PENDAHULUAN
Demam Tifoid
Etiologi
Basil penyebab tifoid adalah Salmonella typhi dan paratyphi dari genus
Salmonella. Basil ini adalah gram negatif, bergerak, tidak berkapsul, tidak
membentuk sporta, tetap memiliki fimbria, bersifat aerob dan anaerob falkulatif.
Ukuran antara (2-4) x 0,6 μm. Suhu optimum untuk tumbuh adalah 37°C dengan
PH antara 6 – 8. Perlu diingat bahwa basil ini dapat hidup sampai beberapa
minggu dialam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Sedangkan
reservoir satu-satunya adalah manusia yaitu seseorang yang sedang sakit atau
karier (Widodo, 2016).
Epidemiologi
Insidens demam tifoid tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia Tengah,
Asia Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan (Insidens> 100
kasus per 100.000 populasi per tahun). Insiden demam tifoid yang tergolong
sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun) berada diwilayah Afrika,
Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan SelandiaBaru); serta yang
termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) dibagian dunia
lainnya. Di Indonesia, insiden demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang
berusia 3-19 tahun. Kejadian demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan
1
rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam
tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama
untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah (Widodo,
2016).
Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella thyphi (S. Typhi) dan Salmonella paratyphi
(S. Paratyohi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang
terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos
masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas
humoral mukosa (igA) usus kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel
epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria
kuman berkemang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plak peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit
dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik (Widodo,
2016).
Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu dieksresikan secara intermiten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan
sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama
terulang kembali, karena makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif; maka saat
fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perutm gangguan vaskular, dan koagulasi
(Widodo, 2016).
2
Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plak peyeri yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke laposan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor
sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ lainnya (Widodo,
2016).
Gambaran Klinis
3
Penegekan diagnosis dilakukan secara dini sehingga dapat diberikan terapi
yang tepat dan meminimalkan komplikasi tifoid. Masa inkubasi demam tifoid
berlangsung antara 10-14 hari dengan gejala bervariasi dari ringan samapai berat.
minggu pertama pada tifoid ditemukan keluhan berupa demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak
enak di perut, batuk, dan epistaksis (Widodo, 2016).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam dengan sifat yang meningkat
pada sore hingga malam hari. Pada minggu kedua gejala terlihat lebih jelas
dengan demam, bradikardia relatif, lidah berselaput (kotor di tengah, tepi dan
ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan
mental berupa somnolen, sopor, koma, delirium, atau psikosis (Widodo, 2016).
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Rutin
Pada pemeriksaan darah perifer sering ditemukan leukopenia, normal, atau
leukositosis. Selain itu, dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada
pemeriksaan hitung jenis leukosit ditemukan aneosinofilia dan limfopenia. Laju
endap darah dapat meningkat, SGOT dan SGPT sering meningkat pada demam
tifoid (Widodo, 2016).
Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S.typhi.
pada uji widal ditemukan reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan
antibodi aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi dari
salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Uji widal bertujuan
untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita, yaitu aglutinin O
(dari tubuh kuman), aglutinin H (flagella kuman), dan aglutinin Vi (simpai
kuman). Aglutinin O dan aglutinin H yang digunakan untuk mendiagnosis demam
tifoid. Semakin tinggi kadar titernya, maka semakin besar kemungkinan terinfeksi
S.typhi (Widodo, 2016).
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat.
Pada fase akut timbul aglutinin O, kemudian diikuti aglutinin H (Widodo, 2016).
4
Faktor yang mempengaruhi uji Widal, yaitu pengobatan dini dengan
antibiotic, gangguan pembentukan antibodi dan pemberian kortikosteroid, waktu
pengambilan darah, daerah endemik atau non endemik, riwayat vaksinasi, reaksi
anamnestik (peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid masa
lalu atau vaksinasi, faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium akibat aglutinasi
silang dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen (Widodo,
2016).
