KARDIOTOKOGRAFI (KTG)
Biran Affandi, JudiEndjun Ultrasound
2013
(Diajukan pada TOT USG dan Kardiotokografi Kolegium Obstetri dan Ginekologi Indonesia
Jakarta, 25 – 27 Februari 2013)
Latar Belakang
Kardiotokografi (KTG) adalah seperangkat alat elektronik yang dapat
dipergunakan dalam memantau kesejahteraan janin melaluai penilaian denyut
jantung janin (DJJ), kontraksi uterus, dan gerak janin dalam waktu bersamaan.
Kesejahteraan janin menggambarkan kecukupan oksigenasi dan pertumbuhan
janin yang baik, kesehatan ibu, dan volume cairan amnion yang cukup.
Pemantauan kesejahteraan janin (PKJ) merupakan hal penting dalam
pengawasan janin saat asuhan antenatal dan pada saat persalinan. Persiapan
pra konsepsi yang baik akan memengaruhi kesejahteraan janin. Pada Gambar 1
dapat dilihat jadwal dan hal apa saja yang harus dilakukan pada saat asuhan
antenatal dan pasca persalinan.
Dukungan teknologi sangat berperan dalam kemajuan pemantauan janin,
hal ini tampak nyata setelah era tahun 1960an. Sayangnya, data epidemiologis
menunjukkan hanya sekitar 10% kasus serebral palsi yang disebabkan oleh
gangguan intrapartum dapat dideteksi dengan pemantauan elektronik tersebut,
hal ini disebabkan oleh penggunaan alat pemantau kesejahteraan janin yang
kurang tepat (salah dalam interpretasi hasil).
Gambar 1. Persiapan pra konsepsi, asuhan antenatal hingga masa neonatus
(Sumber : www.screening.nhs.uk/an)
2
Dalam proses interpretasi KTG diperlukan pemahaman yang baik tentang
peralatan KTG, patofisiologi yang berkaitan dengan sirkulasi uteroplasenta,
pembuatan laporan KTG dan aspek etika dan medikolegal yang berkaitan
dengan pemantauan kesejahteraan janin (PKJ). Diperlukan pelatihan yang
terstandarisasi dan berbasis kompetensi agar setiap PPDS OBGIN dan SpOG
dapat kompeten dalam melakukan pemeriksaan KTG.
Pada Pasal 7b KODEKI seorang dokter harus bersikap jujur dalam
berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan
sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau
kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam
menangani pasien. Hal ini berarti, kita wajib untuk saling mengingatkan dan
meningkatkan kompetensi PPDS OBGIN dan SpOG melalui suatu Program
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (P2KB) yang terstandarisasi dan teratur
pelaksanaannya. Interpretasi hasil pemeriksaan KTG harus dilakukan secara
sistematis dan memerhatikan segala faktor yang berkaitan dengan DJJ,
kontraksi uterus, dan gerak janin.
Peralatan elektronik canggih tetap saja merupakan alat bantu bagi seorang
dokter. Pada Pasal 10 KODEKI, setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan
mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien.
Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan,
maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut. Artinya bila pada pemeriksaan
KTG ditemukan hasil interpretasinya berupa Katagori 3, dan sarana kesehatan
yang ada tidak mampu menanganinya, maka dokter wajib merujuk pasiennya ke
sarana pelayanan kesehatan yang lebih baik.
Kolegium OBGIN Indonesia merencanakan Pelatihan Kardiotokografi bagi
PPDS OBGIN (Lihat Modul 8.2) sebagai tanggung jawab institusi dalam
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dokter di Indonesia (PPDS OBGIN
dan SpOG). Pada Modul 8.2 Pelatihan Kompetensi bagi PPDS OBGIN dibatasi
pada USG Dasar dan Kardiotokografi. Tujuan dari standarisasi Pelatihan
Kardiotokografi adalah untuk membuat standar interpreatsi hasil kardiotokografi.
3
Bila standarisasi ini sudah dicapai, diharapkan dapat menurunkan kesalahan
interpretasi baik positif palsu (overdiagnosis) maupun negatif palsu
(underdiagnosis) serta evaluasi berkala sebagai bagian dari upaya
berkesinambungan peningkatan kualitas pelatihan KTG di Indonesia.
