Referat DR Aritantri - Hipertensi
Referat DR Aritantri - Hipertensi
HIPERTENSI
Oleh:
Shafa Zuhurlia Darmasakya G99172151
Reinaldo Bobby Yuwono G991902046
Naufal Aminur Rahman G991906027
Rahel Permata HS G991906028
Risna Annisa M G991906029
Pembimbing
HIPERTENSI
Oleh:
Shafa Zuhurlia Darmasakya G99172151
Reinaldo Bobby Yuwono G991902046
Naufal Aminur Rahman G991906027
Rahel Permata HS G991906028
Risna Annisa M G991906029
Pembimbing
A. Definisi
Definisi hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan keadaan
peningkatan tekanan darah sistolik lebh dari 140 mmHg dan tekanan diastolic
lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit
dalam keadaan cukup istirahat/ tenang. Peningkatan tekanan darah dalam waktu
lama (persisten) dapat menyebabkan kerusakan organ seprti jantung (penyakit
jantung), ginjal (gagal ginjal), dan otak (stroke)1
Hipertensi merupakan “silent killer” (pembunuh diam-diam) yang secara
luas dikenal sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat umum. Dengan
meningkatnya tekanan darah dan gaya hidup yang tidak seimbang dapat
meningkatkan faktor risiko munculnya berbagai penyakit seperti arteri koroner,
gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal. Salah satu studi menyatakan pasien yang
menghentikan terapi anti hipertensi maka lima kali lebih besar kemungkinannya
terkena stroke.2
Hipertensi dianggap sebagai faktor risiko utama stroke, dimana stroke
merupakan penyakit yang sulit disembuhkan dan mempunyai dampak yang sangat
luas terhadap kelangsungan hidup penderita dan keluarganya. Hipertensi sistolik
dan distolik terbukti berpengaruh pada stroke. Dikemukakan bahwa penderita
dengan tekanan diastolik di atas 95 mmHg mempunyai risiko dua kali lebih besar
untuk terjadinya infark otak dibanding dengan tekanan diastolik kurang dari 80
mmHg, sedangkan kenaikan sistolik lebih dari 180 mmHg mempunyai risiko tiga
kali terserang stroke iskemik dibandingkan dengan dengan tekanan darah kurang
140 mmHg. Akan tetapi pada penderita usia lebih 65 tahun risiko stroke hanya 1,5
kali daripada normotensi.3,4
B. Etiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam.
Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui (essensial atau
hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di
kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai
penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab
hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder
dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara
potensial.5
1. Hipertensi primer (essensial)
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial
(hipertensi primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi essensial merupakan
95% dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa mekanisme yang mungkin
berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum
satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut.
Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya
menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis
hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi
tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan
timbulnya hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang
mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga di dokumentasikan adanya
mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric
oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen.6
2. Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit
komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah (lihat
tabel 1). Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau
penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering.7 Obat-obat
tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau
memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Obat-obat ini dapat
dilihat pada tabel 1. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan
menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati / mengoreksi kondisi
komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan
hipertensi sekunder.5
Penyakit Obat Obat
1. penyakit ginjal kronis 1. Kortikosteroid, ACTH
2. hiperaldosteronisme primer 2. Estrogen (biasanya pil KB dg
3. penyakit renovaskular kadar estrogen tinggi)
4. sindroma Cushing 3. NSAID, cox-2 inhibitor
5. pheochromocytoma 4. Fenilpropanolamine dan analog
6. koarktasi aorta 5. Cyclosporin dan tacrolimus
7. penyakit tiroid atau paratiroid 6. Eritropoetin
7. Sibutramin
8. Antidepresan (terutama
venlafaxine)
Tabel 2.1: Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi.5
C. Klasifikasi Hipertensi
Seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah sistolik
≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan
yang berulang. Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang
menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi.8 Adapun pembagian derajat
keparahan hipertensi pada seseorang merupakan salah satu dasar penentuan
tatalaksana hipertensi
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan utama pada pasien dengan hipertensi adalah perbaikan
gaya hidup. Penatalaksanaan dibagi menjadi dua yaitu farmakologis dan non
farmakologis.
