Anda di halaman 1dari 42

TUGAS EKOLOGI KESEHATAN LINGKUNGAN

FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN


KEJADIAN TB PARU DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN
TALLO KOTA MAKASSAR (WILAYAH KERJA PUSKESMAS
(RAPPOKALLING)

NAMA KELOMPOK:
AGUSTINA (18K251010)
SURAINI (18K251011)

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN LINGKUNGAN


STIKes IBNU SINA BATAM TAHUN
201
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tuberkulosis (TB paru) merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang


disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, suatu basil tahan asam yang ditularkan
melalui udara. Tuberkulosis dapat menyebar dari satu orang ke orang lain melalui transmisi
udara (droplet dahak pasien penderita tuberkulosis). Pasien yang terinfeksi Tuberkulosis
akan memproduksi droplet yang mangandung sejumlah basil kuman TB ketika mereka
batuk, bersin, atau berbicara. Orang yang menghirup basil kuman TB tersebut dapat
terinfeksi Tuberkulosis. Bersama dengan malaria dan HIV/AIDS, TB paru menjadi salah
satu penyakit yang pengendaliannya menjadi komitmen global dalam MDG’s (Kemenkes,
2015). Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi
seperti pleuritis, efusi pleura, laryngitis, dan TB usus.
TB merupakan penyebab utama kematian diantara berbagai penyakit infeksi.
Penyakit ini menjadi masalah yang cukup besar bagi kesehatan masyarakat terutama di
negara yang sedang berkembang. Sosial ekonomi yang rendah akan menyebabkan kondisi
kepadatan hunian yang tinggi dan buruknya sanitasi lingkungan. Selain itu masalah kurang
gizi dan rendahnya kemampuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan kategori layak
juga menjadi masalah bagi masyarakat golongan sosial ekonomi rendah (Mulyadi, 2011).
WHO dalam Annual Report on Global TB Control 2003 menyatakan terdapat 22 negara
dikategorikan sebagai high-burden countries terhadap TB 2
(WHO, 2005). India, Tiongkok, dan Indonesia berkontribusi > 50% dari seluruh kasus TB
yang terjadi di 22 negara. Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan Tiongkok
(Depkes RI, 2008). Namun menurut laporan WHO tahun 2013, prevalensi TB di Indonesia
kembali menempati urutan ketiga setelah India dan Tiongkok yaitu hampir 700 ribu kasus,
dengan angka kematian masih tetap 27 per 100.000 penduduk.
Menurut WHO dalam Global Tuberculosis Report 2017, TB merupakan salah satu
penyakit dari 10 penyebab kematian di dunia. TB juga merupakan penyebab utama
kematian yang berkaitan dengan antimicrobial resestence dan pembunuh utama penderita
HIV. Pada tahun 2016, diperkirakan terdapat 10,4 juta kasus baru (insidensi) TB di seluruh
dunia, diantaranya 6,2 juta laki-laki, 3,2 juta wanita, dan 1 juta adalah anak-anak. Dan
diantara penderita TB tersebut, 10% diantaranya merupakan penderita HIV positif. 7 negara
yang menyumbang 64% kasus baru TB di dunia adalah India, Indonesia, Tiongkok, Filipina,
Pakistan, Nigeria, dan Afrika Selatan. Pada tahun yang sama, 1,7 juta orang meninggal
karena TB termasuk didalamnya 0,4 juta merupakan penderita HIV. Namun secara global,
tingkat kematian penderita TB mengalami penurunan sebanyak 37% dari tahun 2000-2016
(WHO, 2017).
Laporan WHO tahun 2016, jumlah kematian akibat TB/HIV diperkirakan mencapai
13.000 kasus atau 5 per 100.000 penduduk, dan 32.000 kasus diantaranya merupakan
kasus TB paru yang resisten terhadap obat. Jumlah kasus baru TB/HIV mecapai 1,02 juta
orang (391 per 100.00 penduduk) diantaranya 323.000 wanita (294.000 usia produktif / 15
tahun keatas dan 28.000 usia anak-anak / dibawah umur 3
14 tahun) dan 698.000 laki-laki (666.000 usia produktif / 15 tahun keatas dan 32.000 usia
anak-anak / dibawah umur 14 tahun). Insiden MDR/RR-TB (MDR yaitu penderita TB yang
resisten terhadap rifampicin dan isoniazid, RR yaitu penderita TB yang resisten pada
rifampicin) diperkirakan sebesar 32.000 atau 12 per 100.000 penduduk. 4.330 penderita TB
paru diketahui mengidap HIV positif dan 1.228 diantaranya sedang menjalani terapi
antiretroviral.
Sejak tahun 1995 Indonesia telah menerapkan strategi baru program
penanggulangan penyakit TB paru yang direkomendasikan oleh WHO. Strategi tersebut
menerapkan panduan obat efektif dan konsep DOTS (Directly Observed Treatment
Shortcourse). Salah satu implementasi DOTS ialah digunakannya obat jangka pendek yang
ampuh membunuh kuman tuberculosis paru dan diberikan dengan pengawasan (PMO)
Pengawas Menelan Obat dan adanya jaminan ketersediaan obat (Rizka Tri, 2013). Strategi
ini telah membawa keberhasilan dalam pengobatan TB paru dari 83% (2004) menjadi 91%
(2005). Selain itu, hampir seluruh propinsi mencapai kemajuan dalam pengobatan
penderita dan peningkatan penemuan kasus baru TB paru menular antara tahun 2004-
2006. Meskipun demikian, beban TB di Indonesia masih sangat tinggi.
Prevalensi TB pada tahun 2014 sebesar 647 per 100.000 penduduk meningkat dari 272 per
100.000 penduduk pada tahun 2013. Angka insidensi tahun 2014 sebesar 399 per 100.000
penduduk meningkat dari 183 per 100.000 penduduk pada tahun 2013. Demikina juga
dnengan angka mortalitas pada tahun 2014 sebesar 41 per 100.000 penduduk meningkat
dari 25 per 100.000 penduduk pada tahun 2013 (Profil Kesehatan Indonesia, 2015). Pada
tahun 2015 ditemukan jumlah kasus 4
TB sebanyak 390.910 kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus TB yang
ditemukan pada tahun 2014 yang sebesar 324.539 kasus. Menurut jenis kelamin, jumlah
kasus pada laki-laki lebih itnggi daripada perempuan yaitu 1,5 kali.
Data dari profil kesehatan Republik Indonesia tahun 2016 menyatakan terdapat 156.723
kasus baru TB paru BTA positif yang terdiri dari 95.382 (61%) laki-laki dan 61.341 (39%)
wanita. 1.507 (0,96%) penderita TB BTA positif merupakan anak usia 0-14 tahun, 117.474
(74,96%) penderita TB BTA positif merupakan usia produktif (15-54 tahun),dan 37.742
(24,08%) penderita TB BTA positif merupakan lansia. Sedangkan hasil cakupan penemuan
semua kasus penyakit TB sebanyak 298.128 (174.675 laki-laki, 123.453 wanita) dengan
CDR (Case Detection Rate) sebesar 60,59%.
