Makalah
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Oleh:
Dosen:
SEKOLAH PASCASARJANA
2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudut pandang beberapa kalangan antara metafisika dan sains sangat
berbeda-beda. Beberapa kalangan peneliti atau saintis memandang bahwa sains itu
nyata dan sangat tidak berhubungan dengan hal-hal metafisika, seperti tidak
berdasarkan logika, tidak rasional, atau tidak nyata. Akan tetapi, beberapa
kalangan setuju bahwa metafisika memiliki hubungan yang erat dengan sains
dalam beberapa segi. Oleh karena itu, banyak perdebatan dalam pandangan
metafisika yang memiliki hubungan dengan sains.
Dalam sejarah, metafisika dan sains pernah memiliki hubungan yang erat
dimana keduanya dinilai sebagai suatu kesatuan dan berada dalam wilayah yang
sama yakni, filsafat alam (natural philosophy). Namun dalam perkembangan
selanjutnya terjadi pemisahan antar keduanya. Pemisahan ini sebenarnya sudah
memiliki bibit sejak masa yunani kuno namun diperkuat oleh berbagai pandangan
pemikir sesudahnya mengenai relasi metafisika dan sains. Salah satu pandangan
yang memisahkan keduanya adalah pandangan kaum positivistik. Kaum
positivistik dipersatukan oleh ketidakpercayaan terhadap metafisika (Callender,
2011). Ketidakpercayaan ini memunculkan usaha untuk memberikan pembatasan
antara sains dengan non-sains; secara lebih partikular, antara sains dengan
metafisika spekulatif.
Kritik terhadap metafisika tidak hanya datang dari para kaum positivistik
sendiri melainkan juga dari para penulis lain yang bergulat dengan filsafat ilmu
(Callender, 2011). Menarik dicatat bahwa para penulis ini justru tidak berangkat
dari rasa anti terhadap metafisika; tidak berangkat dari rasa curiga terhadap
metafisika. Bahkan mereka dalam penulisannya, memberikan ruang bagi beberapa
pandangan metafisika.
2
B. Tujuan
Dengan adanya berbagai perdebatan mengenai batasan antara metafisika
dan sains, maka tujuan dari makalah ini adalah:
1. Memaparkan bagaimana hubungan rumit antara metafisika dan sains.
2. Memaparkan bagaimana memahami keterkaitan antara metafisika dan sains.
3
BAB II
4
yang paling utama” ini sering kali sangat berbeda dengan pengalaman yang kita
jumpai dalam dunia.
Dilihat dari dua hal di atas, kita bisa saja mengambil kesimpulan bahwa
fokus dari metafisika sendiri bukanlah mengenai data-data empiris yang didapat
melalui pengalaman. Fokus metafisika adalah prinsip paling dasar dari realitas
serta apa itu realitas yang sebenarnya. Dengan kata lain, fokus metafisika terletak
pada apa yang melampaui data-data empiris. Jika dikaitkan dengan persoalan
sains, kita dapat dengan mudah melihat perbedaan antara keduanya. Sains sangat
lekat dengan data-data empiris sementara metafisika sering dimasukkan dalam
golongan “bukan empiris”. Bahkan pandangan mengenai perbedaan keduanya
juga menyangkut cara mendapatkan kebenaran. Pada sains, kebenaran diperoleh
lewat pengalaman a posteriori sementara metafisika mendapatkan kebenaran
melalui pengalaman a priori .
5
“Hampir semua persoalan kontroversial dalam metafisika tradisional muncul
dihadapanku sebagai sesuatu yang steril dan tidak bermakna. Ketika aku
membandingkan jenis argumentasi ini dengan investigasi serta diskusi dalam
ilmu empiris atau (logika), saya biasanya dibenturkan oleh ketidakjelasan konsep
yang digunakan dan oleh argumen yang tidak meyakinkan”.
Pandangan ini memuat konsekuensi logis dimana sains yang lekat dengan
berbagai data empiris sungguh bertolak belakang bahkan tidak memiliki
hubungan apa-apa dengan metafisika. Dengan demikian harus ada batas tegas
antara sains dengan metafisika.
