TROPICAL MEDICINE
Edisi Keempat
2012
Tutor’s Guide
Tutorial Blok IX
UMS-FK-PD-TG-BO9
Edisi : 4
Revisi : Ketiga
Tanggal : 10 September 2012
Dikaji ulang oleh : Sekretaris Program Studi Pendidikan Dokter
Dikendalikan oleh : Koordinator Blok IX
Disetujui oleh : Ketua Program Studi Pendidikan Dokter
Koordinator
dr. Anika Candrasari
Sekretaris
dr. D. Dewi Nirlawati
Anggota
Riandini Aisyah, S.Si, M.Sc
dr. Rochmadina Suci Bestari
dr. Wulandari Berliani Putri
dr. Nurrohman Anindieta
dr. Indriyati Oktaviano
Konsultan
dr. Nurhidayat, SpPD, M.Kes
HALAMAN
Blok Tropical Medicine adalah blok ke IX dalam kurikulum Program Studi Pendidikan
Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. Blok Tropical Medicine
ini merupakan integrasi antara ilmu pre klinik dan ilmu klinik. Tujuan dari pembuatan blok
ini adalah untuk memberikan pengetahuan dan membentuk pola pikir mahasiswa dalam
menghadapi suatu kasus klinis kedokteran tropis dilihat dari etiologi, patogenesis,
patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis,
diagnosis dan diagnosis banding, pengobatan, prognosis, komplikasi dan pencegahannya.
Blok IX terdiri dari satu modul yang berisi 4 skenario dengan tema bakteriologi,
virologi, protozoologi dan helminthologi. Setiap skenario akan dipelajari dalam 1 minggu
sehingga blok ini akan berlangsung selama 4 minggu. Aktivitas belajar dalam blok Tropical
Medicine meliputi diskusi tutorial, belajar mandiri, konsultasi pakar, kuliah blok, kuliah
pleno (bila diperlukan) dan praktikum.
Kuliah blok diberikan untuk memberikan pemahaman konsep-konsep dasar tentang
aspek yang berkaitan dengan skenario yang tengah dihadapi. Kuliah pleno (bila diperlukan)
diadakan satu kali pada akhir blok untuk membahas masalah-masalah yang muncul dan
belum dapat diselesaikan dalam diskusi kelompok. Diskusi kelompok dilaksanakan dua kali
dalam 1 minggu dimana mahasiswa dihadapkan pada satu skenario yang mengetengahkan
permasalahan klinik. Untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap materi modul
diselenggarakan pula praktikum di laboratorium Biomedik.
Pada minggu terakhir blok diadakan ujian tertulis dan ujian praktikum. Sedangkan
penilaian tutorial atau diskusi kelompok dilakukan oleh tutor setiap minggunya. Dalam
pelaksanaan proses belajar mengajar, mahasiswa diharapkan dapat menggali sasaran
belajar sendiri. Sehingga mahasiswa harus lebih mandiri dengan mencari informasi dan
kepustakaan dari berbagai sumber yang berkaitan dengan materi Blok IX.
