Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan pengamatan WHO, Angka Kematian Ibu adalah sebesar
500.000 jiwa dan Angka Kematian Bayi sebesar 10.000.000 jiwa setiap
tahunnya. Jumlah tersebut sebenarnya masih diragukan karena besar
kemungkinan kematian ibu dan bayi yang tidak dilaporkan.
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2002/2003 Angka Kematian Ibu di Indonesia masih tinggi yaitu 307 per
100.000 kelahiran hidup. Sedangkan Angka Kematian Bayi baru Lahir
sebesar 25 per 1.000 kelahiran hidup.
Kematian maternal dapat terjadi pada saat pertama pertolongan
persalinan. Penyebab utama kematian ibu adalah trias klasik yaitu
perdarahan, infeksi, dan gestosis. Angka kematian maternal dan perinatal
yang tinggi juga disebabkan oleh dua hal penting yang memerlukan perhatian
khusus yaitu terjadinya partus terlantar atau partus lama dan terlambatnya
melakukan rujukan (Manuaba, 1998).
Sebagian besar penyebab kematian dapat dicegah dengan penanganan
yang adekuat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan petugas kesehatan dalam menolong persalinan,
seperti penggunaan partograf dalam persalinan yaitu alat bantu untuk
membuat keputusan klinik, memantau, mengevaluasi dan menatalaksana
persalinan. Partograf dapat digunakan untuk mendeteksi dini masalah dan
penyulit dalam persalinan sehingga dapat sesegera mungkin menatalaksana
masalah tersebut atau merujuk ibu dalam kondisi optimal. Instrumen ini
merupakan salah satu komponen dari pemantauan dan penatalaksanaan
proses persalinan secara lengkap.
Dengan penerapan partograf diharapkan bahwa angka kematian
maternal dan perinatal dapat diturunkan dengan bermakna sehingga mampu
menunjang sistem kesehatan menuju tingkat kesejahteraan masyarakat.
Perdarahan setelah melahirkan atau post partum hemorrhagic (PPH)
adalah konsekuensi perdarahan berlebihan dari tempat implantasi plasenta,
trauma di traktus genitalia dan struktur sekitarnya, atau keduanya.
Diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap
tahunnya paling sedikit 128.000 wanita mengalami perdarahan sampai
meninggal. Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu 4 jam
setelah melahirkan. Di Inggris (2000), separuh kematian ibu hamil akibat
perdarahan disebabkan oleh perdarahan post partum.
Di Indonesia, Sebagian besar persalinan terjadi tidak di rumah sakit,
sehingga sering pasien yang bersalin di luar kemudian terjadi perdarahan post
partum terlambat sampai ke rumah sakit, saat datang keadaan
umum/hemodinamiknya sudah memburuk, akibatnya mortalitas tinggi.
Menurut Depkes RI, kematian ibu di Indonesia (2002) adalah 650 ibu tiap
100.000 kelahiran hidup dan 43% dari angka tersebut disebabkan oleh
perdarahan post partum.
Apabila terjadi perdarahan yang berlebihan pasca persalinan harus
dicari etiologi yang spesifik. Atonia uteri, retensio plasenta (termasuk
plasenta akreta dan variannya), sisa plasenta, dan laserasi traktus genitalia
merupakan penyebab sebagian besar perdarahan post partum. Dalam 20
tahun terakhir, plasenta akreta mengalahkan atonia uteri sebagai penyebab
tersering perdarahan post partum yang keparahannya mengharuskan
dilakukan tindakan histerektomi. Laserasi traktus genitalia yang dapat terjadi
sebagai penyebab perdarahan post partum antara lain laserasi perineum,
laserasi vagina, cedera levator ani da cedera pada serviks uteri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Partograf
Pengertian
 Partograf adalah alat bantu yang digunakan selama fase aktif
persalinan.
Tujuan utama dari penggunaan partograf adalah untuk:
1. Mencatat hasil observasi dan kemajuan persalinan dengan menilai
pembukaan serviks melalui pemeriksaan dalam.
2. Mendeteksi apakah proses persalinan berjalan secara normal. Dengan
demikian, juga dapat melakukan deteksi secara dini setiap
kemungkinan terjadinya partus lama (Depkes RI, 2007).
Jika digunakan secara tepat dan konsisten, maka partograf akan membantu
penolong persalinan untuk:
1. Mencatat kemajuan persalinan.
2. Mencatat kondisi ibu dan janinnya.
3. Mencatat asuhan yang diberikan selama persalinan dan kelahiran.
4. Menggunakan informasi yang tercatat untuk secara dini
mengidentifikasi adanya penyulit.
5. Menggunakan informasi yang ada untuk membuat keputusan klinik
yang sesuai dan tepat waktu
Penggunaan Partograf
1. Untuk semua ibu dalam fase aktif kala satu persalinan sebagai elemen
penting asuhan persalinan. Partograf harus digunakan, baik tanpa
ataupun adanya penyulit. Partograf akan membantu penolong
persalinan dalam memantau, mengevaluasi dan membuat keputusan
klinik baik persalinan normal maupun yang disertai dengan pe¬nyulit.
2. Selama persalinan dan kelahiran di semua tempat (rumah, puskesmas,
klinik bidan swasta, rumah sakit, dll).
3. Secara rutin oleh semua penolong persalinan yang memberikan asuhan
kepada ibu selama persalinan dan kelahiran (Spesialis Obgin, bidan,
dokter umum, residen dan mahasiswa kedokteran).
4. Penggunaan partograf secara rutin akan memastikan para ibu dan
bayinya mendapatkan asuhan yang aman dan tepat waktu. Selain itu,
juga mencegah terjadinya penyulit yang dapat mengancam
keselamatan jiwa mereka (Prawirohardjo, 2002).
Kondisi ibu dan bayi juga harus dinilai dan dicatat secara seksama, yaitu:
1. Denyut jantung janin setiap 1/2 jam
2. Frekuensi dan lamanya kontraksi uterus setiap 1/2 jam
3. Nadi: setiap 1/2 jam
4. Pembukaan serviks setiap 4 jam
5. Penurunan: setiap 4 jam
6. Tekanan darah dan temperatur tubuh setiap 4 jam
7. Produksi urin, aseton dan protein setiap 2 sampai 4 jam
Pencatatan selama fase aktif persalinan
 Halaman depan partograf mencantumkan bahwa observasi dimulai
pada fase aktif persalinan dan menyediakan lajur dan kolom untuk
mencatat hasil-hasil pe¬meriksaan selama fase aktif persalinan,
termasuk:
1). Informasi tentang ibu:
 Nama, umur.
 Gravida, para, abortus (keguguran).
 Nomor catatan medis/nomor puskesmas.
 Tanggal dan waktu mulai dirawat (atau jika di rumah, tanggal dan
waktu penolong persalinan mulai merawat ibu).
 Waktu pecahnya selaput ketuban.
2).Kondisi janin:
 DJJ;
 Warna dan adanya air ketuban
 Penyusupan (molase) kepala janin
3).Kemajuan persalinan:
 Pembukaan serviks
 Penurunan bagian terbawah janin atau presentasi janin
 Garis waspada dan garis bertindak
4).Jam dan waktu:
 Waktu mulainya fase aktif persalinan
 Waktu aktual saat pemeriksaan atau penilaian
5).Kontraksi uterus:
 Frekuensi dan lamanya
6).Obat-obatan dan cairan yang diberikan:
 Oksitosin
 Obat-obatan lainnya dan cairan IV yang diberikan
7).Kondisi ibu:
 Nadi, tekanan darah dan temperatur tubuh
 Urin (volume, aseton atau protein)
8).Asuhan, pengamatan dan keputusan klinik lainnya (dicatat dalam kolom
yang tersedia di sisi partograf atau di catatan kemajuan persalinan).
Mencatat temuan Partograf
1. Informasi tentang ibu
 Lengkapi bagian awal (atas) partograf secara teliti pada saat memulai
asuhan persalinan. Waktu kedatangan (tertulis sebagai: "jam" pada
partograf) dan perhatikan kemungkinan ibu datang dalam fase laten
persalinan. Catat waktu terjadinya pecah ketuban.
2). Kesehatan dan kenyamanan janin
 Kolom, lajur dan skala angka pada partograf adalah untuk pencatatan
denyut jantung janin (DJJ), air ketuban dan penyusupan (kepala janin).
a). Denyut jantung janin
 Dengan menggunakan metode seperti yang diuraikan pada bagian
