Anda di halaman 1dari 26

[tutup]

Ikuti Wikipedia bahasa Indonesia di Facebook, Twitter, Instagram, dan


Telegram

Demokrasi di Indonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Untuk dokumentasi, lihat Sejarah Indonesia.

Demokrasi di Indonesia adalah suatu proses sejarah dan politik perkembangan demokrasi di
dunia secara umum, hingga khususnya di Indonesia, mulai dari pengertian dan konsepsi
demokrasi menurut para tokoh dan founding fathers Kemerdekaan Indonesia, terutama
Soekarno, Mohammad Hatta, dan Soetan Sjahrir. Selain itu juga proses ini menggambarkan
perkembangan demokrasi di Indonesia, dimulai saat Kemerdekaan Indonesia, berdirinya
Republik Indonesia Serikat, kemunculan fase kediktatoran Soekarno dalam Orde Lama dan
Soeharto dalam Orde Baru, hingga proses konsolidasi demokrasi pasca Reformasi 1998
hingga saat ini.

Daftar isi
 1 Sejarah Demokrasi
o 1.1 Demokrasi Kuno
o 1.2 Demokrasi Modern
o 1.3 Dua Wajah Demokrasi
 2 Demokrasi dalam Pandangan Para Pendiri Bangsa Indonesia
o 2.1 Demokrasi Menurut Soekarno
o 2.2 Demokrasi Menurut Mohammad Hatta
o 2.3 Demokrasi Menurut Soetan Sjahrir
 3 Demokrasi Parlementer
 4 Demokrasi Terpimpin
 5 Demokrasi Pancasila
 6 Era Reformasi
o 6.1 Transisi Demokrasi
o 6.2 Konsolidasi Demokrasi
o 6.3 Tantangan Demokrasi
 7 Referensi

Sejarah Demokrasi
Demokrasi Kuno

Jika Romawi kuno menjadi suatu bentuk kediktatorannya yang pertama di dunia, Yunani
kuno memperkenalkan sebuah sistem yang berarti, “diperintah oleh rakyat”, inilah pikiran-
pikiran awal tentang demokrasi, yang terus berkembang hingga saat ini. Warga memerintah
dirinya sendiri melalui wakil-wakilnya yang dipilih sesuai konstitusi, bebas, dan teratur
memungkinkan terjadinya perubahan.[1]

Kelahiran demokrasi sebagai sebuah paham ideologi sekaligus sebagai sebuah sistem politik
memang tidak boleh dinafikkan bahwa demokrasi lahir memang dari Dunia Barat, lebih
tepatnya Yunani kuno yang saat itu berbentuk sebuah Negara-Kota Athena (sekarang Ibu
kota Yunani modern). Demokrasi sendiri berasal dari Bahasa Yunani, yaitu “demos” yang
artinya rakyat dan “kratos” yang artinya kekuasaan, jadi demokrasi secara terminology berarti
pemerintahan yang menghendaki kekuasaan oleh rakyat.[2]

Demokrasi di Yunani kuno saat itu adalah suatu bentuk demokrasi langsung yang artinya
bahwa setiap warga negara berhak berpartisipasi dalam pembuatan konstitusi dan hukum
perundang-undangan sekaligus juga memiliki hak untuk berpartisipasi aktif dalam
pengambilan kebijakan oleh sistem pemerintahan. Jadi saat itu, demokrasi benar-benar
dijalankan secara harfiah dalam pengertian sekaligus implementasi yang benar-benar
“kekuasaan rakyat” bukan keterwakilan seperti di demokrasi modern hari ini.[2]

Demokrasi Modern

Demokrasi modern yang saat ini kita kenal adalah sebuah bentuk dari adaptasi nilai-nilai
demokrasi yang dahulu ada di zaman Yunani kuno, namun dalam dunia modern, demokrasi
secara langsung a’la Yunani kuno dianggap tidak relevan lagi, karena selain jumlah
penduduk yang semakin banyak, ideologi dan sistem pemerintahan modern juga telah banyak
memberikan pengaruh terhadap perkembangan demokrasi. Jadi dalam dunia modern,
demokrasi langsung seperti di Yunani kuno menjadi tidak mungkin dan sangat sulit untuk
diterapkan kembali.[2]

Demokrasi modern kemudian memberikan satu bentuk baru dari partisipasi rakyat kedalam
sebuah sistem keterwakilan yang mendapatkan legitimasi dari pemilihan yang dilakukan oleh
rakyat. Salah satu akar dari demokrasi modern hari ini terbentuk setelah Revolusi Prancis.
Saat Prancis mengubah bentuk negaranya setelah menumbangkan Dinasti Bourbon yang
dipimpin oleh Raja Louis XIV dan digantikan dengan sebuah Republik Prancis, sistem
keterwakilan modern yang cukup mapan telah terbangun dalam sebuah keterwakilan dalam
Parlemen Prancis atau Majelis Nasional Prancis. Dalam Majelis Nasional Prancis itu, semua
unsur-unsur politik yang ada dalam masyarakat Prancis berhak memiliki wakilnya untuk
duduk di parlemen, mulai dari kelompok kiri jauh, kiri tengah, tengah, kanan tengah, dan
kanan jauh, semuanya memiliki hak untuk duduk di parlemen mewakili konstituen mereka,
yaitu rakyat.[3]

Perkembangan lainnya adalah yang paling sering menjadi contoh dari wajah demokrasi dunia
adalah demokrasi Amerika Serikat. Selama Abad 19, Amerika Serikat telah berusaha untuk
membangun suatu sistem dimana hak dan kewajiban rakyat sama pentingnya untuk
diperjuangan dalam negara, dimana demokrasi di Amerika Serikat juga mengadopsi
pemikiran-pemikiran liberalisme yang digagas oleh John Locke dan Montesquieu. Amerika
Serikat mengalami demokratisasi secara penuh adalah di masa Presiden Andrew Jackson
(1767-1845) yang secara penuh telah membangun demokrasi Amerika Serikat menjadi
demokrasi keterwakilan dari seluruh wilayah Amerika Serikat, menjadikan demokrasi
Amerika Serikat sebagai demokrasi keterwakilan yang mapan sampai saat ini.[4]

Dua Wajah Demokrasi


Pasca Perang Dunia II, tepatnya pada tahun 1948,George Bernard Shaw mengusulkan untuk
menghilangkan salah paham dan kekacauan pengertian tentang arti demokrasi. Seluruh ahli
bahasa dan politik dipertemukan untuk meluruskan definisi demokrasi yang sebenarnya.
Pertentangan terjadi bila ketika seorang wakil dari Blok Barat (Amerika Serikat, Britania
Raya, dan Prancis) berbicara soal demokrasi, seringkali bertentangan dengan definisi
demokrasi yang dikemukan oleh perwakilan dari Blok Timur (Uni Soviet dan Republik
Rakyat Tiongkok).[5]

Negara Blok Barat menafsirkan demokrasi sebagai kebebasan individual, kebebasan pers,
kebebasan berbicara, hak untuk beroposisi, hak untuk berserikat, hak untuk mencari uang dan
menentukan pekerjaan, sampai hak untuk pergi atau tinggal diluar negeri. Sementara Negara
Blok Timur menafsirkan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat, artinya adalah bukan berarti rakyat dapat memimpin diri mereka sendiri, namun
negara harus bekerja untuk kepentingan kolektivitas, untuk menghindari tirani mayoritas.[6]

Munculnya dualisme makna demokrasi pasca Perang Dunia II itu kemudian memunculkan
banyak macam kediktatoran yang kemudian mengklaim demokrasi versi mereka, seperti
Stalin dengan “demokrasi sentralistik”, Kim Il Sung mentasbihkan negerinya sebagai
''Democratic People’s Republic of Korea'' alias Korea Utara, Ulbricht yang melabeli Jerman
Timur dengan Republik Demokratik Jerman, hingga sampai di Indonesia sendiri kemudian
kita mengenal, ada Soekarno dengan “demokrasi terpimpin” dan Soeharto dengan
“demokrasi Pancasila”.[7]

Demokrasi dalam Pandangan Para Pendiri Bangsa


Indonesia
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, secara gamblang duet pemimpin
Dwitunggal, Soekarno dan Mohammad Hatta telah mendeklarasikan Indonesia Merdeka
sebagai sebuah negara yang demokratis karena pada kalimat terakhirnya dikatakan dalam
Teks Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah “atas nama bangsa Indonesia”, bila dikaitkan
dengan definisi bangsa, maka yang dimaksud adalah seluruh rakyat Indonesia. Jadi
kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan yang diperuntukkan bagi rakyat Indonesia
sendiri.

Meskipun telah mencapai konsensus kemerdekaan sebagai sebuah bangsa, tetapi setiap tokoh
pergerakan dan pelopor kemerdekaan Indonesia memiliki konsepsi demokrasinya masing-
masing, kebanyakan dari mereka berusaha menengahi dualisme penafsiran demokrasi dari
Negara Barat yang liberalis dengan Negara Timur yang komunis, terutama dalam
merumuskan tentang kebebasan politik yang diadopsi dari demokrasi Barat dan kemerataan
ekonomi yang ditiru dari demokrasi Timur. Namun, terkadang beberapa tokoh kemudian
memiliki kecenderungan masing-masing, entah itu kecenderungan pada Barat ataupun Timur,
yang kemudian menjadi ciri khas dari perkembangan demokrasi di Indonesia.

Demokrasi Menurut Soekarno

Untuk biografi, lihat Soekarno.