Pada Pasal 17 setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan, termasuk peralatan USG
dan KTG. Semoga pelatihan KTG ini bermanfaat bagi peningkatan kualitas
dokter Indonesia dalam melayani masyarakat, melakukan pendidikan, dan
peningkatan penelitian dalam bidang PKJ di Indonesia.
NICHD (National Institute of Child Health and Human Development) pada
tahun 2008 melakukan workshop dan kajian terhadap pemakaian KTG dalam
PKJ dan mendapatkan bahwa klasifikasi interpretasi KTG berupa reassuring dan
non reassuring sudah tidak adkuat dan tidak tepat dalam menggambarkan
implikasi fisiologi pola-pola DJJ. NICHD merekomendasikan pemakaian
Klasifikasi tiga katagori (Katagori 1, 2, dan 3) yang lebih baik dalam interpretasi
KTG. Berdasarkan kajian NICHD tersebut, Kolegium OBGIN Indonesia dan
Pokja USG PB POGI menganjurkan pemakaian klasifikasi yang baru tersebut
Tujuan Umum
Setelah mempelajari dan memahami materi ajar tentang kardiotokografi (KTG)
peserta didik diharapkan mampu melakukan pemeriksaan KTG dengan baik dan
benar.
Tujuan Khusus
Setelah mempelajari dan memahami materi ajar tentang KTG, peserta didik
diharapkan :
1. Mampu memahami konsep dasar pemantauan kesejahteraan janin (PKJ).
2. Mampu mengetahui indikasi pemeriksaan KTG
3. Mampu mempersiapkan pemeriksaan KTG dengan baik
4. Mampu memahami dasar fisiologi kesejahteraan janin dan faktor yang
memengaruhinya
5. Mampu memahami batasan (definisi) yang dipergunakan dalam KTG.
4
6. Mampu melakukan pemeriksaan, interpretasi hasil dan membuat laporan
KTG dengan baik
7. Mampu melakukan tatalaksana pasien berdasarkan hasil pemeriksaan
KTG pada masa kehamilan dan persalinan
8. Mampu memahami masalah etika dan medikolegal yang berkaitan
dengan pemeriksaan KTG
5
Gambar 2. Konsep dasar PKJ, keadaan janin dipengaruhi oleh faktor eksternal
dan internal.
6
Persiapan Pasien
Persiapan pasien mencakup identitas, nomor rekam medis, indikasi
pemeriksaan, diagnosis ibu dan janin, penjelasan prosedur dan hasil
pemeriksaan KTG. Selain itu, pasien juga harus mengosongkan vesika urinaria
dan tidak dalam keadaan lapar atau haus.
Persiapan Peralatan
Peralatan KTG terdiri dari mesin KTG, peralatan tokometer, peralatan
kardiometer, kertas KTG, jeli, kertas tissue, formulir laporan, dan troley tempat
peralatan KTG. Peralatan KTG perlu dikalibrasi, minimal setahun sekali karena
akurasi interpretasi hasil KTG sangat dipengaruhi oleh kualitas tampilan rekaman
KTG tersebut. Koneksitas data antara pasien, alat KTG dan kertas KTG harus
terjaga dengan baik. Kerusakan pada salah satu komponen akan membuat
sebagian atau bahkan seluruh data KTG hilang. Uji ulang apakah bel yang ada
berfungsi dengan baik. Bel tersebut dipergunakan oleh pasien untuk menghitung
berapa gerakan yang dirasakan selama proses pemeriksaan KTG tersebut. Bila
memungkinkan, institusi pelayanan kesehatan menyediakan bel vibroakustik
untuk merangsang aktivitas janin.
Persiapan Pemeriksa
Pemeriksa perlu melakukan pemeriksaan ulang identitas pasien, indikasi
pemeriksaan, kesiapan peralatan, dan formulir laporan KTG. Pemeriksa
menjelaskan prosedur pemeriksaan, mengukur tekanan darah pasien sebelum
pemeriksaan dan 15 menit kemudian, menilai kontraksi atau his secara berkala,
menanyakan kepada pasien apakah ada hal yang membuatnya tidak nyaman,
menanyakan gerak janin kepada pasien serta mencocokannya dengan gerakan
yang dicatat oleh peralatan KTG. Pasien menghitung gerakan janin demngan
memakai bel yang disediakan (setiap janin bergerak, maka bel harus ditekan).