Uji Typhidot
Uji Typhidot membantu mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat
pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil uji Typhidot positif didapatkan
2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi antibodi IgM dan IgG terhadap
antigen S.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa. Sensifitas uji
ini sebesar 98%, spesifitas sebesar 76,6% dan efisiensi uji sebesar 84% (Widodo,
2016).
Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) teraktivasi secara
berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. Uji Typhidot-M, memungkinkan ikatan
antara antigen dengan IgM spesifik yang terdapat pada pasien (Widodo, 2016).
Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif dipastikan demam tifoid. Namun hasil
negatif dapat terjadi pada demam tifoid yang positif dikarenakan telah mendapat
terapi antibiotik, volume darah yang kurang dari 5 cc, riwayat vaksinasi dan
5
waktu pengambilan darah setelah minggu pertama pada saat aglutinin semakin
meningkat (Widodo, 2016).
Penatalaksanaan
Istirahat dan perawatan, seperti tirah baring dengan menjaga higiene
dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan, diet dan
terapi penunjang (simtomatik dan suportif) dengan tujuan mengembalikan rasa
nyaman dan kesehatan pasien, pemberian antimikroba (Widodo, 2016).
Pemberian antimikroba
Kloramfenikol, dosis yang diberikan 4 x 500 mg per hari secara oral atau
intravena diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Pada anak diberikan 50-
100 mg/Kg BB/hari maksimal 2 gr selama 10-14 hari terbagi dalam 4 dosis
(Kemenkes RI, 2006).
Seftriakson, dosis dewasa diberikan 2-4 gr/hari selama 3-5 hari. Pada anak
diberikan dengan dosis 80 mg/Kg BB/hari dengan dosis tunggal selama 5 hari
(Kemenkes RI, 2006).
Ampisilin dan Amoksisilin, dosis dewasa diberikan 3-4 gr/hari selama 1-4 hari.
Pada anak diberikan 100 mg/Kg BB/hari selama 10 hari (Kemenkes RI, 2006).
Cefixime, diberikan hanya pada anak dengan dosis 15-20 mg/Kg BB/hari dibagi 2
dosis selama 10 hari (Kemenkes RI, 2006).
Tiamfenikol, pada dosis dewasa diberikan 4 x 500 mg. pada anak diberikan 50
mg/Kg BB/hari selama 5-7 hari bebas panas (Kemenkes RI, 2006).
6
Azithromisin, diberikan pada dewasa dengan dosis 2 x 500 mg digunakan jika
ciprofloksasin menglamai resisten dan berfungsi untuk mengurangi gejala refulks
(Kemenkes RI, 2006).
Vaksinasi
Indikasi vaksinasi tifoid diberikan bila hendak pergi ke tempat endemik
yang memiliki risiko terserang oleh tifoid, orang yang terpapar dengan penderita
demam tifoid karier, dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan. jenis
vaksin yang diberikan berupa vaksin oral dan vaksin parenteral (Widodo, 2016).
Pemilihan vaksin oral diberikan 3 kali untuk menurunkan kasus tifoid
selama 5 tahun. Indikasi vaksinasi dipengaruhi oleh faktor populasi (anak sekolah
di daerah endemik, personil militer, petugas rumah sakit, laboratorium kesehatan,
industri makanan) dan faktor individual (pengunjung/wisataan ke daerah endemik,
orang yang kontak dengan penderita tifoid karier). Vaksin tifoid kontraindikasi
dengan penderita yang alergi atau memiliki riwayat efek samping berat,
penurunan imunitas dan kehamilan (Widodo, 2016).
Efek samping vaksinasi dapat menimbulkan demam, malaise, sakit kepala,
rash, reaksi nyeri lokal pada vaksin oral. Sedangkan pada vaksin parenteral
berupa nyeri kepala, reaksi nyeri lokal, hipotensi, nyeri dada, dan syok (Widodo,
2016).
7
Efektivitas vaksinasi terjadi secara cepat dan 90% bertahan selama 3
tahun. Kemampuan proteksi ini sebesar 77% pada daerah endemik dan sebesar
60% pada daerah hiperendemik (Widodo, 2016).
