Anda di halaman 1dari 25

Laporan Tutorial

SISTEM GAWAT DARURAT DAN TRAUMATOLOGI


MODUL 2
KESADARAN MENURUN

OLEH
KELOMPOK 5

Anggota :

 Hafida Dewi Audinah Ibrahim 105421103816


 Junaidi Lainadi 105421103916
 Faisal Effendi 105421104016
 Nur Ilmi Fadillah 105421104116
 Indah Sakinah Syam 105421104216
 Sri Ayu Lestari Wulandari 105421104316
 Usamah Bin Isman 105421104416
 Ida Wahyuni 105421104516
 Ulinnuha Fitrinnisa Prismadani 105421104616
 Sulastriani Hanafing 105421104716
 Rina Mutmainnah Rusli 105421104816
 Maftuha Al Humaerah 105421104916
 Astriani Wulandari Iswahyudi 105421105016
 Fath Mubaraq Bachtiar 105421105116

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2018/2019

MODUL 1

Gagal Napas

SKENARIO

KASUS 1

Seorang laki-laki berusia 30 tahun dibawa oleh keluarganya ke puskesmas dengan


keluhan kesadaran menurun sejak 1 jam yang lalu setelah mengalami kecelakaan lalu
lintas. Pada pemeriksaan fisik diperoleh tekanan darah 170/100 mmHg, denyut nadi
55x/menit, frekuensi napas 8x/menit dan dangkal, suhu 37C. Penderita hanya
mengeluarkan suara mendengkur, dengan rangsang nyeri mampu membuka mata dan
hanya menggerakkan tangan dan kaki setelah dirangsang nyeri. Nampak lebam pada
lengan kanan dan kaki kanan disertai luka robek pada pelipis kanan.

KATA KUNCI

1. Laki-laki usia 30 tahun

2. Keluhan kesadaran menurun sejak 1 jam yang lalu setelah mengalami


kecelakaan lalu lintas

3. Tekanan darah 170/100 mmHg, denyut nadi 55x/menit, frekuensi napas


8x/menit, suhu 37C

4. Nampak lebam pada lengan kanan dan kaki kanan disertai luka robek pada
pelipis kanan.

PERTANYAAN

1. Bagaimana penatalaksanaan awal pada pasien tersebut?


2. Apa penanganan selanjutnya setelah dilakukan penanganan awal pada pasien?
3. Syarat transportasi dan proses rujukan?
4. Apa saja penyebab terjadinya kesadaran menurun karena trauma berdasarkan
skenario diatas?

JAWABAN
1. Tatalaksana Awal
A. AVPU
Skala AVPU (Alert, Voice, Pain, Unresponsive) adalah sistem dimana
suatu pertolongan pertama, perawatan kesehatan profesional, atau
pengamat dapat mengukur dan merekam respon pasien, menunjukkan
tingkat kesadaran mereka.
Ini adalah penyederhanaan Glasgow Coma Scale, yang menilai
respons pasien dalam tiga ukuran - Mata, Suara, dan Keterampilan
Motorik. Skala AVPU harus dinilai menggunakan tiga sifat yang dapat
diidentifikasi ini, mencari respons terbaik dari masing-masing.
AVPU Skalanya memiliki 4 kemungkinan hasil untuk merekam.
Penilai harus selalu bekerja dari yang terbaik (A, atau Tingkat 1) hingga
yang terburuk (U, atau Tingkat 4) untuk menghindari tes yang tidak perlu
pada pasien yang sadar jelas. Keempat kemungkinan hasil yang dapat
direkam adalah:
 Peringatan - pasien yang sadar sepenuhnya (walaupun tidak selalu
berorientasi). Pasien ini akan memiliki mata terbuka secara
spontan, akan menanggapi suara (walaupun mungkin bingung)
dan akan memiliki fungsi motorik tubuh.
 Suara - pasien membuat semacam respons ketika Anda berbicara
dengan mereka, yang dapat berupa salah satu dari tiga ukuran
komponen Mata, Suara atau Motor - misalnya mata pasien terbuka
ketika ditanya "apakah Anda baik-baik saja ?!". Responsnya bisa
sesedikit gerutuan, erangan, atau sedikit gerakan anggota badan
ketika diminta oleh suara penyelamat.
 Nyeri - pasien membuat respons pada salah satu dari ketiga ukuran
komponen ketika stimulus nyeri digunakan pada mereka. Metode
yang diakui untuk menyebabkan rangsangan rasa sakit termasuk
Sternal Gosok (meskipun di beberapa daerah, itu tidak lagi
dianggap dapat diterima), di mana buku-buku penyelamat digosok
dengan kuat pada tulang dada pasien, menjepit telinga pasien dan
menekan pena (atau serupa). instrumen) ke tempat tidur kuku
pasien. Seorang pasien yang sadar sepenuhnya biasanya akan
menemukan rasa sakit dan mendorongnya menjauh, namun pasien
yang tidak waspada dan yang belum menanggapi suara (maka
dilakukan tes pada mereka) cenderung menunjukkan hanya
penarikan dari rasa sakit, atau bahkan fleksi tanpa disengaja. atau
perpanjangan anggota badan dari stimulus rasa sakit. Orang yang
menilai harus selalu berhati-hati ketika melakukan rangsangan
rasa sakit sebagai metode menilai tingkat kesadaran, seperti di
beberapa yurisdiksi, itu dapat dianggap sebagai serangan. Ini
adalah alasan utama mengapa pemeriksaan suara harus selalu
dilakukan terlebih dahulu, dan orang yang menilai harus dilatih
dengan tepat.
 Tidak responsif - Terkadang terlihat dicatat sebagai 'Tidak Sadar',
hasil ini dicatat jika pasien tidak memberikan respons Mata,
Suara, atau Motor terhadap suara atau nyeri.

