Anda di halaman 1dari 30

REFERENSI ARTIKEL

HIPERTENSI

Oleh:
Shafa Zuhurlia Darmasakya G99172151
Reinaldo Bobby Yuwono G991902046
Naufal Aminur Rahman G991906027
Rahel Permata HS G991906028
Risna Annisa M G991906029

Pembimbing

Dr. Aritantri Darmayani, MSc, Sp.PD, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Referat Ilmu Penyakit Dalam dengan judul:

HIPERTENSI

Oleh:
Shafa Zuhurlia Darmasakya G99172151
Reinaldo Bobby Yuwono G991902046
Naufal Aminur Rahman G991906027
Rahel Permata HS G991906028
Risna Annisa M G991906029

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal: Juli 2019

Pembimbing

Dr. Aritantri Darmayani, MSc, Sp.PD, FINASIM


DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 4


BAB II HIPERTENSI ............................................................................................. 5
A. Definisi ........................................................................................................ 7
B. Etiologi ........................................................................................................ 7
C. Epidemiologi ............................................................................................... 8
D. Patogenesis .................................................................................................. 9
E. Manifestasi Klinis ...................................................................................... 11
F. Diagnosis ................................................................................................... 13
G. Diagnosis Banding..................................................................................... 16
H. Penatalaksanaan ......................................................................................... 18
I. Komplikasi ................................................................................................ 24
J. Pencegahan ................................................................................................ 25
K. Prognosis ................................................................................................... 27
BAB IV RINGKASAN ......................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 30
BAB I
PENDAHULUAN

Hipertensi adalah salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas di


Indonesia, sehingga tatalaksana penyakit ini merupakan intervensi yang sangat umum
dilakukan diberbagai tingkat fasilitas kesehatan. Hipertensi merupakan “silent killer”
(pembunuh diam-diam) yang secara luas dikenal sebagai penyakit kardiovaskular yang
sangat umum. Dengan meningkatnya tekanan darah dan gaya hidup yang tidak
seimbang dapat meningkatkan faktor risiko munculnya berbagai penyakit seperti arteri
koroner, gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal. Salah satu studi menyatakan pasien
yang menghentikan terapi anti hipertensi maka lima kali lebih besar kemungkinannya
terkena stroke.
Sampai saat ini hipertensi tetap menjadi masalah karena beberapa hal, antara
lain meningkatnya prevalensi hipertensi yang belum mendapat pengobatan maupun
yang sudah diobati tetapi tekanan darahnya belum mencapai target, serta adanya
penyakit penyerta dan komplikasi yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortilitas.
Data epidemiologis menunjukkan bahwa dengan makin meningkatnya
populasi usia lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar akan
bertambah, dimana baik hipertensi sistolik maupun kombinasi hipertensi sistolik dan
diastolik sering timbul pada lebih dari separuh orang yang berusia >65 tahun. Selain
itu, laju pengendalian tekanan darah yang dahulu terus meningkat, dalam dekade
terakhir tidak menunjukkan kemajuan lagi. Dan pengendalian tekanan darah ini hanya
mencapai 34% dari seluruh pasien hipertensi.
Data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari negara-negara yang
sudah maju. Data dari The National Health and Nutrition examination survey
(NHNES) menunjukan bahwa tahun 1999-2000, insiden hipertensi pada orang dewasa
adalah sekitar 9-31%, yang berarti terdapat 58-65 juta orang hipertensi di Amerika,
dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHANES III tahun 1988-1991. Hipertensi
esensial sendiri merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi.
BAB II
HIPERTENSI

