Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

“Concise Review of Recent Studies in Vitiligo”

DISUSUN OLEH:

Rianita Marthasari G991902047


Riska Amalia Rahma G991902048
Rizki Fitria Febrianti G991902049
Cynthia Badriyyah G992003033
Cynthia Hanny L G992003034
Olivia Arista Gunawan G992003115
Rosida Din Anjaini Amin G991902050
Sakarias Christofer Panjaitan G991902051
Arif Nurhadi Atmoko G99181012
Ratna Bintari G992003122
Gabriela Claudia G992003060

Periode: 16 Maret – 19 April 2020

PEMBIMBING
dr. Nurrachmat Mulianto, M.Sc., Sp.KK., FINSDV

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2020

2
LEMBAR PENGESAHAN REFERAT

Referensi artikel yang berjudul:


“Ulasan Singkat dari Studi Terbaru Mengenai Vitiligo”

Disusun oleh :

Rianita Marthasari G991902047


Riska Amalia Rahma G991902048
Rizki Fitria Febrianti G991902049
Cynthia Badriyyah G992003033
Cynthia Hanny L G992003034
Olivia Arista Gunawan G992003115
Rosida Din Anjaini Amin G991902050
Sakarias Christofer Panjaitan G991902051
Arif Nurhadi Atmoko G99181012
Ratna Bintari G992003122
Gabriela Claudia G992003060

Periode: 16 Maret – 19 April 2020

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing dari Bagian Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin RSUD Dr Moewardi/Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Staff Pembimbing

dr. Nurrachmat Mulianto, M. Sc., Sp. KK, FINSDV


Ulasan Singkat dari Studi Terbaru Mengenai Vitiligo
Diterjemahkan dari “Concise Review of Recent Studies in Vitiligo”
Mohamed Allam, Hassan Riad

ABSTRAK
Vitiligo adalah kelainan pigmentasi kulit dan membran mukosa yang
didapat dengan manifestasi berupa makula dan bercak putih akibat hilangnya
melanosit secara selektif. Hipotesis etiologi vitiligo meliputi genetik, imunologis,
neurohormonal, sitotoksik, biokimia, stress oksidatif, dan teori-teori baru tentang
melanositorhagi serta penurunan kemampuan melanosit untuk bertahan hidup.
Terdapat beberapa jenis vitiligo yang biasanya didiagnosis secara klinis dan
menggunakan lampu Wood; vitiligo juga dapat dikaitkan dengan penyakit
autoimun, temuan audiologis dan oftalmologis, atau dapat menjadi bagian dari
sindrom poliendokrinopati. Terdapat beberapa intervensi sebagai tatalaksana
vitiligo untuk menghentikan perkembangan penyakit dan/atau untuk mencapai
repigmentasi atau bahkan depigmentasi. Dalam artikel ini, kami akan menyajikan
pandangan keseluruhan mengenai pemahaman terkini tentang penelitian terkait
vitiligo, terutama faktor etiologi yang paling utama yaitu komponen genetik, juga
jenis dan keterkaitan, serta modalitas terapi yang beragam dan lebih baru.

LATAR BELAKANG
Vitiligo adalah gangguan depigmentasi yang paling umum, dimana
destruksi selektif pada melanosit fungsional menyebabkan depigmentasi pada
kulit, rambut, dan permukaan mukosa. Hal ini mempengaruhi sekitar 0,5% hingga
1% dari populasi, dengan onset rata-rata pada usia sekitar 24 tahun, prevalensinya
tampak sama antara pria dan wanita dan tidak ada perbedaan tingkat kejadian
berdasarkan tipe kulit atau ras. Beberapa faktor etiologis telah dicurigai, dimana
bukti paling kuat memperlihatkan adanya kombinasi faktor lingkungan, genetik,
dan imunologis yang saling berinteraksi kemudian berkontribusi terhadap
destruksi melanosit autoimun. Vitiligo diklasifikasikan menurut Picardo dan
Taieb menjadi empat jenis: Non-segmental vitiligo (NSV), vitiligo segmental
(SV), campuran NSV dan SV, serta tipe yang tidak dapat diklasifikasikan,

1
misalnya terdapat fokal, asimetris multifokal, non-segmental, dan mukosal pada
satu lokasi. NSV dibagi menjadi beberapa subtipe: fokal saat onset, mukosal,
akrofasial, generalisata dan universal. Vitiligo generalisata dapat terjadi di usia
dewasa, pada lokasi yang sensitif terhadap tekanan, gesekan, dan/atau trauma,
serta biasanya progresif dengan flare-up. Rambut terpengaruh pada tahap lanjut.
Sering ditemukan riwayat gangguan autoimun pada pasien atau keluarga pasien.
SV biasanya menyerang anak-anak, paling sering di wajah dan cenderung stabil.
Tatalaksana vitiligo bertujuan meminimalkan atau mencegah progresi penyakit,
mencapai repigmentasi atau depigmentasi, serta mencapai kepuasan kosmetik
yang hasilnya memuaskan. Ada banyak pilihan intervensi medis dan bedah yang
tersedia untuk mengobati vitiligo, tetapi memahami pilihan yang tersedia,
mengatur rencana perawatan yang sesuai, dan menyesuaikannya dengan pasien
merupakan hal yang sangat penting.

FAKTOR ETIOLOGI
Vitiligo adalah kelainan kulit umum yang memiliki karakteristik berupa
bercak putih depigmentasi pada kulit akibat kehilangan melanosit. Masih kurang
jelas apa penyebab kerusakan atau kematian pada melanosit ini, Terdapat banyak
kemungkinan teori patofisiologi yang melibatkan autoimun, neural, autotoksik,
biokimia, stress oksidatif, melanositorhagi, dan hipotesis berkurangnya
kemampuan melanosit untuk bertahan hidup. Semua hipotesis atau mekanisme
patologi ini menyebabkan berkembangnya vitiligo. Teori autoimun lebih tepat
untuk vitiligo pada umumnya, yang dianggap sebagai kelainan kompleks yang
melibatkan kombinasi efek patogen dari berbagai gen rentan serta faktor
lingkungan yang tidak diketahui sehingga menyebabkan kerusakan autoimun pada
melanosit. Selain itu, pasien dengan varian genetik (GV) dan hubungan keluarga
yang dekat memiliki peningkatan frekuensi pada penyakit autoimun tertentu,
memberikan kesan bahwa pasien ini memiliki pewarisan penyakit autoimun yang
dimediasi oleh gen–gen rentan, atau dalam istilah lain varian genetik merupakan
bagian yang lebih luas dari kecenderungan autoimun yang dimediasi secara
genetik.

2
Teori neural lebih mendasari tipe lokal seperti vitiligo segmental dan fokal
dimana melanositohargi mungkin menjelaskan bahwa lesi disebabkan oleh
fenomena Koebner. Gagasan terkini menyatakan bahwa vitiligo mewakili
kelompok penyakit dengan patofisiologis heterogen namun memiliki fenotip yang
serupa. Teori konvergen menyatakan bahwa stress, akumulasi dari senyawa racun,
infeksi, autoimun, mutasi, perubahan lingkungan sel, dan gangguan migrasi
melanosit bisa berkontribusi pada patogenesis.