a. Nonfarmakologis
Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan tekanan
darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan risiko
permasalahan kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat
1, tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat
merupakan tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 –
6 bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan
tekanan darah yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular
yang lain, maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi. Cara
tersebut antara lain adalah :
1) Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan
memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan dapat
memberikan manfaat yang lebih selain penurunan tekanan darah,
seperti menghindari diabetes dan dyslipidemia.8
2) Mengurangi asupan garam. Di negara kita, makanan tinggi garam
dan lemak merupakan makanan tradisional pada kebanyakan
daerah. Tidak jarang pula pasien tidak menyadari kandungan
garam pada makanan cepat saji, makanan kaleng, daging olahan
dan sebagainya. Tidak jarang, diet rendah garam ini juga
bermanfaat untuk mengurangi dosis obat antihipertensi pada
pasien hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan garam tidak
melebihi 2 gr/ hari.8
3) Olah raga. Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 –
60 menit/ hari, minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan
tekanan darah. Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu untuk
berolahraga secara khusus, sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk
berjalan kaki, mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam
aktifitas rutin mereka di tempat kerjanya. 8
4) Mengurangi konsumsi alcohol. Walaupun konsumsi alcohol belum
menjadi pola hidup yang umum di negara kita, namun konsumsi
alcohol semakin hari semakin meningkat seiring dengan
perkembangan pergaulan dan gaya hidup, terutama di kota besar.
Konsumsi alcohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas
per hari pada wanita, dapat meningkatkan tekanan darah. Dengan
demikian membatasi atau menghentikan konsumsi alcohol sangat
membantu dalam penurunan tekanan darah.2
5) Berhenti merokok. Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti
berefek langsung dapat menurunkan tekanan darah, tetapi
merokok merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit
kardiovaskular, dan pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti
merokok.2
b. Farmakologis
Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien
hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah >
6 bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat
≥ 2. Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu diperhatikan untuk
menjaga kepatuhan dan meminimalisasi efek samping, yaitu:2
1) Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal
2) Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya
3) Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun ) seperti pada
usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid
4) Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor
(ACE-i) dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs)
5) Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi
farmakologi
6) Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur.
Tekanan darah tinggi berkaitan dengan diabetes mellitus tipe 1 maupun tipe 2. Selain
itu masked hypertension dan tekanan darah yang turun saat malam hari tidak jarang terjadi
pada penderita diabetes. Pengawasan ABPM (Ambulatory Blood Pressure Monitoring)
selama 24 jam pada orang normitensi dengan diabetes, dapat digunakan sebagai prosedur
diagnostic, terutama pada HMOD (Hypertension Mediated Organ Damage). Menurunkan
tekanan darah pada penderita diabetes mellitus berguna untuk mengurangi komplikasi
mikrovaskular dan makrovaskular.8
Inisiasi pengobatan hipertensi direkomendasikan ketika tekanan darah > 140/90
mmHg bersamaan dengan perubahan pola hidup, pengobatan diawali secara monoterapi.
Terapi kombinasi diberikan jika target terapi tidak tercapai dengan monoterapi.2
Pengobatan kombinasi menggunakan kombinasi 2 obat yaitu dari golongan ACE
Inhibitor atau ARB dengan CCB atau thiazid, dan pengobatan meningkat sesuai dengan
rekomendasi algoritma. Pendekatan ini memastikan bahwa pengobatan menggunakan
ACE inhibitor atau ARB dapat mengurangi albuminuria lebih efektif daripada golongan
obat lain. Kombinasi ACE inhibitor dengan ARB merupakan sebuah kontraindikasi
karena dapat mempengaruhi ginjal secara berlebihan.8
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengobatan hipertensi pada
penderita diabetes mellitus:2
1. Penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II (ARB), dan antagonis
kalsium golongan non-dihiropiridin dapat memperbaiki albuminuria
2. Penghambat ACE dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular
3. Kombinas penghambat ACE (ACEi) dengan penyekat reseptor angiotensin II
(ARB) tidak dianjurkan.
4. Pemberian diuretic (HCT) dosis rendah jangka panjang, tidak terbukti
memperburuk toleransi glukosa.
5. Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah tercapai
6. Tekanan darah yang terkendali setelah satu tahun pengobatan, dapat dicoba
menurunkan dosis secara bertahap.