A. Definisi
Definisi hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan keadaan
peningkatan tekanan darah sistolik lebh dari 140 mmHg dan tekanan diastolic
lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit
dalam keadaan cukup istirahat/ tenang. Peningkatan tekanan darah dalam waktu
lama (persisten) dapat menyebabkan kerusakan organ seprti jantung (penyakit
jantung), ginjal (gagal ginjal), dan otak (stroke)1
Hipertensi merupakan “silent killer” (pembunuh diam-diam) yang secara
luas dikenal sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat umum. Dengan
meningkatnya tekanan darah dan gaya hidup yang tidak seimbang dapat
meningkatkan faktor risiko munculnya berbagai penyakit seperti arteri koroner,
gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal. Salah satu studi menyatakan pasien yang
menghentikan terapi anti hipertensi maka lima kali lebih besar kemungkinannya
terkena stroke.2
Hipertensi dianggap sebagai faktor risiko utama stroke, dimana stroke
merupakan penyakit yang sulit disembuhkan dan mempunyai dampak yang sangat
luas terhadap kelangsungan hidup penderita dan keluarganya. Hipertensi sistolik
dan distolik terbukti berpengaruh pada stroke. Dikemukakan bahwa penderita
dengan tekanan diastolik di atas 95 mmHg mempunyai risiko dua kali lebih besar
untuk terjadinya infark otak dibanding dengan tekanan diastolik kurang dari 80
mmHg, sedangkan kenaikan sistolik lebih dari 180 mmHg mempunyai risiko tiga
kali terserang stroke iskemik dibandingkan dengan dengan tekanan darah kurang
140 mmHg. Akan tetapi pada penderita usia lebih 65 tahun risiko stroke hanya 1,5
kali daripada normotensi.3,4
B. Etiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam.
Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui (essensial atau
hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di
kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai
penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab
hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder
dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara
potensial.5
1. Hipertensi primer (essensial)
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial
(hipertensi primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi essensial merupakan
95% dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa mekanisme yang mungkin
berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum
satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut.
Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya
menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis
hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi
tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan
timbulnya hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang
mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga di dokumentasikan adanya
mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric
oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen.6
2. Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit
komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah (lihat
tabel 1). Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau
penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering.7 Obat-obat
tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau
memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Obat-obat ini dapat
dilihat pada tabel 1. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan
menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati / mengoreksi kondisi
komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan
hipertensi sekunder.5
Penyakit Obat Obat
1. penyakit ginjal kronis 1. Kortikosteroid, ACTH
2. hiperaldosteronisme primer 2. Estrogen (biasanya pil KB dg
3. penyakit renovaskular kadar estrogen tinggi)
4. sindroma Cushing 3. NSAID, cox-2 inhibitor
5. pheochromocytoma 4. Fenilpropanolamine dan analog
6. koarktasi aorta 5. Cyclosporin dan tacrolimus
7. penyakit tiroid atau paratiroid 6. Eritropoetin
7. Sibutramin
8. Antidepresan (terutama
venlafaxine)
Tabel 2.1: Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi.5

C. Klasifikasi Hipertensi
Seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah sistolik
≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan
yang berulang. Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang
menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi.8 Adapun pembagian derajat
keparahan hipertensi pada seseorang merupakan salah satu dasar penentuan
tatalaksana hipertensi

Tabel 2.2 Pembagian hipertensi.2


D. Manifestasi Klinis
Gejala yang paling sering muncul pada hipertensi adalah adalah nyeri
kepala. Hipertensi yang meningkat dengan cepat dapat menimbulkan gejala
seperti somnolen, bingung, gangguan penglihatan, mual dan muntah.Pada
aldosteronism primer, pasien merasakan lemas otot, polyuria, da nocturia karena
hypokalemia. Hipertensi kronik sering menyebabkan pembesaran jatung kiri,
yang dapat menimbulkan gejala sesak napas yang berhubungan dengan aktivitas
dan paroxysmal nocturnal dyspnea. Keterlibatan cerebral karena stroke yang
disebabkan oleh trombosis atau hemoragik dari mikroaneurisma9.

Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan bentuk tubuh, termasuk berat


dan tinggi badan. Pada pemeriksaan awal, tekanan darah diukur pada kedua
lengan, dan lebih baik dikukur pada posisi terlentang, duduk, dan berdiri untuk
mengevaluasi hipotensi postural. Dilakukan palpasi leher untuk mempalpasi dari
pembesaran tiroid dan penilaian terhadap tanda hipotiroid atau hipertiroid.
Pemeriksaan pada pembuluh darah dapat dilakukan dengan funduskopi,
auskultasi untuk mencari bruit pada arteri karotis. Retina merupakan jaringan
yang arteri dan arteriolnya dapat diperiksa dengan seksama. Seiring dengan
peningkatan derajat beratnya hipertensi dan penyakit aterosklerosis, pada
pemeriksaan funduskopi dapat ditemukan peningkatan reflex cahaya arteriol,
hemoragik, eksudat, dan papiledema. Pemeriksaan pada jantung dapat ditemukan
pengerasan dari bunyi jantung ke-2 karena penutuan dari katup aorta dan S4
gallop. Pembesaran jantung kiri dapat dideteksi dengan iktus kordis yang bergeser
ke arah lateral5.
E. Patofisiologi
Tekanan dibutuhkan untuk mengalirkan darah dalam pembuluh darah
yang dilakukan oleh aktivitas memompa jantung (Cardiac Output) dan tonus dari
arteri (peripheral resisten). Faktor-faktor ini menentukan besarnya tekanan darah.
Banyak sekali faktor yang mempengaruhi cardiac output dan resistensi
perifer. Hipertensi terjadi karena kelainan dari salah faktor tersebut. 10

