OLEH
Dani Adrian
61111058
BATAM
2015
1
KATA PENGANTAR
Penulis
2
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diagnosis prenatal adalah ilmu dan seni untuk mengidentifikasi kelainan
struktur dan fungsi pada perkembangan janin. Sekitar 2-3% bayi baru lahir
mempunyai masalah dengan kelainan kongenital mayor yang ditemukan pada
saat lahir. Kelainan kongenital mayor merupakan salah satu penyebab utama
kematian neonatus, dan kelainan genetik merupakan empat besar kasus rawat
inap di bagian anak.
Banyak kelainan pada janin dapat diidentifikasi saat prenatal dan
kemajuan teknologi dalam bidang kesehatan telah memungkinkan untuk
melakukan pengobatan prenatal, sehingga saat ini diagnosis prenatal merupakan
jembatan penting antara obstetri dan pediatrik. Terapi prenatal saat ini meliputi
optimalisasi lingkungan intrauteri dan kondisi pada saat persalinan, transfusi
darah, pemberian obat-obatan, amnioreduksi, pemasangan shunt dan operasi.
Utuk masa yang akan datang akan memungkinkan untuk melakukan
transplantasi hematopeitic stem cell dan metode transfer gen yang lain
Pengunaan ultrasonografi (USG) pada pemeriksaan obstetrik mempunyai
dampak yang cukup besar. Pemeriksaan USG yang dilakukan dengan cermat
akan dapat memberikan informasi penting tentang anatomi janin, lingkungan
janin, pertumbuhan janin dan kesejahteraan janin. Teknologi USG telah
berkembang dengan pesat dari gambaran dua dimensi dari uterus pada
kehamilan dengan menggunakan metode doppler untuk mengukur sirkulasi ibu
dan janin sampai USG tiga dimensi untuk melihat natomi dari ibu maupun
janin. Cacat bawaan atau kelainan kongenital adalah suatu kelainan srtuktur
anatomi dari suatu organ atau sistim organ yang normal. Angka
kejadiannya sangat bervariasi, tergantung pada beberapa faktor seperti saat
terdiagnosis, pengalaman pemeriksa, definisi, tipe pemeriksaan, suku, ras,
4
ekonomi dan geografis. Angka kejadian cacat bawaan mayor ± 2,04%,
sedangkan yang minor ± 14,7%.
Cacat bawaan ini mempunyai dampak besar pada kesehatan populasi
anak dan muncul sebagai penyebab utama kematian neonatal. Dengan semakin
meningkatnya kualitas pelayanan ante dan intrapartum maka kejadian
kematian perinatal akan semakin menurun pula, namun angka kejadian
cacat bawaan sebagai penyebab kematian perinatal cenderung
meningkat. Karena itu upaya pencegahan kejadian cacat bawaan termasuk
deteksi dini pada masa prenatal perlu dikembangkan. Ultrasonografi pada
akhir-akhir ini telah menjadi metode pencitraan pilihan untuk
menegakkan diagnosis dan membantu dalam pengelolaan cacat bawaan
dibandingkan dengan metode pencitraan lainnya karena selain aman, tidak
invasif, cukup akurat, juga cukup sederhana dibanding metode pencitraan
lainnya. Namun, akurasi pemeriksaannya masih sangat tergantung pada
kemampuan resolusi alat serta pengetahuan dan pengalaman operator.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
pemeriksaan amniosintesis, pemeriksaan villi khorialis, pemeriksaan darah
janin dan pemeriksaan biopsi Janin.
Upaya pencegahan cacat bawaan dapat dibedakan atas pencegahan primer
dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer ditujukan pada upaya
pencegahan terjadinya kehamilan dengan cacat bawaan, kegiatan utamanya
adalah penyaringan atau deteksi dini golongan yang mempunyai risiko untuk
mendapat keturunan dengan cacat bawaan, yang meliputi kegiatan skrining,
konseling prakonsepsi / pranikah dan tindakan supportifnya berupa keluarga
berencana, adopsi atau inseminasi donor.
Pencegahan sekunder ditujukan pada upaya pencegahan kelahiran bayi
dengan cacat bawaan dengan melakukan kegiatan pranatal antara lain: skrining
genetika dalam kehamilan, konseling prenatal, diagnosis prenatal dan tindakan
suportif lainnya berupa terminasi kehamilan, terapi gen maupun terapi janin in
utero.
7
Wanita yang berusia lebih dari 35 tahun perlu ditawarkan untuk menjalani
pemeriksaan diagnosis prenatal karena pada usia 35 tahun insidens trisomi
mulai meningkat dengan cepat. Hal ini berhubungan dengan non-disjunction
pada miosis. Pada usia 35 tahun kemungkinan untuk mendapat bayi lahir hidup
dengan kelainan kromosom adalah 1:192, sehingga ada beberapa ahli yang
menawarkan diagnosis prenatal pada usia 33 tahun namun hal ini belum
menjadi consensus.
8
4. Translokasi
Pada translokasi terjadi perubahan posisi segmen kromosom maupun
urutan gen yang terkandung pada kromosom itu. Syndrome down diteliti
merupakan suatu akibat dari translokasi, dimana lengan panjang
kromosom 1 bergabung dengan lengan panjang kromosom 14 atau 15.
