Anda di halaman 1dari 24

Diagnosis prenatal

Nama Kelompok

Sisca arina

arnilis
VISI

“Menghasilkan Lulusan Bidan yang berkarakter islami, Inovatif serta Unggul dalam Upaya
Promotif dan Mampu Memberikan Asuhan Persalinan secara Gentle Birth pada Tahun
2025”

MISI

1. Melaksanakan pendidikan dan pengajaran berdasarkan pada kurikulum perguruan tinggi


melalui strategi pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan terkini kebidanan
berdasarkan Etik Keprofesian dan nilai-nilai Islam.
2. Memajukan Program Studi Profesi Bidan sebagai institusi akademik dan profesi yang
unggul di tingkat lokal, regional dan nasional.
3. Meningkatkan kompetensi lulusan dalam pengaplikasian inovasi pelayanan kebidanan,
upaya promotif dan asuhan persalinan secara gentle birth berlandaskan nilai-nilai islami.
4. Melakukan penelitian, pengkajian dan pengembangan keilmuan tentang metode gentle
birth yang digunakan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan bayi di masyarakat.
5. Menyelenggarakan dan mengembangkan pengabdian kepada masyarakat berdasarkan
hasil penelitian yang tepat guna dalam pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, Yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan paper gentle brith evidence dalam Praktik Kebidanan.
Paper ini pembelajaran ini membahas tentang diagnosis prenatal
Dengan disusunnya paper ini pembelajaran ini diharapkan menjadi bahan kajian dalam
pembelajaran mata kuliah Komunikasi Efektif dalam Praktik Kebidanan sehingga
pembelajaran menjadi lebih terstuktur dan dinamis dan memudahkan mahasiswa dalam
memahami topik pembelajaran.
Penulis menyadari bahwa paper ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi
kesempurnaan paper ini.
Kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan paper ini, penulis
banyak mengucapkan banyak terimakasih. Semoga modul ini dapat bermanfaat.

Penulis

2
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejadian kelainan bawaan mayor pada saat lahir berkisar antara 2-3%, dan
kelainan bawaan ini sangat mempengaruhi tingginya angka kematian neonatal di
rumah sakit.
Pada saat ini di negara-negara maju sebagian besar pertanyaan tentang kondisi
janin sudah dapat terjawab dengan makin majunya teknologi ultrasonografi dan
laboratorium, sedangkan kekhawatiran tentang kondisi ibu sudah dapat dikurangi
dengan pemberian pelayanaan kebidanan yang adekuat. Sekarang orang lebih
takut untuk melakukan pemeriksaan diagnosis pranatal karena merasa tidak siap
untuk membuat keputusan bila hasil pemantauanya menunjukkan adanya keadaan
yang tidak diinginkan.
Istilah prenatal diagnostik ialah berbagai teknik dan prosedur yang dilakukan
selama kehamilan untuk mengidentifikasi adanya abnormalitas pada struktur dan
fungsi organ pada janin yang sedang tumbuh. Srining prenatal bertujuan untuk
mengetahui apakah janin mempunyai resiko mengalami kelainan genetik atau
kelainan kongenital tertentu, sedangkan diagnosis prenatal bertujuan untuk
mengetahui secara pasti bahwa janin tersebut benar-benar mengalami kelainan
genetik atau kelainan bawaan tertentu.
Diagnosis prenatal seharusnya dilakukan pada keadaan berikut, bila kehamilan
mempunyai resiko yang mengakibatkan kelainan bawaan pada janinnya, mencari
adanya kelainan bawaan yang paling sering terjadi pada janin meskipun tidak jelas
adanya factor resiko, mencari adanya gangguan struktual ataupun pertumbuhan
pada janin.
B. Tujuan
a. Mampu memahami tentang diagnosis prenatal.