Gambar 2.3. Factor penyebab hipertensi10

Cardiac output berhubungan dengan hipertensi, peningkatan cardiac


output secara logis timbul dari dua jalur, yaitu baik melalui peningkatan cairan
(preload) atau peningkatan kontraktilitas dari efek stimulasi saraf simpatis. Tetapi
tubuh dapat mengkompensasi agar cardiac output tidak meningkat yaitu dengan
cara meningkatkan resistensi perifer. Selain itu konsumsi natrium berlebih dapat
menyebabkan hipertensi karena peningkatan volume cairan dalam pembuluh
darah dan preload, sehingga meningkatkan cardiac output.10
F. Diagnosis
Dalam menegakan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa tahapan
pemeriksaan yang harus dijalani sebelum menentukan terapi atau tatalaksana yang
akan diambil.11
Gambar 2.4 Algoritma diagnosis untuk hipertensi.2

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan utama pada pasien dengan hipertensi adalah perbaikan
gaya hidup. Penatalaksanaan dibagi menjadi dua yaitu farmakologis dan non
farmakologis.
a. Nonfarmakologis
Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan tekanan
darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan risiko
permasalahan kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat
1, tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat
merupakan tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 –
6 bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan
tekanan darah yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular
yang lain, maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi. Cara
tersebut antara lain adalah :
1) Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan
memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan dapat
memberikan manfaat yang lebih selain penurunan tekanan darah,
seperti menghindari diabetes dan dyslipidemia.8
2) Mengurangi asupan garam. Di negara kita, makanan tinggi garam
dan lemak merupakan makanan tradisional pada kebanyakan
daerah. Tidak jarang pula pasien tidak menyadari kandungan
garam pada makanan cepat saji, makanan kaleng, daging olahan
dan sebagainya. Tidak jarang, diet rendah garam ini juga
bermanfaat untuk mengurangi dosis obat antihipertensi pada
pasien hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan garam tidak
melebihi 2 gr/ hari.8
3) Olah raga. Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 –
60 menit/ hari, minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan
tekanan darah. Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu untuk
berolahraga secara khusus, sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk
berjalan kaki, mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam
aktifitas rutin mereka di tempat kerjanya. 8
4) Mengurangi konsumsi alcohol. Walaupun konsumsi alcohol belum
menjadi pola hidup yang umum di negara kita, namun konsumsi
alcohol semakin hari semakin meningkat seiring dengan
perkembangan pergaulan dan gaya hidup, terutama di kota besar.
Konsumsi alcohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas
per hari pada wanita, dapat meningkatkan tekanan darah. Dengan
demikian membatasi atau menghentikan konsumsi alcohol sangat
membantu dalam penurunan tekanan darah.2
5) Berhenti merokok. Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti
berefek langsung dapat menurunkan tekanan darah, tetapi
merokok merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit
kardiovaskular, dan pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti
merokok.2
b. Farmakologis
Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien
hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah >
6 bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat
≥ 2. Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu diperhatikan untuk
menjaga kepatuhan dan meminimalisasi efek samping, yaitu:2
1) Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal
2) Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya
3) Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun ) seperti pada
usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid
4) Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor
(ACE-i) dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs)
5) Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi
farmakologi
6) Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur.

Algoritme tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan berbagai


guidelines memiliki persamaan prinsip, dan dibawah ini adalah algoritme
tatalaksana hipertensi secara umum
Gambar 2.5 Algoritma tatalaksana hipertensi2
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan oleh
JNC 7:

a. Diuretic, terutama jenis Thiazide (Thiaz) Aldosteron Antagonist (Ald Ant)


b. Beta Blocker (BB)
c. Calcium channel blocker atau Calcium antagonist (CCB)
d. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
e. Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 Receptor angiotensint/ blocker (ARB).
BAB III
HIPERTENSI DENGAN PENYAKIT LAIN