Koordinator Blok IX
Gram-positive cocci
Staphylococcal and streptococcal infections
Superficial infections, including folliculitis, hidranitis 1 2 3A 3B 4
suppurativa, carbuncle
Osteomyelitis 1 2 3A 3B 4
Staphylococcal pneumonia 1 2 3A 3B 4
Staphylococcal bacteremia 1 2 3A 3B 4
Streptococcal infections
Rheumatic fever 1 2 3A 3B 4
Sinusitis, otitis media, mastoiditis, peritonsilar abscess – 1 2 3A 3B 4
THT
Rheumatic heart disease 1 2 3A 3B 4
Gram-negative cocci
Meningococcal infection (neuro)
Meningitis (neuro) 1 2 3A 3B 4
Nasopharyngitis 1 2 3A 3B 4
Gonococcal infections
Gonorrhea 1 2 3A 3B 4
Gram-negative bacilli
Urinary tract infection (UTI) 1 2 3A 3B 4
Typhoid fever 1 2 3A 3B 4
Dysentry bacilli 1 2 3A 3B 4
Cholera 1 2 3A 3B 4
Pertussis 1 2 3A 3B 4
Plague (pes) 1 2 3A 3B 4
Chancroid 1 2 3A 3B 4
Toxin producing bacteria
Diphteria (THT) 1 2 3A 3B 4
Tetanus (pediatri) 1 2 3A 3B 4
Spirochetal diseases
Syphilis 1 2 3A 3B 4
Yaws 1 2 3A 3B 4
Leptospirosis 1 2 3A 3B 4
Viral infections
Influenza 1 2 3A 3B 4
Avian influenza (THT) 1 2 3A 3B 4
Viral gastroenteritis 1 2 3A 3B 4
Poliomyelitis 1 2 3A 3B 4
Rabies 1 2 3A 3B 4
Morbili 1 2 3A 3B 4
Varicella 1 2 3A 3B 4
Herpes zoster 1 2 3A 3B 4
Herpes simplex 1 2 3A 3B 4
Mumps 1 2 3A 3B 4
CMV infections 1 2 3A 3B 4
Dengue hemorrhagic fever (DHF) 1 2 3A 3B 4
HIV-AIDS 1 2 3A 3B 4
Protozoal infections
Amoebiasis 1 2 3A 3B 4
Malaria 1 2 3A 3B 4
Leishmaniasis dan tripanosomiasis 1 2 3A 3B 4
Toxoplasmosis 1 2 3A 3B 4
Giardiasis 1 2 3A 3B 4
Trichomoniasis 1 2 3A 3B 4
Worm infestations
Hookworm diseases 1 2 3A 3B 4
Strongyloidiasis 1 2 3A 3B 4
Ascariasis 1 2 3A 3B 4
Filariasis 1 2 3A 3B 4
Schistosomiasis 1 2 3A 3B 4
Cutaneus larva migran 1 2 3A 3B 4
Taeniasis 1 2 3A 3B 4
Host
Environment Agent
Bakteri/kuman,
virus, jamur,
protozoa,
Patogenesis cacing
Gejala dan
tanda
Diagnosis
banding
Pemeriksaan penunjang
Terapi
Aktivitas belajar pada Blok IX ini meliputi diskusi kelompok dengan tutor, belajar
mandiri, konsultasi pakar , kuliah blok, kuliah pakar dan praktikum.
2. Belajar mandiri
Belajar mandiri ini merupakan langkah VI dalam metode seven jump. Pada
langkah ini mahasiswa diberikan kesempatan untuk menetapkan metode belajarnya
sendiri dengan waktu, gaya belajar, dan tempat belajar sesuai dengan dirinya. Untuk itu
mahasiswa diharapkan lebih aktif dalam belajar, berdiskusi, mencari informasi pustaka
maupun konsultasi dengan pakar.
3. Konsultasi pakar
a. Mahasiswa diberi kesempatan untuk berkonsultasi dengan pakar bila memerlukan
b. Konsultasi pakar dapat dilakukan dengan pakar seperti yang tertulis dalam buku
panduan blok
6. Aktivitas Laboratorium
Praktikum dilaksanakan pada laboratorium yang terkait, sesuai dengan jadwal yang
tercantum dalam buku panduan blok.
A = 77 ≤ NILAI ≤ 100
AB = 70 ≤ NILAI < 77
B = 63 ≤ NILAI < 70
BC = 56 ≤ NILAI < 63
C = 50 ≤ NILAI < 56
D = 35 ≤ NILAI < 50
E = 0 ≤ NILAI < 35
1. Brooks, Geo F, et al. 2007. Jawetz, Melnick & Adelberg’s Medical Microbiology. 24th
Edition. New York : The McGraw Hill Companies.
2. Brusch, J.L., 2010, Typhoid Fever. http://emedicine.medscape.com/article/231135-
overview.
3. Cammie F. Lesser, Samuel I. Miller, 2005. Salmonellosis. Harrison’s Principles of
Internal Medicine (16th ed), 897-900.
4. Chambers, H.F., 2006. Infectious Disease: Bacterial and Chlamydial. Current Medical
Diagnosis and Treatment (45th ed), 1425-1426.
5. Defendi, G.L., MD, MS, FAAP., Demirci, C.S., MD., Abuhammour, W., MD., FAAP.,
Steele, R.W., MD., Noel., G.J., MD., Quintana, E.C., MD., Schleiss, M.R., MD., Shahidi,
H., MD., MPH., Wilkes, G., MBBS., FACEM., Windle, M.L., PharmD., Young, G.M., MD.
