PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan pengamatan WHO, Angka Kematian Ibu adalah sebesar
500.000 jiwa dan Angka Kematian Bayi sebesar 10.000.000 jiwa setiap
tahunnya. Jumlah tersebut sebenarnya masih diragukan karena besar
kemungkinan kematian ibu dan bayi yang tidak dilaporkan.
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2002/2003 Angka Kematian Ibu di Indonesia masih tinggi yaitu 307 per
100.000 kelahiran hidup. Sedangkan Angka Kematian Bayi baru Lahir
sebesar 25 per 1.000 kelahiran hidup.
Kematian maternal dapat terjadi pada saat pertama pertolongan
persalinan. Penyebab utama kematian ibu adalah trias klasik yaitu
perdarahan, infeksi, dan gestosis. Angka kematian maternal dan perinatal
yang tinggi juga disebabkan oleh dua hal penting yang memerlukan perhatian
khusus yaitu terjadinya partus terlantar atau partus lama dan terlambatnya
melakukan rujukan (Manuaba, 1998).
Sebagian besar penyebab kematian dapat dicegah dengan penanganan
yang adekuat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan petugas kesehatan dalam menolong persalinan,
seperti penggunaan partograf dalam persalinan yaitu alat bantu untuk
membuat keputusan klinik, memantau, mengevaluasi dan menatalaksana
persalinan. Partograf dapat digunakan untuk mendeteksi dini masalah dan
penyulit dalam persalinan sehingga dapat sesegera mungkin menatalaksana
masalah tersebut atau merujuk ibu dalam kondisi optimal. Instrumen ini
merupakan salah satu komponen dari pemantauan dan penatalaksanaan
proses persalinan secara lengkap.
Dengan penerapan partograf diharapkan bahwa angka kematian
maternal dan perinatal dapat diturunkan dengan bermakna sehingga mampu
menunjang sistem kesehatan menuju tingkat kesejahteraan masyarakat.
Perdarahan setelah melahirkan atau post partum hemorrhagic (PPH)
adalah konsekuensi perdarahan berlebihan dari tempat implantasi plasenta,
trauma di traktus genitalia dan struktur sekitarnya, atau keduanya.
Diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap
tahunnya paling sedikit 128.000 wanita mengalami perdarahan sampai
meninggal. Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu 4 jam
setelah melahirkan. Di Inggris (2000), separuh kematian ibu hamil akibat
perdarahan disebabkan oleh perdarahan post partum.
Di Indonesia, Sebagian besar persalinan terjadi tidak di rumah sakit,
sehingga sering pasien yang bersalin di luar kemudian terjadi perdarahan post
partum terlambat sampai ke rumah sakit, saat datang keadaan
umum/hemodinamiknya sudah memburuk, akibatnya mortalitas tinggi.
Menurut Depkes RI, kematian ibu di Indonesia (2002) adalah 650 ibu tiap
100.000 kelahiran hidup dan 43% dari angka tersebut disebabkan oleh
perdarahan post partum.
Apabila terjadi perdarahan yang berlebihan pasca persalinan harus
dicari etiologi yang spesifik. Atonia uteri, retensio plasenta (termasuk
plasenta akreta dan variannya), sisa plasenta, dan laserasi traktus genitalia
merupakan penyebab sebagian besar perdarahan post partum. Dalam 20
tahun terakhir, plasenta akreta mengalahkan atonia uteri sebagai penyebab
tersering perdarahan post partum yang keparahannya mengharuskan
dilakukan tindakan histerektomi. Laserasi traktus genitalia yang dapat terjadi
sebagai penyebab perdarahan post partum antara lain laserasi perineum,
laserasi vagina, cedera levator ani da cedera pada serviks uteri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Partograf
Pengertian
Partograf adalah alat bantu yang digunakan selama fase aktif
persalinan.
Tujuan utama dari penggunaan partograf adalah untuk:
1. Mencatat hasil observasi dan kemajuan persalinan dengan menilai
pembukaan serviks melalui pemeriksaan dalam.