Soekarno

Dalam pandangan Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno, demokrasi


Indonesia adalah demokrasi yang lahir dari kehendak memperjuangkan kemerdekaan, itu
artinya adalah demokrasi Indonesia menurut Soekarno meletakan embrionya pada
perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme, hal itu ditulis oleh Soekarno dalam
bukunya, Indonesia Menggugat dan Dibawah Bendera Revolusi, yang secara eksplisit
terinspirasi oleh pergerakan kemerdekaan yang dilakukan di pelbagai belahan dunia, dari
perjuangan seorang Muhammad, Yesus Kristus, William de Oranje, Mahatma Gandhi,
Mustafa Kemal Attaturk, dan tokoh-tokoh kemerdekaan bangsa-bangsa di seluruh dunia.[8]

Menurut Soekarno, demokrasi adalah suatu "pemerintahan rakyat". Lebih lanjut lagi, bagi
Soekarno, demokrasi adalah suatu cara dalam membentuk pemerintahan yang memberikan
hak kepada rakayat untuk ikut serta dalam proses pemerintahan. Namun, demokrasi yang
diinginkan dan dikonsepsikan oleh Soekarno tidak ingin meniru demokrasi modern yang lahir
dari Revolusi Prancis, karena menurut Soekarno, demokrasi yang dihasilkan oleh Revolusi
Prancis, demokrasi yang hanya menguntungkan kaum borjuis dan menjadi tempat tumbuhnya
kapitalisme.[9] Oleh karena itu, kemudian Soekarno mengkonsepsikan sendiri demokrasi yang
menurutnya cocok untuk Indonesia.

Lebih jelasnya, konsepsi Soekarno mengenai demokrasi tertuang dalam konsep


pemikirannya, yaitu marhaenisme. Marhaenisme yang merupakan buah pikir Soekarno ketika
masih belajar sebagai mahasiswa di Bandung. Marhaenisme pada hakekatnya sering menjadi
pisau analisis sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia. Marhaenisme itu terdiri dari tiga
pokok atau yang disebut sebagai “Trisila”, yaitu:[10][11]

 Sosio-nasionalisme, yang berarti nasionalisme Indonesia yang diinginkan oleh


Soekarno adalah nasionalisme yang memiliki watak sosial dengan menempatkan
nilai-nilai kemanusiaan di dalam nasionalisme itu sendiri, jadi bukan nasionalisme
yang chauvinis.
 Sosio-demokrasi, yang artinya bahwa demokrasi yang dikehendaki Soekarno adalah
bukan semata-mata demokrasi politik saja, tetapi juga demokrasi ekonomi, dan
demokrasi yang berangkat dari nilai-nilai kearifan lokal budaya Indonesia, yaitu
musyawarah mufakat.
 Ketuhanan Yang Maha Esa, yang artinya bahwa Soekarno menginginkan setiap
rakyat Indonesia adalah manusia yang mengakui keberadaan Tuhan (theis), apapun
agamanya.

Di antara ketiga sila itu, pemikiran dan konsepsi Soekarno mengenai demokrasi ada di sila
kedua dalam Trisila Marhaenisme, yaitu sosio-demokrasi. Sosio-demokrasi menurut
Soekarno adalah suatu sistem demokrasi yang mengakar pada nilai-nilai kemasyarakatan.
Sosio-demokrasi yang diinginkan oleh Soekarno adalah saat demokrasi itu sendiri mendasari
nilai-nilainya pada seluruh masyarakat, bukan hanya kepada sebagian masyarakat, dalam hal
ini Soekarno mengkritik demokrasi Prancis dan demokrasi Amerika Serikat yang menurut
Soekarno hanya mementingkan sebagian kelompok orang saja, yaitu kelompok borjuis, atau
sederhananya, Soekarno ingin demokrasi Indonesia bukan hanya demokrasi politik, tetapi
juga demokrasi ekonomi.[12]

Masih dalam buku Dibawah Bendera Revolusi, Soekarno kemudian menjabarkan lebih jauh
tentang konsep sosio-demokrasinya itu, yaitu dengan mengkonsepsikan nilai-nilai demokrasi
politik dan juga demokrasi ekonomi. Demokrasi politik menurut Soekarno adalah demokrasi
yang berlaku di Eropa pasca-Revolusi Prancis, yaitu demokrasi yang didalamnya adalah
suatu sistem demokrasi keterwakilan dalam sebuah lembaga parlemen, - Soekarno
menyebutnya parlementaire democratie dan politieke democratie - Soekarno melihat bahwa
nilai-nilai demokrasi itu memang diterapkan saat pemilihan anggota parlemen, namun bagi
Soekarno demokrasi politik Eropa itu hanya berhenti sampai di parlemen saja, sementera
dalam bidang ekonomi tidak ada nilai-nilai demokrasinya, yang menyebabkan banyaknya
kemiskinan - dan untuk permasalahan ekonomi itu Soekarno menyalahkan demokrasi politik
yang justru mendukung berkembangnya kapitalisme.[13]

Soekarno kemudian membuat suatu rumusan, agar demokrasi menjadi lebih seimbang,
artinya demokrasi yang Soekarno inginkan bukan hanya demokrasi politik, tetapi juga
demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi itu menurut Soekarno adalah demokrasi yang
menghendaki adanya pemberian hak-hak ekonomi kepada seluruh lapisan masyarakat,
sehingga tercipta suatu kemerataan. Kemerataan yang dimaksudkan oleh Soekarno itu bukan
kemerataan ekonomi dalam sistem komunisme yang menghilangkan hak milik pribadi,[14]
tetapi suatu kemerataan dimana semua hak kepemilikan pribadi - Soekarno menyeburnya
sebagai privaatbezit - seluruh rakyat dijamin oleh negara, dalam hal ini parlemen yang
merupakan hasil dari demokrasi politik berperan untuk memberikan perlindungan bagi hak-
hak kepemilikan pribadi semua orang melalui suatu pembuatan peraturan atau hukum yang
adil bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali, baik dari kelas borjuis ataupun proletar - termasuk
juga kelas masyarakat yang memiliki harta benda sedikit atau yang disebut Soekarno sebagai
marhaen.[15]

Kemudian, pada perkembangan selanjutnya, terutama saat perumusan dasar negara Indonesia
yang dilaksanakan pada 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Soekarno menawarkan konsepsi dasar negara bagi
Indonesia Merdeka, yaitu Pancasila – meskipun Soekarno sendiri menolak disebut sebagai
penemu Pancasila, oleh karen itu Soekarno lebih suka disebut sebagai “penggali Pancasila”.
Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 itu, Soekarno berkata mengenai konsespsi demokrasi yang
Soekarno tawarkan adalah sebagai berikut:[16]

"Prinsip nomor 4, sekarang saya usulkan. Saya di dalam tiga hari ini belum mendengarkan
prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia
Merdeka. Saya katakan tadi; prinsipnya San Min Chu ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng
(yang artinya): Nationalism, Democracy, Socialism. Maka prinsip kita harus (berdasarkan
apa?): Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela ataukah yang
semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam
kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup member sandang – pangan
kepadanya? Mana yang kita pilih, Saudara-Saudara? Jangan Saudara kira, bahwa kalau
Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan
ini. Kita sudah lihat di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire
demokratie. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?"[17]

}}Pada sila ini secara eksplisit Soekarno menginingkan sebuah sistem politik demokrasi yang
tidak hanya politiknya saja yang mengalami demokratisasi, tetapi juga ekonominya, dengan
cara menjadikan “kerakyatan” sebagai fondasi utamanya dan dijalankan dengan prinsip-
prinsip “hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Seokarno tidak ingin
Indonesia menjadi negara demokrasi liberal seperti di Barat, yang masyarakatnya kapitalistik,
Soekarno ingin Indonesia menjadi negara demokrasi yang masyarakatnya sosialistik, artinya
bahwa demokrasi bukan hanya pada kebebasan dalam politik, seperti bebas berbicara, bebas
memilih, dan bebas berserikat dalam organisasi apapun, tetapi juga demokrasi yang mampu
mengalokasikan seluruh sumber daya ekonomi kepada seluruh rakyat atau sederhadanya
kekuasaan rakyat atas ekonomi dan perlawanan terhadap kemiskinan.[18]

Soekarno juga memiliki suatu konsepsi tentang demokrasi yang dikemukakan pada 21
Februari 1957. Konsepsi itu berisi penolakannya terhadap sistem demokrasi parlementer yang
saat itu diterapkan di Indonesia, karena Soekarno menganggap demokrasi parlementer
sebagai demokrasi Barat yang mengecewakan. Selain itu, konsepsi Soekarno tentang
demokrasi itu kemudian dikenal sebagai Demokrasi Terpimpin atau Demokrasi Gotong
Royong dengan kepemimpinan yang terpusat dan integralistik.[19]

Demokrasi Menurut Mohammad Hatta

Untuk biografi, lihat Mohammad Hatta.