3
BAB II TINJAUAN TEORI

A. Diagnosis prenatal
1. Definisi
Diagnosis prenatal adalah teknik diagnostik untuk menentukan kondisi
fetus yang belum lahir apakah memiliki kelainan genetik ataupun kelainan
lainnya. Teknik ini umumnya dilakukan pada penyakit genetik yang tidak
dapat diobati di mana terminasi menjadi bahan pertimbangan. Teknik ini juga
dilakukan pada kasus yang memerlukan penanganan segera pada saat prenatal
dan pada kondisi yang dapat menimbulkan morbiditas atau mortalitas pada
ibu. Diagnosis prenatal dapat dilakukan melalui metode invasif dan
noninvasif. Metode invasif seperti amniocentesis dan biopsi villi korialis
(CVS) memiliki resiko menimbulkan kecacatan bahkan kematian fetus.
Pendekatan nonivasif melalui ultrasonografi belum cukup akurat untuk
diagnosis penyakit genetik, sehingga masih memerlukan pengambilan sampel
fetus untuk menegakkan diagnosis. Pendekatan terbaru pengambilan sampel
fetus secara noninvasif dilakukan melalui pengambilan sel fetus, DNA dan
mRNA fetus yang terdapat dalam sirkulasi darah maternal. Pada artikel ini
dipaparkan mengenai perkembangan riset, kendala, serta potensi aplikasi
klinis ketiga metode pengambilan sampel fetus tersebut.
2. Indikasi prenatal diagnostic
Alasan utama untuk melakukan diagnosis prenatal adalah faktor usia maternal
(>35 tahun), abnormalitas maternal serum alfa fetoprotein (MSAFP) dan hasil
skrining test lain yang positif. Secara singkat indikasi untuk diagnosis
prenatal adalah sebagai berikut :
1. Kehamilan tunggal dengan usia ≥ 35 tahun saat pelahiran Wanita yang
berusia lebih dari 35 tahun perlu ditawarkan untuk menjalani pemeriksaan
diagnosis prenatal karena pada usia 35 tahun insidens trisomi mulai
meningkat dengan cepat. Hal ini berhubungan dengan non-disjunction
pada miosis. Pada usia 35 tahun kemungkinan untuk mendapat bayi lahir
hidup dengan kelainan kromosom adalah 1:192, sehingga ada beberapa
ahli yang menawarkan diagnosis prenatal pada usia 33 tahun namun hal
ini belum menjadi konsensus.
2. Kehamilan kembar dizigotik dengan usia ≥ 31 tahun pada saat pelahiran
Dengan dua janin, hukum probabilitas menyebutkan bahwa kesempatan
salah satu atau keduanya akan merita sindrom Down lebih besar
dibandingkan bila hanya ada satu janin. Risiko trisomi 21 pada kehamilan
kembar harus dihitung setelah mempertimbangkan risiko sindrom Down
yang terkait usia ibu.
3. Riwayat kelahiran trisomi autosomal
Wanita yang sekurang-kurangnnya pernah sekali hamil trisomi
mempunyai risiko kirakira 1 persen untuk mengalami kehamilan trisomi
autosom yang sama atau berbeda. Hal ini berlaku sampai risiko terkait
umur mereka mencapai lebih dari 1 persen, yaitu pada saat risiko yang
lebih itnggi mendominasi.
4. Riwayat kehamilan 47,XXX atau 47,XXY
Wanita yang anak sebelumnya menderita 47,XXY tidak beresiko tinggi
untuk mengalami kembali kehamilan ini, karena kromosom ekstra pada
situasi ini berasal dari ayah, dan kesalahan dari ayah peluangnya kecil
untuk berulang. Sama halnya dengan 45,X mempunyai resiko sangat
rendah untuk berulang.
5. Pasien atau pasangan adalah pembawa sifat translokasi kromosom Untuk
sebagian besar translokasi, risiko anak lahir hidup abnormal yang diamati
lebih kecil dari pada resiko teoritisnya, karena sebagian gamet
menghasilkan konseptus yang tidak mampu bertahan hidup.
6. Pasien atau pasangan adalah pembawa sifat inversi kromosom Risiko
setiap pembawa sifat ditentukan oleh metode penetapannya, kromosom
yang terlibat, dan besarnya inversi, sehingga harus ditetapkan secara
individu.
7. Riwayat triploidi
Lebih dari 99 persen konseptus triploid gugur pada trimester pertama atau
kedua awal. Jarang sekali janin yang berkembang. Jika triploid yang
terjadi pada janin bertahan melewati trimester pertama, risiko
pengukangan adalah 1 sampai 1,5 persen, cukup untuk menguatkan
diagnosis prenatal.
8. Beberapa kasus keguguran berulang
Beberapa keguguran dini berulang akibat aneuploidi cenderung
disebabkan oleh inversi atau translokasi pada ibu atau ayahnya.
Aneuploidi nontrisomik ini akan meningkatkan resiko mengalami
kehamilan selanjutnya dengan kariotipik yang sama. Hal ini
membenarkan dilakukannya diagnostik prenatal pada kehamilan-
kehamilan berikutnya jika tidak terjadi keguguran dini. Dengan melihat
fakta- fakta ini, penentuan kariotipe pada orang tua dan bukannya
kariotipe jaringan abortus setelah keguguran dini berulang dapat
memberikan informasi yang amat berguna mengenai risiko pengulangan.
9. Pasien atau pasangan mempunyai aneuploidy Wanita trisomi 21 atau 47,
XXX serta laki-laki 47,XYY biasanya fertil dan mempunyai 30 persen
resiko mempunyai keturunan trisomi.
10. Defek struktural mayor janin pada pemeriksaan ultrasonografi Kondisi ini
cukuo meningkatkan resiko aneuploidi sehingga mengharuskan
pemeriksaan genetik pada janin, tanpa memandang umur ibu atau
kariotipe orang tua.
Wanita yang berusia lebih dari 35 tahun perlu ditawarkan untuk
menjalani pemeriksaan diagnosis prenatal karena pada usia 35 tahun
insidens trisomi mulai meningkat dengan cepat. Hal ini berhubungan
dengan non-disjunction pada miosis ibu. Pada usia 35 tahun kemungkinan
untuk mendapat bayi lahir hidup dengan kelainan kromosom adalah
1:192, sehingga ada beberapa ahli yang menawarkan diagnosis prenatal
pada usia 33 tahun namun hal ini belum menjadi konsensus.
Pasangan yang pernah mempunyai anak trisomi mempunyai
kemungkinan rekurens sebesar 1% sehingga perlu ditawari untuk
diagnosis prenatal. Saudara kandung dan keluarga dekat (tingkat kedua)
