B. Sistem Pemerintahan
Penggantian Umayyah oleh Abbasiyah ini di dalam kepimpinan masyarakat islam lebih
dari sekedar penggantian dinastiIa merupakan revolusi dalam sejarah islam,revolusi prancis dan
revolusi Rusia did lam sejarah barat.Seluruh anggota keluarga Abbas dan pimpinan umat islam
mengatakan setia kepada Abbul Abbas Ash-shaffah sebagai khaliffah mereka. Ash- Shaffah
kemudian pindah ke Ambar, sebelah barat sungai Eufrat dekat Baghdad.
Kekhaliffahan Ash-Shaffah hanya bertahan selama 4 tahun,9 bulan.Ia wafat pada tahun
136 H di Abar ,Satu kota yang telah di jadikanya sebagai tempat kedudukan pemerintahan.Ia
berumur tidak lebih dari 33 tahun. Bahkan ada yang mengatakan umur ash-Shaffah ketika
meinggal dunia adalah 29 tahun.
Selama dinasti Abbasiyah berkuasa, pola pemerintahan yang di terpkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik,social, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan
dan politik itu, para sejarahwan biasanya membagi masa pemerintahan bani Abbasiayah dalam 4
periode berikut.
1. Masa Abbasiyah 1, yaitu semenjak lahirnya Daulah Abbasiyah tahun 132 H ( 750 M) sampai
meninggalnya khaliffah Al- Wastiq 232 H ( 847 M ).
2. Masa Abbasiyah II, yaitu mulai khliffah Al- Mutawakkil pada tahun 232 H ( 847 M) sampai
berdirinya Daulah buwaihiyah di Baghdad pada tahun 334 H (946 M).
3. Masa Abbasiyah III, yaitu dari berdirinya daulah Buwahiyah tahun 334 H (946 M ) sampai
masuknya kaum saljuk ke Baghdad tahun 447 H (1055 M).
4. Masa Abbasiyah IV,yaitu masuknya orang-orang saljuk ke Baghdad tahun447 H (1055 M
).Sampai jatuhnya Baghdad ketangan bangsa mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun
656 H (1258 M ).
Khalifah Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah yang berkuasa lebih dari lima abad (750-1258) secara umum dibagi atas empat
periode. Keempat periode tersebut adalah Periode Awal (750-847), Periode Lanjutan (847-945),
Periode Buwaihi (945-1055), dan Periode Seljuk (1055-1258).
Selama lima abad pemerintahan Islam Dinasti Abbasiyah ini, tercatat sejumlah nama khalifah yang
berhasil menegakkan sistem pemerintahan Islam dengan adil dan makmur. Mereka itu adalah Abu
al-Abbas Abdullah bin Muhammad as-Saffah (721-754). Ia adalah pendiri Dinasti Abbasiyah dan
menjadi khalifah pertama. Berikutnya dipimpin oleh penerusnya, seperti khalifah Abu Ja'far al-
Manshur (750-775), Al-Mahdi (775-785), Musa al-Hadi (785-786), Harun ar-Rasyid (786-809),
Al-Amin (809-813), Al-Ma'mun (813-833), Al-Mu'tasim (833-842), Al-Mutawakkil (847-861),
Al-Muntasir (861-862), Al-Musta'in (862-866), dan Al-Mu'tazz (866-869).
Di antara khalifah-khalifah itu tercatat beberapa nama yang berhasil membawa Dinasti Abbasiyah
mengalami kejayaannya.
Abu al-Abbas adalah pendiri Dinasti Abbasiyah. Ia merupakan sosok pemimpin yang tegas. Ia
pula yang mematahkan kekuasaan Dinasti Umayyah yang didirikan Muawiyah. Pada masanya
(721-750), ia mengonsolidasikan berbagai kekuatan untuk kejayaan Dinasti Abbasiyah.
Abu Ja'far al-Manshur memimpin Dinasti Abbasiyah selama 25 tahun (750-775). Ia adalah saudara
Abu al-Abbas. Selama pemerintahannya, ia mendirikan ibu kota baru dengan istananya bernama
Madinat as-Salam yang kemudian bernama Baghdad. Selama masa pemerintahannya, ia berhasil
memunculkan ghirah dunia Muslim terhadap ilmu pengetahuan. Pada zamannya, telah tumbuh
karya sastra.
