Anda di halaman 1dari 20

PEMERINTAH KABUPATEN BLORA

DINAS KESEHATAN
UPTD PUSKESMAS TODANAN
Alamat : Rt.02/ Rw.03 Ds. Todanan Kec. Todanan
Kode Pos 58256 Telp. ( 0296 ) 4319531
Email : todananpuskesmas@yahoo.co.id

BAB I
DEFINISI
A. LATAR BELAKANG
Kardiotokografi (KTG) adalah seperangkat alat elektronik yang dapat
dipergunakan dalam memantau kesejahteraan janin melalui penilaian denyut
jantung janin (DJJ). Kontraksi uterus,dan gerak janin dalam waktu
bersamaan. Kesejahteraan janin menggambarkan kecukupan ogsigenasi dan
pertumbuhan janin yang baik, kesehatan ibu, dan volume cairan amnion yang
cukup.
Pemantauan kesejahteraan janin (PKJ) merupakan hal penting dalam
pengawasan janin saat asuhan antenatal dan pada saat persalinan.
Persiapan pra konsepsi yang baik akan memengaruhi kesejahteraan janin.
Pada Gambar 1 dapat dilihat jadwal dan hal apa saja yang harus dilakukan
pada saat asuhan antenatal dan pasca persalinan.
Dukungan teknologi sangat berperan dalam kemajuan pemantauan
janin, hal ini tampak nyata setelah era tahun 1960an. Sayangnya, data
epidemiologis menunjukkan hanya sekitar 10% kasus serebral palsi yang
disebabkan oleh gangguan intrapartum dapat dideteksi dengan pemantauan
elektronik tersebut, hal ini disebabkan oleh penggunaan alat pemantau
kesejahteraan janin yang kurang tepat (salah dalam interpretasi hasil).
Gambar 1. Persiapan pra konsepsi, asuhan antenatal hingga masa neonatus
(Sumber : www.screening.nhs.uk/an)
Angka morbiditas dan mortalitas perinatal merupakan indikator kualitas
pelayanan obstetri disuatu tempat atau negara. Angka kematian perinatal
(AKP)di negara maju 10 per 1000 kelahiran sedangkan di negara
berkembang 50 per 1000 kelahiran, angka tersebut lima kali lebih tinggi
daripada negara maju. (WHO, 2006).
Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-
2003 didapatkan lahir mati sebesar 0,96% dan 1,48% kematian neonatal dini
sehingga diperoleh AKP 24 per 1000 kelahiran. AKP menyumbang sekitar
77% dari kematian neonatal, dimana kematian neonatal menyumbang 58%
dari total kematian bayi (BPS, 2003).
Salah satu penyebab mortalitas perinatal yang menonjol adalah
masalah hipoksia intra uterin. Kardiotokografi (KTG) merupakan peralatan
elektronik yang dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi janin yang
mempunyai risiko mengalami hipoksia dan kematian intrauterin atau
mengalami kerusakan neurologik, sehingga dapat dilakukan tindakan koreksi
segera untuk memperbaiki nasib neonatus tersebut.
Dalam proses interpretasi KTG diperlukan pemahaman yang baik
tentang peralatan KTG, patofisiologi yang berkaitan dengan sirkulasi
uteroplasenta, pembuatan laporan KTG dan aspek etika dan medikolegal
yang berkaitan dengan pemantauan kesejahteraan janin (PKJ). Diperlukan
pelatihan yang terstandarisasi dan berbasis kompetensi agar setiap PPDS
OBGIN dan SpOG dapat kompeten dalam melakukan pemeriksaan KTG.
Pada Pasal 7b KODEKI seorang dokter harus bersikap jujur dalam
berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk
mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam
karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan,
dalam menangani pasien. Hal ini berarti, kita wajib untuk saling mengingatkan
dan meningkatkan kompetensi PPDS OBGIN dan SpOG melalui suatu