7
Mampu memahami dasar fisiologi kesejahteraan janin dan faktor
yang memengaruhinya
Pada keadaan tanpa kontraksi uterus, tekanan darah rata-rata (MAP) arteri
uterina adalah 85 mmHg, tekanan dalam miometrium sebesar 10 mmHg, dan
tekanan dalam cairan amnion juga sebesar 10 mmHg. Kondisi tersebut
memungkinkan terjadinya sirkulasi normal pada rongga intervillus.
Pada saat terjadi kontraksi uterus, tekanan A. Uterina meningkat menjadi 90
mmHg, tekanan dalam miometrium menjadi 120 mmHg dan tekanan dalam
cairan amnion menjadi 60 mmHg. Keadaan tersebut menyebabkan terjadinya
oklusi aliran darah intramiometrium.
Pada posisi ibu berbaring telentang, maka uterus yang besar tersebut akan
menekan Aorta desendens dan vena kava inferior (VKI) sehingga terjadi oklusi
aliran darah (terutama VKI). Bila kondisi janin dan ibu baik, maka proses oklusi
tersebut tidak menimbulkan dampak negatif pada janin.
8
Gambar 4. Sirkulasi utero-plasenta saat kontraksi uterus
(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)
9
Aliran darah ke uterus dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut, yaitu posisi ibu,
aktivitas fisik (olahraga atau exercise), kontraksi uterus, area permukaan
plasenta, anestesia, hipertensi, dan jarak difusi (Freeman RK dkk, 2012).
Gangguan pada faktor-faktor tersebut akan menurunkan aliran darah ke uterus.
10
3. Baroreseptor
Reseptor ini letaknya pada arkus aorta dan sinus karotid. Bila tekanan darah
meningkat, baroreseptor akan merangsang nervus vagus dan nervus
glosofaringeus pada batang otak. Akibatnya akan terjadi penekanan aktivitas
jantung berupa penurunan frekuensi DJJ dan curah jantung.
4. Kemoreseptor
Kemoreseptor terdiri dari dua bagian, yaitu bagian perifer yang terletak di
daerah karotid dan korpus aortik; dan bagian sentral yang terletak di batang
otak. Reseptor ini berfungsi mengatur perubahan kadar oksigen dan
karbondioksida dalam darah dan cairan serebro-spinal. Bila kadar oksigen
menurun dan karbondioksida meningkat, akan terjadi refleks dari reseptor
sentral berupa takikardia dan peningkatan tekanan darah. Hal ini akan
memperlancar aliran darah, meningkatkan kadar oksigen, dan menurunkan
kadar karbondioksida. Keadaan hipoksia atau hiperkapnia akan
mempengaruhi reseptor perifer dan menimbulkan refleks bradikardia.
Interaksi kedua macam reseptor tersebut akan menyebabkan bradikardi dan
hipotensi.
11
5. Susunan Saraf Pusat
Aktivitas otak meningkat sesuai dengan bertambahnya variabilitas DJJ dan
gerakan janin. Pada keadaan janin tidur, aktivitas otak menurun, dan
variabilitas DJJ-pun akan berkurang.
Gambar 7. Faktor yang mempengaruhi DJJ (Sumber : Lauren Ferrara, Frank Manning,
2005 http://contemporaryobgyn.mediwire.com/main/Default.aspx? P=Content&ArticleID=145655)
12
Gambar 8. Hubungan gerak janin dengan akselerasi DJJ ( Sumber : Lauren Ferrara,
Frank Manning, 2005, http://contemporaryobgyn.mediwire.com/main/ Default.aspx?
P=Content&ArticleID=145655)
Kontraksi Uterus
Kontraksi uterus adalah jumlah kontraksi dalam 10 menit, rata-rata dipantau
dalam 30 menit. Pada saat yang sama juga dilakukan penilaian terhadap lama
kontraksi, intensitas (amplitudo), bentuk, dan relaksasi diantara dua kontraksi.
Beberapa batasan berikut ini berkaitan dengan kontraksi uterus (Freeman dkk,
2012), yaitu :
13
3. Catatan : istilah hiperstimulasi dan hiperkontraktilitas sudah tidak
dipergunakan lagi. Takhisistol harus selalu dikualifikasikan terhadap
adanya atau tidak adanya hubungan dengan deselerasi DJJ. Istilah
takhisitol dipergunakan pada persalinan spontan atau dengan induksi.