Mohammad Hatta
Seperti Soekarno, Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, Mohammad Hatta juga
merupakan salah satu tokoh pergerakan yang menjadi pengeritik utama demokrasi liberal
Barat. Kritik Hatta terhadap demokrasi Barat yang dimaksud, bukanlah demokrasi Barat
dalam arti politik, yaitu demokrasi dalam kehidupan politik, atau liberalisme secara umum.
Dalam pamflet yang berjudul Ke Arah Indonesia Merdeka, Hatta mengemukakan sebagai
berikut:[20]

"Jadinya, demokrasi Barat yang dilahirkan oleh Revolusi Prancis tiada membawa
kemerdekaan rakyat yang sebenarnya, melainkan menimbulkan kekuasaan kapitalisme.
Sebab itu demokrasi politik saja tidak cukup untuk mencapai demokrasi yang sebenarnya,
yaitu Kedaulatan Rakyat. Haruslah ada pula demokrasi ekonomi."[20]

Demokrasi Barat yang bersendikan pada liberalisme memiliki sisi politik dan ekonomi, yaitu
demokrasi politik dan sistem kapitalisme dalam ekonominya. Secara spesifik dalam
pandangan Hatta, sistem ekonomi kapitalis lahir terlebih dulu (oleh kaum kelas borjuis yang
menguasai parlemen di masa itu) dan kemudian kelas borjuis yang kapitalis mendirikan
sebuah sistem demokrasi politik yang bertujuan untuk menjamin keberlangsungan sistem
kapitalisme itu sendiri. Hatta mengakui bahwa demokrasi Barat memang menjamin
kedaulatan rakyat di bidang politik, akan tetapi karena kehidupan politik berkaitan dengan
kehidupan ekonomi, sementara kehidupan ekonomi dalam demokrasi Barat tidak
mengandung kedaulatan rakyat, maka bagi Hatta demokrasi politik dalam demokrasi Barat
menjadi manipulatif, yaitu “memutar satu asas yang baik seperti kedaulatan rakyat menjadi
perkakas pemakan rakyat”.[21]

Demokrasi politik di Barat – seperti apa yang dikemukakan oleh William Ebenstein dan
Edwin Fogelman – bertumpu kepada “pementingan individu"[22] dalam kehidupan politik.
Maksudnya, individu dengan segenap hak-hak dasarnya merupakan unit utama dalam
kehidupan politik. Negara dan kelompok-kelompok lain diadakan semata-mata untuk
melayani kepentingan individu-individu ini. Hatta berpendapat, semangat individualisme
Barat dalam politik harus ditolak. Sebaliknya, Hatta menginginkan sebuah sistem demokrasi
yang berdasarkan kebersamaan dan kekeluargaan yang mencerminkan tradisi kehidupan
bangsa Indonesia secara turun menurun.[23]

Hatta menganggap individualisme sebagai penyakit, sehingga individualism adalah sesuatu


yang harus dihindari, Hatta selanjutnya berbicara tentang demokrasi yang lebih sempurna
bagi Indonesia – seperti Soekarno – yaitu demokrasi di bidang politik dan ekonomi yang
tidak mengandung paham individualisme. Hatta bahkan amat yakin, demokrasi yang
dibayangkannya itu akan bisa terwujud karena kesesuaiannya dengan tradisi masyarakat
Indonesia, yaitu kebersamaan dan kekeluargaan.

Sifat demokratis masyarakat asli Indonesia ini bersumber dari semangat kebersamaan atau
kolektivisme. Kolektivisme ini mewujud dalam sikap saling tolong menolong, gotong
royong, dan sebagainya. Kolektivisme dalam masyarakat asli Indonesia juga berarti
pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Ini jelas berbeda
dengan kebiasaan yang berlaku dalam sistem demokrasi Barat yang individualistis.

Menurut Hatta, kebersamaan harus berarti, kepemilikan bersama atas suatu alat produksi
(tanah) tidak bisa dijalankan dengan pembagian, melainkan harus diusahakan secara
bersama-sama pula. Dengan kata lain, usaha individual dengan bantuan orang lain yang
mencirikan kebersamaan masyarakat asli Indonesia masa kini, harus diganti dengan milik
bersama yang diusahakan secara bersama-sama pula. Inilah yang dimaksud oleh Hatta
dengan collectivisme baroe, yang seharusnya mewarnai kehidupan ekonomi Indonesia
merdeka. Pengertian inilah yang kemudian melekat pada koperasi sebagai wujud
kolektivisme baru.

Sejak masa pergerakan Indonesia, Hatta dalam pidatonya yang berjudul Koperasi Jembatan
ke Demokrasi Ekonomi terus menyerukan koperasi sebagai satu-satunya organisasi ekonomi
yang bisa berhasil meletakkan sendi yang kuat untuk membangun kembali ekonomi yang
roboh. Hatta meyakininya karena koperasi berupaya berjalan dengan semangat self-help dan
oto-activity. Artinya koperasi berusaha menumbuhkan rasa percaya diri dan tolong menolong
antar masyarakat sebagai pemandu kemauan yang kuat. Semangat itulah yang sudah lama
muncul yang sebetulnya membarengi berkembangnya demokrasi sosial, politik dan ekonomi.
Hal ini dapat dengan mudah dikatakan karena bangunan demokrasi yang sangat kuat sebagian
besar dipupuk dengan semangat koperasi. Demokrasi dapat hidup dan kuat, kalau ada rasa
tanggung jawab pada rakyat. Dasar koperasi adalah menghidupkan rasa tanggung jawab itu,
sebab koperasi selain membela keperluan bersama, membangun dalam jiwa tiap-tiap
anggotanya manusia merdeka, sadar akan harga dirinya.[24]

Hatta melihat, demokrasi Indonesia dibawah kepemimpinan Soekarno, lebih tepatnya setelah
Dwitunggal bubar dan Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden pada Juli 1959 telah bergeser
menjadi demokrasi yang meniru kediktatoran komunisme di Timur, demokrasi yang menurut
Hatta hanya dijadikan alat oleh negara untuk melanggengkan kekuasaan semata. Oleh karena
itu, Hatta menyebut periode Orde Lama sebagai periode “krisis demokrasi”. Pada 1966,
tepatnya ketika rezim Soekarno mulai berubah menjadi otoritarian dan Dwitunggal telah
pecah, Hatta mulai mengoreksi, bahkan mengkritik “demokrasi terpimpin” ataupun
“demokrasi gotong royong” yang digagas Soekarno. Hatta mengkritik demokrasi yang
diterapkan oleh Soekarno itu dalam artikelnya yang berjudul Demokrasi Kita yang dimuat
dalam majalah Pandji Masjarakat pada 1966 yang sempat dibredel oleh pemerintah Orde
Lama.[25]

Demokrasi Menurut Soetan Sjahrir

Untuk biografi, lihat Soetan Sjahrir.

Soetan Sjahrir
Seperti halnya Soekarno dan Mohammad Hatta, Perdana Menteri Pertama Republik
Indonesia, Soetan Sjahrir juga memiliki konsepsi sendiri tentang demokrasi, namun yang
membedannya adalah Sjahrir tidak mengutuk habis-habisan demokrasi Barat seperti yang
dilakukan Soekarno dan Hatta. Sjahrir lebih membenci fasisme dan ketimbang kapitalisme
Barat, oleh karena itu tak mengherankan bila Sjahrir lebih suka melakukan dialog dengan
pihak Sekutu Barat, seperti Amerika Serikat, Britania Raya, dan Belanda.

Selain fasisme, Sjahrir pun juga menyerang komunisme dan sistem demokrasinya sebagai
ideologi yang mengkhianati sosialisme kerena mengabaikan kemanusiaan, seperti Joseph
Stalin dan Mao Tse Tung. Karena serangan Sjahrir ke kaum komunis, maka para
penentangnya yang berasal dari spektrum kiri jauh mengejeknya dengan sebutan “soka” –
yang merujuk pada nama bunga – atau akronim dari sosialis kanan, karena keterpukauan
Sjahrir kepada segala hal yang berbau Barat.[26]

Kebencian Sjahrir pada fasisme dan komunisme turut mempengaruhi konsepsinya mengenai
demokrasi dan pemerintahan di Indonesia Merdeka. Pemikiran Sjahrir tentang demokrasi dan
pemerintahan di Indonesia tertuang dalam bukunya yang berjudul Perjuangan Kita yang
terbit pasca Indonesia Merdeka, dan duet Soekarno-Hatta atau Dwitunggal menjadi
pemimpin Indonesia. Bagi Sjahrir, pemerintahan Indonesia yang baru merdeka, adalah
pemerintahan yang dipimpin oleh kolaborator fasis (dalam hal ini kolaborator Kekaisaran
Jepang), sehingga pemerintahan perlu di “demokratisir”.[27]

“Secepat mungkin seluruh pemerintahan harus didemokratiseer, sehingga rakyat banyak


masuk tersusun di dalam lingkungan pemerintahan. Ini mudah dikerjakan dengan
menghidupkan dan di mana perlu membangunkan dewan-dewan perwakilan rakyat dari desa
hingga ke puncak pemerintahan."[28]

Sementara seorang aktivis simpatisan Partai Sosialis Indonesia (PSI), Rahman Tolleng
menyebut ideologi Sjahrir sebagai republikan-sosialis, “karena dia (Sjahrir) menekankan
pada partisipasi rakyat,” kata Tolleng. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi
dikemudian hari Sjahrir mengubah sistem presidensial menjadi parlementer agar partisipasi
itu bisa maksimal.[29]

Dalam pemikirannya, Sjahrir sangat jelas memiliki banyak perbedaan dengan Soekarno dan
Hatta mengenai konsepsi demokrasi. Bila Soekarno dan Hatta melihat individualisme sebagai
hal yang harus dihindari, maka Sjahrir justru menganggap individualisme menjadi elemen
yang penting dalam negara dan sistem pemerintahan yang demokratis. Menurut Vedi Hadiz,
pengajar ilmu politik di Universitas Nasional Singapura, ideologi Sjahrir adalah perpaduan
antara tradisi sosial-demokrat dengan liberalisme. Sosial-demokrat Sjahrir, misalnya, terlihat
pada perhatian dan gerakannya menumbuhkan pendidikan rakyat. Sedangkan liberalisme
muncul dari sikapnya yang menjunjung hak dan kebebasan individu.[30]