Wanita yang memiliki tingkat resiko untuk memiliki janin dengan
kelainan kromosom, yaitu :
1. Kehamilan tunggal dengan usia ≥ 35 tahun saat pelahiran.
2. Kehamilan kembar dizigotik dengan usia ≥ 31 tahun saat pelahiran.
3. Riwayat kelahiran trisomy autosomal.
4. Riwayat kelahiran 47, XXX atau 47,XXY.
5. Pasien atau pasangan pembawa sifat translokasi kromosom.
6. Pasien atau pasangan pembawa sifat inversi kromosom.
7. Riwayat triploidi.
8. Pasien dengan beberapa kasus keguguran dini berulang.
9. Pasien atau pasangan mempunyai aneuploidy.
10. Defek structural mayor janin pada pemeriksaan USG.
9
mereka masih mungkin menghindari melahirkan anak cacat dengan
jalan Selective abortion.
4. Memungkinkan kita untuk memberikan penanganan yang optimal
sedini mungkin.
10
1. AMNIOSINTESIS
11
pemeriksaan yang lebih akurat yaitu dengan pemeriksaan mutasi DNA yang
bertanggung jawab tehadap kondisi ini.
Amniosintesis midtrimester untuk pemeriksaan genetik umumnya
dilakukan pada usia kehamilan antara 15-18 minggu. Pada saat itu jumlah air
ketuban sudah memadai (sekitar 150 ml) dan perbandingan antara sel yang
viable dan non viable mencapai rasio terbesar.
Sebelum amniosintesis terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan USG
untuk menentukan jumlah janin, konfirmasi usia kehamilan, memastikan
viabilitas janin, deteksi anomali pada janin dan menentukan lokasi plasenta dan
insersi tali pusat serta memperkirakan jumlah air ketuban. Dilakukan tindakan
antisepsis pada kulit perut ibu dan operator memakai sarung tangan steril.
Dengan tuntunan USG, tusukkan jarum ukuran 20-22 pada kantong amnion
yang tidak berisi bagian kecil janin atau tali pusat. Sebaiknya dilakukan pada
daerah fundus untuk mengurangi risiko robekan selaput ketuban, dan sedapat
mungkin menghindari daerah plasenta. Bila terpaksa harus melakukan tusukan
pada daerah plasenta sebaiknya dibantu dengan color doppler untuk
mengidentifikasi pembuluh darah dan lakukan tusukan pada daerah yang paling
tipis jauh dari tepi plasenta. Prosedur ini biasanya tidak memerlukan anestesi
lokal.
Dapat dilakukan dengan teknik “free hand” dimana tangan operator yang
satu memegang tranduser dan tangan lainnya memegang jarum, atau dapat
dipasang pengantar jarum pada tranduser. Cara ini mempunyai keuntungan
karena dapat menghindari gerakan jarum ke arah lateral yang dapat
meningkatkan ukuran tusukan jarum. Cairan amnion yang pertama diaspirasi
dibuang sebanyak 1-2 ml untuk menghindari kontaminasi dengan sel-sel
maternal. Dilakukan aspirasi cairan amnion sebanyak 15 ml ke dalam tabung
untuk analisa sitogenetika.
Bila pada kesempatan pertama gagal untuk mengaspirasi cairan maka
dapat dilakukan pada lokasi lain setelah terlbih dahulu menilai kembali keadaan
12
janin dan letak plasenta. Tenting pada selaput ketuban atau kontraksi uterus
sering menjadi penyebab kegagalan. Bila tindakan kedua gagal maka tunda
tindakan amniosintesis untuk beberapa hari kemudian, jangan melakukan dua
kali tindakan pada satu kesempatan yang sama.
Walaupun dengan pengalaman selama kurang lebih tiga dekade dengan
amniosintesis midtrimester namun masih sulit untuk menentukan risiko
prosedur ini yang berhubungan dengan abortus. Pada penelitian prospektif,
multisenter yang luas diperkirakan risiko abortus berkisar 0,5 – 1%.
Selain abortus risiko lain pada janin dan ibu juga perlu untuk
dipertimbangkan. Sudah ada laporan mengenai terjadinya scar pada tubuh janin
akibat tusukan jarum namun jarang terjadi. Amniosintesis yang dilakukan
dengan tuntunan USG dapat mengurangi risiko tersebut dan juga risiko
perlukaan yang lain. Komplikasi lain dari amniosintesis midtrimester meliputi
korioamnionitis, robekan selaput ketuban dan perdarahan pervaginam. Insidens
korioamnionitis < 1 per 1000 prosedur, robekan selaput ketuban terjadi pada 1-
2% penderita, namun biasanya sembuh sendiri dan terjadi reakumulasi cairan
dan pada umumnya luaran kehamilan normal. Insiden perdarahan pervaginam
juga sekitar 1% dan berhubungan dengan ukuran jarum yang dipakai.
Sudah pernah dilaporkan kasus sensitasi pada wanita dengan rhesus
negatif setelah amniosintesis, risikonya sekitar 1%. Risiko ini dapat dikurangi
dengan menghindari pendekatan transplasenta, memakai jarum berukuran kecil
dan pemberian anti-D immunoglobulin intramuskuler sesudah tindakan
amniosintesis terhadap pasien Rh-negatif yang belum tersensitasi.