Program Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (P2KB) yang terstandarisasi
dan teratur pelaksanaannya. Interpretasi hasil pemeriksaan KTG harus
dilakukan secara sistematis dan memerhatikan segala faktor yang berkaitan
dengan DJJ, kontraksi uterus, dan gerak janin.
Peralatan elektronik canggih tetap saja merupakan alat bantu bagi
seorang dokter. Pada Pasal 10 KODEKI, setiap dokter wajib bersikap tulus
ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya untuk
kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib
merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit
tersebut. Artinya bila pada pemeriksaan KTG ditemukan hasil interpretasinya
berupa Katagori 3, dan sarana kesehatan yang ada tidak mampu
menanganinya, maka dokter wajib merujuk pasiennya ke sarana pelayanan
kesehatan yang lebih baik.
Kolegium OBGIN Indonesia merencanakan Pelatihan Kardiotokografi
bagi PPDS OBGIN (Lihat Modul 8.2) sebagai tanggung jawab institusi dalam
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dokter di Indonesia (PPDS
OBGIN dan SpOG). Pada Modul 8.2 Pelatihan Kompetensi bagi PPDS
OBGIN dibatasi pada USG Dasar dan Kardiotokografi. Tujuan dari
standarisasi Pelatihan Kardiotokografi adalah untuk membuat standar
interpreatsi hasil kardiotokografi. Bila standarisasi ini sudah dicapai,
diharapkan dapat menurunkan kesalahan interpretasi baik positif palsu
(overdiagnosis) maupun negatif palsu (underdiagnosis) serta evaluasi berkala
sebagai bagian dari upaya berkesinambungan peningkatan kualitas pelatihan
KTG di Indonesia.
Pada Pasal 17 setiap dokter harus senantiasa mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan,
termasuk peralatan USG dan KTG. Semoga pelatihan KTG ini bermanfaat
bagi peningkatan kualitas dokter Indonesia dalam melayani masyarakat,
melakukan pendidikan, dan peningkatan penelitian dalam bidang PKJ di
Indonesia.
NICHD (National Institute of Child Health and Human Development)
pada tahun 2008 melakukan workshop dan kajian terhadap pemakaian KTG
dalam PKJ dan mendapatkan bahwa klasifikasi interpretasi KTG berupa
reassuring dan non reassuring sudah tidak adkuat dan tidak tepat dalam
menggambarkan implikasi fisiologi pola-pola DJJ. NICHD merekomendasikan
pemakaian Klasifikasi tiga katagori (Katagori 1, 2, dan 3) yang lebih baik
dalam interpretasi KTG. Berdasarkan kajian NICHD tersebut, Kolegium
OBGIN Indonesia dan Pokja USG PB POGI menganjurkan pemakaian
klasifikasi yang baru tersebut
B. TUJUAN UMUM
Setelah mempelajari dan memahami materi ajar tentang kardiotokografi
(KTG) peserta didik diharapkan mampu melakukan pemeriksaan KTG dengan
baik dan benar.
C. TUJUAN KHUSUS
Setelah mempelajari dan memahami materi ajar tentang KTG, peserta didik
diharapkan :
1. Mampu memahami konsep dasar pemantauan kesejahteraan janin (PKJ).
2. Mampu mengetahui indikasi pemeriksaan KTG
3. Mampu mempersiapkan pemeriksaan KTG dengan baik
4. Mampu memahami dasar fisiologi kesejahteraan janin dan faktor yang
memengaruhinya
5. Mampu memahami batasan (definisi) yang dipergunakan dalam KTG.
6. Mampu melakukan pemeriksaan, interpretasi hasil dan membuat laporan
KTG dengan baik
7. Mampu melakukan tatalaksana pasien berdasarkan hasil pemeriksaan
KTG pada masa kehamilan dan persalinan.
8. Mampu memahami masalah etika dan medikolegal yang berkaitan dengan
pemeriksaan KTG
BAB II
RUANG LINGKUP

