Anda di halaman 1dari 66

REFERAT

PRENATAL DIAGNOSTIC PROCEDURE

OLEH

Dani Adrian

61111058

Pembimbing : Dr. Yanuarman, Sp.OG (K) FM

SMF / BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH EMBUNG FATIMAH

BATAM

2015

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah


SWT yang mana atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
proses penyusunan referat ini dengan judul Prenatal Diagnostic Procedure.
Penyelesaian referat ini banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak,
oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih
yang tulus kepada :
1. Dr.Yanuarman, Sp.OG (K) FM selaku Pembimbing Referat ini.
2. Kedua Orang Tua saya yang selalu memotivasi sehingga penyelesaian
Referat ini bisa terselesaikan tepat waktu.
3. Teman-teman sejawat yang telah banyak memberikan masukan dalam
penyelesaian Referat ini.
4. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Referat ini baik
secara langsung ataupun tidak langsung.
Penulis sangat menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan demi
kesempurnaan referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca dan tenaga kesehatan terkhusus dalam bidang ilmu Obstetri dan
Ginekologi.

Batam, Oktober 2015

Penulis

2
3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diagnosis prenatal adalah ilmu dan seni untuk mengidentifikasi kelainan
struktur dan fungsi pada perkembangan janin. Sekitar 2-3% bayi baru lahir
mempunyai masalah dengan kelainan kongenital mayor yang ditemukan pada
saat lahir. Kelainan kongenital mayor merupakan salah satu penyebab utama
kematian neonatus, dan kelainan genetik merupakan empat besar kasus rawat
inap di bagian anak.
Banyak kelainan pada janin dapat diidentifikasi saat prenatal dan
kemajuan teknologi dalam bidang kesehatan telah memungkinkan untuk
melakukan pengobatan prenatal, sehingga saat ini diagnosis prenatal merupakan
jembatan penting antara obstetri dan pediatrik. Terapi prenatal saat ini meliputi
optimalisasi lingkungan intrauteri dan kondisi pada saat persalinan, transfusi
darah, pemberian obat-obatan, amnioreduksi, pemasangan shunt dan operasi.
Utuk masa yang akan datang akan memungkinkan untuk melakukan
transplantasi hematopeitic stem cell dan metode transfer gen yang lain
Pengunaan ultrasonografi (USG) pada pemeriksaan obstetrik mempunyai
dampak yang cukup besar. Pemeriksaan USG yang dilakukan dengan cermat
akan dapat memberikan informasi penting tentang anatomi janin, lingkungan
janin, pertumbuhan janin dan kesejahteraan janin. Teknologi USG telah
berkembang dengan pesat dari gambaran dua dimensi dari uterus pada
kehamilan dengan menggunakan metode doppler untuk mengukur sirkulasi ibu
dan janin sampai USG tiga dimensi untuk melihat natomi dari ibu maupun
janin. Cacat bawaan atau kelainan kongenital adalah suatu kelainan srtuktur
anatomi dari suatu organ atau sistim organ yang normal. Angka
kejadiannya sangat bervariasi, tergantung pada beberapa faktor seperti saat
terdiagnosis, pengalaman pemeriksa, definisi, tipe pemeriksaan, suku, ras,

4
ekonomi dan geografis. Angka kejadian cacat bawaan mayor ± 2,04%,
sedangkan yang minor ± 14,7%.
Cacat bawaan ini mempunyai dampak besar pada kesehatan populasi
anak dan muncul sebagai penyebab utama kematian neonatal. Dengan semakin
meningkatnya kualitas pelayanan ante dan intrapartum maka kejadian
kematian perinatal akan semakin menurun pula, namun angka kejadian
cacat bawaan sebagai penyebab kematian perinatal cenderung
meningkat. Karena itu upaya pencegahan kejadian cacat bawaan termasuk
deteksi dini pada masa prenatal perlu dikembangkan. Ultrasonografi pada
akhir-akhir ini telah menjadi metode pencitraan pilihan untuk
menegakkan diagnosis dan membantu dalam pengelolaan cacat bawaan
dibandingkan dengan metode pencitraan lainnya karena selain aman, tidak
invasif, cukup akurat, juga cukup sederhana dibanding metode pencitraan
lainnya. Namun, akurasi pemeriksaannya masih sangat tergantung pada
kemampuan resolusi alat serta pengetahuan dan pengalaman operator.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Diagnosis Prenatal


Diagnosis prenatal adalah ilmu dan seni untuk mengidentifikasi kelainan
struktur dan fungsi pada perkembangan janin. Sekitar 2-3% bayi baru lahir
mempunyai masalah dengan kelainan kongenital mayor yang ditemukan pada
saat lahir. Kelainan kongenital mayor merupakan salah satu penyebab utama
kematian neonatus, dan kelainan genetik merupakan empat besar kasus rawat
inap di bagian anak.
Banyak kelainan pada janin dapat diidentifikasi saat prenatal dan
kemajuan teknologi dalam bidang kesehatan telah memungkinkan untuk
melakukan pengobatan prenatal, sehingga saat ini diagnosis prenatal merupakan
jembatan penting antara obstetri dan pediatrik. Terapi prenatal saat ini meliputi
optimalisasi lingkungan intrauteri dan kondisi pada saat persalinan, transfusi
darah, pemberian obat-obatan, amnioreduksi, pemasangan shunt dan operasi.
Utuk masa yang akan datang akan memungkinkan untuk melakukan
transplantasi hematopeitic stem cell dan metode transfer gen yang lain.
Diagnosis prenatal meliputi evaluasi terhadap tiga kategori pasien berupa
yaitu :
1. Janin dengan risiko tinggi untuk kelainan genetik dan kongenital
2. Mereka dengan risiko yang tidak diketahui untuk kelainan kongenital umum.
3. Janin yang pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan mempunyai kelainan
struktur dan perkembangan
Kualitas USG mempengaruhi kemampuannya untuk diagnostik prenatal
dalam mendeteksi kelainan-kelainan kongenital yang secara klinis sudah jelas
tampak, dan juga peningkatan kemampuannya mendeteksi kelainan kongenital
yang masih belum tampak jelas secara klinik, selain itu dapat membantu atau
sebagai pembimbing yang sangat akurat untuk berbagai prosedur seperti :

6
pemeriksaan amniosintesis, pemeriksaan villi khorialis, pemeriksaan darah
janin dan pemeriksaan biopsi Janin.
Upaya pencegahan cacat bawaan dapat dibedakan atas pencegahan primer
dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer ditujukan pada upaya
pencegahan terjadinya kehamilan dengan cacat bawaan, kegiatan utamanya
adalah penyaringan atau deteksi dini golongan yang mempunyai risiko untuk
mendapat keturunan dengan cacat bawaan, yang meliputi kegiatan skrining,
konseling prakonsepsi / pranikah dan tindakan supportifnya berupa keluarga
berencana, adopsi atau inseminasi donor.
Pencegahan sekunder ditujukan pada upaya pencegahan kelahiran bayi
dengan cacat bawaan dengan melakukan kegiatan pranatal antara lain: skrining
genetika dalam kehamilan, konseling prenatal, diagnosis prenatal dan tindakan
suportif lainnya berupa terminasi kehamilan, terapi gen maupun terapi janin in
utero.

B. Indikasi Diagnosis Prenatal


Alasan utama untuk melakukan diagnosis prenatal adalah faktor usia
maternal (>35 tahun), abnormalitas maternal serum alfa fetoprotein (MSAFP)
dan hasil skrining test lain yang positif. Secara singkat indikasi untuk diagnosis
prenatal adalah sebagai berikut :1-3
1. Usia maternal 35 tahun atau lebih
2. Riwayat keluarga dengan anomali kromosom
3. Orang tua dengan karier translokasi
4. Abnormalitas MSAFP atau multiple markers screen
5. Riwayat keluarga dengan neural tube defect (NTD)
6. Kelainan gen tunggal – riwayat keluarga atau karier yang didapat dari
skrining populasi.
7. Malformasi kongenital yang didiagnosis dengan USG
8. Kecemasan.

7
Wanita yang berusia lebih dari 35 tahun perlu ditawarkan untuk menjalani
pemeriksaan diagnosis prenatal karena pada usia 35 tahun insidens trisomi
mulai meningkat dengan cepat. Hal ini berhubungan dengan non-disjunction
pada miosis. Pada usia 35 tahun kemungkinan untuk mendapat bayi lahir hidup
dengan kelainan kromosom adalah 1:192, sehingga ada beberapa ahli yang
menawarkan diagnosis prenatal pada usia 33 tahun namun hal ini belum
menjadi consensus.

C. Faktor resiko terjadinya kelainan genetik


Kelainan genetic pada janin terjadi karena adanya perubahan genetic yang
didasari mutasi-mutasi kromosom yang di sebut juga aberasi kromosom.
Mutasi kromosom dapat terjadi secara spontan, tetapi dapat terjadi karena
perlakuan kimiawi dan radiasi. 4 macam jenis mutasi yaitu :
1. Delesi
Suatu aberasi kromosom berupa perubahan structural yang berakibat
hilangnya suatu segmen materi genetic dari suatu kromosom. Delesi
terjadi akibat pemutusan kromosom yang diinduksi faktor-faktor
penyebab seperti panas, radiasi, virus, serta senyawa kimia lainnya.
Contoh pada manusia adalah delesi kromosom 13 yang bersangkut paut
dengan retinoblastoma yang merupakan tumor mata.
2. Duplikasi
Adalah aberasi kromosom yang terjadi karena keberadaan suatu segmen
kromosom yang lebih dari satu kali pada kromosom yang sama.
3. Inversi
Pada inversi ada materi genetic yang hilang. Dalam hal ini terjadi
perubahan atau penataan kembali urutan linear gen. inversi dapat
menghasilkan gamet-gamet yang menyimpang.