2. Mendeteksi apakah proses persalinan berjalan secara normal. Dengan
demikian, juga dapat melakukan deteksi secara dini setiap
kemungkinan terjadinya partus lama (Depkes RI, 2007).
Jika digunakan secara tepat dan konsisten, maka partograf akan membantu
penolong persalinan untuk:
1. Mencatat kemajuan persalinan.
2. Mencatat kondisi ibu dan janinnya.
3. Mencatat asuhan yang diberikan selama persalinan dan kelahiran.
4. Menggunakan informasi yang tercatat untuk secara dini
mengidentifikasi adanya penyulit.
5. Menggunakan informasi yang ada untuk membuat keputusan klinik
yang sesuai dan tepat waktu
Penggunaan Partograf
1. Untuk semua ibu dalam fase aktif kala satu persalinan sebagai elemen
penting asuhan persalinan. Partograf harus digunakan, baik tanpa
ataupun adanya penyulit. Partograf akan membantu penolong
persalinan dalam memantau, mengevaluasi dan membuat keputusan
klinik baik persalinan normal maupun yang disertai dengan pe¬nyulit.
2. Selama persalinan dan kelahiran di semua tempat (rumah, puskesmas,
klinik bidan swasta, rumah sakit, dll).
3. Secara rutin oleh semua penolong persalinan yang memberikan asuhan
kepada ibu selama persalinan dan kelahiran (Spesialis Obgin, bidan,
dokter umum, residen dan mahasiswa kedokteran).
4. Penggunaan partograf secara rutin akan memastikan para ibu dan
bayinya mendapatkan asuhan yang aman dan tepat waktu. Selain itu,
juga mencegah terjadinya penyulit yang dapat mengancam
keselamatan jiwa mereka (Prawirohardjo, 2002).
Kondisi ibu dan bayi juga harus dinilai dan dicatat secara seksama, yaitu:
1. Denyut jantung janin setiap 1/2 jam
2. Frekuensi dan lamanya kontraksi uterus setiap 1/2 jam
3. Nadi: setiap 1/2 jam
4. Pembukaan serviks setiap 4 jam
5. Penurunan: setiap 4 jam
6. Tekanan darah dan temperatur tubuh setiap 4 jam
7. Produksi urin, aseton dan protein setiap 2 sampai 4 jam
Pencatatan selama fase aktif persalinan
Halaman depan partograf mencantumkan bahwa observasi dimulai
pada fase aktif persalinan dan menyediakan lajur dan kolom untuk
mencatat hasil-hasil pe¬meriksaan selama fase aktif persalinan,
termasuk:
1). Informasi tentang ibu:
Nama, umur.
Gravida, para, abortus (keguguran).
Nomor catatan medis/nomor puskesmas.
Tanggal dan waktu mulai dirawat (atau jika di rumah, tanggal dan
waktu penolong persalinan mulai merawat ibu).
Waktu pecahnya selaput ketuban.
2).Kondisi janin:
DJJ;
Warna dan adanya air ketuban
Penyusupan (molase) kepala janin
3).Kemajuan persalinan:
Pembukaan serviks
Penurunan bagian terbawah janin atau presentasi janin
Garis waspada dan garis bertindak
4).Jam dan waktu:
Waktu mulainya fase aktif persalinan
Waktu aktual saat pemeriksaan atau penilaian
5).Kontraksi uterus:
Frekuensi dan lamanya
6).Obat-obatan dan cairan yang diberikan:
Oksitosin
Obat-obatan lainnya dan cairan IV yang diberikan
7).Kondisi ibu:
Nadi, tekanan darah dan temperatur tubuh
Urin (volume, aseton atau protein)
8).Asuhan, pengamatan dan keputusan klinik lainnya (dicatat dalam kolom
yang tersedia di sisi partograf atau di catatan kemajuan persalinan).
Mencatat temuan Partograf
1. Informasi tentang ibu
Lengkapi bagian awal (atas) partograf secara teliti pada saat memulai
asuhan persalinan. Waktu kedatangan (tertulis sebagai: "jam" pada
partograf) dan perhatikan kemungkinan ibu datang dalam fase laten
persalinan. Catat waktu terjadinya pecah ketuban.