GENETIK
Peneliti dari berbagai belahan dunia menyelidiki secara intensif
kemungkinan penyebaran gen-gen rentan yang terlibat dalam vitiligo dan penyakit
autoimun lainnya serta gen-gen tambahan yang hanya memediasi vitiligo. Empat
pendekatan berbeda telah digunakan untuk identifikasi gen-gen yang memediasi
kerentanan pada vitiligo: analisis ekspresi gen, penelitian keterkaitan gen
kandidat, genomik- penelitian hubungan luas dan genome wide association
studies (GWASs). Penelitian ekspresi gen pada vitiligo telah dilakukan untuk
analisis perubahan pada pola ekspresi beberapa gen yang dikaitkan dengan
imunomodulasi, melanogenesis, dan regulasi perkembangan serta kemampuan
bertahan hidup dari melanosit.
Pada konteks ini, IFN-γ, TNF-α serta beberapa sitokin dari keluarga
interleukin-10 (IL-10, IL-22, IL-24) dan reseptornya (IL10RA, IL10RB)
sebelumnya telah menunjukkan hubungan dengan patogensis vitiligo. Terdapat
peningkatan signifikan dari ekspresi IFN-γ, TNF-α, dan IL-10 pada kulit yang
terlibat serta area kulit yang berdekatan yang tidak mengalami vitiligo jika
dibandingkan dengan pasien kontrol yang sehat sebelum dimulai pemberian terapi
salep tacrolimus topikal 0,1%, setelah diberikan salep tacrolimus topikal 0,1% 2
kali sehari selama 24 minggu terdapat penurunan signifikan dari ekspresi TNF-
α1. Data tersebut menunjukkan bahwa adanya ketidakseimbangan ekspresi sitokin
dapat memiliki peran dalam pathogenesis vitiligo serta penurunan ekspresi TNF
karena terapi dengan tacrolimus topikal berkaitan dengan repigmentasi.
Reimann et al. meneliti ekspresi profil mRNA pada sitokin dari keluarga
IL-10 dan subunit reseptornya (IL20RB, IL22RA2, IL26, IL-28A, IL-28B,

3
IL29,IL28RA), MDM 1 , IFNA1, IFNB1, IFNG, serta ICAM1 pada kulit dan sel
mononuklear darah tepi pasien dengan vitiligo serta kontrol kemudian melakukan
analisis terhadap potensi keterkaitannya dengan patogenesis vitiligo. Sistem
melanokortin pada kulit memberikan respon terhadap stress eksternal dan internal
melalui pigmentasi lokal, imun, struktur epidermal, struktur adneksal, serta
stuktur vaskular untuk stabilisasi fungsi kulit dan mencegah gangguan pada
homeostasis internal. Reduksi peptida proopiomelanocortin (POMC), α-MSH,
telah ditemukan pada lesi dan serum pasien vitiligo. Penelitian Graham et al. juga
menunjukkan ekspresi yang rendah dari α-MSH pada lesi kulit pasien vitiligo.
Kingo et al. meneliti kadar ekspresi mRNA 8 gen dari sistem melanokortin
(POMC, ASIP, AGRP, MC1R, MC2R,MC3R,MC4R,MC5R) dan dua enzim yang
terlibat dalam melanogenesis (TRP1,DCT) di lesi dan kulit non lesi pada pasien
vitiligo serta kulit yang tidak terpapar sinar matahari pada orang yang sehat
sebagai kontrol. Penelitian menunjukkan penurunan ekspresi dari gen-gen ini pada
lesi kulit, akan tetapi penelitian ini juga menunjukkan peningkatan signifikan dari
ekspresi gen pada kulit non lesi yang tidak dideskripsikan sebelumnya dan
penelitian ini menjelaskan bahwa peningkatan ekspresi ini merupakan
kompensasi sistemik untuk mengembalikan pigmentasi normal pada lesi.
Setelah beberapa tahun, penelitian keterkaitan gen kandidat telah secara
luas menggantikan GWASs untuk menghindari atau mengontrol ukuran sampel
yang kecil yang menyebabkan kekuatan penelitian menjadi lemah, kegagalan
koreksi adekuat pada tes berganda, serta stratifikasi populasi, dimana semua hal
tersebut meningkatkan risiko hasil keterkaitan yang positif palsu. Penelitian paling
terkenal pada GWAS mengenai GV telah dilakukan di Eropa-diturunkan dari
populasi kulit putih dan populasi ras Cina Han. Penelitian-penelitian ini
mengindentifikasi total 17 lokus rentan GV, menghasilkan gagasan penting dalam
patogenesis penyakit yang secara kuat mendukung dasar autoimun pada tipe
umum.
Sebuah penelitian dilakukan pada wilayah terisolasi di pegunungan
Romania Utara dimana komunitasnya telah bertumbuh dengan isolasi
berkelanjutan sejak 1603, dengan secara esensial tanpa riwayat imigrasi dan

4
emigrasi. Dalam sensus terkini (2004), komunitas memiliki populasi 1673
individu. Prevalensi GV adalah 2,9 %. Sebuah nukleotida polimorfisme tunggal
(SNP) terhadap genom- signifikansi luas untuk gen SMOC2 pada kromosom 6
dekat IDDM8, yang merupakan lokus diabetes tipe 1-rheumatoid arthritis.
Penelitian lain juga dilakukan di Eropa-diturunkan dari populasi kulit putih
dimana 1514 pasien dibandingkan dengan 2813 kontrol, dengan 579,146 (SNPs)
tergenotip dan berhasil mengidentifikasi total 13 lokus rentan GV, termasuk HLA
kelas 1 (secara spesifik HLA-A*0201), HLA kelas 11, PTPN22, RERE, FOXP1,
LPP, CCR6, IL2RA, TYR, GZMB, NLRP1, UBASH3A, dan C1QTNF6.
GWASs lain telah dilakukan pada populasi ras China Han dengan identifikasi
lokus rentan GV pada HLA kelas 1 dan kelas 111 serta CCR6.
Secara virtual, semua laporan mengenai lokus rentan ini mengkode protein
imunoregulator, dan banyak dihubungkankan dengan kerentanan gen pada
penyakit autoimun yang secara epidemiologi berhubungan dengan GV, dengan
pengecualian pada TYR yang mengkode tirosinase, yaitu enzim kunci dari
biosintesis melanin pada melanosit. Pada GV, TYR mungkin berperan secara
primer untuk modulasi pengenalan dari sel target melanosit oleh sistem imun dan
selain perannya pada pigmentasi, tyrosinase juga merupakan autoantigen mayor
pada GV. Dua varian alel TYR telah diketahui, TYR 402Arg dan TYR 402Gln.
Untuk pasien dengan GV, TYR 402Arg dipertimbangkan sebagai penyebab varian
yang rentan dan menariknya, polimorfisme TYR ini menunjukkan hubungan
terbalik antara vitiligo dan melanoma maligna karena pasien dengan TYR
402Arg bisa secara efektif menyajikan tirosinase yang merupakan antigen mayor
pada permukaan melanosir serta sel melanoma maligna yang terkait HLA-
A*0201, sehingga hal ini dapat dikenali oleh sistem imun dan menyebabkan
destruksi imunologis pada melanosit kemudian muncul vitiligo sekaligus destruksi
dari sel melanoma yang akhirnya memicu regresi dari melanoma maligna,
sehingga adanya GV pada melanoma maligna dipertimbangkan sebagai tanda
prognosis yang baik. Namun, di sisi lain varian TYR 402Gln menghasilkan
polipeptida tidak stabil yang dipertahankan pada retikulum endoplasma dan
terdegradasi, sehingga mengurangi jumlah tirosinase yang disajikan pada

5
permukaan sel dan memberikan kesan kerentanan yang rendah untuk GV tetapi
risiko yang lebih besar pada melanoma.
Terdapat pula sebuah penelitian yang melakukan analisis ulang genom- set
data luas untuk menguji hubungan dari 33 gen kandidat yang sebelumnya
dilibatkan pada GV untuk identifikasi lokus independen yang hanya rentan GV
dan tidak rentan terhadap penyakit autoimun lainnya, 3 lokus rentan telah
diidentifikasi yaitu TSLP, XBP1, dan FOXP3. Dua penelitian lagi telah
mengidentifikasi keterkaitan genetik NALP1 dengan GV.