Pada pertolongan pertama, AVPU skor dari sesuatu yang kurang dari
A sering dianggap sebagai indikasi untuk mendapatkan bantuan lebih
lanjut, karena pasien mungkin membutuhkan perawatan yang lebih pasti.
Di rumah sakit atau fasilitas perawatan kesehatan jangka panjang,
pengasuh dapat mempertimbangkan AVPU skorkurang dari A sebagai
garis dasar normal pasien

B. Primary Survey
Penanganan awal dalam Primary Survey membantu mengidentifikasi
keadaan-keadaan yang mengancam nyawa, yang terdiri dari tahapan-
tahapan sebagai berikut :

A : Airway, pemeliharaan airway dengan proteksi servikal

B : Breathing, pernapasan dengan ventilasi

C : Circulation, kontrol perdarahan

D : Disability, status neurologis

E : Exposure/Environmental control, membuka seluruh baju penderita,


tetapi cegah hipotermia.

1) Airway
Keadaan kurangnya darah yang teroksigenasi ke otak dan organ vital
lainnya merupakan pembunuh pasien-pasien trauma yang paling cepat.
Obstruksi airway akan menyebabkan kematian dalam hitungan beberapa
menit. Gangguan pernapasan biasanya membutuhkan beberapa menit
lebih lama untuk menyebabkan kematian dan masalah sirkulasi biasanya
lebih memakan waktu yang lebih lama lagi. Maka dari itu, penilaian
airway harus dilakukan dengan cepat begitu memulai penilaian awal.
Dalam mengatasi obstruksi airway, terlebih dahulu dilakukan suctioning
untuk mengeluarkan cairan saliva berlebih yang mungkin timbul akibat
pangkal lidah yang terjatuh. Tindakan suctioning yang tepat dalam
pemeliharaan airway dapat secara signifikan menurunkan kejadian
aspirasi dan lebih banyak lagi hasil positif yang didapatkan. Pada keadaan
tidak sadarkan diri, penyebab tersering terhambatnya airway adalah
pangkal lidah yang jatuh. Selain itu, penolong juga harus melakukan
inspeksi tentang ada tidaknya benda-benda asing yang menghambat
airway ataupun kemungkinan terjadinya fraktur fasial, mandibular
ataupun trakeal/laringeal yang juga dapat menghambat bebasnya airway.
Pasien-pasien dalam keadaan penurunan kesadaran ataupun GCS
(Glasgow Coma Score) yang nilainya 8 ke bawah perlu diberikan
pemasangan airway definitif. Adanya gerakan-gerakan motorik tidak
bertujuan juga biasanya mengindikasikan perlunya pemasangan airway
definitif.

Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :

• Suara berkumur

• Suara nafas abnormal (stridor, dsb)

• Pasien gelisah karena hipoksia

• Bernafas menggunakan otot nafas tambahan / gerak dada paradox

• Sianosis

Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus


dikerjakan dengan cepat dan tepat. Berbagai bentuk sumbatan pada
airway dapat dengan segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu
(chin lift maneuver) dan memiringkan kepala (head tilt maneuver), atau
dengan mendorong rahang bawah ke arah depan (jaw thrust maneuver).
Airway selanjutnya dapat dipertahankan dengan orofaringeal
(oropharyngeal airway) atau nasofaringeal (nasopharingeal airway).
Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat
menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Adanya suspek cedera
pada spinal mengindikasikan dilakukannya tindakan imobilisasi spinal
(in-line immobilization).

