Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

AMNIOTOMI, EPISIOTOMI, DAN CARDIOTOKOGRAFI (CTG)


Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Maternitas I

Dosen : Angga Arsesiana,SST.,MTr.Keb

Disusun Oleh :

Rischo Rasmara
NIM : 2019.C.11a.1025

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada TuhanYang Maha Esa atas berkat rahmat dan
hidayah Nyalah, makalah yang berjudul “AMNIOTOMI, EPISIOTOMI, DAN

CARDIOTOKOGRAFI (CTG)”. ini dapat rampung tepat waktu.


Adapun tujuan pembuatan makalah ini selain menambah wawasan pengetahuan
adalah juga untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Maternita I yang
diberikan oleh Ibu Angga Arsesiana,SST.,MTr.Keb.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusun data-data sekunder yang diperoleh dari buku-
buku panduan dan informasi media massa yang berhubungan dengan judul makalah ini.
Tidak lupa ucapan terima kasih kepada dosen atas bimbingan dan arahan dalam penulisan
makalah ini. Juga pada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat
diselesaikannya makalah ini.
Semoga dengan membaca makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah
wawasan kita. Memang makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka diharapkan kritik
dan saran dari pembaca yang bersifat membangun.
Penulis juga sangat mengharapkan masukan, kritikan serta saran dari semua pihak
agar karya tulis ini bisa menjadi lebih baik.

Palangka Raya, 25 November 2020


Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN...........................................................................................3
2.1 Amniotomo..........................................................................................................3
2.2 Episiotomy...........................................................................................................5
2.3 Cardiotokografi (CTG)........................................................................................8
BAB 3 PENUTUP....................................................................................................16
4.1 Kesimpulan..........................................................................................................16
4.2 Saran....................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................17

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Amniotomi atau pemecahan selaput ketuban dilakukan bila selaput ketuban masih utuh,
ada dorongan yang besar. Amniotomi adalah sebuah irisan bedah melalui perineum yang
dilakukan unuk memperlebar vagina dengan maksud untuk membantu proses kelahiran bayi.
Episiotomi adalah insisi perineum yang dimulai dari cincin vulva ke bawah, menghindari
anus dan muskulus spingter serta memotong fasia pervis, muskulus konstrikter vagina,
muskulus transversus perinei dan terkadang ikut terpotong serat dari muskulus levator ani.
Cardiotokografi (CTG) adalah seperangkat alat elektronik yang dapat dipergunakan dalam memantau
kesejahteraan janin melaluai penilaian denyut  jantung janin (DJJ), kontraksi uterus, dan gerak janin
dalam waktu bersamaan. Kesejahteraan janin menggambarkan kecukupan oksigenasi dan pertumbuhan
janin yang baik, kesehatan ibu, dan volume cairan amnion yang cukup.
Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012Angka Kematian
Ibu (AKI) akibat persalinan di Indonesia masih tinggi yaitu 208/100.000 kelahiran hidup dan
Angka Kematian Bayi (AKB) 26/1.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2013). Angka
Kematian Ibu untuk Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 sebesar 116/100.000 kelahiran hidup,
sedangkan Angka Kematian Bayi sebesar 12/1.000 kelahiran hidup. Angka Kematian
Ibumerupakan salah satu indikator untuk melihat derajat kesejahteraan perempuandan target
yang telah ditentukan dalam tujuan pembangunan Millennium Development Goals (MDGs)
tujuan ke 5 yaitumeningkatkan kesehatan ibu dimana target yang akan dicapai sampai tahun
2015 adalah mengurangi sampai ¾ resiko. jumlah kematian ibu atau 102/100.000 kelahiran
hidup, maka dari itu upaya untuk mewujudkan target tersebut masih membutuhkan komitmen
dan usaha keras yang terus menerus (KemenkesRI, 2013). Berdasarkan data SPM cakupan
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan tingkat Provinsi Jawa Tengah tahun
2012sebesar 97,14%, lebih tinggi dibanding cakupan tahun 2011 yaitus ebesar 96,79%.
Cakupan pertolongan persalinan khususnya di Kabupaten Sukoharjo tahun 2012 sebesar
96,39%.Semua Kabupaten/Kota sudah mencapai target SPM tahun 2015 (90%). Naiknya
cakupan pertolongan persalinan menunjukkan meningkatnya kepercayaan masyarakat
terhadap pelayanan persalinan oleh tenaga kesehatan dan perencanaan persalinan yang baik
dari ibu maupun keluarga (Dinkes Jateng, 2012).
Penyebab tingginya angka kematian ibu antara lain, terlalu muda atau terlalu tuasaat
melahirkan, tidak melakukan pemeriksaan kehamilansecarateratur, dan banyaknya persalinan
yang ditolong oleh tenaga non profesional(Koblinsky et al, 2006).Hal ini sejalan dengan

