OLEH
KELOMPOK 5
Anggota :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2018/2019
MODUL 1
Gagal Napas
SKENARIO
KASUS 1
KATA KUNCI
4. Nampak lebam pada lengan kanan dan kaki kanan disertai luka robek pada
pelipis kanan.
PERTANYAAN
JAWABAN
1. Tatalaksana Awal
A. AVPU
Skala AVPU (Alert, Voice, Pain, Unresponsive) adalah sistem dimana
suatu pertolongan pertama, perawatan kesehatan profesional, atau
pengamat dapat mengukur dan merekam respon pasien, menunjukkan
tingkat kesadaran mereka.
Ini adalah penyederhanaan Glasgow Coma Scale, yang menilai
respons pasien dalam tiga ukuran - Mata, Suara, dan Keterampilan
Motorik. Skala AVPU harus dinilai menggunakan tiga sifat yang dapat
diidentifikasi ini, mencari respons terbaik dari masing-masing.
AVPU Skalanya memiliki 4 kemungkinan hasil untuk merekam.
Penilai harus selalu bekerja dari yang terbaik (A, atau Tingkat 1) hingga
yang terburuk (U, atau Tingkat 4) untuk menghindari tes yang tidak perlu
pada pasien yang sadar jelas. Keempat kemungkinan hasil yang dapat
direkam adalah:
Peringatan - pasien yang sadar sepenuhnya (walaupun tidak selalu
berorientasi). Pasien ini akan memiliki mata terbuka secara
spontan, akan menanggapi suara (walaupun mungkin bingung)
dan akan memiliki fungsi motorik tubuh.
Suara - pasien membuat semacam respons ketika Anda berbicara
dengan mereka, yang dapat berupa salah satu dari tiga ukuran
komponen Mata, Suara atau Motor - misalnya mata pasien terbuka
ketika ditanya "apakah Anda baik-baik saja ?!". Responsnya bisa
sesedikit gerutuan, erangan, atau sedikit gerakan anggota badan
ketika diminta oleh suara penyelamat.
Nyeri - pasien membuat respons pada salah satu dari ketiga ukuran
komponen ketika stimulus nyeri digunakan pada mereka. Metode
yang diakui untuk menyebabkan rangsangan rasa sakit termasuk
Sternal Gosok (meskipun di beberapa daerah, itu tidak lagi
dianggap dapat diterima), di mana buku-buku penyelamat digosok
dengan kuat pada tulang dada pasien, menjepit telinga pasien dan
menekan pena (atau serupa). instrumen) ke tempat tidur kuku
pasien. Seorang pasien yang sadar sepenuhnya biasanya akan
menemukan rasa sakit dan mendorongnya menjauh, namun pasien
yang tidak waspada dan yang belum menanggapi suara (maka
dilakukan tes pada mereka) cenderung menunjukkan hanya
penarikan dari rasa sakit, atau bahkan fleksi tanpa disengaja. atau
perpanjangan anggota badan dari stimulus rasa sakit. Orang yang
menilai harus selalu berhati-hati ketika melakukan rangsangan
rasa sakit sebagai metode menilai tingkat kesadaran, seperti di
beberapa yurisdiksi, itu dapat dianggap sebagai serangan. Ini
adalah alasan utama mengapa pemeriksaan suara harus selalu
dilakukan terlebih dahulu, dan orang yang menilai harus dilatih
dengan tepat.
Tidak responsif - Terkadang terlihat dicatat sebagai 'Tidak Sadar',
hasil ini dicatat jika pasien tidak memberikan respons Mata,
Suara, atau Motor terhadap suara atau nyeri.
Pada pertolongan pertama, AVPU skor dari sesuatu yang kurang dari
A sering dianggap sebagai indikasi untuk mendapatkan bantuan lebih
lanjut, karena pasien mungkin membutuhkan perawatan yang lebih pasti.