2). Kesehatan dan kenyamanan janin
Kolom, lajur dan skala angka pada partograf adalah untuk pencatatan
denyut jantung janin (DJJ), air ketuban dan penyusupan (kepala janin).
a). Denyut jantung janin
Dengan menggunakan metode seperti yang diuraikan pada bagian
Pemeriksaan fisik, nilai dan catat denyut jantung janin (DJJ) setiap 30
menit (lebih sering jika ada tanda-tanda gawat janin). Setiap kotak
pada bagian ini, menunjukkan waktu 30 menit. Skala angka di sebelah
kolom paling kiri menunjukkan DJJ. Catat DJJ dengan memberi tanda
titik pada garis yang sesuai dengan angka yang menunjukkan DJJ.
Kemudian hubungkan titik yang satu dengan titik lainnya dengan garis
tidak terputus.
Kisaran normal DJJ terpapar pada partograf di antara garis tebal angka
180 dan 100. Tetapi, penolong harus sudah waspada bila DJJ di bawah
120 atau di atas 160. Untuk tindakan-tindakan segera yang harus
dilakukan jika DJJ melampaui kisaran nor¬mal ini. Catat tindakan-
tindakan yang dilakukan pada ruang yang tersedia di salah satu dari
kedua sisi partograf.
b). Warna dan adanya air ketuban
Nilai air ketuban setiap kali dilakukan pemeriksaan dalam, dan nilai
warna air ketuban jika selaput ketuban pecah. Catat temuan-temuan
dalam kotak yang sesuai di bawah lajur DJJ. Gunakan lambang-
lambang berikut ini:
1. U : Ketuban utuh (belum pecah)
2. J : Ketuban sudah pecah dan air ketuban jernih
3. M:Ketuban sudah pecah dan air ketuban bercampur mekonium
4. D : Ketuban sudah pecah dan air ketuban bercampur darah
5. K : Ketuban sudah pecah dan tidak ada air ketuban ("kering")
Mekonium dalam cairan ketuban tidak selalu menunjukkan adanya
gawat janin. Jika terdapat mekonium, pantau DJJ secara seksama
untuk mengenali tanda-tanda gawat janin selama proses persalinan.
Jika ada tanda-tanda gawat janin (denyut jantung janin < 100 atau
>180 kali per menit), ibu segera dirujuk ke fasilitas kesehatan yang
sesuai. Tetapi jika terdapat mekonium kental, segera rujuk ibu ke
tempat yang memiliki asuhan kegawatdaruratan obstetri dan bayi baru
lahir.
c). Molase (penyusupan kepala janin)
Penyusupan adalah indikator penting tentang seberapa jauh kepala bayi
dapat menyesuai¬kan diri dengan bagian keras panggul ibu. Tulang
kepala yang saling menyusup atau tum¬pang tindih, menunjukkan
kemungkinan adanya disproporsi tulang panggul (CPD).
Keti¬dakmampuan akomodasi akan benar-benar terjadi jika tulang
kepala yang saling menyusup tidak dapat dipisahkan.
Apabila ada dugaan disproprosi tulang panggul, penting sekali un¬tuk
tetap memantau kondisi janin dan kemajuan persalinan. Lakukan
tindakan pertolongan awal yang sesuai dan rujuk ibu dengan tanda-
tanda disproporsi tulang panggul ke fasilitas kesehatan yang memadai.