2012. MUMPS. Available at http://emedicine.medscape.com/article/966678-
overview. Diakses tanggal 29 Juli 2012
6. Fauci, Anthony S,et al.2008. Harrison’s Manual of Medicine. 17th Edition. New York :
The McGraw Hill Companies.
7. Hadidjaja, Pinardi dan Kurniawan, Agnes (Editor : Pinardi Hadidjaja dan Sri S.
Margono).20II. Dasar Parasitologi Klinik, Edisi Pertama. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
8. Hadinegoro, Sri Rezeki H, dkk. 2001. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. Jakarta : Departemen Kesehatan
9. Hay, William W, Jr, et al. 2003. Current Pediatric Diagnosis & Treatment. 16th
Edition. New York : The McGraw Hill Companies.
10. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008, Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis (2nd ed),
Badan Penerbit IDAI, Jakarta.
11. Madsen, K.M., MD., Hviid, A., M.Sc., Vestergaard, M., MD., Schendel, D., PhD.,
Wohlfahrt, J., M.Sc., Thorsen, P., MD., Olsen, J., MD., Melbye, M., MD. 2002. A
Population-Based Study of Measles, Mumps, and Rubella Vaccination and Autism.
The New England Journal of Medicine : Vol. 347, N o. 19. November 7, 2002. Diakses
tanggal 27 Juli 2012.
Salah satu penyakit infeksi sistemik akut yang banyak dijumpai di berbagai belahan
dunia hingga saat ini adalah demam tifoid yang disebabkan oleh bakteri gram negatif
Salmonella typhi. Di Indonesia, demam tifoid lebih dikenal oleh masyarakat dengan istilah
“penyakit tifus”.
Dalam empat dekade terakhir, demam tifoid telah menjadi masalah kesehatan global
bagi masyarakat dunia. Diperkirakan angka kejadian penyakit ini mencapai 13-17 juta kasus
di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai 600.000 jiwa per tahun. Daerah endemik
demam tifoid tersebar di berbagai benua, mulai dari Asia, Afrika, Amerika Selatan, Karibia,
hingga Oceania. Sebagain besar kasus (80%) ditemukan di negara-negara berkembang,
seperti Bangladesh, Laos, Nepal, Pakistan, India, Vietnam, dan termasuk Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu wilayah endemis demam tifoid dengan mayoritas angka
kejadian terjadi pada kelompok umur 3-19 tahun (91% kasus). (Lesser and Miller, 2006,
Brusch, 2010, dan IDAI, 2008)
Munculnya daerah endemik demam tifoid dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara
lain laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, peningkatan urbanisasi, rendahnya kualitas
pelayanan kesehatan, kurangnya suplai air, buruknya sanitasi, dan tingkat resistensi antibiotik
yang sensitif untuk bakteri Salmonella typhi, seperti kloramfenikol, ampisilin, trimetoprim,
dan ciprofloxcacin. (Lesser and Miller, 2006)
Penularan Salmonella typhi terutama terjadi melalui makanan atau minuman yang
terkontaminasi. Selain itu, transmisi Salmonella typhi juga dapat terjadi secara transplasental
dari ibu hamil ke bayinya. (IDAI, 2008)
Penegakan Diagnosis
Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan adanya penurunan kadar hemoglobin,
trombositopenia, kenaikan LED, aneosinofilia, limfopenia, leukopenia, leukosit normal,
hingga leukositosis.( Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006)
Gold standard untuk menegakkan diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan kultur
darah (biakan empedu) untuk Salmonella typhi. Pemeriksaan kultur darah biasanya akan
memberikan hasil positif pada minggu pertama penyakit. Hal ini bahkan dapat ditemukan
pada 80% pasien yang tidak diobati antibiotik. Pemeriksaan lain untuk demam tifoid adalah
uji serologi Widal dan deteksi antibodi IgM Salmonella typhi dalam serum. (Lesser and
Miller, 2006, Chambers, 2006, dan IDAI, 2008)
Uji serologi widal mendeteksi adanya antibodi aglutinasi terhadap antigen O yang
berasal dari somatik dan antigen H yang berasal dari flagella Salmonella typhi. Diagnosis
demam tifoid dapat ditegakkan apabila ditemukan titer O aglutinin sekali periksa mencapai ≥
1/200 atau terdapat kenaikan 4 kali pada titer sepasang. Apabila hasil tes widal menunjukkan
hasil negatif, maka hal tersebut tidak menyingkirkan kemungkinan diagnosis demam tifoid.