AMNIOSITESIS DINI
Amniosintesis dini adalah amniosintesis yang dilakukan pada usia
kehamilan sebelum 15 minggu (11-14 minggu). Kesulitan teknisnya lebih
besar karena jumlah air ketuban belum banyak dan fusi antara amnion dan
korion belum sempurna sehinngga sering menyebabkan tenting pada selaput
13
ketuban. Selain itu targetnya lebih kecil, uterus belum berbatasan dengan
dinding perut sehingga meningkatkan kemungkinan perlukaan pada usus atau
masuknya kuman dari usus ke uterus.
Tindakan amniosintesis dini dilakukan dengan maksud untuk
melakukan diagnosis prenatal yang lebih dini dan menjadi tindakan alternatif
untuk pemeriksaan villi korialis yang tekniknya relatif lebih sulit dan
mempunyai lebih banyak komplikasi. Dengan tuntunan USG dilakukan
pengambilan cairan amnion sebanyak 10-12 ml. Walaupun jumlah sel yang
terambil lebih sedikit namun persentasi sel yang viable lebih besar dibanding
dengan pada usia kehamilan yang lebih lanjut. Keberhasilan kultur pada
kehamilan 12-14 minggu lebih dari 95% dengan waktu panen rata-rata 12 hari
(1-2 lebih lama ) daripada kehamilan 16 minggu. Dibanding dengan CVS,
amniosintesis dini mempunyai frekuensi kontaminasi sel maternal dan
mosaicsm yang lebih rendah.
Beberapa penelitian melaporkan peningkatan risiko abortus pada
tindakan amniosintesis dini dibanding dengan amniosintesis midtrimester dan
CVS, namun Johnson dkk tidak menemukan adanya perbedaan kejadian
abortus antara kelompok amniosintesis dini dan midtrimester. Penelitian lain
di Kanada menemukan perbedaan yang bermakna pada kejadian abortus
(7,6% vs 5,9%), robekan selaput ketuban (3,5% vs 1,7%) dan deformitas
tulang, khususnya talipes equinovarus (1,4% vs 0,4%) antara kelompok
amniosintesis dini dan midtrimester, sehingga peneliti ini menganjurkan untuk
tidak melakukan amniosisntesis dini kecuali tidak ada alternatif lain.
14
emosional yang berat bagi pasien, sehingga diusahakan untuk melakukan
diagnosis prenatal pada trimester pertama.
Teknik pemeriksaan villi korialis pertama kali diperkenalkan di Cina
pada tahun 1975 yang bertujuan untuk menentukan jenins kelamin janin
dengan cara memasukkan kateter halus ke dalam uterus dengan hanya
dituntun perasaan taktil. Bila terasa ada hambatan, kemudian pengisap
dipasang dan dilakukan aspirasi potongan villi.
Pemeriksaan villi korialis biasanya dilakukan pada usia kehamilan
antara 10-12 minggu, untuk pemeriksaan sitogenetik, molekuler (analisis
DNA) dan atau metode biokimia yang dapat diaplikasikan pada jaringan villii.
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi anomali kromosom, defek gen spesifik dan
aktivitas enzym yang abnormal dalam kehamilan terutama pada penyakit
turunan.
Jaringan villi dapat diambil dengan teknik transervikal maupun
transabdominal. Sebelum tindakan, a
15
Ujung distal kateter (3-5 cm) sedikit ditekuk untuk membentuk lengkungan
dan kateter dimasukkan kedalam uterus dengan tuntunan USG sampai terasa
tahanan menghilang pada endoserviks. Operator menunggu sampai
sonographer menvisualisasi ujung kateter, kemudian kateter dimasukkan
sejajar dengan selaput korion ke tepi distal plasenta. Keluarkan stylet dan
pasang tabung pengisap 20 ml yang mengandung medium nutrien. Jaringan
villi yang terisap ke dalam tabung dapat dilihat dengan mata telanjang sebagai
struktur putih yang terapung dalam media. Kadang kala diperlukan
pemeriksaan mikroskop untuk mengkonfirmasi jaringan villi. Sering jaringan
desidua ibu ikut terambil namun mudah dikenali sebagai stuktur yang amorf
(tak berbentuk). Bila tidak berhasil mendapat jaringan villi yang cukup maka
dapat dilakukan insersi kedua.
16
Komplikasi yang dapat terjadi pada pemeriksaan villi korialis adalah
abortus dan yang ditakuti akhi-akhir ini adalah hubungan antara tindakan ini
dengan kejadian reduksi anggota gerak. CVS yang dilakukan pada kehamilan
< 9 minggu mempunyai risiko untuk reduksi anggota gerak 10-20 kali lebih
besar dibandingkan dengan CVS yang dilakukan setelah usia > 11 minggu.
17
Indikasi pemeriksaan ini dapat dibagi atas indikasi diagnostik dan
terapeutik. Umumnya, pemeriksaan darah janin diindikasikan bila
keuntungannya lebih banyak dari kerugiannya. Sebelumnya pemeriksaan
darah janin dilakukan untuk karyotype cepat namun dengan teknik sitogenetik
yang baru memakai metode FISH sampel dari villi korialis dan amniosit juga
dapat diperiksa dengan cepat. Indikasi lain untuk pemeriksaan ini adalah bila
ditemukan mosaik atau kegagalan kultur pada amniosintesis dan biopsi
plasenta. Pemeriksaan darah janin juga dilakukan pada wanita yang datang
terlambat (usia kehamilan lanjut) pada kunjungan antenatal dan menginginkan
pemeriksaan karyotype atau untuk diagnosis prenatal retardasi mental fragile-
X.