Di rumah sakit atau fasilitas perawatan kesehatan jangka panjang,
pengasuh dapat mempertimbangkan AVPU skorkurang dari A sebagai
garis dasar normal pasien
B. Primary Survey
Penanganan awal dalam Primary Survey membantu mengidentifikasi
keadaan-keadaan yang mengancam nyawa, yang terdiri dari tahapan-
tahapan sebagai berikut :
1) Airway
Keadaan kurangnya darah yang teroksigenasi ke otak dan organ vital
lainnya merupakan pembunuh pasien-pasien trauma yang paling cepat.
Obstruksi airway akan menyebabkan kematian dalam hitungan beberapa
menit. Gangguan pernapasan biasanya membutuhkan beberapa menit
lebih lama untuk menyebabkan kematian dan masalah sirkulasi biasanya
lebih memakan waktu yang lebih lama lagi. Maka dari itu, penilaian
airway harus dilakukan dengan cepat begitu memulai penilaian awal.
Dalam mengatasi obstruksi airway, terlebih dahulu dilakukan suctioning
untuk mengeluarkan cairan saliva berlebih yang mungkin timbul akibat
pangkal lidah yang terjatuh. Tindakan suctioning yang tepat dalam
pemeliharaan airway dapat secara signifikan menurunkan kejadian
aspirasi dan lebih banyak lagi hasil positif yang didapatkan. Pada keadaan
tidak sadarkan diri, penyebab tersering terhambatnya airway adalah
pangkal lidah yang jatuh. Selain itu, penolong juga harus melakukan
inspeksi tentang ada tidaknya benda-benda asing yang menghambat
airway ataupun kemungkinan terjadinya fraktur fasial, mandibular
ataupun trakeal/laringeal yang juga dapat menghambat bebasnya airway.
Pasien-pasien dalam keadaan penurunan kesadaran ataupun GCS
(Glasgow Coma Score) yang nilainya 8 ke bawah perlu diberikan
pemasangan airway definitif. Adanya gerakan-gerakan motorik tidak
bertujuan juga biasanya mengindikasikan perlunya pemasangan airway
definitif.
• Suara berkumur
• Sianosis
c) Jaw-thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan
pada mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada
pada angulus mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri
berada pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri
berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat
ke atas melewati molar pada maxila
2) Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas
yang baik terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi adalah pergerakan
dari udara yang dihirup kedalam dengan yang dihembuskan ke luar dari
paru. Pada awalnya, dalam keadaan gawat darurat, apabila teknik-teknik
sederhana seperti head-tilt maneuver dan chin-lift maneuver tidak berhasil
mengembalikan ventilasi yang spontan, maka penggunaan bag-valve
mask adalah yang paling efektif untuk membantu ventilasi.
Teknik ini efektif apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan
dari salah satu penolong dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang
baik.
3) Circulation
Masalah sirkulasi pada pasien-pasien trauma dapat diakibatkan oleh
banyak jenis perlukaan. Volume darah, cardiac outptut, dan perdarahan
adalah masalah sirkulasi utama yang perlu dipertimbangkan.
Dalam menilai status hemodinamik, ada 3 penemuan klinis yang
dalam hitungan detik dapat memberikan informasi tentang ini :
a. Tingkat Kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang,
yang akan mengakibatkan penurunan kesadaran (jangan dibalik,
penderita yang sadar belum tentu normovolemik).
b. Warna Kulit
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Penderita
trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan
ekstremitas, jarang yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya,
wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat,
merupakan tanda hipovolemia.
c. Nadi
Periksalah pada nadi yang besar seperti a. Femoralis atau a.
Karotis (kiri-kanan) untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi
yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda
normovolemia (bila penderita tidak minum obat beta-blocker). Nadi
yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat
disebabkan keadaan yang lain. Kecepatan nadi yang normal bukan
jaminan bahwa normovolemia. Nadi yang tidak teratur biasanya
merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari
arteri besar merupakan tanda diperlukannya resusitasi segera.