Pemeriksaan fisik, nilai dan catat denyut jantung janin (DJJ) setiap 30
menit (lebih sering jika ada tanda-tanda gawat janin). Setiap kotak
pada bagian ini, menunjukkan waktu 30 menit. Skala angka di sebelah
kolom paling kiri menunjukkan DJJ. Catat DJJ dengan memberi tanda
titik pada garis yang sesuai dengan angka yang menunjukkan DJJ.
Kemudian hubungkan titik yang satu dengan titik lainnya dengan garis
tidak terputus.
 Kisaran normal DJJ terpapar pada partograf di antara garis tebal angka
180 dan 100. Tetapi, penolong harus sudah waspada bila DJJ di bawah
120 atau di atas 160. Untuk tindakan-tindakan segera yang harus
dilakukan jika DJJ melampaui kisaran nor¬mal ini. Catat tindakan-
tindakan yang dilakukan pada ruang yang tersedia di salah satu dari
kedua sisi partograf.
b). Warna dan adanya air ketuban
 Nilai air ketuban setiap kali dilakukan pemeriksaan dalam, dan nilai
warna air ketuban jika selaput ketuban pecah. Catat temuan-temuan
dalam kotak yang sesuai di bawah lajur DJJ. Gunakan lambang-
lambang berikut ini:
1. U : Ketuban utuh (belum pecah)
2. J : Ketuban sudah pecah dan air ketuban jernih
3. M:Ketuban sudah pecah dan air ketuban bercampur mekonium
4. D : Ketuban sudah pecah dan air ketuban bercampur darah
5. K : Ketuban sudah pecah dan tidak ada air ketuban ("kering")
 Mekonium dalam cairan ketuban tidak selalu menunjukkan adanya
gawat janin. Jika terdapat mekonium, pantau DJJ secara seksama
untuk mengenali tanda-tanda gawat janin selama proses persalinan.
Jika ada tanda-tanda gawat janin (denyut jantung janin < 100 atau
>180 kali per menit), ibu segera dirujuk ke fasilitas kesehatan yang
sesuai. Tetapi jika terdapat mekonium kental, segera rujuk ibu ke
tempat yang memiliki asuhan kegawatdaruratan obstetri dan bayi baru
lahir.
c). Molase (penyusupan kepala janin)
 Penyusupan adalah indikator penting tentang seberapa jauh kepala bayi
dapat menyesuai¬kan diri dengan bagian keras panggul ibu. Tulang
kepala yang saling menyusup atau tum¬pang tindih, menunjukkan
kemungkinan adanya disproporsi tulang panggul (CPD).
Keti¬dakmampuan akomodasi akan benar-benar terjadi jika tulang
kepala yang saling menyusup tidak dapat dipisahkan.
 Apabila ada dugaan disproprosi tulang panggul, penting sekali un¬tuk
tetap memantau kondisi janin dan kemajuan persalinan. Lakukan
tindakan pertolongan awal yang sesuai dan rujuk ibu dengan tanda-
tanda disproporsi tulang panggul ke fasilitas kesehatan yang memadai.
 Setiap kali melakukan pemeriksaan dalam, nilai penyusupan kepala
janin. Catat temuan di kotak yang sesuai (Gambar 2-6) di bawah lajur
air ketuban. Gunakan lambang-lambang berikut ini:
 0 : tulang-tulang kepala janin terpisah, sutura dengan mudah dapat
dipalpasi
 1 : tulang-tulang kepala janin hanya saling bersentuhan
 2 : tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih, tapi masih dapat
dipisahkan
 3 : tulang-tulang kepala janin tumpang tindih dan tidak dapat
dipisahkan
3). Kemajuan Persalinan
 Kolom dan lajur kedua pada partograf adalah untuk pencatatan
kemajuan persalinan. Angka 0-10 yang tertera di tepi kolom paling kiri
adalah besarnya dilatasi serviks. Masing-masing angka mempunyai
lajur dan kotak tersendiri. Setiap angka/kotak menunjukkan besarnya
pembukaan serviks. Kotak yang satu dengan kotak yang lain pada lajur
diatasnya, menunjukkan penambahan dilatasi sebesar 1 cm. Skala
angka 1-5 juga menunjukkan seberapa jauh penurunan janin. Masing-
masing kotak di bagian ini menya¬takan waktu 30 menit.
a. Pembukaan serviks
 Dengan menggunakan metode yang dijelaskan di bagian Pemeriksaan
Fisik dalam bab ini, nilai dan catat pembukaan serviks setiap 4 jam
(lebih sering dilakukan jika ada tanda-¬tanda penyulit). Saat ibu
berada dalam fase aktif persalinan, catat pada partograf hasil te¬muan
dari setiap pemeriksaan. Tanda "X" harus ditulis di garis waktu yang
sesuai dengan lajur besarnya pembukaan serviks. Beri tanda untuk
temuan-temuan dari pemeriksaan dalam yang dilakukan pertama kali
selama fase aktif persalinan di garis waspada. Hubungkan tanda "X"
dari setiap pemeriksaan dengan garis utuh (tidak terputus).
b. Penurunan bagian terbawah atau presentasi janin
 Dengan menggunakan metode yang dijelaskan di bagian Pemeriksaan
fisik di bab ini. Setiap kali melakukan pemeriksaan dalam (setiap 4
jam), atau lebih sering jika ada tanda¬-tanda penyulit, nilai dan catat
turunnya bagian terbawah atau presentasi janin.
 Pada persalinan normal, kemajuan pembukaan serviks umumnya
diikuti dengan turunnya bagian terbawah atau presentasi janin. Tapi
kadangkala, turunnya bagian terbawah/presen¬tasi janin baru terjadi
setelah pembukaan serviks sebesar 7 cm.
 Kata-kata "Turunnya kepala" dan garis tidak putus dari 0-5, tertera di
sisi yang sama dengan angka " pada garis waktu yang
sesuai.pembukaan serviks. Berikan tanda " " diSebagai contoh, jika
kepala bisa dipalpasi 4/5, tuliskan tanda " " dari setiap pemeriksaan
dengan garis tidaknomor 4. Hubungkan tanda " terputus.
c. Garis waspada dan garis bertindak
 Garis waspada dimulai pada pembukaan serviks 4 cm dan berakhir
pada titik di mana pembukaan lengkap diharapkan terjadi jika laju
pembukaan 1 cm per jam. 
 Pencatatan selama fase aktif persalinan harus dimulai di garis waspada.
Jika pembukaan serviks mengarah ke sebelah kanan garis waspada
(pembukaan kurang dari 1 cm per jam), maka harus dipertimbangkan
adanya penyulit (misalnya fase aktif yang memanjang, macet, dll.). 
 Pertimbangkan pula adanya tindakan intervensi yang diperlukan,
misalnya persiapan rujukan ke fasilitas kesehatan rujukan (rumah sakit
atau puskesmas) yang mampu menangani penyulit dan kegawat
daruratan obstetri. 
 Garis bertindak tertera sejajar dengan garis waspada, dipisahkan oleh 8
kotak atau 4 jalur ke sisi kanan. Jika pembukaan serviks berada di
sebelah kanan garis bertindak, maka tindakan untuk menyelesaikan
per¬salinan harus dilakukan. Ibu harus tiba di tempat rujukan sebelum
garis bertindak terlampaui.
4). Jam dan waktu
a..Waktu mulainya fase aktif persalinan
 Di bagian bawah partograf (pembukaan serviks dan penurunan) tertera
kotak-kotak yang diberi angka 1-16. Setiap kotak menyatakan waktu
satu jam sejak dimulainya fase aktif persalinan.
b..Waktu aktual saat pemeriksaan dilakukan
 Di bawah lajur kotak untuk waktu mulainya fase aktif, tertera kotak-
kotak untuk mencatat waktu aktual saat pemeriksaan dilakukan. 
 Setiap kotak menyatakan satu jam penuh dan berkaitan dengan dua
kotak waktu tiga puluh menit pada lajur kotak di atasnya atau lajur
kontraksi di bawahnya. 
 Saat ibu masuk dalam fase aktif persalinan, catatkan pembukaan
serviks di garis waspada. 
 Kemudian catatkan waktu aktual pemeriksaan ini di kotak waktu yang
sesuai. Sebagai contoh, jika pemeriksaan dalam menunjukkan ibu
mengalami pem¬bukaan 6 cm pada pukul 15.00, tuliskan tanda "X" di
garis waspada yang sesuai dengan angka 6 yang tertera di sisi luar
kolom paling kiri dan catat waktu yang sesuai pada kotak waktu di
bawahnya (kotak ketiga dari kiri).
5). Kontraksi uterus
 Di bawah lajur waktu partograf terdapat lima lajur kotak dengan
tulisan "kontraksi per 10 menit" di sebelah luar kolom paling kiri.
Setiap kotak menyatakan satu kontraksi. Setiap 30 menit, raba dan
catat jumlah kontraksi dalam 10 menit dan lamanya kontraksi dalam
satuan detik.