Perlu diketahui bahwa kritik terhadap metafisika itu tidak hanya dilancarkan
oleh pihak-pihak yang memang ingin memisahkan keduanya, namun juga datang
dari beberapa pemikir yang justru memberi ruang bagi metafisika dalam filsafat
ilmu, seperti Willard van Orman Quine (Callender, 2011). Bagi Quine, fokus dari
para metafisikus tidaklah berbeda dengan fokus para ilmuwan yakni persoalan
berupa pertanyaan ontologis seperti “apakah itu X?”. Pertanyaan itu merupakan
pertanyaan yang masuk akal. Hal tersebut berbeda dengan pandangan dari kaum
empirisisme yang melihat bahwa pertanyaan yang muncul dari non-sains adalah
tidak masuk akal. Pertanyaan ontologis di atas masuk akal sejauh pernyataan
tersebut dapat digolongkan ke dalam bentuk logis yang layak. Pertanyaan
mengenai X dalam teori hanya bisa dikatakan masuk akal jika X masuk dalam
wilayah variabel teori tersebut. Lewat contoh di atas, kita bisa melihat bagaimana
metafisika masih bisa mengambil bagian dalam sains dengan beberapa kondisi
yang diberlakukan dalam wilayah sains.
6
Sementara metafisikus berfokus pada apa itu aktual dan posibilitas secara
metafisik. Disinilah letak batas antara metafisika dan sains. Sains menjadi lekat
dengan persoalan empiris sementara metafisika berdekatan dengan hal-hal yang
muncul sebagai a priori.
7
terbagi menjadi tiga yakni; pandangan Realisme, Rancangan Canberra, dan A
posteriorisme.
8
waktu bersamaan. Jadi, klaim empiris bisa menjadi suatu klaim jika a priori dari
metafisika sudah menghasilkannya terlebih dahulu. Hal tersebut dihasilkan
melalui investigasi terhadap apa itu dan apa yang bukan itu, kemungkinan itu
sendiri.
9
pada apa itu fenomena hubungan sebab akibat, maka metafisika menjadi suatu
tugas yang tidak menarik lagi. Hal ini disebabkan karena dengan menyatakan
bahwa metafisika hanya bergerak di tahap pertama, itu berarti penyelesaian
persoalan dalam tatanan metafisika tidak benar-benar selesai. Artinya, setiap
persoalan yang diselesaikan oleh metafisika sebenarnya hanya diasumsikan
selesai, karena penyelesaian persoalan selalu harus berada dalam tahap kedua.
Para metafisikus sendiri enggan untuk “memberikan” begitu saja tahap kedua
kepada para ilmuwan.
10
Keduanya berada dalam satu bingkai yang sama yakni, a posteriori. Yang
membedakan keduanya adalah spektrum lebih-atau-kurang dari segi konkret
maupun abstrak. Bisa dikatakan bahwa tingkat abstraksi yang tinggi dimiliki oleh
metafisika. Relasi keduanya nampak jelas ketika manusia merefleksikan
pengetahuan empirisnya dan berusaha menyatukannya ke dalam satu bentuk
pandangan global. Ketika kita menarik suatu pandangan global maka pada saat
itulah kita sudah berada pada spektrum metafisika.
11
BAB III
KESIMPULAN
Perdebatan mengenai batasan tegas antara metafisika dan sains dalam artian
tertentu ikut ambil bagian dalam pembentukkan relasi antar keduanya. Setidaknya
ada tiga bentuk pandangan yang mewakili berbagai pandangan mengenai relasi
antara metafisika dan sains. Relasi pertama dipahami dalam pandangan realisme.
Pandangan realisme melihat bahwa metafisika merupakan disiplin ilmu yang
substansial dan utama. Pandangan kedua adalah Rancangan Canberra. Pendapat
ini melihat bahwa metafisika dan sains berada dalam tingkatan yang berbeda.
Metafisika dinilai sebagai ilmu yang berada di tingkat awal. Sementara sains
berada di tingkat kedua dimana hanya dalam tingkat ini realitas dapat dipahami.
Pandangan ketiga mengenai relasi antara metafisika dan sains adalah pandangan a
posteriorisme. Pandangan ini menolak gagasan bahwa metafisika dan sains berada
dalam wilayah yang berbeda yakni; wilayah a priori dan a posteriori.
12
DAFTAR PUSTAKA
13