Komplikasi
Komplikasi tifoid dibagi menjadi 2, yaitu: Komplikasi intestinal dan
Komplikasi ekstra-intestinal. Komplikasi intestinal terdiri dari perdarahan
intestinal dan perforasi usus, sedangkan komplikasi ekstra-intestinal terdiri dari
komplikasi hematologi, pankreatitis tifoid, miokarditis, manifestasi
neuropsikiatrik/ toksik tifoid (Widodo, 2016).
8
dan lingkungan sekitarorang yang telah diketahui pengidap kuman S. Typhi
(Widodo, 2016).
Proteksi pada orang yang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi. Sarana
roteksi pada populasi ini dilakukan denganc ara vaksinasi tifoid di daerah endemik
maupun hiperendemik. Sasaran vaksunasu tergantung daerahnya endemis atau
non endemis, tingkat risiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan
perorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu berisiko, yaitu
golongan imunokompromais maupun golongan rentan. Tindakan preventif
berdasarkan lokasi daerah, yaitu (Widodo, 2016) :
BAB II
KASUS
Kasus:
Dino, 25 tahun mengeluh demam 10 hari, mula-mula tidak tinggi lalu makin
lama makin tinggi terutama di sore dan malam hari. 3 hari pertama panas
dan mencret, tampak apatis. Keluhan disertai dengan nyeri perut, sakit
kepala, anoreksia, mual, muntah. 3 hari mendapat parasetamol dan
ampisilin tidak membaik. Dua minggu sebelumnya dia memakan makanan
yang dibeli dari pedagang kaki lima. Tanda-tanda vital didapatkan suhu
9
40,5ºC, denyut nadi 68x/menit, tekanan darah 110/70 mmHg, pernapasan
18x/menit. Pada pemeriksaan fisik, dokter menemukan lidah kotor dan
abdominal tenderness
1. PROBLEM PASIEN
a. Problem utama : Demam turun naik terutama sore dan malam hari dengan
pola intermitten dan kenaikan suhu step-ladder.
b. Problem tambahan :Gangguan gastrointestinal (mencret, nyeri perut, mual,
muntah), sakit kepala, anoreksia, dan penurunan kesadaran (apatis).
c. Diagnosis : Anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam,
gangguan saluran cerna, dan petanda gangguan kesadaran
(apatis)suspect case
2. TUJUAN TERAPI
a. Mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan
b. Mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal
c. Menghentikan dan mencegah penyebaran kuman
3. PEMILIHAN TERAPI
a. Terapi Non-Farmakologi
1) Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan menjaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan
perlengkapan yang dipakai.
2) Diet dan terapi penunjang
Diet bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar,
dan akhirnya diberikan nasi. Perubahan diet tersebut disesuaikan
dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring ditujukan
untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi
usus. Pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk
rendah selulosa (menghidari sementara sayuran yang berserat) dapat
diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.
Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Pada
pasien dengan keadaan yang buruk seperti kasus diatas dengan
kesadaran menurun, diet diberi secara enteral melalui pipa lambung.
Jika ada komplikasi perdarahan atau perforasi, maka diet diganti
melalui parenteral.
10
b. Terapi Farmakologi
Pilihan obat farmakologi adalah sebagai berikut :
11
+++ ++ ++ +++
Farmakodinamik : Efek Samping : Kontraindikasi : Kapsul
Sama dengan Diskrasia darah Hipersensitif 500 mg
chloramphenicol. (anemia aplastik, terhadap Rp.
Farmakokinetik : anemia thiamphenicol, 1.800,-/k
Diserap dengan baik hipoplastik, gangguan fungsi apsul
pada pemberian per trombositopenia hati dan ginjal
oral dan dan yang berat;
penetrasinya baik ke granulositopenia), tindakan
cairan serebrospinal, gangguan saluran pencegahan
tulang dan sputum. pencernaan infeksi bakteri,
Thiamphenicol Sebagian besar (mual, muntah, dan pengobatan
diekskresi utuh glositis, infeksi trivial,
dalam urin. stomatitis, dan infeksi
diare), reaksi tenggorokan dan
hipersensitif influenza.