8
4. Translokasi
Pada translokasi terjadi perubahan posisi segmen kromosom maupun
urutan gen yang terkandung pada kromosom itu. Syndrome down diteliti
merupakan suatu akibat dari translokasi, dimana lengan panjang
kromosom 1 bergabung dengan lengan panjang kromosom 14 atau 15.
Wanita yang memiliki tingkat resiko untuk memiliki janin dengan
kelainan kromosom, yaitu :
1. Kehamilan tunggal dengan usia ≥ 35 tahun saat pelahiran.
2. Kehamilan kembar dizigotik dengan usia ≥ 31 tahun saat pelahiran.
3. Riwayat kelahiran trisomy autosomal.
4. Riwayat kelahiran 47, XXX atau 47,XXY.
5. Pasien atau pasangan pembawa sifat translokasi kromosom.
6. Pasien atau pasangan pembawa sifat inversi kromosom.
7. Riwayat triploidi.
8. Pasien dengan beberapa kasus keguguran dini berulang.
9. Pasien atau pasangan mempunyai aneuploidy.
10. Defek structural mayor janin pada pemeriksaan USG.

D. Tujuan Deteksi Kelainan Kongenital.


Sebelum menentukan diagnosis dari hasil pemeriksaan yang
dilakukan, pemeriksa harus memahami tujuan dari pemeriksaan tersebut
karena biaya yang dikeluarkan tidak sedikit disamping dampak psikologis
yang mungkin terjadi. Tujuan dari pemeriksaan tersebut sebagai berikut 2 :
1. Memberikan informasi bagi orang tua yang berisiko
kemungkinan mereka mendapat anak cacat.
2. Meningkatkan kepercayaan dan mengurangi kecemasan yang
berhubungan dengan reproduksi
3. Memberikan kesempatan kepada pasangan yang berisiko untuk
merencanakan keluarga secara aktif dengan menerangkan bahwa

9
mereka masih mungkin menghindari melahirkan anak cacat dengan
jalan Selective abortion.
4. Memungkinkan kita untuk memberikan penanganan yang optimal
sedini mungkin.

Dari tujuan-tujuan tersebut jelas tidak hanya sekedar tahu diagnosisnya


saja, tapi lebih dari itu membekali pengetahuan tentang kelainan kongenital,
meningkatkan rasa aman dan nyaman serta memberikan solusi yang optimal.
Dari seluruh prosedur pemeriksaan hanya 2 yang sering dikerjakan untuk
penentuan kelainan kongenital yaitu :
a. Pemeriksaan keadaan janin dengan USG
b. Fetal tissue sampling dengan bantuan USG atau lebih dikenal
dengan istilah Invasive tests of prenatal diagnosis.
Karena kedua prosedur inilah menyebabkan USG dengan segala
kelebihannya ditempatkan sedemikian rupa sehingga menjadi alat deteksi
kelainan kongenital utama.

E. Diagnosis Prenatal Invasif


Dengan makin meluasnya indikasi untuk melakukan diagnosis prenatal
maka metode yang tersedia untuk mendeteksi kelainan-kelainan genetik juga
meningkat dengan cepat. Selain amniosintesis, metode diagnostik invasif yang
lain meliputi pemeriksaan villi korialis (CVS), pemeriksaan darah janin (FBS)
dan biopsi janin untuk indikasi yang spesifik. Sampel yang diperoleh dengan
metode ini digunakan untuk analisis sitogenetik (karyotipe dan FISH),
diagnosis DNA molekuker (deteksi mutasi langsung, lingkage analysis) dan
atau evalusi biokimia, tergantung pada apa yang diinginkan. Tiap prosedur
invasif ini mempunyai keuntungan dan kerugian yang perlu dipertimbangkan
saat menawarkan pemeriksaan diagnosis prenatal.

10
1. AMNIOSINTESIS

Amniosintesis adalah tindakan mengeluarkan cairan amnion yang


mengandung sel-sel janin dan unsur biokimia dari rongga amnion. Pertama kali
dilakukan pada tahun 1880 untuk dekompresi polihidramnion. Pada tahun 1950
amniosintesis menjadi alat diagnostik ketika mulai dilakukan pengukuran kadar
bilirubin dalam cairan amnion untuk memantau isoimunisasi rhesus.
Amniosintesis untuk deteksi kelainan kromosom prenatal pertama kali
dilaporkan pada tahun 1967. Sejak itu amniosintesis diterima secara luas
menjadi metode untuk diagnosis prenatal untuk kelainan kromosom, penyakit-
penyakit yang diturunkan, dan beberapa infeksi kongenital.
Indikasi utama untuk tindakan amniosintesis adalah pemeriksaan
karyotype janin. Sel-sel dalam cairan amnion berasal dari kulit janin yang
mengalami deskuamasi dan dikeluarkan dari saluran gastrointestinal,
urogenital, saluran pernafasan dan amnion. Sel-sel ini dipersiapkan untuk
analisis pada tahap metafase maupun untuk pemeriksaan FISH. Namun
laboratorium lebih senang bila mendapat sampel dari darah atau villi korialis
karena banyak mengandung DNA yang diperlukan untuk kultur.
Dahulu cairan amnion juga dipakai untuk pemeriksaan kadar enzym
untuk menentukan adanya gangguan metabolisme dan analisis metabolit untuk
mendeteksi penyakit kistik fibrosis, namun saat ini telah digantikan dengan

11
pemeriksaan yang lebih akurat yaitu dengan pemeriksaan mutasi DNA yang
bertanggung jawab tehadap kondisi ini.
Amniosintesis midtrimester untuk pemeriksaan genetik umumnya
dilakukan pada usia kehamilan antara 15-18 minggu. Pada saat itu jumlah air
ketuban sudah memadai (sekitar 150 ml) dan perbandingan antara sel yang
viable dan non viable mencapai rasio terbesar.
Sebelum amniosintesis terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan USG
untuk menentukan jumlah janin, konfirmasi usia kehamilan, memastikan
viabilitas janin, deteksi anomali pada janin dan menentukan lokasi plasenta dan
insersi tali pusat serta memperkirakan jumlah air ketuban. Dilakukan tindakan
antisepsis pada kulit perut ibu dan operator memakai sarung tangan steril.
Dengan tuntunan USG, tusukkan jarum ukuran 20-22 pada kantong amnion
yang tidak berisi bagian kecil janin atau tali pusat. Sebaiknya dilakukan pada
daerah fundus untuk mengurangi risiko robekan selaput ketuban, dan sedapat
mungkin menghindari daerah plasenta. Bila terpaksa harus melakukan tusukan
pada daerah plasenta sebaiknya dibantu dengan color doppler untuk
mengidentifikasi pembuluh darah dan lakukan tusukan pada daerah yang paling
tipis jauh dari tepi plasenta. Prosedur ini biasanya tidak memerlukan anestesi
lokal.
Dapat dilakukan dengan teknik “free hand” dimana tangan operator yang
satu memegang tranduser dan tangan lainnya memegang jarum, atau dapat
dipasang pengantar jarum pada tranduser. Cara ini mempunyai keuntungan
karena dapat menghindari gerakan jarum ke arah lateral yang dapat
meningkatkan ukuran tusukan jarum. Cairan amnion yang pertama diaspirasi
dibuang sebanyak 1-2 ml untuk menghindari kontaminasi dengan sel-sel
maternal. Dilakukan aspirasi cairan amnion sebanyak 15 ml ke dalam tabung
untuk analisa sitogenetika.
Bila pada kesempatan pertama gagal untuk mengaspirasi cairan maka
dapat dilakukan pada lokasi lain setelah terlbih dahulu menilai kembali keadaan

12
janin dan letak plasenta. Tenting pada selaput ketuban atau kontraksi uterus
sering menjadi penyebab kegagalan. Bila tindakan kedua gagal maka tunda
tindakan amniosintesis untuk beberapa hari kemudian, jangan melakukan dua
kali tindakan pada satu kesempatan yang sama.
Walaupun dengan pengalaman selama kurang lebih tiga dekade dengan
amniosintesis midtrimester namun masih sulit untuk menentukan risiko
prosedur ini yang berhubungan dengan abortus. Pada penelitian prospektif,
multisenter yang luas diperkirakan risiko abortus berkisar 0,5 – 1%.
Selain abortus risiko lain pada janin dan ibu juga perlu untuk
dipertimbangkan. Sudah ada laporan mengenai terjadinya scar pada tubuh janin
akibat tusukan jarum namun jarang terjadi. Amniosintesis yang dilakukan
dengan tuntunan USG dapat mengurangi risiko tersebut dan juga risiko
perlukaan yang lain. Komplikasi lain dari amniosintesis midtrimester meliputi
korioamnionitis, robekan selaput ketuban dan perdarahan pervaginam. Insidens
korioamnionitis < 1 per 1000 prosedur, robekan selaput ketuban terjadi pada 1-
2% penderita, namun biasanya sembuh sendiri dan terjadi reakumulasi cairan
dan pada umumnya luaran kehamilan normal. Insiden perdarahan pervaginam
juga sekitar 1% dan berhubungan dengan ukuran jarum yang dipakai.
Sudah pernah dilaporkan kasus sensitasi pada wanita dengan rhesus
negatif setelah amniosintesis, risikonya sekitar 1%. Risiko ini dapat dikurangi
dengan menghindari pendekatan transplasenta, memakai jarum berukuran kecil
dan pemberian anti-D immunoglobulin intramuskuler sesudah tindakan
amniosintesis terhadap pasien Rh-negatif yang belum tersensitasi.