Dengan tuntunan USG tusukkan jarum melalui dinding perut ibu dan
arahkan ke tempat insersi tali pusat di plasenta, tusukan pada bagian tali pusat
yang melayang lebih sulit dilakukan. Bila menggunakan pengantar jarum pada
tranduser USG maka ukuran jarumnya lebih kecil (22-26) sedang bila
menggunakan teknik free hand jarum yang dipakai berukuran 20-22.
Bila ujung jarum telah mencapai tali pusat, pasang tabung pengisap
dan isap darah kurang lebih 5 ml. Penting untuk menentukan apakah sampel
darah ini berasal dari janin atau terkontaminasi darah ibu, walaupun dengan
teknik yang baik hal ini jarang terjadi namun lebih bijaksana bila dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya. Sel darah janin akan tampak
18
lebih besar dengan MCV yang lebih besar. Pengambilan sampel darah janin
juga dapat dilakukan pada vena intrahepatik maupun jantung janin.
4. BIOPSI JANIN
Pada awalnya biopsi janin dilakukan dengan fetoskopi, tetapi saat ini
telah diganti dengan memakai USG. Prosedur ini dilakukan pada kehamilan
17-20 minggu dengan memakai forsep biopsi yang dimasukkan melalui jarum
angiocath no 14. Biopsi jaringan janin untuk diagnosis genodermatosis hanya
dapat dilakukan dengan biopsi kulit, hasil biopsi ini dapat diperiksa dengan
teknik morfologi, immunohistokimia, dan biokimia.
19
Biopsi jaringan otot janin, jarang dilakukan tetapi pernah dilakukan
untuk diagnosis prenatal mucular dystrophy yang disebabkan mutasi gen pada
kromosom X, gen untuk distrofin. Sejak karakteristik gen distrofin diketahui
diagnosis prenatal untuk janin yang berisiko dapat dilakukan dengan metode
molekuler (polymerase chain reaction) yang diambil dari ekstrak DNA dari
cairan ketuban atau vili korialis.
Seperti halnya biopsi otot, maka biopsi hati juga hanya dilakukan pada
penyakit yang diturunkan yang tidak dapat didiagnosis dengan pemeriksaan
amniosit atau villi korialis. Sejumlah kecil penyakit gangguan metabolisme
termasuk dalam kategori ini dan dapat didiagnosis dengan pemeriksaan
enzym yang diproduksi di hati, seperti ornitrin transcarbamilase (OTC)
deficiency, carbamoyl phospstase synthetase (CPS) deficiency, glucosa 6
phospatase deficiency (G6PD).
1. Ultrasonografi (USG)
a. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) Dalam Kebidanan
Sejak Donald memperkenalkan ultrasonografi (USG) dalam bidang
obstetri pada akhir tahun 1950an telah terjadi banyak kemajuan dalam
teknologi USG ini. Menurut National Centre for Health Statistics (2002), USG
digunakan pada 67 persen wanita hamil di Amerika Serikat di tahun 2001.
Gambaran yand dihasilkan pada layar monitor USG berasal dari gelombang-
gelombang suara yang memantul dari struktur atau anatomi yang dilakukan
USG. Pilihan pada saat ini dengan menggunakan tranduser yang mengandung
kristal piezoelectric yang akan mengubah energi listrik menjadi gelombang
suara dengan frekwensi tinggi. Dengan menggunakan jeli yang dapat larut
dalam air pada kulit yang berfungsi sebagai zat perantara. Gelombang suara itu
20
akan menembus lapisan jaringan yang berbeda densitasnya dan kemudian akan
memantulkan kembali gelombang tersebut ke transduser, selanjutnya diubah
menjadi energi listrik yang ditampilkan pada layar monitor USG. Jaringan
padat seperti tulang akan menghasilkan gelombang balik yang high velocity
yang terlihat pada layar monitor sebagai warna putih. Cairan merupakan zat
yang unechoid yang menghasilkan sedikit gelombang balik, sehingga
menghasilkan warna hitam di monitor. Gambar-gambar ini akan muncul
dengan cepat lebih dari 40 gambar per detik.dan gambar tersebut muncul serta
bergerak dalam waktu yang sama (real-time)
Tranduser dengan frekuensi yang lebih tinggi akan dapat menghasilkan
gambar dengan resolusi yang lebih baik, sedangkan frekuensi yang rendah
mampu menembus jaringan lebih dalam. Misalnya pada pemeriksaaan abdomen
biasanya digunakan tranduser dengan frekuensi 3-5 mHz. Pada pasien dengan
obesitas mungkin dibutuhkan tranduser dengan frekuensi 2 mHz untuk melihat
janin, tetapi kualitas gambar atau resolusi akan berkurang. Pada awal
kehamilan, tranduser vagina dengan frekuensi 7-10 mHz dapat menghasilkan
resolusi yang terbaik, karena janin berada dekat dengan transduser.
Dengan semakin baiknya resolusi dan sensitifitas pemeriksaan dengan
USG, maka telah terjadi peningkatan penggunaan USG untuk diagnosis
prenatal dalam mememukan abnormalitas morfologi janin terutama setelah 18
minggu, dengan penggunaan transduser transvaginal memungkinkan deteksi
abnormalitas morfologi janin mulai kehamilan 13 minggu.