1
penelitian Misar (2012) yang menyatakan bahwa kejadian komplikasi persalinan ibu
melahirkan dengan kualitas pelayanan kesehatan yang tidak baik beresiko lebih besar untuk
mengalami komplikasi dibanding ibu yang mendapatkan kualitas pelayanan yang baik.
Faktor yang berperan penting untuk mengurangi angka kematian maternal antara lain,
persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih dan pelayananyang baik ketika persalinan
(Reeves, 2010). Faktor lain yang dapat mengurangi angka kematian maternal yaitu akses ke
tempat pelayanan kesehatan terjangkau dan fasilitas kesehatan yang memadai (Aboagye,
2013).
Sebagian besar wanita pada prosespersalinan mengalami perubahan fisik dan psikologis
sebagai respon dari apa yang dirasakan dalam proses persalinannya.Perubahan ini dapat
digunakan untuk mengevaluasi kemajuan persalinan pada pasien.Dukungan sosial
danemosional serta pelayanan selama persalinan adalah salah satu intervensi yang tepat
digunakan untuk mencapai pengalaman melahirkan yang positif (Alexander et al, 2013).
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa itu amniotomo
b. Apa itu episiotomy
c. Apa itu cardiotokografi (CTG)
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui apa itu amniotomo
b. Untuk mengetahui apa itu episiotomy
c. Untuk mengetahui apa itu cardiotokografi (CTG)

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Amniotomi
Amniotomi adalah tindakan untuk membuka selaput ketuban (amnion) dengan jalan
membuat robekan kecil yang kemudian akan melebar secara spontan akibat gaya berat cairan
dan adanya tekanan didalam rongga amnion. Tindakan ini hanya dilakukan pada saat
pembukaan lengkap atau hamper lengkap agar penyelesaian proses persalinan berlangsung
sebagaimana mestinya.
Menurut hasil berbagai penelitian yang dikutip dari jurnal kedokteran, melakukan
amniotomi dini secara rutin pada persalinan sama sekali tidak memberikan manfaat terhadap
proses persalinan. Dahulu ada anggapan bahwa dengan dipecahkannya ketuban maka proses
persalinan akan lebih pendek dan nyeri akan berkurang anggapan ini terbantahkan oleh
penelitian yang melibatkan wanita dengan hasil bahwa, ternyata pemecahan selaput ketuban
secara rutin sama sekali tidak terbukti mempercepat persalinan dan mengurang rasa nyeri.
Cairan amnion berfungsi sebagai pelindung bayi dari tekanan kontraksi uterus. Karena alas
an inilah maka amniotomi dini tidak dilakukan pada persalinan kala I. biasanya selaput
ketuban akann pecah secara spontan.
Diantara waktu kontraksi, lakukan pemeriksaan dalam dengan hati-hati. Raba selaput
ketuban untuk memastikan apakah kepala sudah masuk panggul dengan baik dan tali pusat
atau bagian-bagian kecil tubuh bayi (misalkan tangan) tidak bisa dipalpasi. Jika ternyata
baguian-bagian kecil dari tubu bayi dapat dipalpasi, maka janagn sekali-kali mencoba
memecahkan selaput ketuban karena akan meyebabkan penyulit persalinan.
Saat memecahkan selaput ketuban, satu tangan berada diatas fundus untuk
memfiksasi kepala agar tetap berada didalam PAP denagn baik dan terkunci sementara satu
tangan berada dalam vagina bertugas untuk memecahakn selaput ketuban. Setelah selaput
ketuban dipecahkan, pertahankan satu tanganuntuk berada didalam vagina untuk mengetahui
penurunan kepala janin dan memastikan bahwa tali pusat atau bagian kecil janin tidak teraba.
1. Indikasi untuk melaksanakan amniotomi adalah sebagai berikut :
1. Penolong akan memasanh electrode ppemantau janin internal
2. Pada saat kelahiran, terlihat bahwa bayi akan lahir dengan ketuabn masih utuh
3. Kebutuhan untuk menstimulasi persalinan misalnya bial terjadi disfungsi uterus
hipotonik