(demam, ruam
angioedema, dan
urtikaria), sakit
kepala, depresi
mental, neuritis
optik, dan
sindrom grey.
TMP-SMX ++ + + +++
(Cotrimoxazole) Farmakodinamik : Efek Samping : Kontraindikasi : Tablet
Sulfametoksazol Gangguan Hipersensitif, 480 mg
menghambat gastrointestinal bayi < 2 bulan, Rp.
masuknya molekul (mual, muntah, gangguan fungsi 302,-/tabl
PABA ke dalam diare), reaksi hati dan ginjal et
molekul asam folat. alergi (ruam, berat, anemia
Trimetoprim sindrom Stevens- megaloblastik
menghambat Johnson, atau anemia
terjadinya reaksi nekrolisis defisiensi folat,
12
reduksi dari epidermal toksik), pasien hamil dan
dihidrofolat menjadi fotosensitivitas, menyusui
tetrahidrofolat. stomatitis, (sulfonamide
Farmakokinetik : glositis, dapat menembus
Trimetoprim cepat anoreksia, sawar darah
didistribusi ke dalam artralgia, mialgia, plasenta sehingga
jaringan dan kira- gangguan darah, menyebabkan
kira 40% terikat gangguan hati, kern icterus).
pada protein plasma pankreatitis,
dengan adanya kolitis terkait
sulfametoksazol. antibiotik.
Ditemukan dalam Gangguan SSP
kadar tinggi di dalam (sakit kepala,
empedu. 65% depresi,
sulfametoksazol konvulsi), ataksia,
terikat pada protein tinitus. Anemia
plasma. 60% TMP megaloblastik
dan 25-50% SMX karena
diekskresi melalui trimetoprim,
urin dalam 24 jam gangguan
setelah pemberian. elektrolit,
kristaluria, dan
gangguan ginjal.
Ampicillin ++ +++ ++ +++
Farmakodinamik : Efek Samping : Kontraindikasi : Tablet
Menghambat sintesis Mual, muntah, Hipersensitivitas 500 mg
dinding sel. Aktif diare, ruam terhadap Rp.
terhadap organisme (hentikan penicillin dan 709,-/tabl
gram positif dan penggunaan), infeksi et)
negatif tertentu, jarang terjadi mononukleosis.
tetapi diinaktivasi kolitis karena
oleh penicilinase. antibiotik, reaksi
Farmakokinetik : alergi (urtikaria,
13
Absorpsi oral anafilaksis).
dipengaruhi oleh
besarnya dosis dan
ada tidaknya
makanan dalam
saluran cerna.
+++ +++ ++ +++
Farmakodinamik : Efek Kontraindikasi : Tablet
Merupakan turunan Samping :Sama Sama dengan 500 mg
ampicillin dan dengan ampicillin. Rp.
memiliki spektrum ampicillin. 512,-/tabl
antibakteri yang et
sama.
Farmakokinetik :
Diabsorpsi lebih
baik daripada
Amoxicillin
ampicillin bila
diberikan peroral
dan menghasilkan
kadar yang lebih
tinggi dalam plasma
dan jaringan.
Absorpsinya tidak
terganggu dengan
adanya makanan
dalam lambung.
Ceftriaxone +++ + +++ +
Farmakodinamik : Efek Samping : Kontraindikasi : 1gx1
Menghambat Reaksi Hipersensitif vial Rp.
sintesisdinding sel. hematologi, terhadap 140.000,-
Aktif terhadap gangguan saluran Cephalosporin.
kuman gram positif. cerna (mual,
Farmakokinetik : muntah, tinja
14
Waktu paruh 8 jam. lunak, stomatitis,
83-96% terikat pada glositis), reaksi
protein plasma. kulit (urtikaria,
edema, dermatitis
alergi, eritema
multiforme,
pruritus,
eksantema).