 Nyatakan lamanya kontraksi dengan:


1. Beri titik-titik di kotak yang sesuai untuk menyatakan kontraksi yang
lamanya kurang dari 20 detik.
2. Beri garis-garis di kotak yang sesuai untuk menyatakan kontraksi yang
lamanya 20-40 detik.
3. Isi penuh kotak yang sesuai untuk menyatakan kontraksi yang lamanya
lebih dari 40 detik.
6). Obat-obatan yang diberikan
 Di bawah lajur kotak observasi kontraksi uterus tertera lajur kotak
untuk mencatat oksi¬tosin, obat-obat lainnya dan cairan IV
a). Oksitosin.
 Jika tetesan (drip) oksitosin sudah dimulai, dokumentasikan setiap 30
menit jumlah unit oksi¬tosin yang diberikan per volume cairan IV dan
dalam satuan tetesan per menit.
b). Obat-obatan lain dan cairan IV
 Catat semua pemberian obat-obatan tambahan dan/atau cairan IV
dalam kotak yang sesuai dengan kolom waktunya.
7). Kesehatan dan kenyamanan ibu
 Bagian terakhir pada lembar depan partograf berkaitan dengan
kesehatan dan kenyamanan ibu.
a. Nadi, tekanan darah dan temperatur tubuh
 Angka di sebelah kiri bagian partograf ini berkaitan dengan nadi dan
tekanan darah ibu.
1. Nilai dan catat nadi ibu setiap 30 menit selama fase aktif persalinan.
(lebih sering jika dicurigai adanya penyulit). Beri tanda titik pada
kolom waktu yang ).sesuai (
2. Nilai dan catat tekanan darah ibu setiap 4 jam selama fase aktif
persalinan (lebih sering jika dianggap akan adanya penyulit). Beri
tanda panah pada partograf pada kolom waktu yang sesuai.
3. Nilai dan catat temperatur tubuh ibu (lebih sering jika meningkat, atau
dianggap adanya infeksi) setiap 2 jam dan catat temperatur tubuh
dalam kotak yang sesuai.
b. Volume urin, protein atau aseton
 Ukur dan catat jumlah produksi urin ibu sedikitnya setiap 2 jam (setiap
kali ibu berkemih). Jika memungkinkan setiap kali ibu berkemih,
lakukan pemeriksaan adanya ase¬ton atau protein dalam urin.
8). Asuhan, pengamatan dan keputusan klinik lainnya
 Catat semua asuhan lain, hasil pengamatan dan keputusan klinik di sisi
luar kolom parto¬graf, atau buat catatan terpisah tentang kemajuan
persalinan. Cantumkan juga tanggal dan waktu saat membuat catatan
persalinan.
 Asuhan, pengamatan dan/atau keputusan klinik mencakup:
1. Jumlah cairan per oral yang diberikan.
2. Keluhan sakit kepala atau pengelihatan (pandangan) kabur.
3. Konsultasi dengan penolong persalinan lainnya (Obgin, bidan, dokter
umum).
4. Persiapan sebelum melakukan rujukan.
5. Upaya Rujukan.
Pencatatan pada lembar belakang Partograf
 Halaman belakang partograf merupakan bagian untuk mencatat hal-hal
yang terjadi selama proses persalinan dan kelahiran, serta tindakan-
tindakan yang dilakukan sejak persalinan kala I hingga kala IV
(termasuk bayi baru lahir). 
 Itulah sebabnya bagian ini disebut sebagai Catatan Persalinan. 
 Nilai dan catatkan asuhan yang diberikan pada ibu dalam masa nifas
terutama selama persalinan kala empat untuk memungkinkan penolong
persalinan mencegah terjadinya penyulit dan membuat keputusan
klinik yang se¬suai. 
 Dokumentasi ini sangat penting untuk membuat keputusan klinik,
terutama pada pe¬mantauan kala IV (mencegah terjadinya perdarahan
pascapersalinan). Selain itu, catatan persalinan (yang sudah diisi
dengan lengkap dan tepat) dapat pula digunakan untuk
menilai/memantau sejauh mana telah dilakukan pelaksanaan asuhan
persalinan yang dan bersih aman.
Catatan persalinan adalah terdiri dari unsur-unsur berikut:
1. Data dasar
2. Kala I
3. Kala II
4. Kala III
5. Bayi baru lahir
6. Kala IV
Cara pengisian:
 Berbeda dengan halaman depan yang harus diisi pada akhir setiap
pemeriksaan, lembar belakang partograf ini diisi setelah seluruh proses
persalinan selesai. Adapun cara pengisian catatan persalinan pada
lembar belakang partograf secara lebih terinci disampai¬kan menurut
unsur-unsurnya sebagai berikut.
1). Data dasar
 Data dasar terdiri dari tanggal, nama bidan, tempat persalinan, alamat
tempat persalinan, catatan, alasan merujuk, tempat rujukan dan
pendamping pada saat merujuk. Isi data pada masing-masing tempat
yang telah disediakan, atau dengan cara memberi tanda pada kotak di
samping jawaban yang sesuai.
2). Kala I
 Kala I terdiri dari pertanyaan-pertanyaan tentang partograf saat
melewati garis waspada, masalah-masalah yang dihadapi,
penatalaksanaannya, dan hasil penatalaksanaan tersebut.
3). Kala II
 Kala II terdiri dari episiotomi, pendamping persalinan, gawat janin,
distosia bahu, masalah penyerta, penatalaksanaan dan hasilnya.