3
4. Untuk memfasilitasi penurunan janin dan mengurangi kemungkinan bahwa dorongan
akibat kontraksi akan menyebabkan ketuban pecah dengan tiba0tiba sehingga terjadi
proplaps tali pusat.
2. Kemungkinan dampak yang disebabkan oleh amniotomi adalah sebagai berikut :
1. Kompresi tali pusat
2. Kompresi kepal yang tidak merata disertai molding yang lebih luas dan kaput
suksedaneum dapat meningkatkan resiko perdarahan intravaskula, terutama jika
ketuban pecah pada awal persalinan.
3. Bahaya potensial disebabkan oleh amniotomi adalah sebagai berikut :
1. Prolaps tali pusat ptensial jika ketuban pecah dengan kondisi kepala janin belum
engage atau janin memiliki presentasi gabungan atau dengan atau presentasi bokong
yang tidak cakap atau bayi kecil
2. Infeksi intrauterus potensial jika ketuban pecah sebelum persalinan dimulai dan
pecahnya ketuban berlangsung lama.
4. Tindakan amniotomi berpotensi bahaya, oleh karena itu , bidan hanya dapat melaksanakan
amniotomi pada keadaan sebagai berikut :
1. Pembukaan lengkap, tetapi selaput ketuban belim pecah
2. Bayi berada pada posisi puncak kepala dengan kepala sudah menancap
5. Prinsip-prinsip dalam melakukan amiotomi adalah sebagai berikut :
1. Lakukan amniotomi dengan teknik aseptic
2. Pada saat amniotomi, kepala janin harus tetap berada di serviks dan tidak dikeluarkan
dari panggul selama prosedur karena tindakana seperti itu akan menyebaabkan
prolaps tali pusat
3. Lakukan amniotomi diantara kontraksi sehingga terjadi hal-hal berikut:
4. Dorongan yang menyebabkan ketuban pecah berkurang
5. Ketuban tidak diregang dengan ketat terhadap kepala janin ( sehingga terdapat ruang
yang tidak terlalu sedikit untuk memegang ketuban kemudian merobeknya dengan
aman.
6. Gunakaan alat yang efektif dan mudah digunakan untuk tindakan cepat, seperti klem
alia atau berbagai bentuk lain yang diproduksi untuk tujuan ini. instrument yang
menggelinding atau tergelincir pada permukaan selaput tidak menguntungkan bagi
klinis sekaligus memperpanjang periode pemeriksaan dalam bagi ibu.
7. Setelah melakukan pemecahan ketuban, biarkan jari didalam vagina sampai kontraksi
selanjutnya. Hal ini bertujuan sebagai berikut :

4
8. Mengevaluasi dampak amniotomi pada serviks (pembuaan) dan pada janin
(penurunan dan rotasi).
9. Memastikan bahwa tidak terjadi proplaps tali pusat
10. Evaluasi bunyi jantung janin selama dan setelah amniotomi dilakukan. Tindakan ini
bertujuan untuk mengkaji dampak yang timbul pada janin segera setelah amniotomi.
2.2 Episiotomy
Episiotomy adalah insisi dari perineum untuk memudahkan persalinan dan mencegah
rupture perineum totalis. Pada masa lalu dianjurkan untuk melakukan epieiotomi secara rutin
yang tujuannya untuk mencegah robekan berlebihan pada perineum, membuat tepi luka rata
agar mudah dilakukan penjahitan, mencegah penyulit atau tahanan pada kepala dan infeksi,
tetapi hal itu tidak didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang cukup. Sebaliknya, hal ini tidak
boleh diartikan bahwa episiotomi tidak diperbolehkan, karena ada indikasi tertentu untuk
tetap dilakukannya tindakan episiotomy. Para penolong persalinan harus cermat membaca
kata rutin pada episiotomy karena hal itulah yang dianjurkan, bukan episiotominya.
1. Alasan untuk tidak dilakukan episiotomi rutin
1. Jumlah darah yang hilang meningkat dan resiko terjadinya hematom
2. Kejadian laserasi derajat tiga atau empat lebih banyak terjadi pada episiotomi rutin
daripada tanpa episiotomi
3. Meningkatnya nyeri pasca persalinan didaerah perineum
4. Meningkatnya resiko infeksi
2. Indikasi episiotomi untuk mempercepat proses kelahiran bayi dilakukan jika terdapat hal
berikut :
1. Gawat janin dan janin akan segera dilahirkan dengan tindakan
2. Penyulit kelahiran pervagina misanya karena bayi sungsang, distosia bahu, ekstraksi
vakum atau forsep
3. Jaringan parut pada perineum atau vagina yang memperlambat kemajuan persalinan.
Tujuan episiotomi adalah supaya tidak terjadi robekan perineum yang tidak teratur
dan robekan pada muskulus sfingter ani (rupture perinea totalis) yang tidak bisa dijahit dan
dirawat dengan baik, karena jika terjadi akan mengakibatkan beser berak.
3. Tujuan tindakan episiotomi
1. Mempercepat persalinan dengan memperlebar jalan lahir lunak
2. Mengendalikan robekan perineum untuk memudahkan menjahit
3. Menghindari robekan perineum spontan
4. Memperlebar jalan lahir pada tindakan pervagina