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER


Sudah jelas bahwa terdapat perubahan imunitas seluler pada vitiligo.
Sebagai tambahan dan mungkin juga kombinasi dengan sistem imun humoral.
Imunitas humoral
Terdapat bukti kuat yang menyatakan bahwa vitiligo secara khusus
merupakan penyakit autoimun. Kaitannya dengan kondisi autoimun seperti
penyakit Addison’s, hipotiroidisme, dan anemia pernisiosa; dan juga ditemukan
beberapa alel antigen MHC II serta gen-gen lain yang rentan menimbulkan
autoimun, berpasangan dengan pendeteksi antibodi spesifik organ (ANA, anti-sel
parietal gaster); ditambah respon yang positif terhadap terapi imunosupresan
(steroid topikal dan tacrolimus); bersama dengan beberapa studi yang dilakukan
pada hewan model vitiligo dan keterlibatan sel-sel imun khususnya sel T
autoreaktif dan kehadiran antibodi-antibodi yang sifatnya berlawanan dengan
antigen pada melanosit; semua aspek tersebut mendukung hipotesis ini.
Berbagai jenis antibodi pada sirkulasi yang berlawanan dengan melanosit
terdeteksi dalam serum pasien vitiligo, dan antibodi-antibodi tersebut berkorelasi
dengan luas lesi, dengan persentase jumlahnya lebih dari 90% pada lesi yang lebih
luas dan 50% pada lesi yang lebih kecil.
Menurut studi yang dilakukan Ali et al. terhadap profil imunoglobulin
serum pasien vitiligo, ditemukan penurunan level serum IgG dan IgA, tanpa
perubahan serum IgM dibandingkan dengan kontrol. Dalam studi mereka juga
menunjukkan bahwa IgG anti melanosit mungkin berperan dalam patofisiologi

6
vitiligo karena perannya dalam menginduksi kerusakan melanosit in vitro yang
dimediasi oleh mekanisme komplemen – antibodi-dependen sel sitotoksik.
Antibodi IgG anti melanosit mungkin berperan dalam stimulasi dan
ekspresi yang tidak tepat dari HLA-DR dan induksi ICAM-1 pada melanosit, juga
peningkatan produksi IL-8, ekspresi dari kompleks MHC II pada melanosit dapat
mempresentasikan antigen kepada CD4+ dan menginisiasi respon imun dan ICAM
II (berperan dalam adhesi sel imun) juga berperan dalam reaksi imunologis dan
inflamasi sebagai hasil dari melanotoksisitas.
Berbagai studi dengan teknik yang berbeda telah mendemonstrasikan
bahwa antibodi-antibodi pada vitiligo secara umum mengarah pada antigen
dengan berat molekul 35, 40–45, 68, 70, 75, 88, 90, 110, 150, 165 kDa, sesuai
dengan protein sel non pigmen, protein pada permukaan sel pigmen, protein sel
sitoplasma, dan protein sel melanoma. Terdapat sedikit autoantigen spesifik yang
teridentifikasi, yaitu tirosinase; tyrosine-related protein (TRP) 1/75 gp dan 2;
protein matriks melanosomal gp 100 (pmel 17) dan Melan A/ MART.
Peran imunitas seluler (sel T sitotoksik dan sel T regulatori)
Depigmentasi kutaneus pada vitiligo melibatkan aktivitas sitotoksik dari
sel T autoreaktif, sebuah studi mengevaluasi persentase jumlah sel T regulatori
(Treg) diantara sel-sel T yang menginfiltrasi kulit, melalui cara pewarnaan ganda
CD3 dan FoxP3, menunjukkan terdapatnya penurunan jumlah sel Treg secara
drastis pada kulit vitiligo yang non-lesional, perilesional, dan lesional. Sebuah
studi yang menarik menganalisis tahap awal yang dinamis pada pasien dengan
vitiligo segmental yang berasosiasi dengan halo nevi. Pada studi klinis ini, analisis
histopatologi dan fenotip sel T dilakukan pada lesi segmental onset awal seorang
pasien yang berkaitan dengan halo nevi. Analisis histopatologi menunjukan
adanya infiltrasi limfosit, yang sebagian besar terdiri dari sel T CD8+ dan sel T
CD4+ di sekitar dermo-epidermal junction. Analisis flow cytometry terhadap sel T
menunjukkan peningkatan IFN-γ dalam memproduksi sel T CD8+ pada kulit yang
lesional dibanding non lesional. Menggunakan human leukocyte antigen-peptide
tetramers (MART-1, tyrosinase, gp100), peningkatan jumlah sel T recognizing
melanocyte antigen ditemukan pada kulit dengan vitiligo segmental lesional,

7
dibandingkan pada kulit yang non lesional dan darah. Penemuan ini
mengindikasikan adanya respon imun yang dimediasi oleh sel T CD8+ spesifik
melanosit pada vitiligo segmental dengan halo nevi, seperti yang diteliti juga pada
GV. Tetapi, masih harus dijelaskan apakah penemuan ini berlaku juga untuk
vitiligo segmental tanpa ada kaitan dengan halo nevi. Persentase skin infiltrating
sel T CD8+ dan Treg dinilai oleh imunohistokimia dan menunjukkan peningkatan
jumlah yang drastis baik pada sel T CD8+ dan sel Treg pada perilesional skin
pasien GV. Namun, sel T perifer mengalami gangguan dalam mensupresi
proliferasi dan kapasitas sitolitik oleh sel T CD8+, menunjukkan bahwa
kegagalan fungsional sel Treg dan hiperaktivasi CD8+ kemungkinan
berkontribusi pada GV yang progresif. Data ini menunjukkan bahwa
berkurangnya jumlah dan terdapatnya gangguan fungsi CD8+ gagal mengontrol
aktivasi CD8+ secara luas, yang mengarah pada destruksi melanosit dan
berkontribusi pada meningkatnya frekuensi berbagai macam penyakit autoimun.
Namun, Zhou et al. mengevaluasi sel T reg pada sirkulasi, termasuk di dalamnya
CD4+, CD25+, FoxP3+ dan sel T Natural Killer (T-NK) invarian, begitu pula sel
T naif dan memori, serta sitokin-sitokin. Sebuah studi kohort pada 43 pasien non-
segmental vitiligo (NSV) progresif dengan ras, jenis kelamin, dan usia yang
sesuai dengan kontrol, menemukan hasil imunofenotip dari sel T CD4+ dan CD8+
serta persentase jumlah sel Treg CD4+, CD25+, FoxP3+ yang sebanding antara
pasien NSV dengan kontrol. Data yang bertentangan pada studi ini yakni
mengenai peran sel Treg pada patogenesis non-segmental vitiligo (NSV) yang
memerlukan studi lebih lanjut untuk mengevaluasi peran sel Treg tersebut (apakah
mengurangi jumlah atau menurunkan fungsi) dalam memediasi reaktivitas dan
sitotoksisitas terutama pada tingkat jaringan.
Hipotesis double-strike
Pada 2010, Michelsen mempresentasikan serangkaian tesis yang
menjelaskan patomekanisme vitiligo dan hipopigmentasi yang terkait dengan
melanoma. Tesis utama membahas hipotesis double-strike, yakni, vitiligo yang
disebabkan oleh setidaknya dua patomekanisme mayor yang berbeda:
patomekanisme berbasis antibodi, dan patomekanisme berbasis sel T. Pada

8
vitiligo difusa, patomekanisme berbasis antibodi lebih dominan, sementara
patomekanisme berbasis sel T lebih dominan pada vitiligo lokalisata.