AMNIOSITESIS DINI
Amniosintesis dini adalah amniosintesis yang dilakukan pada usia
kehamilan sebelum 15 minggu (11-14 minggu). Kesulitan teknisnya lebih
besar karena jumlah air ketuban belum banyak dan fusi antara amnion dan
korion belum sempurna sehinngga sering menyebabkan tenting pada selaput

13
ketuban. Selain itu targetnya lebih kecil, uterus belum berbatasan dengan
dinding perut sehingga meningkatkan kemungkinan perlukaan pada usus atau
masuknya kuman dari usus ke uterus.
Tindakan amniosintesis dini dilakukan dengan maksud untuk
melakukan diagnosis prenatal yang lebih dini dan menjadi tindakan alternatif
untuk pemeriksaan villi korialis yang tekniknya relatif lebih sulit dan
mempunyai lebih banyak komplikasi. Dengan tuntunan USG dilakukan
pengambilan cairan amnion sebanyak 10-12 ml. Walaupun jumlah sel yang
terambil lebih sedikit namun persentasi sel yang viable lebih besar dibanding
dengan pada usia kehamilan yang lebih lanjut. Keberhasilan kultur pada
kehamilan 12-14 minggu lebih dari 95% dengan waktu panen rata-rata 12 hari
(1-2 lebih lama ) daripada kehamilan 16 minggu. Dibanding dengan CVS,
amniosintesis dini mempunyai frekuensi kontaminasi sel maternal dan
mosaicsm yang lebih rendah.
Beberapa penelitian melaporkan peningkatan risiko abortus pada
tindakan amniosintesis dini dibanding dengan amniosintesis midtrimester dan
CVS, namun Johnson dkk tidak menemukan adanya perbedaan kejadian
abortus antara kelompok amniosintesis dini dan midtrimester. Penelitian lain
di Kanada menemukan perbedaan yang bermakna pada kejadian abortus
(7,6% vs 5,9%), robekan selaput ketuban (3,5% vs 1,7%) dan deformitas
tulang, khususnya talipes equinovarus (1,4% vs 0,4%) antara kelompok
amniosintesis dini dan midtrimester, sehingga peneliti ini menganjurkan untuk
tidak melakukan amniosisntesis dini kecuali tidak ada alternatif lain.

2. PEMERIKSAAN VILLI KORIALIS


Diagnosis prenatal yang dikerjakan pada trimester kedua mempunyai
beberapa kekurangan antara lain, diagnosis baru dapat diketahui pada usia
kehamilan yang lebih lanjut sehingga risiko untuk terminasi kehamilan lebih
besar dan terminasi pada saat janin sudah mulai bergerak menimbulkan beban

14
emosional yang berat bagi pasien, sehingga diusahakan untuk melakukan
diagnosis prenatal pada trimester pertama.
Teknik pemeriksaan villi korialis pertama kali diperkenalkan di Cina
pada tahun 1975 yang bertujuan untuk menentukan jenins kelamin janin
dengan cara memasukkan kateter halus ke dalam uterus dengan hanya
dituntun perasaan taktil. Bila terasa ada hambatan, kemudian pengisap
dipasang dan dilakukan aspirasi potongan villi.
Pemeriksaan villi korialis biasanya dilakukan pada usia kehamilan
antara 10-12 minggu, untuk pemeriksaan sitogenetik, molekuler (analisis
DNA) dan atau metode biokimia yang dapat diaplikasikan pada jaringan villii.
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi anomali kromosom, defek gen spesifik dan
aktivitas enzym yang abnormal dalam kehamilan terutama pada penyakit
turunan.
Jaringan villi dapat diambil dengan teknik transervikal maupun
transabdominal. Sebelum tindakan, a

Pasien dibaringkan dalam posisis litotomi, antisepsis vulva dan vagina


kemudian masukkan spekulum dan lakukan hal yang sama pada serviks.

15
Ujung distal kateter (3-5 cm) sedikit ditekuk untuk membentuk lengkungan
dan kateter dimasukkan kedalam uterus dengan tuntunan USG sampai terasa
tahanan menghilang pada endoserviks. Operator menunggu sampai
sonographer menvisualisasi ujung kateter, kemudian kateter dimasukkan
sejajar dengan selaput korion ke tepi distal plasenta. Keluarkan stylet dan
pasang tabung pengisap 20 ml yang mengandung medium nutrien. Jaringan
villi yang terisap ke dalam tabung dapat dilihat dengan mata telanjang sebagai
struktur putih yang terapung dalam media. Kadang kala diperlukan
pemeriksaan mikroskop untuk mengkonfirmasi jaringan villi. Sering jaringan
desidua ibu ikut terambil namun mudah dikenali sebagai stuktur yang amorf
(tak berbentuk). Bila tidak berhasil mendapat jaringan villi yang cukup maka
dapat dilakukan insersi kedua.

Teknik transabdominal pertama kali diperkenalkan oleh Smid –Jensen


dan Hahnemann dari Denmark. Dengan tuntunan USG masukkan jarum spinal
ukuran 19 atau 20 ke dalam sumbu panjang plasenta. Setelah stylet
dikeluarkan, aspirasi villi ke dalam tabung 20 ml yang berisi media kultur
jaringan. Berhubung karena jarum yang dipakai lebih kecil dari kateter
servikal maka perlu dilakukan tiga sampai empat kali gerakan maju mundur
pada ujung jarum terhadap jaringan plasenta agar jaringan villi dapat terambil.
Berbeda dengan teknik transervikal yang dilakukan sebelum usia kehamilan
14 minggu, teknik ini dapat dilakukan sepanjang kehamilan sehingga dapat
menjadi alternatif untuk amniosintesis dan pemeriksaan darah janin.

16
Komplikasi yang dapat terjadi pada pemeriksaan villi korialis adalah
abortus dan yang ditakuti akhi-akhir ini adalah hubungan antara tindakan ini
dengan kejadian reduksi anggota gerak. CVS yang dilakukan pada kehamilan
< 9 minggu mempunyai risiko untuk reduksi anggota gerak 10-20 kali lebih
besar dibandingkan dengan CVS yang dilakukan setelah usia > 11 minggu.

Kontaminasi jaringan desidua ibu pada sampel yang dikultur dapat


memberikan hasil negatif palsu, dan hal ini sering terjadi bila hanya sedikit
sampel yang terambil, namun di senter yang telah berpengalaman kejadian ini
tidak ditemukan lagi.

3. Pemeriksaan Darah Janin (Kordosintesis)

Pada tahun 1983, Daffos dkk memperkenalkan metode pengambilan


darah janin dengan tuntunan USG menggunakan jarum spinal ukuran 20-22
melalui perut ibu ke dalam tali pusat. Teknik ini disebut juga kordosentesis,
PUBS (percutaneous umbilical blood sampling), fetal blood sampling atau
furnipuncture. Kordosintesis adalah istilah yang sering digunakan.

17
Indikasi pemeriksaan ini dapat dibagi atas indikasi diagnostik dan
terapeutik. Umumnya, pemeriksaan darah janin diindikasikan bila
keuntungannya lebih banyak dari kerugiannya. Sebelumnya pemeriksaan
darah janin dilakukan untuk karyotype cepat namun dengan teknik sitogenetik
yang baru memakai metode FISH sampel dari villi korialis dan amniosit juga
dapat diperiksa dengan cepat. Indikasi lain untuk pemeriksaan ini adalah bila
ditemukan mosaik atau kegagalan kultur pada amniosintesis dan biopsi
plasenta. Pemeriksaan darah janin juga dilakukan pada wanita yang datang
terlambat (usia kehamilan lanjut) pada kunjungan antenatal dan menginginkan
pemeriksaan karyotype atau untuk diagnosis prenatal retardasi mental fragile-
X.

Indikasi diagnostik yang lain adalah pemeriksaan hemoglobinopathi,


koagulaopathi, penyakit granulomatous kronik dan beberapa kelainan
metabolisme serta penentuan anemia dan trombositopenia pada janin. Untuk
indikasi terapeutik adalah : terapi anemia pada janin melalui transfusi darah
dan pemberian obat antiaritmia pada janin dengan hidrops.

Dengan tuntunan USG tusukkan jarum melalui dinding perut ibu dan
arahkan ke tempat insersi tali pusat di plasenta, tusukan pada bagian tali pusat
yang melayang lebih sulit dilakukan. Bila menggunakan pengantar jarum pada
tranduser USG maka ukuran jarumnya lebih kecil (22-26) sedang bila
menggunakan teknik free hand jarum yang dipakai berukuran 20-22.