(IDAI, 2008 dan Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006)
Penatalaksanaan
Hingga saat ini, kloramfenikol masih menjadi drug of choice bagi pengobatan demam
tifoid di Indonesia. Dosis yang diberikan pada pasien dewasa adalah 4 x 500 mg hingga 7
hari bebas demam. Alternatif lain selain kloramfenikol, yaitu: tiamfenikol (4 x 500 mg),
kotrimoksazol (2 x 2 tablet untuk 2 minggu), ampisilin atau amoksisilin (50-150 mg/kgBB
selama 2 minggu), golongan sefalosporin generasi III (contoh: seftriakson 3-4 gram dalam
dekstrosa 100 cc selama ½ jam per infus sekali sehari untuk 3-5 hari), dan golongan
fluorokuinolon (contoh: ciprofloxcacin 2 x 500 mg/hari untuk 6 hari). (Perhimpunan Dokter
Komplikasi
Salah satu komplikasi demam tifoid yang dapat terjadi pada pasien yang tidak
mendapatkan pengobatan secara adekuat adalah perforasi dan perdarahan usus halus.
Komplikasi ini sering terjadi pada minggu ketiga yang ditandai dengan suhu tubuh yang
turun mendadak, adanya tanda-tanda syok dan perforasi intestinal seperti nyeri abdomen,
defance muscular, redup hepar menghilang. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah
pneumonia, miokarditis, hingga meningitis. (Chambers, 2006, dan IDAI, 2008)
Pencegahan
Pencegahan infeksi Salmonella typhi dapat dilakukan dengan penerapan pola hidup
yang bersih dan sehat. Berbagai hal sederhana namun efektif dapat mulai dibiasakan sejak
dini oleh setiap orang untuk menjaga higientias pribadi dan lingkungan, seperti membiasakan
Allah memerintahkan kita untuk memakan makanan yang halal dan baik / Halalan
Thoyyiban seperti dalam Al Qur’an, Surat Al Maidah : 88 yang artinya:
“dan makanlah makanan yang halal lagi baik (thayib) dari apa yang telah dirizkikan
kepadamu dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-Nya”
Allah memerintahkan kita untuk memakan makanan yang bukan cuma halal, tapi juga
baik (Halalan Thoyyiban) agar tidak membahayakan tubuh kita. Bahkan perintah ini
disejajarkan dengan bertaqwa kepada Allah, sebagai sebuah perintah yang sangat tegas dan
jelas. Perintah ini juga ditegaskan dalam ayat yang lain, seperti yang terdapat pada Surat Al
Baqarah : 168 yang artinya:
“Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan; karena sesungguhnya syetan
itu adalah musuh yang nyata bagimu”
A-6 year old boy admitted to your clinic with sore face, ears, and
swelling of salivary glands under his ears. He felt painful particularly when
chewing since one day before. Ten days before, the patient got fever 380
Celsius, headache, myalgia, malaise and anorexia. It occured after sharing drink
with his friends. At school, there were more than 5 students who suffered
similar symptoms. His mother told that her neighbour who is 14 years old also
got similar symptoms, even with severer pain and inflammation of the testicles.
On Physical examination :
Vital sign :
o heart rate : 110 times per minute,
o blood pressure : 100/60 mmHg,
o respiratory rate : 24 times per minute and
o temperature : 37.40 Celcius
Antrophometric measures :
o height : 130 cm,
o weight : 30 kg
Confirmed the presence of the swollen of salivary glands
Dry mouth
On Laboratory examination found : Elevated amylase serum
As a doctor, what are you going to do to your patient? Explain about the
disease to your patient! And don’t forget to pray for your patient .... :)
Definisi
Mumps atau parotitis epidemika merupakan penyakit akut, self-limited, dan
merupakan penyakit viral sistemik yang ditandai dengan pembengkakan satu atau lebih
kelenjar air ludah (salivary glands), khususnya kelenjar parotid (Defendi, 2012).