HIPOTESIS AUTOSITOTOKSISITAS
Metabolik toksis dari paparan langsung bahan kimia tertentu oleh
lingkungan atau okupasional, terutama fenol dan ketekol atau melalui akumulasi
dari produk sampingan karena adanya inhibisi enzim yang terlibat dalam jalur
melanin dapat merusak melanosit secara genetik pada individu yang rentan.
Hipotesis ini mungkin penting dalam apa yang disebut leukoderma kimia atau
vitiligo kontak/okupasional.

HIPOTESIS STRESS OKSIDATIF


Vitiligo pada kulit yang lesional dan non lesional memiliki tingkat enzim
katalase yang rendah, yang berkorelasi dengan tingginya kadar H2O2 di seluruh
epidermis. Polimorfisme nukleotida tunggal pada gen katalase dapat mengganggu
perlekatan dan fungsi subunit enzim, hal ini lebih sering terjadi pada pasien
vitiligo. Reactive oxygen species (ROS) dan H2O2 yang berlebih dapat merusak
proses biologis melalui mekanisme oksidatif dengan kemampuan perbaikan yang
terbatas dikarenakan H2O2 yang berlebih memperparah kerusakan tersebut, dan
situasi ini telah didokumentasikan pada pasien dengan vitiligo. Kerusakan protein
dan lipid yang dihasilkan mungkin mencukupi untuk menginisiasi kerusakan
melanosit dan apoptosis yang mengarah pada pelepasan sel-sel Langerhans dan
DC, dan jika sel-sel Langerhans dan DC ini aktif, maka dapat memicu respon
imun yang reaktif pada melanosit yang dalam mengeradikasi melanosit pada kulit
akhirnya membuat depigmentasi kulit. Respon imun ini terutama melibatkan sel-
sel T-sitotoksik. Selain itu, kegagalan mekanisme regulasi sel T yang telah
disebutkan sebelumnya memungkinkan proses tersebut berlanjut sampai batas
waktu yang tidak dapat ditentukan, sesuai dengan proses vitiligo generalisata
kronik.

FAKTOR BIOKIMIA
Teori biokimia menyatakan bahwa disregulasi jalur biopterin merupakan
predisposisi terhadap sitotoksisitas melanosit dan vitiligo. Pteridines (6R)-L-

9
erythro5,6,7,8 tetrahydrobiopterin (6BH4) dan (7R)-L-erythro5,6,7,8
tetrahydrobiopterin (7BH4) meningkat pada pasien vitiligo. 6BH4 adalah kofaktor
penting untuk fenilalanin hidroksilase, enzim yang mengubah fenilalanin
makanan menjadi tirosin. Peningkatan 6BH4 mendorong jalur metabolisme ke
depan yang mengarah pada akumulasi produk sampingan 7BH4 dan H 2O2.
Peningkatan 7BH4 menghambat fenilalanin hidroksilase, yang selanjutnya
berkontribusi pada peningkatan 6BH4, yang bersifat sitotoksik dalam konsentrasi
tinggi.

10
HIPOTESIS MELANOSITORHAGI
Hipotesis ini mengusulkan bahwa melanosit terikat secara lemah dan
gesekan minimal dan atau stres lainnya dapat menginduksi migrasi ke atas dan
hilangnya melanosit, teori ini dianggap relevan dalam fenomena Koebner dan lesi
vitiligo pada lokasi trauma. Tenascin, molekul matriks ekstraseluler yang
menghambat adhesi melanosit menjadi fibronektin, meningkat pada kulit yang
bercahaya, dan dapat berkontribusi pada hilangnya melanosit atau populasi yang
tidak efektif.

HIPOTESIS PENURUNAN SURVIVAL MELANOSIT


Teori ini menunjukkan adanya sebuah kekurangan dalam sinyal survival
melanosit yang mengarah pada apoptosis. Keratinocyte-derived stem cell factor
mengatur pertumbuhan dan kelangsungan hidup melanosit dengan mengikat
membran reseptor tirosin kinase c-Kit. Penurunan jumlah reseptor c-Kit secara
signifikan pada melanosit perilesional dan ekspresi yang lebih rendah dari faktor
stem cell dari keratinosit di sekitarnya dapat berkontribusi pada patogenesis
vitiligo.

KLASIFIKASI VITILIGO
Klasifikasi vitiligo diusulkan oleh Picardo dan Taieb (Tabel 1). Vitiligo
fokal dapat berkembang menjadi vitiligo segmental dan nonsegmental, atau
menjadi unclassified. Vitiligo fokal ditandai dengan lesi hipopigmentasi
berukuran kecil yang tidak sesuai dengan distribusi vitiligo segmental, dan tidak
berkembang menjadi NSV dalam 1-2 tahun.
SV mirip dengan NSV namun distribusinya unilateral (“vitiligo asimetris”)
yang seluruh atau sebagiannya dapat sesuai dengan segmen kulit seperti
dermatom. Pola distribusi lain dari SV yaitu melewati beberapa dermatom atau
dalam area luas yang dibatasi oleh garis Blaschko. Ciri khasnya yaitu onset cepat
dan keterlibatan pigmen folikel rambut. Sebagian besar penderita memiliki satu
segmen, namun terkadang dua atau lebih segmen dapat terlibat baik kontralateral
atau ipsilateral.

11
Tabel 1. Klasifikasi vitiligo oleh Picardo dan Taieb

Tipe Vitiligo Subtipe Catatan


Non-segmental vitiligo Fokal, mukosa, akrofasial, Subtipe tidak
(NSV) generalisata, universal
Segmental vitiligo Fokal, mukosa, unisegmental, Dapat diklasifikasikan lebih lanjut
(SV) bisegmental, multisegmental. berdasarkan distribusi pola,
namun pembagiannya belum
terstandarisasi.
Campuran (NSV+SV) Bergantung tingkat keparahan Tingkat keparahan SV dalam
dari SV vitiligo campuran lebih tinggi.
Unclassified Fokal ketika onset, multifocal
nonsegmental mukosa asimetris
(satu sisi)

Segmental vitiligo (SV) dan non-segmental vitiligo (NSV) memiliki klinis


yang berbeda. Pada anak-anak, NSV memiliki jumlah lesi dan luas permukaan
tubuh yang terkena lebih banyak dibandingkan dengan SV. NSV lebih sering
mengalami fenomena Koebner dan terjadi perkembangan penyakit. Kelainan
tiroid dan hiperpigmentasi di sekitar lesi hanya ditemukan pada NSV. SV dapat
dibagi menjadi beberapa fenotipe berdasarkan studi penelitian klinis. Fenotipe
tersebut terdiri atas: tipe segmental unilateral, tipe segmental bilateral, tipe
campuran, dan generalisata. Lesi juga harus diperiksa apakah berkaitan dengan
halo nevi atau tidak. Pada beberapa penderita, tipe campuran berkaitan dengan
penyakit autoimun dan halo nevi, serta riwayat NSV keluarga menjadi
etiopatologi tipe campuran SV dan NSV. Perbedaan mekanisme etiopatologi yang
menyebabkan munculnya berbagai fenotipe vitiligo segmental masih belum
diketahui.
Vitiligo European Task Force (VETF) mengadakan konsensus konferensi
mengenai isu-isu global mengenai vitiligo pada 2011 International Pigment Cell
Conference (IPCC) dan salah satu topik yang dibahas yaitu klasifikasi vitiligo.
VETF menggunakan klasifikasi oleh Picardo dan Taieb, terbit konsensus yang
mengklasifikasikan vitiligo segmental secara terpisah dengan tipe lain dari
vitiligo, kata ‘vitiligo’ digunakan sebagai istilah umum untuk semua bentuk non-
segmental vitiligo, termasuk ‘vitiligo campuran’ yang merupakan kombinasi
antara SV dan NSV dianggap sebagai subkelompok dari vitiligo.