Informasi yang dapat diperoleh dari pemeriksaan ultrasonografi antenatal
meliputi :
- Konfirmasi kehidupan janin
-
Penentuan umur kehamilan yang akurat
-
Diagnosis kehamilan ganda dan penentuan korionisitas
-
Deteksi anomali pada janin
-
Pemantauan pertubuhan janin
21
-
Penilaian kesejahteraan janin
-
Penentuan lokasi plasenta dan tepinya
-
Pemantauan real time untuk prosedur invasif
-
Deteksi kelainan uterus dan adneksa
22
2. Dengan menunjukkan disproporsi ukuran atau pertumbuhan dari bagian
tubuh tertentu pada janin misalnya, anggota gerak yang pendek pada
dwarfism.
3. Dengan mengenali dampak dari anomali terhadap organ yang berdekatan,
misalnya adanya katup pada uretra posterior terdiagnosis dengan adanya
dilatasi pada saluran ginjal.
RCOG merekomendasikan program pemeriksaan dua tahap; pertama
pada saat ibu mendaftar dan pemeriksaan kedua pada sekitar atau saat
kehamilan 20 minggu, minimal pada kehamilan 20 minggu. Bila ditemukan
adanya kelainan maka harus dirujuk untuk diperiksa oleh tenaga yang terampil
untuk pemeriksaan yang lebih rinci dan menentukan penanganan selanjutnya
yang sesuai. Keputusan penanganan harus dilakukan dengan mendapat
masukan dari tim dengan keahlian yang multidisplin. Orang tua harus terlibat
langsung dan mendapat informasi yang memadai untuk mengambil keputusan
Beberapa anomali yang banyak ditemukan antara lain : defek pada
jantung, defek dinding perut, kelainan SSP, kelainan gastro intestinal, kelainan
ginjal dan nuchal translucency. Kelainan ini dapat tersendiri atau berhubungan
dengan anomali kromosom atau bagian dari sindroma mendelian. Dengan
demikian pemeriksan dengan USG akan memberikan manfaat yang besar.
b. Keamanan dan Kegunaan Klinis Ultrasonografi (USG)
Keamanan USG
Menurut American Institute of Ultrasound in Medicine 2003, USG
sebaiknya digunakan jika ada indikasi medis yang jelas dengan menggunakan
frekuensi yang terendah untuk mendapatkan informasi diagnostik yang
dibutuhkan atau ALARA ( “as low as reasonably achievable” ). Penggunaan
USG seperti ini ternyata aman digunakan dan telah dibuktikan selama lebih dari
30 tahun. Sampai saat ini belum ada laporan dari para pakar tentang efek fisik
yang merugikan sebagai akibat dilakukan pemeriksaan USG. Oleh karena itu
pemeriksaan USG untuk kelainan kongenital cukup aman dilakukan pada
23
trimester 1 sampai dengan trimester III dengan sensitifitas yang cukup tinggi
yaitu berkisar 90-95% dan spesifitasnya berkisar 95-98%.
24
atau pervaginal atau keduanya. Dengan menggunakan tranduser perabdominal,
pemeriksaan kantong kehamilan akan terlihat pada usia 6 minggu kehamilan,
fetal echo dan aktivitas jantung akan terlihat pada kehamilan 7 mingggu.
Sedangkan dengan menggunakan tranduser pervaginal akan dapat mendeteksi 1
minggu lebih awal. Pemeriksaan USG lebih awal sangat berguna dalam
mendiagnosis kelainan seperti kehamilan tanpa embrio dan janin mati. Dengan
pemeriksaan transvaginal, gerakan jantung biasanya akan terlihat pada janin
yang berukuran 5 mm. Pada saat ini dapat juga diidenfikasi kehamilan ganda,
jumlah korion, evaluasi adneksa, uterus, dan cul-de-sac.
25
sagital. Pengukuran NT ini pertama kali dikenalkan oleh Nicolaides tahun 1992
dan telah banyak digunakan serta sering digabungkan dengan pemeriksaan
maternal serum marker untuk mendeteksi uneuploidy. Wapner dan kawan-
kawan 2003 melaporkan pada penelitian multisenter terhadap 8514 kehamilan
yang ditemui mengalami uneuploidy pada trisemester pertama dengan
menggunakan NT bersamaan dengan kadar serum choriogonadotropin hormon
(hCG) dan plasma protein A. Mereka mendapatkan bahwa 85 persen kasus
Down Syndrome dengan angka positif palsu 9 persen. ACOG 2004
menyimpulkan bahwa skrining pada trisemester pertama kehamilan dapat
digunakan untuk mendeteksi trisomi kromosom 18 dan 21.
26
USG pada trisemester kedua dan ketiga
Beberapa indikasi untuk dilakukan USG pada trimester kedua dan ketiga
terdapat dalam tabel 3. Pemeriksaan ini dapat dikategorikan ke dalam tiga
kategori yaitu pemeriksaan standar, terbatas dan khusus. Kategori ini
menunjukkan bagian-bagian yang di periksa dan bagian yang tidak diperiksa.