Bila ujung jarum telah mencapai tali pusat, pasang tabung pengisap
dan isap darah kurang lebih 5 ml. Penting untuk menentukan apakah sampel
darah ini berasal dari janin atau terkontaminasi darah ibu, walaupun dengan
teknik yang baik hal ini jarang terjadi namun lebih bijaksana bila dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya. Sel darah janin akan tampak

18
lebih besar dengan MCV yang lebih besar. Pengambilan sampel darah janin
juga dapat dilakukan pada vena intrahepatik maupun jantung janin.

Komplikasi yang dapat terjadi pada janin pasca kordosintesis adalah :


terjadinya hematoma atau perdarahan pada tempat tusukan jarum, bradikardi,
infeksi. Kemungkinan untuk terjadinya kematian janin berkisar 1% untuk itu
perlu dilakukan pemantauan denyut jantung janin dengan kardiotokografi
selama paling sedikit 30 menit. Pada ibu komplikasi yang dapat terjadi adalah
isoimunisasi rhesus, sehingga harus diberikan anti-D immunoglobulin pada
ibu dengan rhesus negatif.

4. BIOPSI JANIN

Indikasi pemeriksaan jaringan janin sampai saat ini masih terus


berkembang. Teknik yang invasif ini digunakan hanya untuk kelainan dengan
morbiditas tinggi, dimana diagnosis dengan pemeriksaan amniosintesis, villi
khorialis atau darah janin tidak memuaskan. Jaringan yang diambil dari janin
untuk prenatal diagnosis antara lain : kulit, otot, liver, ginjal dan otak.

Indikasi yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan jaringan


janin adalah untuk diagnosis genodermatosis, yang merupakan penyakit berat
turunan pada kulit dengan angka morbiditas dan mortalitas tinggi.

Pada awalnya biopsi janin dilakukan dengan fetoskopi, tetapi saat ini
telah diganti dengan memakai USG. Prosedur ini dilakukan pada kehamilan
17-20 minggu dengan memakai forsep biopsi yang dimasukkan melalui jarum
angiocath no 14. Biopsi jaringan janin untuk diagnosis genodermatosis hanya
dapat dilakukan dengan biopsi kulit, hasil biopsi ini dapat diperiksa dengan
teknik morfologi, immunohistokimia, dan biokimia.

19
Biopsi jaringan otot janin, jarang dilakukan tetapi pernah dilakukan
untuk diagnosis prenatal mucular dystrophy yang disebabkan mutasi gen pada
kromosom X, gen untuk distrofin. Sejak karakteristik gen distrofin diketahui
diagnosis prenatal untuk janin yang berisiko dapat dilakukan dengan metode
molekuler (polymerase chain reaction) yang diambil dari ekstrak DNA dari
cairan ketuban atau vili korialis.

Seperti halnya biopsi otot, maka biopsi hati juga hanya dilakukan pada
penyakit yang diturunkan yang tidak dapat didiagnosis dengan pemeriksaan
amniosit atau villi korialis. Sejumlah kecil penyakit gangguan metabolisme
termasuk dalam kategori ini dan dapat didiagnosis dengan pemeriksaan
enzym yang diproduksi di hati, seperti ornitrin transcarbamilase (OTC)
deficiency, carbamoyl phospstase synthetase (CPS) deficiency, glucosa 6
phospatase deficiency (G6PD).

F. Diagnosis Prenatal Non- Invasif

1. Ultrasonografi (USG)
a. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) Dalam Kebidanan
Sejak Donald memperkenalkan ultrasonografi (USG) dalam bidang
obstetri pada akhir tahun 1950an telah terjadi banyak kemajuan dalam
teknologi USG ini. Menurut National Centre for Health Statistics (2002), USG
digunakan pada 67 persen wanita hamil di Amerika Serikat di tahun 2001.
Gambaran yand dihasilkan pada layar monitor USG berasal dari gelombang-
gelombang suara yang memantul dari struktur atau anatomi yang dilakukan
USG. Pilihan pada saat ini dengan menggunakan tranduser yang mengandung
kristal piezoelectric yang akan mengubah energi listrik menjadi gelombang
suara dengan frekwensi tinggi. Dengan menggunakan jeli yang dapat larut
dalam air pada kulit yang berfungsi sebagai zat perantara. Gelombang suara itu

20
akan menembus lapisan jaringan yang berbeda densitasnya dan kemudian akan
memantulkan kembali gelombang tersebut ke transduser, selanjutnya diubah
menjadi energi listrik yang ditampilkan pada layar monitor USG. Jaringan
padat seperti tulang akan menghasilkan gelombang balik yang high velocity
yang terlihat pada layar monitor sebagai warna putih. Cairan merupakan zat
yang unechoid yang menghasilkan sedikit gelombang balik, sehingga
menghasilkan warna hitam di monitor. Gambar-gambar ini akan muncul
dengan cepat lebih dari 40 gambar per detik.dan gambar tersebut muncul serta
bergerak dalam waktu yang sama (real-time)
Tranduser dengan frekuensi yang lebih tinggi akan dapat menghasilkan
gambar dengan resolusi yang lebih baik, sedangkan frekuensi yang rendah
mampu menembus jaringan lebih dalam. Misalnya pada pemeriksaaan abdomen
biasanya digunakan tranduser dengan frekuensi 3-5 mHz. Pada pasien dengan
obesitas mungkin dibutuhkan tranduser dengan frekuensi 2 mHz untuk melihat
janin, tetapi kualitas gambar atau resolusi akan berkurang. Pada awal
kehamilan, tranduser vagina dengan frekuensi 7-10 mHz dapat menghasilkan
resolusi yang terbaik, karena janin berada dekat dengan transduser.
Dengan semakin baiknya resolusi dan sensitifitas pemeriksaan dengan
USG, maka telah terjadi peningkatan penggunaan USG untuk diagnosis
prenatal dalam mememukan abnormalitas morfologi janin terutama setelah 18
minggu, dengan penggunaan transduser transvaginal memungkinkan deteksi
abnormalitas morfologi janin mulai kehamilan 13 minggu.
Informasi yang dapat diperoleh dari pemeriksaan ultrasonografi antenatal
meliputi :
- Konfirmasi kehidupan janin
-
Penentuan umur kehamilan yang akurat
-
Diagnosis kehamilan ganda dan penentuan korionisitas
-
Deteksi anomali pada janin
-
Pemantauan pertubuhan janin

21
-
Penilaian kesejahteraan janin
-
Penentuan lokasi plasenta dan tepinya
-
Pemantauan real time untuk prosedur invasif
-
Deteksi kelainan uterus dan adneksa

RCOG pada tahun 1997 membuat rekomendasi untuk pemakaian USG


sebagai berikut :
1. Skrining universal lebih dapat dipercaya untuk menentukan kelainan pada
janin dibanding dengan pemeriksaan scanning selektif.
2. Skrining kelainan pada janin menurunkan angka kematian perinatal karena
mampu mengidentifikasi kelainan dan melakukan terminasi kehamilan.
3. Berdasarkan bukti terkini, scanning pada usia kehamilan 18-20 minggu
merupakan metode yang paling efektif untuk mendeteksi kelainan pada
janin.
4. Walaupun tidak memerlukan persetujuan tertulis sebelum pemeriksaan
namun wanita perlu diberi kesempatan untuk memilih apakah mau
diperiksa. Harus tersedia informasi tertulis dan lisan sebelum pemeriksaan.
Ketetapan mengenai konseling dan informasi yang memadai harus
merupakan bagian dari program skrining.
5. Bila terdeteksi adannya suatu kelainan maka harus diskusi mengenai
dampaknya. Orang tua mendapat manfaat dari diskusi yang melibatkan ahli
lain selain ultrasonografer dan spesialis kebidanan seperti ahli anak, ahli
genetik dan ahli bedah anak.
6. Pemeriksaan ultrasonografi hanya dilakukan oleh tenaga yang sudah
terlatih. Pemeriksaan skrining rutin harus dilakukan dengan dengan
menggunakan protokol atau daftar tilik yang telah disetujui.
Diagnosis kelainan janin dilakukan dengan tiga cara yaitu :
1. Dengan visualisasi langsung dari defek struktural, misalnya tidak adanya
tulang tengkorak pada anencephali.