Harun ar-Rasyid
Kekhalifahan Abbasiyah mencapai puncaknya (the golden age of Islam) pada masa Khalifah
Harun Ar-Rasyid. Ia adalah khalifah kelima yang memerintah dari tahun 786 sampai 809. Ia
mendirikan Bayt al-Hikmah, sebuah perpustakaan terbesar pada zamannya. Banyak sarjana
Muslim dan Barat yang belajar di Kota Baghdad.
Beberapa proyek besar yang dihasilkan selama pemerintahannya adalah keamanan dan
kesejahteraan seluruh rakyat, pembangunan Kota Baghdad, pembangunan sejumlah tempat
ibadah, sarana pendidikan, hingga pendirian Bayt al-Hikmah. Bayt al-Hikmah ini berfungsi
sebagai perpustakaan dan tempat penerjemahan karya-karya intelektual Persia dan Yunani.
Al-Ma'mun ar-Rasyid
Khalifah Al-Ma'mun adalah anak dari Harun ar-Rasyid. Ia memerintah Dinasti Abbasiyah setelah
saudaranya Al-Amin, dari tahun 813-833. Al-Ma'mun merupakan khalifah yang ketujuh.
Al-Mu'tasim
Ia memerintah Bani Abbasiyah setelah Khalifah Al-Ma'mun. Selama pemerintahannya, yakni 833-
842, ia berhasil menumbuhkan minat para pelajar Muslim dan Barat untuk mendalami ilmu
pengetahuan di Kota Baghdad. Pada masa inilah, lahir seorang ahli matematika Muslim terkenal,
yakni Al-Kindi.
Sepeninggal al-Mu'tasim, secara perlahan-lahan, kejayaan Bani Abbasiyah mulai menurun. Hal ini
disebabkan oleh pergolakan politik. Tak heran bila kemudian lahir Dinasti Buwaihi, Mamluk, dan
Seljuk.
Zaman Kejayaan Islam
Zaman Kejayaan Islam (750 M - 1258 M) adalah masa ketika para filsuf, ilmuwan, dan insinyur
dari Dunia Islam menghasilkan banyak kontribusi terhadap perkembangan teknologi dan
kebudayaan, baik dengan menjaga tradisi yang telah ada ataupun dengan menambahkan penemuan
dan inovasi mereka sendiri.
Penyebab
Banyak dari perkembangan dan pembelajaran ini dapat dihubungan dengan geografi. Bahkan
sebelum kehadiran Islam, kota Mekah merupakan pusat perdagangan di Jazirah Arab dan Nabi
Muhammad SAW sendiri merupakan seorang pedagang. Tradisi ziarah ke Mekah menjadi pusat
pertukaran gagasan dan barang. Pengaruh yang dipegang oleh para pedagang Muslim atas jalur
perdagangan Afrika-Arab dan Arab-Asia sangat besar sekali. Akibatnya, peradaban Islam tumbuh,
berkembang, dan meluas dengan berdasarkan pada ekonomi dagangnya, berkebalikan dengan
orang-orang Kristen, India, dan Cina yang membangun masyarakat dengan berdasarkan
kebangsawanan kepemilikan tanah pertanian. Pedagang membawa barang dagangan dan
menyebarkan agama mereka ke Cina (berujung pada banyaknya penduduk Islam di Cina dengan
perkiraan jumlah sekitar 37 juta orang, yang terutama merupakan etnis Uyghur Turk yang
wilayahnya dikuasai oleh Cina), India, Asia tenggara, dan kerajaan-kerajaan di Afrika barat.
Ketika para pedagang itu kembali ke Timur Tengah, mereka membawa serta penemuan-penemuan
dan ilmu pengetahuan baru dari tempat-tempat tersebut.