A. Konsep Dasar Pemantauan Kesejahteraan Janin


Pemantauan kesejahteraan janin (PKJ) merupakan bagian penting dalam
penatalaksanaan kehamilan dan persalinan. Teknologi yang begitu cepat
berkembang memberikan banyak harapan akan semakin baiknya kualitas
pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, melahirkan dan nifas. Kemajuan ini tidak
mudah untuk diikuti oleh negara yang sedang berkembang seperti Indonesia,
selain mahalnya harga peralatan, juga terbatasnya sumber daya manusia
yang handal dalam pengoperasionalan alat canggih tersebut.

Keadaan janin dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal
adalah keadaan janin, plasenta, cairan ketuban, umbilikus, dan uterus. Faktor
eksternal adalah kesehatan ibu dan lingkungan di luar tubuh ibu, misalnya
udara berpolusi berat atau lingkungan yang infeksious. PKJ memerlukan
kompetensi yang baik dari tenaga kesehatan dan peralatan yang handal
(terpelihara baik sehingga siap pakai setiap saat). Setiap tenaga kesehatan
harus menjaga kompetensinya dengan mengikuti P2KB dan kepustakaan
yang berkaitan dengan PKJ. Konsep dasar PKJ dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Konsep dasar PKJ, keadaan janin dipengaruhi oleh faktor
eksternal dan internal.
B. Indikasi Pemeriksaan KTG
Beberapa keadaan dibawah ini memerlukan pemantauan deng
kardiotokografi (KTG) karena berkaitan dengan meningkatnya morbiditas dan
mortalitas perinatal, misalnya pertumbuhan janin terhambat (PJT), gerakan
janin berkurang, kehamilan post-term (≥ 42 minggu), preeklampsia/hipertensi
kronik, diabetes mellitus prakehamilan, DM yang memerlukan terapi insulin,
ketuban pecah pada kehamilan preterm, dan suspek solusio plasentae.
Identifikasi pasien yang memiliki risiko tinggi insufisiensi uteroplasenta mutlak
dilakukan karena hal ini berkaitan dengan tatalaksana yang harus dilakukan.
Kegagalan dalam mengenal adanya faktor risiko, dapat berakibat fatal.
C. Persiapkan Pemeriksaan KTG
1. Persiapan Pasien
Persiapan pasien mencakup identitas, nomor rekam medis, indikasi
pemeriksaan, diagnosis ibu dan janin, penjelasan prosedur dan hasil
pemeriksaan KTG. Selain itu, pasien juga harus mengosongkan vesika
urinaria dan tidak dalam keadaan lapar atau haus.
2. Persiapan Peralatan
Peralatan KTG terdiri dari mesin KTG, peralatan tokometer, peralatan
kardiometer, kertas KTG, jeli, kertas tissue, formulir laporan, dan troley
tempat peralatan KTG. Peralatan KTG perlu dikalibrasi, minimal setahun
sekali karena akurasi interpretasi hasil KTG sangat dipengaruhi oleh
kualitas tampilan rekaman KTG tersebut. Koneksitas data antara pasien,
alat KTG dan kertas KTG harus terjaga dengan baik. Kerusakan pada
salah satu komponen akan membuat sebagian atau bahkan seluruh data
KTG hilang. Uji ulang apakah bel yang ada berfungsi dengan baik. Bel
tersebut dipergunakan oleh pasien untuk menghitung berapa gerakan
yang dirasakan selama proses pemeriksaan KTG tersebut. Bila
memungkinkan, institusi pelayanan kesehatan menyediakan bel
vibroakustik untuk merangsang aktivitas janin.
3. Persiapan Pemeriksa
Pemeriksa perlu melakukan pemeriksaan ulang identitas pasien,
indikasi pemeriksaan, kesiapan peralatan, dan formulir laporan KTG.
Pemeriksa menjelaskan prosedur pemeriksaan, mengukur tekanan darah
pasien sebelum pemeriksaan dan 15 menit kemudian, menilai kontraksi
atau his secara berkala, menanyakan kepada pasien apakah ada hal yang
membuatnya tidak nyaman, menanyakan gerak janin kepada pasien serta
mencocokannya dengan gerakan yang dicatat oleh peralatan KTG. Pasien
menghitung gerakan janin demngan memakai bel yang disediakan (setiap
janin bergerak, maka bel harus ditekan).
D. Dasar Fisiologi Kesejahteraan Janin Dan Faktor Yang Memengaruhinya
Pada keadaan tanpa kontraksi uterus, tekanan darah rata-rata (MAP)
arteriuterina adalah 85 mmHg, tekanan dalam miometrium sebesar 10 mmHg,
dan tekanan dalam cairan amnion juga sebesar 10 mmHg. Kondisi tersebut
memungkinkan terjadinya sirkulasi normal pada rongga intervillus.
Pada saat terjadi kontraksi uterus, tekanan A. Uterina meningkat
menjadi 90 mmHg, tekanan dalam miometrium menjadi 120 mmHg dan
tekanan dalam cairan amnion menjadi 60 mmHg. Keadaan tersebut
menyebabkan terjadinya oklusi aliran darah intramiometrium.
Pada posisi ibu berbaring telentang, maka uterus yang besar tersebut
akan menekan Aorta desendens dan vena kava inferior (VKI) sehingga terjadi
oklusi aliran darah (terutama VKI). Bila kondisi janin dan ibu baik, maka
proses oklusi tersebut tidak menimbulkan dampak negatif pada janin.