4). Kala III


 Kala III terdiri dari lama kala III, pemberian oksitosin, penegangan tali
pusat terkendali, pemijatan fundus, plasenta lahir lengkap, plasenta
tidak lahir > 30 menit, laserasi, atonia uteri, jumlah perdarahan,
masalah penyerta, penatalaksanaan dan hasilnya, isi jawaban pada
tempat yang disediakan dan beri tanda pada kotak di samping jawaban
yang sesuai.
5). Bayi baru lahir
 Informasi tentang bayi baru lahir terdiri dari berat dan panjang badan,
jenis kelamin, penilaian kondisi bayi baru lahir, pemberian ASI,
masalah penyerta, penatalaksanaan ter¬pilih dan hasilnya. Isi jawaban
pada tempat yang disediakan serta beri tanda ada kotak di samping
jawaban yang sesuai.
6). Kala IV
 Kala IV berisi data tentang tekanan darah, nadi, suhu, tinggi fundus,
kontraksi uterus, kan¬dung kemih dan perdarahan. Pemantauan pada
kala IV ini sangat penting terutama untuk menilai apakah terdapat
risiko atau terjadi perdarahan pascapersalinan. Pengisian peman¬tauan
kala IV dilakukan setiap 15 menit pada satu jam pertama setelah
melahirkan, dan setiap 30 menit pada satu jam berikutnya. Isi setiap
kolom sesuai dengan hasil pemeriksaan dan Jawab pertanyaan
mengenai masalah kala IV pada tempat yang telah disediakan (Depkes
RI, 2007).

B. Atonia Uteri
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini
(50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi
postpartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol
perdarahan setelah melahirkan. Atonia terjadi karena kegagalan mekanisme
ini.

Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-


serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang
memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila
serabut-serabut miometrium tidak berkontraksi.
Batasan: Atonia uteri adalah uterus yang tidak berkontraksi setelah janin
dan plasenta lahir.

Penyebab :
Atonia uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan melahirkan dengan faktor
predisposisi (penunjang ) seperti :
1. Overdistention uterus seperti: gemeli makrosomia, polihidramnion, atau
paritas tinggi.
2. Umur yang terlalu muda atau terlalu tua.
3. Multipara dengan jarak kelahiran pendek
4. Partus lama / partus terlantar
5. Malnutrisi.
6. Penanganan salah dalam usaha melahirkan plasenta, misalnya plasenta
belum terlepas dari dinding uterus.

Gejala Klinis:
 Uterus tidak berkontraksi dan lunak
 Perdarahan segera setelah plasenta dan janin lahir (P3).

Pencegahan atonia uteri.


Atonia uteri dapat dicegah dengan Managemen aktif kala III, yaitu
pemberian oksitosin segera setelah bayi lahir (Oksitosin injeksi 10U IM, atau
5U IM dan 5 U Intravenous atau 10-20 U perliter Intravenous drips 100-150
cc/jam.
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko
perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan
obat tersebut sebagai terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi
jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi
darah.Oksitosin mempunyai onset yang cepat, dan tidak menyebabkan
kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti preparat ergometrin. Masa
paruh oksitosin lebih cepat dari Ergometrin yaitu 5-15 menit.
Prostaglandin (Misoprostol) akhir-akhir ini digunakan sebagai pencegahan
perdarahan postpartum.

Penanganan Atonia Uteri;


A. Penanganan Umum
 Mintalah Bantuan. Segera mobilisasi tenaga yang ada dan siapkan
fasilitas tindakan gawat darurat.
 Lakukan pemeriksaan cepat keadaan umum ibu termasuk tanda
vital(TNSP).
 Jika dicurigai adanya syok segera lakukan tindakan. Jika tanda -tanda
syok tidak terlihat, ingatlah saat melakukan evaluasi lanjut karena
status ibu tersebut dapat memburuk dengan cepat. 
 Jika terjadi syok, segera mulai penanganan syok.oksigenasi dan
pemberian cairan cepat, Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch
perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.
 Pastikan bahwa kontraksi uterus baik: 
 lakukan pijatan uterus untuk mengeluarkan bekuan darah. Bekuan
darah yang terperangkap di uterus akan menghalangi kontraksi uterus
yang efektif. berikan 10 unit oksitosin IM 
 Lakukan kateterisasi, dan pantau cairan keluar-masuk.
 Periksa kelengkapan plasenta Periksa kemungkinan robekan serviks,
vagina, dan perineum.
 Jika perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.
Setelah perdarahan teratasi (24 jam setelah perdarahan berhenti), periksa
kadarHemoglobin:
 Jika Hb kurang dari 7 g/dl atau hematokrit kurang dari 20%( anemia
berat):berilah sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 120 mg
ditambah asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan;
 Jika Hb 7-11 g/dl: beri sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 60
mg ditambah asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan;
 B.Penanganan Khusus
 Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri.
 Teruskan pemijatan uterus.Masase uterus akan menstimulasi kontraksi
uterus yang menghentikan perdarahan.
 Oksitosin dapat diberikan bersamaan atau berurutan
 Jika uterus berkontraksi.Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi
perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan
serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera.
 Jika uterus tidak berkontraksi maka :Bersihkanlah bekuan darah atau
selaput ketuban dari vagina & ostium serviks. Pastikan bahwa kandung
kemih telah kosong
Antisipasi dini akan kebutuhan darah dan lakukan transfusi sesuai kebutuhan.
Jika perdarahan terus berlangsung:
Pastikan plasenta plasenta lahir lengkap;Jika terdapat tanda-tanda sisa plasenta
(tidak adanya bagian permukaan maternal atau robeknya membran dengan
pembuluh darahnya), keluarkan sisa plasenta tersebut.Lakukan uji pembekuan
darah sederhana.
Kegagalan terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak
yang dapat pecah dengan mudah menunjukkan adanya koagulopati.
Jika perdarahan terus berlangsung dan semua tindakan di atas telah
dilakukan, lakukan:
Kompresi bimanual internal atau Kompresi aorta abdominalis
Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.
 Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan
tangan perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat.Jika uterus
tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan
kompresi bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan;
Berikan ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika hipertensi);
Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500
ml RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin;
Ulangi KBI,Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama
selama kala empat.
 Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera
Jika perdarahan terus berlangsung setelah dilakukan kompresi:
 Lakukan ligasi arteri uterina dan ovarika. 
 Lakukan histerektomi jika terjadi perdarahan yang mengancam jiwa
setelah ligasi.