a. Teknik-teknik mempertahankan airway :


a) Head-tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang
dan horizontal, kecuali pada pembersihan airway dimana bahu
dan kepala pasien harus direndahkan dengan posisi semilateral
untuk memudahkan drainase lendir, cairan muntah atau benda
asing. Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan
di bawah leher pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas.
Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien sambil
mendorong/menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan sambil
berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara
intermitten.
b) Chin-lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang
kemudian secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu
ke arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan menekan
bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga diletakkan
di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu
dengan hati – hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh
menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada
korban trauma karena tidak membahayakan penderita dengan
kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah patah tulang
tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal.

c) Jaw-thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan
pada mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada
pada angulus mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri
berada pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri
berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat
ke atas melewati molar pada maxila

2) Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas
yang baik terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi adalah pergerakan
dari udara yang dihirup kedalam dengan yang dihembuskan ke luar dari
paru. Pada awalnya, dalam keadaan gawat darurat, apabila teknik-teknik
sederhana seperti head-tilt maneuver dan chin-lift maneuver tidak berhasil
mengembalikan ventilasi yang spontan, maka penggunaan bag-valve
mask adalah yang paling efektif untuk membantu ventilasi.
Teknik ini efektif apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan
dari salah satu penolong dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang
baik.

Berikut adalah cara melakukan pemasangan bag-valve mask :

a. Posisikan kepala lurus dengan tubuh


b. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila
sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada
kebocoran)
c. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)
d. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus
mandibula, jari manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu
jari dan telunjuk memegang dan memfiksasi sungkup muka.
e. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala
pasien.
f. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah
dipasangkan.
g. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan
kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-
sama).
h. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa).
i. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi
sungkup muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang
bag (kantong) reservoir sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag).

Penilaian ventilasi yang adekuat atau tidak dapat dilakukan dengan


melakukan metode berikut :
a. Look : Lihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan
dinding dada yang adekuat. Asimeteri menunjukkan pembelatan
(splinting) atau flail chest dan tiap pernapasan yang dilakukan
dengan susah (labored breathing) sebaiknya harus dianggap sebagai
ancaman terhadap oksigenasi penderita.
b. Listen : Dengar adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada.
Penurunan atau tidak terdengarnya suara nafas pada satu atau kedua
hemitoraks merupakan tanda akan adanya cedera dada. Hati-hati
terhadap adanya laju pernafasan yang cepat–takipnea mungkin
menunjukkan kekurangan oksigen.
c. Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi
tentang saturasi oksigen dan perfusi perifer penderita, tetapi tidak
memastikan adanya ventilasi yang adekuat.
b. Pada saat penilaian sebelumnya dilakukan, penolong harus
mengetahui dan mengenal ciri-ciri gejala dari keadaan-keadaan yang
sering muncul dalam masalah ventilasi pasien gawat darurat seperti
tension pneumothorax, massive hemothorax, dan open
pneumothorax.

Penanganan yang dapat dilakukan adalah :


a. Memberi oksigen dengan kecepatan 10-12 liter/menit
b. Tension pneumothorax : Needle Insertion (IV Cath No.14) di ICR II-
Linea midclavicularis
c. Massive haemothorax : Pemasangan Chest Tube
d. Open pneumothorax : Luka ditutup dengan kain kasa yang diplester
pada tiga sisi (flutter-type voice effect)

3) Circulation
Masalah sirkulasi pada pasien-pasien trauma dapat diakibatkan oleh
banyak jenis perlukaan. Volume darah, cardiac outptut, dan perdarahan
adalah masalah sirkulasi utama yang perlu dipertimbangkan.
Dalam menilai status hemodinamik, ada 3 penemuan klinis yang
dalam hitungan detik dapat memberikan informasi tentang ini :
a. Tingkat Kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang,
yang akan mengakibatkan penurunan kesadaran (jangan dibalik,
penderita yang sadar belum tentu normovolemik).
b. Warna Kulit
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Penderita
trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan
ekstremitas, jarang yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya,
wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat,
merupakan tanda hipovolemia.
c. Nadi
Periksalah pada nadi yang besar seperti a. Femoralis atau a.
Karotis (kiri-kanan) untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi
yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda
normovolemia (bila penderita tidak minum obat beta-blocker). Nadi
yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat
disebabkan keadaan yang lain. Kecepatan nadi yang normal bukan
jaminan bahwa normovolemia. Nadi yang tidak teratur biasanya
merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari
arteri besar merupakan tanda diperlukannya resusitasi segera.
Perdarahan eksternal harus cepat dinilai, dan segera dihentikan bila
ditemukan dengan cara menekan pada sumber perdarahan baik secara
manual maupun dengan menggunakan perban elastis. Bila terdapat
gangguan sirkulasi harus dipasang sedikitnya dua IV line, yang
berukuran besar. Kemudian lakukan pemberian larutan Ringer laktat
sebanyak 2 L sesegera mungkin.