Respons klinis terhadap takhisistol dapat berbeda tergantung apakah
kontraksi tersebut timbul spontan atau akibat induksi persalinan.
Frekuensi dasar
Freeman dkk (2012) memberi batasan frekuensi dasar normal DJJ adalah 110 –
160 dpm teratur. Definisi frekuensi dasar DJJ menurut NICHD adalah nilai rata-
rata DJJ yang dipantau selama 10 menit, dengan peningkatan 5 dpm. Bila
perubahan tersebut < 5 menit, keadaan ini disebut perubahan periodik atau
berkala (periodic changes).
Bradikardia
Freeman dkk (2012) memberi batasan bradikardia adalah frekuensi dasar DJJ <
110 dpm. Secara umum, bradikardia dengan frekuensi antara 80 – 110 dpm
yang disertai variabilitas moderat (5 – 25 dpm) menunjukkan oksigenasi yang
baik tanpa asidemia. Penurunan DJJ tersering sebagai respons akibat
peningkatan tonus vagal.
14
Takhikardia
Freeman dkk (2012) memberi batasan takhikardia adalah frekuensi dasar DJJ >
160 dpm. Takhikardi menggambarkan peningkatan rangsang simpatis dan atau
penurunan rangsang parasimpatis, dan secara umum berkaitan dengan
hilangnya variabilitas. Kebanyakan takhikardia janin tidak berhubungan dengan
adanya hipoksia janin, Terutama pada kehamilan aterm. Lakukan pengamatan
dengan ketat bila takhikardi terjadi pada janin preterm atau pada janin aterm
tanpa diketahu apa faktor penyebabnya. Faktor-faktor yang berkaitan atau
menjadi etiologi takhikardia adalah (Freeman dkk, 2012):
1. Hipoksia janin
2. Demam pada ibu
3. Obat-obatan parasimpatolitik
4. Atropin
5. Hydroxyzine hydrochloride (Atarax atau Vistaril)
6. Phenothiazines
7. Hiperthiroid pada ibu
8. Anemia janin
9. Sepsis Janin
10. Gagal jantung janin
11. Khorioamnionitis
12. Takhiaritmia jantung janin
13. Obat-obatan simpatomimetik beta
15
Variabilitas
Interval DJJ pada janin yang sehat menunjukkan gambaran yang tidak uniform
(nonuniformity), dikenal sebagai variabilitas beat to beat. Variabilitas tersebut
menggambarkan fungsi simpatis dan parasimpatis dan disebut sebagai
variabilitas jangka pendek (short term variability atau STV). STV tidak dapat
dilihat oleh mata, tetapi dinilai oleh sistem komputer dalam peralatan KTG
tersebut. Komputer menilai dalam interval rata-rata setiap 20 – 30 milidetik atau
2 – 3 dpm bila dikonversi ke dalam frekuensi DJJ. Bila variabilitas berkurang,
maka nilai rata-rata interval beat to beat menjadi ≤ 1 dpm.
Variabilitas yang kita lihat pada kertas KTG adalah variabilitas jangka
panjang (long term variability atau LTV). Fluktuasi LTV DJJ memiliki siklus 3 – 5
per menit dengan amplitudo 5 – 20 dpm. LTV berkurang bila variabilitasnya < 5
dpm. Druzen dkk (1979) menyatakan bahwa sistem parasimpatis lebih berperan
dalam pengaturan STV sedangkan sistem parasimpatis lebih berperan pada
pengaturan LTV.
16
Akselerasi
Akselerasi adalah peningkatan DJJ ≥ 15 dpm dari frekuensi dasar DJJ. Adanya
akselerasi DJJ dapat dipakai sebagai petanda bahwa janin tidak sedang dalam
kondisi depresi atau asidosis (Freeman dkk, 2012).
Perubahan Periodik
Perubahan periodik adalah akselerasi atau deselrasi DJJ yang bersifat transien
yang kembali ke frekuensi dasar semula atau frekuensi dasarnya menjadi
berubah. Pada umumnya, perubahan periodik ini terjadi sebagai respon terhadap
kontraksi uterus atau gerakan janin. Takhikardia, bradikardia, dan variabilitas
memengaruhi perubahan frekuensi dasar DJJ (Freeman dkk, 2012).