22
2. Dengan menunjukkan disproporsi ukuran atau pertumbuhan dari bagian
tubuh tertentu pada janin misalnya, anggota gerak yang pendek pada
dwarfism.
3. Dengan mengenali dampak dari anomali terhadap organ yang berdekatan,
misalnya adanya katup pada uretra posterior terdiagnosis dengan adanya
dilatasi pada saluran ginjal.
RCOG merekomendasikan program pemeriksaan dua tahap; pertama
pada saat ibu mendaftar dan pemeriksaan kedua pada sekitar atau saat
kehamilan 20 minggu, minimal pada kehamilan 20 minggu. Bila ditemukan
adanya kelainan maka harus dirujuk untuk diperiksa oleh tenaga yang terampil
untuk pemeriksaan yang lebih rinci dan menentukan penanganan selanjutnya
yang sesuai. Keputusan penanganan harus dilakukan dengan mendapat
masukan dari tim dengan keahlian yang multidisplin. Orang tua harus terlibat
langsung dan mendapat informasi yang memadai untuk mengambil keputusan
Beberapa anomali yang banyak ditemukan antara lain : defek pada
jantung, defek dinding perut, kelainan SSP, kelainan gastro intestinal, kelainan
ginjal dan nuchal translucency. Kelainan ini dapat tersendiri atau berhubungan
dengan anomali kromosom atau bagian dari sindroma mendelian. Dengan
demikian pemeriksan dengan USG akan memberikan manfaat yang besar.
b. Keamanan dan Kegunaan Klinis Ultrasonografi (USG)
Keamanan USG
Menurut American Institute of Ultrasound in Medicine 2003, USG
sebaiknya digunakan jika ada indikasi medis yang jelas dengan menggunakan
frekuensi yang terendah untuk mendapatkan informasi diagnostik yang
dibutuhkan atau ALARA ( “as low as reasonably achievable” ). Penggunaan
USG seperti ini ternyata aman digunakan dan telah dibuktikan selama lebih dari
30 tahun. Sampai saat ini belum ada laporan dari para pakar tentang efek fisik
yang merugikan sebagai akibat dilakukan pemeriksaan USG. Oleh karena itu
pemeriksaan USG untuk kelainan kongenital cukup aman dilakukan pada

23
trimester 1 sampai dengan trimester III dengan sensitifitas yang cukup tinggi
yaitu berkisar 90-95% dan spesifitasnya berkisar 95-98%.

Kegunaan Klinis USG


Penggunaan USG dalam bidang obstetrik lebih difokuskan kepada dua
hal yaitu, penetapan usia kehamilan dan penentuan kelainan kongenital.
Beberapa ahli telah mendapatkan bahwa perkiraan usia kehamilan yang
ditentukan dengan USG lebih akurat dibandingkan dengan berdasarkan hari
pertama haid terakhir (HPHT). Tunon dan kawan-kawan tahun 1996
mendapatkan bahwa pemeriksaan USG pada 15.000 wanita hamil dengan usia
kehamilan 18 minggu terjadi penurunan angka persalinan lewat bulan dari 10
persen menjadi 4 persen. Pada penelitian secara acak terhadap 218 wanita
dengan resiko rendah yang dilakukan oleh Bennnett (2004) didapatkan
penurunan angka induksi persalinan pada kehamilan lewat waktu dari 13 persen
menjadi 5 persen. Banyak peneliti berpendapat bahwa pemeriksaaan USG
secara rutin pada kehamilan dapat mengidentifikasi 30-50 persen kelainan
kongenital mayor dengan spesifivitas 90-100 persen.
USG merupakan teknologi yang terus berkembang digunakan untuk
identifikasi anatomi janin sejak awal kehamilan. Menurut American Institute of
Ultrasound in Medicine 2003, pemeriksaan anatomi janin terbaik dilakukan
setelah 18 minggu, meskipun mungkin saja dapat dilakukan pemeriksaan
anatomi yang normal sebelum waktu tersebut, tetapi beberapa struktur mungkin
masih sulit untuk divisulisasikan oleh karena ukuran janin, posisi, sikatrik,
pergerakan janin, dan ibu yang gemuk. Menurut American College of
Obstetrician and Gynecologist (ACOG) 1997, ketajaman USG dalam
mendeteksi kelainan janin bervariasi menurut kemampuan operatornya

USG pada trisemester pertama


Pada kehamilan dini dapat dilakukan pemeriksaan USG perabdominal

24
atau pervaginal atau keduanya. Dengan menggunakan tranduser perabdominal,
pemeriksaan kantong kehamilan akan terlihat pada usia 6 minggu kehamilan,
fetal echo dan aktivitas jantung akan terlihat pada kehamilan 7 mingggu.
Sedangkan dengan menggunakan tranduser pervaginal akan dapat mendeteksi 1
minggu lebih awal. Pemeriksaan USG lebih awal sangat berguna dalam
mendiagnosis kelainan seperti kehamilan tanpa embrio dan janin mati. Dengan
pemeriksaan transvaginal, gerakan jantung biasanya akan terlihat pada janin
yang berukuran 5 mm. Pada saat ini dapat juga diidenfikasi kehamilan ganda,
jumlah korion, evaluasi adneksa, uterus, dan cul-de-sac.

Tabel 1 : Beberapa indikasi pemeriksaan USG pada trisemester pertama


kehamilan ( dikutip dari Cunningham ).

Usia kehamilan 11-14 minggu dapat diidenfikasi nuchal translucency


(NT) dengan tepat. Pengukuran ini melihat ketebalan daerah antara kulit dengan
jaringan lunak yang mengelilingi tulang punggung janin pada penampang

25
sagital. Pengukuran NT ini pertama kali dikenalkan oleh Nicolaides tahun 1992
dan telah banyak digunakan serta sering digabungkan dengan pemeriksaan
maternal serum marker untuk mendeteksi uneuploidy. Wapner dan kawan-
kawan 2003 melaporkan pada penelitian multisenter terhadap 8514 kehamilan
yang ditemui mengalami uneuploidy pada trisemester pertama dengan
menggunakan NT bersamaan dengan kadar serum choriogonadotropin hormon
(hCG) dan plasma protein A. Mereka mendapatkan bahwa 85 persen kasus
Down Syndrome dengan angka positif palsu 9 persen. ACOG 2004
menyimpulkan bahwa skrining pada trisemester pertama kehamilan dapat
digunakan untuk mendeteksi trisomi kromosom 18 dan 21.

Tabel 2 : Komponen standar pemeriksaaan USG ( dikutip dari Cunningham 1 )

26
USG pada trisemester kedua dan ketiga
Beberapa indikasi untuk dilakukan USG pada trimester kedua dan ketiga
terdapat dalam tabel 3. Pemeriksaan ini dapat dikategorikan ke dalam tiga
kategori yaitu pemeriksaan standar, terbatas dan khusus. Kategori ini
menunjukkan bagian-bagian yang di periksa dan bagian yang tidak diperiksa.
Komponen-komponen yang terdapat pada periksaan standar dikenal juga
sebagai pemeriksaan USG dasar. Pemeriksaan dasar ini harus dilakukan oleh
oprator yang terlatih berdasarkan ACOG 1997. Komponen yang dilihat pada
pemeriksaan ini adalah survei tentang anatomi janin, seperti yang terdapat pada
tabel 4. Pada saat kehamilan ganda mulai diperiksa yang dilihat adalah jumlah
korion dan amnion, perbandingan ukuran janin, perkiraan jumlah cairan
amnion pada masing-masing kantong dan jenis kelamin janin. Survei tentang
anatomi janin dapat tidak ditemukan karena oligohidramnion, posisi janin atau
ibu yang obesitas.

Tabel 3 : Beberapa indikasi pemeriksaan USG pada trisemester dua dan tiga
( dikutip dari Cunningham 1 )

27
Terdapat beberapa macam pemeriksaan khusus yang meliputi
pemeriksaan anatomi secara mendalam. Kelainan-kelainan yang dicurigai harus
berdasarkan riwayat keluarga, tes abnormalitas serum ibu atau kelainan yang
ditemukan pada pemeriksaan standar atau terbatas. Pemeriksaan lain yang
dilakukan adalah ekokardiografi janin, evaluasi dopler janin, profil biofisik.

Prosedur pemeriksaan lainnya adalah pemeriksaan terbatas yang


dilakukan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan khusus yang dibutuhkan.
Pertanyaan tersebut meliputi perkiraan jumlah cairan amnion, letak plasenta,
identifikasi letak janin atau penentuan kemampuan hidup janin.

Tabel 4 : Hal-hal yang penting sebagai standar pemeriksaan USG

( dikutip dari Cunningham )

28
Sasaran Pemeriksaan USG :
Meskipun pemeriksaan USG akhir-akhir ini makin meningkat dan sudah
dipergunakan rutin pada saat Prenatal care (PNC), anjuran khusus
untuk mencari kemungkinan adanya kelainan kongenital lebih ditekankan
pada :
1. Pasien dengan riwayat pernah melahirkan bayi dengan kelainan
kongenital.
2. Janin dengan riwayat kelainan kromosom berhubungan
dengan kelainan struktural.
3. Pasien dengan hidramnion atau oligohidramnion

29
4. Kehamilan yang dicurigai mengalami keadaan -keadaan
yang dapat menyebabkan kecacatan, misalnya radiasi, terpapar
bahan-bahan kimia.
5. Hidrops fetalis
6. Kehamilan dengan insuline-dependent Diabetes Mellitus ( IDDM)
7. Peningkatan kadar Alfa Feto Protein (AFP) .
Kelainan Kongenital pada umumnya akan terdeteksi secara USG
apabila ditemukan hal-hal sebagai berikut 2 :
1. Hilangnya struktur anatomi yang normal
Contoh : tidak ditemukannya gambaran cairan dalam lambung harus
dicurigai adanya kelainan atresia oesophagus. Tidak ada
calvarium ditemukan pada anencephaly atau acrania.
2. Terjadinya perubahan bentuk, tepi, lokasi atau ukuran dari struktur
anatomi yang normal.
Contoh : adanya massa dalam tengkorak menunjukkan
kemungkinan suatu cephalocele. Lambung terlihat dalam rongga dada
menunjukkan adanya hernia diafragmatika yang disertai dengan
gambaran bergesernya jantung ke sebelah kanan.
3. Adanya struktur yang abnormal.
Misal : Double-buble Signs merupakan tanda dari atresia duodeni.
Tumor-tumor janin bisa dikenal bila ditemukan suatu massa ditempat
yang semestinya tidak ada massanya.
4. Kelainan biometri Janin.
Misalnya pada skeletal dysplasia atau microcephaly.
5. Adanya gerakan janin yang abnormal.
Misalnya pada arthrogryposis kongenital multipel, dimana janin tidak
bergerak sama sekali.