4) Disability
Menjelang akhir dari primary survey, dilakukan suatu pemeriksaan
neurologis yang cepat. Pemeriksaan neurologis ini terdiri dari
pemeriksaan tingkat kesadaran pasien, ukuran dan respon pupil, tanda-
tanda lateralisasi, dan tingkat cedera korda spinalis. Tingkat kesadaran
yang abnormal dapat menggambarkan suatau spektrum keadaan yang luas
mulai dari letargi sampai status koma. Perubahan apapun yang
mengganggu jaras asending sistem aktivasi retikular dan sambungannya
yang sangat banyak dapat menyebabkan gangguan tingkat kesadaran.
Cara cepat dalam mengevaluasi status neurologis yaitu dengan
menggunakan AVPU, sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale) merupakan
metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis, dan dapat
dilakukan pada saat survey sekunder.
AVPU, yaitu:
A : Alert
V : Respon to verbal
P : Respon to pain
U : Unrespon.
GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana
untuk menilai tingkat kesadaran pasien.
1. Menilai “eye opening” penderita (skor 4-1)
Perhatikan apakah penderita :
a. Membuka mata spontan (4)
b. Membuka mata jika dipanggil, diperintah atau
dibangunkan (3)
c. Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan
menekan ujung kuku jari tangan) (2)
d. Tidak memberikan respon (1)
2. Menilai “best verbal response” penderita (skor 5-1)
Perhatikan apakah penderita :
a. Orientasi baik dan mampu berkomunikasi (5)
b. Disorientasi atau bingung (4)
c. Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat
(3)
d. Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas
artinya) (2)
e. Tidak memberikan respon (1)
3. Menilai “best motor respon” penderita (skor 6-1)
Perhatikan apakah penderita :
a. Melakukan gerakan sesuai perintah (6)
b. Dapat melokalisasi rangsangan nyeri (5)
c. Menghindar terhadap rangsangan nyeri (4)
d. Fleksi abnormal (decorticated) (3)
e. Ektensi abnormal (decerebrate) (2)
f. Tidak memberikan respon (1)

Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang diperoleh,


semakin jelek kesadaran)

5) Exposure
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka
keseluruhan pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh.
Periksa punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log roll.
Selanjutnya selimuti penderita dengan selimut kering dan hangat, ruangan
yang cukup hangat dan diberikan cairan intra-vena yang sudah
dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi.

2. Secondary Survey
A. Anamnesis
Anamnesis yang harus diingat (AMPLE):
A: Alergi
M: Mekanisme dan Sebab Trauma
M: Medikasi (Obat yang sedang diminum saat ini)
P : Past Illness
L : Last Meal (makan Minum Terakhir)
E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlakuan.

B. Pemeriksaan Fisis
1) Kepala dan maksilofasial
a. Penilaian
 Inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya
laserasi, kontusi, fraktur dan luka termal.
 Re-evaluasi pupil
 Re-evaluasi tingkat kesadaran dalam skor GCS
 Penilaian mata untuk perdarahan, luka tembus dan ketajaman
penglihatan, dislokasi lensa, dan adanya lensa kontak.
 Evaluasi syaraf kranial.
 Periksa telinga dan hidung akan adanya kebocoran cairan
serebrospinal.
 Periksa mulut untuk adanya perdarahan dan kebocoran cairan
serebrospinal, perlukaan jaringan lunan dan gigi goyang.
b) Pengelolaan
 Jaga Aairway, pernapasan dan oksigenasi
 Cegah kerusakan otak sekunder
2) Vertebra servikalis dan leher
Penilaian:
 Periksa Adanya cedera tumpul atau tajam, devisi trachea, dan
pemakaian otot pernapasan tambahan.
 Palpasi untuk adanya nyeri, deformitas, pembengkakan,
empisema subkutan, deviasi trachea, simetri pulsasi.
3) Thorax
Penilaian :
 Penilaian dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul ataupun tajam, pemakaian otot
pernapasan tambahan dan ekspansi thorax bilateral.
 Auskultasi pada bagian depan dan basal untuk bising nafas (
bilateral) dan bising jantung
 Palpasi seluruh dinding dada untuk adanya trauma
tajam/tumpul, empisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
 Perkusi untuk adanya hipersonor atau keredupan.

4) Abdomen
Penilaian :
 Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang untukn adanya
trauma tajam/tumpul dan adanya perdarahan internal.
 Auskultasi bising usus.
 Perkusi abdomen untuk menemukan nyeri lepas (ringan).
 Palpasi abdomen untuk nyeri tekan.

