Anda di halaman 1dari 11

KLIPING

PROVINSI KEPULAUAN RIAU

Nama : Melgi Selviani


Kelas : IX F

MTs. NEGERI 3
KOTA TASIKMALAYA
2018
KEPULAUAN RIAU

A. Administrasi
Kepulauan Riau adalah sebuah provinsi di Indonesia. Provinsi Kepulauan Riau berbatasan
dengan Vietnam dan Kamboja di sebelah utara; Malaysia dan provinsi Kalimantan Barat di
timur; provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Jambi di selatan; Negara Singapura, Malaysia
dan provinsi Riau di sebelah barat. Provinsi ini termasuk provinsi kepulauan di Indonesia.
Secara keseluruhan wilayah Kepulauan Riau terdiri dari 5 kabupaten, dan 2 kota, 52 kecamatan
serta 299 kelurahan/desa dengan jumlah 2.408 pulau besar, dan kecil yang 30% belum bernama,
dan berpenduduk. Adapun luas wilayahnya sebesar 8.201,72 km², sekitar 95% merupakan lautan,
dan hanya sekitar 5% daratan.

B. Bahasa Daerah : Bahasa yang dipakai adalah bahasa resmi yaitu Bahasa Indonesia dan ada
juga yang menggunakan bahasa Melayu.
C. Pakaian Tradisional

Pakaian Adat Kepulauan Riau Kebaya Labuh dan teluk belanga sebetulnya bukan satu-satunya
pakaian adat Kepulauan Riau yang dapat kita temukan. Ada banyak jenis pakaian daerah lainnya
yang akrab dengan budaya masyarat kepulauan Riau. Beberapa di antaranya yaitu baju kurung
keke, baju gunting cina, baju telepuk, dan lain sebagainya. Pakaian Adat Kepulauan Riau
Kebaya labuh dan teluk belanga sengaja dipilih sebagai ikon pakaian adat Kepulauan Riau
karena ada beberapa keunikan dan nilai tambah yang dimilikinya. Selain itu, kedua pakaian ini
memang merupakan pakaian yang sudah umum dikenakan masyarat Melayu yang mendiami
pulau-pulau di provinsi ini sejak masa silam. Nah, berikut ini kita akan membahas secara
lengkap kedua pakaian tersebut.
D. Rumah Adat
Kondisi alam dan keyakinan masyarakat Kepulauan Riau sangat berpengaruh pada arsitektur
rumah. Rumah didirikan di atas tiang dengan tinggi sekitar 1,50 meter sampai 2,40 meter.
Bahan-bahan pembuat rumah, corak hias, dan warna merupakan bentuk adaptasi terhadap
lingkungan dan ekpresi nilai keagamaan dan nilai budaya.
Salah satu bentuk rumah tempat tinggal masyarakat Kepulauan Riau adalah rumah Belah
Bubung, atau rumah Rabung atau rumah Bumbung Melayu. Disebut rumah Rabung karena
atapnya menggunakan perabung atau bentuk atapnya terbelah. Nama rumah Bubung Melayu
diberikan oleh orang-orang asing, khususnya Cina dan Belanda, karena bentuknya berbeda
dengan rumah asal mereka, yaitu berupa rumah Kelenting dan Limas.

Nama rumah terkadang diberikan berdasarkan bentuk dan variasi atapnya. Disebut rumah Lipat
Pandan karena atapnya curam. Disebut rumah Lipat Kajang karena atapnya agak mendatar.
Diberi nama rumah Atap Layar atau Ampar Labu karena bagian bawah atapnya ditambah dengan
atap lain. Disebut rumah Perabung Panjang karena perabung atapnya sejajar dengan jalan raya
dan rumah Perabung Melintang karena perabungnya tidak sejajar dengan jalan.
Besar kecilnya rumah yang dibangun ditentukan oleh kemampuan pemiliknya. Semakin kaya
seseorang semakin besar rumahnya dan semakin banyak pula ragam hiasnya. Namun demikian,
kekayaan bukan sebagai penentu yang mutlak. Pertimbangan utama dalam membuat rumah
adalah keserasian dengan pemiliknya. Untuk menentukan serasi atau tidaknya sebuah rumah,
sang pemilik menghitung ukuran rumahnya dengan hitungan hasta, dari satu sampai lima.
Adapun urutannya adalah ular berenang, meniti riak, riak meniti kumbang berteduh, habis utang
berganti utang, dan hutang lima belum berimbuh. Ukuran yang paling baik adalah jika tepat pada
hitungan riak meniti kumbang berteduh.
E. Senjata Tradisional
1. Senjata Tradisional Keris
Bila Anda sebelumnya sering menganggap bahwa keris hanya ada di Jawa, maka sebaiknya
Anda coba menjelajahi dan berkeliling ke daerah Sumatera atau negeri Jiran Malaysia. Pasalnya,
dalam budaya masyarakat daerah tersebut Anda juga akan menemukan keris sebagai warisan dari
leluhur mereka. Oleh karenanya, dalam hal ini keris juga dapat ditemukan dalam budaya
masyarakat Riau. Kendati demikian, keris Riau memiliki keunikan, yaitu jumlah luk (lekukan)
yang sedikit serta ukiran pada gagang dan sarungnya yang lebih banyak bermotif flora.