Komponen-komponen yang terdapat pada periksaan standar dikenal juga
sebagai pemeriksaan USG dasar. Pemeriksaan dasar ini harus dilakukan oleh
oprator yang terlatih berdasarkan ACOG 1997. Komponen yang dilihat pada
pemeriksaan ini adalah survei tentang anatomi janin, seperti yang terdapat pada
tabel 4. Pada saat kehamilan ganda mulai diperiksa yang dilihat adalah jumlah
korion dan amnion, perbandingan ukuran janin, perkiraan jumlah cairan
amnion pada masing-masing kantong dan jenis kelamin janin. Survei tentang
anatomi janin dapat tidak ditemukan karena oligohidramnion, posisi janin atau
ibu yang obesitas.
Tabel 3 : Beberapa indikasi pemeriksaan USG pada trisemester dua dan tiga
( dikutip dari Cunningham 1 )
27
Terdapat beberapa macam pemeriksaan khusus yang meliputi
pemeriksaan anatomi secara mendalam. Kelainan-kelainan yang dicurigai harus
berdasarkan riwayat keluarga, tes abnormalitas serum ibu atau kelainan yang
ditemukan pada pemeriksaan standar atau terbatas. Pemeriksaan lain yang
dilakukan adalah ekokardiografi janin, evaluasi dopler janin, profil biofisik.
28
Sasaran Pemeriksaan USG :
Meskipun pemeriksaan USG akhir-akhir ini makin meningkat dan sudah
dipergunakan rutin pada saat Prenatal care (PNC), anjuran khusus
untuk mencari kemungkinan adanya kelainan kongenital lebih ditekankan
pada :
1. Pasien dengan riwayat pernah melahirkan bayi dengan kelainan
kongenital.
2. Janin dengan riwayat kelainan kromosom berhubungan
dengan kelainan struktural.
3. Pasien dengan hidramnion atau oligohidramnion
29
4. Kehamilan yang dicurigai mengalami keadaan -keadaan
yang dapat menyebabkan kecacatan, misalnya radiasi, terpapar
bahan-bahan kimia.
5. Hidrops fetalis
6. Kehamilan dengan insuline-dependent Diabetes Mellitus ( IDDM)
7. Peningkatan kadar Alfa Feto Protein (AFP) .
Kelainan Kongenital pada umumnya akan terdeteksi secara USG
apabila ditemukan hal-hal sebagai berikut 2 :
1. Hilangnya struktur anatomi yang normal
Contoh : tidak ditemukannya gambaran cairan dalam lambung harus
dicurigai adanya kelainan atresia oesophagus. Tidak ada
calvarium ditemukan pada anencephaly atau acrania.
2. Terjadinya perubahan bentuk, tepi, lokasi atau ukuran dari struktur
anatomi yang normal.
Contoh : adanya massa dalam tengkorak menunjukkan
kemungkinan suatu cephalocele. Lambung terlihat dalam rongga dada
menunjukkan adanya hernia diafragmatika yang disertai dengan
gambaran bergesernya jantung ke sebelah kanan.
3. Adanya struktur yang abnormal.
Misal : Double-buble Signs merupakan tanda dari atresia duodeni.
Tumor-tumor janin bisa dikenal bila ditemukan suatu massa ditempat
yang semestinya tidak ada massanya.
4. Kelainan biometri Janin.
Misalnya pada skeletal dysplasia atau microcephaly.
5. Adanya gerakan janin yang abnormal.
Misalnya pada arthrogryposis kongenital multipel, dimana janin tidak
bergerak sama sekali.
30
tergantung pada 2 :
1. Pengetahuan operator akan anatomi janin yang normal.
2. Kemampuan resolusi alat USG.
Kelainan kongenital minor yang kecil mungkin tak dapat terlihat
oleh alat USG tertentu karena lebih kecil dari kemampuan resolusinya.
3. Embryologic time table, yaitu keadaan-keadaan yang fisiologis pada
trimester I bisa menjadi patologis bila menetap sampai pada trimester
terakhir. Misalnya gambaran herniasi rongga abdomen ke dalam tali
pusat yang normal terlihat pada trimester pertama sampai kehamilan 10-
12 minggu. Diagnosis omphalocele baru ditegakkan sesudah kehamilan
10-12 minggu, kecuali pada omphalocele yang sangat besar.
4. Natural history of the disease , misalnya diagnosis Infantile Polycystic
Kidney Disease (IPKD) digambarkan apabila ditemukan tanda-tanda
gagal ginjal inutero yaitu oligohidramnion, vesica urinaria yang
kosong disertai dengan gambaran ginjal besar dan hiperekogenik.
Namun demikian, diagnosis IPKD juga baru dapat ditegakkan sesudah
kehamilan 24 minggu karena kadang-kadang fungsi ginjal masih normal
pada kasus IPKD selama trimester pertama.
31
Gambar 1 : Bentuk kepala janin normal dan abnormal/lemon sign
( dikutip dari Krisnadi S R )
32
B. Otak janin : cavum septum pellucidum, ventrikel lateral, diameter
cerebellum, nuchal fold, cisterna magna
33
Gambar 2 : Serebelum, cisterna magna, dan cavum septum pellusidum
( dikutip dari Mose J C )
34
C. Muka
-Hidung, bibir, dan mandibula
-“Nasal bridge”
-Orbita
-Maksila dan palatum
35
36
37
D. Leher : Melihat ada tidaknya massa
38
Gambar 3 : Penampang untuk melihat tulang belakang
( dikutip dari Krisnadi S R 11 )
39
F. Jantung : detak jantung, ritme jantung, situs, 4-chamber view
40
41
G. Rongga dada : bentuk, paru-paru, dan diafragma
42
H. Abdomen : Lambung, hati, ginjal, kandung kencing, insersi tali pusat
Lokasi lambung di bawah diafragma dan di bagian kiri abdomen janin. Hal ini
penting untuk menyingkirkan kelainan situs. Lambung akan diperiksa pada
pemeriksaan biometri janin saat mengidentifikasi lingkaran abdomen. Kadang-
kadang lambung tidak terlihat pada saat pencitraan, akan tetapi apabila
ditunggu, karena janin sering menelan maka suatu saat dalam pencitraan
lambung akan terlihat.