5) Perineum/rectum/penis
Penilaian :
 Penilaian perineum: perdarahan uretra, laserasi, dsb
 Penilaian rectum :
- Perdarahan rectum
- Tonus spintcherani
- Utuhnya dinding rectum
- Fragmen tulang
- Posisi prostat

6) Musculoskeletal
Penilaian:
 Inspeksi lengan dan tungkai akan adanya trauma
tumpul/tajam, termasuk adanya laserasi kontusio dan
deformotas.
 Palpasi lengan dan tungkai akan adanya nyeri tekan, krepitasi,
pergrakan abnormal, dan sesnsorik.
 Palpasi semua arteri perifer untuk kuatnya pulsasi dan
ekualitas.
 Nilai pelvis untuk adanya fraktur dan perdarahan
 Inspeksi dan palpasi vertebra thorakalis dan lumbalis untuk
adanya trauma tajam/tumpul, termasuk adanya kontsio,
laserasi, nyeri tekan, deformitas, dan sensorik.

7) Neurologis
Penilaian:
 Re-evaluasi pupil dan tingkat kesadaran.
 Tentukan skor GCS
 Evaluasi motoric dan sensorik dari keempat ekstremitas
 Tentukan adanya tanda lateralisasi

Tambahan pada secondary survey

Dalam melakukan secondary survey, mungkin akan dilakukan


pemeriksaan diagnostic yang lebih spesifik yaitu pemeriksaan radiologi
dan laboratorium. Seringkali ini membutuhkan transportasi penderita ke
ruangan yang lain harus tersedia perlengkapan untuk resusitasi. Dengan
demikian, semua prosedur diatas, jangan dilakukan sebenlum
hemodinamik penderita stabil dan telah diperiksa secara teliti.

3. Syarat transportasi dan proses rujukan

Pengelolaan sebelum transport

• Luka pada pelipis kanan

• Penanganan luka

Perdarahan dihentikan
Luka ditutup

• Kaki dan tangan yang dicurigai fraktur sebaiknya difiksasi

Pengelolaan selama transport

• Petugas harus melihat keadaan penderita selama perjalanan

• Monotoring, TTV

• Berikan bantuan cardiorespirasi bila dibutuhkan

• Menjaga komunikasi dengan dokter selama transportasi

4. Penyebab kesadaran menurun

Ada banyak hal yang menyebabkan kesadaran menurun. Gangguan pada sistem saraf
pusat (SSP) dapat berasal dari gangguan structural dari dalam SSP atau gangguan
metabolic dari luar SSP. Gangguan structural biasanya mengakibatkan gangguan
parsial yang dapat bermanifestasi pada sisi tertentu saja. Gangguan metabolic,
misalnya hipoglikemia atau hipoksia, mempengaruhi seluruh bagian otak.

1. Penyebab struktural

Gangguan structural yang paling banyak ditemukan adalah stroke.


Kemungkinan lain yang harus dipikirkan adalah adanya riwayat trauma
kepala.

Karena hanya sebagian dari otak yang mengalami gangguan, pada


pemeriksaan pasien dapat ditemukan gejala yang unilateral atau asimetrik.

2. Penyebab metabolik

Gangguan metabolik biasanya berasal dari luar SSP. Meskipun kondisi


metabolic dapat mempengaruhi fungsi otak dengan berbagai mekanisme,
kondisi ini mempengaruhi kedua sisi otak. Pada pemeriksaan umumnya
ditemukan gejala yang bilateral dan difus daripada hanya salah satu sisi dan
terlokalisir.

Penyebab metabolic dapat dibagi dua, eksternal dan internal. Contoh dari
penyebab metabolic eksternal adalah keracunan, overdosis, alcohol abuse,
kondisi lingkungan seperti hipotermia dan hipertermia, infeksi pada SSP.
Contoh dari penyebab internal adalah semua kondisi pernapasan atau sirkulasi
yang berakibat hipoksia atau hipoperfusi otak, status diabetic (terutama
hipoglikemia), gagal hari atau ginjal yang mengakibatkan penumpukan
substansi toksik.

Penyebab Spesifik Kesadaran Menurun

a) Diabetes
 Hipoglikemia diabetic

Hipoglikemia adalah rendahnya kadar glukosa darah. Waktu


kejadian terjadi cepat dan dapat disebabkan karena:
 Meminum obat antidiabetes teratur, namun tidak makan
setelahnya
 Terlalu banyak beraktifitas maupun olahraga
(pemakaian glukosa terlalu cepat)
 Pemakaian insulin atau obat oral berlebihan
 Akibat penyakit lain (penyakit yang mengakibatkan
rendahnya penyerapan makanan/glukosa sehingga
menjadi stress dalam tubuh, dan penggunaan glukosa
terlalu cepat)
 Hiperglikemia diabetic

Hiperglikemia (kadar glukosa darah melebihi normal) bisa


akibat dari insulin dalam tubuh tidak cukup atau reseptor sel tidak
berespon terhadap insulin. Akibatnya insulin tidak mentranspor
glukosa ke dalam sel, menumpuk di dalam darah (hiperglikemia) dan
keluar lewat urin (glikosuria).