Deselerasi
Deselerasi adalah penurunan DJJ ≥ 15 dpm dari frekuensi dasar DJJ. Deselerasi
dapat disebabkan oleh kompresi kepala, kompresi umbilikus, atau insufisiensi
uteroplasenta. Dikena lada empat jenis deselerasi yaitu deselerasi dini, lambat,
variabel dan lama (prolonged decelerations).
Deselerasi dini
Penekanan pada kepala janin dapat menyebabkan penurunan frekuensi DJJ, hal
ini disebabkan oleh perubahan lokal aliran darah serebral akibat stimulasi pusat
vagal. Deselerasi dini tidak berkaitan dengan hipoksia atau asidosis (Freeman
dkk, 2012). Secara singkat, mekanisme terjadinya deselerasi dini dapat dilihat
pada Gambar 12.
17
Gambar 12. Mekanisme deselerasi dini (kompresi kepala)
(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)
Deselerasi Variabel
Deselerasi variabel seringkali menunjukkan adanya obstrusi sirkulasi umbilikus.
Pada kala dua dapat terlihat gambaran deselerasi variabel sebagai akibat
kompresi kepala. Deselerasi variabel juga dapat disebabkan oleh regangan
umbilikus, suhu dingin, dan peningkatan tekanan pO2 pada saat bayi mulai
bernafas (Freeman dkk, 2012). Secara ringkas mekanisme terjadinya deselerasi
variabel dapat dilihat pada gambar 13,
18
Gambar 13. Mekanisme deselarsi variabel
(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)
Deselerasi Lambat
Deselerasi lambat adalah penurunan frekuensi DJJ ≥ 15 dpm, deselarasi terjadi
setelah tercapainya puncak kontraksi uterus. Deselerasi lambat terjadi akibat
19
terganggunya sirkulasi uteroplasenta di daerah rongga intervilus. Secara ringkas
mekanisme terjadinya deselarsi lambat dapat dilihat pada Gambar 15.
20
Disfungsi SSP :
Martin dkk (1979) menyatakan bila terjadi progresifitas hipoksia janin maka akan
timbul deselarsi lama sebagai tanda awal, tetapi bila keadaan tersebut tidak
diperbaiki, maka akan terjadi disfungsi SSP yang ditandai dengan hilangnya
variabilitas DJJ. Hilangnya variabilitas DJJ menunjukkan janin telah mengalami
asidemia yang parah (berat).
Gambaran disfungsi SSP dapat dilihat dalam pola DJJ sebagai berikut :
1. Datar (flat)
2. Tumpul (blunted)
3. Frekuensi dasar tidak stabil (unstable baseline)
4. Overshoot
5. Pola sinusoidal (Sinusoidal patterns)
6. ”Check mark” patterns
Berikut ini disampaikan beberapa contoh hasil rekaman KTG yang menunjukkan
adanya disfungsi SSP.
Gambar 16. Pola DJJ datar (flat) tanpa perubahan periodik. Keadaan ini dapat
disebabkan oleh adanya abnormalitas SSP, obat-obatan, atau janin yang
mengalami disfungsi SSP dan hipoksia.
(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)
21
Gambar 17. Pola DJJ tumpul, janin meninggal saat dalam pemantauan.
Plasenta menunjukkan gambaran khorioamnionitis akut dan funisitis yang
menunjukkan kausa kematian adalah reaksi inflamasi.
(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)
22
Gambar 19. Pada gambar bagian atas tampak Pola DJJ overshoot setelah
deselerasi variabel. Perhatikan kembalinya DJJ ke frekuensi dasar sangat
lambat dan adanya pola DJJ yang datar. Pada gambar bagian bawah diperoleh
dari janin anensefalus. Tampak pola DJJ datar, deselerasi variabel tumpul, dan
overshoot. Janin meninggal saat persalinan.
(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)
23
Gambar 21. Pola DJJ ”check mark”.
(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)
24
Cara canggih. Pemantauan kesejahteraan janin memakai alat canggih
terdiri dari ultrasonografi (USG), kardiotokografi (KTG), profil biofisik (Manning)
atau fungsi dinamik janin plasenta (FDJP) Gulardi, analisa gas darah dan
pemeriksaan penunjang canggih lainnya. Pembahasan berikut dibatasi pada
KTG.