5
4. Pertimbanagn melakukan episiotomi
1. Waktu yang tepat melakukan episiotomi
2. Pada waktu puncak his dan pada saat meneran
3. Lingkar kepala pada perineum sekitar 5 cm
4. Indikasi melakukan episiotomi
5. Hamper mayoritas pada primigravida dapat dihindarkan dengan mempertimbangkan
elastisitas perineum
6. Pada multigravida dengan perineum yang kaku
7. Pada persalinan premature atau letak sungsang
5. Jenis-jenis Episiotomi
1. Episiotomi medialis.
Sayatan dimulai pada garis tengah komissura posterior lurus ke bawah tetapi
tidak sampai mengenai serabut sfingter ani.
2. Episiotomi mediolateralis
Sayatan disini dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju ke arah
belakang dan samping. Arah sayatan dapat dilakukan ke arah kanan ataupun kiri,
tergantung pada kebiasaan orang yang melakukannya. Panjang sayatan kira-kira 4 cm.
3. Episiotomi lateralis
Sayatan disini dilakukan ke arah lateral mulai dari kira-kira jam 3 atau 9
menurut arah jarum jam. Episiotomi ini sudah jarang dilakukan, karena banyak
menimbulkan komplikasi.
6. Prosedur Kerja
1. Mempersiapkan alat
2. Memberitahukan  pada ibu tentang apa yang akan dilakukan dan bantu agar ibu tetap
tenang atau merasa tenang.
3. Melakukan tindakan desinfektan sekitar perineum dan vulva
4. Anestesi lokal caranya :
a) Bahan anestesi (lidokain HCL 1% atau xilokain 10 mg/ml)
b) Tusukkan jarum tepat dibawah kulit perineum pada daerah komisura posterior
(fourchette).
c) Arahkan jarum dengan membuat sudut 45 derajat kesebelah kiri atau kanan
garis tengah perineum. Lakukan aspirasi.
d) Sambil menarik mundur jarum suntik, infiltrasikan 5 – 10 ml lidokain 1%.

6
e) Tunggu 1 – 2 menit agar efek anestesi bekerja maksimal sebelum episiotomi
dilakukan.
7. Cara Melakukan Episiotomi
1. Pegang gunting yang tajam dengan satu tangan.
2. Letakkan jari telunjuk dan tengah diantara kepala bayi dan perineum, searah dengan
rencana sayatan.
3. Tunggu fase puncak his, kemudian selipkan gunting dalam keadaan terbuka diantara
jari telunjuk dan tengah.
4. Gunting perineum, dimulai dari komissura posterior 45 derajat ke lateral (kiri atau
kanan).
5. Lanjutkan pimpinan persalinan.
8. Penjahitan Episiotomi
1. cuci tangan secara seksama dan gunakan sarung tangan desinfeksi tingkat tinggi atau
steril. Ganti sarung tangan jika ada terkontaminasi atau jika tertusuk jarum maupun
peralatan tajam lainnya.
2. pastikan dan bahan-bahan yang digunakan sudah didesinfeksi tingkat tinggi.
3. setelah memberikan anestesi local dan memastikan bahwa daerah tersebut sudah
dianestesi, telusuri dengan hati-hati menggunakan satu jari untuk secara jelas
menentukan batas luka. Nilai kedalaman luka dan lapisan jaringan mana yang terluka.
Dekatkan tepi laserasi untuk menentukan cara menjahitnya menjadi satu dengan
mudah.
4. buat jahitan pertama kurang lebih 1cm diatas ujung laserasi dibagian dalam vagina.
Setelah membuat tusukan pertama, buat ikatan dan potong pendek benang yang lebih
pendek dari ikatan.
5. tutup mukosa vagina dengan jahitan jelujur, jahit kebawah kearah cincin hymen.
6. tepat sebelum cincin hymen, masukkan jarum kedalam mukosa vagina lalu kebawah
cincin hymen sampai jarum berada dibawah laserasi. Periksa kebagian antara jarum
diperineum dan bagian atas laserasi. Perhatikan seberapa dekat jarum kepuncak luka.
7. teruskan kearah bawah tapi tetap pada luka, menggunakan jahitan jelujur hingga
mencapai bagian bawah laserasi. Pastikan jarak tiap jahitan sama dan otot yang
terluka telah dijahit. Jika laserasi meluas kedalam otot, mungkin perlu satu atau dua
lapisan jahitan terputus-putus untuk menghentikan perdarahan dan mendekatkan
jaringan tubuh secara efektif.