Gambar 3. Sirkulasi utero-plasenta di luar kontraksi uterus


(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)

Gambar 5. Potongan melintang uterus gravidus. Uterus menekan


pembuluh darah besar disamping vertebra sehingga terjadi oklusi
aliran darah (Sumber:Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed,
2012)
Aliran darah ke uterus dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut, yaitu posisi ibu,
aktivitas fisik (olahraga atau exercise), kontraksi uterus, area permukaan plasenta,
anestesia, hipertensi, dan jarak difusi (Freeman RK dkk, 2012). Gangguan pada
faktor-faktor tersebut akan menurunkan aliran darah ke uterus.
1. Mekanisme Pengaturan DJJ
Denyut jantung janin diatur oleh banyak faktor, yaitu sistem saraf simpatis,
sistem saraf para simpatis, baroreseptor, kemoreseptor, susunan saraf pusat
(SSP), sistem pengaturan hormonal, dan Sistem kompleks proprioseptor,
serabut saraf nyeri, baroreseptor, stretchreceptors dan pusat pengaturan
(Lauren Ferrara, Frank Manning, 2005).
a. Sistem Saraf Simpatis
Distribusi saraf simpatis sebagian besar berada di dalam
miokardium. Stimulasi saraf simpatis, misalnya dengan obat beta-
adrenergik, akan meningkatkan frekuensi DJJ, menambah kekuatan
kontraksi jantung, dan meningkatkan volume curah jantung. Dalam
keadaan stress, system saraf simpatis berfungsi mempertahankan
aktivitas pemompaan darah. Inhibisi saraf simpatis, misalnya dengan obat
propranolol, akan menurunkan frekuensi DJJ dan sedikit mengurangi
variabilitas DJJ.
b. Sistem saraf Parasimpatis
Sistem saraf parasimpatis terutama terdiri dari serabut nervus
vagus yang berasal dari batang otak. Sistem saraf ini akan mengatur
nodus SA, nodus VA, dan neuron yang terletak di antara atrium dan
ventrikel jantung. Stimulasi nervus vagus, misalnya dengan asetil kolin
akan menurunkan frekuensi DJJ; sedangkan inhibisi nervus vagus,
misalnya dengan atropin, akan meningkatkan frekuensi DJJ.
c. Baroreseptor
Reseptor ini letaknya pada arkus aorta dan sinus karotid. Bila
tekanan darah meningkat, baroreseptor akan merangsang nervus vagus
dan nervus glosofaringeus pada batang otak. Akibatnya akan terjadi
penekanan aktivitas jantung berupa penurunan frekuensi DJJ dan curah
jantung.
d. Kemoreseptor
Kemoreseptor terdiri dari dua bagian, yaitu bagian perifer yang
terletak di daerah karotid dan korpus aortik; dan bagian sentral yang
terletak di batang otak. Reseptor ini berfungsi mengatur perubahan kadar
oksigen dan karbondioksida dalam darah dan cairan serebro-spinal. Bila
kadar oksigen menurun dan karbondioksida meningkat, akan terjadi
refleks dari reseptor sentral berupa takikardia dan peningkatan tekanan
darah. Hal ini akan memperlancar aliran darah, meningkatkan kadar
oksigen, dan menurunkan kadar karbondioksida. Keadaan hipoksia atau
hiperkapnia akan mempengaruhi reseptor perifer dan menimbulkan refleks
bradikardia. Interaksi kedua macam reseptor tersebut akan menyebabkan
bradikardi dan hipotensi.
e. Susunan Saraf Pusat
Aktivitas otak meningkat sesuai dengan bertambahnya variabilitas
DJJ dan gerakan janin. Pada keadaan janin tidur, aktivitas otak menurun,
dan variabilitas DJJ-pun akan berkurang.
f. Sistem Pengaturan Hormonal
Pada keadaan stres, misalnya hipoksia intrauterin, medula adrenal
akan mengeluarkan epinefrin dan nor-epinefrin. Hal ini akan menyebabkan
takikardia, peningkatan kekuatan kontraksi jantung dan hipertensi.
g. Sistem kompleks proprioseptor, serabut saraf nyeri, baroreseptor,
stretchreceptors dan pusat pengaturan (Lauren Ferrara, Frank Manning,
2005).
Akselerasi DJJ dimulai bila ada sinyal aferen yang berasal dari
salah satu tiga sumber, yaitu (1) proprioseptor dan ujung serabut saraf
pada jaringan sendi; (2) serabut saraf nyeri yang terutama banyak
terdapat di jaringan kulit; dan (3) baroreseptor di aorta askendens dan
arteri karotis, dan stretch receptors di atrium kanan. Sinyal-sinyal tersebut
diteruskan ke cardioregulatory center (CRC) kemudian ke cardiac vagus
dan saraf simpatis, selanjutnya menuju nodus sinoatrial sehingga
timbullah akselerasi DJJ (lihat gambar 7 dan 8).