2. Senjata Tradisional Beladau


Beladau merupakan senjata jenis tusuk yang ditemukan dalam budaya masyarakat Riau. Senjata
ini berupa pisau belati yang tajam di satu sisi. Bedanya dengan pisau belati pada umumnya,
beladau cenderung memiliki kelngkungan di pangkal pegangannya, sehingga gagang lebih
mudah dipegang dan didorong saat digunakan. Sesuai dengan panjangnya yang hanya 24 cm,
senjata tradisional Riau satu ini kerap digunakan sebagai sarana perlindungan diri dari serangan
jarak dekat.
3. Senjata Tradisional Kelewang
Senjata tradisional khas Riau selanjutnya yaitu kelewang. Kelewang adalah semacam golok
dengan ujung bilah yang membesar. Di masa silam, kelewang digunakan para prajurit kerajaan
dalam peperangan. Akan tetapi, di masa sekarang, ia lebih banyak digunakan para petani dalam
kegiatannya di sawah atau di ladang sebagai alat pertanian. Karena fungsi tersebut, kelewang
hingga saat ini tetap lestari dibandingkan jenis senjata tradisional Riau lainnya.

4. Senjata Tradisional Badik


Tumbuk Lada Pernah mendengar senjata bernama Badik Tumbuk Lada? Ya, senjata ini
sebetulnya lebih dikenal sebagai senjata tradisional Jambi. Kendati demikian, bukan berarti
masyarakat Riau tidak mengenalnya. Letak geografis kedua provinsi ini membuat budaya
mereka tidak jauh berbeda sehingga wajar jika badik tumbuk lada juga termasuk kedalam jenis
senjata tradisional Riau.
F. Tarian Adat
1. Tari Persembahan
Tari Persembahan yang biasanya digunakan untuk menyambut tamu atau pembukaan acara-acara
tertentu. Tarian ini menggambarkan bahwa orang melayu Riau menghargai hubungan
persahabatan dan kekerabatan.

Gambar 1.1 : Tari Persembahan


2. Tari Makyong
Tarian ini adalah jenis dramatari yang sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu.  Tarian makyong
diperkirakan telah ada di Riau hampir seabad yang lalu dan sering kali dipentaskan di pematang
sawah selepas memanen padi. Tarian tersebut dipentaskan oleh penari-penari topeng dan diiringi
alat musik seperti rebab, gendang, dan tetawak.

Gambar 2.1 : Tari Makyong


3. Tari Zapin
Tari zapin telah lama berkembang di banyak daerah di Indonesia dan salah satunya di Kepulauan
Riau. Tari ini banyak dipengaruhi oleh budaya Arab dan sarat kandungan agama dan tata nilai.
Tarian ini mempertontonkan gerakan kaki cepat mengikuti pukulan gendang (marwas). Zapin
awalnya hanya dilakukan penari lelaki namun kini penari perempuan juga ditampilkan.

Gambar 3.1 : Tari Zapin


4. Tari Melemang
Tarian yang memadukan unsur tari, musik, dan menyanyi ini mengisahkan tentang kehidupan
kerajaan dan dipentaskan oleh 14 orang yang masing-masing memainkan peran. Kata melemang
sendiri berarti berdiri sambil membongkokkan badan ke belakang dan hal ini memang tampak
pada kecakapan serta kegesitan para penari dalam mengambil sesuatu, misalnya uang receh atau
sapu tangan. Kini, tari Melemang sudah menjadi pertunjukan hiburan rakyat dengan durasi
sekitar satu jam.

Gambar 4.1 : Tari Melemang


5. Tari Zapin Matahari
Tari Zapin Maharani adalah tarian yang berasal dari Kecamatan Pelalawan Kabupaten
Pelalawan. Tarian ini mengisahkan sebuah kisah cinta sepasang muda mudi di Desa Kuala
Tolam. Mereka kemudian menikah, dan mereka hidup sangat bahagia, tetapi kebahagiaan
mereka hanya sementara.