Perdarahan eksternal harus cepat dinilai, dan segera dihentikan bila
ditemukan dengan cara menekan pada sumber perdarahan baik secara
manual maupun dengan menggunakan perban elastis. Bila terdapat
gangguan sirkulasi harus dipasang sedikitnya dua IV line, yang
berukuran besar. Kemudian lakukan pemberian larutan Ringer laktat
sebanyak 2 L sesegera mungkin.
4) Disability
Menjelang akhir dari primary survey, dilakukan suatu pemeriksaan
neurologis yang cepat. Pemeriksaan neurologis ini terdiri dari
pemeriksaan tingkat kesadaran pasien, ukuran dan respon pupil, tanda-
tanda lateralisasi, dan tingkat cedera korda spinalis. Tingkat kesadaran
yang abnormal dapat menggambarkan suatau spektrum keadaan yang luas
mulai dari letargi sampai status koma. Perubahan apapun yang
mengganggu jaras asending sistem aktivasi retikular dan sambungannya
yang sangat banyak dapat menyebabkan gangguan tingkat kesadaran.
Cara cepat dalam mengevaluasi status neurologis yaitu dengan
menggunakan AVPU, sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale) merupakan
metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis, dan dapat
dilakukan pada saat survey sekunder.
AVPU, yaitu:
A : Alert
V : Respon to verbal
P : Respon to pain
U : Unrespon.
GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana
untuk menilai tingkat kesadaran pasien.
1. Menilai “eye opening” penderita (skor 4-1)
Perhatikan apakah penderita :
a. Membuka mata spontan (4)
b. Membuka mata jika dipanggil, diperintah atau
dibangunkan (3)
c. Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan
menekan ujung kuku jari tangan) (2)
d. Tidak memberikan respon (1)
2. Menilai “best verbal response” penderita (skor 5-1)
Perhatikan apakah penderita :
a. Orientasi baik dan mampu berkomunikasi (5)
b. Disorientasi atau bingung (4)
c. Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat
(3)
d. Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas
artinya) (2)
e. Tidak memberikan respon (1)
3. Menilai “best motor respon” penderita (skor 6-1)
Perhatikan apakah penderita :
a. Melakukan gerakan sesuai perintah (6)
b. Dapat melokalisasi rangsangan nyeri (5)
c. Menghindar terhadap rangsangan nyeri (4)
d. Fleksi abnormal (decorticated) (3)
e. Ektensi abnormal (decerebrate) (2)
f. Tidak memberikan respon (1)
5) Exposure
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka
keseluruhan pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh.
Periksa punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log roll.
Selanjutnya selimuti penderita dengan selimut kering dan hangat, ruangan
yang cukup hangat dan diberikan cairan intra-vena yang sudah
dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi.
2. Secondary Survey
A. Anamnesis
Anamnesis yang harus diingat (AMPLE):
A: Alergi
M: Mekanisme dan Sebab Trauma
M: Medikasi (Obat yang sedang diminum saat ini)
P : Past Illness
L : Last Meal (makan Minum Terakhir)
E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlakuan.
B. Pemeriksaan Fisis
1) Kepala dan maksilofasial
a. Penilaian
Inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya
laserasi, kontusi, fraktur dan luka termal.
Re-evaluasi pupil
Re-evaluasi tingkat kesadaran dalam skor GCS
Penilaian mata untuk perdarahan, luka tembus dan ketajaman
penglihatan, dislokasi lensa, dan adanya lensa kontak.
Evaluasi syaraf kranial.
Periksa telinga dan hidung akan adanya kebocoran cairan
serebrospinal.
Periksa mulut untuk adanya perdarahan dan kebocoran cairan
serebrospinal, perlukaan jaringan lunan dan gigi goyang.
b) Pengelolaan
Jaga Aairway, pernapasan dan oksigenasi
Cegah kerusakan otak sekunder
2) Vertebra servikalis dan leher
Penilaian:
Periksa Adanya cedera tumpul atau tajam, devisi trachea, dan
pemakaian otot pernapasan tambahan.
Palpasi untuk adanya nyeri, deformitas, pembengkakan,
empisema subkutan, deviasi trachea, simetri pulsasi.