7
8. setelah mencapai ujung laserasi, arahkan jarum keatas dan teruskan penjahitan
menggunakan jahitan jelujur untuk menutup lapisan subkutikuler. Jahitan ini akan
menjadi jahitan lapis kedua.Periksa lubang bekas jarum tetap terbuka berukuran 0,5
cm atau kurang. Luka akan menutup dengan sendirinya pada saat penyembuhan.
9. tusukkan jarum dari robekan perineum kedalam vagina. Jarum harus keluar dari
belakang cincin hymen.
10. ikat benang dengan membuat simpul didalam vagina.potong ujung benang dan
sisakan sekitar 1,5cm. Jika ujung benang dipotong terlalu pendek , simpul akan
longgar dan laserasi akan membuka.
11. ulangi pemeriksaan vagina dengan lembut untuk memastikan tidak ada kasa taau
peralatan yang tertinggal didalam.
12. dengan lembut masukkan jari paling kecil kedam anus, raba apa ada jahitan pada
rectum. Jika teraba ada jahitan ulangi pemeriksaan rectum 6 minggu pascapersalinan,
jika penyembuhan belum sempurna, segera rujuk.
13. cuci genetalia dengan lembut dengan sabun dan air desinfeksi tingkat tinggi. Bantu
ibu mencari posisi yang lebih nyaman .
9. Nasehati ibu untuk
1. menjaga perineumnya selalu bersih dan kering
2. hindari penggunaan obat-obatan tradisional pada perineum
3. cuci perineum dengan sabun dan air bersih yang mengalir tiga sampai empat kali per
hari kembali dalam seminggu untuk memeriksakan penyembuhan lukanya. Ibu
kembali lebih awal jika mengalami demam atau mengeluarkan cairan yang berbau
busuk dari daerah luka atau daerah tersebut menjadi lebih nyeri.
4. Mendeteksi kompilkasi, penyulit, serta cara mengatasinya
5. Temuan keadaan normal dan abnormal dari partograf
Selama pemantauan persalinan menggunakan partograf, bidan kemungkinan akan
menemukan beberapa kondisi abnormal pasien.
2.3 Cardiotocography
Cardiotocography atau CTG merupakan bagian dari pemeriksaan kehamilan. Meski
begitu, CTG tidak rutin dilakukan dan hanya dianjurkan pada kondisi tertentu. Untuk lebih
jelasnya, yuk, ketahui apa itu cardiotocography dan kapan pemeriksaan ini perlu dilakukan.
CTG adalah alat yang digunakan untuk memantau aktivitas dan denyut jantung janin,
serta kontraksi rahim saat bayi berada di dalam kandungan. Melalui pemeriksaan ini, dokter
dapat mengevaluasi apakah kondisi janin sehat sebelum dan selama persalinan.

8
1.1 Gambar Cardiotocography (CTG)

1. Kardiotokografi menyajikan kesejahteraan janin


Kardio = denyut jantung
Toko = kontraksi uterus
Keduanya disajikan pada waktu yang bersamaan, denyut jantung terdapat dibagian
atas catatan dan kontraksi dibawahnya. Cardiotokografi adalah suatu metoda elektronik untuk
memantau kesejahteraan janin dalam kehamilan dan atau dalam persalinan.
Dilakukan untuk menilai apakah bayi merespon stimulus secara normal dan apakah
bayi menerima cukup oksigen. Umumnya dilakukan pada usia kandungan minimal 26-28
minggu, atau kapanpun sesuai dengan kondisi bayi. Cardiotokografi merupakan pemeriksaan
denyut jantung janin untuk menilai kesejahteraanya (fetal-wellbeing).
Dalam Cardiotokografi terdapat 3 hal yang di catat :
1. Denyut jantung janin
2. Kontraksi Rahim
3. Gerakan janin.
Yang dinilai adalah gambaran denyut jantung janin (djj) dalam hubungannya dengan
gerakan atau aktivitas janin. Pada janin sehat yang bergerak aktif dapat dilihat peningkatan
frekuensi denyut jantung janin. Sebaliknya, bila janin kurang baik, pergerakan bayi tidak
diikuti oleh peningkatan frekuensi denyut jantung janin.
Jika pemeriksaan menunjukkan hasil yang meragukan, hendaknya diulangi dalam
waktu 24 jam. Atau dilanjutkan dengan pemeriksaan CST (Contraction Stress Test). Bayi

9
yang tidak bereaksi belum tentu dalam bahaya, walau begitu pengujian lebih lanjut mungkin
diperlukan.
2. Cara Kerja Alat Cardiotocography
CTG umumnya meliputi dua piringan kecil yang ditempelkan ke permukaan perut
menggunakan ikat pinggang elastis yang dilingkarkan di perut ibu hamil. Satu piringan
berfungsi untuk mengukur denyut jantung janin, sedangkan piringan yang lain untuk
mengukur kekuatan dan kontraksi rahim ibu hamil.
Alat ini dapat menentukan seberapa sering ibu hamil merasakan kontraksi, durasi
kontraksi rahim, dan kondisi janin di dalam kandungan ketika kontraksi berlangsung.
Sebelum CTG digunakan, dokter atau bidan akan mengoleskan gel khusus terlebih
dahulu pada perut ibu hamil. Setelah itu, piringan dan ikat pinggang dari CTG akan dipasang
di perut ibu hamil.
Setelah beberapa menit, piringan CTG yang terhubung pada mesin CTG akan
menampilkan data kontraksi rahim, denyut jantung janin, dan aktivitas janin di dalam rahim
melalui layar monitor. Data tersebut juga bisa dicetak pada kertas khusus yang
menggambarkan grafik CTG.
Berbeda dengan denyut jantung normal orang dewasa yang berkisar antara 60–100
kali per menit, rata-rata denyut jantung normal pada janin adalah sekitar 110–160 kali per
menit. Jika denyut jantung terlalu rendah atau tinggi, hal tersebut bisa jadi menandakan
adanya masalah pada janin, misalnya gawat janin.
3. Kondisi yang Memerlukan Pemeriksaan CTG
Jika kondisi kesehatan ibu hamil dan janin baik, biasanya CTG tidak rutin dilakukan.
Pemeriksaan detak jantung janin cukup dilakukan menggunakan alat yang lebih sederhana,
yaitu fetal doppler. Bedanya dengan CTG, alat ini hanya mampu mengukur denyut jantung
janin, sehingga aktivitas janin dan kontraksi rahim tidak dapat dipantau.
Pemeriksaan CTG biasanya baru diperlukan jika ibu hamil mengalami kondisi yang
dianggap dapat membahayakan persalinan atau janin, misalnya diabetes, tekanan darah
tinggi, dan preeklamsia. Pemeriksaan ini diperlukan untuk menentukan tindakan apa yang
mungkin perlu dilakukan untuk membantu proses persalinan.
Selain itu, CTG juga mungkin perlu dilakukan apabila ibu hamil atau janin
mengalami kondisi berikut ini :
 Ketuban pecah dini
 Pergerakan janin berkurang atau berhenti