Kemampuan untuk mendiagnosis kelainan kongenital secara USG juga

30
tergantung pada 2 :
1. Pengetahuan operator akan anatomi janin yang normal.
2. Kemampuan resolusi alat USG.
Kelainan kongenital minor yang kecil mungkin tak dapat terlihat
oleh alat USG tertentu karena lebih kecil dari kemampuan resolusinya.
3. Embryologic time table, yaitu keadaan-keadaan yang fisiologis pada
trimester I bisa menjadi patologis bila menetap sampai pada trimester
terakhir. Misalnya gambaran herniasi rongga abdomen ke dalam tali
pusat yang normal terlihat pada trimester pertama sampai kehamilan 10-
12 minggu. Diagnosis omphalocele baru ditegakkan sesudah kehamilan
10-12 minggu, kecuali pada omphalocele yang sangat besar.
4. Natural history of the disease , misalnya diagnosis Infantile Polycystic
Kidney Disease (IPKD) digambarkan apabila ditemukan tanda-tanda
gagal ginjal inutero yaitu oligohidramnion, vesica urinaria yang
kosong disertai dengan gambaran ginjal besar dan hiperekogenik.
Namun demikian, diagnosis IPKD juga baru dapat ditegakkan sesudah
kehamilan 24 minggu karena kadang-kadang fungsi ginjal masih normal
pada kasus IPKD selama trimester pertama.

c. Sistimatika Pemeriksaan USG


Meskipun pada beberapa keadaan kelainan kehamilan sudah dapat
dideteksi lebih awal, namun usia kehamilan 18-23 minggu merupakan waktu
yang awal untuk penentuan adanya kelainan kongenital.
Pemeriksaan dilakukan secara sistimatis dengan mencari dan menentukan :
A. Tulang Kepala : Bentuk, ekogenisitas

31
Gambar 1 : Bentuk kepala janin normal dan abnormal/lemon sign
( dikutip dari Krisnadi S R )

32
B. Otak janin : cavum septum pellucidum, ventrikel lateral, diameter
cerebellum, nuchal fold, cisterna magna

33
Gambar 2 : Serebelum, cisterna magna, dan cavum septum pellusidum
( dikutip dari Mose J C )

34
C. Muka
-Hidung, bibir, dan mandibula
-“Nasal bridge”
-Orbita
-Maksila dan palatum

35
36
37
D. Leher : Melihat ada tidaknya massa

E. Tulang belakang : Tulang belakang janin dilihat menurut poros


panjang (sagital), coronal, dan poros pendek (tranversal) dengan tujuan untuk
mengidentifikasi kontinuitas kulit dan konfigurasi elemen tulang (spina bifida,
skoliosis, kyphosis)

38
Gambar 3 : Penampang untuk melihat tulang belakang
( dikutip dari Krisnadi S R 11 )

39
F. Jantung : detak jantung, ritme jantung, situs, 4-chamber view

40
41
G. Rongga dada : bentuk, paru-paru, dan diafragma

42
H. Abdomen : Lambung, hati, ginjal, kandung kencing, insersi tali pusat
Lokasi lambung di bawah diafragma dan di bagian kiri abdomen janin. Hal ini
penting untuk menyingkirkan kelainan situs. Lambung akan diperiksa pada
pemeriksaan biometri janin saat mengidentifikasi lingkaran abdomen. Kadang-
kadang lambung tidak terlihat pada saat pencitraan, akan tetapi apabila
ditunggu, karena janin sering menelan maka suatu saat dalam pencitraan
lambung akan terlihat.

Gambar 4 : Lokasi lambung ( dikutip dari Krisnadi S R )

43
44
45
46
I. Ekstremitas : panjang, jari-jari tangan dan kaki, ekogenisitas, bentuk
dan ukuran.

47
48
49
50
2. Doppler Velosimetri
Doppler adalah suatu prinsip fisika yang menyatakan bahwa apabila suatu
sumber gelombang cahaya atau suara bergerak relatif terhadap pengamat, maka
pengamat akan mendeteksi pergeseran frekwensi gelombang, karena itu apabila
gelombang suara mengenai suatu sasaran bergerak, frekwensi gelombang suara
yang dipantulkan akan bergeser setara dengan kecepatan dan arah sasaran yang

51
bergerak tersebut. Prinsipnya, besar dan arah pergeseran frekwensi yang
dipengaruhi oleh gerakan sasaran dapat ditentukan. Dalam obstetri, prinsip
Doppler ini digunakan untuk menentukan volume dan kecepatan aliran darah
melalui pembuluh ibu dan janin. Dalam hal ini sumber suara adalah transduser
ultrasonik, sasaran yang bergerak adalah sel darah merah yang mengalir
melalui sirkulasi, dan gelombang suara yang dipantulkan diterima oleh
transduser.

Jenis Gelombang Doppler:

1. Gelombang Kontiniu (countinus wave Doppler)


Pada gelombang kontiniu memiliki 2 buah kristal satu menyalurkan
gelombang suara frekwensi tinggi, dan yang lain secara terus menerus
menerima sinyal. Alat ini dapat merekam gelombang frekwensi tinggi dengan
menggunakan output daya yang rendah serta mudah digunakan.
2. Pulsa Doppler (pulsed wave Doppler)
Terdiri dari alat yang hanya menggunakan satu kristal, yang mengeluarkan
sinyal dan kemudian menunggu sampai sinyal balik diterima sebelum
menyalurkan sinyal lain. Jenis ini lebih mahal dan memerlukan daya yang
besar, tetapi pemilihan dan visualisasi pembuluh yang diiinginkan lebih
presisi. Doppler gelombang pulsa dapat digunakan untuk menilai color flow
mapping. Pada perangkat lunak komputer (monitor) akan terlihat darah yang
mengalir menjauhi transduser berwarna biru dan yang mendekati berwarna
merah.
Penggunaan doppler velosimetri dapat menilai keadaan hemodinamik
sirkulasi dalam hal :

1. Pengukuran langsung volume aliran darah


2. Perkiraan tidak langsung kecepatan aliran dengan menggunakan
analisis bentuk gelombang

52
G Gambar 5 : Prinsip gelombang Doppler ( dikutip dari Pribadi A )

Gambar 6 : Gelombang Doppler ( dikutip dari Cunningham )

Aplikasi Klinis Doppler Velosimetri


Doppler velosimetri biasanya digunakan untuk menilai
1. Arteri umbilikalis
2. Duktus arteriosus
3. Arteri serebralis media

53
4. Arteri uterina

Gambar 7 : Penggunaan Doppler pada Arteri Umbilikalis ( dikutip dari


Pribadi A )

3. Nuchal Transluensy (NT)


Nuchal translucency merupakan deskripsi gambar USG dari cairan yang
mengisi rongga antara kulit janin dengan jaringan lunak diatas spina servikalis,
gambaran ini dapat diukur pada kehamilan 10-14 minggu. Akan tetapi saat
yang paling optimal adalah kehamilan 11-13 minggu.

54
Untuk melakukakan pemeriksaan NT ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi sebagai berikut :

1. Ukuran Crown Lumph Length (CRL) antara 45-85 mm

55
2. Potongan sagittal janin harus jelas.

3. Gambaran janin menempati ≥ 75% dari image, pada posisi netral

4. USG mempunyai caliper dengan kemampuan jarak ukuran 0,1mm.

5. Ketebalan maksimum subcutaneous translusensi antar kulit dan


jaringan lunak diatas spina servikalis cukup jelas.

6. Dapat dibedakan antara kulit janin dengan selaput amnion.

Normalnya, ukuran nuchal translucency meningkat bersamaan sesuai


dengan peningkatan ukuran crown – rumph length. Perhitungan ukuran NT
menggambarkan resiko abnormalitas yang terjadi. Semakin tebal ukuran nuchal
translucency, maka semakin tinggi resiko abnormalitas yang terjadi. Begitu
juga sebaliknya, semakin tipis ukuran ketebalan NTnya, maka semakin kecil
resiko yang bisa terjadi.

4. Nasal Bone

Sejumlah penelitian terakhir mengukur tulang hidung (nasal bone)


sebagai metode skrining trisomy 21 pada akhir kehamilan trimester pertama.
Penelitian oleh Cicero dkk melakukan USG pada 1.092 janin usia 11-14
minggu mendapatkan 99,5% janin dengan trisomy 21 dan 18 tidak didapatkan
gambaran tulang hidung, hal ini karena keterlambatan osifikasi. Pemeriksaan
ini membuka kemungkinan menggunakan teknik ini untuk skrining trisomy 21.

5. Pemeriksaan biokimia dalam skrining kehamilan


Pada kehamilan trisomy kadar β-hCG meningkat dan kadar PAPP-A
menurun dibanding kehamilan normal. Setelah kehamilan 13 minggu kadar
PAPP-A tidak dipakai lagi sebagai petanda skrining.