A. Hipertensi dengan Diabetes Mellitus

Tekanan darah tinggi berkaitan dengan diabetes mellitus tipe 1 maupun tipe 2. Selain
itu masked hypertension dan tekanan darah yang turun saat malam hari tidak jarang terjadi
pada penderita diabetes. Pengawasan ABPM (Ambulatory Blood Pressure Monitoring)
selama 24 jam pada orang normitensi dengan diabetes, dapat digunakan sebagai prosedur
diagnostic, terutama pada HMOD (Hypertension Mediated Organ Damage). Menurunkan
tekanan darah pada penderita diabetes mellitus berguna untuk mengurangi komplikasi
mikrovaskular dan makrovaskular.8
Inisiasi pengobatan hipertensi direkomendasikan ketika tekanan darah > 140/90
mmHg bersamaan dengan perubahan pola hidup, pengobatan diawali secara monoterapi.
Terapi kombinasi diberikan jika target terapi tidak tercapai dengan monoterapi.2
Pengobatan kombinasi menggunakan kombinasi 2 obat yaitu dari golongan ACE
Inhibitor atau ARB dengan CCB atau thiazid, dan pengobatan meningkat sesuai dengan
rekomendasi algoritma. Pendekatan ini memastikan bahwa pengobatan menggunakan
ACE inhibitor atau ARB dapat mengurangi albuminuria lebih efektif daripada golongan
obat lain. Kombinasi ACE inhibitor dengan ARB merupakan sebuah kontraindikasi
karena dapat mempengaruhi ginjal secara berlebihan.8
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengobatan hipertensi pada
penderita diabetes mellitus:2
1. Penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II (ARB), dan antagonis
kalsium golongan non-dihiropiridin dapat memperbaiki albuminuria
2. Penghambat ACE dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular
3. Kombinas penghambat ACE (ACEi) dengan penyekat reseptor angiotensin II
(ARB) tidak dianjurkan.
4. Pemberian diuretic (HCT) dosis rendah jangka panjang, tidak terbukti
memperburuk toleransi glukosa.
5. Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah tercapai
6. Tekanan darah yang terkendali setelah satu tahun pengobatan, dapat dicoba
menurunkan dosis secara bertahap.
7. Pada orang tua, tekana darah diturunkan secara bertahap.
Gambar 3.1 Algoritma tatalaksana hipertensi pada pasien diabetes melitus dan
gagal ginjal.12

Target Terapi hipertensi pada penderita DM


Terdapat beberapa perbedaan pendapat terhadap target terapi hipertensi
pada diabetes melitus. Tujuan dari pengobatan adalah menurunkan tekanan darah
menjadi di bawah 140/80 mmHg, tekanan darah sistolik berada di angka 130
mmHg. Jika pengobatan berhasil, tekanan darah sistolik dapat dipertimbangkan
menjadi < 130 mmHg karena mampu mengurangi resiko terjadinya stroke.
Namun tekanan darah sistolik < 120mmHg harus dihindari. Tekanan darah
diastole yang harus dicapai adalah angka 80 mmHg.8
Gambar 3.2 Target terapi hipertensi pada penderita diabetes mellitus.8

B. Hipertensi dengan Chronic Kidney Disease (CKD)


Hipertensi merupakan faktor risiko utama dalam timbulnya penyakit gagal
ginjal kronik dan progresifitas penyakit tersebut. Hipertensi dapat ditemukan
secara umum pada pasien dengan gagal ginjal kronik.9
Pasien gagal ginjal kronik dengan tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg,
perlu mendapatkan arahan terkait gaya hidup, seperti pembatasan konsumsi
natrium harian dan terapi pengobatan untuk menurunkan tekanan darah.
Penurunan tekanan darah ke target terapi pada pasien gagal ginjal kronik dapat
mengurangi risiko terjadinya kematian. Penurunan tekanan darah sistolik pada
pasien dengan gagal ginjal kronik berada pada angka 130 – 139 mmHg. Ttekanan
darah sistolik < 120mmHg harus dihindari karena meningkatkan risiko kematian.9

Inisiasi pengobatan hipertensi pada pasien CKD menggunakan obat


hipertensi golongan ARB atau ACE Inhibitor. Terdapat beberapa strategi yang
perlu diperhatikan dalam pengobatan hipertensi pada pasien gagal ginjal kronik:9
1. Maksimalkan dosis pada golongan obat pertama, sebelum
mengombinasikan dengan obat golongan lain atau
2. Kombinasikan obat golongan pertama sebelum penggunaan dosis
maksimal dengan obat golongan lain, seperti CCB atau diuretik.
3. Awali langsung dengan 2 jenis golongan obat hipertensi berbeda atau
FDC (Fixed-Dose Combination)
Penggunaan kombinasi obat ACE Inhibitor dengan ARB merupakan
sebuah kontraindikasi. ARB terbukti lebih efektif dalam mengurangi albuminuria
dibandingan obat hipertensi lainnya. ARB menjadi pilihan pertama pada pasien
CKD dengan microalbuminuria atau proteinuria. Hindari penggunaan obat
golongan thiazid atau thiazide like diuretic, pada pasien CKD dengan nilai
LGFR<30 ml/min/1,73m2, pertimbangkan penggunaan loop diuretik apabila
diperlukan.9
Gambar 3.3 Target terapi hipertensi pada penderita CKD 9