7. Pada orang tua, tekana darah diturunkan secara bertahap.
Gambar 3.1 Algoritma tatalaksana hipertensi pada pasien diabetes melitus dan
gagal ginjal.12
C. Krisis Hipertensi
Gejala dari hipertensi emergensi sebenarnya tergantung dari organ target, tapi
gejala umum yang muncul biasanya bisa berupa sakit kepala, gangguan penglihatan, nyeri
dada, sesak nafas, pusing, dan gejala defisit saraf lainnya. Pada pasien dengan hipertensi
ensefalopati, tanda-tanda somnolen, letargi, kejang tonik klonik, dan buta kortikal
biasanya didahului dengan hilangnya kesadaran; walaupun, lesi fokal neurologikal cukup
jarang terjadi dan harusnya meningkatkan kecurigaan terhadap stroke 13.
Penyebutan ‘Hipertensi urgensi’ juga mampu digunakan untuk mendeskripsikan
hipertensi berat yang muncul pada pasien dalam keadaan emergensi yang tidak didapati
bukti klinis mengenai kerusakan organ akut karena hipertensi. Selagi pasien tersebut
membutuhkan penurunan tekanan darah, mereka biasanya tidak harus dilarikan ke rumah
sakit. Cara penurunan tekanan darah yang paling baik adalah melalui oral. Bagaimanapun
juga, pasien rawat jalan harus mendapatkan pengawasan yang baik untuk memastikan
tekanan darahnya terkontrol dengan baik9.
Kenaikan tekanan darah yang akut dan berat, terkadang muncul melalui konsumsi
simpatomimetik seperti meta-amfetamin atau kokain. Hal ini dapat menimbulkan
hipertensi emergensi jika didapati bukti adanya kerusakan organ akut yang disebabkan
hipetensi9.
Hal ini membuktikan bahwa banyak pasien kegawatan dengan nyeri akut atau
distress akan mengalami kenaikan tekanan darah akut dan akan kembali ke normal ketika
nyeri dan distress tersebut hilang, dibandingkan kita harus kesulitan dengan intervensi
spesifik terkait penurunan tekanan darahnya. Di bawah ini adalah guideline umum terkait
penanganan pasien dengan lonjakan tekanan darah mendadak:
Gambar 3.5 Diagnosis dan manajemen krisis hipertensi9
Untuk pasien dengan hipertensi emergensi, tes diagnostik yang bisa dilakukan adalah
sebagaimana tabel berikut:
Baik tekanan darah sistol maupun tekanan darah diastol meningkat sesuai
dengan meningkatnya umur. Tekanan darah sistol meningkat secara progresif
sampai umur 70-80 tahun, sedangkan tekanan darah diastol meningkat sampai
umur 50-60 tahun dan kemudian cenderung menetap atau sedikit menurun.
Kombinasi perubahan ini sangat mungkin mencerminkan adanya kekakuan
pembuluh darah dan penurunan kelenturan (compliance) arteri dan ini
mengakibatkan peningkatan tekanan nadi sesuai dengan umur. Seperti diketahui,
takanan nadi merupakan predictok terbaik dari adanya perubahan struktural di
dalam arteri. Mekanisme pasti hipertensi pada lanjut usia belum sepenuhnya jelas9.
Efek utama dari ketuaan normal terhadap sistem kardiovaskuler meliputi
perubahan aorta dan pembuluh darah sistemik. Penebalan dinding aorta dan
pembuluh darah besar meningkat dan elastisitas pembuluh darah menurun sesuai
umur. Perubahan ini menyebabkan penurunan compliance aorta dan pembuluh
darah besar dan mengakibatkan pcningkatan TDS. Penurunan elastisitas pembuluh
darah menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler perifer9.
Sensitivitas baroreseptor juga berubah dengan umur. Perubahan mekanisme
refleks baroreseptor mungkin dapat menerangkan adanya variabilitas tekanan
darah yang terlihat pada pemantauan terus menerus. Penurunan sensitivitas
baroreseptor juga menyebabkan kegagalan refleks postural, yang mengakibatkan
hipertensi pada lanjut usia sering terjadi hipotensi ortostatik9.
Perubahan keseimbangan antara vasodilatasi adrenergik-β dan
vasokonstriksi adrenergik-α akan menyebabkan kecenderungan vasokontriksi dan
selanjutnya mengakibatkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan
tekanan darah. Resistensi Na akibat peningkatan asupan dan penurunan sekresi
juga berperan dalam terjadinya hipertensi. Walaupun ditemukan penurunan renin
plasma dan respons renin terhadap asupan garam, sistem renin-angiotensin tidak
mempunyai peranan utama pada hipertensi pada lanjut usia9.
