Deselerasi variabel yang terjadi hanya
sekali tidak berarti abnormal, oleh karena mungkin terjadi akibat pemeriksaan
dalam (PD), atau akibat perubahan posisi. Hasil rekaman KTG yang normal
pada umumnya memberikan gambaran sebagai berikut:9,10
1. Frekuensi dasar DJJ 120-160 dpm
2. Variabilitas DJJ 6-25 dpm
3. Terdapat akselerasi
4. Tidak terdapat deselerasi atau kalaupun ada hanya suatu deselerasi dini
2.8. Kontra Indikasi
Sampai saat ini belum ditemukan kontra-indikasi pemeriksaan CTG
terhadap ibu maupun janin.4,7
2.9. Interprestasi hasil KTG
24
Terdapat 4 pola KTG yang mungkin terjadi, yaitu:7,9,10
a. Normal/ reaktif
Pola normal/ reaktif menunjukkan bahwa janin tidak mempunyai risiko
mati dalam 7-10 hari berikutnya. Frekwensi DJJ normal adalah antara 110
dan 160 dpm dengan variabilitas batas dasar normal antara 5-15 dpm.
Selama pola ini persisten sepanjang persalinan, prognosis neonatus baik.
b. Non-reaktif
Jika didapati tidak adanya gerakan janin dalam 20 menit, tidak terdapat
akselerasi pada gerakan janin, frekuensi dasar DJJ abnormal (kurang dari
120 dpm atau lebih dari 160 dpm), dan variabilitas DJJ kurang dari 2 dpm.
c. Meragukan
Jika didapati gerakan janin kurang dari 2 kali dalam 20 menit, atau
terdapat akselerasi kurang dari 15 dpm, frekuensi dasar DJJ abnormal, dan
variabilitas antara 2 – 5 dpm.
Satu masalah dengan KTG adalah bahwa pola yang normal meramalkan
bahwa janin tidak dalam keadaan yang bahaya, dan pola abnormal tidak
memberikan prediksi yang akurat terhadap bahaya janin.7,9
25
Meragukan, terdapat gerakan janin tetapi kurang dari 2 kali selama 20
menit pemeriksaan atau terdapat akselerasi yang kurang dari 10 dpm,
variabilitas DJJ masih normal. Pada hasil yang meragukan,
pemeriksaan hendaknya diulangi dalam waktu 24 jam atau dilanjutkan
dengan pemeriksaan Contraction Stress test (CST).
Abnormal, apabila ditemukan bradikardi dan deselerasi 40 dpm atau
lebih dibawah frekuensi dasar atau DJJ mencapai 90 dpm, yang
lamanya 60 detik atau lebih. Pada keadaan ini dilakukan terminasi
kehamilan bila janin sudah viabel atau pemeriksaan ulang setiap 12-24
jam bila janin belum viabel.
b. Contraction Stress test (CST) bertujuan untuk menilai gambaran DJJ
dalam hubungannya dengan kontraksi uterus. CST biasanya dilakukan
untuk memantau kesejahteraan janin saat proses persalinan terjadi
(inpartu). Penilaian CST: frekuensi dasar DJJ, variabilitas, dan perubahan
periodik DJJ terkait kontraksi uterus. Interpretasi CST:
Negatif, frekuensi DJJ normal, variabilitas DJJ normal, tidak
didapatkan adanya deselerasi lambat, mungkin ditemukan adanya
akselerasi atau deselerasi dini.
Positif, terdapat deselerasi lambat yang berulang pada sedikitnya 50%
dari jumlah kontraksi. Terdapat deselerasi lambat yang berulang,
meskipun kontraksi tidak adekuat, variabilitas DJJ kurang atau
menghilang.
Mencurigakan, terdapat deselerasi lambat yang kurang dari 50% dari
jumlah kontaksi, terdapat deselerasi variabel, frekuensi dasar DJJ
abnormal. Bila hasil CST mencurigakan, pemeriksaan harus diulangi
dalam 24 jam.
Tidak memuaskan. Hasil rekaman tidak representatif, misalnya karena
ibu gemuk, gelisah atau gerakan janin berlebihan, tidak terjadi
kontraksi uterus yang adekuat. Pemeriksaan harus diulangi dalam 24
jam.
26
Hiperstimulasi, kontraksi uterus lebih dari 5 kali dalam 10 menit,
lamanya lebih dari 90 detik, seringkali terjadi deselerasi lambat atau
bradikardi.