C. Krisis Hipertensi

Krisis hipertensi didefinisikan dengan suatu keadaan peningkatan


tekanan darah yang mendadak (systole ≥180 mmHg dan/atau diastole ≥120
mmHg) pada penderita hipertensi yang membutuhkan penangan segera. Krisis
hipertensi merupakan istilah yang digunakan untuk memberika gambaran
umum terkait hipertensi urgensi dan emergensi. Yang membedakan antara
hipertensi urgensi dan emergensi adalah adanya kerusakan organ target pada
hipertensi emergensi, sehingga diperlukannya tindakan penurunan tekanan
darah yang lebih cepat.13
Presentasi khas pada pasien dengan hipertensi meliputi: 13
a. Pasien dengan malignant hypertension
Ditandai dengan hipertensi berat (biasanya grade 3) yang berhubungan dengan
perubahan funduskopi (flame haemorrhages dan/atau papilloedema),
mikroangiopati, DIC (disseminated intravascular coagulation), dan juga dapat
berhubungan dengan ensefalopati (sekitar 15% dari kasus), gagal jantung
akut, dan penurunan fungsi ginjal akut. Penanda dari kondisi ini adalah adanya
fibrinoid necrosis pada arteri kecil ginjal, retina, dan otak. Kata ‘maligna’
merujuk pada prognosis yang sangat buruk pada kondisi ini jika tidak
tertangani dengan baik.
b. Pasien dengan hipertensi berat yang berhubungan dengan kondisi klinis
lain
Dimana membutuhkan penurunan tekanan darah dengan cepat seperti pada
gagal jantung akut, iskemik akut otot jantung, dan acute aortic dissection.
c. Pasien dengan hipertensi berat mendadak pada phaeochromocytoma
d. Wanita hamil dengan hipertensi berat atau prekeklampsia

Gejala dari hipertensi emergensi sebenarnya tergantung dari organ target, tapi
gejala umum yang muncul biasanya bisa berupa sakit kepala, gangguan penglihatan, nyeri
dada, sesak nafas, pusing, dan gejala defisit saraf lainnya. Pada pasien dengan hipertensi
ensefalopati, tanda-tanda somnolen, letargi, kejang tonik klonik, dan buta kortikal
biasanya didahului dengan hilangnya kesadaran; walaupun, lesi fokal neurologikal cukup
jarang terjadi dan harusnya meningkatkan kecurigaan terhadap stroke 13.
Penyebutan ‘Hipertensi urgensi’ juga mampu digunakan untuk mendeskripsikan
hipertensi berat yang muncul pada pasien dalam keadaan emergensi yang tidak didapati
bukti klinis mengenai kerusakan organ akut karena hipertensi. Selagi pasien tersebut
membutuhkan penurunan tekanan darah, mereka biasanya tidak harus dilarikan ke rumah
sakit. Cara penurunan tekanan darah yang paling baik adalah melalui oral. Bagaimanapun
juga, pasien rawat jalan harus mendapatkan pengawasan yang baik untuk memastikan
tekanan darahnya terkontrol dengan baik9.
Kenaikan tekanan darah yang akut dan berat, terkadang muncul melalui konsumsi
simpatomimetik seperti meta-amfetamin atau kokain. Hal ini dapat menimbulkan
hipertensi emergensi jika didapati bukti adanya kerusakan organ akut yang disebabkan
hipetensi9.
Hal ini membuktikan bahwa banyak pasien kegawatan dengan nyeri akut atau
distress akan mengalami kenaikan tekanan darah akut dan akan kembali ke normal ketika
nyeri dan distress tersebut hilang, dibandingkan kita harus kesulitan dengan intervensi
spesifik terkait penurunan tekanan darahnya. Di bawah ini adalah guideline umum terkait
penanganan pasien dengan lonjakan tekanan darah mendadak:
Gambar 3.5 Diagnosis dan manajemen krisis hipertensi9
Untuk pasien dengan hipertensi emergensi, tes diagnostik yang bisa dilakukan adalah
sebagaimana tabel berikut:

Gambar 3.6 Pemeriksaan penunjang pada pasien krisis hipertensi9

Manajemen Hipertensi Emergensi


Pada dasarnya, tidak ada bukti RCT dalam mengevaluasi model penanganan-
penangan yang berbeda pada hipertensi emergensi. Kunci dari pertimbangan dalam
menjalankan strategi penanganan tersebut meliputi9.
1. Tentukan organ target yang terkena, apakah membutuhkan intervensi spesifik
selain menurunkan tekanan darah atau tidak, dan apakah ada penyebab yang
timbul pada kenaikan tekanan darah secara akut yang mungkin berefek pada
rencana penanganan (contoh: kehamilan)
2. Tentukan jangka waktu dan target angka tertentu dalam penurunan tekanan darah,
agar penurunan tekanan darah dapat berlngsung dengan aman
3. Tentukan perawatan penurunan tekanan darah. Dengan memperhatikan obat yang
digunakan dalam penanganan, pada kasus hipertensi emergensi, penggunaan
intravena dengan obat short-acting adalah hal yang ideal. Karena mampu
melakukan titrasi dengan hari-hati dan akan lebih baik jika ditambah monitoring
haemodinamik secara berkala.