Sikap politik Sjahrir yang seorang sosialis tetapi mengakui ide-ide demokrasi Barat dan
liberalism tidak hanya membuat Sjahrir bermusuhan dengan fasisme, tetapi juga dengan
kelompok komunis. Bagi Sjahrir demokrasi dan sosialisme bisa tercapai dengan azas akal,
bukan melalui jalur revolusi terus-menerus – dalam hal ini Sjahir bertolak belakang dengan
Soekarno yang mengatakan “revolusi belum selesai”, tetapi ia sejalan dengan Hatta yang
mengatakan “revolusi telah selesai”.
Konsepsi Sjahrir mengenai demokrasi dan sosialisme yang bisa dicapai melalui jalur
diplomasi bukan revolusi kekerasan diungkapkan pada Kongres Sosialis Asia II di Bombay
(sekarang Mumbai), India pada 6 November 1956. Dalam Kongres itu Sjahrir berkata:[31]

“Kaum sosial kerakyatan di Asia menyadari bahwa mereka mempunyai kesabaran


revolusioner yang sama dengan kaum komunis, tetapi mereka melihat dengan sangat jelas
bahwa kaum komunis telah menempuh suatu jalan yang salah. Dituntun oleh ajaran-ajaran
Lenin dan Stalin mengenai perjuangan kelas, mereka menghancurkan dalam diri mereka
sendiri, jiwa serta semangat sosialisme, yaitu kemampuan menghargai kemanusiaan dan
martabat manusia.”[32]

Dalam pidato itu jelas Sjahrir menolah sistem demokrasi a’la Bolshevik dan Komunis
Internasional yang menindas dan mengabaikan kedaulatan rakyat dengan sistem yang
hirarkis, otoriter, dan totaliter dalam politbiro Partai Komunis. Menurut Sjahrir, pengakuan
terhadap kedaulatan rakyat dan martabat manusia secara individu membuat sosialisme yang
dianutnya sejalan dengan demokrasi liberal ala Barat, namun dengan satu perbedaan, yaitu
tidak adanya pengakuan terhadap sistem ekonomi kapitalis – dalam hal ini Sjahrir sejalan
dengan Soekarno dan Hatta.[33]

Demokrasi Parlementer
Era demokrasi parlementer di Indonesia, juga sering kali disebut sebagai era demokrasi
konstitusional.[34] Munculnya sistem parlementer di Indonesia karena jatuhnya kabinet
Presidensial Pertama pada 14 November 1945 yang disebabkan oleh keluarnya Maklumat
Wakil Presiden No. X/1945 pada 16 Oktober 1945 dan diikuti kemudian oleh Maklumat
Pemerintah pada 3 November 1945 yang berisi tentang seruan untuk mendirikan partai-partai
politik di Indonesia.[35]

Daftar partai yang terbentuk setelah keluarnya Maklumat X[36]


No. Nama Partai Ketua Tanggal Ideologi Keterangan
Majelis Sjuro
7 Islamisme,
Moeslimin Sukiman
1 November nasionalisme
Indonesia Wiryosanjoyo
1945 Islam
(MASJUMI)
Mr. 7
Partai Komunis
2 Moehammad November Komunisme
Indonesia (PKI)
Yoesoef 1945
8
Partai Buruh Sosialisme, Nantinya bergabung dengan
3 Nyono November
Indonesia (PBI) Kiri Jauh PKI
1945
8
Partai Rakyat Soetan
4 November Sosialisme
Jelata (PRJ) Dewanis
1945
Partai Kristen 10 Protestanisme,
Ds.
5 Indonesia November Kristen
Probowinoto
(PARKINDO) 1945 demokrat
Partai Sosialis Amir 10 Sosialisme,
6
Indonesia (PSI) Sjarifoedin November sosial-
1945 demokrat
Pada Desember 1945,
20 Sosialisme,
Partai Rakyat bergabung dengan PSI dan
7 Soetan Sjahrir November sosial-
Sosialis (PRS) yang menjadi ketua tetap
1945 demokrat
Soetan Sjahrir
Partai Katholik
8 Katholikisme,
Republik
8 I. J. Kasimo Desember Kristen
Indonesia
1945 demokrat
(PKRI)
Persatuan
Rakyat 17
Marhaenisme,
9 Marhaen J. B. Assa Desember
Nasionalisme
Indonesia 1945
(PERMEI)
PNI ini berbeda dengan PNI
yang dibentuk Soekarno
pada 1927 di Bandung,
meskipun PNI ini tetap
mewarisi pemikiran PNI
1927. PNI pimpinan
Partai Nasional 29 Januari Nasionalisme,
10 Joyosukarto Joyosukarto ini adalah
Indonesia (PNI) 1946 Marhaenisme
gabungan dari tiga partai
politik lainnya, yaitu: PRI
(Partai Rakyat Indonesia),
GRI (Gerakan Republik
Indonesia), dan SRI (Serikat
Rakyat Indonesia).

Kabinet Sjahrir II, terlihat di foto, Amir Sjarifoedin sebelum terlibat dalam Pemberontakan
PKI 1948 (orang kedua dari kiri berdiri dengan kacamata) dan Soetan Sjahrir (duduk di
bangku paling kanan)

Keberlanjutan dari Maklumat Pemerintah itu adalah adanya pengumuman dari Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) tentang perubahan pertanggungjawaban Menteri
kepada Parlemen, dalam hal ini adalah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Usulan dari
BPKNIP itu kemudian disetujui oleh Presiden Soekarno pada 14 November 1945. Dengan
demikian, maka secara otomatis sistem pemerintahan di Indonesia saat itu bukan lagi
presidensial, tetapi menjadi parlementer.[37]

Sistem pemerintahan parlementer yang pertama di Indonesia dimulai pada 14 November


1945 sampai 12 Maret 1946 dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Pertama Indonesia,
Soetan Sjahrir atau disebut juga sebagai Kabinet Sjahrir I.[38] Langkah mengubah sistem
pemerintahan Indonesia dari presidensil ke parlementer dianggap sebagai suatu langkah
politik ideologi Sjahrir yang menganut sosial-demokrat dan mendukung sistem demokrasi
Barat yang parlemennya kuat.[39]

Demokrasi parlementer di Indonesia semakin kuat dengan memiliki landasan konstitusional,


yaitu Undang-Undang Dasar Sementara 1949 dan 1950. Dalam Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 itu menetapkan bahwa lembaga eksekutif, yang terdiri dari presiden sebagai
kepala negara konstitusional dan menteri-menteri memiliki tanggungjawab politik dibawah
seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan sehari-hari. Kabinet pemerintahan itu
kemudian dibentuk atas dasar koalisi partai-partai di parlemen, namun seringkali koalisi antar
partai itu mengalami keretakan dan menggoyahkan kabinet pemerintahan. Akhirnya karena
seringnya koalisi partai tidak pernah utuh sampai selesai, banyak kabinet pemerintahan di
masa demokrasi parlementer jatuh bangun dengan cepat, ditambah partai yang menjadi
oposisi seringkali menunjukkan sikap kritik destruktif dengan mengangkat sisi negatif partai
penguasa, hal ini menunjukkan bahwa partai politik di Indonesia saat itu belum dewasa.[40]

Menurut Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Miriam Budiardjo dalam bukunya
Dasar-Dasar Ilmu Politik, demokrasi parlementer di Indonesia dirasa kurang cocok, karena
persatuan dan kesatuan diantara elemen kekuatan politik bangsa dan negara menjadi kendor
dan sulit untuk dikendalikan. Selain itu demokrasi parlementer di Indonesia menurut Miriam
telah melahirkan dominasi partai politik dan lembaga legistalif yang justru mendorong politik
nasional menjadi tidak tidak stabil.[41]

Kabinet Sjahrir II sedang bertemu dengan Presiden Soekarno

Ketidakstabilan dalam politik nasional Indonesia pada masa demokrasi parlementer


disebabkan karena kebanyakan kabinet pemerintahan hanya bertahan selama delapan bulan,
hal ini bukan hanya berdampak pada bidang politik, tetapi juga menghambat pertumbuhan
ekonomi nasional pada saat itu. Ekonomi menjadi terhambat karena pemerintah tidak sempat
melaksanakan program kerjanya dan ketidaktabilan politik yang terjadi di pusat juga melebar
hingga pemberontakan-pemberontakan yang ada di daerah, seperti Darul Islam, Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia, dan sebagainya.[42]

Selain ketidakstabilan politik, ekonomi, dan keamanan negara, demokrasi parlementer juga
membuat seorang Soekarno marah. Selama masa demokrasi parlementer, Presiden Soekarno
hanya sebagai seroang kepala negara yang tugasnya tak lebih sebagai “tukang stempel” atau
“rubberstamp”. Selain itu, pihak militer juga menuntut diikutsertakan dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan kebangsaan karena merasa bahwa militer lahir dari semangat revolusi
kemerdekaan yang berhak untuk terlibat dalam politik.[43][44]
Puncak dari ketidakstabilan politik di era demokrasi parlementer adalah gagalnya anggota
Konstituante dalam membentuk suatu undang-undang dasar yang baru bagi Indonesia.
Kegagalan Konstituante itu disebabkan karena para anggota Konstituante yang terdiri dari
partai-partai politik dalam parlemen tidak pernah bekerjasama untuk mencapai konsensus
membentuk undang-undang dasar yang baru. Kegagalan Konstituante itu yang kemudian
akhirnya mendorong Presiden Soekarno mengemukakan apa yang disebut sebagai “Konsepsi
Presiden” pada 21 Februari 1957, dalam konsepsi itu Soekarno mengatakan bahwa demokrasi
parlemeter adalah demokrasi Barat dan harus diganti. Akhirnya puncak dari kekisruhan
politik saat itu berakhir saat, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959
yang menyatakan bahwa konstitusi Indonesia kembali pada Undang-Undang Dasar 1945
yang sekaligus menyudahi kabinet parlementer terakhir yang dipimpin oleh Ali
Sastroamidjojo atau yang disebut sebagai Kabinet Ali II dan seluruh sistem demokrasi
parlementer di Indonesia.[45][46]