 Ketoasidosis diabetic

Ketika tubuh kekurangan insulin, tubuh membakar lemak untuk energy karena
glukosa dalam darah tidak dipakai sel (hiperglikemia). Bau dari asam lemak
(seperti aseton) dapat ditemukan pada napas pasien. Pasien nampak bernapas
dalam dan cepat untuk mengkompensasi peningkatan keasaman darah. Akibat
dari hiperglikemia tadi, glukosa dikeluarkan di urin sambil menarik air,
mengakibatkan peningkatan jumlah urin dan pasien menjadi dehidrasi, kering,
dan haus.
Gejala secara umum pada pasien dengan emergensi diabetic (baik
hipoglikemia atau hiperglikemia) sebagai berikut:

 Penurunan kesadaran
 Pulsasi cepat
 Pernapasan cepat, dalam (lebih banyak pada hiperglikemia)
 Lemah
 Berkeringat
 Kulit hangat, kering (hiperglikemia) atau kulit dingin, lembab (hipoglikemia)
 Mual, muntah (hiperglikemia)
 Sakit kepala
 Kejang (hipoglikemia berat)
 Koma

b) Stroke

a. Stroke hemoragik

Akibat dari ruptur arteri dengan perdarahan ke permukaan otak (subarachnoid


hemorrhage/SAH) atau perdarahan di dalam jaringan otak (intracerebral
hemorrhage/ICH). Kausa terbanyak dari SAH adalah rupture aneurisma.
Hipertensi adalah penyebab terbanyak dari ICH.

b. Stroke iskemik

Stroke iskemik terjadi akibat oklusi total dari arteri di otak. Oklusi bisa
berasal dari thrombus yang terbentuk pada dinding arteri dalam otak itu
sendiri (cerebral thrombosis) atau thrombus yang berasal dari pembuluh
darah lain dalam tubuh yang bermigrasi ke arteri dalam otak dan terjadi
obstruksi sirkulasi (cerebral embolism).

c. Transient Ischemic Attack (TIA)

Serangan iskemik sekilas/TIA adalah episode reversible dari disfungsi fokal


neurologic yang menetap selama beberapa menit hingga jam. Gejala yang
didapatkan sama dengan stroke. Bila gejala menghilang secara sempurna
dalam 24 jam, episode ini disebut TIA. Apabila pasien memiliki riwayat TIA
sebelumnya, hal ini merupakan indikator dari resiko stroke.
Gejala:

 Gangguan kesadaran (coma, stupor, confusion, kejang, delirium)


 Sakit kepala berat secara tiba-tiba atau sakit kepala yang berhubungan
dengan penurunan kesadaran atau deficit neurologis
 Aphasia, ataxia, dysarthria
 Kelemahan otot wajah atau asimetris, inkoordinasi, paralisis,
hilangnya sensori pada satu atau lebih ekstremitas

c) Keracunan, overdosis salisilat, asetaminofen, barbiturate, trankuilizer


mayor (fenotiazin), opiat

Differential dignosis :
1. Perdarahan epidural
Epidural Hematom adalah perdarahan intrakranial yang terjadi karena
fraktur tulang tengkorak dalam ruang antara tabula interna kranii dengan
duramater.Hematoma epidural merupakan gejala sisa yang serius akibat
cedera kepala dan menyebabkan angka mortalitas sekitar 50%. Hematoma
epidural paling sering terjadi di daerah perietotemporal akibat robekan arteria
meningea media.
Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara duramater
dan araknoid, biasanya sering di daerah frontal, pariental dan temporal.Pada
subdural hematoma yang seringkali mengalami pendarahan ialah “bridging
vein” , karena tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik pada otak.
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas
hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi
“bridging vein”.
Epidural hematom utamanya disebabkan oleh gangguan struktur
duramater dan pembuluh darah kepala biasanya karena fraktur.Akibat trauma
kapitis,tengkorak retak.Fraktur yang paling ringan, ialah fraktur linear.Jika
gaya destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang berupa bintang
(stelatum), atau fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke
dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak
(laserasio).Pada pendarahan epidural yang terjadi ketika pecahnya pembuluh
darah, biasanya arteri, yang kemudian mengalir ke dalam ruang antara
duramater dan tengkorak. Sedangkan pada subdural hematom. keadaan ini
timbul setelah trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang
mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural . Pergeseran
otak pada akselerasi dan de akselerasi bisa menarik dan memutuskan vena-
vena.Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu akselerasi
tengkorak ke arah dampak dan pergeseran otak ke arah yang berlawanan
dengan arah dampak primer.Akselerasi kepala dan pergeseran otak yang
bersangkutan bersifat linear.Maka dari itu lesi-lesi yang bisaterjadi dinamakan
lesi.