Manajemen Atonia Uteri


1. Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal
yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring
tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi
oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan
untuk persiapan transfusi darah.
2. Masase dan kompresi bimanual
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang
akan menghentikan perdarahan.
Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (max 15 detik)
Ä Jika uterus berkontraksi
Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus
berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan serviks
mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera
Ä Jika uterus tidak berkontraksi maka :
Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina &
lobang serviks
Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong
Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.
ó Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit,
keluarkan tangan perlahan-lahan dan pantau kala empat
dengan ketat.
ó Jika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga
untuk mulai melakukan kompresi bimanual eksternal;
Keluarkan tangan perlahan-lahan; Berikan ergometrin 0,2
mg LM (jangan diberikan jika hipertensi); Pasang infus
menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml
RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat
mungkin; Ulangi KBI
Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama
kala empat
Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera
3. Uterotonika
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior
hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat
seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor
oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan
meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyababkan tetani.
Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif
diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi
kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek
samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan
vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.
Metilergonovin maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat
menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan
secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis maksimum
1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada miometrium jika diperlukan
(IMM) atau IV bolus 0,125 mg. obat ini dikenal dapat menyebabkan
vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea dan
vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil
prostaglandin F2alfa. Dapat diberikan secara intramiometrikal,
intraservikal, transvaginal, intravenous, intramuscular, dan rectal.
Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15
menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat
dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g).
Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat
menimbulkan efek samping prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare,
sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot
halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-
kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang
disebabkan peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan
saturasi oksigen. Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan
kelainan kardiovaskular, pulmonal, dan disfungsi hepatik. Efek samping
serius penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar dapat hilang
sendiri. Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif
untuk mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan
angka kesuksesan 84%-96%. Perdarahan pospartum dini sebagian besar
disebabkan oleh atonia uteri maka perlu dipertimbangkan penggunaan
uterotonika ini untuk mengatasi perdarahan masif yang terjadi.
4. Uterine lavage dan Uterine Packing
Jika uterotonika gagal menghentikan perdarahan, pemberian air panas ke
dalam cavum uteri mungkin dapat bermanfaat untuk mengatasi atonia
uteri. Pemberian 1-2 liter salin 47°C-50°C langsung ke dalam cavum uteri
menggunakan pipa infus. Tangan operator tidak boleh menghalangi vagina
untuk memberi jalan salin keluar.
Penggunaan uterine packing saat ini tidak disukai dan masih kontroversial.
Efeknya adalah hiperdistended uterus dan sebagai tampon uterus.
Prinsipnya adalah membuat distensi maksimum sehingga memberikan
tekanan maksimum pada dinding uterus. Segmen bawah rahim harus terisi
sekuat mungkin, anestesi dibutuhkan dalam penanganan ini dan antibiotika
broad-spectrum harus diberikan. Uterine packing dipasang selama 24-36
jam, sambil memberikan resusitasi cairan dan transfusi darah masuk.
Uterine packing diberikan jika tidak tersedia fasilitas operasi atau kondisi
pasien tidak memungkinkan dilakukan operasi.
5. Operatif
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka
keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang
berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika
dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah
rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan
benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan
melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium
keluar di bagian avaskular ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat
melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai
cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan
2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas
tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim.
Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada
vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi
ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen
bawah rahim dan cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika
perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau
unilateral ligasi vasa ovarian.
• Ligasi arteri Iliaka Interna
Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk
melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral
paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke
medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka
interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan
menggunakan benang non absobable dilakukan dua ligasi bebas berjarak
1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut
arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah
ligasi.
Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat
menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus
mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.
• Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh
Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk
mengatasi perdarahan pospartum akibat atonia uteri.
• Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika
terjadi perdarahan pospartum masif yang membutuhkan tindakan
operatif. Insidensi mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak
terjadi pada persalinan abdominal dibandingkan vaginal.

C. Retensio Plasenta
1. Definisi
Retensio plasenta adalah plasenta tidak lahir spontan maksimal 30
menit. (Petrus Andriano, 1999)
Retensio plasenta adalah lepas plasenta tidak bersamaan sehingga
sebagian masih melekat pada tempat implantsi, menyebabkan
terganggunya retraksi dan kontraksi otot uterus, sehingga sebagian
pembuluh darah tetapi terbuka serta menimbulkan perdarahan. (Manuaba,
2002)
Retensio plasenta yaitu plasenta dianggap retensi bila belum
dilahirkan dalam batas waktutertentu setelah bayi lahir (dalam waktu 30
menit setelah penatalasanaan aktif).
Retensio plasenta adalah tertahan atau belum lahirnya palsenta hingga
melebihi 30 menit setelah bayi lahir (Sarwanto, 2002).
2. Etiologi
a. Etiologi dasar meliputi
1) Faktor maternal
a) Gravida berusia lanjut
b) multiparitas
2) Faktor uterus
a) Bekas sectio caesaria, sering plasenta tertanam pada jaringan
cicatrix uterus
b) Bekas pembedahan uterus
c) Anorrali dan uterus
d) Tidak efektif kontraksi uterus
e) Pembentukan contraction ring
f) Bekas curetage uterus, yang terutama dilakukan setelah abortus
g) Bekas pengeluaran plasenta secara maual
h) Bekas ondometritis
3) Faktor plasenta
a) Plasenta previa
b) Implantasi cornual
c) Plasenta akreta
d) Kelainan bentuk plasenta
Latar belakang keaadaan yang nampaknya umum terjadi pada semua
kondisi penyebab adalah defisiensi endometrium dan desisua.
Diantaranya adalah :
1) Desidua yang melapisi jaringan cicatrix bekas sectio caesar kurang
memadai
2) Pada wanita yang pernah mengalami plasenta previa,
pengembangan desidua pada segmen bawah rahim relatif jelek
3) Desidua pada cornu uterina biasanya hipoplastik
4) Pada banyak wanita dengan meningkatnya usia dan paritas terjadi
penurunan Kecukupan desidua secara progresif
5) Bekas curetage atau pengeluaran plasenta secara manual
merupakan indikasi bahwa perlekatan plasenta yang abnormal
menjadi alasan diperlukannya prosedur tersebut.
b. Etiologi berdasar abnormalitas pada tingkata kala III, meliputi :
1) Plasenta belum lahir dari dinding uterus, ini terjadi karena :
a) Kontraksi uterus kurang kuatutk melepaskan plasenta (plasenta
adhesiva)
b) Plasenta melekat erat pada dinding uterus, oleh sebab :
(1) Implantasi jonjot corion plasenta hingga memasuki
sebagian lepisan miometrium (plasenta acreta)
(2) Implantasi jonjot corion plasenta hingga mencapai
mikrometrium (plasenta increta)
(3) Implantasi jonjot corion plasenta yang menembus lapisan
otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus
2) Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan, ini terjadi
karena tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah
penanganan kala III sehingga terjadi lingkaran kontraksi pada
bagian bawah uterus yang akan menghalangi keliarnya plasenta
(plasenta incarserata)
3. Pathofisiologi
Dalam keadaan normal, desidua basalis terletak diantara miometium dan
plasenta Lempeng pembelahan bagi pemisahan palsenta berada dalam
lapisan desidua basalis yang mirip spons. Pada plasenta acreta, desidua
basilis tidak ada sebagian atau seluruhnya, sehingga plasenta melekat
langsung pada miometrium, villi tersebut bisa tetap supervisiailspd otot
uterus atau dapat menembus lebih dalam. Keadaan ini bukan terjadi karena
sifat invasif trofoblast yang abnormal, melainkan karena adanya efek pada
desisdua.