Sebelum melakukan interpretasi KTG harus mengetahui bagaimana
kondisi ibu dan janin, peralatan yang dipakai, dan sarana pendukung lainnya.Hal
terpenting adalah identifikasi semua faktor yang berkaitan dengan risiko hipoksia
pada janin.NICHD (2008) dan Freeman dkk (2012) merekomendasikan penerapan
Tiga Katagori dalam interpretasi DJJ sebagai berikut :
27
1. Frekuensi dasar DJJ : Bradikardia (<110 dpm) yang tidak disertai
hilangnya variabilitas (absent variability)
Kategori III berkaitan dengan abnormalitas status asam basa pada saat
pemantauan janin tersebut dilakukan.Katagori III memerlukan evaluasi yang baik
(akurat). Pada kondisi ini, tindakan yang dilakukan tidak terbatas hanya untuk
memberikan oksigenasi bagi ibu, merubah posisi ibu, menghentikan stimulasi
persalinan, atasi hipotensi maternal, dan penatalaksanaan takhisistol, tetapi juga
dilihat situasi klinis yang terjadi pada waktu itu. Bila Katagori III tidak dapat
diatasi, pertimbangkan untuk mengakhiri kehamilan (persalinan).12,13
3. Bradikardia
28
- Pemberian tokolisis bila terdapat kontraksi
- Menormalkan tekanan darah apabila terdapat hipertensi atau hipotensi
- Amnioninfusi bila terdapat oligohidramnion
2. Koreksi Oksigenasi
- Pemberian oksigen
- Perbaikan anemia
29
BAB 3
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M
Usia : 34 tahun
Alamat : Jorong Koto Tuo, Kab. Tanah Datar
No. RM : 01.05.23.22
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan terakhir : SMA
Agama : Islam
Tanggal Masuk RS : 24 Juni 2019
2. ANAMNESIS PASIEN
Djamil Padang pada tanggal 24 Juni 2019, pasien dirujuk dari RSIA Fadhila
HPHT : lupa
30
Riwayat menstruasi : menarche umur 13 tahun, siklus haid teratur, 1x
30 hari, lama 5-6 hari, banyak 2-3x ganti pembalut/hari, nyeri haid (-)
sebelumnya
3. PEMERIKSAAN FISIK
Nadi : 90 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,7C
31
Kepala : Normocephal, rambut hitam tidak mudah rontok
Thorak
Jantung
Paru
o Perkusi : sonor
32
Anus : Tidak dilakukakan pemeriksaan
Status Obstetrikus
Abdomen
o Palpasi :
L IV : (-)
His : (-)
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (14/6/2019)
Hb : 12,7 gr/dL
Leukosit : 8570 /mm3
Ht : 37%
Trombosit : 235.000/mm3
33
Kesan : dalam batas normal
GDS : 97 mg/dl
Ureum : 13 mg/dl
SGOT : 9 u/l
SGPT : 6 u/l
34
USG 20/06/2019
Biometri
BPD : 9,61 cm
HC : 11,58 cm
AC : 31,53 cm
FL : 6,65 cm
HL : 5,78 cm
EFW : 3275 gr
FHR : 158 x/menit
SDAU : 2,25
SDP : 3,62
Plasenta letak corpus anterior meluas ke inferior (bridging vein +,
lakuna +) grade II-III
Kesan : Gravid 36-37 minggu sesuai biometri + Plasenta previa
Janin hidup tunggal intrauterine, aktifitas gerak janin baik
Kardiotokografi (CTG)
35
INTERPRETASI CTG
PERUBAHAN PERIODIK
Akselerasi : (-)
Deselerasi : (-)
Kontraksi : (-)
Kesan: Kategori I
5. DIAGNOSIS
1x + Plasenta previa
6. PENATALAKSANAAN
36
BAB 4
DISKUSI
Juni 2019 disimpulkan CTG kategori I. Hal ini dikarenakan baseline denyut
jantung janin sebanyak 130-140 dpm, yaitu masih dalam batas 120-160 (normal),
variabilitas denyut jantung janin masih dalam batas normal yaitu sebanyak 5-20
dpm, tidak ada deselerasi dini, tidak ada akselerasi. Pada rekaman CTG tidak
37
DAFTAR PUSTAKA