Perubahan-perubahan di atas bertanggung jawab terhadap penurunan curah
jantung (cardiac output), penurunan denyut jantung, penurunan kontraktilitas
miokard, hipertrofi ventrikcl kiri, dan disfungsi diastolik. Ini menyebabkan
penurunan fungsi ginjal dengan penurunan perfusi ginjal dan laju filtrasi
glomerulus9.
Diagnosis hipertensi pada geriatri
Pada semua umur, diagnosis hipertensi memerlukan pengukuran berulang
dalam keadaan istirahat, tanpa ansietas, kopi, alkohol, atau merokok. Namun
demikian, salah diagnosis lebih sering terjadi pada lanjut usia, terutama
perempuan9.
Panjang cuff mungkin tidak cukup untuk orang gemuk atau berlebihan atau
orang terlalu kurus. Penurunan sensitivitas reflex baroreseptor sering
menyebabkan fluktuasi tekanan darah dan hipotensi postural. Fluktuasi akibat
ketegangan (hipertensi jas putih = white coat hypertension) & latihan fisik juga
lebih sering pada lanjut usia. Arteri yang kaku akibat arterosklerosis menyebabkan
tekanan darah terukur lebih tinggi. Kesulitan pengukuran tekanan darah dapat
diatasi dengan cara pengukuran ambulatory9.
Bulpitt menganjurkan bahwa sebelum menegakkan diagnosis hipertensi
pada lanjut usia, hendaknya paling sedikit dilakukan pemeriksaan di klinik
sebanyak tiga kali dalam waktu yang berbeda dalam beberapa minggu 13.
Gejala hipertensi yang sering ditemukan pada lanjut seperti ditemukan pada
the SYST-EUR trial adalah: 25% dari 437 perempuan dan 21% dari 204 laki-laki
menunjukkan keluhan. Gejala yang menonjol yang ditemukan pada penderita
perempuan dibandingkan penderita laki-laki adalah; nyeri sendi tangan (35% pada
perempuan vs. 22% pada laki-laki), berdebar (33% vs. 17%), mata kering (16% vs.
6%), penglihatan kabur (35% vs. 23%), kramp pada tungkai (43% vs. 31%), nyeri
tenggorok (15% vs. 7%), Nokturia merupakan gejala tersering pada kedua jenis
kelamin, 68%13.
Penatalaksanaan hipertensi pada geriatric.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa pentingnya terapi hipertensi pada
lanjut usia; dimana terjadi penurunan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit
kardiovaskuler dan serebrovaskuler. Sebelum diberikan pengobatan, pemeriksaan
tekanan darah pada lanjut usia hendaknya dengan perhatian khusus, mengingat
beberapa orang lanjut usia menunjukkan pseudohipertensi (pembacaan
spigmomanometer tinggi palsu) akibat kekakuan pembuluh darah yang berat.
Khususnya pada perempuan sering ditemukan hipertensi jas putih dan sangat
bervariasinya TDS14.
Target therapy hipertensi pada geriatri9.
Pada hipertensi lanjut usia, penurunan TDD hendaknya
mempertimbangkan aliran darah ke otak, jantung dan ginjal. Sasaran yang diajukan
pada JNC VI dimana pengendalian tekanan darah (TDS<140 mmHg dan
TDD<90mmHg) tampaknya terlalu ketat untuk penderita lanjut usia. Sys-Eur trial
merekomendasikan penurunan TDS < 160 mmHg sebagai sasaran intermediet
tekanan darah, atau penurunan sebanyak 20 mmHg dari tekanan darah awal.
Modifikasi pola hidup untuk penanganan hipertensi pada geriatric13.
Mengubah pola hidup/intervensi nonfarmakologis pada penderita
hipertensi lanjut usia, seperti halnya pada semua penderita, sangat menguntungkan
untuk menurunkan tekanan darah. Beberapa pola hidup yang harus diperbaiki
adalah : menurunkan berat badan jika ada kegemukan, mengurangi minum alcohol,
meningkatkan aktivitas fisik aerobik, mengurangi asupan garam, mempertahankan
asupan kalium yang adekuat, mempertahankan asupan kalsium dan magnesium
yang adekuat, menghentikan merokok, mengurangi asupan lemak jenuh dan
kolesterol. Seperti halnya pada orang yang lebih muda, intervensi nonfarmakologis
ini harus dimulai sebelum menggunakan obat-obatan.
Terapi farmakologis penanganan hipertensi pada geriatric9.