Jarang : sakit
kepala, pusing,
demam, gejala
pengendapan
garam kalsium
ceftriaxonepada
kandung empedu
meningkatkan
enzim hati,
oligouria,
peningkatan
kreatinin serum.
Dapat
menimbulkan
reaksi flebitis
setelah pemberian
i.v sehingga harus
disuntikkan
perlahan selama
2-4 menit.
Cefixime + + +++ +
Farmakodinamik : Efek Samping : Kontraindikasi : Tablet
Kurang aktif Gangguan saluran Hipersensitivitas 100 mg
terhadap kokus gram cerna (diare, nyeri terhadap Rp.
positif dibandingkan abdomen, mual, cephalosporin. 3.314,-/ta
15
dengan generasi muntah, blet
pertama, tapi jauh dispepsia,
lebih aktif terhadap kembung,
kokus gram negatif. pseudomembrano
Farmakokinetik : sa kolitis,
Absorpsi melalui anoreksia, rasa
oral berjalan lambat terbakar,
dan tidak lengkap. sembelit), reaksi
Bioavailabilitas hipersensitivitas
absolut 40-50%, (ruam kulit,
bentuk suspensi urtikaria,
diserap lebih baik pruritus),
daripada bentuk gangguan fungsi
tablet. Kadar tinggi hati (peningkatan
terdapat pada sementara nilai
empedu dan urin. SGPT, SGOT,
Ekskresi melalui ALP), gangguan
empedu 10% dosis. SSP (pusing, sakit
Waktu paruh kepala), lain-lain
eliminasi dalam (syok, pruritus
serum 3-4 jam. genital,
kandidiasis,
nekrolisis
epidermal toksik,
superinfeksi,
nefropati toksik,
disfungsi
ginjal/hati,
kolitis), gangguan
hematologi
(trombositopenia,
leukopenia,
16
eosinofilia).
Fluoroquinolone +++ ++ +++ +++
Farmakodinamik : Efek Samping : Kontraindikasi : Ofloxaci
Menghambat Mual, muntah, Hipersensitif n tablet
topoisomerase II diare (kolitis terhadap 400 mg
(DNA girase) dan IV akibat antibiotik), fluoroquinolone, Rp.
pada kuman. Enzim sakit perut, sakit wanita hamil dan 1.208,-/ta
topoisomerase II kepala, pusing, menyusui, anak blet
berfungsi gangguan tidur, <18 tahun. Ciproflo-
menimbulkan ruam, pruritus, xacin
relaksasi pada DNA anafilaksis, tablet
yang mengalami fotosensitivitas, 500 mg
positive supercoiling peningkatan Rp.
pada waktu ureum dan 508,-/tabl
transkripsi dalam kreatinin serum, et
proses replikasi gangguan fungsi Levoflox
DNA. hati sementara, acintable
Topoisomerase IV artralgia, mialgia, t 500 mg
berfungsi dalam gangguan darah Rp.
pemisahan DNA (eosinofilia, 1.597,-/ta
baru yang terbentuk leukopenia, blet
setelah proses trombositopenia,
replikasi DNA dan gangguan
kuman selesai. kadar
Farmakokinetik : protrombin).
Hanya sedikit terikat Jarang :
dengan protein, anoreksia,
didistribusi dengan depresi, gelisah,
baik pada berbagai halusinasi,
organ tubuh. Dalam bingung,
urin mencapai kadar gangguan
hambat minimal penglihatan,
selama 12 jam. Masa pengecapan,
17
paruh eliminasi pendengaran,
panjang (obat peningkatan TIK,
diberikan 2x sehari) kerusakan tendon.
dimetabolisme di
hari dan diekskresi
melalui ginjal.