Propinsi Sulawesi Selatan menduduki peringkat keenam dengan jumlah penemuan
kasus baru TB di Indonesia di bawah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta,
dan Sumatera Utara, dengan jumlah 12.972 (7.613 laki-laki, 5.359 wanita) kasus, dengan
penderita TB paru BTA positif sebanyak 7.139 kasus (4.277 laki-laki, 2.862 wanita). Pada
tahun 2015 jumlah kasus TB BTA positif di propinsi Sulawesi Selatan terbanyak terdapat di
Kota Makassar sebesar 1.928 kasus yaitu 1.205 (62,5%) pada laki-laki dan 723 (37,5%)
pada wanita. Sedangkan jumlah seluruh kasus TB di Kota Makassar sebesar 3.639 kasus
yaitu 2.192 (60,24%) pada laki-laki dan 1.447 (39,76%) pada wanita. Kasus TB pada anak
umur 0-14 tahun di Kota Makassar sebesar 210 kasus. Angka kesembuhan (Cure Rate)
Kota Makassar sebesar 1.214 (73,09%) dari 1.661 pasien TB BTA positif yang diobati
(Profil Kesehatan Sulawesi Selatan, 2015). 5
Puskesmas Rappokalling merupakan salah satu puskesmas dengan tingkat
penderita TB paru BTA (+) yang tinggi di Kota Makassar. Pada tahun 2016 Puskesmas
Rappokalling menempati urutan ke-11 puskesmas dengan tingkat kejadian TB paru BTA (+)
dari 46 puskesmas di Kota Makassar. Namun pada tahun 2017 Puskesmas Rappokalling
menempati urutan kelima puskesmas dengan tingkat kejadian TB paru BTA (+) tertinggi di
Kota Makassar.
Faktor-faktor risiko terjadinya penyakit TB diantaranya yaitu faktor individu (umur,
jenis kelamin, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, sosial ekonomi), faktor lingkungan
rumah, kebiasaan merokok, riwayat kontak, dan sebagainya. Hasil penelitian Fitriani (2013)
menunjukkan adanya hubungan kejadian TB paru dengan umur, tingkat pendapatan,
kondisi lingkungan rumah, perilaku, dan riwayat kontak dengan penderita TB paru.
Penelitian oleh Butiop HML dkk (2015) juga menunjukkan ada hubungan kontak serumah
dengan kejadian TB paru.
Hasil penelitian Khadijah Azhar (2013) menunjukkan kondisi fisik rumah yang
mempengaruhi kejadian TB yaitu kondisi lantai rumah yang berlantai semen pelesteran
rusak/papan/tanah berisiko 1,731 kali lebih besar dibanding rumah yang berlantai keramik,
ubin, atau marmer. Perilaku yang mermpermudah terjadinya penularan TB paru adalah
tidak membuka jendela kamar tidur setiap hari, dengan perbandingan 1,36 kali berisiko
lebih besar dibanding yang membuka jendela kamar tidur, serta perilaku yang tidak
menjemur kasur sebesar 1,423 kali.
Hasil penelitian Agustina Ayu Wulandari dkk (2015) juga menunjukkan bahwa faktor-faktor
yang terbukti berpengaruh sebagai faktor risiko kejadian 6
penyakit TB paru yaitu kepadatan hunian (p=0,002), suhu ruangan (p=0,001), kelembaban
ruangan (p=0,018), jenis lantai rumah (p=0,016), kebiasaan membuang dahak sembarang
tempat (p=0,016), dan kebiasaan batuk/bersin tanpa menutup mulut (p=<0,001).
Faktor lain yang mempengaruhi kajadian penularan penyakit TB adalah sanitasi
lingkungan perumahan. Rumah dengan pencahayaan dan ventilasi yang baik akan
menyulitkan pertumbuhan kuman, karena sinar ultraviolet dapat mematikan kuman dan
ventilasi yang baik menyebabkan pertukaran udara sehingga mengurangi konsentrasi
kuman. Pada penelitian Rukmini (2011), dari tujuh komponen kondisi fisik rumah yang
diteliti, langit-langit dan ventilasi kamar tidur yang terbanyak belum memenuhi persyaratan.
Hasil tersebut sesuai dengan penelitian lainnya, dimana hasil temuan Ahmad Dahlan
(2001), ventilasi rumah yang < 10% dari luas lantai mempunyai peluang menderita TB 4,56
kali dibandingkan dengan rumah dengan ventilasi ≥ 10% dari luas lantainya. Faktor
lingkungan sangat berkaitan erat dengan faktor kondisi wilayah geografis dan iklim. Kondisi
geografis pada wilayah pegunungan, wilayah perkotaan, dan wilayah pesisir akan
membedakan tingkat kejadian dan prevalensi penyakit.
Berdasarkan aspek geografis, masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang
hidup, tumbuh, dan berkembang di kawasan pesisir. Masyarakat ini bergantung hidup
dengan mengelola sumber daya alam yang tersedia di lingkungannya yaitu kawasan
perairan dan pulau-p ulau kecil (Haerul, 2015). Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Dirhamsyah (2006), wilayah laut dan pesisir adalah wilayah yang sangat penting bagi
sebagian besar penduduk Indonesia. Lebih dari 7
14 juta penduduk atau sekitar 7,5% dari total penduduk Indonesia menggantungkan
hidupnya di kawasan ini. Sekitar 26% dari total Produk Domestik Bruto (Gross National
Product/GDP) Indonesia disumbangkan dari kegiatan sumber daya laut dan pesisir
(Dirhamsyah, 2006). Kondisis sosial ekonomi yang relatif berada dalam tingkat
kesejahteraan rendah, maka dalam jangka panjang tekanan terhadap sumber daya pesisir
akan semakin besar guna pemenuhan kebutuhan masyarakat (Ikhsani, 2011).
Wilayah pesisir merupakan salah satu tempat yang jauh dari akses pelayanan
kesehatan, sehingga hal tersebut perlu menjadi perhatian di bidang kesehatan dikarenakan
sebagian besar masyarakat memiliki status ekonomi rendah, bertempat tinggal di
pemukiman yang kumuh, dan sebagian besar masyarakat bermata pencaharian sebagai
nelayan dan buruh bangunan (Laporan Pengalaman Belajar Lapangan FKM UNHAS, Buloa
2012). Letaknya yang jauh dari pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas
utama dengan jarak sekitar 5 km menyebabkan masih perlunya penanganan terhadap
kesehatan masyarakat di wilayah pesisir terutama penyakit yang penularannya sangat
cepat dan berbasis lingkungan seperti penyakit TB paru.
Dari beberapa pernyataan di atas, jelas bahwa penyakit TB paru merupakan salah satu
penyakit berbasis wilayah yang menjadi masalah kesehatan masyarakat. Oleh karena itu,
peneliti tertarik mengambil judul “Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian
Penyakit TB Paru di Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (Wilayah Kerja
Puskesmas Rappokalling)”. 8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu
faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian penyakit TB paru di wilayah
pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah kerja Puskesmas Rappokalling).