Umur dan adanya penyakit merupakan faktor yang akan mempengaruhi
metabolisme dan distribusi obat, karenanya harus dipertimbangkan dalam
memberikan obat antihipertensi. Hendaknya pemberian obat dimulai dengan dosis
kecil dan kemudian ditingkatkan secara perlahan.
Menurut JNC VI pilihan pertama untuk pengobatan pada penderita
hipertensi lanjut usia adalah diuretik atau penyekat beta. Pada HST,
direkomendasikan penggunaan diuretic dan antagonis kalsium. Antagonis kalsium
nikardipin dan diuretic tiazid sama dalam menurunkan angka kejadian
kardiovaskuler.
Adanya penyakit penyerta lainnya akan menjadi pertimbangan dalam
pemilihan obat antihipertensi. Pada penderita dengan penyakit jantung koroner,
penyekat beta mungkin sangat bermanfaat; namun demikian terbatas
penggunaannya pada keadaan-keadaan seperti penyakit arteri tepi, gagal jantung/
kelainan bronkus obstruktif.
Pada penderita hipertensi dengan gangguan fungsi jantung dan gagal
jantung kongestif, diuretik, penghambat ACE (angiotensin convening enzyme) atau
kombinasi keduanya merupakan ptlihan terbaik.
Obat-obatan yang menyebabkan perubahan tekanan darah postural
(penyekat adrenergik perifer, penyekat alfa dan diuretik dosis tinggi) atau obat-
obatan yang dapat menyebabkan disfungsi kognitif (agonis a 2 sentral) harus
diberikan dengan hati-hati. Karena pada lanjut usia sering ditemukan penyakit lain
dan pemberian lebih dari satu jenis obat, maka perlu diperhatikan adanya interaksi
obat antara antihipertensi dengan obat lainnya.
Obat yang potensial memberikan efek antihipertensi misalnya : obat anti
psikotik tcrutama fenotiazin, antidepresan khususnya trisiklik, L-dopa,
benzodiapezin, baklofen dan alkohol.
Obat yang memberikan efek antagonis antihipertensi adalah: kortikosteroid
dan obat antiinflamasi nonsteroid. Interaksi yang menyebabkan toksisitas adalah:
(a) tiazid: teofilin meningkatkan risiko hipokalemia, lithium risiko toksisitas
meningkat, karbamazepin risiko hiponatremia menurun; (b) Penyekat beta:
verapamil menyebabkan bradikardia, asistole, hipotensi, gagal jantung; digoksin
memperberat bradikardia, obat hipoglikemik oral meningkatkan efek
hipoglikemia, menutupi tanda peringatan hipoglikemia.
Dosis beberapa obat diuretic penyekat beta, penghambat ACE, penyekat
kanal kalsium, dan penyakat alfa yang dianjurkan pda penderita hipertensi pada
lanjut usia adalah sebagai berikut. Dosis obat-obat diuretic (mg/hari) msialnya:
bendrofluazid 1,25- 2,5, klortiazid 500-100, klortalidon 25-50, hidroklortiazid
12,5-25, dan indapamid SR 1,5. Dosis obat-oabat penyekat beta yang
direkomendasikan adalah: asebutolol 400 mg sekali atau dua kali sehari, atenolol
50 mg sekali sehari, bisoprolol 10-20 mg sekali sehari, celiprolol 200-400 mg
sekali sehari, metoprolol 100-2000 mg sekali sehari, oksprenolol 180-120 mg dua
kali sehari, dan pindolol 15-45 mg sekali sehari.
Dosis obat-obat penghambat ACE yang direkomendasikan adalah:
kaptopril 6,25-50 mg tiga kali sehari, lisinopril 2,5-40 mg sekali sehari, perindropil
2-8 mg sekali sehari, quinapril 2,5-40 mg sekali sehari, ramipril 1,25-10 mg sekali
sehari. Dosis obat-obat penyakat kanal kalsium yang dianjurkan adalah: amlodipin
5-10 mg sekali sehari, diltiazem 200 mg sekai sehari, felodipin 5-20 mg sekali
sehari, nikardipin 30 mg dua kali sehari, nifedipin 30-60 mg sekali sehari,
verapamil 120-240 mg dua kali sehari. Dosis obat-obat penyakat alfa yang
dianjurkan adalah; doksazosin 1-16 mg sekali sehari, dan prazosin 0,5 mg sehari
sampai 10 mg dua kali sehari.
DAFTAR PUSTAKA
2001;56A:M217-5.