Gambar 7. Faktor yang mempengaruhi DJJ (Sumber : Lauren Ferrara, Frank


Manning,2005http://contemporaryobgyn.mediwire.com/main/Default.aspx?
P=Content&ArticleID=145655)
Gambar 8. Hubungan gerak janin dengan akselerasi DJJ ( Sumber : Lauren Ferrara,
Frank Manning, 2005, http://contemporaryobgyn.mediwire.com/main/ Default.aspx?
P=Content&ArticleID=145655)
E. Batasan (Definisi) Yang Dipergunakan Dalam KTG.
1. Kontraksi Uterus
Kontraksi uterus adalah jumlah kontraksi dalam 10 menit, rata-rata
dipantau dalam 30 menit. Pada saat yang sama juga dilakukan penilaian
terhadap lama kontraksi, intensitas (amplitudo), bentuk, dan relaksasi
diantara dua kontraksi.Beberapa batasan berikut ini berkaitan dengan
kontraksi uterus (Freeman dkk,2012), yaitu :
a. Kontraksi Uterus Normal : terdapat lima kontraksi atau kurang dalam
10 menit, rata-rata dipantau selama 30 menit pemeriksaan.
b. Takhisistol : terdapat lebih dari 5 kontraksi dalam 10 menit, rata-rata
dipantau selama 30 menit pemeriksaan.
c. Catatan : istilah hiperstimulasi dan hiperkontraktilitas sudah tidak
dipergunakan lagi. Takhisistol harus selalu dikualifikasikan terhadap
adanya atau tidak adanya hubungan dengan deselerasi DJJ. Istilah
takhisitol dipergunakan pada persalinan spontan atau dengan
induksi.Respons klinis terhadap takhisistol dapat berbeda tergantung
apakah kontraksi tersebut timbul spontan atau akibat induksi
persalinan.
2. Frekuensi dasar
Freeman dkk (2012) memberi batasan frekuensi dasar normal DJJ adalah
110 –160 dpm teratur. Definisi frekuensi dasar DJJ menurut NICHD
adalah nilai ratarata DJJ yang dipantau selama 10 menit, dengan
peningkatan 5 dpm. Bila perubahan tersebut < 5 menit, keadaan ini
disebut perubahan periodik atau berkala (periodic changes).
3. Bradikardia
Freeman dkk (2012) memberi batasan bradikardia adalah frekuensi dasar
DJJ <110 dpm. Secara umum, bradikardia dengan frekuensi antara 80 –
110 dpm yang disertai variabilitas moderat (5 – 25 dpm) menunjukkan
oksigenasi yang baik tanpa asidemia. Penurunan DJJ tersering sebagai
respons akibat peningkatan tonus vagal.