dari penderita sindroma Down juga mempunyai sedikit peningkatan risiko
untuk mendapat keturunan yang menderita sindroma Down, namun
banyak penelitian yang tidak menemukan peningkatan insiden sindroma
Down dalam keluarga pada tingkat kedua dan ketiga.
Translokasi dan rearrangement struktur kromosom yang lain
merupakan predisposisi untuk mendapat keturunan dengan kelainan
kromosom. Pasangan yang salah satu partnernya adalah karier translokasi
berimbang resiprocal mempunyai risiko tinggi untuk mendapat abortus
berulang. Diagnosis prenatal pada keturunannya menemukan hampir 10-
12% dengan translokasi kromosom yang tidak berimbang. Turunan dari
penderita karier translokasi Robertsonian berisiko untuk mendapat
turunan dengan trisomi dan monosomi, bahkan pada karier translokasi
robertsonian 21-21 seluruh keturunannya diprediksi akan menjadi trisomy
atau monosomi (lethal) kromosom 21.
Riwayat keluarga dengan defek gen tunggal, yang memerlukan
diagnosis prenatal tergantung dari banyak faktor, seperti berapa jauh
hubungan kekerabatan antara anggota keluarga yang sakit dengan
individu yang meminta konseling, demikian juga halnya frekuensi dari
penyakit tersebut dalam populasi. Pasangan keluarga yang mempunyai
anak dengan kelanan gen, akan mempunyai risiko berulang, tetapi risiko
ini akan menurun dengan bertambah jauhnya jarak dengan individu yang
berisiko. Sebagai contoh orang tua dengan anak kelainan autosomal
resesif mempunyai risiko kelainan berulang 25% setiap kehamilannya,
sebaliknya keturunan dari saudara kandungnya mempunyai risiko 2/3 x
risiko bila partnernya karier (frekuensi karier dalam populasi bila tidak
ada riwayat dalam keluarga) x risiko untuk mendapat keturunan yang
sakit bila kedua orang tuanya karier (1/4). Untuk penyakit kistik fibrosis
dengan frekuensi karier dikalangan kaukasian Amerika adalah 1 dari 25,
maka risiko untuk saudara kandung yang tidak sakit dari penderita kistik
fibrosis adalah: 2/3 X 25 X . = 1/150.Skrining karier saat ini telah
digunakan secara luas terhadap beberapa penyakit resesif, seperti sickle
cell anemia, penyakit Tay-Sachs dan terakhir penyakit Canavan.
3. Diagnosis prenatal noninvasive
1. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
USG adalah prosedur noninvasif untuk pencitraan anatomi janin. Hal ini
tidak berbahaya untuk janin dan ibu. USG dapat mengevaluasi usia
kehamilan, serta mengidentifikasi kembar, posisi janin, letak plasenta,
pertumbuhan janin, perkembangan, dan gerakan, dan setiap cacat lahir
structural, dapat menilai volume cairan ketuban.
Banyak sistem organ janin dan lesi anatomi, termasuk beberapa
kelainan genitourinari, pencernaan, tulang, dan sistem saraf pusat dan
kardiopati bawaan, bisa divisualisasikan oleh USG kehamilan antara 16-
20 minggu. Dengan USG dapat dideteksi katarak bawaan pada janin yang
belum lahir dengan trisomi 21. USG juga digunakan untuk memandu
pengambilan sampel invasif, seperti amniosentesis, CVS, kordosentesis,
dan biopsi janin. Spina bifida dapat dideteksi di awal kehamilan dengan
diameter biparietal (BPD) pada USG. BPD lebih rendah pada bayi dengan
spina bifida. Setengah dari cacat bawaan bisa dideteksi oleh modalitas ini
Dengan semakin baiknya resolusi dan sensitifitas pemeriksaan dengan
USG, maka telah terjadi peningkatan penggunaan USG untuk diagnosis
prenatal dalam mememukan abnormalitas morfologi janin terutama
setelah 18 minggu, dengan penggunaan transduser transvaginal
memungkinkan deteksi abnormalitas morfologi janin mulai kehamilan 13
minggu. Informasi yang dapat diperoleh dari pemeriksaan ultrasonografi
antenatal meliputi :
1. Konfirmasi kehidupan janin
2. Penentuan umur kehamilan yang akurat
3. Diagnosis kehamilan ganda dan penentuan korionisitas
4. Deteksi anomali pada janin
5. Pemantauan pertubuhan janin
6. Penilaian kesejahteraan janin
7. Penentuan lokasi plasenta dan tepinya
8. Pemantauan real time untuk prosedur invasive
9. Deteksi kelainan uterus dan adneksa
RCOG pada tahun 1997 membuat rekomendasi untuk pemakaian USG
sebagai berikut :
1. Skrining universal lebih dapat dipercaya untuk menentukan kelainan
pada janin disbanding dengan pemeriksaan scanning selektif.
2. Skrining kelainan pada janin menurunkan angka kematian perinatal
karena mampumengidentifikasi kelainan dan melakukan terminasi
kehamilan.
3. Berdasarkan bukti terkini, scanning pada usia kehamilan 18-20 minggu
merupakan metode yang paling efektif untuk mendeteksi kelainan pada
janin.
4. Walaupun tidak memerlukan persetujuan tertulis sebelum pemeriksaan
namun wanita perlu diberi kesempatan untuk memilih apakah mau
diperiksa. Harus tersedia informasi tertulis dan lisan sebelum
pemeriksaan. Ketetapan mengenai konseling dan informasi yang
memadai harus merupakan bagian dari program skrining.
5. Bila terdeteksi adannya suatu kelainan maka harus diskusi mengenai
dampaknya. Orang tua mendapat manfaat dari diskusi yang melibatkan
ahli lain selain ultrasonografer dan spesialis kebidanan seperti ahli
anak, ahli genetik dan ahli bedah anak.
6. Pemeriksaan ultrasonografi hanya dilakukan oleh tenaga yang sudah
terlatih. Pemeriksaan skrining rutin harus dilakukan dengan dengan
menggunakan protokol atau daftar tilik yang telah disetujui.
Diagnosis kelainan janin dilakukan dengan tiga cara yaitu :
1. Dengan visualisasi langsung dari defek struktural, misalnya tidak
adanya tulang tengkorak pada anencephali.
2. Dengan menunjukkan disproporsi ukuran atau pertumbuhan dari