+++ + +++ +
Farmakodinamik : Efek Samping : Kontraindikasi : Kapsul
Menghambat sintesis Mual, muntah, Hipersensitif 500 mg
protrein kuman rasa tidak enak terhadap Rp.
dengan cara pada perut, azithromycin 15.221,-/
berikatan secara kembung, diare, atauantibiotik kapsul
reversibel dengan gangguan makrolid lain.
ribosom subunit 50s pendengaran,
dan besifat nefritis
bakteriostatik. interstisial, gagal
Aktivitas terhadap ginjal akut, fungsi
bakteri gram positif hati abnormal,
Azithromycin
sedikit lebih lemah pusing/vertigo,
dibanding kebingungan
erythromycin dan mental, sakit
lebih aktif pada kepala, dan
bakteri gram negatif somolen.
Farmakokinetik :
Kadar plasma sangat
rendah, tapi kadar
dalam jaringan jauh
lebih tinggi. Waktu
paruh panjang dalam
jaringan (1x sehari).
4. PEMBERIAN TERAPI
a. Terapi Non-Farmakologi
18
1) Istirahat dan perawatan
2) Diet dan terapi penunjang
b. Terapi Farmakologi
Diberikan ciprofloxacin dengan alasan murah dan efficacy, safety,
suitabilityyang baik. Ciprofloxacin tablet 2 x 500 mg/hari selama 6 hari.
APOTEK MELATI
dr. Sesilia Anita
SIP No: 123/DU/2019
Jl. Anggrek No. 50 Samarinda Telp: (0541) 777999
19
kesehatan pasien secara optimal, seta menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman.
c. Informasi Obat
Ciprofloxacin tablet 2 x 500 mg/hari selama 6 hari per oral.Efek samping :
mual, muntah, diare (kolitis akibat antibiotik), sakit perut, sakit kepala,
pusing, gangguan tidur, ruam, pruritus, anafilaksis, fotosensitivitas,
peningkatan ureum dan kreatinin serum, gangguan fungsi hati sementara,
artralgia, mialgia, gangguan darah (eosinofilia, leukopenia,
trombositopenia, dan gangguan kadar protrombin). Jarang : anoreksia,
depresi, gelisah, halusinasi, bingung, gangguan penglihatan, pengecapan,
pendengaran, peningkatan TIK, kerusakan tendon. Kontraindikasi :
hipersensitif terhadap fluoroquinolone, wanita hamil dan menyusui, anak
<18 tahun.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
20
Elysabeth (Penyunt.), Farmakologi dan Terapi (5 ed., hal. 667-686).
Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Kemenkes. RI. (2006). Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta: Kemenkes
RI.
Setiabudy, R. (2012). Antimikroba Lain. Dalam S. G. Gunawan, R. Setiabudy,
Nafrialdi, & Elysabeth (Penyunt.), Farmakologi dan Terapi (5 ed., hal.
726). Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Setiabudy, R. (2012). Golongan Kuinolon dan Fluorokuinolon. Dalam S. G.
Gunawan, R. Setiabudy, Nafrialdi, & Elysabeth (Penyunt.), Farmakologi
dan Terapi (5 ed., hal. 718-722). Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Setiabudy, R. (2012). Golongan Tetrasiklin dan Kloramfenikol. Dalam S. G.
Gunawan, R. Setiabudy, Nafrialdi, & Elysabeth (Penyunt.), Farmakologi
dan Terapi (5 ed., hal. 700-703). Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Setiabudy, R., & Mariana, Y. (2012). Sulfonamid, Kotrimoksazol, dan Antiseptik
Saluran Kemih. Dalam S. G. Gunawan, R. Setiabudy, Nafrialdi, Elysabeth,
S. G. Gunawan, R. Setiabudy, Nafrialdi, & Elysabeth (Penyunt.),
Farmakologi dan Terapi (5 ed., hal. 605-608). Jakarta: Balai Penerbit FK
UI.
Widodo, J. (2016). Demam Tifoid. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, M. K.
Simadibrata, I. Alwi, S. Setiati, & A. F. Syam, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam (pp. 549-558). Jakarta: Interna Publishing.
21