Anda di halaman 1dari 6

Tentang Tekad dan Target

Gelora semangat menggebu-gebu. Menjadi tolak ukur kemampuanku. Jiwa raga yang
seakan ingin terus mengejar ilmu. Tubuh yang dulunya membatu, kini lembut bagaikan bulu.
Kata “Aku Pasti Bisa!” selalu terngiang di telingaku.

“Jangan main HP melulu, kalau kamu kayak gini terus, kapan majunya? Sekali saja
kamu males, selangkah temanmu berprogres diluar sana. Diluar sana banyak yang lebih
berjuang diatas rata-rata!” sebuah quote yang kutemukan di explore instagram-ku beberapa
menit yang lalu.

Teknologi modern mungkin berguna di waktu tertentu, tapi dapat juga menjerumuskan
diri ini dengan keseruan yang ada di alat yang namanya ‘handphone’.

“DUARRR…!” dentuman keras terdengar dari luar rumah.

“Suara apa sih?!”

Malam itu aku sedang belajar seperti biasa. Tiba-tiba berhenti karena penasaran
dengan apa yang terjadi di luar rumah. Bergegas bangkit dari tempat tidur dan memanggil
Ibu.

“Buu..,, tadi diluar suara apa? Gede banget…”

1 detik berlalu dan belum ada jawaban apapun darinya. Duduk santai di depan tv
dengan kaki diluruskan. Tangan kiri memegang erat handphone. Tangan kanan lebih tepatnya
jari telunjuk asyik bergerak keatas-kebawah melihat postingan orang lain di facebook.

“Buuu….,” coba memanggilnya lagi.

“Eh, iya kenapa, Kak?”

“Ituu…tadi diluar ada dentuman gede banget, Ibu dak dengar?” kuulangi perkataanku
yang tadi sempat ‘dikacanginya’.

“Gak ah, Ibu gak dengar apa-apa dari luar, mungkin perasaan kamu aja.”
Telunjuknya masih terus bergerak tanpa henti. Pandangannya tak sedetik pun luput
dari layar handphone. Bahkan mungkin ia tak tahu yang sedang bicara dengannya berdiri
sebelah mana membelakanginya.

“Ah, yaudah deh, aku lihat sendiri keluar,” segera kubalikkan badan kearah pintu
depan. Rasa penasaran berdatangan memenuhi hati. Berjalan menuju pintu depan dengan
langkah agak cepat.

“Ada apa sih diluar?!” kutarik pintu yang sedikit mendecit dimakan usia.
“Nyeeetttt…Ciittt…,” kurang lebih suara pintu itu. Kulihat sekeliling halaman rumah dan tak
kutemukan apa-apa.

“Itu di depan rumah Pak Slamet, kenapa ada mobil berhenti di tengah jalan?” kuteliti
lagi dengan mataku yang agak sendu serta sayu. Terlihat seorang lelaki yang tebakanku
adalah Bapak-bapak sedang kebingungan sambil menggaruk kepalanya. “Ohh, suara ban
mobil pecah toh, kirain apa tadi, hadeh…”

Tidak heran bagiku, karena ini bukan yang pertama kalinya. Cukup sering. Ditambah
lagi rumahku yang berada di sebelah jalan raya. Penuh kebisingan, membuatku sulit
konsentrasi saat belajar. Membutuhkan headset dengan lagu yang ‘melow’ agar bisa tenang
ketika belajar. Walaupun hanya headset seharga dua puluh ribu dengan suara hanya sebelah.
Sebelahnya rusak. Yang penting bisa belajar.

Sigap serta cepat kututup pintu rumah dan berlari kecil melewati ibuku, “Mobil orang
bannya pecah, Bu…,” 2 detik berlalu dan ia tetap saja tidak memperdulikan anak sulungnya
ini. 10 menit aku di luar rumah dan masuk, melihat ibuku tanpa berganti posisi sedikit pun.