Mumps biasanya dimulai dengan demam beberapa hari, nyeri kepala, nyeri otot,
kelemahan, hilangnya nafsu makan, dan diikuti pembengkakan kelenjar ludah. Seseorang
yang belum mendapat imunitas baik dari infeksi sebelumnya maupun dari vaksinasi, dapat
terkena penyakit ini (CDC, 2010).
Epidemiologi
Mumps dapat terjadi pada semua usia. Tetapi paling sering terjadi pada anak-anak
berusia 5-15 tahun, yaitu 85% dari kasus mumps terjadi pada anak-anak berusia dibawah 15
tahun, dan jarang sekali terjadi pada orang tua. Penyakit ini muncul sesuai siklus tiap 4 tahun
sekali. Masa inkubasi terjadinya antara 14-21 hari dan masa inkubasi ini virus dapat dideteksi
melalui saliva. Virus sangat infeksius pada 1 sampai 3 hari sebelum pembengkakan sampai 2
minggu setelah pembengkakan, sehingga dapat menimbulkan wabah di masyarakat
(Maharani L.A, 2009).
Vaksin mumps digunakan hanya pada 57% negara-negara yang termasuk dalam
WHO, kebanyakan negara-negara dengan ekonomi maju (Defendi, 2012).
Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh virus RNA yang spesifik, yaitu Rubulavirus.
Rubulavirus termasuk di dalam genus Paramyxovirus dan termasuk dalam famili
Paramyxoviridae. Virus ini dikelilingi oleh selubung glycoprotein, salah satu dari 2
glycoprotein di permukaan virus berperan sebagai tempat aktivitas neuraminidase dan
hemaglutinasi, sedangkan glycoprotein yang lain bertanggung jawab terhadap perlengketan
membran lipid kepada sel inang. Rubulavirus dapat diisolasi dari kultur ludah, urin, dan
cairan serebrospinal (Defendi, 2012).
Virus ini aktif dalam lingkungan yang kering namun virus ini hanya dapat bertahan
selama 4 hari pada suhu ruangan. Paramyxovirus dapat dihancurkan pada suhu < 40C dengan
Manifestasi Klinis
Gejala umum pada anak, biasanya masa prodormal jarang terjadi, tetapi mungkin
bersama dengan demam, nyeri otot (terutama leher), nyeri kepala dan malaise. Suhu tubuh
biasanya naik sampai 38,5 – 39,5 oC. Kemudian timbul pembengkakan kelenjar parotis yang
mula – mula unilateral tetapi dapat menjadi bilateral. Pada awalnya hanya pembengkakan
hanya terjadi pada rongga antar tepi posterior mandibula dan mastoid, kemudian meluas
dalam deretan yang melengkung ke bawah dan ke depan, yang di batasi oleh zygoma
(Yvonne, 2000).
Bengkak maksimal yang terjadi hanya dalam beberapa jam, tetapi puncaknya terjadi
pada 1-3 hari. Bengkak tersebut mendorong lobus telinga ke atas dan keluar serta sudut
mandibula tidak dapat dilihat. Biasanya bengkak tersebut dapat hilang dalam 3 – 7 hari
Differential Diagnosis
Viral pathologies (uveoparotid fever, coxsackievirus, influenza A virus, parainfluenza
virus, cytomegalovirus, adenovirus, Epstein-Barr virus, varicella-zoster virus)
Suppurative (bacterial, especially Staphylococcus aureus) or recurrent parotitis
Parotid calculus
Parotitis (different etiologies)
Mixed tumors, hemangiomas, lymphangiomas of the parotid gland
Calculus of the Stensen duct
Adenitis (cervical lymphadenitis)
Mastoiditis
Orchitis
Epididymitis
Ovarian Torsion
Mikulicz syndrome
Sjögren Syndrome
Drug reactions (thiazide diuretics)
Allergic reaction (rare)
Tatalaksana
Pemberian antibiotik, NSAID, dan analgesik untuk mengurangi rasa sakit dan
rehidrasi. Mumps tidak direkomendasikan pengobatan dengan antivirus, sebab tidak ada
antivirus yang spesifik untuk jenis paramyxovirus (Maharani L.A, 2009)
Komplikasi
- Ensefalitis
- Transien mielitis
- Polineuritis
- Meningitis
- Tuli sensorineural
- Orchitis
- testicular atrophy (35% dari kasus orchitis)
- Oophoritis (inflamasi ovarium jinak) (5%)
- Pancreatitis (5%) melalui kerusakan yang disebabkan karena invasi virus langsung
- Miokarditis adanya depresi segmen ST dan bradikardia
- Nefritis
- Artritis
- Tiroiditis
- Mastitis
- Pneumonia
Infeksi mumps pada wanita hamil meningkatkan resiko keguguran dan kematian janin,
terutama selama trimester pertama kehamilan (27% kasus). Tidak ada hubungan yang
ditemukan antara mumps dan anomali kongenital. Mumps selama kehamilan jarang terjadi,
baik sebelum adanya imunisasi atau bahkan saat ini setelah meluasnya program imunisasi
(Defendi, 2012).
5. Diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
bersabda, "Siapa yang menjenguk orang sakit yang belum sampai ajalnya, lalu dia
mendoakannya sebanyak tujuh kali:
َيم َربَّ ْال َع ْر ِش ْال َع ِظ ِيم أَ ْن َي ْش ِف َيك
َ َّللاَ ْال َع ِظ
َّ أ َ ْسأ َ ُل
"Saya memohon kepada Allah Yang Maha Agung, Rabb 'Arsy yang Agung, agar Dia
menyembuhkannya." Pasti Allah akan menyembuhkannya. (Dishahihkan oleh Syaikh Al-
Albani dalam Shahih Abi Dawud)
Kita yang sedang belajar mengemban amanah sebagai dokter,tentu akan menemui orang
sakit sepanjang amanah kita.Maka,sudah sepatutnyalah seorang dokter mendoakan
pasiennya sebagaimana adab/etika yang telah dicontohkan oleh nabi kita Rasulullah
Muhammad SAW.
Pendahuluan
Di Indonesia sampai saat ini penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat. Morbiditas penyakit ini masih cukup tinggi, terutama di daerah Indonesia bagian
timur. Di daerah trasmigrasi dimana terdapat campuran penduduk yang berasal dari daerah
yang endemis dan tidak endemis malaria, di daerah endemis malaria masih sering terjadi
kejadian luar biasa (KLB) malaria, menyebabkan insiden rate penyakit malaria masih tinggi
di daerah tersebut.
Vektor
Penyakit malaria adalah salah satu penyakit yang penularannya melalui gigitan
nyamuk Anopheles betina. Berdasarkan survai unit kerja SPP (serangga penular penyakit)
telah ditemukan di Indonesia ada 46 species nyamuk Anopheles yang tersebar diseluruh
Indonesia. Dari species-species nyamuk tersebut ternyata ada 20 species yang dapat
menularkan penyakit malaria. Dengan kata lain di Indonesia ada 20 species nyamuk
Anopheles yang berperan sebagai vektor penyakit malaria.
Etiologi
Penyebab penyakit malaria adalah Genus Plasmodium Family Plasmodiidae dan Ordo
Coccidiidae. Sampai saat ini di Indonesia dikenal 4 macam parasit malaria yaitu:
1. Plasmodium falciparum penyebab malaria tropika yang sering menyebabkan malaria
yang berat karena perkembangan aseksual dalam hati hanya merupakan fase
praeritrosit saja, tidak ada fase eksoeritrosit yang dapat menimbulkan relaps seperti
pada infeksi P.vivax dan P.ovale yang mempunyai fase hipnozoit (dorman) dalam sel
hati.
2. Plasmodium vivax penyebab malaria tertina.
3. Plasmodium malaria penyebab malaria quartana.
4. Plasmodium ovale jenis ini jarang sekali dijumpai di Indonesia, karena umumnya
banyak kasusnya terjadi di Afrika dan Pasifik Barat.
Pada penderita penyakit malaria, penderita dapat dihinggapi oleh lebih dari satu jenis
Plasmodium. Infeksi demikian disebut infeksi campuran (mixed infection). Dari kejadian
infeksi campuran ini biasanya paling banyak dua jenis parasit, yakni campuran antara
Penularan
Penyakit malaria dikenal ada berbagai cara penularan malaria:
1. Penularan secara alamiah (natural infection) penularan ini terjadi melalui gigitan nyamuk
Anopheles.
2. Penularan yang tidak alamiah
a. Malaria bawaan (congenital).