43
44
45
46
I. Ekstremitas : panjang, jari-jari tangan dan kaki, ekogenisitas, bentuk
dan ukuran.
47
48
49
50
2. Doppler Velosimetri
Doppler adalah suatu prinsip fisika yang menyatakan bahwa apabila suatu
sumber gelombang cahaya atau suara bergerak relatif terhadap pengamat, maka
pengamat akan mendeteksi pergeseran frekwensi gelombang, karena itu apabila
gelombang suara mengenai suatu sasaran bergerak, frekwensi gelombang suara
yang dipantulkan akan bergeser setara dengan kecepatan dan arah sasaran yang
51
bergerak tersebut. Prinsipnya, besar dan arah pergeseran frekwensi yang
dipengaruhi oleh gerakan sasaran dapat ditentukan. Dalam obstetri, prinsip
Doppler ini digunakan untuk menentukan volume dan kecepatan aliran darah
melalui pembuluh ibu dan janin. Dalam hal ini sumber suara adalah transduser
ultrasonik, sasaran yang bergerak adalah sel darah merah yang mengalir
melalui sirkulasi, dan gelombang suara yang dipantulkan diterima oleh
transduser.
52
G Gambar 5 : Prinsip gelombang Doppler ( dikutip dari Pribadi A )
53
4. Arteri uterina
54
Untuk melakukakan pemeriksaan NT ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi sebagai berikut :
55
2. Potongan sagittal janin harus jelas.
4. Nasal Bone
56
Program skrining trimester I dengan menggabungkan umur ibu, β-hCG,
dan PAPP-A dilaporkan mampu mendeteksi trisomy 21 sekitar 60-68%.
PROGRAM SKRINING SE
NSITIFIT
AS
Usia +AFP 37
%
57
Sampai saat ini program skrining biokimia untuk menentukan kelainan
kromosom masih dominan ditunjukkan untuk menentukan adanya trisomy 21
dan telah diketahui bahwa kelainan kromosom akan berdampak pada perubahan
kadar marker-marker tertentu disbanding kehamilan normal.
Pada trisomy 13 dan 18 kadar free β-hCG dan PAPP-A dalam serum
ibu menurun. Pada kelainan kromosom seks kadar free β-hCG normal dan
PAPP-A rendah. Pada triploidy yang diandric (tambahan kromosom dari ayah)
kadar free β-hCG sangat meningkat sementara PAPP-A sedikit menurun.
Skrining dengan kombinasi pemeriksaan NT, free β-hCG dan PAPP-A dapat
mengidentifikasi sekitar 90% dari seluruh kromosom ini dengan screen-positive
rate 1%.
58
membran plasenta dan mungkin ditranspor melalui sirkulasi plasenta. Brock
dan Sutcliffe (1972) menemukan peningkatan kadar AFP dalam cairan amnion
dan serum ibu pada kehamilan dengan janin anencephali. Penelitian prospektif
yang pertama mengenai hubungan kadar AFP dalam serum ibu dengan kejadian
NTD dilakukan di Inggris, kemudian dipakai secara luas di Amerika Serikat
dan daratan Eropah.
Pemeriksaan AFP dalam serum ibu biasanya dilakukan pada usia
kehamilan 15-22 minggu, namun sensitivitas yang terbesar pada usia 16-18
minggu. Hasilnya dipengaruhi oleh usia ibu, berat badan, ras, status diabetes
dan jumlah janin. Kadarnya diukur dalam ng/mL dan dilaporkan sebagai
multiple of median (MOM) dari populasi normal. Peningkatan AFP lebih besar
dari atau sama dengan 2.0 sampai 2.5 MOM merupakan indikasi meningkatnya
risiko NTD dan anomali struktur yang lain dan memerlukan pemeriksaan lebih
lanjut.
Bila dengan pemeriksaan USG ditemukan usia kehamilan yang tidak
sesuai maka pemeriksaan AFP diulang. Bila kadar AFP antara 2.5-3.5 MOM
maka sebaiknya diulang, karena daerah antara 2.5 – 3.5 MOM tumpang tindih
antara kadar normal dan yang terkena NTD (lihat gambar 1). Bila kadar AFP >
3.5 MOM tidak perlu diulang lagi karena jelas menandakan ada risiko kelainan
pada janin.
Gambar.1 Kadar AFP dalam serum ibu pada kehamilan tunggal 16 –18
minggu.
59
The American College of Obstetrician and Gynecologists pada tahun
1996 merekomendasikan semua wanita hamil untuk menjalani skrining
maternal serum AFP (MSAFP). Dengan cut off point 2.0 – 2.5 MOM
kebanyakan laboratorium melaporkan hasil skrining positif berkisar 3-5 persen,
dengan sensitivitas 90% dan nilai prediksi positif 2 – 6%. Oleh karena hanya 1
dari 16 – 33 wanita dengan peningkatan AFP yang mempunyai janin dengan
kelainan, maka harus diberikan konseling yang jelas pada ibu mengenai
tingginya angka positif palsu, risiko amniosintesis dan tujuan program skrining.