Terheran sambil menggeleng-gelengkan kepala sembari berjalan menuju kamar,


bergumam dalam hati, “Huhh… Ibu..Ibu.”

Terkadang aneh dengan ibuku, ia lebih asyik bermain dengan handphone-nya daripada
bersama anak-anaknya yang sangat menggemaskan ini. Yaah, memang kadang ia juga
bermain bersamaku dan adik-adikku, tapi handphone lebih seru baginya, mungkin, haha… Ah
sudahlah.

Kubuka pintu kamar yang suaranya persis dengan pintu depan tadi. Kulihat banyak
buku-buku yang masih tergeletak diatas tempat tidurku dan sprei yang kusut tak tahu karena
apa.
“Oh iya, belajarrr!”

Teringatku sambil kedua tangan memegang kepala yang botak.

Perkenalkan, aku Arya. Lahir di satu tempat dan besar di berbagai tempat. Usiaku
sekarang 15 tahun dan sudah mandi sendiri. Aku terlahir di keluarga yang bekerja sebagai
wiraswasta dan ibu rumah tangga. Tinggal di sebuah kota kecil yang tidak terlalu besar.
Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Prestasiku di sekolah lumayan bagus. Terakhir,
peringkat 1 di kelas 10. Ohiya, aku bersekolah di SMK Negeri 1 Muara Enim. Sekolah yang
terletak + 2 km dari rumah. Aku memilih jurusan akuntansi. Yang pertama kutahu, akuntansi
itu sama dengan kwitansi. Pikiran anak SMP yang tak tahu sama sekali tentang sekolah
kejuruan.

Aku termasuk orang yang pendiam, bahkan sekarang pun aku sedang diam. Diam
sejenak dan berpikir, apakah aku bisa ikut dan menang dalam olimpiade-olimpiade akuntansi
jika masih sering malas-malasan dan main handphone? Dan apakah aku bisa menggapai
impian terbesarku saat ini yaitu meraih beasiswa penuh kuliah di luar negeri? Karena aku
sadar, orang tuaku mungkin tidak mampu membiayaiku untuk kuliah, jangankan di luar
negeri, untuk kuliah di universitas dalam negeri pun belum tentu.

Teringat perkataan ibuku kala itu, “Kak, Ibu tidak bisa jamin kamu kuliah, kamu harus
belajar yang rajin biar jadi orang hebat,” dan bodohnya aku menjawab dalam hati kurang
lebih seperti, Huhh..belajar? Main handphone lebih seru!

Hyper belajar? Tidak. Anak Sultan? Bukan. Itulah aku. Tak ada jalan lain bagiku
untuk bisa kuliah selain dengan beasiswa. Tapi kenapa diri ini selalu malas? Kenapa tidak iri
pada remaja seusiaku yang mengisi waktu mereka dengan belajar? Sedangkan aku? Belajar
hanya jika ada waktu, bukan setiap waktu.

Tak ada yang istimewa dariku. Aku hanyalah remaja belasan tahun yang ambisius
namun kurang realistis. Ingin itu ingin ini, tidak dikerjakan. Mau itu mau ini, tidak
diusahakan. Yap, talk more do less. Ingin sekali rasanya bisa menggapai semua impian, tapi
apa daya diri ini masih saja berat untuk bangun dari kasur.

Kulirik jam dinding yang ada di kamarku; 22.14. Otakku sudah mulai lelah dan
mataku rasanya ingin sekali menutup.
3 jam berlalu. Waktu bergerak tak mengenal keadaan, bagai air yang mengalir. Malam
semakin larut. Jangkrik mulai ramai bersahutan. Suara kendaraan tak lagi terdengar. “Ayoo..
sedikit lagi selesai materi kelas 11, tinggal halaman terakhir, semangat semangat!” mataku
hampir tak kuat menahan kokohnya kelopak mata yang ingin turun menutupi.

Yeayy! Akhirnya selesai!