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor risiko kejadian TB
paru pada penderita TB paru di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah
kerja Puskesmas Rappokalling).

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui faktor risiko kepadatan hunian terhadap kejadian TB paru di wilayah
pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah kerja Puskesmas Rappokalling).

b. Untuk mengetahui faktor risiko keluarga miskin terhadap kejadian TB paru di wilayah
pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah kerja Puskesmas Rappokalling).

c. Untuk mengetahui faktor risiko perilaku merokok terhadap kejadian TB paru di wilayah
pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah kerja Puskesmas Rappokalling).

d. Untuk melihat faktor risiko riwayat kontak terhadap kejadian TB paru di wilayah pesisir
Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah kerja Puskesmas Rappokalling).
9
e. Untuk melihat faktor risiko jarak rumah ke fasilitas pelayanan kesehatan terhadap
kejadian TB paru di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar (wilayah kerja
Puskesmas Rappokalling).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Penyakit Tuberkulosis

Penemuan Mycobacterium tuberculosis pada tahun 1882 oleh Robert Koch merupakan
suatu momen yang sangat penting dalam penemuan dan pengendalian panyakit tuberculosis,
walaupun penyakit ini sudah dikenal sejak 8000 tahun sebelum masehi. Dinyatakan bahwa
kuman penyebabnya semacam bakteri berbentuk batang. Dari sinilah diagnosis secara
mikrobiologis dimulai dan penatalaksanaannya lebih terarah dan pada tahun 1896 Rontgen
menemukan sinar X untuk membantu diagnosis yang lebih tepat. Penemuan ini jelas
merupakan pilar yang amat penting yang mengubah perjalanan kehidupan dan dunia kesehatan
selanjutnya (Tjokronegoro, 2004).

1. Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis), yang masih keluarga besar genus mycobacterium. Diantara
anggota keluarga Mycobacterium yang diperkirakan lebih dari 30 jenis, hanya tiga yang dikenal
bermasalah dengan kesehatan masyarakat. Mereka adalah Mycobacterium bovis,
Mycobacterium leprae, dan Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya dan yang paling sering terkena adalah
organ paru (90%). Tuberkulosis yang menyerang paru disebut Tuberkulosis Paru dan yang
menyerang selain paru disebut Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru dengan 11
pemeriksaan dahak menunjukkan BTA (Basil Tahan Asam) positif, dikategorikan sebagai
Tuberkulosis paru menular (Depkes RI, 2008).
2. Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman yang
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron dan digolongkan
dalam Basil Tahan Asam (BTA). Bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat hidup selama 1-2
jam bahkan sampai beberapa hari, berminggu-minggu, hingga bertahun-tahun bergantung pada
ada tidaknya sinar matahari tetapi dapat bertahan hidup di tempat yang gelap dan lembab.
Sebagian besar bakteri ini terdiri dari asam lemak dan lipid, yang membuat lebih tahan asam.
Sifat lain adalah bersifat aerob, lebih menyukai jaringan yang kaya oksigen. Energi kuman ini
didapat dari oksidasi senyawa karbon yang sederhana, pertumbuhannya lambat, waktu
pembelahan sekitar 20 jam, pada pembenihan pertumbuhan tampak setelah 2-3 minggu. Daya
tahan kuman ini lebih besar apabila dibandingkan dengan kuman lain karena sifat hidrofobik
permukaan sel. Pada sputum kering yang melekat pada debu dapat hidup 8-10 hari (Aditama,
2006).
Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat tidur selama beberapa tahun (dorman). Bila
dijumpai BTA atau Mycobacterium tuberculosis dalam dahak orang yang sering batuk, maka
orang tersebut didiagnosis sebagai penderita TB paru aktif dan memiliki potensi yang sangat
berbahaya (Aditama, 2006).
Ciri-ciri Mycobacterium tuberculosis adalah:
a. Berbentuk batang tipis agak bengkok bersifat aerob.
b. Berukuran 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron
c. Mempunyai granular atau tidak bergranular.
d. Tunggal berpasangan atau berkelompok.
e. Mudah mati pada air mendidih (5 menit pada suhu 800 C, 20 menit pada suhu 600 C,
mudah mati dengan sinar matahari langsung, dapat hidup berbulan-bulan pada suhu
kamar lembab).
f. Tidak berspora.
g. Tidak mempunyai selubung tapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid
(terutama asam mikolat).
h. Tahan terhadap penghilangan warna dengan asam dan alkohol Basil Tahan Asam
(BTA) (WHO, 2006).