Pemeriksaan USG dapat mendeteksi kelainan NTD dengan baik. Dalam
telaah terhadap 234 janin spina bifida dari 9 penelitian, Watson dkk (1991)
melaporkan bahwa 99% kasus mempunyai paling sedikit satu dari lima
gambaran spesifik anomali kranial yang terdeteksi dengan pemeriksaan USG.
Gambaran tersebut meliputi : lemon sign, ventriculomegaly, obliterasi cisterna
magna, diameter biparietal yang kecil dan cerebelum yang elongasi (banana
sign).
Kadar AFP dalam cairan amnion diperiksa bila hasil pemeriksaan USG
terhadap ibu dengan peningkatan MSAFP tidak ditemukan adanya kelainan.
Bila kadar AFP dalam cairan amnion meningkat dilakukan pemeriksaan
acetylcholinesterase dalam cairan amnion. Bila acetylcholinesterase meningkat
menandakan adanya paparan terhadap jaringan neural atau ada defek terbuka
yang lain pada janin. Bila kadar AFP cairan amnion meningkat tanpa
peningkatan acetylcholinesterase berarti mungkin ada penyebab lain atau
mungkin karena kontaminasi dari darah janin.
Dengan resolusi USG yang semakin baik maka hampir semua kelainan
NTD dapat terdiagnosis dengan pemeriksaan USG sehingga amniosintesis
untuk karyotype maupun untuk pemeriksaan AFP sudah menjadi hal yang
kontroversial. Pemeriksaan karyotype hanya dilakukan bila kadar AFP dalam
cairan amnion dan serum ibu meningkat tanpa ditemukan adanya kelainan pada
pemeriksaan USG. Bila kadar AFP dalam cairan amnion abnormal maka
60
kemungkinan untuk adanya kelainan kromosom pada janin meningkat lima kali
lipat.
Peningkatan kadar AFP dalam cairan amnion juga dapat ditemukan pada
anomali yang disebabkan oleh multifaktorial seperti omphalocele, gastochisis,
cystic hygroma. Pada keadaan ini acetylcholinesterase dapat meningkat atau
tetap, sedang pada kelainan gen tunggal (mendelian) seperti nefrosis kongenital,
AFP akan meningkat sedang acetylcholinesterase tidak.
Sel-sel janin yang terdapat dalam darah ibu pada konsentrasi yang sangat
rendah,hanya 2 sampai 6 sel per mililiter dan beberapa sel janin utuh dapat
bertahan dalam sirkulasi maternal selama beberapa dekade setelah persalinan.
Sel-sel janin persisten dapat menyebabkan microchimerism, yang telah terlibat
dalam penyakit autoimun ibu seperti skleroderma, lupus eritematosus sistemik,
dan Hashimoto tiroiditis. Untuk diagnosis prenatal, penggunaan intact fetal
cells terbatas karena konsentrasinya rendah, ketekunan dalam kehamilan
berturut-turut, dan kesulitan dalam membedakan janin dari sel-sel ibu. Cell-free
fetal DNA mengatasi keterbatasan ini.
61
fibrosis, dan β-thalassemia. Aplikasi klinis dari Cell-free fetal DNA mencakup
penetapan Rh (CDE) genotipe, penentuan jenis kelamin janin, dan deteksi
trisomi autosom.
62
Hasilnya diidentifikasi, konseling genetik harus dilakukan,
dan tes diagnostik invasif prenatal harus dianjurkan untuk
mengkonfirmasi hasil. The American College of Obstetricians dan
Ginekolog (2012) saat ini merekomendasikan pemeriksaan ini dianjurkan pada
kelompok berikut :
63
BAB III
KESIMPULAN
64
DAFTAR PUSTAKA
65
10 Pribadi A. Fisika Dasar Ultrasonografi dalam: Mose J.C, Sabarudin
U, Effendi J.S, Pribadi A, editor. Buku Ajar USG Dasar Obstetri dan
Ginekologi. Bandung, November 2006.
11 Price R R, Fleischer A C, Abuhamad A Z. Sonographic Intrumentation and
Operational Concerns. In. Fleischer A C, Manning F A, Jeanty P, Romero R
editors. Sonography in Obstetrics and Gynecology (principles and practice)
6th ed. New York. McGraw-Hill. 2001.
12 Rodeck C, Pandya P. Prenatal diagnosis of fetal abnormalities. In:
Chamberlain G, Steer P, Breat G, Chang A, Johnson M, Neilson J, editors.
Turnbull's obstetrics. 3 rd ed. London: Churchill Livingstone; 2001.
14 Simpson J L. Choosing the Best Prenatal Screening Protocol. In. The New
England Journal of Medicine. Cited on August 22, 2007. Avaliable from :
www.nejm.org.pdf
15 Thilaganathan B, Sairam B, Papageorghiou A T, Bhide A. Absent Nasal
Bones. In. Problem-based Obstetric Ultrasound. London, Informa Healthcare.
2007.
16 Soothill P. Fetal blood sampling before labor. In: James D, Steer P, Weiner C,
Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New
York: W.B Saunders; 2000.
66