Setiap kali melakukan pemeriksaan dalam, nilai penyusupan kepala
janin. Catat temuan di kotak yang sesuai (Gambar 2-6) di bawah lajur
air ketuban. Gunakan lambang-lambang berikut ini:
0 : tulang-tulang kepala janin terpisah, sutura dengan mudah dapat
dipalpasi
1 : tulang-tulang kepala janin hanya saling bersentuhan
2 : tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih, tapi masih dapat
dipisahkan
3 : tulang-tulang kepala janin tumpang tindih dan tidak dapat
dipisahkan
3). Kemajuan Persalinan
Kolom dan lajur kedua pada partograf adalah untuk pencatatan
kemajuan persalinan. Angka 0-10 yang tertera di tepi kolom paling kiri
adalah besarnya dilatasi serviks. Masing-masing angka mempunyai
lajur dan kotak tersendiri. Setiap angka/kotak menunjukkan besarnya
pembukaan serviks. Kotak yang satu dengan kotak yang lain pada lajur
diatasnya, menunjukkan penambahan dilatasi sebesar 1 cm. Skala
angka 1-5 juga menunjukkan seberapa jauh penurunan janin. Masing-
masing kotak di bagian ini menya¬takan waktu 30 menit.
a. Pembukaan serviks
Dengan menggunakan metode yang dijelaskan di bagian Pemeriksaan
Fisik dalam bab ini, nilai dan catat pembukaan serviks setiap 4 jam
(lebih sering dilakukan jika ada tanda-¬tanda penyulit). Saat ibu
berada dalam fase aktif persalinan, catat pada partograf hasil te¬muan
dari setiap pemeriksaan. Tanda "X" harus ditulis di garis waktu yang
sesuai dengan lajur besarnya pembukaan serviks. Beri tanda untuk
temuan-temuan dari pemeriksaan dalam yang dilakukan pertama kali
selama fase aktif persalinan di garis waspada. Hubungkan tanda "X"
dari setiap pemeriksaan dengan garis utuh (tidak terputus).
b. Penurunan bagian terbawah atau presentasi janin
Dengan menggunakan metode yang dijelaskan di bagian Pemeriksaan
fisik di bab ini. Setiap kali melakukan pemeriksaan dalam (setiap 4
jam), atau lebih sering jika ada tanda¬-tanda penyulit, nilai dan catat
turunnya bagian terbawah atau presentasi janin.
Pada persalinan normal, kemajuan pembukaan serviks umumnya
diikuti dengan turunnya bagian terbawah atau presentasi janin. Tapi
kadangkala, turunnya bagian terbawah/presen¬tasi janin baru terjadi
setelah pembukaan serviks sebesar 7 cm.
Kata-kata "Turunnya kepala" dan garis tidak putus dari 0-5, tertera di
sisi yang sama dengan angka " pada garis waktu yang
sesuai.pembukaan serviks. Berikan tanda " " diSebagai contoh, jika
kepala bisa dipalpasi 4/5, tuliskan tanda " " dari setiap pemeriksaan
dengan garis tidaknomor 4. Hubungkan tanda " terputus.
c. Garis waspada dan garis bertindak
Garis waspada dimulai pada pembukaan serviks 4 cm dan berakhir
pada titik di mana pembukaan lengkap diharapkan terjadi jika laju
pembukaan 1 cm per jam.
Pencatatan selama fase aktif persalinan harus dimulai di garis waspada.
Jika pembukaan serviks mengarah ke sebelah kanan garis waspada
(pembukaan kurang dari 1 cm per jam), maka harus dipertimbangkan
adanya penyulit (misalnya fase aktif yang memanjang, macet, dll.).
Pertimbangkan pula adanya tindakan intervensi yang diperlukan,
misalnya persiapan rujukan ke fasilitas kesehatan rujukan (rumah sakit
atau puskesmas) yang mampu menangani penyulit dan kegawat
daruratan obstetri.
Garis bertindak tertera sejajar dengan garis waspada, dipisahkan oleh 8
kotak atau 4 jalur ke sisi kanan. Jika pembukaan serviks berada di
sebelah kanan garis bertindak, maka tindakan untuk menyelesaikan
per¬salinan harus dilakukan. Ibu harus tiba di tempat rujukan sebelum
garis bertindak terlampaui.