3) Thorax
Penilaian :
Penilaian dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul ataupun tajam, pemakaian otot
pernapasan tambahan dan ekspansi thorax bilateral.
Auskultasi pada bagian depan dan basal untuk bising nafas (
bilateral) dan bising jantung
Palpasi seluruh dinding dada untuk adanya trauma
tajam/tumpul, empisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi untuk adanya hipersonor atau keredupan.
4) Abdomen
Penilaian :
Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang untukn adanya
trauma tajam/tumpul dan adanya perdarahan internal.
Auskultasi bising usus.
Perkusi abdomen untuk menemukan nyeri lepas (ringan).
Palpasi abdomen untuk nyeri tekan.
5) Perineum/rectum/penis
Penilaian :
Penilaian perineum: perdarahan uretra, laserasi, dsb
Penilaian rectum :
- Perdarahan rectum
- Tonus spintcherani
- Utuhnya dinding rectum
- Fragmen tulang
- Posisi prostat
6) Musculoskeletal
Penilaian:
Inspeksi lengan dan tungkai akan adanya trauma
tumpul/tajam, termasuk adanya laserasi kontusio dan
deformotas.
Palpasi lengan dan tungkai akan adanya nyeri tekan, krepitasi,
pergrakan abnormal, dan sesnsorik.
Palpasi semua arteri perifer untuk kuatnya pulsasi dan
ekualitas.
Nilai pelvis untuk adanya fraktur dan perdarahan
Inspeksi dan palpasi vertebra thorakalis dan lumbalis untuk
adanya trauma tajam/tumpul, termasuk adanya kontsio,
laserasi, nyeri tekan, deformitas, dan sensorik.
7) Neurologis
Penilaian:
Re-evaluasi pupil dan tingkat kesadaran.
Tentukan skor GCS
Evaluasi motoric dan sensorik dari keempat ekstremitas
Tentukan adanya tanda lateralisasi
• Penanganan luka
Perdarahan dihentikan
Luka ditutup
• Monotoring, TTV
Ada banyak hal yang menyebabkan kesadaran menurun. Gangguan pada sistem saraf
pusat (SSP) dapat berasal dari gangguan structural dari dalam SSP atau gangguan
metabolic dari luar SSP. Gangguan structural biasanya mengakibatkan gangguan
parsial yang dapat bermanifestasi pada sisi tertentu saja. Gangguan metabolic,
misalnya hipoglikemia atau hipoksia, mempengaruhi seluruh bagian otak.
1. Penyebab struktural
2. Penyebab metabolik
Penyebab metabolic dapat dibagi dua, eksternal dan internal. Contoh dari
penyebab metabolic eksternal adalah keracunan, overdosis, alcohol abuse,
kondisi lingkungan seperti hipotermia dan hipertermia, infeksi pada SSP.
Contoh dari penyebab internal adalah semua kondisi pernapasan atau sirkulasi
yang berakibat hipoksia atau hipoperfusi otak, status diabetic (terutama
hipoglikemia), gagal hari atau ginjal yang mengakibatkan penumpukan
substansi toksik.
a) Diabetes
Hipoglikemia diabetic
Ketoasidosis diabetic
Ketika tubuh kekurangan insulin, tubuh membakar lemak untuk energy karena
glukosa dalam darah tidak dipakai sel (hiperglikemia). Bau dari asam lemak
(seperti aseton) dapat ditemukan pada napas pasien. Pasien nampak bernapas
dalam dan cepat untuk mengkompensasi peningkatan keasaman darah. Akibat
dari hiperglikemia tadi, glukosa dikeluarkan di urin sambil menarik air,
mengakibatkan peningkatan jumlah urin dan pasien menjadi dehidrasi, kering,
dan haus.