12
Pernyataan dan klasifikasi berdasarkan konsensus: Istilah ‘vitiligo’ (V)
direkomendasikan sebagai istilah umum untuk semua jenis vitiligo non-
segmental. Sebagai peralihan, vitiligo/NSV dapat digunakan. Vitiligo segmental
mengacu pada lesi depigmentasi dengan distribusi segmen yang tidak jelas,
biasanya berkaitan dengan onset yang cepat dan leukotrikia. Tidak ada konsensus
mengenai mekanisme distribusi lesi pada SV. Vitiligo campuran koeksistensi dari
SV+V adalah bagian dari subkelompok vitiligo. Vitiligo fokal adalah makula
terlokalisir yang ditandai dengan hilangnya melanosit. Vitiligo yang tidak dapat
diklasifikasikan hingga dapat diklasifikasikan dapat dibuat berdasarkan klinis
(umumnya setelah follow up selama 1-2 tahun). Kasus dengan lesi fokal jangka
panjang atau vitiligo mukosa murni jika tidak dapat diklasifikasikan sebagai SV,
maka dikategorikan menjadi ‘unclassifiable’.

KETERKAITAN
VITILIGO DAN AUTOIMUNITAS
Sebuah studi epidemiologi dilakukan pada laki-laki muda Italia berusia
sekitar 18 tahun yang sedang bertugas untuk layanan wajib nasional di Angkatan
Laut Italia. Empat puluh pasien dengan diagnosis vitiligo menjalani pemeriksaan
darah termasuk pemeriksaan autoantibodi. Autoantibodi terdeteksi bersirkulasi
dalam darah pada 42,5% subjek. Antibodi anti-thyroglobulin didokumentasikan
pada 27,5%; anti-thyroperoxidase pada 22,5%; anti-smooth muscle pada 17,3%;
dan anti-nuclear, anti-mitokondrial, serta sel parietal anti-gastric masing-masing
sebesar 2,5%. Hanya di dua kasus (5%) penyakit tiroid yang jelas terdiagnosis.
Autoantibodi yang bersirkulasi (terutama antibodi anti-tiroid) secara statistik
dikaitkan dengan durasi penyakit yang lebih rendah. Sebuah studi dari Turki
menyelidiki 80 pasien dengan diagnosis vitiligo secara klinis begitu pula temuan
laboratorium, kelainan pendengaran, dan hubungan dengan penyakit autoimun
lainnya. Vitiligo vulgaris merupakan tipe yang paling umum ditemukan, diikuti
tipe fokal, akrofasial, segmental, dan universal. Empat puluh empat pasien (55%)
ditemukan memiliki penyakit autoimun yang terkait. Tiroiditis Hashimoto
ditemukan sebanyak 31%, alopecia areata 12,5%, anemia pernisiosa 8,7%.

13
14
KAITAN DENGAN PENDENGARAN
Masalah pendengaran diamati pada 20 pasien (37,7%) dari penelitian yang
disebutkan sebelumnya, dimana 9 diantaranya mengalami kehilangan
pendengaran unilateral minimal sedangkan 11 pasien lainnya mengalami
kehilangan pendengaran bilateral pada cakupan frekuensi yang besar (2000-8000
Hz). Penelitian ini mengharuskan pemeriksaan audiologi dari semua pasien
dengan vitiligo untuk masalah pendengaran yang umumnya muncul berupa
hipoakusis. Selain penelitian tersebut, penelitian lain dari Turki melakukan tes
audiometri nada murni dan frekuensi tinggi dengan ambang pendengaran rata-rata
nada murni yang dihitung pada 22 pasien dengan vitiligo dan 22 kontrol dengan
penyesuaian usia dan jenis kelamin. Pemeriksaan Transient Evoked Otoacoustic
Emission Testing (TEOAE) juga dilakukan. Ambang pendengaran pada nada
murni dan frekuensi tinggi ditemukan lebih tinggi pada pasien vitiligo. Amplitudo
frekuensi tinggi yang secara signifikan lebih rendah dicatat pula selama pengujian
TEOAE pada kelompok penyakit. Dalam konteks ini, diketahui bahwa melanosit
secara embrionik berasal dari neural crest dan terletak di epidermis, bulbus
rambut kulit (bulbus pili), traktus uvealis dan epitel pigmen retina mata, telinga
bagian dalam, dan leptomeninges (arachnoid mater dan pia mater). Melanosit di
stria vaskularis telinga dalam diyakini diperlukan dalam perkembangan koklea
yang normal, dan perkembangan dan/atau pemeliharaan potensial endokoklea
(Endocochlear Potensial/EP). Jadi, gangguan pendengaran pada pasien vitiligo
dimungkinkan disebabkan oleh kerusakan dari hilangnya fungsi melanosit telinga
dalam serta melanosit kulit, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut di bidang
ini.

KAITAN DENGAN KOROID


Satu lagi area yang terpengaruh adalah koroid berpigmen, dimana 1
penelitian menunjukkan 4 pasien dengan diagnosis vitiligo koroid primer
idiopatik yang menunjukkan pigmentasi datar dengan melibatkan segmen luas
koroid posterior, hanya menyisakan bercak sisa dari pigmen koroid pada pasien
dengan vitiligo kulit; pasien ini dirujuk ke penulis sebagai nevi koroid luas.
Vitiligo koroid primer terjadi sebagai proses idiopatik tanpa adanya inflamasi,

15
toksin, atau trauma sebelumnya. Vitiligo koroid sekunder umumnya pasca
inflamasi dan paling sering ditemukan dengan sindrom Vogt-Koyanagi-Harada
(VKH syndrome). Sindrom VKH adalah reaksi autoimun terhadap melanin di
epidermal, koklea, meningeal, dan uveal yang mengakibatkan destruksi sel
penghasil melanin dan menyebabkan vitiligo kulit, tinitus, nyeri kepala, serta
depigmentasi dan atrofi koroid, yang secara klasik diikuti terjadinya perubahan
luas berlebihan pada epitel pigmen retina.

VITILIGO DAN INTERFERON (HUBUNGAN SISTEMIK DAN LOKAL)


Sebuah studi baru-baru ini melaporkan 8 kasus vitiligo muncul setelah
pengobatan HCV dengan interferon (IFN). Vitiligo dilaporkan telah ditemukan
pada pasien pengobatan IFN untuk HCV, HBV, melanoma, dan CML. Beberapa
pasien dilaporkan mengalami vitiligo di bekas lokasi injeksi IFN pada pasien
dengan hepatitis C kronis. Perkembangan vitiligo pada pasien-pasien ini diyakini
sebagai efek-efek biologis dari IFN, kemungkinan besar akibat induksi antibodi
antimelanosit atau aktivasi sel-sel dari cellular mediated immune response
khususnya sel T sitotoksik terhadap melanosit. IFN lebih dipercaya membuka
celah munculnya vitiligo pada pasien yang rentan daripada menyebabkannya.