Gambar 9. Bradikardia Janin


(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)
4. Takhikardia
Freeman dkk (2012) memberi batasan takhikardia adalah frekuensi dasar
DJJ >160 dpm. Takhikardi menggambarkan peningkatan rangsang
simpatis dan atau penurunan rangsang parasimpatis, dan secara umum
berkaitan dengan hilangnya variabilitas. Kebanyakan takhikardia janin
tidak berhubungan dengan adanya hipoksia janin, Terutama pada
kehamilan aterm. Lakukan pengamatan dengan ketat bila takhikardi terjadi
pada janin preterm atau pada janin aterm tanpa diketahu apa faktor
penyebabnya. Faktor-faktor yang berkaitan atau menjadi etiologi
takhikardia adalah (Freeman dkk, 2012):
a. Hipoksia janin
b. Demam pada ibu
c. Obat-obatan parasimpatolitik
d. Atropin
e. Hydroxyzine hydrochloride (Atarax atau Vistaril)
f. Phenothiazines
g. Hiperthiroid pada ibu
h. Anemia janin
i. Sepsis Janin
j. Gagal jantung janin
k. Khorioamnionitis
l. Takhiaritmia jantung janin
m. Obat-obatan simpatomimetik beta

Gambar 10. Takhikardia Janin


(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)
5. Variabilitas
Interval DJJ pada janin yang sehat menunjukkan gambaran yang tidak
uniform (nonuniformity), dikenal sebagai variabilitas beat to beat.
Variabilitas tersebut menggambarkan fungsi simpatis dan parasimpatis
dan disebut sebagai variabilitas jangka pendek (short term variability atau
STV). STV tidak dapat dilihat oleh mata, tetapi dinilai oleh sistem
komputer dalam peralatan KTG tersebut. Komputer menilai dalam interval
rata-rata setiap 20 – 30 milidetik atau 2 – 3 dpm bila dikonversi ke dalam
frekuensi DJJ. Bila variabilitas berkurang, maka nilai rata-rata interval beat
to beat menjadi ≤ 1 dpm. Variabilitas yang kita lihat pada kertas KTG
adalah variabilitas jangka panjang (long term variability atau LTV).
Fluktuasi LTV DJJ memiliki siklus 3 – 5 per menit dengan amplitudo 5 – 20
dpm. LTV berkurang bila variabilitasnya < 5dpm. Druzen dkk (1979)
menyatakan bahwa sistem parasimpatis lebih berperan dalam pengaturan
STV sedangkan sistem parasimpatis lebih berperan pada pengaturan
LTV.
Gambar 11. Variabilitas jangka panjang (long-term variability)
(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)
6. Akselerasi
Akselerasi adalah peningkatan DJJ ≥ 15 dpm dari frekuensi dasar DJJ.
Adanya akselerasi DJJ dapat dipakai sebagai petanda bahwa janin tidak
sedang dalam kondisi depresi atau asidosis (Freeman dkk, 2012).
7. Perubahan Periodik
Perubahan periodik adalah akselerasi atau deselrasi DJJ yang bersifat
transien yang kembali ke frekuensi dasar semula atau frekuensi dasarnya
menjadi berubah. Pada umumnya, perubahan periodik ini terjadi sebagai
respon terhadap kontraksi uterus atau gerakan janin. Takhikardia,
bradikardia, dan variabilitas memengaruhi perubahan frekuensi dasar DJJ
(Freeman dkk, 2012).
8. Deselerasi
Deselerasi adalah penurunan DJJ ≥ 15 dpm dari frekuensi dasar DJJ.
Deselerasi dapat disebabkan oleh kompresi kepala, kompresi umbilikus,
atau insufisiensi uteroplasenta. Dikena lada empat jenis deselerasi yaitu
deselerasi dini, lambat dan variabel.
a. Deselerasi dini
Penekanan pada kepala janin dapat menyebabkan penurunan
frekuensi DJJ, hal ini disebabkan oleh perubahan lokal aliran darah
serebral akibat stimulasi pusat vagal. Deselerasi dini tidak berkaitan
dengan hipoksia atau asidosis (Freeman dkk, 2012). Secara singkat,
mekanisme terjadinya deselerasi dini dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Mekanisme deselerasi dini (kompresi kepala)


(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)
b. Deselerasi Variabel
Deselerasi variabel seringkali menunjukkan adanya obstrusi sirkulasi
umbilikus. Pada kala dua dapat terlihat gambaran deselerasi variabel
sebagai akibat kompresi kepala. Deselerasi variabel juga dapat
disebabkan oleh regangan umbilikus, suhu dingin, dan peningkatan
tekanan pO2 pada saat bayi mulai bernafas (Freeman dkk, 2012).
Secara ringkas mekanisme terjadinya deselerasi variabel dapat dilihat
pada gambar 13,
Gambar 13. Mekanisme deselarsi variabel
(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)