4). Jam dan waktu
a..Waktu mulainya fase aktif persalinan
Di bagian bawah partograf (pembukaan serviks dan penurunan) tertera
kotak-kotak yang diberi angka 1-16. Setiap kotak menyatakan waktu
satu jam sejak dimulainya fase aktif persalinan.
b..Waktu aktual saat pemeriksaan dilakukan
Di bawah lajur kotak untuk waktu mulainya fase aktif, tertera kotak-
kotak untuk mencatat waktu aktual saat pemeriksaan dilakukan.
Setiap kotak menyatakan satu jam penuh dan berkaitan dengan dua
kotak waktu tiga puluh menit pada lajur kotak di atasnya atau lajur
kontraksi di bawahnya.
Saat ibu masuk dalam fase aktif persalinan, catatkan pembukaan
serviks di garis waspada.
Kemudian catatkan waktu aktual pemeriksaan ini di kotak waktu yang
sesuai. Sebagai contoh, jika pemeriksaan dalam menunjukkan ibu
mengalami pem¬bukaan 6 cm pada pukul 15.00, tuliskan tanda "X" di
garis waspada yang sesuai dengan angka 6 yang tertera di sisi luar
kolom paling kiri dan catat waktu yang sesuai pada kotak waktu di
bawahnya (kotak ketiga dari kiri).
5). Kontraksi uterus
Di bawah lajur waktu partograf terdapat lima lajur kotak dengan
tulisan "kontraksi per 10 menit" di sebelah luar kolom paling kiri.
Setiap kotak menyatakan satu kontraksi. Setiap 30 menit, raba dan
catat jumlah kontraksi dalam 10 menit dan lamanya kontraksi dalam
satuan detik.
B. Atonia Uteri
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini
(50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi
postpartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol
perdarahan setelah melahirkan. Atonia terjadi karena kegagalan mekanisme
ini.
Penyebab :
Atonia uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan melahirkan dengan faktor
predisposisi (penunjang ) seperti :
1. Overdistention uterus seperti: gemeli makrosomia, polihidramnion, atau
paritas tinggi.
2. Umur yang terlalu muda atau terlalu tua.
3. Multipara dengan jarak kelahiran pendek
4. Partus lama / partus terlantar
5. Malnutrisi.
6. Penanganan salah dalam usaha melahirkan plasenta, misalnya plasenta
belum terlepas dari dinding uterus.
Gejala Klinis:
Uterus tidak berkontraksi dan lunak
Perdarahan segera setelah plasenta dan janin lahir (P3).
C. Retensio Plasenta
1. Definisi
Retensio plasenta adalah plasenta tidak lahir spontan maksimal 30
menit. (Petrus Andriano, 1999)
Retensio plasenta adalah lepas plasenta tidak bersamaan sehingga
sebagian masih melekat pada tempat implantsi, menyebabkan
terganggunya retraksi dan kontraksi otot uterus, sehingga sebagian
pembuluh darah tetapi terbuka serta menimbulkan perdarahan. (Manuaba,
2002)
Retensio plasenta yaitu plasenta dianggap retensi bila belum
dilahirkan dalam batas waktutertentu setelah bayi lahir (dalam waktu 30
menit setelah penatalasanaan aktif).
Retensio plasenta adalah tertahan atau belum lahirnya palsenta hingga
melebihi 30 menit setelah bayi lahir (Sarwanto, 2002).
2. Etiologi
a. Etiologi dasar meliputi
1) Faktor maternal
a) Gravida berusia lanjut
b) multiparitas
2) Faktor uterus
a) Bekas sectio caesaria, sering plasenta tertanam pada jaringan
cicatrix uterus
b) Bekas pembedahan uterus
c) Anorrali dan uterus
d) Tidak efektif kontraksi uterus
e) Pembentukan contraction ring
f) Bekas curetage uterus, yang terutama dilakukan setelah abortus
g) Bekas pengeluaran plasenta secara maual
h) Bekas ondometritis
3) Faktor plasenta
a) Plasenta previa
b) Implantasi cornual
c) Plasenta akreta
d) Kelainan bentuk plasenta
Latar belakang keaadaan yang nampaknya umum terjadi pada semua
kondisi penyebab adalah defisiensi endometrium dan desisua.