10
 Demam
 Kelahiran premature
 Perdarahan saat persalinan
 Kehamilan bayi kembar
 Masalah pada air ketuban, misalnya infeksi ketuban
 Gangguan pada plasenta
 Ukuran bayi kecil
 Kehamilan sungsang
CTG juga dapat dilakukan untuk mendeteksi dan mengukur kontraksi palsu atau
Braxton Hicks dan mengantisipasi kontraksi asli pada ibu hamil yang sudah melewati
kehamilan trimester ketiga, namun belum juga melahirkan.
Mesin CTG akan mengeluarkan hasil berupa grafik sesuai dengan denyut jantung
janin dan kontraksi rahim. Hasil pemeriksaan dapat dikategorikan menjadi reaktif dan
nonreaktif.
Kondisi janin dapat dikatakan nonreaktif bila denyut jantung janin tidak bertambah
setelah ia bergerak. Sebaliknya, janin disebut reaktif jika denyut jantung janin meningkat
setelah bergerak.
4. Indikasi
Pemeriksaan Cardiotokografi biasanya dilakukan pada kehamilan resiko tinggi, dan
indikasinya terdiri dari :
1). IBU
a. Pre-eklampsia-eklampsia
b. Ketuban pecah
c. Diabetes mellitus
d. Kehamilan > 40 minggu
e. Vitium cordis
f. Asthma bronkhiale
g. Inkompatibilitas Rhesus atau ABO
h. Infeksi TORCH
i. Bekas SC
j. Induksi atau akselerasi persalinan
k. Persalinan preterm.
l. Hipotensi.

11
m. Perdarahan antepartum.
n. Ibu perokok.
o. Ibu berusia lanjut.
p. Lain-lain : sickle cell, penyakit kolagen, anemia, penyakit ginjal, penyakit paru,
penyakit jantung, dan penyakit tiroid.
2). JANIN
a. Pertumbuhan janin terhambat (PJT)
b. Gerakan janin berkurang
c. Suspek lilitan tali pusat
d. Aritmia, bradikardi, atau takikardi janin
e. Hidrops fetalis
f. Kelainan presentasi, termasuk pasca versi luar.
g. Mekoneum dalam cairan ketuban
h. Riwayat lahir mati
i. Kehamilan ganda
j. Dan lain-lain
5. Syarat Pemeriksaan Cardiotocography
1) Usia kehamilan > 28 minggu.
2) Ada persetujuan tindak medik dari pasien (secara lisan).
3) Punktum maksimum denyut jantung janin (DJJ) diketahui.
4) Prosedur pemasangan alat dan pengisian data pada komputer (pada Cardiotokografi
terkomputerisasi) sesuai buku petunjuk dari pabrik.
5) Kontra Indikasi Cardiotocography
Sampai saat ini belum ditemukan kontra-indikasi pemeriksaan Cardiotokografi
terhadap ibu maupun janin.
6. Persiapan pemeriksaan pada pasien
1) Persetujuan tindak medik (Informed Consent) : menjelaskan indikasi, cara
pemeriksaan dan kemungkinan hasil yang akan didapat. Persetujuan tindak medik ini
dilakukan oleh dokter penanggung jawab pasien (cukup persetujuan lisan).
2) Kosongkan kandung kencing.
3) Periksa kesadaran dan tanda vital ibu.
4) Ibu tidur terlentang, bila ada tanda-tanda insufisiensi utero-plasenter atau gawat janin,
ibu tidur miring ke kiri dan diberi oksigen 4 liter / menit.