Meskipun intravena merupakan penanganan hipertensi emergensi yang paling


banyak direkomendasikan, oral terapi dengan ACE inhibitor, ARB, atau beta blocker
terkadang juga sangat efektif dalam kasus hipertensi yang sangat berat karena renin
system diaktifkan oleh iskemi pada renal. Bagaimanapun juga, dosis awal yang rendah
harus digunakan karena pasien bisa sangat sensitif terhadap pengobatan ini dan
penanganan harus dilakukan di rumah sakit9.

Gambar 3.7 Penanganan hipertensi emergensi secara spesifik9.


D. Hipertensi pada Geriatri

Baik tekanan darah sistol maupun tekanan darah diastol meningkat sesuai
dengan meningkatnya umur. Tekanan darah sistol meningkat secara progresif
sampai umur 70-80 tahun, sedangkan tekanan darah diastol meningkat sampai
umur 50-60 tahun dan kemudian cenderung menetap atau sedikit menurun.
Kombinasi perubahan ini sangat mungkin mencerminkan adanya kekakuan
pembuluh darah dan penurunan kelenturan (compliance) arteri dan ini
mengakibatkan peningkatan tekanan nadi sesuai dengan umur. Seperti diketahui,
takanan nadi merupakan predictok terbaik dari adanya perubahan struktural di
dalam arteri. Mekanisme pasti hipertensi pada lanjut usia belum sepenuhnya jelas9.
Efek utama dari ketuaan normal terhadap sistem kardiovaskuler meliputi
perubahan aorta dan pembuluh darah sistemik. Penebalan dinding aorta dan
pembuluh darah besar meningkat dan elastisitas pembuluh darah menurun sesuai
umur. Perubahan ini menyebabkan penurunan compliance aorta dan pembuluh
darah besar dan mengakibatkan pcningkatan TDS. Penurunan elastisitas pembuluh
darah menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler perifer9.
Sensitivitas baroreseptor juga berubah dengan umur. Perubahan mekanisme
refleks baroreseptor mungkin dapat menerangkan adanya variabilitas tekanan
darah yang terlihat pada pemantauan terus menerus. Penurunan sensitivitas
baroreseptor juga menyebabkan kegagalan refleks postural, yang mengakibatkan
hipertensi pada lanjut usia sering terjadi hipotensi ortostatik9.
Perubahan keseimbangan antara vasodilatasi adrenergik-β dan
vasokonstriksi adrenergik-α akan menyebabkan kecenderungan vasokontriksi dan
selanjutnya mengakibatkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan
tekanan darah. Resistensi Na akibat peningkatan asupan dan penurunan sekresi
juga berperan dalam terjadinya hipertensi. Walaupun ditemukan penurunan renin
plasma dan respons renin terhadap asupan garam, sistem renin-angiotensin tidak
mempunyai peranan utama pada hipertensi pada lanjut usia9.
Perubahan-perubahan di atas bertanggung jawab terhadap penurunan curah
jantung (cardiac output), penurunan denyut jantung, penurunan kontraktilitas
miokard, hipertrofi ventrikcl kiri, dan disfungsi diastolik. Ini menyebabkan
penurunan fungsi ginjal dengan penurunan perfusi ginjal dan laju filtrasi
glomerulus9.
Diagnosis hipertensi pada geriatri
Pada semua umur, diagnosis hipertensi memerlukan pengukuran berulang
dalam keadaan istirahat, tanpa ansietas, kopi, alkohol, atau merokok. Namun
demikian, salah diagnosis lebih sering terjadi pada lanjut usia, terutama
perempuan9.
Panjang cuff mungkin tidak cukup untuk orang gemuk atau berlebihan atau
orang terlalu kurus. Penurunan sensitivitas reflex baroreseptor sering
menyebabkan fluktuasi tekanan darah dan hipotensi postural. Fluktuasi akibat
ketegangan (hipertensi jas putih = white coat hypertension) & latihan fisik juga
lebih sering pada lanjut usia. Arteri yang kaku akibat arterosklerosis menyebabkan
tekanan darah terukur lebih tinggi. Kesulitan pengukuran tekanan darah dapat
diatasi dengan cara pengukuran ambulatory9.
Bulpitt menganjurkan bahwa sebelum menegakkan diagnosis hipertensi
pada lanjut usia, hendaknya paling sedikit dilakukan pemeriksaan di klinik
sebanyak tiga kali dalam waktu yang berbeda dalam beberapa minggu 13.
Gejala hipertensi yang sering ditemukan pada lanjut seperti ditemukan pada
the SYST-EUR trial adalah: 25% dari 437 perempuan dan 21% dari 204 laki-laki
menunjukkan keluhan. Gejala yang menonjol yang ditemukan pada penderita
perempuan dibandingkan penderita laki-laki adalah; nyeri sendi tangan (35% pada
perempuan vs. 22% pada laki-laki), berdebar (33% vs. 17%), mata kering (16% vs.
6%), penglihatan kabur (35% vs. 23%), kramp pada tungkai (43% vs. 31%), nyeri
tenggorok (15% vs. 7%), Nokturia merupakan gejala tersering pada kedua jenis
kelamin, 68%13.
Penatalaksanaan hipertensi pada geriatric.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa pentingnya terapi hipertensi pada
lanjut usia; dimana terjadi penurunan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit
kardiovaskuler dan serebrovaskuler. Sebelum diberikan pengobatan, pemeriksaan
tekanan darah pada lanjut usia hendaknya dengan perhatian khusus, mengingat
beberapa orang lanjut usia menunjukkan pseudohipertensi (pembacaan
spigmomanometer tinggi palsu) akibat kekakuan pembuluh darah yang berat.