bagian tubuh tertentu pada janin misalnya, anggota gerak yang pendek
pada dwarfism.
3. Dengan mengenali dampak dari anomali terhadap organ yang
berdekatan, misalnya adanya katup pada uretra posterior terdiagnosis
dengan adanya dilatasi pada saluran ginjal.
RCOG merekomendasikan program pemeriksaan dua tahap; pertama pada
saat ibu mendaftar dan pemeriksaan kedua pada sekitar atau saat
kehamilan 20 minggu, minimal pada kehamilan 20 minggu. Bila
ditemukan adanya kelainan maka harus dirujuk untuk diperiksa oleh
tenaga yang terampil untuk pemeriksaan yang lebih rinci dan menentukan
penanganan selanjutnya yang sesuai. Keputusan penanganan harus
dilakukan dengan mendapat masukan dari tim dengan keahlian yang
multidisplin. Orang tua harus terlibat langsung dan mendapat informasi
yang memadai untuk mengambil keputusan.
Beberapa anomali yang banyak ditemukan antara lain : defek pada
jantung, defek dinding perut, kelainan SSP, kelainan gastro intestinal,
kelainan ginjal dan nuchaltranslucency. Kelainan ini dapat tersendiri atau
berhubungan dengan anomali kromosom atau bagian dari sindroma
mendelian. Dengan demikian pemeriksan dengan USG akan memberikan
manfaat yang besar.
Standar RCOG untuk pemeriksaan USG pada kehamilan 20 minggu
adalah sebagai berikut :
1. Umur kehamilan : dengan mengukur diameter biparietal (BPD),
lingkar kepala (HC) dan panjang femur (FL)
2. Bentuk kepala dan struktur di dalamnya : midline echo, kavum
pellucidum, cerebellum, ukuran ventrikel dan atrium (< 10 mm)
3. Spina : longitudinal dan transversal
4. Bentuk abdomen dan isinya ( setinggi lambung)
5. Bentuk abdomen dan isinya (setinggi umbilikus)
6. Pelvis ginjal (jarak anterior-posterior < 5 mm)
7. Aksis longitudinal : tampak toraks – abdominal (diafragma / buli-buli)
8. Toraks (setinggi 4 chamber view)
9. Lengan – 3 tulang dan tangan (tidak termasuk jari-jari)
10. Tungkai – 3 tulang dan kaki (tidak termasuk jari-jari)
11. Optional : pembuluh darah yang keluar dari jantung, muka dan bibir.
2. Ekokardiografi janin
Ekokardiografi janin dapat dilakukan pada usia kehamilan 15 minggu dan
seterusnya. Bila teknik ini digunakan dengan duplex atau warna aliran
Doppler, dapat mengidentifikasi sejumlah besar cacat jantung struktural
dan gangguan irama. Ekokardiagrafi janin dianjurkan dalam kasus di
mana cacat jantung dicurigai.
4. Diagnosis Prenatal minimal invasive
a. Alpha feto protein
Janin yang sedang berkembang memiliki 2 protein darah utama,
albumin dan alpha feto protein (AFP), sementara orang dewasa hanya
memiliki albumin dalam darah mereka. Tingkat MSAFP (maternal serum
alfa feto protein) dapat digunakan untuk menentukan tingkat AFP dari
janin. Nilai normal MSAFP adalah 0.5-2.5 MoM (Multiple of Median).
MSAFP meningkat pada NTD (neural tube defect), misalnya anensefali,
spina bifida, juga dapat meningkat pada cacat dinding perut janin. Namun
MSAFP juga dapat meningkat sesuai usia kehamilan, pada diabetes
gestasional, kembar, kehamilan dengan komplikasi perdarahan, dan dalam
hubungannya dengan hambatan pertumbuhan dalam kandungan.
Tes MSAFP memiliki sensitifitas terbesar antara 16-18 minggu
kehamilan, tetapi juga dapat dilakukan antara 15-22 minggu kehamilan.
Kombinasi dari tes MSAFP dan USG mendeteksi hampir semua kasus
anensefali dan sebagian besar kasus spina bifida. Juga, NTD dapat
dibedakan dari cacat janin lainnya, seperti cacat dinding perut, dengan
menggunakan tes acetylcholinesterase dilakukan pada cairan ketuban yang
diperoleh dari amniosentesis. Jika acetylcholinesterase meningkat bersama
dengan MSAFP hal ini menunjukkan terjadinya NTD. Sebaliknya jika
kadar MSAFP rendah, hal ini menunjukkan terjadinya sindrom Down
(ditambah dengan kadar estriol serum ibu yang rendah, juga kadar β-HCG
yang tinggi) atau aneuploidi kromosom lainnya atau gagalnya suatu
kehamilan
a. Maternal Serum Beta-HCG
Tes ini paling sering digunakan sebagai tes untuk kehamilan. Dimulai
pada sekitar seminggu setelah pembuahan dan implantasi embrio ke
dalam rahim, trofoblas akan menghasilkan cukup beta-HCG untuk
mendiagnosis kehamilan. Jadi, pada saat pertama kali menstruasi
luput, beta-HCG akan sudah cukup untuk tes kehamilan positif. Beta-
HCG juga dapat diukur dalam serum dari darah ibu, dan ini dapat
berguna di awal kehamilan ketika terancam aborsi atau kehamilan
ektopik dicurigai, karena jumlah beta-HCG akan lebih rendah dari
yang diharapkan.3,4 Kemudian pada kehamilan, di tengah sampai
akhir trimester kedua, beta-HCG dapat digunakan bersama MSAFP
untuk skrining kelainan kromosom, dan sindrom down pada
khususnya. Sebuah beta-HCG tinggi dibarengi dengan penurunan
MSAFP menunjukkan Sindrom Down. Tingkat HCG yang tinggi
mengindikasikan adanya penyakit Tropoblastic ( kehamilan molar ).
Tidak adanya bayi saat di USG disertai HCG yang tinggi
mengindikasikan mola hidatidosa, Kadar HCG juga bisa digunakan
untuk follow up perawatan pada kehamilan molar untuk memastikan
tidak adanya penyakit trophoblastikm seperti kariokarsinoma.
b. Serum estriol maternal (uE3)
Jumlah estriol dalam serum ibu bergantung pada kelayakan
janin, sebuah plasenta berfungsi dengan benar, dan keadaan ibu.
Substrat untuk estriol dimulai sebagai dehydroepiandrosterone
( DHEA ) yang dibuat oleh kelenjar adrenal janin. Ini dimetabolisme
lebih lanjut di dalam plasenta menjadi estriol. Estriol masuk ke
sirkulasi ibu dan dieksresi oleh ginjal dalam air seni ibu atau oleh hati
ibu dalam empedu. Pengukuran tingkat estriol serial pada trimester
ketiga akan memberikan indikasi umum kesejahteraan janin. Jika