3. Cara Penularan TB Paru


Sumber penularan TB adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin,
pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet infection). Sekali
batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam
ruangan dimana percikan dahak berada di udara dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat
mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.
Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab
(Kemenkes RI, 2011).
Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin tinggi tingkat
penularan pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpapar kuman TB
ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut
(Herdin, 2005). 13
Menurut Aditama (2006), penularan TB dapat terjadi jika seseorang penderita TB paru
berbicara, meludah, batuk, atau bersin, maka kuman-kuman TB yang berada dalam paru-
parunya akan menyebar ke udara sebagai partikulat melayang (suspended particulate matter)
dan menimbulkan droplet infection. Basil TB paru tersebut dapat terhirup oleh orang lain yang
berada di sekitar penderita. Dalam waktu 1 tahun seorang penderita TB paru dapat menularkan
penyakitnya pada 10 sampai 15 orang di sekitarnya.
Apabila sudah terkontaminasi dengan kuman Mycobacterium tuberculosis (TB) itu sangat
berisiko dimana sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Riwayat alamiah pasien
TB yang tidak diobati setelah 5 tahun diantaranya 50% akan meninggal, 25% akan sembuh
sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular
(Kemenkes RI, 2011).

4. Mekanisme Terjadinya Penyakit TB Paru


Infeksi terjadinya Tuberkulosis saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB.
Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan
mukosilier bronkus dan terus berjalan sehingga sampai ke alveolus dan menetap di sana.
Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembangbiak dengan cara pembelahan diri di paru-
paru, yang mengakibatkan peradangan di paru. Saluran limfe akan membawa kuman TB ke
kelenjar limfe sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara
terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya
infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberculin dari negatif menjadi
positif (Depkes RI, 2006).
Terjadinya infeksi tergantung banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya
tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB, ada beberapa kuman
akan menetap sebagai kuman persisten atau dorman (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh
tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang
bersangkutan akan menjadi penderita TB. Masa inkubasi yaitu waktu yang diperlukan mulai
terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2006).
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang
melewati kelenjar getah bening dalam jumlah kecil akan mencapai aliran darah yang kadang-
kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ. Jenis penyebaran ini dikenal dengan
nama penyebaran limphohematogen yang biasanya sembuh sendiri. Jenis penyebaran
hemathogen yang lain adalah fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier.
Ini terjadi apabila nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke
dalam sistem vascular dan tersebar ke organ-organ.

5. Tanda dan Gejala


Gambaran klinis Tuberkulosis mungkin belum muncul pada infeksi awal dan mungkin
tidak akan pernah timbul bila tidak terjadi infeksi aktif. Bila timbul infeksi aktif klien biasanya
memperlihatkan gejala batuk pirulen produktif disertai nyeri dada, demam (biasanya pagi hari),
malaise, keringat malam, gejala flu, batuk darah, kelelahan, hilang nafsu makan, dan
penurunan berat badan (Samsuridjal, 2005).
Gejala-gejala paling umum dijumpai adalah:
a. Batuk yang terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih.
Semua orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala utama ini harus
dianggap sebagai seorang droplet tuberkulosis, atau penderita tersangka Tuberkulosis (TB).
b. Mengeluarkan dahak bercampur darah (Haemoptysis), sesak nafas dan nyeri dada.
c. Lemah badan, kehilangan nafsu makan dan berat badan turun, rasa kurang enak badan
(Malaise), berkeringat pada malam hari padahal tidak ada kegiatan dan demam meriang lebih
dari sebulan.
Bila gejala-gejala tersebut diperkuat dengan riwayat kontak dengan seorang penderita
Tuberkulosis (TB) maka kemungkinan besar dia juga menderita Tuberkulosis (TB). Gejala-
gejala dari Tuberkulosis (TB) ekstra paru tergantung dari organ yang terkena, nyeri dada
Tuberkulosis pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe (Limfadenitis tuberculosis), dan
pembengkokan tulang belakang (Spondilitis tuberculosis) merupakan tanda-tanda yang sering
dijumpai pada Tuberkulosis ekstra paru (Corwin, 2009).