VITILIGO DAN VITAMIN D


Telah dilakukan sebuah studi pendahuluan untuk menilai peran dari kadar
25-hydroxyvitamin D pada pasien dengan vitiligo vulgaris. Kadar 25-
Hydroxyvitamin D dibagi menjadi: normal (>30 ng/ml), tidak cukup (<30 ng/ml)
dan tingkat sangat rendah (<15 ng/ml). Kadar 25-hidroksivitamin D yang tidak
memadai dikaitkan dengan meningkatnya fototipe Fitzpatrick dan kadar 25-
hidroksivitamin D yang sangat rendah dikaitkan dengan penyakit komorbid
autoimun dan penulis menganggap kadar 25-Hydroxyvitamin D yang sangat
rendah sebagai alat skrining yang cukup untuk mengetahui adanya komorbid
autoimun. Berdasarkan data dari penelitian ini, Silverberg NB termasuk pengujian
tingkat 25-hydroxyvitamin D pada saat diagnosis penyakit di antara daftar
evaluasi laboratorium yang disarankan untuk anak-anak dengan vitiligo vulgaris

16
dan menyatakan bahwa tingkat yang sangat rendah di bawah 15 ng/ml memicu
evaluasi autoimun yang lebih luas.

17
DIAGNOSIS DAN PILIHAN PENGOBATAN
Diagnosis vitiligo didasarkan terutama pada pemeriksaan klinis, namun,
ada daftar diagnosis banding yang harus diingat jika diagnosisnya tidak pasti.
Tabel 2 menunjukkan kemungkinan diferensial diagnosis vitiligo.
Tabel 2. Diagnosis banding vitiligo
Diturunkan atau diinduksi secara genetik
hypomelanosis (biasanya ada saat lahir)
Piebaldisme
Tuberous sclerosis
Hipomelanosis Ito
Sindrom Waardenburg
Sindrom Hermanski-Pudlak
Sindrom Menkés
Sindrom Ziprkowski-Margolis
Sindrom Griscelli
Hipomelanosis pasca inflamasi
Terkait dengan peningkatan pergantian epidermis
Psorias
Dermatitis atopik
Terkait dengan likenoid akut / infiltrat sitotoksik
dengan inkontinensia pigmen
Lichen planus
Reaksi obat beracun
Hipomelanosis para-maligna
Mikosis Fungoides
Depigmentasi terkait melanoma

Hipopigmentasi para-infeksi
Pityriasis versicolor
Kusta
Leishmaniasis
Onchocerciasis
Hipomelanosis macular didapat (Acquired macular hypomelanosis)
Leucoderma pasca trauma
Pasca luka bakar
Pasca bekas luka
Melasma
Okupasi dan depigmentasi yang diinduksi obat
Derivatif fenolik-katekolik
Obat sistemik (chloroquine, fluphenazine, physostigmine, imatinib)
Obat topikal (imiquimod, penggunaan jangka panjang
steroid topikal)

Dalam kasus diagnosis yang tidak pasti, selain penilaian klinis, mungkin
diperlukan prosedur noninvasif dan invasif (Tabel 3).

18
Tabel 3. Prosedur diagnostik yang direkomendasikan pada vitiligo
Bila diagnosis jelas Bila diagnosis tidak jelas

Anti-TPO, antibodi antitiroglobulin Biopsi cubit dari lesi dan non lesi

TSH dan tes lain bila diperlukan untuk Test lain bila diperlukan (mikologi, biologi
mengetahui fungsi tiroid (misalnya antibodi anti molekuar untuk mendeteksi sel limfoma,
TSHR pada Grave disease) dll)
Autoantibodi tambahan (hanya bila pada
anamnesis, riwayat keluarga, dan/atau
pemeriksaan laboratorium mengarah kecurigaan
penyakit autoimun), saran
endocrinologist/immunologist bila terdapat
beberapa kecurigaan pada sindrom autoimun

Dalam langkah-langkah penilaian dan sebelum memulai perawatan,


penting untuk mempertimbangkan usia pasien, durasi penyakit, perjalanan
penyakit (progresif, regresif atau stabil selama 6 bulan terakhir), jenis atau subtipe
vitiligo (seperti beberapa jenis atau subtipe mungkin memerlukan pendekatan
pengobatan khusus), penyakit terkait khususnya penyakit autoimun, pengobatan
sebelumnya dan jika mungkin profil psikologis pasien atau penilaian Kualitas
Hidup Global.

KORTIKOSTEROID TOPIKAL
Sebagai pengobatan lini pertama dari bentuk terbatas vitiligo, TCS dan
inhibitor kalsineurin topikal (TCI) sekarang banyak digunakan. Kortikosteroid
topikal memiliki hasil terbaik (75% repigmentasi) pada area yang terpapar sinar
matahari (wajah dan leher), pada kulit gelap, pada lesi baru, dan pada anak-anak
dibandingkan dengan orang dewasa.
Berdasarkan studi perbandingan antara kortikosteroid topikal dan inhibitor
kalsineurin topikal, kortikosteroid topikal memiliki tingkat yang sama dengan
tingkat yang sedikit lebih tinggi dari repigmentasi.
Efek samping lokal kortikosteroid topikal yang kuat atau sangat kuat tidak
diketahui termasuk atrofi epidermal, teleangiektasia, striae distensae, steroid
folikulitis dan efek samping yang terkait dengan penyerapan sistemik.

19
Saat ini, tidak ada penelitian yang menunjukkan durasi optimal terapi
kortikosteroid topikal dan aplikasi diskontinyu yang dapat meningkatkan indeks
terapeutik.

CALCINEURIN TOPICAL INHIBITORS (TCIS)


Efek menguntungkan TCIS telah dilaporkan untuk terapi vitiligo sejak
tahun 2002, terutama area yang dikontraindikasikan untuk penggunaan
kortikosteroid topikal yang poten. Calcineurin inhibitor topical (tacrolimus dan
pimekrolimus) merupakan immunomodulator topikal, dimana calcineurin
merupakan protein intraseluler di limfosit dan sel dendritik, yang berperan sebagai
faktor transkripsi untuk sitokin, seperti IL-2 dan TNF-α.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya pada bagian etiologi, pasien
dengan vitiligo memiliki peningkatan pada IL-10, TNF-α, dan IFN-γ. Terapi
dengan tacrolimus menurunkan hitung jaringan TNF-α1 dan meningkatkan
migrasi dan diferensiasi melanoblast.
Beberapa penelitian terandomisasi yang telah dipublikasikan,
menunjukkan hasil yang menguntungkan terutama pada regio wajah dan leher,
baik pada anak dan dewasa. Sepertinya penggunaan TIMs pada terapi vitiligo
meningkatkan efek fototerapi dan/atau terapi laser (308 excimer laser).
Terapi oklusif dapat meningkatkan efek di lesi pada lengan dan kaki yang
sebelumnya tidak responsif terhadap terapi. Pemberian tacrolimus 0.1% topikal
dua kali sehari menunjukkan efikasi yang lebih daripada penggunaan sekali
sehari.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya pada terapi vitiligo dengan
kortikosteroid topikal, informasi tentang periode terapi ideal dan kegunaan jangka
panjang vs intermiten belum tersedia.