12
5) Lakukan pemeriksaan Leopold untuk menentukan letak, presentasi dan punctum
maksimum DJJ.
6) Hitung DJJ selama satu menit; bila ada his, dihitung sebelum dan segera setelah
kontraksi berakhir..
7) Pasang transduser untuk tokometri di daerah fundus uteri dan DJJ di daerah punktum
maksimum.
8) Setelah transduser terpasang baik, beri tahu ibu bila janin terasa bergerak, pencet bel
yang telah disediakan dan hitung berapa gerakan bayi yang dirasakan oleh ibu selama
perekaman cardiotokografi.
9) Hidupkan komputer dan Cardiotokograf.
10) Lama perekaman adalah 30 menit (tergantung keadaan janin dan hasil yang ingin
dicapai).
11) Lakukan pencetakkan hasil rekaman Cardiotokografi.
12) Lakukan dokumentasi data pada disket komputer (data untuk rumah sakit).
13) Matikan komputer dan mesin kardiotokograf. Bersihkan dan rapikan kembali alat
pada tempatnya.
14) Beri tahu pada pasien bahwa pemeriksaan telah selesai.
15) Berikan hasil rekaman cardiotokografi kepada dokter penanggung jawab atau
paramedik membantu membacakan hasi interpretasi komputer secara lengkap kepada
dokter.
7. Cara melakukan pemeriksaan
Persiapan tes tanpa kontraksi :
Sebaiknya pemeriksaan dilakukan pagi hari 2 jam setelah sarapan dan tidak boleh
diberikan sedativa.
Prosedur pelaksanaan :
1) Pasien ditidurkan secara santai semi fowler 45 derajat miring ke kiri
2) Tekanan darah diukur setiap 10 menit
3) Dipasang kardio dan tokodinamometer
4) Frekuensi jantung janin dicatat
5) Selama 10 menit pertama supaya dicatat data dasar bunyi
6) Pemantauan tidak boleh kurang dari 30 menit
Bila pasien dalam keadaan puasa dan hasil pemantauan selama 30 menit tidak reaktif,
pasien diberi larutan 100 gram gula oral dan dilakukan pemeriksaan ulang 2 jam kemudian

13
(sebaiknya pemeriksaan dilakukan pagi hari setelah 2 jam sarapan). Pemeriksaan NST
ulangan dilakukan berdasarkan pertimbangan hasil NST secara individual
8. Cara membaca hasil pemeriksaan
1) Reaktif, bila :
a. Denyut jantung basal antara 120-160 kali per menit
b. Variabilitas denyut jantung 6 atau lebih per menit
c. Gerakan janin terutama gerakan multipel dan berjumlah 5 gerakan atau lebih dalam
20 menit
d. Reaksi denyut jantung terutama akselerasi pola ”omega” pada NST yang reaktif
berarti janin dalam keadaan sehat, pemeriksaan diulang 1 minggu kemudian
e. Pada pasien diabetes melitus tipe IDDM pemeriksaan NST diulang tiap hari, tipe yang
lain diulang setiap minggu
2) Tidak reaktif, bila :
a. Denyut jantung basal 120-160 kali per menit
b. Variabilitas kurang dari 6 denyut /menit
c. Gerak janin tidak ada atau kurang dari 5 gerakan dalam 20 menit
d. Tidak ada akselerasi denyut jantung janin meskipun diberikan rangsangan dari luar
Antara hasil yang reaktif dan tidak reaktif ini ada bentuk antar yaitu kurang reaktif.
Keadaan ini interpretasinya sukar, dapat diakibatkan karena pemakaian obat seperti :
barbiturat, demerol, penotiasid dan metildopa.
Pada keadaan kurang reaktif dan pasien tidak menggunakan obat-obatan dianjurkan
CTG diulang keesokan harinya. Bila reaktivitas tidak membaik dilakukan pemeriksaan tes
dengan kontraksi (OCT).
3) Sinusoidal, bila :
a. Ada osilasi yang persisten pada denyut jantung asal
b. Tidak ada gerakan janin
c. Tidak terjadi akselerasi, janin dalam keadaan bahaya. Bila paru-paru janin matur,
janin dilahirkan. Gambaran ini didapatkan pada keadaan isoimunisasi-RH.
Jika pemeriksaan menunjukkan hasil yang meragukan, hendaknya diulangi dalam
waktu 24 jam. Atau dilanjutkan dengan pemeriksaan CST (Contraction Stress Test). Bayi
yang tidak bereaksi belum tentu dalam bahaya, walau begitu pengujian lebih lanjut mungkin
diperlukan.
4) Hasil pemeriksaan CTG disebut abnormal (baik reaktif ataupun non reaktif) apabila
ditemukan :