tingkat estriol turun, maka janin terancam dan emergency mungkin
diperlukan. Estriol cenderung lebih rendah bila Sindrom Down hadir
dan juga adanya adrenal hypoplasia dengan anencephaly.
c. Inhibin-A
Inhibin disekresi oleh plasenta dan korpus liteum. Inhibin-A
dapat diukur dalam serum ibu. Tingkat peningkatan inhibin-A adalah
dikaitkan dengan peningkatan risiko untuk trisomi 21. Inhibin-A
tinggi dapat berhubungan dengan risiko kelahiran premature.
d. Pregnancy-associated plasma protein A (PAPP-A)
Rendahnya tingkat PAPP-A sebagai diukur dalam serum ibu
trimester pertama dapat berhubungan dengan anomali kromosom janin
termasuk trisomies 13,18, dan 21. Selain itu, kadar PAPP-A pada
trimester pertama dapat memprediksi hasil kehamilan yang
merugikan, termasuk small for gestational age ( SGA ) atau lahir mati.
PAPP-A tinggi dapat memprediksi large of gestational age (LGA)
baby.
5. Diagnosis prenatal infasif
Dengan makin meluasnya indikasi untuk melakukan diagnosis prenatal
maka metode yang tersedia untuk mendeteksi kelainan-kelainan genetik juga
meningkat dengan cepat. Selain amniosintesis, metode diagnostik invasive
yang lain meliputi pemeriksaan villi korialis (CVS), pemeriksaan darah janin
(FBS) dan biopsi janin untuk indikasi yang spesifik. Sampel yang diperoleh
dengan metode ini digunakan untuk analisis sitogenetik (karyotipe dan
FISH), diagnosis DNA molekuker (deteksi mutasi langsung, lingkage
analysis) dan atau evalusi biokimia, tergantung pada apa yang diinginkan.
Tiap prosedur invasif ini mempunyai keuntungan dan kerugian yang perlu
dipertimbangkan saat menawarkan pemeriksaan diagnosis prenatal.
1. Amniosintesis midsemester
Amniosintesis adalah tindakan mengeluarkan cairan amnion yang
mengandung sel-sel janin dan unsur biokimia dari rongga amnion. Pertama
kali dilakukan pada tahun 1880 untuk dekompresi polihidramnion. Pada
tahun 1950 amniosintesis menjadi alat diagnostik ketika mulai dilakukan
pengukuran kadar bilirubin dalam cairan amnion untuk memantau
isoimunisasi rhesus.
Amniosintesis untuk deteksi kelainan kromosom prenatal pertama
kalidilaporkan pada tahun 1967. Sejak itu amniosintesis diterima secara
luas menjadi metode untuk diagnosis prenatal untuk kelainan kromosom,
penyakit-penyakit yang diturunkan, dan beberapa infeksi kongenital.5
Indikasi utama untuk tindakan amniosintesis adalah pemeriksaan
karyotype janin. Selsel dalam cairan amnion berasal dari kulit janin yang
mengalami deskuamasi dan dikeluarkan dari saluran gastrointestinal,
urogenital, saluran pernafasan dan amnion. Sel-sel ini dipersiapkan untuk
analisis pada tahap metafase maupun untuk pemeriksaan FISH. Namun
laboratorium lebih senang bila mendapat sampel dari darah atau villi
korialis karena banyak mengandung DNA yang diperlukan untuk kultur.
Dahulu cairan amnion juga dipakai untuk pemeriksaan kadar enzym
untuk menentukan adanya gangguan metabolisme dan analisis metabolit
untuk mendeteksi penyakit kistik fibrosis, namun saat ini telah digantikan
dengan pemeriksaan yang lebih akurat yaitu dengan pemeriksaan mutasi
DNA yang bertanggung jawab tehadap kondisi ini.
Amniosintesis midtrimester untuk pemeriksaan genetik umumnya
dilakukan pada usia kehamilan antara 15-18 minggu. Pada saat itu jumlah
air ketuban sudah memadai (sekitar 150 ml) dan perbandingan antara sel
yang viable dan non viable mencapai rasio terbesar.Sebelum amniosintesis
terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan USG untuk menentukan jumlah
janin, konfirmasi usia kehamilan, memastikan viabilitas janin, deteksi
anomali pada janin dan menentukan lokasi plasenta dan insersi tali pusat
serta memperkirakan jumlah air ketuban. Dilakukan tindakan antisepsis
pada kulit perut ibu dan operator memakai sarung tangan steril. Dengan
tuntunan USG, tusukkan jarum ukuran 20-22 pada kantong amnion yang
tidak berisi bagian kecil janin atau tali pusat. Sebaiknya dilakukan pada
daerah fundus untuk mengurangi risiko robekan selaput ketuban, dan
sedapat mungkin menghindari daerah plasenta. Bila terpaksa harus
melakukan tusukan pada daerah plasenta sebaiknya dibantu dengan color
doppler untuk mengidentifikasi pembuluh darah dan lakukan tusukan
pada daerah yang paling tipis jauh dari tepi plasenta. Prosedur ini biasanya
tidak memerlukan anestesi lokal.
Dapat dilakukan dengan teknik “free hand” dimana tangan operator
yang satu memegang tranduser dan tangan lainnya memegang jarum, atau
dapat dipasang pengantar jarum pada tranduser. Cara ini mempunyai
keuntungan karena dapat menghindari gerakan jarum ke arah lateral yang
dapat meningkatkan ukuran tusukan jarum. Cairan amnion yang pertama
diaspirasi dibuang sebanyak 1-2 ml untuk menghindari kontaminasi
dengan sel-sel maternal. Dilakukan aspirasi cairan amnion sebanyak 15 ml
ke dalam tabung untuk analisa sitogenetika.
Bila pada kesempatan pertama gagal untuk mengaspirasi cairan maka
dapat dilakukan pada lokasi lain setelah terlebih dahulu menilai kembali
keadaan janin dan letak plasenta. Tenting pada selaput ketuban atau
kontraksi uterus sering menjadi penyebab kegagalan. Bila tindakan kedua
gagal maka tunda tindakan amniosintesis untuk beberapa hari kemudian,
jangan melakukan dua kali tindakan pada satu kesempatan yang sama.
Walaupun dengan pengalaman selama kurang lebih tiga dekade dengan
amniosintesis midtrimester namun masih sulit untuk menentukan risiko
prosedur ini yang berhubungan dengan abortus. Pada penelitian prospektif,
multisenter yang luas diperkirakan risiko abortus berkisar 0,5 – 1%. Selain