6. Risiko Penularan
Risiko tertular bergantung pada tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru
dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru
BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection (ARTI) yaitu proporsi
penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1% berarti 10 orang
diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberculin negatif menjadi positif.
7. Risiko Menjadi Sakit TB
Risiko seseorang tertular oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis untuk menjadi sakit
TB paru digambarkan oleh Kemenkes RI (2011), sebagai berikut:
a. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB paru. Dengan ARTI 1%,
diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB paru dan 10%
diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB paru setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya
adalah penderita TB Paru BTA positif.
b. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB paru adalah daya
tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
c. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB paru.
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (Cellular immunity),
sehingga jika terjadi infeksi oportunistik seperti Tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan
menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV
meningkat, maka jumlah penderita TB paru akan meningkat, dengan demikian penularan TB
paru di masyarakat akan meningkat pula.
8. Strategi Penemuan Penderita Tuberkulosis (TB) Paru
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan
klasifikasi penyakit, dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam
kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular,
secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di
masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di
masyarakat.
a. Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru Pada Orang Dewasa
Penemuan penderita Tuberkulosis Paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan
tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan
kesehatan. Penemuan secara pasif didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh
petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka
penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive promotif case finding (penemuan
penderita secara pasif dengan promosi yang aktif).
Selain itu semua kontak penderita Tuberkulosis Paru BTA positif dengan gejala yang sama
harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka
penderita sedini mungkin, mengingat Tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat
mengakibatkan kematian. Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam
waktu 2 hari berturut-turut, sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) yaitu sebagai berikut:
1) S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB paru datang berkunjung pertama kali.
Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi hari
pada hari kedua.
2) P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur.
Pot dibawa dan diserahkan kepada petugas di UPK.
3) S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi
(Depkes RI, 2006).

b. Penemuan Penderita Tuberkulosis Pada Anak


Penemuan penderita Tubekulosis pada anak merupakan hal yang sulit. Sebagian besar
diagnosis Tuberkulosis anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran radiologis dan uji
Tuberkulin (Depkes RI, 2006).
9. Diagnosis Tuberkulosis (TB)
a. Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa
Menurut Depkes RI (2006), diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat dilakukan
dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan
dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA
hasilnya positif. Bila hanya satu spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut
yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) diulang.
1) Kalau hasil rontgen mendukung TB paru, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB
positif.
2) Kalau hasil foto rontgen tidak mendukung TB paru, maka pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-
Pagi-Sewaktu) diulangi.
Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektum luas selama 1-2
minggu. Bila tidak ada perubahan namun gejala kinis tetap mencurigakan TB, ulangi
pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu).
1) Kalau hasil positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif.
2) Kalau hasil SPS tetap negatif, dilakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung
diagnosis TB.
3) Bila hasil rontgen mendukung TB, didagnosis sebagai penderita TB BTA negatif rontgen
positif.
4) Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.

b. Diagnosis Tuberkulosis Pada Anak


Diagnosis paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman TB dari bahan yang diambil
penderita misalnya dahak. Tetapi pada anak hal ini sulit dan jarang didapat, sehingga sebagian
besar diagnosis TB anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran rontgen dada dan uji
tuberkulin. Seorang anak harus dicurigai menderita Tuberkulosis kalau mempunyai sejarah
kontak erat (serumah) dengan penderita TB BTA positif, terdapat reaksi kemerahan cepat
setelah penyuntikan BCG (dalam 3-7 hari) serta terdapat gejala klinis TB. Agar anak terhindar
dari penyakit TB maka perlu diberikan imunisasi BCG untuk kekebalan aktif terhadap penyakit
Tubekulosis (TB), vaksin ini mengandung bakteri Bacillus Calmette Guaerrin (BCG) hidup yang
dilemahkan. BCG diberikan 1 kali sebelum anak berumur 2 bulan (Depkes RI, 2006).
1) Uji tuberculin (Mantoux)
Bila uji tuberculin positif, menunjukkan adanya infeksi TB dan kemungkinan ada TB aktif
pada anak. Namun, uji tuberculin dapat 20
negatif pada anak TB berat dengan alergi (malnutrisi, penyakit sangat berat, dll). Jika uji
tuberculin meragukan dilakukan uji silang.
2) Reaksi cepat BCG

Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan
indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah terinfeksi kuman TB.
3) Foto rontgen dada

Gambaran rontgen TB paru pada anak tidak khas dan interpretasi foto biasanya sulit, harus
hati-hati, kemungkinan bias overdiagnosis atau underdiagnosis.
4) Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi

Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada anak biasanya dilakukan dengan bilasan
lambung karena dahak biasanya sulit didapat pada anak. Demikian juga pemeriksaan serologis
seperti ELISA, PAP, dll, masih memerlukan penelitian yang lebih lanjut.
10. Klasifikasi Penyakit Dan Tipe Penderita

Klasifikasi penderita TB paru adalah sebagai berikut:


a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1) Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. Tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. 21
2) Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan pemeriksaan dahak mikroskopis
1) Tuberkulosis paru BTA positif
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Spesimen
dahak SPS hasilnya positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
2) Tuberculosis paru BTA negatif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya negatif dan foto rontgen dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit
1) TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran
kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan keadaan umum pasien buruk.
2) TB eksta paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
a) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b) TB ekstra paru berat, misalnya: meningitis, milier, pericarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa
bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih, dan alat kelamin.

d. Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa
tipe penderita yaitu:
1) Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari 1 bulan (30 dosis harian).
2) Kambuh (relaps)
Adalah penderita yang pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan
sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
3) Pindahan (transfer in)
Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten lain dan
kemudian pindah berobat ke kabupaten tertentu. Penderita tersebut harus membawa surat
rujukan/pindahan.
4) Setelah lalai (pengobatan setelah default/drop out)
Adalah penderita yang sudah pernah berobat paling kurang 1 bulan dan berhenti 2
bulan lebih, kemudian datang lagi berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil
dahak BTA positif
2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
A. Faktor Risiko Terjadinya Tuberkulosis
Faktor risiko adalah semua variabel yang berperan dalam timbulnya kejadian penyakit.
Pada dasarnya berbagai faktor risiko TB paru saling berkaitan satu sama lain. Faktor risiko
yang berperan dalam kejadian tuberkulosis adalah faktor karakteristik individu (umur, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan) faktor sosial ekonomi (status kemiskinan),
faktor risiko kondisi lingkungan (kepadatan hunian, ventilasi, suhu, kelembaban, pencahayaan,
dan jenis rumah/materi bangunan), faktor perilaku kebiasaan merokok, faktor riwayat kontak,
dan jarak rumah ke fasilitas pelayanan kesehatan.