Diantaranya adalah :
1) Desidua yang melapisi jaringan cicatrix bekas sectio caesar kurang
memadai
2) Pada wanita yang pernah mengalami plasenta previa,
pengembangan desidua pada segmen bawah rahim relatif jelek
3) Desidua pada cornu uterina biasanya hipoplastik
4) Pada banyak wanita dengan meningkatnya usia dan paritas terjadi
penurunan Kecukupan desidua secara progresif
5) Bekas curetage atau pengeluaran plasenta secara manual
merupakan indikasi bahwa perlekatan plasenta yang abnormal
menjadi alasan diperlukannya prosedur tersebut.
b. Etiologi berdasar abnormalitas pada tingkata kala III, meliputi :
1) Plasenta belum lahir dari dinding uterus, ini terjadi karena :
a) Kontraksi uterus kurang kuatutk melepaskan plasenta (plasenta
adhesiva)
b) Plasenta melekat erat pada dinding uterus, oleh sebab :
(1) Implantasi jonjot corion plasenta hingga memasuki
sebagian lepisan miometrium (plasenta acreta)
(2) Implantasi jonjot corion plasenta hingga mencapai
mikrometrium (plasenta increta)
(3) Implantasi jonjot corion plasenta yang menembus lapisan
otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus
2) Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan, ini terjadi
karena tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah
penanganan kala III sehingga terjadi lingkaran kontraksi pada
bagian bawah uterus yang akan menghalangi keliarnya plasenta
(plasenta incarserata)
3. Pathofisiologi
Dalam keadaan normal, desidua basalis terletak diantara miometium dan
plasenta Lempeng pembelahan bagi pemisahan palsenta berada dalam
lapisan desidua basalis yang mirip spons. Pada plasenta acreta, desidua
basilis tidak ada sebagian atau seluruhnya, sehingga plasenta melekat
langsung pada miometrium, villi tersebut bisa tetap supervisiailspd otot
uterus atau dapat menembus lebih dalam. Keadaan ini bukan terjadi karena
sifat invasif trofoblast yang abnormal, melainkan karena adanya efek pada
desisdua.
4. Gambaran klinis
a. Waktu hamil
1) Kebanyakan pasien memiliki kehamilan yang normal
2) Insiden perdarahan antepartum meningkat, tetapi keadaan ini
biasanya menyertai plasenta previa
3) Terjadi persainan prematur, tetapi kalau hanya ditimbulkan oleh
perdarahan
4) Kadang terjadi ruptur uteri
b. Persalinan kala I dan II
Hampir pada semua kasus proses ini berjalan normal
c. Persalinan kala III
1) Retresio plasenta menjadi ciri utama
2) Perdarahan post partum, jumlahnya perdarahan tergantung pada
derajat perlekatan plasenta, seringkali perdarahan ditimbulkan oleh
Dokter kebidanan ketika ia mencoba untuk mengeluarkan plasenta
secara manual
3) Komplikasi yang seriun tetapi jsrsng dijumpai yaitu invertio uteri,
keadaan ini dapat tejadi spontan, tapi biasanya diakibatkan oleh
usaha-usaha untuk mengeluarkan plasenta
4) Ruptura uteri, biasanya terjadi saat berusaha mengeluarkan
plasenta
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Hitung darah lengkap :
Untuk menentukan tingkat hemoglogin (Hb) dan hematokrit (Hct),
melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan
yang disertai dengan infeksi, leukosit biasanya meningkat.
b. Menentukan adanya gangguan koagulasi :
Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung Protrombin
Time (PT) dan Activated Partial Time (CT) atau Bleeding Time (BT).
Ini penting untuk menyingkirkan perdarahan yang disebabkan oleh
faktor lain
Palsenta Manual
Plasenta manual adalah tindakan untuk melepaskan plasenta secara
manual (menggunakan tangan) dr tempat implastasinya dan kemudian
melahirkannya keluar dari kavum uteri.