Gejala secara umum pada pasien dengan emergensi diabetic (baik
hipoglikemia atau hiperglikemia) sebagai berikut:
Penurunan kesadaran
Pulsasi cepat
Pernapasan cepat, dalam (lebih banyak pada hiperglikemia)
Lemah
Berkeringat
Kulit hangat, kering (hiperglikemia) atau kulit dingin, lembab (hipoglikemia)
Mual, muntah (hiperglikemia)
Sakit kepala
Kejang (hipoglikemia berat)
Koma
b) Stroke
a. Stroke hemoragik
b. Stroke iskemik
Stroke iskemik terjadi akibat oklusi total dari arteri di otak. Oklusi bisa
berasal dari thrombus yang terbentuk pada dinding arteri dalam otak itu
sendiri (cerebral thrombosis) atau thrombus yang berasal dari pembuluh
darah lain dalam tubuh yang bermigrasi ke arteri dalam otak dan terjadi
obstruksi sirkulasi (cerebral embolism).
Differential dignosis :
1. Perdarahan epidural
Epidural Hematom adalah perdarahan intrakranial yang terjadi karena
fraktur tulang tengkorak dalam ruang antara tabula interna kranii dengan
duramater.Hematoma epidural merupakan gejala sisa yang serius akibat
cedera kepala dan menyebabkan angka mortalitas sekitar 50%. Hematoma
epidural paling sering terjadi di daerah perietotemporal akibat robekan arteria
meningea media.
Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara duramater
dan araknoid, biasanya sering di daerah frontal, pariental dan temporal.Pada
subdural hematoma yang seringkali mengalami pendarahan ialah “bridging
vein” , karena tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik pada otak.
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas
hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi
“bridging vein”.
Epidural hematom utamanya disebabkan oleh gangguan struktur
duramater dan pembuluh darah kepala biasanya karena fraktur.Akibat trauma
kapitis,tengkorak retak.Fraktur yang paling ringan, ialah fraktur linear.Jika
gaya destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang berupa bintang
(stelatum), atau fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke
dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak
(laserasio).Pada pendarahan epidural yang terjadi ketika pecahnya pembuluh
darah, biasanya arteri, yang kemudian mengalir ke dalam ruang antara
duramater dan tengkorak. Sedangkan pada subdural hematom. keadaan ini
timbul setelah trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang
mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural . Pergeseran
otak pada akselerasi dan de akselerasi bisa menarik dan memutuskan vena-
vena.Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu akselerasi
tengkorak ke arah dampak dan pergeseran otak ke arah yang berlawanan
dengan arah dampak primer.Akselerasi kepala dan pergeseran otak yang
bersangkutan bersifat linear.Maka dari itu lesi-lesi yang bisaterjadi dinamakan
lesi.
Penanganan darurat :
Dekompresi dengan trepanasi sederhana
Terapi medikamentosa
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1 cm
EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan GCS
8 atau kurang
2. SUBDURAL HEMATOM
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan pada pasien SDH, tentu kita
harus memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya. Dalam masa
mempersiapkan operasi, perhatiaan hendaknya ditujukan kepada pengobatan dengan
medika mentosa untuk menurunkan peningkatan tekanan intracranial. Seperti
pemberian mannitol 0,25 gr/kgBBatau furosemide 10 mg intavena,
dihiperventilasikan.
Tidakan operatif
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan ada gejala- gejala yang
progresif maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran
hematom. Tetapi seblum diambil kepetusan untuk tindakan operasi yang harus kita
perhatikan adalah airway, breathing, dan circulatioan.
Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah
a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10 mm atau pergeseran
midline shift >5 mm pada CT-Scan
b. Semua pasien SDH dengan GCS <9 harus dilakukan monitoring TIK
c. Pasien SDH dengan GCS <9, dengan ketebalan perdarahan <10 mm dan
pergerakan struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS >2 poin antara saat
kejadian sampai saat masuk rumah sakit.
d. Pasien SDH dengan GCS<9, dan atau didapatkan pupil dilatasi asimetris/fixed
e. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan /atau TIK >20 mmhg
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy. Tindakan yang
paling banyak diterima karena minimal komplikasi.
Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara cepat dan
local anastesi
Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang infasih
dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi.
3. Edema serebri
DAFTAR PUSTAKA