Kardiotokografi (KTG) merupakan alat bantu dalam pemantauan
kesejahteraan janin. Pada KTG ada tiga parameter dipantau dalam waktu
bersamaan yaitu denyut jantung janin (DJJ), kontraksi rahim, dan gerak janin.
Peralatan KTG tersebut harus dipelihara dengan baik, jangan sampai kabelnya
rusak akibat sering dilepas dan dipasang atau kesalahan dalam perawatan
peralatan tokometer dan kardiometer. Diperlukan seorang penanggung jawab
untuk perawatan dan pengoperasionalan KTG tersebut, juga pelatihan didalam
menginterpretasikan hasil KTG tersebut. Pada saat pemeriksaan KTG, posisi
pasien tidak boleh tidur terlentang, tetapi harus setengah duduk atau tidur miring
(Gambar 22).
25
3. Punktum maksimum denyut jantung janin (DJJ) dan tinggi fundus uteri
diketahui.
4. Peralatan dalam keadaan baik dan siap pakai.
5. Prosedur pemasangan alat dan pengisian data pada komputer (pada KTG
terkomputerisasi) sesuai buku petunjuk dari pabrik.
Katagori I
Katagori satu adalah kondisi normal dari pemantauan DJJ dan menggambarkan
status asam basa janin saat pemantauan dalam keadaan normal. Katagori I
dapat dipantau pada pemeriksaan rutin asuhan antenatal dan tidak memerlukan
tatalaksana khusus.
Katagori II
Katagori II tidak memprediksi adanya abnormalitas status asam basa janin, saat
ini belum ditemukan bukti yang adekuat untuk mengkasifikasikan katagori ini
menjadi Katagori I atau Katagori III. Katagori II memerlukan evaluasi dan
pemantauan lanjut serta reevaluasi dan mencari factor-faktor yang berkaitan
dengan keadaan klinis. Pada beberapa keadaan diperlukan uji diagnostic untuk
memastikan status kesejahteraan janin atau melakukan resusitasi intrauterine
pada hasil Katagori II ini.
Katagori III
Katagori III berkaitan dengan abnormalitas status asam basa pada saat
pemantauan janin tersebut dilakukan. Katagori III memerlukan evaluasi yang
26
baik (akurat). Pada kondisi ini, tindakan yang dilakukan tidak terbatas hanya
untuk memberikan oksigenasi bagi ibu, merubah posisi ibu, menghentikan
stimulasi persalinan, atasi hipotensi maternal, dan penatalaksanaan takhisistol,
tetapi juga dilihat situasi klinis yang terjadi pada waktu itu. Bila Katagori III tidak
dapat diatasi, pertimbangkan untuk mengakhiri kehamilan (persalinan).
Perubahan Periodik
27
KATAGORI III : Pola DJJ abnormal
Tidak ada variabilitas DJJ (absent FHR variability) disertai oleh :
28
LAPORAN KARDIOTOKOGRAFI (KTG)
Data Pasien
Frekuensi dasar :………… dpm, variabilitas : tidak ada / minimal (1-5 dpm) /
moderat (5-25 dpm) / meningkat (>25 dpm), akselerasi : ada / tidak ada,
deselerasi : tidak ada / ada, yaitu jenisnya : dini / lambat / variabel / lama
(prolonged), beratnya : ringan / sedang / berat. Pola disfungsi SSP : tidak ada /
ada, yaitu : datar (flat) / tumpul (blunted) / frekuensi dasar tidak stabil (unstable
baseline) / pola overshoot / pola sinusoidal / pola checkmark.
Kontraksi tidak ada / ada / ada his ; Frekuensi : ……/ 10 menit ; kekuatan :
…..……mmHg ; lamanya : ……… menit ; relaksasi : ……………… ;
konfigurasi : ……………………………………… ; tonus dasar : ………….mmHg
SARAN : ……………………………………………………………………………...
29
PENUNTUN PENGISIAN FORMULIR PEMERIKSAAN KARDIOTOKOGRAFI
D PEMERIKSAAN PASIEN
7 Anamnesis : riwayat penyakit dan kehamilan yang lalu (bila ada), usia gestasi, keadaan kehamilan saat
ini, dan faktor risiko, terutama risiko hipoksia, kompresi tali pusat, insufisiensi uteroplasenter dan anomaly
kongenital (lihat USG klien)
8 Pemeriksaan Fisik : status generalis dan Obstetri. tentukan punktum maksimum DJJ dan tinggi fundus
uteri. Deteksi kecurigaan PJT atau makrosomia.