56
Program skrining trimester I dengan menggabungkan umur ibu, β-hCG,
dan PAPP-A dilaporkan mampu mendeteksi trisomy 21 sekitar 60-68%.

Berbeda dengan skrining kehamilan trimester ke dua, petanda biokimiawi


serum yang digunakan untuk skrining trisomy 21 trimester II cukup banyak,
antara lain β-hCG, estriol (E3), dan inhibin A. program skrining saat ini yang
sering dilakukan adalah kombinasi umur ibu dengan beberapa petanda, seperti
double test yang merupakan kombinasi usia, AFP dan hCG yang mempunnyai
kemampuan deteksi sekitar 70%, dan bila skrining double test atau tripel test
digabungkan dengan inhibin A akan meningkatkan kemampuan masing-masing
sebesar 5% -10%.

Kemampuan skrining dengan berbagai kombinasi pada trimester II

PROGRAM SKRINING SE
NSITIFIT
AS

Umur ibu > 35 tahun 30


%

Usia +AFP 37
%

Double test : usia +AFP + hCG 59


%

Triple test : usia+ AFP+ hCG+ E3 68


%

Quadriple test : Usia + AFP +hCG + E3+ inhibin 76


A %

57
Sampai saat ini program skrining biokimia untuk menentukan kelainan
kromosom masih dominan ditunjukkan untuk menentukan adanya trisomy 21
dan telah diketahui bahwa kelainan kromosom akan berdampak pada perubahan
kadar marker-marker tertentu disbanding kehamilan normal.

Pada trisomy 13 dan 18 kadar free β-hCG dan PAPP-A dalam serum
ibu menurun. Pada kelainan kromosom seks kadar free β-hCG normal dan
PAPP-A rendah. Pada triploidy yang diandric (tambahan kromosom dari ayah)
kadar free β-hCG sangat meningkat sementara PAPP-A sedikit menurun.
Skrining dengan kombinasi pemeriksaan NT, free β-hCG dan PAPP-A dapat
mengidentifikasi sekitar 90% dari seluruh kromosom ini dengan screen-positive
rate 1%.

Skrining atau protocol spesifik untuk pemeriksaan aneuploidy lain


sampai saat ini belum ditetapkan, tetapi sebagai data dasar pada keadaan seperti
trisomy 13 berhubungan dengan rendahnya AFP.

SKRINING NEURAL TUBE DEFECTS (NTDs)


Sebelum akhir tahun 1970an belum diketahui cara untuk mendeteksi
kehamilan dengan kelainan NTD sampai kemudian ditemukan bahwa alfa
fetoprotein dalam cairan amnion dan serum ibu merupakan petanda bagi
kehamilan dengan janin menderita kelainan ini.6
Alfa fetoprotein adalah glikoprotein yang diproduksi oleh yolk sac,
beredar dalam sirkulasi janin dan keluar melalui urin ke dalam cairan amnion.
Walaupun fungsinya belum diketahui tetapi alfa fetoprotein (AFP) merupakan
protein serum yang terutama dalam tubuh janin. Kadarnya dalam serum dan
cairan amnion meningkat sampai usia kehamilan 13 minggu kemudian akan
menurun dengan cepat. AFP masuk dalam sirkulasi ibu melalui difusi melewati

58
membran plasenta dan mungkin ditranspor melalui sirkulasi plasenta. Brock
dan Sutcliffe (1972) menemukan peningkatan kadar AFP dalam cairan amnion
dan serum ibu pada kehamilan dengan janin anencephali. Penelitian prospektif
yang pertama mengenai hubungan kadar AFP dalam serum ibu dengan kejadian
NTD dilakukan di Inggris, kemudian dipakai secara luas di Amerika Serikat
dan daratan Eropah.
Pemeriksaan AFP dalam serum ibu biasanya dilakukan pada usia
kehamilan 15-22 minggu, namun sensitivitas yang terbesar pada usia 16-18
minggu. Hasilnya dipengaruhi oleh usia ibu, berat badan, ras, status diabetes
dan jumlah janin. Kadarnya diukur dalam ng/mL dan dilaporkan sebagai
multiple of median (MOM) dari populasi normal. Peningkatan AFP lebih besar
dari atau sama dengan 2.0 sampai 2.5 MOM merupakan indikasi meningkatnya
risiko NTD dan anomali struktur yang lain dan memerlukan pemeriksaan lebih
lanjut.
Bila dengan pemeriksaan USG ditemukan usia kehamilan yang tidak
sesuai maka pemeriksaan AFP diulang. Bila kadar AFP antara 2.5-3.5 MOM
maka sebaiknya diulang, karena daerah antara 2.5 – 3.5 MOM tumpang tindih
antara kadar normal dan yang terkena NTD (lihat gambar 1). Bila kadar AFP >
3.5 MOM tidak perlu diulang lagi karena jelas menandakan ada risiko kelainan
pada janin.

Gambar.1 Kadar AFP dalam serum ibu pada kehamilan tunggal 16 –18
minggu.

59
The American College of Obstetrician and Gynecologists pada tahun
1996 merekomendasikan semua wanita hamil untuk menjalani skrining
maternal serum AFP (MSAFP). Dengan cut off point 2.0 – 2.5 MOM
kebanyakan laboratorium melaporkan hasil skrining positif berkisar 3-5 persen,
dengan sensitivitas 90% dan nilai prediksi positif 2 – 6%. Oleh karena hanya 1
dari 16 – 33 wanita dengan peningkatan AFP yang mempunyai janin dengan
kelainan, maka harus diberikan konseling yang jelas pada ibu mengenai
tingginya angka positif palsu, risiko amniosintesis dan tujuan program skrining.
Pemeriksaan USG dapat mendeteksi kelainan NTD dengan baik. Dalam
telaah terhadap 234 janin spina bifida dari 9 penelitian, Watson dkk (1991)
melaporkan bahwa 99% kasus mempunyai paling sedikit satu dari lima
gambaran spesifik anomali kranial yang terdeteksi dengan pemeriksaan USG.
Gambaran tersebut meliputi : lemon sign, ventriculomegaly, obliterasi cisterna
magna, diameter biparietal yang kecil dan cerebelum yang elongasi (banana
sign).
Kadar AFP dalam cairan amnion diperiksa bila hasil pemeriksaan USG
terhadap ibu dengan peningkatan MSAFP tidak ditemukan adanya kelainan.
Bila kadar AFP dalam cairan amnion meningkat dilakukan pemeriksaan
acetylcholinesterase dalam cairan amnion. Bila acetylcholinesterase meningkat
menandakan adanya paparan terhadap jaringan neural atau ada defek terbuka
yang lain pada janin. Bila kadar AFP cairan amnion meningkat tanpa
peningkatan acetylcholinesterase berarti mungkin ada penyebab lain atau
mungkin karena kontaminasi dari darah janin.
Dengan resolusi USG yang semakin baik maka hampir semua kelainan
NTD dapat terdiagnosis dengan pemeriksaan USG sehingga amniosintesis
untuk karyotype maupun untuk pemeriksaan AFP sudah menjadi hal yang
kontroversial. Pemeriksaan karyotype hanya dilakukan bila kadar AFP dalam
cairan amnion dan serum ibu meningkat tanpa ditemukan adanya kelainan pada
pemeriksaan USG. Bila kadar AFP dalam cairan amnion abnormal maka

60
kemungkinan untuk adanya kelainan kromosom pada janin meningkat lima kali
lipat.
Peningkatan kadar AFP dalam cairan amnion juga dapat ditemukan pada
anomali yang disebabkan oleh multifaktorial seperti omphalocele, gastochisis,
cystic hygroma. Pada keadaan ini acetylcholinesterase dapat meningkat atau
tetap, sedang pada kelainan gen tunggal (mendelian) seperti nefrosis kongenital,
AFP akan meningkat sedang acetylcholinesterase tidak.

6. DNA janin pada sirkulasi ibu

Sel-sel janin yang terdapat dalam darah ibu pada konsentrasi yang sangat
rendah,hanya 2 sampai 6 sel per mililiter dan beberapa sel janin utuh dapat
bertahan dalam sirkulasi maternal selama beberapa dekade setelah persalinan.
Sel-sel janin persisten dapat menyebabkan microchimerism, yang telah terlibat
dalam penyakit autoimun ibu seperti skleroderma, lupus eritematosus sistemik,
dan Hashimoto tiroiditis. Untuk diagnosis prenatal, penggunaan intact fetal
cells terbatas karena konsentrasinya rendah, ketekunan dalam kehamilan
berturut-turut, dan kesulitan dalam membedakan janin dari sel-sel ibu. Cell-free
fetal DNA mengatasi keterbatasan ini.