B. Tinjauan Umum Tentang Kepadatan Hunian


Rumah sehat adalah Rumah yang memenuhi standar kebutuhan penghuninya baik dari
aspek kesehatan, keamanan, dan kenyamanan. Kejadian penyakit TB paru dapat dipengaruhi
oleh berbagai faktor lainnya seperti lingkungan perumahan terdiri dari lingkungan fisik, biologis,
dan sosial (Suyono, 2011).
Menurut WHO, rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk tempat berlindung, dimana
lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosialnya baik demi
kesehatan keluarga dan individu (Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan Lingkungan, 2010).
Rumusan yang dikeluarkan oleh American Public Health Association (APHA), syarat rumah
sehat harus memenuhi kriteria (winslow) sebagai berikut:
1. Memenuhi kebutuhan fisiologis. Antara lain, pencahayaan, penghawaan dan ruang gerak
yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu.
2. Memenuhi kebutuhan psikologis, antara lain, privasi yang cukup, komunikasi yang sehat
antar anggota keluarga dan penghuni rumah.
3. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah, yaitu dengan
penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan air limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit
dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya
makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan penghawaan yang
cukup.
4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan, baik yang timbul karena keadaan
luar maupun dalam rumah antara lain persyaratan garis sepadan jalan, konstruksi yang tidak
mudah roboh, tidak mudah terbakar, dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh
tergelincir.

Komponen yang harus dimiliki rumah sehat adalah:


1. Pondasi yang kuat guna meneruskan beban bangunan ke tanah dasar, memberi kestabilan
bangunan, dan merupakan konstruksi penghubung antara bangunan dengan tanah.
2. Lantai kedap air dan tidak lembab, tinggi minimum 10 cm dari pekarangan dan 25 cm dari
badan jalan, bahan kedap air, untuk rumah panggung dapat terbuat dari papan atau anyaman
bambu.
3. Memiliki jendela dan pintu yang berfungsi sebagai ventilasi dan masuknya sinar matahari
dengan luas minimum 10% luas lantai.
4. Dinding rumah kedap air yang berfungsi untuk mendukung atau menyangga atap, menahan
angin dan air hujan, melindungi dari panas dan debu dari luar, serta menjaga kerahasiaan
(privacy) penghuninya.
5. Langit-langit untuk menahan dan menyerap panas terik matahari, minimum 2,75 m dari
lantai, bisa dari bahan papan, anyaman bambu, tripleks atau gypsum.
6. Atap rumah yang berfungsi sebagai penahan panas sinar matahari serta melindungi
masuknya debu, angina, dan air hujan.
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya
luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuni rumah agar
tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya
konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah
menular kepada anggota keluarga yang lain (Notoatmodjo, 2005).
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam
m2/orang. Luas minimum per orang sangat relative bergantung dari kualitas bangunan dan
fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana yang luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk
kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit
pernapasan, jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm.
kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di 30
bawah 2 tahun (Kepmenkes, 1999). Untuk menjamin volume udara yang cukup, disyaratkan
juga langit-langit minimum tingginya 2,75 m.
Hasil penelitian Agustina dkk (2015) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang terbukti
berpengaruh sebagai faktor risiko kejadian penyakit TB paru yaitu kepadatan hunian (p=0,002).

C. Tinjauan Umum Tentang Keluarga Miskin


Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi
lingkungan, status gizi, dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan
dapat menyebabkan kurangnya daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga akan
berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan
kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB paru.
WHO (2003) menyebutkan penderita TB paru di dunia menyerang kelompok sosial ekonomi
lemah atau miskin. Walaupun tidak berhubungan secara langsung namun dapat merupakan
penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, perumahan tidak sehat, dan
kemampuan dalam akses pelayanan kesehatan menurun. Menurut perhitungan, rata-rata
penderita TB kehilangan 3-4 bulan waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilangan
penghasilan setahun secara total mencapai 30% dari pendapatan rumah tangga (Ahmadi,
2005).
Menurut BPS (Badan Pusat Statisitik), ada 14 kriteria yang digunakan untuk
menentukan keluarga/rumah tangga dikategorikan miskin, yaitu:
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.
2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa
diplester.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
8. Hanya mengonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 500 m2, buruh
tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, dan atau pekerjaan lainnya dengan
pendapatan di bawah Rp. 600.000,- per bulan.
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,- seperti
sepeda motor kredit/non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
32
Jika minimal 9 kriteria terpenuhi maka suatu rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga
miskin.
Sedangkan menurut Kepmensos RI nomor 146/HUK/2013 tentang penetapan kriteria
dan pendataan fakir miskin dan orang tidak mampu menetapkan bahwa fakir miskin dan orang
tidak mampu berasal dari rumah tangga yang memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian
tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar.
2. Mempunyai pengeluaran sebagian besar digunakan untuk memenuhi konsumsi makanan
pokok dengan sangat sederhana.
3. Tidak mampu atau mengalami kesulitan untuk berobat ke tenaga medis, kecuali Puskesmas
atau yang disubsidi pemerintah.
4. Tidak mampu membeli pakaian satu kali dalam satu tahun untuk setiap anggota rumah
tangga.
5. Mempunyai kemampuan hanya menyekolahkan anaknya sampai jenjang pendidikan Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama.
6. Mempunyai dinding rumah terbuat dari bambu/kayu/tembok dengan kondisi tidak
baik/kualitas rendah, termasuk tembok yang sudah usang/berlumut atau tembok tidak diplester.
7. Kondisi lantai terbuat dari tanah atau kayu/semen/keramik dengan kondisi tidak baik/kualitas
rendah.
33
8. Atap terbuat dari ijuk/rumbia atau genteng/seng/asbes dengan kondisi tidak baik/kualitas
rendah.
9. Mempunyai penerangan bangunan tempat tinggal bukan dari listrik atau listrik tanpa meteran.
10. Luas lantai rumah kecil kurang dari 8 m2/orang.
11. Mempunyai sumber air minum berasal dari sumur atau mata air tidak terlindung/air
sungai/air hujan/lainnya.