Gambar 14. KTG dengan deselerasi variabel


(Sumber : http://www.fetal.freeserve.co.uk/ctg.html)
c. Deselerasi Lambat
Deselerasi lambat adalah penurunan frekuensi DJJ ≥ 15 dpm,
deselarasi terjadi setelah tercapainya puncak kontraksi uterus.
Deselerasi lambat terjadi akibat terganggunya sirkulasi uteroplasenta
di daerah rongga intervilus. Secara ringkas mekanisme terjadinya
deselarsi lambat dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Mekanisme deselerasi lambat
(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)

F. Mampu Melakukan Pemeriksaan, Interpretasi Hasil dan Membuat Laporan


KTG Dengan Baik
Banyak cara yang dapat dipakai untuk melakukan pemantauan
kesejahteraan janin, dari cara sederhana hingga yang canggih. Pembahasan
pada makalah ini memang dibuat sederhana agar mudah dipahami oleh
paramedis, dokter umum atau pembaca lainnya.
Cara sederhana. Dengan cara sederhana, pemantauan dilakukan
melalui analisa keluhan ibu (anamnesis), pemantauan gerak harian janin
dengan kartu gerak janin, pengukuran tinggi fundus uteri dalam sentimeter,
pemantauan denyut jantung janin (DJJ) dan analisa penyakit pada ibu.
Adanya keluhan dari klien (pasien) harus dicermati dan dianalisa dengan baik
karena keluhan tersebut mengungkapkan adanya sesuatu yang mungkin
tidak baik bagi kesehatan ibu dan atau janin yang dikandungnya. Sambil
melakukan anamnesis yang teliti, perhatikan juga keadaan fisik dan psikologis
dari ibu tersebut. Anamnesis yang baik, dapat menegakkan diagnosis dengan
baik pula. Misalnya gerak janin yang berkurang atau keluarnya darah per
vaginam merupakan tanda adanya abnormalitas yang harus dicari
penyebabnya.
Cara canggih. Pemantauan kesejahteraan janin memakai alat canggih
terdiri dari ultrasonografi (USG), kardiotokografi (KTG), profil biofisik
(Manning) atau fungsi dinamik janin plasenta (FDJP)
Gulardi, analisa gas darah dan pemeriksaan penunjang canggih
lainnya. Pembahasan berikut dibatasi pada KTG. Kardiotokografi (KTG)
merupakan alat bantu dalam pemantauan kesejahteraan janin. Pada KTG
ada tiga parameter dipantau dalam waktu bersamaan yaitu denyut jantung
janin (DJJ), kontraksi rahim, dan gerak janin. Peralatan KTG tersebut harus
dipelihara dengan baik, jangan sampai kabelnya rusak akibat sering dilepas
dan dipasang atau kesalahan dalam perawatan peralatan tokometer dan
kardiometer. Diperlukan seorang penanggung jawab untuk perawatan dan
pengoperasionalan KTG tersebut, juga pelatihan didalam
menginterpretasikan hasil KTG tersebut. Pada saat pemeriksaan KTG, posisi
pasien tidak boleh tidur terlentang, tetapi harus setengah duduk atau tidur.
BAB III
TATA LAKSANA
Mampu Melakukan Tatalaksana Pasien Berdasarkan Hasil Pemeriksaan KTG
pada Masa Kehamilan dan Persalinan
Penatalaksanaan kehamilan dan persalinan berbasis hasil KTG harus disesuaikan
dengan kondisi klinis pasien dan fasilitas yang ada. Algoritma tatalaksana harus
dibuat berdasarkan status antenatal dan status persalinan. Penentuan usia gestasi,
taksiran berat janin, indeks cairan amnion, derajat maturasi plasenta, Doppler
sirkulasi janin, patologi janin, dan patologi ibu harus menjadi bahan penilaian dalam
menegakkan diagnosis dan pengambilan keputusan klinis.
BAB IV

DOKUMENTASI

Setiap rekaman KTG harus dibuat dokumentasi, bisa dalam bentuk hasil cetakan
printer atau direkam dalam hard-disc komputer. Sebaiknya kedua hal tersebut
dilakukan bagi setiap pasien. Data dalam penyimpan digital disimpan oleh rumah
sakit, sedangkan hasil cetakan diberikan kepada pasien. RCOG menganjurkan
penyimpanan data KTG hingga 25 tahun.

Anda mungkin juga menyukai