4. Gambaran klinis
a. Waktu hamil
1) Kebanyakan pasien memiliki kehamilan yang normal
2) Insiden perdarahan antepartum meningkat, tetapi keadaan ini
biasanya menyertai plasenta previa
3) Terjadi persainan prematur, tetapi kalau hanya ditimbulkan oleh
perdarahan
4) Kadang terjadi ruptur uteri
b. Persalinan kala I dan II
Hampir pada semua kasus proses ini berjalan normal
c. Persalinan kala III
1) Retresio plasenta menjadi ciri utama
2) Perdarahan post partum, jumlahnya perdarahan tergantung pada
derajat perlekatan plasenta, seringkali perdarahan ditimbulkan oleh
Dokter kebidanan ketika ia mencoba untuk mengeluarkan plasenta
secara manual
3) Komplikasi yang seriun tetapi jsrsng dijumpai yaitu invertio uteri,
keadaan ini dapat tejadi spontan, tapi biasanya diakibatkan oleh
usaha-usaha untuk mengeluarkan plasenta
4) Ruptura uteri, biasanya terjadi saat berusaha mengeluarkan
plasenta
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Hitung darah lengkap :
Untuk menentukan tingkat hemoglogin (Hb) dan hematokrit (Hct),
melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan
yang disertai dengan infeksi, leukosit biasanya meningkat.
b. Menentukan adanya gangguan koagulasi :
Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung Protrombin
Time (PT) dan Activated Partial Time (CT) atau Bleeding Time (BT).
Ini penting untuk menyingkirkan perdarahan yang disebabkan oleh
faktor lain
Palsenta Manual
Plasenta manual adalah tindakan untuk melepaskan plasenta secara
manual (menggunakan tangan) dr tempat implastasinya dan kemudian
melahirkannya keluar dari kavum uteri.
Prosedur Plasenta Manual
Persiapan :
• Pasang set dan cairan infus
• Jelaskan pada ibu prosedur dan tujuan tindakan
• Lakukan anestesia verbal atau analgesia per rektal
• Siapkan dan jalankan prosedur pencegahan infeksi
6. Komplikasi
a. Syok naemorargic
b. Sepsis
c. Meltiple organ failure yang berhubungan dengan kolaps sirkulasi dan
penurunan perjusi organ
7. Pencegahan
a. Pencegahan resiko plasenta adalah dengan cara mempercepat proses
separasi dan melahirkan plasenta dengan memberikan uterotonika
segera setelah bayi lahir dan melakukan penegangan talipusat
terkendali. Usaha ini disebut juga penatalaksanaan aktif kala III
b. Mengamati dan melihat kontraksi uterus
8. Pengelolaan Retensia Palcenta
Plasenta belum lahir dalam waktu 15 menit, berikan 10 unit
oksitosin IM dosis kedua. Periksa kandung kemih, jika ternyata penuh,
gunakan teknik aseptin untuk memasukkan kateter nelaton disinfeksi
tingkat tinggi atau steril untuk mengosongkan kandung kemih. Ulangi
kembali penegangan talipusat dan tekanan dorso-kranial seperti yang
diuraikan diatas. Nasehati keluarga bahwa rujukan mungkin diperlukan
jika plasenta tetap tidak lahir, rujuk segera. Ingat, apabila plasenta tidak
lahir setelah 30 menit, jangan mencoba untuk melepaskan dan segera
lakukan rujukan.
Pehatikan : jika sebelum plsenta lahir kemudian mendadak terjadi
perdarahan maka segera lakukan tindakan plasenta manual untuk segera
mengosongkan kavum uteri. Jika setelah manual masih terjadi perdarahan
maka lakukan kompresi bimanual internal/ eksternal atau kompresi aorta.
Beri oksigen 10 IU dosis tambahan atau misoprostol 600-1000 mcg per
rektal. Tunggu hingga uterus berkontraksi kuat dan perdarahan berhenti,
baru hentikan tindakan kompresi.
Bila plasenta dalam setengah jam setelah anak lahir belum
memperlihatkan lepasnya plasenta, maka dilkakukan pelepasan plasenta
manual.
Tindakan penetrasi ke dalam kavum uteri
1. Perhatikan kandung kemih dalam keadaan kosong
2. Jepit tali pusat dengan klem pada jarak 5-10 cm dari vulva, tegangkan
dengan satu tangan sejajar lantai
3. Secara obstetrik, masukkan tangan lainnya (punggung tangan
menghadap ke bawah) ke dalam vagina dengan menelusuri sisi bawah
tali pusat
4. Setelah mencapai bukaan serviks, minta seorang asinten / penolong
lain untuk memegangkan klem tali pusat kemudian pindahkan tangan
luar untuk memindahkan fundus uteri
5. Sambil menahan fundus uteri, masukkan tangan dalam hingga ke
kavum uteri sehingga mencapai tempat implantasi plasenta
6. Bentangkan tangan obstetrik menjadi datar seperti memberi salam (ibu
jari merapat ke jari telunjuk dan jari-jari lain saling merapat.
Melepas plasenta dari dinding uterus
7. Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta paling bawah.
• Bila plasenta berimplantasi di korpus belakang, tali pusat tetapt di
sebelah atas dan sisipkan ujung jari-jari tangan di antara plasenta
dan dinding uterfus dimana punggung tangan menghadap ke bawah
(posterior ibu)
• Bila dikorpus depan maka pindahkan tangan ke sebelah atas
talipusat dan sisipkan ujung jari-jari tangan diantara plasenta dan
dinding uterus dimana punggung tangan menghadap ke atas
(Anterior ibu).
8. Setelah ujung-ujung jari masuk di antara plasenta dan dinding uterus,
maka perluasan perlepasan plasenta dengan jalan menggeser tangan ke
kanan dan kiri sambil digeserkan ke atas (kranial ibu, hingga semua
perlekatan plasenta terlepas dari dinding uterus).
Catatan :
• Bila tepi plasenta tidak teraba atau plasenta berada pada dataran
yang sma tinggi dengan dinding uterus maka hentikan upaya
plasentamanual karena hal itu menunjukkan plasenta inkreta
(tertanam dalam miometrium)
• Bila hanya sebagian dari implantasi plasenta dapat dilepaskan dan
bagian lainnya melekat erat maka hentikan pula plasenta manual
karena hal tersebut adalah plasenta akreta. Untuk keadaan itu
sebaiknya ibu diberi uterotonika tambahan (misoprostal 600 mcg
per rektal) sebelum dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukan.
Mengeluarkan Plasenta
9. Sementara satu tangan masih di dalam kavum uteri, lakukan eksplorasi
untuk meilai tidak ada plasenta yang tertinggal
10. Pindahkan tangan luar dari fundus ke supra simfis (tahan segmen
bawah uterus) kemudian instruksikan asisten/ penolong untuk menarik
tali pusat sambil tangan dalam membawaplasenta keluar (hindari
terjadinya percikan darah)
11. Lakukan penekanan (dengan tangan yang menahan suprasimfisis)
uterus ke arah dorso-kranial setelah plasenta dilahorkan dan tempatkan
plasenta di dalam wadah yang telah disediakan
Pencegahan Infeksi Pascatindakan
12. Dekontaminasi sarung tangan (sebelum dilepaskan) dan peralatan lain
yang digunakan
13. Lepaskan dan rendam sarung tangan dan peralatan lainnya ke dalam
larutan klorin 0,5% selama 10 menit
14. Cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir
15. Keringkan tangan dengan handuk bersih dan kering
Pemantauan Pascatindakan
16. Periksa kembali tanda vital ibu
17. Catat kondisi ibu dan buat laporan tindakan
18. Tuliskan rencana pengobatan, tindakan yang masih diperlukkan dan
asuhan lanjutan
19. Beritahukan kepada ibu dan keluarganya bahwa tindakan telah selesai
tetapi ibu masih memerlukan pemantauan dan asuhan tambahan
20. Lanjutan pemantauan ibu hingga 2 jampasca tindakan sebelum
dipindah ke ruang rawat gabung.