Terjadi pada bayi yang baru dilahirkan karena ibunya menderita malaria, penularan
terjadi melalui tali pusat atau placenta.
b. Secara mekanik
Penularan terjadi melalui transfusi darah atau melalui jarum suntik. Penularan melalui
jarum suntik yang tidak steril lagi. Cara penularan ini pernah dilaporkan terjadi
disalah satu rumah sakit di Bandung pada tahun 1981, pada penderita yang dirawat
dan mendapatkan suntikan intra vena dengan menggunakan alat suntik yang
dipergunakan untuk menyuntik beberapa pasien, dimana alat suntik itu seharusnya
dibuang sekali pakai (disposeble).
Pada umumnya sumber infeksi bagi malaria pada manusia adalah manusia lain yang sakit
malaria baik dengan gejala maupun tanpa gejala klinis. Beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya penularan alamiah seperti adanya gametosit pada penderita, umur nyamuk kontak
antara manusia dengan nyamuk dan lain-lain.
Penyebaran
Batas dari penyebaran malaria adalah 64°LU (RuBia) dan 32°LS (Argentina).
Ketinggian yang dimungkinkan adalah 400 meter dibawah permukaan laut (Laut mati dan
Kenya) dan 2600 meter di atas permukaan laut (Bolivia). Plasmodium vivax mempunyai
distribusi geografis yang paling luas, mulai dari daerah beriklim dingin, subtropik sampai
kedaerah tropik. Plasmodium falciparum jarang sekali terdapat didaerah yang beriklim
dingin. Plasmodium ovale pada umumnya dijumpai di Afrika di bagian yang beriklim tropik,
kadang-kadang dijumpai di Pasifik Barat.
Gejala Klinis
Gejala utama adalah demam mengigil secara berkala dan sakit kepala kadang-kadang
dengan gejala klinis lain badan terasa lemas dan pucat karena kekurangan darah dan
berkeringat, nafsu makan menurun, mual-mual kadang-kadang diikuti muntah, sakit kepala
yang berat, terus menerus, khususnya pada infeksi dengan Plasmodium falciparum, dalam
keadaan menahun (kronis) gejala diatas, disertai pembesaran limpa. Pada malaria berat,
seperti gejala di atas disertai kejang-kejang dan penurunan kesadaran. Gejala klasik malaria
biasanya terdiri atas 3 stadium yang berurutan yaitu :
1. Stadium dingin (cold stage)
Stadium ini mulai dengan menggigil dan perasaan yang sangat dingin. Gigi gemeretak
dan penderita biasanya menutup tubuhnya dengan segala macam pakaian dan selimut
yang tersedia nadi cepat tetapi lemah. Bibir dan jari jemarinya pucat kebiru-biruan, kulit
kering dan pucat. Penderita mungkin muntah dan pada anak-anak sering terjadi kejang.
Stadium ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam.
2. Stadium demam (hot stage)
Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini penderita merasa kepanasan. Muka merah,
kulit kering dan terasa sangat panas seperti terbakar, sakit kepala menjadi –jadi dan
muntah kerap terjadi, nadi menjadi kuat lagi. Biasanya penderita merasa sangat hasil dan
suhu badan dapat meningkat sampai 41°C atau lebih. Stadium ini berlangsung antara 2
sampai 4 jam. Demam disebabkan oleh pecahnya sison darah yang telah matang dan
masuknya merozoit darah kedalam aliran darah.
Pada Plasmodium vivax dan P. ovale schizont-schizont dari setiap generasi menjadi
matang setiap 48 jam sekali sehingga demam timbul setiap tiga hari terhitung dari
serangan demam sebelumnya. Nama malaria tertiana bersumber dari fenomena ini. Pada
Pengobatan
Tingginya kasus malaria merupakan hal yang perlu segera disikapi. Hal ini bisa
disebabkan karena resistensi obat akibat pemberian obat yang tidak tepat atau karena
kesalahan diagnosis, terutama bila diagnosis ditegakkan hanya berdasarkan gejala dan tanda
klinis, padahal gejala dan tanda klinis di daerah endemis yang umumnya tidak khas dan
hamper sama dengan gejala klinis pada penderita infeksi lainnya, terutama pada fase infeksi
awal.