Gambar 5.1 : Tari Zapin Matahari


6. Tari Tandak Sedati
Tari tandak Sedati dikenal sebagai tari pergaulan yang digemari masyarakat setempat dan
menjadi media silaturahmi tempat bertemunya antara pemuda dan pemudi antar kampung. Tarian
ini adalah gabungan antara seni tari dan sastra dan dipentaskan oleh laki-laki dan perempuan
pada malam hari.
Gambar 6.1 : Tari Tandak Sedati
7. Tari Joged Lambak
Tari Joged Lambak adalah tarian yang kental dengan budaya Melayu. Gerak tariannya cenderung
lemah gemulai sementara lagu-lagu yang ditarikan adalah lagu atau irama joget seperti
Serampang Laut, Tanjung Katung, dan Anak Kala. Alat musik yang digunakan antara lain
gendang, gong atau tetawak.

Gambar 7.1 : Tarian Joged Lambak


8. Tarian Gamelan
Tarian klasik ini mula di kesan di empayar Riau dan Lingga dalam kurun ke-17.Ia mula di
persembahkan buat pertama kali di khalayak ramai di Pekan Pahang dalam tahun 1811 dalam
upacara persandingan Tengku Hussain, putera kepada Sultan Abdul Rahman yang memerintah
Lingga, dengan Wan Esah yakni adik perempuan kepada Bendahara Ali dari Pahang. Ianya mula
di perkenalkan di Terengganu selepas Tengku Mariam iaitu seorang puteri di Pahang,
mengahwini Tengku Sulaiman yakni putera kepada Tengku Zainal Abidin dari Terengganu.

Gambar 8.1 : Tari Gamelan


9. Tari Suku Melaut Teluk Meranti
Tarian yang berpijak pada tradisi masyarakat di Kabupaten Pelalawan, khususnya Suku Laut di
Kecamatan Teluk Meranti yang biasa menggunakan Ambong sebagai alat untuk mengumpulkan
dan membawa Niau (Kelapa). Pada garapan tari ini digambarkan bahwa ambong sebagai properti
tari dapat dimainkan juga sesuai dengan kebiasaan masyarakat memperlakukan ambong itu.
Ambong dipikul, ambong dijunjung, ambong dihentak, ambong digoyang, ambong digegar,
ambong ditungkup.

Gambar 9.1 : Tari Suku Melaut Teluk Meranti


10. Tari Manggar
Tari Manggar menceritakan mengenai Sejarah Kota Pekanbaru, yaitu ditemukannya sebuah Kota
yang bernama Sena yang kini dikenal dengan nama Senapelan.