Filsafat
Hanya dalam bidang filsafat, para ilmuwan Islam relatif dibatasi dalam menerapkan gagasan-
gagasan non-ortodoks mereka. Meskipun demikian, Ibnu Rushd dan polimat Persia Ibnu Sina
memberikan kontribusi penting dalam melanjutkan karya-karya Aristoteles, yang gagasan-
gagasannya mendominasi pemikiran non-keagamaan dunia Islam dan Kristen. Mereka juga
mengadopsi gagasan-gagasan dari Cina dan India, yang dengan demikian menambah pengetahuan
mereka yang sudah ada sebelumnya. Ibnu Sina dan para pemikir spekulatif lainnya seperti al-Kindi
dan al-Farabi menggabungkan Aristotelianisme dan Neoplatonisme dengan gagasan-gagasan
lainnya yang diperkenalkan melalui Islam.
Literatur filsafat Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Ladino, yang ikut
membantu perkembangan filsafat Eropa modern. Sosiolog-sejarawan Ibnu Khaldun, warga
Kartago Konstantinus orang Afrika yang menerjemahkan naskah-naskah kedokteran Yunani dan
kumpulan teknik matematika Al-Khwarzimi adalah tokoh-tokoh penting pada Zaman Kejayaan
Islam. Pada masa ini juga terjadi perkembangan filsuf non-Muslim. Filsuf Yahudi Moses
Maimonides yang tinggal di Andalusia adalah salah satu contohnya.
Sains
Banyak ilmuwan penting Islam yang hidup dan berkegiatan selama Zaman Kejayaan Islam. Di
antara pencapaian para ilmuwan pada periode ini antara lain perkembangan trigonometri ke dalam
bentuk modernnya (sangat menyederhanakan penggunaan praktiknya untuk memperhitungkan
fase bulan), kemajuan pada bidang optik pada Cammera Obscura oleh Al-Hasan bin Haitsam pada
200 tahun sebelum Leonardo Da Vinci, memberi komentar pada Euklides dan Ptolomeus perihal
penembusan dan perjalanan sinar, dan kemajuan pada bidang astronomi.
Kemajuan lain ditunjukan pada bidang kimia. Ilmu kimia merupakan ilmu dari Mesir kuno yang
digagas kembali oleh ilmuwan muslim sehingga mencapai pengembangan ilmu yang sangat besar.
Pada masa itu telah dikenal beberapa zat dan peralatan laboratorium seperti alkohol (kohol dalam
bahasa Arab), alkali (alqali dalam bahasa Arab), dan sebagainya.
Kedokteran
Kedokteran adalah bagian penting dari kebudayaan Islam Abad Pertengahan. Sebagai tanggapan
atas keadaan pada waktu dan tempat mereka, para dokter Islam mengembangkan literature medis
yang kompleks dan banyak yang meneliti dan menyintesa teori dan praktik kedokteran.
Kedokteran Islam dibangun dari tradisi, terutama pengetahuan teoretis dan praktis yang telah
berkembang sebelumnya di Yunani, Romawi, dan Persia. Bagi para ilmuwan Islam, Galen dan
Hippokrates adalah orang-orang yang unggul, disusul oleh para ilmuwan Hellenik di Iskandariyah.
Para ilmuwan Islam menerjemahkan banyak sekali tulisan-tulisan Yunani ke bahasa Arab dan
kemudian menghasilkan pengetahuan kedokteran baru dari naskah-naskah tersebut. Untuk
menjadikan tradisi Yunani lebih mudah diakses, dipahami, dan diajarkan, para ilmuwan islam
mengusulkan dan menjadikan lebih sistematis pengetahuan kedokteran Yunani-Romawi yang luas
dan kadang inkonsisten dengan cara menulis ensikolpedia dan ikhtisar.
Pembelajaran Yunani dan Latin dipandang sangat jelek di Eropa Kristen Abad Pertengahan Awal,
dan baru pada abad ke-12, setelah adanya penerjemahan dari bahasa Arab membuat Eropa Abad
Pertengahan kembali mempelajari kedokteran Hellenik, termasuk karya-karya Galen dan
Hippokrates. Jauh sebelum itu, bangsa Eropa telah banyak belajar dengan umat Islam dalam hal
kedokteran. Di Sisilia, sebuah sekolah kedokteran dengan dokter-dokter Muslim sebagai
pengajarnya, menjadi sumber ilmu kedokteran di Eropa.[3] Dengan memberikan pengaruh yang
setara atau mungkin lebih besar di Eropa Barat adalah Kanon Kedokteran karya Ibnu Sina, yang
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan dibuat manuskrip lalu dicetak dan disebarkan ke
seluruh Eropa. Selama abad kelima belas dan keenam belas saja, karya tersebut diterbitkan lebih
dari lima kali. Sejarah mencatat, ada sekitar 300 buku kedokteran yang diterjemahkan bangsa
Eropa.