Cell-free fetal DNA ini dilepaskan dari janin apoptotic placental


trophoblast-dari sel yang sebenarnya, dan dapat terdeteksi dalam darah ibu
setelah usia kehamilan 7 minggu. Ini terdiri dari 3 sampai 6% dari Cell-free
fetal DNA yang beredar dalam plasma ibu, dengan proporsi meningkat sesuai
masa kehamilan. Tidak seperti intact fetal cells, Cell-free fetal DNA
dibersihkan dalam beberapa menit dari darah ibu. Dalam pengaturan penelitian,
Cell-free fetal DNA telah digunakan untuk mendeteksi berbagai kelainan gen
tunggal yang diwariskan melalui alel paternal. Ini termasuk myotonic distrofi,
achondroplasia, penyakit Huntington, hiperplasia adrenal kongenital, cystic

61
fibrosis, dan β-thalassemia. Aplikasi klinis dari Cell-free fetal DNA mencakup
penetapan Rh (CDE) genotipe, penentuan jenis kelamin janin, dan deteksi
trisomi autosom.

Jenis Kelamin Janin

Dari sudut pandang genetic disease, penentuan jenis kelamin janin


mungkin secara klinis berguna jika janin berisiko gangguan gabungan X. Hal
ini juga dapat bermanfaat jika janin berisiko hiperplasia adrenal kongenital
karena terapi kortikosteroid ibu dapat dihindari jika janin laki-laki. Dalam
metaanalisis lebih dari 6000 kehamilan oleh Devaney dan rekan (2011),
sensitivitas Cell-free fetal DNA test untuk menentukan jenis kelamin janin
diperkirakan 95% antara usia kehamilan 7 dan 12 minggu, meningkat 99%
setelah 20 minggu. Uji spesifisitas adalah 99% di kedua periode waktu,
menunjukkan bahwa Cell-free fetal DNA adalah alternative untuk pemeriksaan
invasive pada kasus tertentu.

Free cell DNA

Menggunakan massively parallel sequencing atau chromosome selective


sequencing untuk mengisolasi cell-free fetal DNA dari plasma ibu,
janin dengan sindrom Down dan trisomi autosom lainnya dapat dideteksi dini
pada usia kehamilan 10 minggu.

Penelitian baru-baru ini pada kehamilan berisiko tinggi memiliki


tingkat deteksi yang dihasilkan untuk trisomi 21, 18, dan 13 dari sekitar
98% pada tingkat positif palsu dari 0,5% atau kurang
Teknologi baru ini, sekarang tersedia secara klinis sebagai
skrining tes, tetapi tidak dianggap sebagai pengganti diagnostik
tes. Konseling pretest dianjurkan. Jika tidak normal

62
Hasilnya diidentifikasi, konseling genetik harus dilakukan,
dan tes diagnostik invasif prenatal harus dianjurkan untuk
mengkonfirmasi hasil. The American College of Obstetricians dan
Ginekolog (2012) saat ini merekomendasikan pemeriksaan ini dianjurkan pada
kelompok berikut :

 Wanita 35 tahun atau lebih tua saat melahirkan\

 Wanita dengan temuan sonografi menunjukkan peningkatan risiko


aneuploidy janin

 Wanita dengan kehamilan sebelumnya rumit karena trisomi 21,


18, atau 13.

 Pasien atau pasangan membawa translokasi robertsonian


seimbang mengindikasikan peningkatan risiko trisomi janin 21
atau 13

 Wanita dengan abnormal pertama, kedua, atau gabungan firstand


trimester kedua hasil tes skrining untuk aneuploidi.
The College tidak merekomendasikan pemeriksaan ini untuk
wanita dengan kehamilan berisiko rendah atau kehamilan
multifetal.

63
BAB III
KESIMPULAN

Diagnosis prenatal adalah ilmu dan seni untuk mengidentifikasi kelainan


struktur dan fungsi pada perkembangan janin. Sekitar 2-3% bayi baru lahir
mempunyai masalah dengan kelainan kongenital mayor yang ditemukan pada
saat lahir. Kelainan kongenital mayor merupakan salah satu penyebab utama
kematian neonatus, dan kelainan genetik merupakan empat besar kasus rawat
inap di bagian anak.
Banyak kelainan pada janin dapat diidentifikasi saat prenatal dan
kemajuan teknologi dalam bidang kesehatan telah memungkinkan untuk
melakukan pengobatan prenatal, sehingga saat ini diagnosis prenatal merupakan
jembatan penting antara obstetri dan pediatrik. Cacat bawaan ini mempunyai
dampak besar pada kesehatan populasi anak dan muncul sebagai penyebab
utama kematian neonatal. Dengan semakin meningkatnya kualitas
pelayanan ante dan intrapartum maka kejadian kematian perinatal akan
semakin menurun pula, namun angka kejadian cacat bawaan sebagai
penyebab kematian perinatal cenderung meningkat. Karena itu upaya
pencegahan kejadian cacat bawaan termasuk deteksi dini pada masa prenatal
perlu dikembangkan
Metode yang tersedia untuk mendeteksi kelainan-kelainan genetic dapat
dilakukan melalui 2 cara yaitu metode diagnostik invasif yang lain meliputi
pemeriksaan Amniosintesis, villi korialis (CVS), pemeriksaan darah janin
(FBS) dan biopsi janin untuk indikasi yang spesifik dan metode diagnostik
Non- Invasif yang meliputi pemeriksaan Ultrasonografi (USG), Dopler
Velosimetri, Nuchal Transluensy (NT),Nasal Bone, pemeriksaan biokimia dan
pemeriksaan DNA janin dalam sirkulasi Maternal. Tiap prosedur invasif dan
Non Invasif ini mempunyai keuntungan dan kerugian yang perlu
dipertimbangkan saat menawarkan pemeriksaan diagnosis prenatal.

64
DAFTAR PUSTAKA

1 Ahuja T A, Griffith J F, Paunipagar B K, Wong K T, Kennedy A, Antonio G


E et al. Female Pelvis. In. Diagnostic Imaging Ultrasound. Canada. Amirsys
2007.
2 Chuldleigh T, Thilaganathan B, Physics and Instrumentation. In. Obstetric
Ultrasound, How, Why, and When. New York. Elseiver Churchill
Livingstone. 2004.
3 Cunningham F.G, Leveno K.J, Bloom S.L, Hauth J.C, Gilstrap III L.C,
Wenstrom K.D. Ultrasonography and Doppler. In. Williams obstetrics, 22nd
ed. New York: McGraw-Hill, 2005.
4 Fredouille C, Morice J E. The Physical Principles of Ultrasound as Applied
to Fetal Ultrasound. In. Fetal Heart Ultrasound, How, Why, and When 3 Step
and 10 Keys Point. New York. Elseiver Churchill Livingstone. 2007.
5 Holzgreve W, Miny P. Chorionic villus sampling and placental biopsy. In:
James D, Steer P, Weiner C, Gonik B, editors. High risk pregnancy
management option. 2 nd ed. New York: W.B Saunders; 2000.
6 Jenkins T, Wapner R. Prenatal diagnosis of congenital disorders. In: Creasy
R, Resnik R, Iams J, editors. Maternal fetal medicine. 5 th ed. Philadelphia:
WB. Saunders; 2004.
7 Krisnadi S.R. Prinsip-prinsip Pemeriksaan Sonografi Anatomi Fetus. In:
Mose J.C, Sabantdin U, Effendi J.S, Pribadi A, eds. Buku ajar USG dasar
obstetri dan ginekologi. Bandung, November 2006.
8 Mose J.C. Peran USG Pada Deteksi Dini Cacat Bawaan. dalam:
Mose J.C, Sabarudin U, Effendi J.S, Pribadi A, editor. Buku Ajar USG
Dasar Obstetri dan Ginekologi. Bandung, November 2006.
9 Overton T, Fisk N. Amniocentesis. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B,
editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York: W.B
Saunders; 2000.

65
10 Pribadi A. Fisika Dasar Ultrasonografi dalam: Mose J.C, Sabarudin
U, Effendi J.S, Pribadi A, editor. Buku Ajar USG Dasar Obstetri dan
Ginekologi. Bandung, November 2006.
11 Price R R, Fleischer A C, Abuhamad A Z. Sonographic Intrumentation and
Operational Concerns. In. Fleischer A C, Manning F A, Jeanty P, Romero R
editors. Sonography in Obstetrics and Gynecology (principles and practice)
6th ed. New York. McGraw-Hill. 2001.
12 Rodeck C, Pandya P. Prenatal diagnosis of fetal abnormalities. In:
Chamberlain G, Steer P, Breat G, Chang A, Johnson M, Neilson J, editors.
Turnbull's obstetrics. 3 rd ed. London: Churchill Livingstone; 2001.

13 Rossiter J, Blakemore K. Fetal genetic disorders. In: Winn H, Hobbins J,


editors. Clinical maternal-fetal medicine. 1 st ed. New York: Parthenon
Publishing Group; 2000.

14 Simpson J L. Choosing the Best Prenatal Screening Protocol. In. The New
England Journal of Medicine. Cited on August 22, 2007. Avaliable from :
www.nejm.org.pdf
15 Thilaganathan B, Sairam B, Papageorghiou A T, Bhide A. Absent Nasal
Bones. In. Problem-based Obstetric Ultrasound. London, Informa Healthcare.
2007.
16 Soothill P. Fetal blood sampling before labor. In: James D, Steer P, Weiner C,
Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New
York: W.B Saunders; 2000.

17 Woodward P J, Kennedy K, Sohaey R, Byrne J L, Oh K Y, Puchalski M D.


Normal Early Pregnancy and Imaging. In. Diagnostic Imaging Obstetrics 1st
Ed. Canada. Amirsys. 2005.

66

Anda mungkin juga menyukai