Demokrasi Terpimpin
Setelah berakhirnya era demokrasi parlementer, Indonesia mulai memasuki fase demokrasi
lainnya, yaitu demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin dimulai saat Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tetapi sebelum dekrit presiden diumumkan,
demokrasi parlementer atau demokrasi konstitusional masih bertahan dengan adanya
pembentukan sebuah kabinet transisi yang dipimpin oleh Ir. Djuanda atau yang disebut
sebagai Kabinet Djuanda. Kabinet Djuanda ini berisi orang-orang yang bukan dari koalisi
dominan partai di palemenen, maka seringkali Kabinet Djuanda disebut juga sebagai Kabinet
Ekstra Parlemen. Kabinet ini terhitung mulai bekerja sejak 9 April 1957 sampai 10 Juli
1959.[47]

Jauh sebelum demokrasi terpimpin terbentuk, Soekarno sebenarnya telah mengemukakan


keinginannya untuk mengubah sistem demokrasi di Indonesia pada 27 Januari 1957 di
Bandung. Gagasan Soekarno itu yang diawali dengan mengungkapkan keinginannya untuk
kembali bisa mencampuri urusan pemerintahan meskipun Konstituante belum selesai
membentuk undang-undang dasar yang baru. Kelanjutan dari pendapatnya itu, kemudian
Soekarno mengumpulkan para pemimpin partai politik untuk membentuk sebuah lembaga
yang disebut sebagai Dewan Nasional.[48]

Puncak dari ide-ide dan konsepsi demokrasi yang diimpikan Soekarno itu adalah pada 21
Februari 1957 yang dikenal dengan nama Konsepsi Presiden. Konsepsi Soekarno itu
dikemukakan dihadapan para menteri kabinet pemerintahan, pemimpin partai politik, dan
perwira angkatan bersenjata. Isi daripada konsepsi itu antara lain:[49]

1. Sistem demokrasi parlementer tidak cocok, harus diganti dengan demokrasi


terpimpin.
2. Untuk melaksanakan demokrasi terpimpin harus dibentuk Kabinet Gotong Royong
yang diawali dengan adanya “Kabinet Kaki Empat”.
3. Pembentukan Dewan Nasional yang beranggotakan golongan fungsional sebagai
penasehat Presiden.

Bila disimpulkan, Konsepsi Presiden yang dikemukakan oleh Soekarno intinya adalah; 1)
mengganti sistem pemeritnahan dari parlementer ke presidensial, 2) berusaha merangkul
semua kekuatan politik yang ada, terutama empat partai pemenang pemilu 1955, PNI,
Masyumi, NU, dan PKI, dan juga merangkul pihak militer dalam pembentukan Dewan
Nasional.

Konsepsi itu sebenarnya banyak dikritik oleh para pemimpin partai, seperti Muhammad
Natsir dari Masyumi dan Imron Rosjadi dari NU, dan juga sebagian kecil anggota PNI (yang
nantinya akan menjadi PNI Osa-Usep). Puncaknya adalah pada 2 Maret 1957, lima partai
yang terdiri dari Masyumi, NU, PSII, Partai Katholik, dan PRI mengeluarkan pernyataan
menolak konsepsi Soekarno. Sementara PKI satu-satunya yang mendukung penuh konsepsi
Soekarno itu dan sebagian besar anggota PNI (yang nantinya akan menjadi PNI Ali-
Soerachman).[50]

Meskipun mendapat tekanan dari partai-partai sayap kanan, Soekarno tetap menjalankan
konsepsinya dengan mengandalkan kekuatan partai-partai sayap kiri, yaitu PKI dan PNI.
Pada 14 Maret 1957, keluar undang-undang tentang keadaan darurat dan juga dibentuk
sebuah kabinet transisi dibawah kepemimpinan Ir. Juanda. Puncaknya adalah saat Soekarno
kemudian mencetuskan konsepsinya itu dalam bentuk Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang
mengawali era demokrasi terpimpin di Indonesia. Isi daripada Dekrit Presiden itu antara
lain:[51]

1. Menetapkan pembubaran Konstituante


2. Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini
dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri atas anggota-
anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan serta membentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan
diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Meskipun Konsepsi Presiden itu bertujuan untuk menyatukan semua kekuatan politik yang
ada dan menciptakan stabilitas politik nasional, tetapi pada praktiknya, Presiden Soekarno
kemudian berusaha menciptakan sebuh sistem kediktatoran yang diatasnamakan demokrasi
terpimpin. Pada periode ini pula kepemimpinan Dwitunggal bubar, Mohammad Hatta
memilih untuk berada diluar pemerintahan dan menjadi tokoh yang mengkritik Soekarno
dengan tulisan-tulisan dan menganggap Soekarno telah berubah menjadi seorang diktator
sejak 1956.[52]

Menurut Miriam Budiardjo, ciri-ciri dari era demokrasi terpimpin adalah dominasi presiden
yang menguat, berkembangnya pengaruh komunisme, dan masuknya militer sebagai unsur
sosial-politik. Dekrit Presiden 5 Juli pada dasarnya membuka peluang bagi stabilitas politik
nasional, karena dapat mempertahankan kedudukan pemerintah setidaknya selama lima
tahun, namun Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu berubah saat dikeluarkannya Ketetapan MPRS
No. III/1963 yang mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Ketetapan MPR itu
sekaligus melangkahi batasan kedudukan seorang presiden dan menjadikan Soekarno sebagai
seorang diktator. Hal ini menjadi salah satu bentuk penyelewengan konstitusi dan demokrasi
di era demokrasi terpimpin.[53]

Penyalahgunaan lainnya yang dilakukan oleh Soekarno selama era demokrasi terpimpin
adalah pada 1960, Soekarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tak lain
adalah lembaga legislatif, padahal Undang-Undang Dasar 1945 tidak memberikan
kewenangan itu kepada seroang presiden. Bahkan kemudian, setelah membubarkan DPR,
Presiden Soekarno membentuk lembaga legislatif, yang seharusnya anggota legislatif dipilih
oleh rakyat, bukan presiden. Badan legislatif yang dibentuk Soekarno itu kemudian disebut
sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Praktis, karena DPR-GR
adalah bentukan presiden, maka fungsi kontrol dari lembaga legislatif terhadap eksekutif
dihilangkan. Selain itu, jabatan Ketua DPR-GR dijadikan menteri oleh Presiden Soekarno, itu
artinya legislatif berada dibawah eksekutif, hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden No.
14/1960.[54]

Soekarno berpidato dihadapan ribuan kader Partai Komunis Indonesia

Selain lembaga legislatif, lembaga yudikatif juga mendapatkan intervensi dari Presiden
Soekarno, salah satunya adalah presiden memiliki kewenangan untuk ikut campur tangan
dalam badan yudikatif yaitu Mahkamah Agung. Intervensi Presiden Soekarno terhadap
lambaga yudikatif itu semakin diperkuat dengan Undang-Undang No.19/1964, itu artinya
presiden sah apabila mencampuri putusan apapun yang dibuat oleh lembaga yudikatif.[55]

Selain dalam hal pemerintahan, kecenderungan pada komunisme juga terjadi di era
demokrasi terpimpin, salah satunya adalah Presiden Soekarno membentuk sebuah lembaga
ekstra konstitusional, yaitu Front Nasional. Menurut Miriam Budiardjo, pembentukan Front
Nasional adalah bagian dari strategi Komunis Internasional (Komintern) untuk membentuk
sebuah negara yang berdasarkan poda “demokrasi rakyat”. Jadi Front Nasional yang dibentuk
oleh Presiden Soekarno itu kemudian menjadi lahan berpolitik bagi Partai Komunis Indonesia
(PKI) dan tak bisa diutak-atik karena posisinya yang berada diluar konstitusi tetapi dilindungi
oleh presiden.[56]

Demokrasi terpimpin yang digagas oleh Presiden Soekarno semakin menunjukkan


penyelewengan dan justru menjauhi konsep dan nilai demokrasi itu sendiri, bukan hanya
karena intervensi penuh pada lembaga legislatif dan yudikatif, tetapi juga pembredelan
terhadap partai politik yang dianggap melawan Presiden Soekarno, seperti Masjumi dan
Partai Sosialis Indonesia (PSI) dibubarkan dan Soetan Sjahrir kemudian dibuang ke Swiss
sampai wafat pada 1966, begitupula dengan pers dan lembaga seni yang bertentangan dengan
Presiden Soekarno ataupun yang berkonflik dengan PKI, seperti Harian Pandji Masjarakat
dan para aktivis kebudayaan yang tergabung dalam Manikebu juga dibredel. Selain itu pula
Presiden Soekarno lebih mengutamakan kepada kebijakan politik luar negeri yang disebut
sebagai “Politik Mercusuar”, hal ini berimbas pada terabaikannya sektor ekonomi nasional
yang menyebabkan inflasi besar dan kemiskinan.[57]