Sempatku melompat-lompat kegirangan. Teringat hari sudah malam, aku kembali


sunyi senyap.

“kresek kresek” suara dari dapur.

“Hmm… pasti Ibu,” tak pakai lama, langsung kutemui Ibu sambil berlari dan
melompat-lompat gembira lagi.

“Ibu.., aku sudah selesai belajar materi akuntansi kelas 11, hehe, Ibu senang kan,
senang kan?”

“Alhamdulillah, Kak, Ibu ikut senang, lanjutkan terus belajar nya, ya, yang rajin
kamu,” senyum merekah tertampak di wajahnya. Aku melihat sedikit kebahagiaan dari
matanya yang agak berkaca-kaca. Keyakinanku akan impian semakin terbuka lebar.

Kembali ke kamar dan duduk di tepi kasur. “Sudah, jangan dipaksakan, kamu butuh
istirahat,” seolah ada yang berbisik di telingaku.

Kututup lembaran buku yang ada di perutku dan kuletakkan lagi di meja belajar
seperti semula. Lompat ke kasur dan kupeluk bantal merahku. Mata ini menutup dengan
sendirinya dan siap untuk menyambut mimpi baru di malam yang penuh kesunyian namun
berarti ini.

***

“Triiiiiiiingggggg……,” bunyi alarm handphone yang seakan menusuk-nusuk telinga.


Aku baru sadar bahwa handphone-ku berada tepat di sebelah telinga kiriku. Aku bangun dari
tidur seperti orang yang baru sadar dari pingsannya. Seakan tak tau apa-apa yang terjadi.
Yaah…, mungkin itu akibat dari ‘lembur’ semalam.
Kugaruk tengkukku yang tidak gatal sambil mengucek mata yang masih ingin
mengatup. Tidak seperti biasanya, aku selalu terbangun di alarm pukul 04.20, tapi kali ini
berbeda. Aku bangun di alarm pukul 03.34, padahal aku tidur cukup larut semalam.

Kusempatkan untuk membuka handphone-ku terlebih dahulu.

Ahkk…! Mataku seperti ditembak cahaya layar handphone! Padahal memang iya.
Aku lupa menurunkan brightness-nya, haduhh…

Ting..Tingting..Ting…

Suara notifikasi handphone-ku. WA dari siapa subuh-subuh begini?

“Arya, yang semangat belajarnya…, kamu pasti bisa!”

“Kamu belajar yang rajin, nanti kalau sudah lulus sekolah jujuk bantu mau ke mana.”

“Jadi anak pintar ya kamu, jangan main keluyuran.”

Isi pesan di grup Whatsapp keluargaku. Tubuhku bergetar merinding membaca pesan-
pesan itu. Mataku seketika berkaca-kaca serasa ingin menangis. Senyumku terbuka lebar
tersipu haru. Seolah melintasi bayang-bayang pikiran tentang masa depanku nanti.

“Pasti Ibu yang kasih tahu mereka.”

Gumam kecilku. Tersenyum, terkerut kelopak mata.

Tak mengerti bagaimana perasaanku sekarang. Gembira? Mungkin. Sedih? Juga


mungkin. Sedih karena takut akan mengecewakan mereka.

Aku sadar bahwa kesempatan ini hanya diberikan kepada orang pilihan yang memiliki
tekad dan target untuk maju, bukan kepada orang yang hanya mengandalkan takdir dan
waktu. Maka dari itu, aku ingin mengubah persepsi orang tentang diriku. Aku yang dulu,
berbeda dengan aku yang sekarang. Semua orang harus berubah, bukan?

Belajar Pasti,

Beasiswa Menanti.
BIODATA

Nama lengkap : Arya Bima Putra

Alamat : Jl. Jend. Ahmad Yani No. 29, Muara Enim, Sumatera Selatan 31312

Email : abimap1122@gmail.com

No. telp aktif : 082160635990

No. Whatsapp : 082160635990

Instagram : @aryabmptr

Anda mungkin juga menyukai