Gambar 10.1 : Tari Manggar

G. Sistem Kemasyarakatan
Jika pada mulanya suatu kampung di Riau didiami oleh mereka yang sesuku, maka pada
perkembangn kemudian telah banyak penduduk baru yang bukan sesuku merupakan penduduk
pendatang yang ikut berdiam di kampung tersebut. Datangnya penduduk baru mungkin
disebabkan perkawinan dan ada pula disebabkan adanya mata pencaharian ditempat tersebut.
Dengan demikian, masyarakat kampung tadi tidak terikat oleh karena kesatuan suku, tetapi
dengan perkembangan baru itu, ikatan tersebut tidak lagi bersifat kesukuan, tetapi terikat karena
kesatuan tempat tinggal dan kampung halaman.
                 Kampung-kampung tersebut dipimpin oleh seorang kepala kampung yang disebut
“Penghulu” dan sekarang merupakan pamong desa yang dipilih berdasar peraturan pemerintah.
Disamping penghulu ini terdapat pula pimpinan bidang agama, yaitu “imam”. Imam inilah yang
mengurus segala persoalan yang menyangkut keagamaan, seperti menjadi imam mesjid,
pengajian dan pelajaran agama, nikah/cerai/rujuk, pembagian warisan, pengumpulan zakat dan
lainnya. Dengan demikian penghulu dengan didampingi oleh imam merupakan pimpinan
kampung.
a.      Pimpinan dalam kesatuan hidup setempat
                 Terdapat bermacam-macam sebutan untuk pimpinan dalam kesatuan hidup setempat.
Pada mulanya struktur kesatuan hidup setempat berdasarkan kesukuan, maka pemimpin adalah
kepala suku atau kepala hinduk. Gelar kepala suku atau kepala hinduk ini bermacam-macam,
sebagai berikut:
1. Datuk = disamping menjadi kepala suku, sekaligus menjadi pimpinan territorial yang
agak luas yang mencakup dan membawahi beberapa kepala suku dan hinduk-hinduk.
2. Penghulu, batin, tua-tua, jenang dan monti adalah gelar untuk kepala suku dan hinduk-
hinduk.
                 Perkembangan kemudian menyebabkan pula perobahan batas-batas territorial, kalau
pada mulanya territorial mengikuti suku, yaitu dimana suku tersebut menetap, maka lingkungan
tempat tinggalnya itu menjadi daerah kekuasaannya. Tetapi keadaan ini kemudian berbalik, yaitu
suku  yang mengikuti territorial. Teritoir ini kemudian disebut “kampung”, “rantau” atau
“banjar”. Mereka yang tinggal dalam lingkungan teritoir tadi mejadi penduduk kampung dan
dengan sendirinya kampung ini mencakup beberapa kesukuan. Untuk kampung, rantau atau
banjar ini diangkat seorang kepala kampung yang disebut “penghulu”.
b.      Hubungan sosial dalam kesatuan hidup setempat
                 Dikampung-kampung penduduk saling mengenal satu sama lain, karena masyarakat
kampung memiliki rasa keterikatan antara satu sama lainnya masih kuat.
                 Kerukunan merupakan cirri khas dari masyarakat kampung-kampung tersebut.
Adanya kerukunan ini bukan disebabkan karena paksaan dari luar berupa sangsi-sangsi hukuman
yang keras, tetapi memang timbul dari hati nurani yang dipengaruhi oleh norma-norma yang
hidup dimasyarakat  itu.
                 Mulai dari gerak-gerik, sikap dan pembawaan dipengaruhi oleh faktor ini.
Menghindarkan hal-hal yang dapat menimbulkan aib dan malu merupakan fakor pendorong
untuk terus berbuat dan bersikap baik terhadao sesamanya dan perasaan yang demikian lebih
kuat dibandingkan dengan perasaan berdosa. Segala tindakan harus dijaga supaya tidak
menimbulkan “sumbang mata”, “sumbang telinga”, “sumbang adab”. Secara keseluruhan
haruslah dihindari hal-hal yang menyebabkan orang di cap sebagai seorang yang “tidak tau adat’.
                 Dengan demikian jelaslah, norma-norma yang bersifat lebih besar pengaruhnya,
sehingga jarang dijumpai adanya pertikaian dan sengketa. Dalam hal ini pengaruh kepemimpinan
penghulu dan imam merupakan saham yang  besar, sehingga pertikaian-pertikaian yang timbul
segera dapat didamaikan.
c.       Stratifikasi Sosial
                 Dasar-dasar stratifikasi sosial
                 Adapun masyarakat di saerah ini pada dasarnya terdiri dari dua golongan, yaitu
golongan asli dan golongan penguasa. Sebelum adanya kerajaan Siak Sri Inderapura, kepala-
kepala suku yang menguasai hutan tanah, “territorial” bernaung dibawah kerajaan Johor.
                 Setelah Raja Kecil yang dapat meduduki takhta Kerajaan Johor, terpaksa
meninggalkan Johor dan terkhir membuka kerajaan baru di sungai Siak, maka kerajaannya
dinamakan “Kerajaan Siak Sri Inderapura”. Dengan keadaan yang baru ini, terjadilah pembagian
golongan dalam masyarakat. Jika pada mulanya yang ada hanya kepala suku sebagai puncak dan
anggota sukunya sebagai dasarnya, maka dengan adanya Sultan beserta keturunannya, terjadilah
tingkatan sosial baru sebagai berikut:
1. Raja/Ratu dan Permaisuri yang merupakan tingkat teratas.
2. Keturunan Raja yang disebut anak Raja-raja, merupakan lapisan kedua,
3. Orang baik-baik yang terdiri dari Datuk Empat Suku dan Kepala-kepala suku lainnya
beserta keturunannya merupakan lapisan ketiga,
4. Orang kebanyakan atau rakyat umum, merupakan tingkatan terbawah.
                    Adanya tingkatan sosial tersebut membawa konsekuensi pula dibidang adat istiadat
dan tata cara pergaulan masyarakat. Makin tinggi golongannya semakin banyak hak-haknya.
Keistimewaan dalam tata pakaian, tempat duduk dalam upaca-upacara menunjukan adanya
perbedaan itu.
                 Perubahan dalam stratifikasi sosial
                 Perubahan ketata negaraan membawa perubahan pula dalam stratifikasi sosial ini. Saat
ini ketentuan-ketentuan adat ini sudah tidak mengikat lagi dan pada umumnya sudah disesuaikan
dengan alam demokrasi sekarang, sehingga perbedaan golongan tingkat ini sudah tidak kelihatan
lagi dalam pergaulan. Pada waktu ini lebih diutamakan kepribadian, kedudukan dan keadaan
materiel seseorang menurut ukuran sekarang.
                 Dalam upacara perkawinan misalnya, maka yang mempunyai kemampuan materiel,
bisa memakai pakaian dan perlengkapan yang seharusnya dieruntukan bagi seorang Raja atau
Sultan. Dalam upacar adat yang diadakan sekrang, yang dianggap tinggi adalah pejabat-pejabat
pemerintah sesuai menurut kedudukannya sekarang, tidak lagi Datuk-datuk atau Tengku-tengku.
Upacara adat sekarang sudah beralih fungsinya. Adanya pucara adat ini hanya sekedar
menunjukkan identitas suuku bangsanya dengan kejayaannya dengan masa lampau.
 

Anda mungkin juga menyukai