D. Haemoragic Post Partum


1.. Pengertian
Haemoragic Post Partum (HPP) adalah hilangnya darah lebih dari 500
ml dalam 24 jam pertama setelah lahirnya bayi (Williams, 1998)
Haemoragic Post Partum (HPP) biasanya kehilangan darah lebih dari
500 ml selama atau setelah kelahiran (Marylin E Dongoes, 2001).
Perdarahan Post partum diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:
 Early Postpartum : Terjadi 24 jam pertama setelah bayi lahir
 Late Postpartum : Terjadi lebih dari 24 jam pertama setelah bayi lahir
Tiga hal yang harus diperhatikan dalam menolong persalinan dengan
komplikasi perdarahan post partum :
1. Menghentikan perdarahan.
2. Mencegah timbulnya syok.
3. Mengganti darah yang hilang.Frekuensi perdarahan post partum 4/5-
15 % dari seluruh persalinan. Berdasarkan penyebabnya :
 Atoni uteri (50-60%).
 Retensio plasenta (16-17%).
 Sisa plasenta (23-24%).
 Laserasi jalan lahir (4-5%).
 Kelainan darah (0,5-0,8%).
2. Etiologi
Penyebab umum perdarahan postpartum adalah:
1. Atonia Uteri
2. Sisa Plasenta dan selaput ketuban
 Pelekatan yang abnormal (plasaenta akreta dan perkreta)
 Tidak ada kelainan perlekatan (plasenta seccenturia)
3. Inversio Uteri
Inversio uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian
atau seluruhnya masuk ke dalam kavum uteri
3. Patofisiologi
Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus melebar untuk
meningkatkan sirkulasi ke sana, atoni uteri dan subinvolusi uterus
menyebabkan kontraksi uterus menurun sehingga pembuluh darah-
pembuluh darah yang melebar tadi tidak menutup sempurna sehingga
perdarahan terjadi terus menerus. Trauma jalan lahir seperti epiositomi
yang lebar, laserasi perineum, dan rupture uteri juga menyebabkan
perdarahan karena terbukanya pembuluh darah, penyakit darah pada ibu;
misalnya afibrinogemia atau hipofibrinogemia karena tidak ada atau
kurangnya fibrin untuk membantu proses pembekuan darah juga
merupakan penyebab dari perdarahan postpartum. Perdarahan yang sulit
dihentikan bisa mendorong pada keadaan shock hemoragik.
Perbedaan perdarahan pasca persalinan karena atonia uteri dan
robekan jalan lahir adalah :
1. Atonia uteri (sebelum/sesudah plasenta lahir).
 Kontraksi uterus lembek, lemah, dan membesar (fundus uteri masih
tinggi.
 Perdarahan terjadi beberapa menit setelah anak lahir.
 Bila kontraksi lemah, setelah masase atau pemberian uterotonika,
kontraksi yang lemah tersebut menjadi kuat.
2. Robekan jalan lahir (robekan jaringan lunak).
 Kontraksi uterus kuat, keras dan mengecil.
 Perdarahan terjadi langsung setelah anak lahir. Perdarahan ini terus-
menerus.
3. Penanganannya, ambil spekulum dan cari robekan.
Setelah dilakukan masase atau pemberian uterotonika langsung
uterus mengeras tapi perdarahan tidak berkurang. Perdarahan Postpartum
akibat Atonia Uteri
Sebagian plasenta dari rahim dan sebagian lagi belum; karena
perlukaan pada jalan lahir atau karena atonia uteri. Atoni uteri merupakan
sebab terpenting perdarahan postpartum.
Atonia uteri dapat terjadi karena proses persalinan yang lama;
pembesaran rahim yang berlebihan pada waktu hamil seperti pada hamil
kembar atau janin besar; persalinan yang sering (multiparitas) atau
anestesi yang dalam. Atonia uteri juga dapat terjadi bila ada usaha
mengeluarkan plasenta dengan memijat dan mendorong rahim ke bawah
sementara plasenta belum lepas dari rahim.
Perdarahan yang banyak dalam waktu pendek dapat segera
diketahui. Tapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama tanpa disadari
penderita telah kehilangan banyak darah sebelum tampak pucat dan gejala
lainnya. Pada perdarahan karena atonia uteri, rahim membesar dan
lembek.Terapi terbaik adalah pencegahan. Anemia pada kehamilan harus
diobati karena perdarahan yang normal pun dapat membahayakan seorang
ibu yang telah mengalami anemia. Bila sebelumnya pernah mengalami
perdarahan postpartum, persalinan berikutnya harus di rumah sakit. Pada
persalinan yang lama diupayakan agar jangan sampai terlalu lelah. Rahim
jangan dipijat dan didorong ke bawah sebelum plasenta lepas dari dinding
rahim.
Pada perdarahan yang timbul setelah janin lahir dilakukan upaya
penghentian perdarahan secepat mungkin dan mengangatasi akibat
perdarahan. Pada perdarahan yang disebabkan atonia uteri dilakukan
massage rahim dan suntikan ergometrin ke dalam pembuluh balik. Bila
tidak memberi hasil yang diharapkan dalam waktu singkat, dilakukan
kompresi bimanual pada rahim, bila perlu dilakukan tamponade utero
vaginal, yaitu dimasukkan tampon kasa kedalam rahim sampai rongga
rahim terisi penuh. Pada perdarahan postpartum ada kemungkinann
dilakukan pengikatan pembuluh nadi yang mensuplai darah ke rahim atau
pengangkatan rahim.
Plasenta sudah terlepas dari dinding rahim namun belum keluar
karena atoni uteri atau adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah
rahim (akibat kesalahan penanganan kala III) yang akan menghalangi
plasenta keluar (plasenta inkarserata).