Di dunia Islam Abad Pertengahan, rumah sakit mulai dibangun di semua kota besar, misalnya di
Kairo, rumah sakit Qalawun memiliki staf pegawai yang terdiri dari dokter, apoteker, dan suster.
Orang juga dapat mengakses apotek, dan fasilitas penelitian yang menghasilkan kemajuan pada
pemahaman mengenai penyakit menular, dan penelitian mengenai mata serta mekanisme kerja
mata.
Perdagangan
Selain di sungai Nil, Tigris dan Efrat, sungai-sungai yang dapat dilalui tidaklah banyak, jadi
perjalanan lewat laut menjadi sangat penting. Ilmu navigasi amat sangat berkembang,
menghasilkan penggunaan sekstan dasar (dikenal sebagai kamal). Ketika digabungankna dengan
peta terinci pada periode ini, para pelaut berhasil berlayar menjelajahi samudara dan tak lagi perlu
bersusah payah melalui gurun pasir. Para pelaut muslim juga berhasil menciptakan kapal dagang
besar bertiang tiga ke Laut Tengah. Nama karavel kemungkinan berasal dari perahu terawal Arab
yang dikenal sebagai qārib. Sebuah kanal buatan yang menghubungkan sungai Nil dengan Terusan
Suez dibangun, menghubungkan Laut Merah dengan Laut Tengah meskipun itu sering berlumpur.
KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN DINASTI ABBASIYAH
A. Faktor Internal
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah
menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa
diantaranya adalah sebagai berikut:
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia.
Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah
berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas
tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas
memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab
untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua,
orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian,
khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti
dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah
yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah
bangsa non-Arab ('ajam) di dunia Islam.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para
khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan
pegawai dan tentara. Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) yang memberi peluang besar kepada
bangsa Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Mereka di diangkat menjadi orang-orang penting
di pemerintahan, diberi istana dan rumah dalam kota. Merekapun menjadi dominan dan menguasai
tempat yang mereka diami
Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang Khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara
Turki semakin kuat, mereka dapat menentukan siapa yang diangkat jadi Khalifah. Sejak itu
kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki.
Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga (334-447), dan
selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk, bangsa Turki pada periode keempat (447-590H).
Wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas,
meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India.
Walaupun dalam kenyataannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh Khalifah, secara riil,
daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur bersangkutan. Hubungan
dengan Khalifah hanya ditandai dengan pembayaran upeti
Ada kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal, dengan
pembayaran upeti. Alasannya, karena Khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk,
tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga
para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada
politik dan ekspansi.[5] Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan
diri adalah terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan
oleh bangsa Persia dan Turki.[6] Akibatnya propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari
genggaman penguasa Bani Abbas. Dinasti yang lahir dan memisahkan diri dari kekuasaan
Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
3. Kemerosotan Perekonomian
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang
masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Perekonomian
masyarakat sangat maju terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah
memasuki masa kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran yang drastis.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran ini, pendapatan negara menurun sementara
pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin
menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian
rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak
lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan
para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat
melakukan korupsi
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya,
kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah, faktor ini saling
berkaitan dan tak terpisahkan.
Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk menjadi penguasa, maka
kekecewaan itu mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme,
Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini
menggoda rasa keimanan para khalifah.