9 Pasien tidur dengan posisi setengah duduk, atau miring ke kiri, atau duduk.
10 Pemasangan peralatan Kardiotokografi : tokometer di pasang di fundus (TIDAK BOLEH DIBERI JELI) dan
kardiometer (harus diberi jeli) dipasang di tempat punktum maksimum jantung janin.
11 Ukur tekanan darah pada awal pemeriksaan dan 15 menit kemudian
12 Perekaman KTG dimulai, petugas harus meyakini bahwa rekaman berjalan baik.
13 Pengawasan berkala kondisi ibu dan janin oleh petugas kesehatan, temani pasien selama pemeriksaan
KTG
14 Lama perekaman MINIMAL 20 MENIT. Bila variabilitas minimal (1-5 DPM) atau tidak ada (absent), lakukan
perangsangan bayi dengan bel VIBROAKUSTIK (beri tahu ibu sebelum tindakan tersebut dilakukan). Bila
tidak memiliki bel vibroakustik, lakukan perangsangan dengan cara menggerakkan tubuh atau kepala janin.
30
16 Kategori II : Pola DJJ Ekuivokal
Perubahan Periodik
1. Tidak ada akselerasi DJJ setelah janin distimulasi
2. Deselerasi variabel berulang yang disertai variabilitas DJJ minimal atau moderat
3. Deselerasi lama (prolonged deceleration) > 2 menit tetapi < 10 menit
4. Deselerasi lambat berulang disertai variabilitas DJJ moderat (moderate baseline variability)
5. Deselerasi variabel disertai gambaran lainnya, misal kembalinya DJJ ke frekuensi dasar lambat
atau tampak gambaran overshoot
18 Data pasien dan hasil KTG diisikan pada formulir laporan KTG (pelajari panduan pengisian formulir KTG,
Departemen OBGIN RSPAD)
19 PPDS dan atau Bidan melaporkan hasil pemeriksaan KTG kepada DPJP.
20 Lembar laporan KTG dimasukkan kedalam rekam medik pasien dengan rapi. Pengarsipan dilakukan
selama 5 tahun (sebaiknya hasil KTG di fotokopi atau skanning)
I SELESAI
31
Mampu Melakukan Tatalaksana Pasien Berdasarkan Hasil
Pemeriksaan KTG pada Masa Kehamilan dan Persalinan
Dokumentasi
Setiap rekaman KTG harus dibuat dokumentasi, bisa dalam bentuk hasil cetakan
printer atau direkam dalam hard-disc komputer. Sebaiknya kedua hal tersebut
dilakukan bagi setiap pasien. Data dalam penyimpan digital disimpan oleh rumah
sakit, sedangkan hasil cetakan diberikan kepada pasien. RCOG menganjurkan
penyimpanan data KTG hingga 25 tahun.
32
pergunakan segala fasilitas yang ada dan berikan penjelasan yang baik kepada
pasien dan keluarga (informed consent). Jangan sampai pasien berharap terlalu
tinggi akibat ketidaktahuannya dan juga akibat ketidaksiapan kita melayaninya.
Beberapa alternatif pilihan yang dapat dilakukan dalam menindaklanjuti hasil
pemantauan kesejahteraan janin adalah melakukan penanganan yang memadai
ditempat kerja, merujuk pasien ke pusat pelayanan yang lebih tinggi, menambah
fasilitas peralatan kesehatan, meningkatkan kualitas SDM melalui pelatihan
kompetensi, dan memberikan pendidikan kepada masyarakat awam agar
mereka dapat memahami dengan baik kondisi pelayanan kesehatan yang ada.
33
Pada Pasal 12 disebutkan bahwa setiap dokter wajib merahasiakan segala
sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien
itu meninggal dunia. Hasil rekaman KTG juga harus disimpan dengan baik dan
dijaga kerahasiaannya.
Aspek medikolegal dalam pemeriksaan KTG terutama berkaitan dengan
akurasi pemeriksaan KTG, penatalaksanaan berdasarkan hasil KTG, dan
kelengkapan pengisian rekam medis formulir Laporan KTG. Seluruh hasil
pemeriksaan KTG dan laporannya harus disimpan dengan baik, minimal 5 tahun.