Era demokrasi terpimpin berakhir dengan peristiwa sejarah yang paling kelam bagi Bangsa
Indonesia, yaitu Peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI.
Jumlah korban dalam peristiwa itu bukan hanya 6 jenderal dan 1 perwira Angkatan Darat
Indonesia saja, tetapi juga (diduga) jutaan orang komunis yang sebenarnya tak tahu menahu
tentang G30S/PKI ikut terbantai hampir diseluruh wilayah Indonesia. G30S/PKI selain
mengakhiri era demokrasi terpimpin, sekaligus juga mengawali suatu fase kediktatoran baru,
kediktatoran militer Orde Baru yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto atau yang disebut
sebagai era demokrasi Pancasila.[58][59]

Demokrasi Pancasila

Mayor Jenderal Soeharto saat pemakaman 6 Jenderal dan 1 Perwira Muda Angkatan Darat
yang menjadi korban G30S

Era demokrasi Pancasila diawali dengan suatu peristiwa sejarah yang sangat kelam bagi
Indonesia, yaitu Gerakan 30 September (G30S) atau yang sering juga disebut dengan
G30S/PKI. Pemberontakan G30S terjadi pada antara 30 September dan juga 1 Oktober 1965,
Soekarno lebih suka menyebutnya Gestok (Gerakan Satu Oktober) semenatara Soeharto lebih
suka menyebutnya Gestapu (Gerakan September Tigapuluh). Peristiwa ini menelan korban
kurang lebih tiga juta orang - menurut Sarwo Edhie Wibowo, sekaligus menempatkan
Indonesia sebagai negara dengan kasus genosida terbesar keempat di dunia setelah Jerman
Nazi, Kamboja Demokratik, dan Rwanda.[60] Namun, terlepas dari peristiwa kemanusiaan
yang mengikutinya, G30S juga membawa satu angin perubahan sosial, politik, dan ekonomi
di Indonesia.

Sistem demokrasi terpimpin yang justru dijadikan landasan untuk berdirinya sebuah
pemerintahan diktator oleh Soekarno setelah keluarnya Dekret Presiden 5 Juli 1959 ternyata
tidak bertahan lama. Dibawah kepemimpinan tunggal Presiden Soekarno, yang berdasarkan
pada konsep Nasakom (Nasionalis, Agamis, dan Komunis) dengan tujuan menyatukan
seluruh elemen kekuatan sosial-politik di Indonesia ternyata tidak berhasil, karena
kecenderungan Soekarno pada kelompok komunis dan membredel kelompok-kelompok
kanan, justru menimbulkan suatu potensi konflik politik baru yang membuat politik di
Indonesia menjadi tidak stabil. Ditambah lagi dengan krisis ekonomi dan konflik politik
antara Partai Komunis Indonesia dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat
membuat rezim Orde Lama itu akhirnya tumbang dan Indonesia digantikan oleh sebuah
rezim baru yang disebut sebagai Orde Baru dibawah kepemimpinan Jenderal Soeharto.[61]

Setelah mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno berdasarkan Surat Perintah
Sebelas Maret (Supersemar), Soeharto kemudian menjadi suksesor Soekarno sebagai
Presiden Republik Indonesia yang kedua dan secara resmi periode Orde Baru atau era
demokrasi Pancasila dimulai. Menurut Haniah Hanafie dan Suryani, dalam menjalankan
pemerintahan, Presiden Soeharto mendasarinya pada kerangka organisasi yang disebut
sebagai "Jalur ABG" (singkatan dari ABRI, Birokrasi, dan Golkar). Melalui jalur ABG itu
negara menentukan kebijakan-kebijakan politiknya, hal ini menjadikan Indonesia - seperti
yang disebut oleh Karl D. Jackson sebagai Bureaucratic Policy atau "Masyarakat Politik
Birokratis",[62] yang artinya bahwa setiap keputusan diambil oleh pihak junta militer melalui
struktur dan sistem birokrasi.[63]

Sebenarnya, pertama kali ketika Orde Baru terbentuk, mereka didukung oleh hampir seluruh
rakyat Indonesia (kecuali kelompok sayap kiri, yang hampir habis dibantai saat G30S).
Banyak orang dari berbagai kalangan seperti mahasiswa, tokoh agama, intelektual,
cendekiawan, dan sebagainya menaruh harapan bahwa Orde Baru dapat mengembalikan
demokrasi Indonesia kepada jalur yang benar, sebuah demokrasi yang bersendikan pada
Pancasila. Oleh karena itu, menurut Miriam Budiardjo, pada masa Orde Baru, Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi
landasan formal yang berlaku di Indonesia, sehingga periode ini disebut juga dengan
demokrasi Pancasila.[64]

Presiden Soehato (1970)

Langkah awal Orde Baru dalam proses rekonstruksi sistem demokrasi di Indonesia, seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa Orde Baru bertujuan untuk meluruskan kembali
cita-cita demokrasi Indonesia yang melenceng menjadi kediktatoran dibawah kekuasaan
Presiden Soekarno selama masa demokrasi terpimpin (Orde Lama). Salah satu yang
dilakukan untuk menghapuskan kediktatoran Orde Lama adalah membatalkan Ketetapan
MPRS No. III/1963 yang berisi tentang pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur
hidup, dan jabatan presiden kemudian direvisi kembali menjadi jabatan yang elektif (dipilih
secara berkala) selama satu periodenya adalah lima tahun. Kemudian keluarnya Ketetapan
MPRS No.XIX/1966 yang isinya adalah untuk menentukan tinjauan kembali terhadap
produk-produk legislatif di masa Orde Lama, dan atas dasar Ketetapan MPRS itu, Undang-
Undang No.19/1964 diganti dengan Undang-Undang No.14/1970 yang isisnya
mengmabalikan independensi lembaga yudikatif. Lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) juga dikembalikan hak dan fungsi kontrolnya terhadap
lembaga eksekutif dan Ketua DPR-GR tidak lagi menjadi seorang menteri dibawah Presiden,
tetapi memiliki kedudukan yang sejajar dengan Presiden, selain itu hak Presiden untuk
mengintervensi Parlemen dicabut. Kebebasan pers dan seni juga dikembalikan, para tokoh
partai-partai politik yang dahulu di masa demokrasi terpimpin ditangkap dan diasingkan
dibebaskan,[65] salah satunya Soetan Syahrir, tetapi Sjahrir lebih dahulu meninggal sebelum
sempat kembali ke Indonesia.[66]

Dibidang ekonomi, Orde Baru juga berusaha untuk mengembalikan sektor ekonomi nasional
yang terabaikan selama Orde Lama, salah satunya adalah membuka kran investasi asing
sebesar-besarnya untuk melakukan pembangunan nasional yang berkesinambungan. Salah
satunya adalah Freeport-McMoRan yang menanamkan uangnya di Indonesia pada 1967
untuk mengeksplorasi sumber daya emas di Papua (saat itu Irian Jaya).[67]

Masa demokrasi Pancasila menunjukkan keberhasilan dalam politik, hal ini dibuktikan
dengan keberhasilan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) secara teratur, yaitu 1971,
1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Adanya pemilu yang teratur memang merupakan tekad
awal Orde Baru untuk membangun kembali demokrasi Indonesia, dan ini telah diatur dalam
Undang-Undang tentang Pemilihan Umum tahun 1969, tepatnya satu tahun setelah Jenderal
Soeharto dilantik menjadi Presiden Kedua Republik Indonesia pada 1968 atau dua tahun
setelah dilantik sebagai Pejabat Presiden pada 1967 dan tiga tahun setelah mendapatkan Surat
Perintah Sebelas Maret. Hal ini sesuai dengan slogan Orde Baru yaitu; menjalankan Undang-
Undang Dasar 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.[68]

Setelah politik dan ekonomi nasional kembali stabil, lambat laun ternyata telah tercipta
sebuah pemusatan kekuasaan kepada Presiden Soeharto. Dominasi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia semakin terasa jelas, birokrasi menjadi semakin rumit dan mengekang
kebebasan masyarakat, dan juga Golongan Karya berubah menjadi sebuah organisasi politik
yang dominan dalam politik Indonesia. Pemerintahan Presiden Soeharto secara terang-
terangan berubah menjadi sebuah rezim yang otoriter namun kali ini bukan otoritarianisme
sayap kiri seperti di era Soekarno, tetapi lebih kepada kediktatoran junta militer, karena
militer bisa dimana saja, menduduki jabatan-jabatan publik yang strategis, yang seharusnya
dalam demokrasi tidak boleh ada intevensi militer di dalamnya.