Gejala yang sangat menonjol pada epidural hematom adalah kesadaran


menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak
memardisekitar mata dan dibelakang telinga. Sering juga tampak cairan yang
keluar pada saluran hidung dan telingah. Setiap orang memiliki kumpulan
gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang
timbul akibat dari cedera kepala. Gejala yang sering tampak :
 Penurunan kesadaran , bisa sampai koma
 Bingung
 Penglihatan kabur
 Susah bicara
 Nyeri kepala yang hebat
 Keluar cairan dari hidung dan telingah
 Mual
 Pusing
 Berkeringat

Gejala yang timbul pada subdural :


1. Subdural Hematoma Akut
 Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma
sampai dengan hari ke tiga
 Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat
mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya
sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya
 Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas
 Secara klinis subdural hematom akut ditandai dengan penurunan
kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa
hemiparese/plegi
 pada pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran
hiperdens yang berupa bulan sabit
2. Subdural Hematoma Subakut
 Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar hari ke 3 –
minggu ke 3 sesudah trauma
 Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan
kapsula di sekitarnya
 adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran,
selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-
lahan.
 Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-
tanda status neurologik yang memburuk.
 Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa
jam.

Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran


hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak
memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri.

3. Subdural Hematoma Kronis


 Biasanya terjadi setelah minggu ketiga
 SDH kronis biasanya terjadi pada orang tua
 Trauma yang menyebabkan perdarahan yang akan membentuk kapsul,
saat tersebut gejala yang terasa Cuma pusing.
 Kapsul yang terbentuk terdiri dari lemak dan protein yang mudah
menyerap cairan dan mempunyai sifat mudah ruptur.
 Karena penimbunan cairan tersebut kapsul terus membesar dan mudah
ruptur, jika volumenya besar langsung menyebabkan lesi desak ruang.

Jika volume kecil akan menyebabkan kapsul terbentuk lagi >>


menimbun cairan >> ruptur lagi >> re-bleeding. Begitu seterusnya sampai
suatu saat pasien datang dengan penurunan kesadaran tiba-tiba atau hanya
pelo atau lumpuh tiba-tiba.
DIAGNOSIS
Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih
mudah dikenali.
1. Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan
sisi yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang
yang memotong sulcus arteria meningea media.
a. Computed Tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume,
efek, dan potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya
pada satu bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi
(bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah
temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas
tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis
fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi pada stage
yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari
pembuluh darah.
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang
menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan
duramater. MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi.
MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk
menegakkan diagnosis
PENATALAKSANAAN
a. EPIDURAL HEMATOM

Penanganan darurat :
Dekompresi dengan trepanasi sederhana

Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom

Terapi medikamentosa
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital

Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan


darah yang dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu
dipasang pipa naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus
dipasang terutama untuk membuka jalur intravena : guna-kan cairan
NaC10,9% atau Dextrose in saline
2. Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a. Hiperventilasi.
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah
vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga
dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat
mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2
dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2 diantara 2530 mmHg.
b. Cairan hiperosmoler.
Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk
“menarik” air dari ruang intersel ke dalam ruang intra-vaskular
untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh
efek yang dikehendaki, manitol hams diberikan dalam dosis yang
cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan : 0,51 gram/kg
BB dalam 1030 menit. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang
menunggu tindak-an bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan
kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba diberikan
kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan harinya.
c. Kortikosteroid.
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya
sejak beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini
cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid tidak/kurang ber-
manfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan
pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak.

Dosis parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi :


Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus
yang diikuti dengan 4 dd 4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah
digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd
10 mg.
d. Barbiturat.
Digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak
dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen
juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif
lebih terlindung dari kemungkinan kemsakan akibat hipoksi,
walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat
digunakan dengan pengawasan yang ketat.
INDIKASI
Operasi di lakukan bila terdapat :
Volume hamatom > 30 ml

Keadaan pasien memburuk

Pendorongan garis tengah > 5 mm

fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1 cm

EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan GCS
8 atau kurang

Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg

2. SUBDURAL HEMATOM
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan pada pasien SDH, tentu kita
harus memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya. Dalam masa
mempersiapkan operasi, perhatiaan hendaknya ditujukan kepada pengobatan dengan
medika mentosa untuk menurunkan peningkatan tekanan intracranial. Seperti
pemberian mannitol 0,25 gr/kgBBatau furosemide 10 mg intavena,
dihiperventilasikan.
Tidakan operatif
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan ada gejala- gejala yang
progresif maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran
hematom. Tetapi seblum diambil kepetusan untuk tindakan operasi yang harus kita
perhatikan adalah airway, breathing, dan circulatioan.
Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah
a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10 mm atau pergeseran
midline shift >5 mm pada CT-Scan

b. Semua pasien SDH dengan GCS <9 harus dilakukan monitoring TIK

c. Pasien SDH dengan GCS <9, dengan ketebalan perdarahan <10 mm dan
pergerakan struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS >2 poin antara saat
kejadian sampai saat masuk rumah sakit.