abortus risiko lain pada janin dan ibu juga perlu untuk dipertimbangkan.
Sudah ada laporan mengenai terjadinya scar pada tubuh janin akibat
tusukan jarum namun jarang terjadi. Amniosintesis yang dilakukan dengan
tuntunan USG dapat mengurangi risiko tersebut dan juga risiko perlukaan
yang lain. Komplikasi lain dari amniosintesis midtrimester meliputi
korioamnionitis, robekan selaput ketuban dan perdarahan pervaginam.
Insidens korioamnionitis < 1 per 1000 prosedur, robekan selaput ketuban
terjadi pada 1-2% penderita, namun biasanya sembuh sendiri dan terjadi
reakumulasi cairan dan pada umumnya luaran kehamilan normal. Insiden
perdarahan pervaginam juga sekitar 1% dan berhubungan dengan ukuran
jarum yang dipakai.
Sudah pernah dilaporkan kasus sensitasi pada wanita dengan rhesus
negatif setelah amniosintesis, risikonya sekitar 1%. Risiko ini dapat
dikurangi dengan menghindari pendekatan transplasenta, memakai jarum
berukuran kecil dan pemberian anti-D immunoglobulin intramuskuler
sesudah tindakan amniosintesis terhadap pasien Rh-negatif yang belum
tersensitasi.
2. Amniosintesis dini
Amniosintesis dini adalah amniosintesis yang dilakukan pada usia
kehamilan sebelum 15 minggu (11-14 minggu). Kesulitan teknisnya lebih
besar karena jumlah air ketuban belum banyak dan fusi antara amnion dan
korion belum sempurna sehinngga sering menyebabkan tenting pada selaput
ketuban. Selain itu targetnya lebih kecil, uterus belum berbatasan
dengandinding perut sehingga meningkatkan kemungkinan perlukaan pada
usus atau masuknya kuman dari usus ke uterus.
Tindakan amniosintesis dini dilakukan dengan maksud untuk
melakukan diagnosis prenatal yang lebih dini dan menjadi tindakan alternatif
untuk pemeriksaan villi korialis yang tekniknya relatif lebih sulit dan
mempunyai lebih banyak komplikasi. Dengan tuntunan USG dilakukan
pengambilan cairan amnion sebanyak 10-12 ml. Walaupun jumlah sel yang
terambil lebih sedikit namun persentasi sel yang viable lebih besar dibanding
dengan pada usia kehamilan yang lebih lanjut Keberhasilan kultur pada
kehamilan 12-14 minggu lebih dari 95% dengan waktu panen rata-rata 12 hari
(1-2 lebih lama ) daripada kehamilan 16 minggu. Dibanding dengan CVS,
amniosintesis dini mempunyai frekuensi kontaminasi sel maternal dan
mosaicsm yang lebih rendah.
Beberapa penelitian melaporkan peningkatan risiko abortus pada
tindakan amniosintesis dini dibanding dengan amniosintesis midtrimester dan
CVS, namun Johnson dkk tidak menemukan adanya perbedaan kejadian
abortus antara kelompok amniosintesis dini dan midtrimester. Penelitian lain
di Kanada menemukan perbedaan yang bermakna pada kejadian abortus (7,6%
vs 5,9%), robekan selaput ketuban (3,5% vs 1,7%) dan deformitas tulang,
khususnya talipes equinovarus (1,4% vs 0,4%) antara kelompok amniosintesis
dini dan midtrimester, sehingga peneliti ini menganjurkan untuk tidak
melakukan amniosisntesis dini kecuali tidak ada alternatif lain.
3. Pemeriksaan villi korialis
Diagnosis prenatal yang dikerjakan pada trimester kedua mempunyai
beberapa kekurangan antara lain, diagnosis baru dapat diketahui pada usia
kehamilan yang lebih lanjut sehingga risiko untuk terminasi kehamilan lebih
besar dan terminasi pada saat janin sudah mulai bergerak menimbulkan beban
emosional yang berat bagi pasien, sehingga diusahakan untuk melakukan
diagnosis prenatal pada trimester pertama.
Teknik pemeriksaan villi korialis pertama kali diperkenalkan di Cina
pada tahun 1975 yang bertujuan untuk menentukan jenins kelamin janin
dengan cara memasukkan kateter halus ke dalam uterus dengan hanya dituntun
perasaan taktil. Bila terasa ada hambatan, kemudian pengisap dipasang dan
dilakukan aspirasi potongan villi.
Pemeriksaan villi korialis biasanya dilakukan pada usia kehamilan
antara 10-12 minggu, untuk pemeriksaan sitogenetik, molekuler (analisis
DNA) dan atau metode biokimia yang dapat diaplikasikan pada jaringan villi.
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi anomaly kromosom, defek gen spesifik dan
aktivitas enzym yang abnormal dalam kehamilan terutama pada penyakit
turunan.Jaringan villi dapat diambil dengan teknik transervikal maupun
transabdominal.Sebelum tindakan, dilakukan pemeriksaan USG untuk
konfirmasi denyut jantung janin danletak plasenta. Tentukan posisi uterus dan
serviks, bila uterus anteversi maka tambahan pengisian kandung kemih dapat
membantu untuk meluruskan posisi uterus, namun hindari pengisian kandung
kemih yang berlebihan karena dapat mendorong uterus keluar dari rongga
pelvis sehingga memperpanjang jarak untuk mencapai tempat pengambilan
sampel yang dapat mengurangi kelenturan yang diperlukan untuk manipulasi
kateter.
Pasien dibaringkan dalam posisis litotomi, antisepsis vulva dan vagina
kemudian masukkan spekulum dan lakukan hal yang sama pada serviks.
Ujung distal kateter (3-5 cm) sedikit ditekuk untuk membentuk lengkungan
dan kateter dimasukkan kedalam uterus dengan tuntunan USG sampai terasa
tahanan menghilang pada endoserviks. Operator menunggu sampai
sonographer menvisualisasi ujung kateter, kemudian kateter dimasukkan
sejajar dengan selaput korion ke tepi distal plasenta. Keluarkan stylet dan
pasang tabung pengisap 20 ml yang mengandung medium nutrien. Jaringan
villi yang terisap ke dalam tabung dapat dilihat dengan mata telanjang sebagai
struktur putih yang terapung dalam media. Kadang kala diperlukan
pemeriksaan mikroskop untuk mengkonfirmasi jaringan villi. Sering jaringan