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan
tetapi bila sebagian plasenta sudah lepas maka akan terjadi perdarahan. Ini
merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya.Plasenta mungkin
pula tidak keluar karena kandung kemih atau rektum penuh. Oleh karena
itu keduanya harus dikosongkan.
Sehingga untuk mengatasi perdarahan tersebut diatas harus
dilakukan Kompresi Bimanual Interna.
4. Manifestasi Klinis
Gejala Klinis umum yang terjadi adalah kehilangan darah dalam
jumlah yang banyak (> 500 ml), nadi lemah, pucat, lochea berwarna
merah, haus, pusing, gelisah, letih, dan dapat terjadi syok hipovolemik,
tekanan darah rendah, ekstremitas dingin, mual.
Gejala Klinis berdasarkan penyebab:
a. Atonia Uteri
Gejala yang selalu ada: Uterus tidak berkontraksi dan lembek dan
perdarahan segera setelah anak lahir (perarahan postpartum primer)
Gejala yang kadang-kadang timbul: Syok (tekanan darah rendah,
denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah, mual dan lain-
lain)
b. Tertinggalnya plasenta (sisa plasenta)
Gejala yang selalu ada : plasenta atau sebagian selaput
(mengandung pembuluh darah ) tidak lengkap dan perdarahan segera
Gejala yang kadang-kadang timbul: Uterus berkontraksi baik tetapi
tinggi fundus tidak berkurang.
c. Inversio uterus
Gejala yang selalu ada: uterus tidak teraba, lumen vagina terisi
massa, tampak tali pusat (jika plasenta belum lahir), perdarahan segera,
dan nyeri sedikit atau berat.
Gejala yang kadang-kadang timbul: Syok neurogenik dan pucat
5. Penatalaksanaan Medis
 Perdarahan karena Atonia
Bila terjadi perdarahan sebelum plasenta lahir (Retensia plasenta), ibu
harus segera minta pertolongan dokter rumah sakit terdekat. Untuk daerah
terpencil dimana terdapat bidan, maka bidan dapat melakukan tindakan
dengan urutan sebagai berikut:
 Pasang infus.
 Pemberian uterotonika intravena tiga hingga lima unit oksitosina ( 10-
100 IU)/ Infus dalam 500 ml D5% atau ergometrin 1 amp (0,5 cc
hingga 1 cc)/IM atau tambah Inj. prostaglandin
 Kosongkan kandung kemih dan lakukan masase ringan di uterus.
 Keluarkan plasenta dengan perasat Crede, bila gagal, lanjutkan dengan;
 Plasenta manual (seyogyanya di rumah sakit).
 Periksa apakah masih ada plasenta yang tertinggal. Bila masih berdarah;
 Dalam keadaan darurat dapat dilakukan penekanan pada fundus uteri
atau kompresi aorta.
Bila perdarahan terjadi setelah plasenta lahir, dapat dilakukan:
 Pemberian uterotonika intravena.
 Kosongkan kandung kemih.
 Menekan uterus-perasat Crede.
 Tahan fundus uteri/(fundus steun) atau kompresi aorta.
Tentu saja, urutan di atas dapat dilakukan jika fasilitas dan kemampuan
penolong memungkinkan. Bila tidak, rujuk ke rumah sakit yang mampu
melakukan operasi histerektomi, dengan terlebih dahulu memberikan
uterotonika intravena serta infus cairan sebagai pertolongan pertama.
 Perdarahan karena Robekan Jalan Lahir
Perdarahan pasca persalinan yang terjadi pada kontraksi uterus yang
kuat, keras, bisa terjadi akibat adanya robekan jalan lahir (periksa dengan
spekulum dan lampu penerangan yang baik-red). Bila sudah dapat dilokalisir
dari perdarahannya, jahitlah luka tersebut dengan menggunakan benang
katgut dan jarum bulat.
Untuk robekan yang lokasinya dalam atau sulit dijangkau, berilah
tampon padat liang senggama/vagina dan segera dirujuk dengan terlebih
dahulu memasang infus dan pemberian uterotonika intravena.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ida Bagus Gde Manuaba, 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan
Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan, Jakarta : ECG
2. JNPK-KR, 2007. Asuhan Persalinan Normal, Jakarta : JHPIEGO
3. Saifuddin Abdul Bari, 2002.Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan
Matrenal dan Neonatal,Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
4. Menteri Kesehatan, 2009. Temu Kader Posyandu : Kementrian Kesehatan
Republic Indonesia (diakses pada tanggal 23 Maret 2010)
5. Supriadi Pawik, 2010. Angka Kematian Ibu dan Bayi : Dinas Komunikasi dan
Informatika Prov. Jatim (diakses pada tanggal 23 Maret 2010)
6. Ulfa, Ida Nikmatul, 2010. Kasus Kematian Ibu Sangat Mengkhawatirkan.
Jombang: Jawa Pos (diakses pada tanggal 23 Maret 2010)
7. James R Scott, et al. Danforth buku saku obstetric dan ginekologi. Alih bahasa
TMA Chalik. Jakarta: Widya Medika, 2002.
8. Obstetri fisiologi, Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran
Unversitas Padjajaran Bandung, 1993.
9. Mochtar, Rustam. Sinopsis obstetrik. Ed. 2. Jakarta: EGC, 1998.
10. Manuaba, Ida Bagus Gede. Ilmu kebidanan, penyakit kandungan dan keluarga
berencana. Jakarta: EGC, 1998.
11. Bobak, Lowdermilk, Jensen. Buku ajar keperawatan maternitas. Alih bahasa:
Maria A. Wijayarini, Peter I. Anugerah. Jakarta: EGC. 2004
12. Heller, Luz. Gawat darurat ginekologi dan obstetric. Alih bahasa H.
Mochamad martoprawiro, Adji Dharma. Jakarta: EGC, 1997.

Anda mungkin juga menyukai