FOTOTERAPI
Fototerapi dengan psoralen plus UVA radiation (PUVA)
mengkombinasikan psoralen dengan UVA radiation gelombang panjang (320-340
nm), fotokemoterapi dengan khellin plus UVA (KUVA) mengkombinasikan
penggunaan khellin dengan UVA radiation gelombang panjang (320-340 nm),

20
fotokemoterapi dengan L-fenilananine (L-phe) mengkombinasikan penggunaan L-
phe dengan UVA (PAUVA) atau UVB, 311 nm fototerapi UVB ikatan sempit
(NB-UVB) dan terapi laser (alat targeted phototeraphy) termasuk: excimer laser
308 nm (MEL), Bioskin laser yang mentransmisikan panjang gelombang 311 nm
terfokus, helium neon laser (HeNe) yang mentransmisikan panjang gelombang
632,8 nm.
Radiasi UVB ikatan sempit saat ini merepresentasikan pilihan fototerapi
untuk vitiligo aktif dan/atau widespread. Efek samping yang lebih jarang daripada
PUVA terutama mengabaikan risiko kanker kulit melanoma dan non melanoma
serta efikasinya setidaknya equivocal.
Penggunaan KUVA oral telah dilarang secara luas karena toksisitas liver.

TERAPI LASER (TARGETED PHOTOTHERAPY)


Monochromatic excimer laser (MEL) 308 nm
MEL adalah targeted-phototherapy yang paling popular untuk pengobatan
vitiligo dengan lebih sedikit penyinaran tubuh total, dan sedikit efek samping pada
kulit normal. MEL digunakan satu hingga tiga kali seminggu untuk inisiasi selama
12 minggu dan telah disetujui FDA untuk terapi vitiligo. Hasil dari pengobatan
dengan MEL akan lebih baik jika dikombinasikan dengan modalitas lain, seperti
hidrokortison topikal 17-butirat, tacrolimus topikal. Manfaat menggabungkan
topikal analog vitamin D3 belum jelas diketahui, tetapi takalsitol topikal dapat
menyebabkan repigmentasi lebih awal, membutuhkan lebih sedikit radiasi
kumulatif, dan mungkin tidak mempengaruhi repigmentasi akhir.
Bioskin
Bioskin adalah perangkat baru yang mentransmisikan fokus radiasi UVB
311-nm, fototerapi Bioskin (monoterapi) memiliki tingkat repigmentasi lebih dari
75% pada 72% pasien dan hasil yang lebih baik tercapai jika dikombinasikan
dengan modalitas lain. Hasil terbaik dicapai jika dikombinasikan dengan
betametason dipropionat.
Laser Helium Neon
Laser helium neon (HeNe) memancarkan 632,8 nm radiasi dan digunakan
untuk pengobatan segmental vitiligo. Laser ini memodifikasi disregulasi

21
adrenergik aliran darah kulit seperti terlihat pada SV, memicu melanogenesis,
pertumbuhan, migrasi, dan ketahanan hidup melanosit di kulit.

TERAPI MINIPULSE STEROID ORAL


Terapi pulse mengacu pada pemberian intermiten dosis besar
(suprafarmakologis) untuk meningkatkan efek terapi dan mengurangi efek
samping obat tertentu. Minipulse oral dosis sedang betametason / deksametason
telah dirintis di India oleh Pasricha et al. Steroid sistemik dapat mengurangi efek
dari penyakit tetapi tidak efektif dalam repigmentasi; apalagi sisi efek penggunaan
steroid sistemik jangka panjang menjadi kontraindikasi umum.

ANTIOKSIDAN
Antioksidan oral
Suplemen antioksidan oral dapat bermanfaat dalam pengobatan vitiligo
dan alasan penggunaannya adalah untuk melawan terjadinya stress oksidatif
seluler. Monoterapi dengan ginkgo biloba oral secara signifikan menekan
perkembangan penyakit dibandingkan dengan placebo dan pada double-blind
placebo-controlled trial. Pada double-blind placebo-controlled trial, gabungan
dari asam lipoat alfa, vitamin C, vitamin E, dan asam lemak ganda tak jenuh
(polyunsaturated fatty acids) meningkatkan tingkat repigmentasi serta memicu
pengurangan dosis narrow band-UVB.
Leukotomos polipodium oral meningkat tingkat repigmentasi secara
signifikan bila dikombinasikan dengan fototerapi narrow-band UVB di kepala
dan leher. Randomized Controlled Trial (RCT) yang mengevaluasi suplementasi
antioksidan sistemik memberikan bukti terbatas tentang kemanjurannya dan
konfirmasi lebih lanjut diperlukan sebelum merekomendasikan terapi tersebut
untuk vitiligo.
Antioksidan topikal
Katalase dan dismutase superoksida adalah enzim dengan sifat
antioksidan. Beberapa penelitian menunjukkan respon repigmentasi yang nyata
sebagai monoterapi atau dalam kombinasi dengan fototerapi, sementara penelitian
lain tidak menunjukkan manfaat yang sama.

22
TERAPI PEMBEDAHAN
Terapi pembedahan terdiri atas: blister graft (BG), split-thickness skin
graft (STSG), punch graft (PG), dan autologous melanocyte suspension
transplant (AMST).
Teknik BG digunakan untuk membuat cangkok dari jaringan epidermis
donor. Teknik ini memanfaatkan atap bula dari jaringan epidermis donor yang
kemudian ditransplantasi pada jaringan resipien melalui pembedahan. Teknik ini
memberikan hasil yang baik secara kosmetik, namun kurang cocok diterapkan
pada lesi yang besar.
Dalam STSG, cangkok dipanen dengan bantuan dermatom sehingga
cangkok yang dihasilkan memiliki ketebalan yang seragam; hasil cangkok dapat
digunakan untuk menutupi area permukaan yang besar, ditempatkan di atas area
kulit resipien, kemudian ditutup dengan kain kasa. Teknik ini memberikan hasil
yang baik pada proses repigmentasi dan dapat diterapkan pada area permukaan
kulit yang lebih luas bila dibandingkan dengan teknik BG. Teknik BG maupun
STSG dapat dilengkapi dengan fototerapi untuk mempercepat repigmentasi.
PG merupakan terapi pembedahan paling mudah dan murah diterapkan
pada vitiligo. Terapi ini menunjukkan hasil yang baik pada repigmentasi dan
kosmetik pada salah satu penelitian besar yang dilakukan pada 1000 pasien
vitiligo. Fototerapi juga dapat menunjang proses repigmentasi pada terapi PG,
terutama NB-UVB. Akan tetapi, terapi PG kurang cocok dilakukan pada lesi yang
luas.
Tujuan dari terapi AMST adalah untuk memanen jaringan dari area kulit
donor dengan menggunakan teknik BG, PG, STSG, atau kuretase. Setelah itu,
jaringan akan dibuat menjadi suspensi dan kemudian ditransplantasi pada kulit
resipien yang mengalami deepitelisasi. Hasil repigmentasi maupun kosmetik dari
prosedur ini cukup menjanjikan.
Semua prosedur pembedahan tersebut memiliki efek samping meliputi
perlukaan (scarring), infeksi, dan hiperpigmentasi. Pembedahan tidak
direkomendasikan kepada pasien yang memiliki kecenderungan mengalami
fenomena Koebner karena dapat memicu depigmentasi pada area kulit donor

23
maupun resipien. Efek samping yang paling sering terjadi yaitu tekstur batu
kerikil (cobblestone texture) pada cangkokan bila dibandingkan dengan kulit sehat
disekitarnya. Efek samping ini terutama berhubungan dengan prosedur PG.
Prosedur pembedahan ini bisa dilakukan pada pasien vitiligo stabil dan
menetap (dikatakan stabil bila vitiligo inaktif dalam 6 bulan hingga 2 tahun) yang
gagal merespon terapi non pembedahan, dan tidak memiliki riwayat fenomena
Koebner. Yang menjadi indikasi paling tepat bagi prosedur pembedahan ialah
vitiligo segmental stabil (stabilized SV) atau vitiligo fokal, terutama dengan
leukotrikia dan area lesi yang luas.