D. Tinjauan Umum Tentang Perilaku Merokok


Perilaku seseorang yang berhubungan dengan penyakit TB adalah perilaku yang
mempengaruhi atau menjadikan seseorang untuk mudah terinfeksi atau tertular kuman TB
misalnya kebiasaan membuka jendela setiap hari, menutup mulut bila batuk atau bersin,
meludah sembarangan, merokok, dan kebiasaan menjemur kasur ataupun bantal (Suarni,
2009).
Merokok dapat diketahui mempunyai hubungan dengan peningkatan risiko untuk
mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik, dan kanker
kandung kemih. Kebiasaan merokok juga meningkatkan risiko untuk terkena TB paru sebanyak
2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang,
relatif lebih rendah dibandingkan dengan 430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480
batang/orang/tahun di Ghana, dan 760 batang/orang/tahun di Pakistan (Ahmadi, 2005).
Prevalensi merokok pada hampir semua negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-
laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok
akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB paru. 34
Pada penelitian yang dilakukan oleh Made Agus Nurjana (2015) pada kelompok usia produktif
menunjukkan risiko perokok aktif lebih besar dibandingkan dengan perokok pasif maupun
kelompok bukan perokok.
Namun dalam beberapa penelitian lainnya didapatkan hasil yang berbeda. Seperti
dalam penelitian yang dilakukan oleh Ardhitya dan Liena (2014) menunjukkan tidak ada
hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian tuberkulosis di Puskesmas Depok 3
Kabupaten Sleman. Hal ini dapat terjadi karena jumlah responden yang merokok lebih sedikit
dibandingkan yang tidak merokok. Hal ini disebabkan responden yang diteliti pernah merokok
namun sudah berhenti ketika terkena TB paru dan tidak merokok kembali. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang menyatakan bahwa status kebiasaan merokok setiap hari tidak memiliki
hubungan dengan kejadian tuberkulosis dewasa di Kecamatan Semarang Utara (Widyaswari,
2011). Hal ini dapat dianggap sebagai bias penelitian karena pada beberapa kasus penelitian
lainnya riwayat merokok (pernah merokok dan sudah berhenti) maupun status perokok pasif
tidak dicantumkan sehingga kebiasaan merokok bisa saja tidak berpengaruh terhadap kejadian
TB paru dalam suatu penelitian.