Prosedur Plasenta Manual
Persiapan :
• Pasang set dan cairan infus
• Jelaskan pada ibu prosedur dan tujuan tindakan
• Lakukan anestesia verbal atau analgesia per rektal
• Siapkan dan jalankan prosedur pencegahan infeksi
6. Komplikasi
a. Syok naemorargic
b. Sepsis
c. Meltiple organ failure yang berhubungan dengan kolaps sirkulasi dan
penurunan perjusi organ
7. Pencegahan
a. Pencegahan resiko plasenta adalah dengan cara mempercepat proses
separasi dan melahirkan plasenta dengan memberikan uterotonika
segera setelah bayi lahir dan melakukan penegangan talipusat
terkendali. Usaha ini disebut juga penatalaksanaan aktif kala III
b. Mengamati dan melihat kontraksi uterus
8. Pengelolaan Retensia Palcenta
Plasenta belum lahir dalam waktu 15 menit, berikan 10 unit
oksitosin IM dosis kedua. Periksa kandung kemih, jika ternyata penuh,
gunakan teknik aseptin untuk memasukkan kateter nelaton disinfeksi
tingkat tinggi atau steril untuk mengosongkan kandung kemih. Ulangi
kembali penegangan talipusat dan tekanan dorso-kranial seperti yang
diuraikan diatas. Nasehati keluarga bahwa rujukan mungkin diperlukan
jika plasenta tetap tidak lahir, rujuk segera. Ingat, apabila plasenta tidak
lahir setelah 30 menit, jangan mencoba untuk melepaskan dan segera
lakukan rujukan.
Pehatikan : jika sebelum plsenta lahir kemudian mendadak terjadi
perdarahan maka segera lakukan tindakan plasenta manual untuk segera
mengosongkan kavum uteri. Jika setelah manual masih terjadi perdarahan
maka lakukan kompresi bimanual internal/ eksternal atau kompresi aorta.
Beri oksigen 10 IU dosis tambahan atau misoprostol 600-1000 mcg per
rektal. Tunggu hingga uterus berkontraksi kuat dan perdarahan berhenti,
baru hentikan tindakan kompresi.
Bila plasenta dalam setengah jam setelah anak lahir belum
memperlihatkan lepasnya plasenta, maka dilkakukan pelepasan plasenta
manual.
Tindakan penetrasi ke dalam kavum uteri
1. Perhatikan kandung kemih dalam keadaan kosong
2. Jepit tali pusat dengan klem pada jarak 5-10 cm dari vulva, tegangkan
dengan satu tangan sejajar lantai
3. Secara obstetrik, masukkan tangan lainnya (punggung tangan
menghadap ke bawah) ke dalam vagina dengan menelusuri sisi bawah
tali pusat
4. Setelah mencapai bukaan serviks, minta seorang asinten / penolong
lain untuk memegangkan klem tali pusat kemudian pindahkan tangan
luar untuk memindahkan fundus uteri
5. Sambil menahan fundus uteri, masukkan tangan dalam hingga ke
kavum uteri sehingga mencapai tempat implantasi plasenta
6. Bentangkan tangan obstetrik menjadi datar seperti memberi salam (ibu
jari merapat ke jari telunjuk dan jari-jari lain saling merapat.
Melepas plasenta dari dinding uterus
7. Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta paling bawah.
• Bila plasenta berimplantasi di korpus belakang, tali pusat tetapt di
sebelah atas dan sisipkan ujung jari-jari tangan di antara plasenta
dan dinding uterfus dimana punggung tangan menghadap ke bawah
(posterior ibu)
• Bila dikorpus depan maka pindahkan tangan ke sebelah atas
talipusat dan sisipkan ujung jari-jari tangan diantara plasenta dan
dinding uterus dimana punggung tangan menghadap ke atas
(Anterior ibu).
8. Setelah ujung-ujung jari masuk di antara plasenta dan dinding uterus,
maka perluasan perlepasan plasenta dengan jalan menggeser tangan ke
kanan dan kiri sambil digeserkan ke atas (kranial ibu, hingga semua
perlekatan plasenta terlepas dari dinding uterus).