Publik mulai menyadari bahwa nilai-nilai demokrasi tidak ada dalam penyelenggaraan
pemilu yang diadakan oleh Orde Baru. Misalkan adanya kebijakan fusi partai yang
menjadikan semua kelompok nasionalis dilebur menjadi Partai Demokrasi Indonesia dan
seluruh golongan Islamis digabung dalam Partai Persatuan Pembangunan, sementara
Golongan Karya tetap menjadi satu organisasi politik non-partai pada saat itu. Kedudukan
Golkar yang non-partai ternyata dijadikan kelebihan bagi Orde Baru, karena hanya Golkar
saja yang boleh memiliki pengurus hingga ke tingkat desa dan kelurahan, selain itu
pemerintah juga menerapkan kebijakan monoloyalitas bagi pegawai negeri untuk
mewajibkan mereka memilih Golkar dalam setiap pemilu, hal ini menunjukkan apa yang
disebut oleh Miriam Budiardjo sebagai ketidakadilan dalam sistem politik di masa demokrasi
Pancasila.[69]

Puncak dari anomali dimasa demokrasi Pancasila adalah merebaknya korupsi, kolusi, dan
nepotisme (disingkat KKN) dan pembangunan ekonomi tidak dirasakan oleh rakyat yang
kemudian menimbulkan masalah kemiskinan seperti di akhir-akhir masa demokrasi
terpimpin. Akibatnya adalah kelompok-kelompok yang anti terhadap Presiden Soeharto
semakin menguat, terutama kelompok intelektual seperti mahasiswa dan pemuda. Kelompok
mahasiswa dari berbagai universitas di seluruh Indonesia dan juga organisasi-organisasi
mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Cipayung melakukan aksi demonstrasi
menuntut agar Soeharto mundur dari jabatan sebagai Presiden Indonesia. Akhirnya karena
terus menerus diterpa gelombang demonstrasi yang menunutnya untuk mundur dan
kehilangan kepercayaan dari orang-orang terdekatnya, Presiden Soeharto akhirnya
menyatakan mundur pada 21 Mei 1998 atau yang dikenal sebagai Reformasi 1998 yang
sekaligus menandai akhir dari era demokrasi Pancasila.[70]

Era Reformasi
Proses Reformasi politik di Indonesia pasca jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998 telah
membuka peluang bagi tumbuhnya nilai-nilai demokrasi demi mewujudkan suatu
pemerintahan yang baik. Proses Reformasi itu terbagi dalam dua fase, yaitu:

Transisi Demokrasi

Kabinet Reformasi Pembangunan Presiden Habibie

Sebenarnya fase transisi ini adalah fase yang paling singkat, namun paling menentukan,
karena ketidakberhasilan suatu negara dalam proses demokratisasi-nya tergantung pada
proses transisi demokrasi. Menurut Richard Gunther, transisi itu adalah:

"Begins with the breakdown of the former authoritarian regime and ends with the
establishment of a relatively stable configuration of political institutions within a democratic
regime"[71]

yang artinya adalah:

"Dimulai dengan hancurnya bekas rezim otoriter dan diakhiri dengan pembentukan
konfigurasi institusi politik yang relatif stabil dalam sebuah rezim demokratis"

Proses transisi demokrasi atau proses demokratisasi di Indonesia dimulai ketika terjadinya
perpindahan kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada Wakil Presiden B. J. Habibie pada 21
Mei 1998. Disebut "transisi" karena pada fase inilah Indonesia mengalami peralihan atau
transisi sistem politik dari otoritarian menuju demokrasi, transisi dari supremasi militer
kepada supremasi sipil, transisi dari sentralisasi ke desentralisasi, dan seterusnya, yang
maknanya adalah Indonesia telah beranjak meninggalkan sistem diktator dan sedang menuju
perubahan sebagai negara yang demokratis.
Tumbangnya Orde Baru telah membuka peluang terjadinya reformasi politik dan proses
demokratisasi di Indonesia. Pengalaman pada masa Orde Baru juga telah membuat Indonesia
menyadari bahwa demokrasi penting bagi tumbuhnya kesejahteraan rakyat, oleh karenanya
seluruh rakyat Indonesia pasca-1998 menaruh harapan bahwa proses demokratisasi dibawah
kepemimpinan Presiden Habibie dan Kabinet Reformasi Pembangunan dapat berjalan dengan
baik dan tidak terjadi lagi anomali transisi demokrasi seperti dari Orde Lama ke Orde
Baru.[72]

Presiden Habibie yang dilantik menggantikan Presiden Soeharto kemudian menjadi El Pilota
del Cambio (dalam Bahasa Indonesia yang artinya "Sang Pilot Perubahan - sebuah julukan
bagi Raja Juan Carlos yang memimpin reformasi politik di Spanyol pasca-Francisco
Franco)[73] memikul tanggungjawab besar untuk memulai langkah-langkah demokratisasi dan
meletakan fondasi-fondasi utama bagi sistem demokrasi di Indonesia, seperti mempersiapkan
pemilihan umum (pemilu) yang demokratis dan membuat peraturan-peraturan, termasuk juga
membebaskan para tahanan politik Orde Baru. Di era transisi demokrasi ini terbentuk
beberapa undang-undang baru, misalkan seperti Undang-Undang tentang Partai Politik,
Undang-Undang Pemilu, dan juga Undang-Undang tentang Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagai Lembaga Tertinggi Negara juga mengalami perubahan.[74]

Konsolidasi Demokrasi

Setelah proses transisi demokrasi berhasil, maka selanjutnya adalah konsolidasi atau
pemantapan sistem demokrasi. Menurut Kacung Marijan, konsolidasi demokrasi menjadi
penting karena seringkali beberapa negara yang berusaha melakukan proses demokratisasi
justru gagal ditengah jalan karena proses transisinya yang tidak selesai atau gagal dalam
proses konsolidasi sebuah sistem yang demokratis, sehingga negara itu kembali kepada
sistem otoriter dan diperintah kembali oleh seorang diktator.[75]

Konsep utama dari proses konsolidasi demokrasi menurut Andreas Schedler adalah manakala
ada suatu negara yang menghadapi stabilitas rezim, itu artinya bahwa konsolidasi ditentukan
oleh seberapa stabilnya rezim, dalam hal ini adalah bagaimana konsolidasi demorkrasi
menjadi berhasil bila stabilitas rezim yang demokratis itu juga dapat terjaga. Menurut
Guillermo O'Donnell, bila konsolidasi rezim itu sudah tercapai, maka sudah kemungkinan
besar stabilitas rezim juga akan dapat berkelangsungan.[76]

Dalam kasus proses konsolidasi demokrasi di Indonesia pasca-Reformasi, rezim baru dalam
hal ini Presiden Habibie dan kelompok Reformis lainnya terutama para elit politik yang
tergabung dalam Kelompok Ciganjur (Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, dan Gus Dur)
perlu mencapai sebuah konsensus atau kesepakatan bersama, Presiden Habibie sebagai
suksesor atau pengganti Soeharto kemudian bertindak mewakili rezim lama, dan juga unsur-
unsur yang meliputinya, seperti Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Birokrat, dan
Golongan Karya untuk dapat berdamai dengan unsur-unsur kekuatan politik baru hasil
reformasi, seperti mahasiswa dan tokoh-tokoh politik yang menjadi oposan atau lawan dari
unsur kekuatan politik lama. Bila proses konsolidasi tidak melibatkan unsur-unsur kekuatan
politik lama, terutama dari kalangan militer, maka yang mungkin terjadi adalah militer akan
melakukan kudeta terhadap pemerintahan reformis dan berusaha kembali mendirikan sebuah
sistem junta militer, seperti yang dilakukan oleh para perwira loyalis Franco di Spanyol yang
dikenal dengan Gerakan F-23.[77]
Namun beruntung bagi Indonesia - tidak seperti yang terjadi di Spanyol - karena pihak militer
yang saat itu dipimpin oleh Panglima Wiranto menerima proses reformasi dan demokratisasi
di Indonesia, hampir seluruh loyalis Presiden Soeharto yang duduk di posisi-posisi penting
setuju untuk melakukan konsolidasi demokrasi dengan kelompok reformis, salah satu
hasilnya adalah dihapusnya Dwifungsi ABRI (tentara sebagai alat pertahanan sekaligus
sosial-politik) dan dipecahnya Kepolisian Republik Indonesia dari ABRI, dan ABRI sendiri
kemudian berganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).[78]

Tantangan Demokrasi

Proses konsolidasi demokrasi di Indonesia juga didukung dengan pertumbuhan ekonomi yang
membaik pasca reformasi setidaknya dalam ekonomi makro, seperti pertumbuhan investasi,
kerjasama perdagangan luar negeri, dan sebagainya. Tetapi yang menjadi tantangan adalah
kebangkitan ekonomi makro di Indonesia ternyata tidak sejalan dengan pertumbuhan
ekonomi mikro, perekonomian rakyat dari kalangan menengah ke bawah belum cukup terasa.
Selain itu menurut Fuad Bawazier, perekonomian Indonesia sebagian besar masih ditopang
oleh hutang luar negeri, ditambah lagi dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, dan
sebagainya.[79]

Bila demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan demokrasi Pancasila selalu menemui
tantangan politik, salah satunya kemunculan rezim diktator. Maka di era reformasi ini, sektor
ekonomi yang menjadi tantangan bagi proses konsolidasi demokrasi di Indonesia,[80]
sekaligus menentukan kemanakah arah demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, apakah seperti
yang akan dicita-citakan oleh para founding fathers Bangsa Indonesia atau mungkin kearah
lainnya?