Khalifah Al-Manshur yang berusaha keras memberantasnya, beliau juga memerangi Khawarij
yang mendirikan Negara Shafariyah di Sajalmasah pada tahun 140 H.[10] Setelah al Manshur
wafat digantikan oleh putranya Al-Mahdi yang lebih keras dalam memerangi orang-orang Zindiq
bahkan beliau mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan mereka serta melakukan
mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan
mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang
sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang
menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh
konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah,
sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh
penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang
berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-
kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein
Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali
memperkenankan orang syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut.[11] Syi'ah pernah berkuasa
di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di
Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari
Baghdad yang Sunni.
Selain itu terjadi juga konflik dengan aliran Islam lainnya seperti perselisihan antara Ahlusunnah
dengan Mu'tazilah, yang dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833
M), dengan menjadikan mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada
masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan
ahlusunnah kembali naik daun. Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih.
Namun pada masa dinasti Seljuk yang menganut paham Asy'ariyyah penyingkiran golongan
Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa, aliran Asy'ariyah
tumbuh subur dan berjaya
B. Faktor Eksternal
Selain yang disebutkan diatas, yang merupakan faktor-faktor internal kemunduran dan kehancuran
Khilafah bani Abbas. Ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah
lemah dan akhirnya hancur.
1. Perang Salib
Kekalahan tentara Romawi telah menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang
kristen terhadap ummat Islam. Kebencian itu bertambah setelah Dinasti Saljuk yang menguasai
Baitul Maqdis menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang-orang
Kristen yang ingin berziarah kesana. Oleh karena itu pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II
menyerukan kepada ummat kristen Eropa untuk melakukan perang suci, yang kemudian dikenal
dengan nama Perang Salib.
Perang salib yang berlangsung dalam beberapa gelombang atau periode telah banyak menelan
korban dan menguasai beberapa wilaya Islam. Setelah melakukan peperangan antara tahun 1097-
1124 M mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota
Tyre.[13]
Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah. Sebuah kawasan terjauh di
China. Terdiri dari kabilah-kabilah yang kemudian disatukan oleh Jenghis Khan (603-624 H).
Sebagai awal penghancuran Bagdad dan Khilafah Islam, orang-orang Mongolia menguasai negeri-
negeri Asia Tengah Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia Kecil. Pada bulan September
1257, Hulagu mengirimkan ultimatum kepada Khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok
kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi Khalifah tetap enggan memberikan jawaban. Maka pada
Januari 1258, Hulagu khan menghancurkan tembok ibukota Sementara itu Khalifah al-Mu’tashim
langsung menyerah dan berangkat ke base pasukan mongolia. Setelah itu para pemimpin dan
fuqaha juga keluar, sepuluh hari kemudian mereka semua dieksekusi. Dan Hulagu beserta
pasukannya menghancurkan kota Baghdad dan membakarnya. Pembunuhan berlangsung selama
40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orangDan Dengan terbunuhnya Khalifah al-
Mu’tashim telah menandai babak akhir dari Dinasti Abbasiyah.
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
Pada masa pembinaannya yang berlangsung pada zaman nabi Muhamad SAW, pendidikan islam
berarti memasukkan ajaran-ajaran islam kedalam unsur-unsur budaya. Ada beberapa hal yang
terjadi dalam pembinaan tersebut :
Dengan demikian, terbentuklah suatu tatanan nilai dan budaya islami yang sempurna dalam
ruang lingkup yang sepadan baik dari segi situasi, waktu dan perkembangan zaman. Tatanan inilah
yang diwariskan pada generasi yang berikutnya untuk dikembangkan baik secara kualitatif, yaitu
meningkatkan nilai budaya yang telah ada sbelumunya maupun kuantitatif, yaitu mengarahkan
pada pembentukan budaya dan ajaran yang baru untuk menambah kesempurnaan dan
kesejahteraan hidup masyarakat.
Pendidikan islamp ada masa pertumbuhan,pada masa perkembangannya, juga pada masa-
masa yang berikutnya, memiliki dua sasaran, yaitu :
1. kepada pemuda, yaitu pewarisan ajaran islam kepada generasi muda (sebagai generasi
penerus) kebudayaan islam dengan pendidikan islam.