Catatan :
• Bila tepi plasenta tidak teraba atau plasenta berada pada dataran
yang sma tinggi dengan dinding uterus maka hentikan upaya
plasentamanual karena hal itu menunjukkan plasenta inkreta
(tertanam dalam miometrium)
• Bila hanya sebagian dari implantasi plasenta dapat dilepaskan dan
bagian lainnya melekat erat maka hentikan pula plasenta manual
karena hal tersebut adalah plasenta akreta. Untuk keadaan itu
sebaiknya ibu diberi uterotonika tambahan (misoprostal 600 mcg
per rektal) sebelum dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukan.
Mengeluarkan Plasenta
9. Sementara satu tangan masih di dalam kavum uteri, lakukan eksplorasi
untuk meilai tidak ada plasenta yang tertinggal
10. Pindahkan tangan luar dari fundus ke supra simfis (tahan segmen
bawah uterus) kemudian instruksikan asisten/ penolong untuk menarik
tali pusat sambil tangan dalam membawaplasenta keluar (hindari
terjadinya percikan darah)
11. Lakukan penekanan (dengan tangan yang menahan suprasimfisis)
uterus ke arah dorso-kranial setelah plasenta dilahorkan dan tempatkan
plasenta di dalam wadah yang telah disediakan
Pencegahan Infeksi Pascatindakan
12. Dekontaminasi sarung tangan (sebelum dilepaskan) dan peralatan lain
yang digunakan
13. Lepaskan dan rendam sarung tangan dan peralatan lainnya ke dalam
larutan klorin 0,5% selama 10 menit
14. Cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir
15. Keringkan tangan dengan handuk bersih dan kering
Pemantauan Pascatindakan
16. Periksa kembali tanda vital ibu
17. Catat kondisi ibu dan buat laporan tindakan
18. Tuliskan rencana pengobatan, tindakan yang masih diperlukkan dan
asuhan lanjutan
19. Beritahukan kepada ibu dan keluarganya bahwa tindakan telah selesai
tetapi ibu masih memerlukan pemantauan dan asuhan tambahan
20. Lanjutan pemantauan ibu hingga 2 jampasca tindakan sebelum
dipindah ke ruang rawat gabung.
1. Ida Bagus Gde Manuaba, 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan
Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan, Jakarta : ECG
2. JNPK-KR, 2007. Asuhan Persalinan Normal, Jakarta : JHPIEGO
3. Saifuddin Abdul Bari, 2002.Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan
Matrenal dan Neonatal,Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
4. Menteri Kesehatan, 2009. Temu Kader Posyandu : Kementrian Kesehatan
Republic Indonesia (diakses pada tanggal 23 Maret 2010)
5. Supriadi Pawik, 2010. Angka Kematian Ibu dan Bayi : Dinas Komunikasi dan
Informatika Prov. Jatim (diakses pada tanggal 23 Maret 2010)
6. Ulfa, Ida Nikmatul, 2010. Kasus Kematian Ibu Sangat Mengkhawatirkan.
Jombang: Jawa Pos (diakses pada tanggal 23 Maret 2010)
7. James R Scott, et al. Danforth buku saku obstetric dan ginekologi. Alih bahasa
TMA Chalik. Jakarta: Widya Medika, 2002.
8. Obstetri fisiologi, Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran
Unversitas Padjajaran Bandung, 1993.
9. Mochtar, Rustam. Sinopsis obstetrik. Ed. 2. Jakarta: EGC, 1998.
10. Manuaba, Ida Bagus Gede. Ilmu kebidanan, penyakit kandungan dan keluarga
berencana. Jakarta: EGC, 1998.
11. Bobak, Lowdermilk, Jensen. Buku ajar keperawatan maternitas. Alih bahasa:
Maria A. Wijayarini, Peter I. Anugerah. Jakarta: EGC. 2004
12. Heller, Luz. Gawat darurat ginekologi dan obstetric. Alih bahasa H.
Mochamad martoprawiro, Adji Dharma. Jakarta: EGC, 1997.