Referensi
1. ^ Jules Archer, Kisah Para Diktator: Biografi Politik Para Penguasa Fasis, Komunis,
Despotis, dan Tiran, diterjemahkan dari judul asli The Dictators Fascist, Communist,
Despots dan Tyrants - The Biographies of "The Great Dictators" of the Modern
World, (Yogyakarta: Narasi, Cetakan ke 16 2014) hal. 250 - 256
2. ^ a b c Ian Adams, Ideologi Politik Muktahir, diterjemahkan dari judul asli Political
Ideologi Today, (Yogyakarta: Qalam, 2004) hal. 75
3. ^ Carlton Clymer Rodee, dkk, Pengantar Ilmu Politik, diterjemahkan dari judul asli
Introduction to Political Science, (Jakarta: Rajawali Press, 2008) hal. 64 dan 105
4. ^ Ian Adams, Ideologi Politik Muktahir, diterjemahkan dari judul asli Political
Ideologi Today, (Yogyakarta: Qalam, 2004) hal. 43
5. ^ William Ebenstein, Isme-Isme yang Mengguncang Dunia: Komunisme, Fasisme,
Kapitalisme, Sosialisme, diterjemahkan dari judul asli Today Isms: Communism,
Fascism, Capitalism, Socialism, (Yogyakarta: Narasi, 2014) hal. 160
6. ^ William Ebenstein, Isme-Isme yang Mengguncang Dunia: Komunisme, Fasisme,
Kapitalisme, Sosialisme, diterjemahkan dari judul asli Today Isms: Communism,
Fascism, Capitalism, Socialism, (Yogyakarta: Narasi, 2014) hal. 161 - 162
7. ^ Jules Archer, Kisah Para Diktator: Biografi Politik Para Penguasa Fasis, Komunis,
Despotis, dan Tiran, diterjemahkan dari judul asli The Dictators Fascist, Communist,
Despots dan Tyrants - The Biographies of "The Great Dictators" of the Modern
World, (Yogyakarta: Narasi, Cetakan ke 16 2014) hal. 251
8. ^ Mubyarto (ed.), Ir. Soekarno: Indonesia Menggugat, (Yogyakarta: Aditya Media
dan PUSTEP UGM, 2005) hal. 73 - 74
9. ^ Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi Jilid I, (Jakarta: Yayasan Bung Karno,
Cetakan ke 5, 2005) hal. 169 - 171
10. ^ Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Buku Pedoman Organisasi, (Jakarta:
Presidium GMNI, 2013) hal. 17
11. ^ Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi Jilid I, (Jakarta: Yayasan Bung Karno,
Cetakan ke 5, 2005) hal. 253
12. ^ Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi Jilid I, (Jakarta: Yayasan Bung Karno,
Cetakan ke 5, 2005) hal. 173 - 174
13. ^ Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi Jilid I, (Jakarta: Yayasan Bung Karno,
Cetakan ke 5, 2005) hal. 583
14. ^ Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi Jilid I, (Jakarta: Yayasan Bung Karno,
Cetakan ke 5, 2005) hal. 173
15. ^ Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi Jilid I, (Jakarta: Yayasan Bung Karno,
Cetakan ke 5, 2005) hal. 590 - 591
16. ^ Agnes Sri Poerbasari dan Paulus Ishak Londo (ed.), Gagasan-Gagasan Bung
Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia Dalam Lingkaran Diskusi Persatuan
Alumni GMNI, (Jakarta: Persatuan Alumni GMNI, 2015) hal. 36 dan 79
17. ^ Agnes Sri Poerbasari dan Paulus Ishak Londo (ed.), Gagasan-Gagasan Bung
Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia Dalam Lingkaran Diskusi Persatuan
Alumni GMNI, (Jakarta: Persatuan Alumni GMNI, 2015) hal. 79 - 80
18. ^ Agnes Sri Poerbasari dan Paulus Ishak Londo (ed.), Gagasan-Gagasan Bung
Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia Dalam Lingkaran Diskusi Persatuan
Alumni GMNI, (Jakarta: Persatuan Alumni GMNI, 2015) hal. 36 dan 79 - 80
19. ^ Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 44
20. ^ a b Zulfikri Suleman, Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta,
(Jakarta: KOMPAS, 2010), hlm. 143
21. ^ Zulfikri Suleman, Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta,
(Jakarta: KOMPAS, 2010), hlm. 145
22. ^ William Ebenstein, Isme-Isme yang Mengguncang Dunia: Komunisme, Fasisme,
Kapitalisme, Sosialisme, diterjemahkan dari judul asli Today Isms: Communism,
Fascism, Capitalism, Socialism, (Yogyakarta: Narasi, 2014) hal. 170 dan 214
23. ^ Zulfikri Suleman, Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta,
(Jakarta: KOMPAS, 2010), hlm. 169
24. ^ Mohammad Hatta, Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun, (Jakarta: Inti
Idayu Press, 1971) hal. 35
25. ^ Nina Pane (ed.), Mohammad Hatta: Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977),
(Jakarta: KOMPAS, 2015) hal. 267 - 270
26. ^ Arif Zulkifli, dkk, (ed.), Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil, (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2010) hal. 105
27. ^ Sjahrir, Perjuangan Kita, (Jakarta: GUNTUR 49, 1994 Reproduksi dari Terbitan
Asli 1945) hal. 16
28. ^ Sjahrir, Perjuangan Kita, (Jakarta: GUNTUR 49, 1994 Reproduksi dari Terbitan
Asli 1945) hal. 16
29. ^ Arif Zulkifli, dkk, (ed.), Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil, (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2010) hal. 105
30. ^ Arif Zulkifli, dkk, (ed.), Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil, (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2010) hal. 106
31. ^ Arif Zulkifli, dkk, (ed.), Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil, (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2010) hal. 208
32. ^ Arif Zulkifli, dkk, (ed.), Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil, (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2010) hal. 208
33. ^ Arif Zulkifli, dkk, (ed.), Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil, (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2010) hal. 208 - 209
34. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 128
35. ^ Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 17
36. ^ Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 18
37. ^ Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 18 - 19
38. ^ Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 19
39. ^ Arif Zulkifli, dkk, (ed.), Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil, (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2010) hal. 105
40. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 128
41. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 128
42. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 129
43. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 129
44. ^ Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 44
45. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 129
46. ^ Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 44 - 45
47. ^ Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 47
48. ^ Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 48 - 49
49. ^ Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 49
50. ^ Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 50 - 51
51. ^ Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 51 - 54
52. ^ Raditya, Iswara N. "Sukarno-Hatta: Dwitunggal yang Tanggal". tirto.id. Diakses
tanggal 2017-12-03.
53. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 129 -
130
54. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 130
55. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 130
56. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 130
57. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 130
58. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 130
59. ^ Jules Archer, Kisah Para Diktator: Biografi Politik Para Penguasa Fasis, Komunis,
Despotis, dan Tiran, diterjemahkan dari judul asli The Dictators Fascist, Communist,
Despots dan Tyrants - The Biographies of "The Great Dictators" of the Modern
World, (Yogyakarta: Narasi, Cetakan ke 16 2014) hal. 232 - 234
60. ^ "Genosida* 1965: Tragedi Kemanusiaan dan Serangan atas Perjuangan Kelas".
IndoPROGRESS (dalam bahasa Inggris). 2015-10-09. Diakses tanggal 2017-12-04.
61. ^ Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 71 - 76
62. ^ Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde
Baru, (Jakarta: Kencana, 2010) hal. 2
63. ^ Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) hal. 76 - 77
64. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 130
65. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 131
66. ^ Arif Zulkifli, dkk, (ed.), Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil, (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2010) hal. 166 - 173
67. ^ Matanasi, Agung DH & Petrik. "Freeport di Papua ialah Warisan Daripada
Soeharto". tirto.id. Diakses tanggal 2017-12-04.
68. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 132
69. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 132 -
133
70. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 133
71. ^ Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde
Baru, (Jakarta: Kencana, 2010) hal. 334 - 335
72. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 134
73. ^ (Skripsi) Gilang Syawal Ajiputra, Etnonasionalisme di Spanyol: Studi Tentang
Konflik Separatisme Etnis Basque dan Catalan, (Jakarta: FISIP UIN Jakarta, 2017)
hal. 62
74. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 134
75. ^ Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde
Baru, (Jakarta: Kencana, 2010) hal. 335
76. ^ Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde
Baru, (Jakarta: Kencana, 2010) hal. 335
77. ^ (Skripsi) Gilang Syawal Ajiputra, Etnonasionalisme di Spanyol: Studi Tentang
Konflik Separatisme Etnis Basque dan Catalan, (Jakarta: FISIP UIN Jakarta, 2017)
hal. 66
78. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 134
79. ^ Fuad Bawazier, Republik Keluh Kesah, (Jakarta: RMBOOKS, Cetakan ke II 2008)
hal. 137 - 151 dan 231 - 232
80. ^ Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde
Baru, (Jakarta: Kencana, 2010) hal. 340 - 341

Kategori:

 Politik Indonesia
 Sejarah Indonesia
 Demokrasi

Menu navigasi
 Belum masuk log
 Pembicaraan
 Kontribusi
 Buat akun baru
 Masuk log

 Halaman
 Pembicaraan

 Baca
 Perubahan tertunda
 Sunting
 Sunting sumber
 Versi terdahulu

Pencarian

 Halaman Utama
 Perubahan terbaru
 Peristiwa terkini
 Halaman baru
 Halaman sembarang

Komunitas

 Warung Kopi
 Portal komunitas
 Bantuan

Wikipedia

 Tentang Wikipedia
 Pancapilar
 Kebijakan
 Menyumbang
 Hubungi kami
 Bak pasir

Bagikan

 Facebook
 Twitter
 Google+

Cetak/ekspor

 Buat buku
 Unduh versi PDF
 Versi cetak

Perkakas

 Pranala balik
 Perubahan terkait
 Halaman istimewa
 Pranala permanen
 Informasi halaman
 Item di Wikidata
 Kutip halaman ini
 Pranala menurut ID

Bahasa

Tambah interwiki

 Halaman ini terakhir diubah pada 5 Juni 2019, pukul 04.16.


 Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi-BerbagiSerupa Creative Commons; ketentuan
tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya.

 Kebijakan privasi
 Tentang Wikipedia
 Penyangkalan
 Pengembang
 Penyataan kuki
 Tampilan seluler

Anda mungkin juga menyukai