d. Pasien SDH dengan GCS<9, dan atau didapatkan pupil dilatasi asimetris/fixed

e. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan /atau TIK >20 mmhg
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy. Tindakan yang
paling banyak diterima karena minimal komplikasi.
Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara cepat dan
local anastesi
Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang infasih
dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi.

2. Kontusio Serebri (memar otak)


Kontusio serebri merupakan cedera fokal berupa perdarahan dan
bengkak pada subpial, merupakan cedera yang paling sering terjadi.
Dilaporkan bahwa 89% mayat yang diperiksa postmortem mengalami
kontusio serebri. Depreitere et al melaporkan bahwa 15 kasus kontusio serebri
paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian dan
cedera olahraga. Kontusio serebri adalah memar pada jaringan otak yang
disebabkan oleh trauma tumpul maupun cedera akibat akselerasi dan
deselerasi yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim otak dan perdarahan
mikro di sekitar kapiler pembuluh darah otak.
Pada kontusio serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa
adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron
mengalami kerusakan atau terputus. Pada beberapa kasus kontusio serebri
dapat berkembang menjadi perdarahan serebral. Namun pada cedera berat,
kontusio serebri sering disertai dengan perdarahan subdural, perdaraham
epidural, perdarahan serebral ataupun perdarahan subaraknoid.
Freytag dan Lindenberg mengemukakan bahwa pada daerah kontusio
serebri terdapat dua komponen, yaitu daerah inti yang mengalami nekrosis
dan daerah perifer yang mengalami pembengkakan seluler yang diakibatkan
oleh edema sitotoksik. Pembengkakan seluler ini sering dikenal sebagai
perikontusional zone yang dapat menyebabkan keadaan lebih iskemik
sehingga terjadi kematian sel yang lebih luas. Hal ini disebabkan oleh
kerusakan autoregulasi pembuluh darah di pericontusional zone sehingga
perfusi jaringan akan berkurang akibat dari penurunan Mean Arterial Pressure
(MAP) atau peningkatan tekanan intrakranial. Proses pembengkakan ini
berlangsung antara 2 hingga 7 hari. Penderita yang mengalami kontusio ini
memiliki risiko terjadi kecacatan dan kejang di kemudian hari. Penyebab
penting terjadinya lesi kontusio adalah akselerasi kepala yang juga
menimbulkan pergeseran otak dengan tulang tengkorak serta pengembangan
gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat akan menyebabkan
hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu
kuat, sehingga menimbulkan blokade reversibel terhadap lintasan asendens
retikularis difus. Akibat hambatan itu, otak tidak mendapat input aferen
sehingga kesadaran hilang selama blokade reversibel berlangsung.
Kontusio serebri dapat dibagi berdasarkan mekanisme, lokasi anatomi,
atau cedera yang berdekatan. Misalnya, fraktur kontusio akibat dari cedera
kontak langsung dan terjadi segera disebelahnya dengan fraktur tulang
tengkorak. Coup merujuk kepada trauma yang terjadi di lokasi dampak
dengan tidak adanya patah tulang, sedangkan contrecoup adalah sisi yang
berlawanan dengan titik dampak. Gliding adalah perdarahan fokal melibatkan
korteks dan white matter yang berdekatan dari margin superior dari hemisfer
serebri; terjadi karena mekanisme rotasi daripada tenaga kontak. Intermediary
adalah lesi yang mempengaruhi struktur otak dalam, seperti korpus calosum,
ganglia basal, hipotalamus, dan batang otak. Herniasi dapat terjadi di daerah
medial lobus temporal pada tepi tentorial (yaitu, uncal herniasi) atau di mana
tonsil serebelum menghubungi foramen magnum (yaitu, tonsillar herniasi).

3. Edema serebri
DAFTAR PUSTAKA

1. Protocols R. HARMONY EVENT MEDICINE Assessments & Radio Protocols


AVPU Assessments by Definition Communicating over the Radio regarding
Patients : -ALL EVENT STAFF ATTEMPTING TO.
2. Karmel L, dkk. Buku Panduan Penatalaksanaan Gawat Darurat, Jilid 1. Jakarta.
FKUI
3. Sidharta P, Mardjono M,2005, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta.
4. Wilson M. L, Price S. A,2002 Patofisiologi, vol.2, Edisi 6

Anda mungkin juga menyukai