E. Tinjauan Umum Tentang Riwayat Kontak


Variabel atau indikator yang paling dominan untuk memprediksi kejadian TB paru adalah
riwayat kontak dengan penderita TB. Hal ini memang sering ditemui karena faktor utama
seseorang dapat terinfeksi adalah setelah menghirup udara yang mengandung droplet yang
mengandung kuman yang ditularkan oleh penderita TB paru BTA positif (Depkes RI, 2005).
Riwayat kontak yang dimaksud 35
antara lain pernah tinggal serumah dengan penderita TB paru, sehingga memungkinkan droplet
kuman TB yang keluar lewat bersin atau batuk penderita dapat terhirup bersama dengan
oksigen di udara dalam rumah oleh anggota keluarga lainnya sehingga sangat memudahkan
terjadinya proses penularan. Namun tidak semua yang mendapat riwayat kontak akan terjangkit
TB paru, tergantung pada seberapa kuat daya tahan tubuh seseorang serta dapat pula kuman
TB tersebut dorman dalam tubuh seseorang sehingga tidak menimbulkan gejala tuberkulosis.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ryana dkk (2012), terdapat 4,4% kelompok
kasus atau penderita TB paru mempunyai riwayat kontak atau tinggal serumah sedangkan pada
kelompok kontrol tidak ada (0%). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Eka Fitriani (2013)
menunjukkan ada hubungan antara riwayat kontak dengan kejadian TB paru. Tingkat penularan
TB di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita dapat menularkan
kepada 2-3 orang di dalam rumahnya, sedangkan besar risiko terjadinya penularan untuk
rumah tangga dengan penderita lebih dari satu orang adalah 4 kali lebih besar dibandingkan
dengan rumah tangga yang hanya satu orang penderita TB paru di dalamnya.
Pada penelitian lainnya oleh Mahpudin dan Mahkota (2007) menunjukkan bahwa sumber
kontak serumah berhubungan secara bermakna dengan kejadian TB paru BTA (+). Mereka
yang tinggal serumah dengan kontak berisiko menderita tuberculosis 3,16 kali lebih besar
dibandingkan dengan mereka yang tidak ada kontak serumah. Temuan ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya, penelitian di Palembang kontak serumah berisiko 41,8 kali lebih besar
daripada mereka yang 36
tanpa kontak serumah. Penelitian di Kabupaten Majalengka 8,59 kali lebih besar dibandingkan
dengan mereka yang tidak ada kontak serumah. Kontak erat dengan penderita TB paru BTA (+)
berisiko maksimum untuk terjadinya infeksi. Keterlambatan dalam memberikan pengobatan
akan memperbesar kemungkinan terjadinya risiko penularan.
F. Tinjauan Umum Tentang Jarak Rumah ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Jarak rumah ke fasilitas atau tempat pelayanan kesehatan adalah seberapa jauh
lintasan yang ditempuh responden menuju tempat pelayanan kesehatan yang meliputi rumah
sakit, puskesmas, dan lainnya. Keterjangkauan masyarakat termasuk jarak terhadap tempat
pelayanan kesehatan akan mempengaruhi pemilihan pelayanan kesehatan (Khudhori, 2012).
Selain itu jarak merupakan komponen kedua yang memungkinkan seseorang untuk
memanfaatkan pelayanan pengobatan. Salah satu pertimbangan yang menentukan sikap
individu memilih sumber perawatan adalah jarak tempat tinggal ke sumber perawatan. Akses
terhadap pelayanan kesehatan meliputi keterjangkauan lokasi tempat pelayanan, jenis, dan
kualitas pelayanan yang tersedia. Aksesibilitas dapat dihitung dari waktu tempuh, jarak tempuh,
jenis transportasi, dan kondisi di pelayanan kesehatan, seperti jenis pelayanan kesehatan,
tenaga kesehatan yang tersedia, dan waktu pelayanan kesehatan.
Jarak dan waktu tempuh yang terlalu jauh juga memungkinkan penderita TB paru untuk tidak
melakukan pengobatan tuberkulosis bulanan di fasilitas pelayanan kesehatan seperti
puskesmas atau rumah sakit. Hal ini bisa terjadi karena 37
kurangnya edukasi, motivasi dan pemahaman yang dilakukan oleh petugas kesehatan pada
saat penderita TB paru melakukan pemeriksaan atau pengobatan sebelumnya sehingga
penderita kurang termotivasi untuk sembuh dari penyakitnya.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Bertin (2011) menunjukkan nilai rata-rata jarak tempat asal
pasien ke fasilitas pengobatan adalah 56,98 km. Pasien terus diberikan edukasi dan motivasi
oleh petugas kesehatan sehingga mereka memiliki keinginan yang kuat untuk sembuh dan rela
menempuh jarak yang jauh untuk berobat di fasilitas kesehatan yang lebih baik. Hal ini
menunjukkan bahwa walaupun fasilitas pelayanan kesehatan berada dalam jarak yang dekat
namun apabila fasilitas atau tenaga kesehatannya memiliki kinerja dengan kualitas yang buruk
hal itu dapat mempengaruhi tingkat keinginan penderita untuk datang berobat ke tempat
tersebut.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Eka Fitriani (2013), menunjukkan bahwa kejadian
TB paru di wilayah kerja Puskesmas Ketanggungan banyak ditemukan pada jarak dekat atau ≤
5 km dari puskesmas yaitu 75,8%. Hal ini dikarenakan pada penderita TB paru yang jarak
rumahnya jauh atau > 5 km tidak memeriksakan diri dan berobat di puskesmas sehingga tidak
tercatat dalam rekam medik puskesmas. Hal ini terjadi jika jarak yang ditempuh terlalu jauh dan
tenaga kesehatan di puskesmas tersebut tidak melakukan kegiatan penyuluhan atau edukasi
khususnya mengenai penyakit TB paru di daerah-daerah yang jauh atau terpencil di wilayah
kerjanya sehingga kesadaran masyarakat terhadap kesehatan mereka serta keikutsertaan
mereka dalam pemeriksaan kesehatan di puskesmas jauh lebih sedikit 38
sehingga puskesmas tersebut harus mengambil langkah yang inisiatif dalam penanggulangan
dan pencegahan penyakit seperti TB paru.
G. Tinjauan Umum Tentang Wilayah Pesisir

1. Pengetian Wilayah Pesisir


Perairan pesisir adalah daerah pertemuan darat dan laut, dengan batas darat dapat
meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh
sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, dan intrusi air laut. Potensi besar wilayah pesisir
juga merupakan ekosistem yang mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan
pembangunan secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap
ekosistem perairan pesisir (Dirhamsyah, 2006).
Kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara
daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir
mempunyai dua macam batas yaitu batas yang sejajar dengan garis pantai dan batas yang
tegak lurus dengan garis pantai. Menurut Dahuri dkk (2001), pengertian wilayah pesisir menurut
kesepakatan internasional adalah merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke
arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut,
dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua. Menurut UU No. 27 Tahun 2007 tentang
batasan wilayah pesisir, ke arah daratan mencakup wilayah administrasi daratan dan ke arah
perairan laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah garis laut lepas dan atau ke arah
perairan kepulauan (Dirhamsyah, 2006). 39
2. Karakteristik Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama
mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan
ketergantungannya terhadap sumber daya pesisir (Ikhsani, 2011). Masyarakat pesisir pada
umumnya bermata pencaharian di sektor pemanfaatan sumber daya kelautan, seperti nelayan,
pembudidaya ikan, dan transportasi laut, bahkan pedagang ikan (Ikhsani, 2011).
Kondisi lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum tertata
dengan baik, dan terkesan kumuh. Kondisi sosial ekonomi yang berada dalam tingkat
kesejahteraan rendah, maka dalam jangka panjang tekanan terhadap sumber daya pesisir akan
semakin besar guna pemenuhan kebutuhan masyarakat (Ikhsani, 2011). 40
H. Kerangka Teori
Sumber
Dampak
Manusia
Transmisi
Karakteristik individu:
1. Umur

2. Jenis kelamin

3. Pendidikan

4. Pekerjaan

5. Kebiasaan merokok

6. Sosial ekonomi (keluarga miskin)

7. riwayat kontak
Faktor risiko lingkungan:
1. Kepadatan hunian

2. Pencahayaan

3. ventilasi

4. Suhu

5. Kelembaban

6. Jenis lantai

7. Jenis dinding
Faktor risiko geografis:
- Kepadatan perumahan

- Sarana pelayanan kesehatan

- Iklim

Sumber: Modifikasi Achmadi, 2005

Anda mungkin juga menyukai