desidua ibu ikut terambil namun mudah dikenali sebagai stuktur yang amorf
(tak berbentuk).Bila tidak berhasil mendapat jaringan villi yang cukup maka
dapat dilakukan insersi kedua.
Komplikasi yang dapat terjadi pada pemeriksaan villi korialis adalah
abortus dan yang ditakuti akhi-akhir ini adalah hubungan antara tindakan ini
dengan kejadian reduksi anggota gerak. CVS yang dilakukan pada kehamilan
< 9 minggu mempunyai risiko untuk reduksi anggota gerak 10-20 kali lebih
besar dibandingkan dengan CVS yang dilakukan setelah usia > 11 minggu.
Kontaminasi jaringan desidua ibu pada sampel yang dikultur dapat
memberikan hasil negatif palsu, dan hal ini sering terjadi bila hanya sedikit
sampel yang terambil, namun di senter yang telah berpengalaman kejadian ini
tidak ditemukan lagi.
4. Pemeriksaan darah janin / kordosentesis
Pada tahun 1983, Daffos dkk memperkenalkan metode pengambilan
darah janin dengan tuntunan USG menggunakan jarum spinal ukuran 20-22
melalui perut ibu ke dalam tali pusat. Teknik ini disebut juga kordosentesis,
PUBS (percutaneous umbilical blood sampling), fetal blood sampling atau
furnipuncture. Kordosintesis adalah istilah yang sering digunakan.
Indikasi pemeriksaan ini dapat dibagi atas indikasi diagnostik dan
terapeutik.Umumnya, pemeriksaan darah janin diindikasikan bila
keuntungannya lebih banyak dari kerugiannya. Sebelumnya pemeriksaan
darah janin dilakukan untuk karyotype cepat namun dengan teknik sitamniosit
juga dapat diperiksa dengan cepat. Indikasi lain untuk pemeriksaan ini adalah
bila ditemukan mosaik atau kegagalan kultur pada amniosintesis dan biopsi
plasenta. Pemeriksaan darah janin juga dilakukan pada wanita yang datang
terlambat (usia kehamilan lanjut) pada kunjungan antenatal dan menginginkan
pemeriksaan karyotype atau untuk diagnosis prenatal retardasi mental fragile-
X.7 indikasi diagnostik yang lain adalah pemeriksaan hemoglobinopathi,
koagulaopathi, penyakit granulomatous kronik dan beberapa kelainan
metabolisme serta penentuan anemia dan trombositopenia pada janin. Untuk
indikasi terapeutik adalah : terapi anemia pada janin melalui transfusi darah
dan pemberian obat antiaritmia pada janin dengan hidrops.
Dengan tuntunan USG tusukkan jarum melalui dinding perut ibu dan
arahkan ke tempat insersi tali pusat di plasenta, tusukan pada bagian tali pusat
yang melayang lebih sulit dilakukan. Bila menggunakan pengantar jarum pada
tranduser USG maka ukuran jarumnya lebih kecil (22-26) sedang bila
menggunakan teknik free hand jarum yang dipakai berukuran 20-22. Bila
ujung jarum telah mencapai tali pusat, pasang tabung pengisap dan isap darah
kurang lebih 5 ml. Penting untuk menentukan apakah sampel darah ini berasal
dari janin atau terkontaminasi darah ibu, walaupun dengan teknik yang baik
hal ini jarang terjadi namunogenetik yang baru memakai metode FISH sampel
dari villi korialis dan lebih bijaksana bila dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk memastikannya. Sel darah janin akan tampak lebih besar dengan MCV
yang lebih besar. Pengambilan sampel darah janin juga dapat dilakukan pada
vena intrahepatik maupun jantung janin.
Komplikasi yang dapat terjadi pada janin pasca kordosintesis adalah :
terjadinya hematoma atau perdarahan pada tempat tusukan jarum, bradikardi,
infeksi. Kemungkinan untuk terjadinya kematian janin berkisar 1% untuk itu
perlu dilakukan pemantauan denyut jantung janin dengan kardiotokografi
selama paling sedikit 30 menit. Pada ibu komplikasi yang dapat terjadi adalah
isoimunisasi rhesus, sehingga harus diberikan anti-D immunoglobulin pada
ibu dengan rhesus negatif.
5. Biopsi janin
Indikasi pemeriksaan jaringan janin sampai saat ini masih terus
berkembang. Teknik yang invasif ini digunakan hanya untuk kelainan dengan
morbiditas tinggi, dimana diagnosis dengan pemeriksaan amniosintesis, villi
khorialis atau darah janin tidak memuaskan. Jaringan yang diambil dari janin
untuk prenatal diagnosis antara lain: kulit, otot, liver, ginjal dan otak. Indikasi
yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan jaringan janin adalah untuk
diagnosis genodermatosis, yang merupakan penyakit berat turunan pada kulit
dengan angka morbiditas dan mortalitas tinggi.
Pada awalnya biopsi janin dilakukan dengan fetoskopi, tetapi saat ini
telah diganti dengan memakai USG. Prosedur ini dilakukan pada kehamilan
17-20 minggu dengan memakai forsep biopsi yang dimasukkan melalui jarum
angiocath no 14. Biopsi jaringan janin untuk diagnosis genodermatosis hanya
dapat dilakukan dengan biopsi kulit, hasil biopsy ini dapat diperiksa dengan
teknik morfologi, immunohistokimia, dan biokimia. Biopsi jaringan otot janin,
jarang dilakukan tetapi pernah dilakukan untuk diagnosis prenatal mucular
dystrophy yang disebabkan mutasi gen pada kromosom X, gen untuk distrofin.
Sejak karakteristik gen distrofin diketahui diagnosis prenatal untuk janin yang
berisiko dapat dilakukan dengan metode molekuler (polymerase chain
reaction) yang diambil dari ekstrak DNA dari cairan ketuban atau vili
korialSeperti halnya biopsi otot, maka biopsi hati juga hanya dilakukan pada
penyakit yang diturunkan yang tidak dapat didiagnosis dengan pemeriksaan
amniosit atau villi korialis. Sejumlah kecil penyakit gangguan metabolisme
termasuk dalam kategori ini dan dapat didiagnosis dengan pemeriksaan enzym
yang diproduksi di hati, seperti ornitrin transcarbamilase (OTC) deficiency,
carbamoyl phospstase synthetase (CPS) deficiency, glucosa 6 phospatase
deficiency (G6PD).