Penderita malaria falciparum tanpa komplikasi sebaiknya diberikan drug of choice
kombinasi artemisin, misalnya artesunat-amodiakuin (masing-masing 3 hari) per oral tanpa
menunggu penderita sampai mengalami malaria berat. Dosis artesunat adalah 4mg/kgBB/hari
selama 3 hari, sedangkan amodiakuin basa I0mg/kgBB/hari selama 3 hari.
Pada penderita malaria falciparum berat dapat diberikan suntikan sodium artesunat
(intramuscular atau intravena) atau artemeter (intramuskular) selama 5-7 hari. Dosis awal
artesunat 2.4mg/kgBB i.m diikuti I.2mg/kgBB/hari selama 6 hari. Dosis awal artemeter
3.2mg/kgBB i.m pada hari ke-I, diikuti I.6mg sampai hari ke-6. Biasanya stadium aseksual
Prognosis
Penderita malaria falciparum berat prognosisnya buruk, sedangkan penderita malaria
falciparum tanpa komplikasi prognosisnya cukup baik bila dilakukan pengobatan dengan
segera dan dilakukan observasi hasil pengobatan.
Seorang pasien laki-laki 50 tahun, sejak kurang lebih 2 tahun ini kedua tungkai dan
scrotum bengkak. Keluhan tersebut dirasakan terus-menerus, semakin lama semakin
memberat.
Dari rekam medis didapatkan data bahwa sekitar 10 tahun yang lalu pasien pernah
mengalami limfadenitis dan limfangitis di daerah inguinal yang disertai demam dan malaise.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan bengkak pada tungkai kaki dan scrotum, kulit
pada kedua organ tersebut teraba keras dan tebal. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan
microfilaria pada sampel darah yang diambil pada waktu malam hari.
Dokter memberikan pengertian kepada pasien bahwa dalam proses pemulihan perlu
kesabaran dan jangan berputus asa.
Filariasis adalah penyakit akibat infeksi parasit nematoda jaringan yang tergolong
dalam superfamili Filarioidea, tiga spesies cacing filaria yang penting dalam kedokteran
adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Habitat cacing tersebut
adalah di dalam saluran atau kelenjar limfe dan menimbulkan kelainan radang akut sampai
kronis berupa jaringan parut. Cacing betina mengeluarkan microfilaria ke dalam peredaran
darah dan microfilaria ini dapat hidup untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan sampai
dihisap oleh nyamuk dan ditularkan kepada orang lain. Gejala klinik yang ditimbulkan oleh
berbagai spesies cacing dapat dikatakan khas untuk tiap spesies.
Filariasis bancrofti
Etiologi : Wuchereria bancrofti
Vektor : nyamuk Culex, Aedes, Anopheles
Siklus hidup : Dalam tubuh nyamuk, microfilaria mengalami perubahan menjadi larva
stadium III yang infektif, apabila nyamuk ini menggigit manusia maka larva
akan masuk dalam tubuh manusia dan berkembang menjadi dewasa dalam
waktu kurang lebih 6 bulan. Apabila tidak ada reinfeksi, maka cacing
dewasa dapat mengeluarkan microfilaria selama 5-I0 tahun.
Periodisitas : nokturna, microfilaria ditemukan terbanyak dalam darah tepi pada jam 9
malam sampai jam 2 pagi. Factor yang dapat mempengaruhi periodisitas
microfilaria adalah kadar O2 dan CO2 dalam darah, aktifitas hospes, irama
sirkadian, jenis hospes, dan jenis parasit.
Prevalensi : factor utama dalam penentuan prevalensi infeksi dalam komunitas adalah
frekuensi pemaparan terhadap bentuk infektif (larva stadium III/L3). Oleh
karena kondisi lingkungan yang sangat bervariasi di daerah endemis,
dimungkinkan terdapat perbedaan yang nyata pada prevalensi spesifik
umur, jenis kelamin, dan intensitas infeksi
Gejala klinis : bervariasi tergantung daerah penyebaran, spesies parasit, respons imun dan
intensitas infeksi. Pada infeksi ringan biasanya tidak muncul gejala. Gejala
bisa baru muncul timbul 3 bulan setelah infeksi, tetapi pada umumnya masa
inkubasi berkisar antara 6-I2 bulan. Gejala klinik sesuai dengan kelainan
patologis yang ditimbulkannya, terjadi peradangan saluran dan kelenjar