Pada Pasal 2 dikatakan bahwa seorang dokter harus memberikan
pelayanan berdasarkan ukuran tertinggi. Yang dimaksud dengan ukuran
tertinggi dalam melakukan protesi kedokteran mutakhir, yaitu yang sesuai
dengan perkembangan IPTEK Kedokteran, etika umum, etika kedokteran,
hukum dan agama, sesuai tingkat/jenjang pelayanan kesehatan, serta kondisi
dan situasi setempat. Artinya setiap PPDS OBGIN dan SpOG wajib untuk
melakukan P2KB dalam bidang OBGIN sebagai bentuk tanggung jawabnya
dalam peningkatan kualitas layanan kesehatan, pendidikan, dan penelitian.
Simpulan
1. Pemantauan kesejahteraan janin harus dimulai sejak kehamilan trimester
pertama.
2. Pergunakan cara pemantauan yang mampu laksana dengan akurasi yang
baik.
3. Pemeriksaan kardiotokografi digabung dengan pemantauan gerak janin,
indeks cairan ketuban dan arus darah memiliki nilai prediksi yang baik dalam
memantau kesejahteraan janin.
4. Interpretasi KTG memerlukan pemahaman yang baik tentang anatomi,
fisiologi, dan patofisiologi yang berkaitan dengan kehamilan dan
kesejahteraan janin serta pemahaman yang baik terhadap peralatan KTG
yang dipergunakan.
5. Tatalaksana pasien berdasarkan hasil pemeriksaan KTG tidak bisa berdiri
sendiri, tetapi memerlukan alat bantu diagnostik lain untuk mencari kausa dari
34
abnormalitas KTG. Keputusan yang terburu-buru dapat memberikan hasil
yang tidak diinginkan.
6. Hasil pemeriksaan kardiotokografi disarankan disimpan selama 25 tahun
untuk memantau perkembangan anak hingga dewasa serta untuk kepentingan
edukasi, penelitian, dan medikolegal..
Kepustakaan
1. Freeman RK, Garite TJ, Nageotte MP, Miller LA. Fetal Heart Rate Monitoring.
4th ED. Lippincott, Williams & Wilkins, 2012.
2. NICHD definitions and classifications : application to electronic fetal
monitoring interpretation. NCC Monograph, Volume 3, No. 1, 2010.
3. Endjun JJ, Santana S, Resistantie N. Standarisasi pemantauan
kesejahteraan janin. Pengalaman RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad/FK UPN
Veteran. PIT POGI, Balikpapan, 2008.
4. Oxford : User guide dan Operating handbook Sonicaid System 8002, 1994.
5. Parer JT. Handbook of fetal heart rate monitoring. Philadelphia:W.B
Saubders, 1993
6. Ferrara L, Manning F. Grand Rounds : Is the non-stress test still useful ?.
Contemporary Obgyn, February 2005. Di unduh dari
http://www.contemporaryobgyn.net pada tanggal 30 Juni 2005.
7. National Institute for Clinical Excellence. The use of electronic fetal
monitoring. UK, 2003. Di unduh dari http://www.nice.org.uk pada bulan Juni
2005.
8. Karsono B. Kardiotokografi. Pemantauan Elektronik Denyut Jantung Janin.
Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo,
Jakarta.
9. RCOG. The use of electronic fetal monitoring : The use and interpretation of
cardiotocography in intrapartum fetal surveillance. Evidence-based Clinical
Guideline Number 8. 2001. Di unduh dari http://www.rcog.org.uk pada bulan
Juni 2005.
10. http://www.fetal.freeserve.co.uk/ctg.html
11. http://www.pulsetoday.co.uk/pictures/466xAny/x/k/c/ANTENATAL_CARE.jpg
12. Fetal movement count. Di unduh dari http://www.fpnotebook.com pada
tanggal 3 September 2006.
13. Fundal height measurement. Copyright 1999, 2004 Gerard M. DiLeo, M.D.,
F.A.C.O.G. Di down-load dari http://www.gyn(OB).com pada tanggal 3
September 2006.
14. Cardiotocography. Di unduh dari http://www.fetal.freeserve.co.od pada
tanggal 3 September 2006.
15. Wahyuni CS. Hubungan faktor ibu dan pelayanan kesehatan dengan
kematian perinatal di Kabupaten Pidie Tahun 2008, Tesis.
35