2. kepada masyarakat lain yang belum menerima ajaran islam, artinya penyampaian ajaran
islam dan usaha internalisasinya dalam masyarakat yang belum dan baru menerima ajaran
islam yang lazim disebut dengan dakwah islam. Tujuan dari dakwah ini tak lain adalah
agar mereka menerima ajaran islam sebagai suatu sistem kehidupan.
Terdapat suatu peristiwa penting dalam sejarah pendidikan islam dimasa setelah nabi
muhamad SAW wafat, yaitu peristiwa pemberontakan dari orang-orang murtad yang enggan
membayar zakat. Serta timbulnya nabi-nabi palsu pada masa pemerintahan Abu Bakar.
Untuk mengatasi pemberontakan yang datang dari orang-orang yang baru masuk islam dan
belum memiliki keimanan yang kuat tersebut, maka Abu Bakar mengirim pasukan yang terdiri
dari para sahabat. Namun mereka tetap membangkang dan menimbulkan peperangan sehingga
para sahabat yang hafal Al-Qur’an menjadi mati syahid. Hal ini segera disadari oleh Umar bin
Khottob, sehingga Umar dan para sahabat bermusyawarah dibawah pimpinan Abubakar untuk
menjaga keutuhan Al-qur’an. Hal ini dilakukan dengan cara penulisan kembali alqur’an yang pada
masa raslullah belum tersusun dengan sempurna kedalam satu mushaf yang utuh dan sempurna
sesuai yang dihafal oleh para sahabat. Sehingga pada akhirnya Abubakar mengirimkan para
sahabatnya kebeberapa daerah untuk memasukkan ajaran Al-Qur’an kedalam unsur-unsur budaya
mereka, sehingga terbentuklah pusat pengajaran pendidikan islam.
Seiring dengan perkembangan penyampaian ajaran islam diluar madinah, maka dipusat-
pusat wilayah yang baru dikuasai oleh islam, berdirilah pusat-pusat pendidikan yang dikuasai oleh
para sahabat yang kemudian dikembangkan oleh para penerus sahabat yang berupa tabi’in dan
selanjutnya.
Mahmud Yunus dalam bukunya menerangkan bahwa, pusat pendidikan tersebut tersebar
pada wilayah-wilayah berikut :
Pada masa pertumbuhan islam, terdapat beberapa madrasah yang terkenal, antara lain :
a. Madrasah Makkah
Puru pertama yang mengajar di madrasah ini adalah Mu’ad bin Jabal yang mengajarkan
Al-Qur’an, hukum halal dan haram dalam islam.
Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan (65 – 86 H), Abdullah bin Abbas turut
mengajar ilmu tafsir, hadits, fiqih, dan sastra. Sehingga Abdullah bin Abbas lah yang membangun
madrasah ini menjadi termasyhur keseluruh negeri islam. Ketika Abdullah bin Abbas wafat, maka
pengajaran dalam madrasah ini diteruskan oleh para muridnya, antara lain Mujahid bin Jabar
seorang ahli tafsir alqur’an yang diriwayatkanya dari ibnu Abbas, Athak bin Abu Rabbah seorang
ahli fiqih, dan Thawus bin Kaisan seorang fuqaha dan mufti di Makkah. Kemudian diteruskan
kembali oleh Sufyan bin Uyainah dan Muslim bin Khalid al Zanji.
b. Madrasah Madinah
Madrasah ini lebih termasyhur dari madrasah makkah, karena disini adalah tempat
tinggalnya para sahabat rasulullah, termasuk Abu Bakar, Umar dan juga Usman. Diantara sahabat
yang mengajar di sini adalah, Umar bin Khattab, Ali bin Abi thalib, Zaid bin Tsabit adalah sahabat
yang mahir dalam bidang qiro’at dan fiqih, sehingga belaiaulah yang mendapatkan tugas untuk
penulisan kembali Al-Qur’an, dan Abdullah bin Umar seorang ahli hadits yang selalu berfatwa
dengan apa yang termaktub dalam hadits dan sebagai pelopor Madzab al Hadits yang berkembang
pada generasi yang berikutnya. Setelah para guru yang dahulu meninggal maka pengajaran
diteruskan oleh para tabi’in, antara lain Sa’ad bin Musyayab dan Urwah bin Alzubair.