JURNAL PENELITIAN TERKAIT


No Nama Penulis/ Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian

1 Dewi Megawati1, Ita M. Potensi Penggunaan Penggunaan sel fetus,


Nainggolan2, Agung Materi Genetik Fetus DNA fetus, mRNA fetus
pada Sirkulasi Maternal
Nova Mahendra, Nanis untuk Diagnosis pada sirkulasi maternal
S. Marzuki Prenatal Noninvasif sangat menjanjikan
Penyakit Genetik
untuk penyakit yang
diturunkan secara
paternal dan bersifat
autosomal dominan pada
janin laki-laki.

2 Albatros Prenatal Diagnostik Risiko untuk


mendapatkan
Wahyubramanto pada Seorang Ibu
abnormalitas kromosom
Hamil yang Beresiko meningkat dengan
meningkatnya
Tinggi
umur ibu (grafik 1).
Selain itu, oleh karena
janin dengan
abnormalitas kromosom
lebih sering
mati intrauterin
dibanding dengan janin
normal, risiko untuk itu
menurun dengan
meningkatnya umur
kehamilan.
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Penggunaan metode diagnosis prenatal noninvasif menggunakan DNA dan
mRNA fetus mengurangi kebutuhan akan metode invasif secara signifikan.
Implementasi penggunaan DNA dan mRNA fetus pada sirkulasi maternal untuk
diagnosis prenatal pada beberapa jenis penyakit genetik sudah dapat dilakukan
walaupun perkembangannya cukup lambat. Validasi diperlukan agar metode ini
dapat diaplikasikan untuk pelayanan tes penyakit genetik dengan cakupan yang
lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins Gea.
Prenatal diagnosis and therapy. In: Williams Obstetrics. 21 st ed. New York:
McGraw Hill; 2001. p. 973-1003.
2. Rossiter J, Blakemore K. Fetal genetic disorders. In: Winn H, Hobbins J,
editors. Clinical maternal-fetal medicine. 1 st ed. New York: Parthenon
Publishing Group; 2000. p. 783-98.
3. Jenkins T, Wapner R. Prenatal diagnosis of congenital disorders. In: Creasy R,
Resnik R, Iams J, editors. Maternal fetal medicine. 5 th ed. Philadelphia: WB.
Saunders; 2004. p. 235- 73.
4. Rodeck C, Pandya P. Prenatal diagnosis of fetal abnormalities. In:
Chamberlain G, Steer P, Breat G, Chang A, Johnson M, Neilson J, editors.
Turnbull's obstetrics. 3 rd ed. London: Churchill Livingstone; 2001. p. 169 -
96.
5. Overton T, Fisk N. Amniocentesis. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B,
editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York: W.B
Saunders; 2000. p. 215-23.
6. Holzgreve W, Miny P. Chorionic villus sampling and placental biopsy. In:
James D, SteerP, Weiner C, Gonik B, editors. High risk pregnancy
management option. 2 nd ed. New York:W.B Saunders; 2000. p. 207-13.
7. Soothill P. Fetal blood sampling before labor. In: James D, Steer P, Weiner C,
Gonik B,editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New
York: W.B Saunders; 2000. p. 225-33.
8. Nicolaides K, Snijders R. First trimester diagnosis of chromosomal defects. In:
NicolaidesK, editor. The 11–13+6 weeks scan. London: Fetal Medicine
Foundation; 2004. p. 7-42.
9. Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins Gea.
Prenatal diagnosis and therapy. In: Williams obstetrics. 21 ed. New York:
McGraw Hill; 2001.h.973-003.

Anda mungkin juga menyukai