Khususnya pada perempuan sering ditemukan hipertensi jas putih dan sangat
bervariasinya TDS14.
Target therapy hipertensi pada geriatri9.
Pada hipertensi lanjut usia, penurunan TDD hendaknya
mempertimbangkan aliran darah ke otak, jantung dan ginjal. Sasaran yang diajukan
pada JNC VI dimana pengendalian tekanan darah (TDS<140 mmHg dan
TDD<90mmHg) tampaknya terlalu ketat untuk penderita lanjut usia. Sys-Eur trial
merekomendasikan penurunan TDS < 160 mmHg sebagai sasaran intermediet
tekanan darah, atau penurunan sebanyak 20 mmHg dari tekanan darah awal.
Modifikasi pola hidup untuk penanganan hipertensi pada geriatric13.
Mengubah pola hidup/intervensi nonfarmakologis pada penderita
hipertensi lanjut usia, seperti halnya pada semua penderita, sangat menguntungkan
untuk menurunkan tekanan darah. Beberapa pola hidup yang harus diperbaiki
adalah : menurunkan berat badan jika ada kegemukan, mengurangi minum alcohol,
meningkatkan aktivitas fisik aerobik, mengurangi asupan garam, mempertahankan
asupan kalium yang adekuat, mempertahankan asupan kalsium dan magnesium
yang adekuat, menghentikan merokok, mengurangi asupan lemak jenuh dan
kolesterol. Seperti halnya pada orang yang lebih muda, intervensi nonfarmakologis
ini harus dimulai sebelum menggunakan obat-obatan.
Terapi farmakologis penanganan hipertensi pada geriatric9.
Umur dan adanya penyakit merupakan faktor yang akan mempengaruhi
metabolisme dan distribusi obat, karenanya harus dipertimbangkan dalam
memberikan obat antihipertensi. Hendaknya pemberian obat dimulai dengan dosis
kecil dan kemudian ditingkatkan secara perlahan.
Menurut JNC VI pilihan pertama untuk pengobatan pada penderita
hipertensi lanjut usia adalah diuretik atau penyekat beta. Pada HST,
direkomendasikan penggunaan diuretic dan antagonis kalsium. Antagonis kalsium
nikardipin dan diuretic tiazid sama dalam menurunkan angka kejadian
kardiovaskuler.
Adanya penyakit penyerta lainnya akan menjadi pertimbangan dalam
pemilihan obat antihipertensi. Pada penderita dengan penyakit jantung koroner,
penyekat beta mungkin sangat bermanfaat; namun demikian terbatas
penggunaannya pada keadaan-keadaan seperti penyakit arteri tepi, gagal jantung/
kelainan bronkus obstruktif.
Pada penderita hipertensi dengan gangguan fungsi jantung dan gagal
jantung kongestif, diuretik, penghambat ACE (angiotensin convening enzyme) atau
kombinasi keduanya merupakan ptlihan terbaik.
Obat-obatan yang menyebabkan perubahan tekanan darah postural
(penyekat adrenergik perifer, penyekat alfa dan diuretik dosis tinggi) atau obat-
obatan yang dapat menyebabkan disfungsi kognitif (agonis a 2 sentral) harus
diberikan dengan hati-hati. Karena pada lanjut usia sering ditemukan penyakit lain
dan pemberian lebih dari satu jenis obat, maka perlu diperhatikan adanya interaksi
obat antara antihipertensi dengan obat lainnya.
Obat yang potensial memberikan efek antihipertensi misalnya : obat anti
psikotik tcrutama fenotiazin, antidepresan khususnya trisiklik, L-dopa,
benzodiapezin, baklofen dan alkohol.
Obat yang memberikan efek antagonis antihipertensi adalah: kortikosteroid
dan obat antiinflamasi nonsteroid. Interaksi yang menyebabkan toksisitas adalah:
(a) tiazid: teofilin meningkatkan risiko hipokalemia, lithium risiko toksisitas
meningkat, karbamazepin risiko hiponatremia menurun; (b) Penyekat beta:
verapamil menyebabkan bradikardia, asistole, hipotensi, gagal jantung; digoksin
memperberat bradikardia, obat hipoglikemik oral meningkatkan efek
hipoglikemia, menutupi tanda peringatan hipoglikemia.
Dosis beberapa obat diuretic penyekat beta, penghambat ACE, penyekat
kanal kalsium, dan penyakat alfa yang dianjurkan pda penderita hipertensi pada
lanjut usia adalah sebagai berikut. Dosis obat-obat diuretic (mg/hari) msialnya:
bendrofluazid 1,25- 2,5, klortiazid 500-100, klortalidon 25-50, hidroklortiazid
12,5-25, dan indapamid SR 1,5. Dosis obat-oabat penyekat beta yang
direkomendasikan adalah: asebutolol 400 mg sekali atau dua kali sehari, atenolol
50 mg sekali sehari, bisoprolol 10-20 mg sekali sehari, celiprolol 200-400 mg
sekali sehari, metoprolol 100-2000 mg sekali sehari, oksprenolol 180-120 mg dua
kali sehari, dan pindolol 15-45 mg sekali sehari.
Dosis obat-obat penghambat ACE yang direkomendasikan adalah:
kaptopril 6,25-50 mg tiga kali sehari, lisinopril 2,5-40 mg sekali sehari, perindropil
2-8 mg sekali sehari, quinapril 2,5-40 mg sekali sehari, ramipril 1,25-10 mg sekali
sehari. Dosis obat-obat penyakat kanal kalsium yang dianjurkan adalah: amlodipin
5-10 mg sekali sehari, diltiazem 200 mg sekai sehari, felodipin 5-20 mg sekali
sehari, nikardipin 30 mg dua kali sehari, nifedipin 30-60 mg sekali sehari,
verapamil 120-240 mg dua kali sehari. Dosis obat-obat penyakat alfa yang
dianjurkan adalah; doksazosin 1-16 mg sekali sehari, dan prazosin 0,5 mg sehari
sampai 10 mg dua kali sehari.
DAFTAR PUSTAKA

1) Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.


INFODANTIN: HIPERTENSI. Jakarta. 2017
2) PERKI Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. 2015.
Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular. Edisi 1.
3) Kusmana D. 2009. Hipertensi : definisi, prevalensi, farmakoterapi dan latihan
fisik. Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI. Cermin Dunia
Kedokteran. 161-7.
4) WHO 2013. World Health Day 2013. Measure your blood pressure reduce your
risk. Diakses pada tanggal 11 Juli 2019. (http:// www.
who.int/mediacentre/newsrealese/2013/world_health_day_2/0130043/en/)
5) Yogiantoro M. 2006. Hipertensi Essensial. Dalam: Sudoyo WA, et al. Buku
Ajar ilmu Penyakit dalam Jilid 1. Edisi ke-4. Pusat penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.
6) Irmalita, et al. 2009. Standar pelayanan medik RS Jantung dan Pembuluh Darah
Harapan Kita. Pusat Jantung Nasional. Jakarta.
7) Muchid A et al. 2006. Pharmaceutical untuk penyakit hipertensi. Direktorat
Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
kesehatan Departemen kesehatan. Jakarta
8) PERKENI Perkumpulan Endokronologi Indonesia. 2015. Konsensus
Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.
9) The Task Force for the management of arterial hypertension of the European
Society of Hypertension (ESH) and of the European Society of Cardiology
(ESC). 2018 ESH/ESC Guidelines for the management of arterial hypertension.
Jour of Hypertension 2018, 39: 3021–3104.
10) Kasper, Braunwald, Fauci, et al. Harrison’s principles of internal medicine 17th
edition. New York: McGrawHill:2008
11) Norman M. Kaplan. Kaplan's Clinical Hypertension 9th edition. Philadelphia,
USA: Lippincott Williams & Wilkins:2006
12) Canadian Hypertension Education Program. The Canadian Recommendation
for The Management of Hypertension 2014
13) James PA, Oparil S, Carter BL, Cushman WC, Dennison Himmelfarb C,
Handler J et al. Evidence-based Guideline for the management of high blood
pressure in adults: Report from the panel members appointed to the eight Joint
National Committee (JNC 8) .JAMA. 2014; 311 (5) : 507-20.
doi:10.1001/jama.2013.284427.
14) 2017ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ASH/ASPC/NMA/PCNA
Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High
Blood Pressure in Adults: A Report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice
Guidelines. 1 Jun 2018. Hypertension. 2018;71:e13–e115
15) Rigaud AS, Forette B. 2001. Hypertension in older adults. J Gerontol

2001;56A:M217-5.

Anda mungkin juga menyukai