KAMUFLASE
Mengingat beban psikologis penyakit pada citra tubuh pasien, terutama
dengan lesi pada wajah, leher, dan tangan, kamuflase dianggap sebagai bagian
penting dari pengobatan vitiligo dan harus direkomendasikan untuk digunakan
pada semua tahap perawatan.
Produk dikembangkan untuk menyamarkan kerusakan kulit dan
membutuhkan teknik aplikasi khusus. Ini bisa bersifat sementara seperti, make up
(alas bedak padat, cair dan lengket, dll.), Semi permanen seperti, agen
penyamakan sendiri, atau permanen, seperti mikropigmentasi dan tato. Kamuflase
permanen harus dipertimbangkan dengan hati-hati karena perjalanan vitiligo yang
tidak terduga.

DEPIGMENTASI
Pada pasien dengan vitiligo luas dengan pulau berpigmen yang tersisa dari
kulit normal atau pasien dengan vitiligo refraktori ketika repigmentasi yang
memuaskan tidak dapat dicapai, depigmentasi dapat memberikan hasil kosmetik
yang menyenangkan. Monobenzone ethyl ester (MBEH) adalah turunan dari
hydroquinone (HQ), tidak seperti hydroquinone, MBEH hampir selalu
menyebabkan depigmentasi ireversibel. Laser ruby Q-switch telah banyak
digunakan untuk depigmentasi dalam vitiligo universalis, walaupun laser Q-
switch Alexandrite juga efektif. Kombinasi antara metoksifenol topikal dan laser

24
ruby Q-switched telah diusulkan oleh Njoo et al. dan mencapai depigmentasi
lengkap pada 69% pasien dengan vitiligo universal.

PSIKOTERAPI
Depigmentasi memberikan dampak negatif pada penampilan dan harga
diri pasien. Tingkat kecacatan bervariasi menurut faktor objektif seperti, perluasan
dan tempat penyakit, jenis kulit, etnis, dan latar belakang budaya. Keparahan
penyakit yang dirasakan tampaknya dipengaruhi oleh kepribadian pasien lebih
dari faktor objektif. Kurangnya perawatan yang efektif secara universal
menambah beban psikologis penyakit ini.

TERAPI BIOLOGIS DAN IMUNOSUPRESAN


Penghambat TNF--α, penekan imun seperti azathioprine,
cyclophosphamide, dan cyclosporine dipelajari dalam pengobatan vitiligo, tetapi
data saat ini tidak memberikan cukup bukti untuk merekomendasikan
penggunaannya pada pasien dengan vitiligo. Selain itu, efek samping potensial
dari agen ini tidak membenarkan penggunaannya dalam vitiligo.

TERAPI ALTERNATIF DAN HERBAL


Perawatan alternatif seperti herbal dan produk alami telah digunakan juga
dalam vitiligo, contoh jenis perawatan ini adalah Placentrx yang merupakan
ekstrak plasenta manusia topikal.
Seperti yang dinyatakan dalam ulasan Cochrane pada vitligo ada banyak
batasan untuk menurunkan algoritma pengobatan yang berharga untuk semua
pasien dengan vitiligo berdasarkan RCT. Pertama, RCT jarang terjadi dan
seringkali tidak memiliki langkah atau detail metodologis yang penting. Kedua,
penelitian sering dilakukan dalam kelompok heterogen dalam hal durasi atau
perkembangan, dan pencampuran bentuk terlokalisasi, segmental dan non-
segmental. Ketiga, ada banyak faktor pembaur (paparan cahaya dalam intervensi
jangka panjang, asupan nutrisi antioksidan, atau kesadaran akan keterbatasan
fenomena Koebner).
Akhirnya, perlu disebutkan bahwa standardisasi alat penilaian keparahan
penyakit dan respons terhadap pengobatan harus disatukan dalam semua

25
penelitian di masa depan untuk dapat menggabungkan data dari uji klinis kecil
dan melakukan tinjauan meta-analisis yang baik tentang kemanjuran berbagai
pengobatan yang tersedia. modalitas.
Algoritma tatalaksana yang membagi pilihan terapi menjadi terapi lini
pertama, kedua, ketiga, keempat dirangkum dalam Gambar 1; urutan perawatan
ditentukan oleh tingkat bukti dari literatur untuk setiap perlakuan.

26
Rekomendasi: steroid topikal (A) atau dengan kombinasi analog
Terapi lini pertama: vitamin D3 topikal
Terapi naive vitiligo Alternatif: inhibitor calcineurin topikal (IIA), steroid sistemik (IIB),
IL-fenilalanin topikal (IIB), antioksidan topikal dan mitochondrial
stimulating cream (IB), cahaya matahari dan Khellin PO (IIA)

Lesi tidak berkurang pada


Vitiligo progresif cepat? ekstremitas?
Pertimbangkan steroid Pertimbangkan tacrolimus
sistemik jangka pendek malam hari dengan oklusi

Rekomendasi: NBUVB dengan inhibitor calcineurin topikal (IB)


Alternatif: terapi adjuct NBUVB dengan antioksidan PO (IB),
Terapi lini kedua: steroid sistemik (IIB), atau popolipodium leucitomous (IB), adjuct
Vitiligo recalcitrant to UVA dengan psolaren (IIA), steroid sistemik (IIB), analog vit D
topikal (IB), khellin PO (IIIB), L-fenilalanin PO (IIB), atau topikal
fenilalanin (IIB)

Terapi lini ketiga:


Rekomendasi: 308nm laser dengan steroid topikal (IB)
Vitiligo tidak berhasil
Alternatif: terapi adjuct 308 nm laser dengan inhibitor
diobati dengan
calcineurin topikal (IA)
fototerapi seluruh
tubuh

Terapi lini keempat: Rekomendasi: blister graft (III), split thickness graft (III), punch
Vitiligo recalcitrant graft (III), autologous melanocytes suspension transplant (IB)
pada terapi lini 1-3

Populasi spesial, vitiligo Populasi spesial, vitiligo


segmental: generalisata: Kamuflase dan
Terapi seperti di atas, Terapi seperti di atas, psikoterapi bisa
pertimbangkan helium neon pertimbangkan agen ditawarkan pada pasien
laser sebagai terapi lini ketiga depigmentasi untuk semua stadium terapi
(IIB) recalcitrant

Level IA : rekomendasi berdasarkan bukti dari minimal 1 metaanalisis RCT


Level IB : rekomendasi berdasarkan bukti dari minimal 1 RCT
Level IIA: rekomendasi berdasarkan bukti dari minimal 1 controlled study tanpa randomisasi
Level IIB: rekomendasi berdasarkan bukti dari minimal 1 studi ekperimental jenis lain
Level III : rekomendasi berdasarkan bukti dari studi non eksperimental seperti studi komparatif,
studi korelasi, dan case control
Level IV : rekomendasi berdasarkan laporan komite ahli, pengalaman klinis ahli, atau keduanya

Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan vitiligo. Urutan tatalaksana ditentukan oleh level of evidence dalam literatur
untuk setiap tatalaksana.

Anda mungkin juga menyukai