14
a. Bradikardi
b. Deselerasi 40 atau lebih di bawah (baseline), atau djj mencapai 90 dpm, yang lamanya
60 detik atau lebih
Pada pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan terminasi kehamilan bila janin sudah
viable atau pemeriksaan ulang setiap 12-24 jam bila janin belum viable.
Hasil CTG yang reaktif biasanya diikuti oleh keadaan janin yang masih baik sampai 1
minggu kemudian (dengan spesifitas sekitar 90%), sehingga pemeriksaan ulang dianjurkan 1
minggu kemudian. Namun bila ada faktor resiko seperti hipertensi/gestosis, DM, perdarahan
atau oligohidramnion hasil CTG yang reaktif tidak menjamin bahwa keadaan janin akan
masih tetap baik sampai 1 minggu kemudian, sehingga pemeriksaan ulang harus lebih sering
(1 minggu).
Hasil CTG non reaktif mempunyai nilai prediksi positif yang rendah <30%, sehingga
perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan CST atau pemeriksaan yang mempunyai nilai
prediksi positif yang lebih tinggi (Doppler-USG). Sebaiknya CTG tidak dipakai sebagai
parameter tunggal untuk menentukan intervensi atau terminasi kehamilan oleh karena
tingginya angka positif palsu tersebut (dianjurkan untuk menilai profil biofisik janin yang
lainnya).
5). Saat persalinan
a. Hasil tekanan positif menunjukkan penurunan fungsi plasenta janin, hal ini
mendorong untuk melakukan seksio sesarea.
b. Gawat janin relatif cukup banyak (14,7%) dan terutama pada persalinan, sehingga
memerlukan pengawasan dengan kardiotokografi
c. Hal – hal yang diperhatikan untuk indikasi Seksio sesarea ,dilakukan bila terdapat :
 Deselarasi lambat berulang
 Variabilitas yang abnormal (< 5 dpm)
 pewarnaan mekonium
 Gerakan janin yang abnormal (<5/20 menit )
 Kelainan obstetri (berat bayi >4000g, Kelainan posisi, partus > 18 jam)

15
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Amniotomi adalah indikasi yang di lakukan jika ketuban belum pecah tetapi serviks
sudah membuka. Amniotomi adalah sebuah irisan bedah melalui perineum yang dilakukan
unuk memperlebar vagina dengan maksud untuk membantu proses kelahiran bayi. Episiotomi
adalah insisi perineum yang dimulai dari cincin vulva ke bawah, menghindari anus dan
muskulus spingter serta memotong fasia pervis, muskulus konstrikter vagina, muskulus
transversus perinei dan terkadang ikut terpotong serat dari muskulus levator ani. Pembagian
episiotomi:
a. Episotomi mediana, dikerjakan pada garis tengah
b. Episiotomi mediolateral, dikerjakan pada garis tengah yang dekat muskulus sfingter
ani, dan diperluas ke sisi
c. Episiotomi lateral, yang sering terjadi perdarahan
3.2 Saran
Diharapkan Angka kematian Ibu dan anak dapat berkurang dan menambah sosialisasi
tentang kesehatan sehingga masyarakat berambah pengetahuan tentang masa persalinan.

16
DAFTAR PUSTAKA

 AbarwatiA, E R , Sunarsih,T, (2011), KDPK Kebidanan Teori & Aplikasi, Nuha


Medika, Yogyakarta,
 Jee, Lofever, J, ( 1997 ), Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik, Edisi
6, EGC, Jakarta.
 Marzbanrad, F., Stroux, L., & Clifford, G.D. (2018). Cardiotocography and Beyond:
A Review of One-Dimensional Doppler Ultrasound Application in Fetal Monitoring.
HHS Public Access, 39(8), pp. 08TR01.
 Alfirevic, et al. Cochrane (2017). Continuous Cardiotocography (CTG) As A Form Of
Electronic Fetal Monitoring (EFM) For Fetal Assessment During Labour, doi:
10.1002/14651858.CD006066.
 World Health Organization (2018). WHO Recommendation On Routine Antenatal
Cardiotocography.
 American Academy of Family Physicians (2017). Family Doctor. Monitoring Baby’s
Heart Rate During Labor.
 American College of Obstetricians and Gynecologists (2018). Fetal Heart Rate
Monitoring During Labor.
 Johns Hopkins Medicine. Fetal Heart Monitoring.
 Laskowski, E.R. Mayo Clinic (2018). What’s A Normal Resting Heart Rate?
 Nabar, A. Baby Center India (2019). What is Cardiotocography (CTG) and why do I
need it?
 Tikhonovich, E. Flo Health (2019). Early Decelerations: Everything You Need to
Know.
 Ferguson, S. Healthline (2019). What You Need to Know About Using a Fetal
Doppler at Home.
 Lim, K.H. Medscape (2018). Drugs & Diseases. Preeclampsia.
 Harding, M. Patient (2016). Test/Investigations. Cardiotocography.
 Weiss, R.E. Verywell Family (2020). How to Read a Fetal Monitor During Labor.

17

Anda mungkin juga menyukai