Disusun Oleh :
Risna Annisa Mardiyati (G 991906029)
Dokter Muda Periode : 5 Agustus - 10 Agustus 2019
PEMBIMBING :
dr. Amru Sungkar, SpB., SpBP-RE (K)
1
BAB I
STATUS PASIEN
I. Anamnesis
A. Identitas pasien
Nama : Tn. S
Umur : 52 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Gemolong, Sragen, Jawa Tengah
Pekerjaan : Petani
No RM : 0147xxx
Suku : Jawa
Agama : Islam
MRS : 31 Juli 2019
Tanggal Periksa : 8 Agustus 2019
B. Keluhan Utama
Luka bakar akibat ledakan gas mesin diesel.
2
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat sakit jantung bawaan : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan yang sama : disangkal
Riwayat sakit jantung bawaan : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
F. Riwayat Kebiasaan
Pasien makan 3 kali sehari dengan porsi cukup nasi lauk sayur. Pasien
merokok. Pasien tidak minum alkohol.
B. Secondary Survey
Keadaan Umum
3
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang
- Derajat kesadaran : Compos mentis E4V5M5
Status Generalis
1. Kepala : mesocephal, jejas (-), berdarah (-)
2. Wajah : Kulit tampak kemerahan mengelupas di seluruh wajah dengan
bekas darah.
3. Mata : konjungtiva pucat (+/+), sclera ikterik (+/+), pupil isokor
(3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), hematom periorbita (-/-), visus (N/N),
gerak bola mata (N/N)
4. Telinga : normotia, sekret (-/-), tragus pain (+/-)
5. Hidung : simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-), darah (-)
6. Mulut : gusi berdarah (-), lidahkotor (-), jejas (-), maloklusi (+)
7. Wajah : lihat status lokalis
8. Leher : nyeri tekan (-), JVP R+2
9. Thorak : simetris, retraksi (-)
10. Paru
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri, RR: 20x/menit
Palpasi : krepitasi (-/-),
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (normal/normal), RBH (-/-)
11. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung slit dievaluasi
Auskultasi : bunyi jantung I-II intenstas normal, regular, bising (-)
12. Abdomen
Inspeksi : dinding abdomen sejajar dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : tidak bisa dievaluasi karena pasien nyeri ketika disentuh
Palpasi : supel, nyeri tekan (+) di bagian luka bakar pasien
4
13. Ekstremitas : nyeri tekan (+), jejas (+)
- -
- -
- -
Akral dingin Oedem
- -
Status Lokalis
Scoring luka bakar pada pasien:
a. Wajah : Luka bakar 3.5% derajat II
b. Leher : Luka bakar 1% derajat II
c. Thorax : Luka bakar 5% derajat II
d. Abdomen : Luka bakar 5% derajat II
e. Ekstremitas: Superior
Antebrachii dextra Luka bakar 5% derajat II
Antebrachii sinistra luka bakar 5 % derajat II
Inferior dekstra luka bakar 12% derajat II
Inferior sinistra luka bakar 12% derajat II
5
C. Assesment I
- Combustio (luka bakar) 48% derajat II
D. Plan I
- O2 3 lpm
- Monitoring keadaan umum dan vitalsign
- IVFD NaCl 0,9% resusitasi cairan :
8 jam perbaikan 6240 cc
12 jam berikutnya 6240 cc
- Injeksi ranitidin 50 mg /12 jam
- Injeksi metamizol 1 gram/8 jam
- Injeksi ATS
- Injeksi ampisilin sulbactam 1,5 gr
E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (RS Dr. Moewardi, 7 Agustus 2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
ANALISA GAS DARAH
PH 7.5588 g/dL 7.350-7.450
BE 5.4 mmol/L -2 - +3
HCO3 27.8 mmol/L 21.0 - 27.0
PCO2 31.0 rmmHg 27.0 - 41.0
PO2 86.0 jmmHg 83.0 - 108.0
Hematokrit 33 % 37 - 50
KIMIA URIN
Berat jenis 1.016 1.015-1.025
pH 7.8 4.5- 8.0
Leukosit Negatif /uL Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein Positif 1 mg/dl Negatif
Glukosa Positif 1 mg/dl Negatif
Keton Negatif mg/dl Negatif
Urobilinogen Positif 3 mg/dl Negatif
Bilirubin Positif 1 mg/dl Negatif
Eritrosi Positif 2 mg/dl Negatif
SEROLOGI
6
HbsAg Nonreactive Nonreactive
Pemeriksaan EKG dilakukan ketika pasien masuk RSDM pada 31 Juli 2019
dengan hasil sinus takikardi, normo axis.
7
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
A. Pendahuluan
Kasus luka bakar yang memerlukan perawatan terjadi pada pasien 500.000 per
tahun di Amerika Serikat. 46% adalah luka bakar akibat api . Jumlah luka bakar
serius menurun di Amerika Serikat karena peningkatan pencegahan seperti
detektorasap, regulasi suhu air dan berhenti merokok. Namun masih ada sekitar
3500 kematian dari kebakaran area permukiman setiap tahun. Sekitar 75% dari
kematian tersebut terjadi di tempat kecelakaan atau selama transportasi awal.
Kematian yang terkait dengan luka bakar adalah terkait dengan usia pasien,
persentase dari permukaan tubuh yang terbakar, dan adanya atau tidak adanya
trauma inhalasi asap. Menurut model ini, pasien dengan luka bakar yang mencakup
lebih dari 40% dari permukaan tubuh dan cedera inhalasi asap, diperkirakan
memiliki resiko kematian dari 33%. Pasien luka bakar yang selamat akan mendapat
jaringan parut, infeksi, kehilangan tulang dan massa otot, penyembuhan luka yang
buruk, ketidakseimbangan hormone dan kegagalan fungsi paru-paru, hati atau ginjal.
Kehilangan jaringan kulit menyebabkan regulasi panas dan penyembuhan luka
menjadi lebih sulit,. Luka bakar kecil juga menyebabkan morbiditas yang signifikan,
seperti hilangnya fungsi tangan atau kecacatan pada wajah.
B. Definisi
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik,
dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan
mortalitas tinggi yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok)
sampai fase lanjut.
Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung maupun
tidak langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi pada kecelakaan
rumah tangga. Selain itu, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan
kimia juga dapat menyebabkan luka bakar. Secara garis besar, penyebab terjadinya
luka bakar dapat dibagi menjadi:
Paparan api
8
o Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan
menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar
pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki
kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung
meleleh atau menyala dan menimbulkan cedera tambahan berupa cedera
kontak.
o Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda
panas. Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang
mengalami kontak. Contohnya antara lain adalah luka bakar akibat rokok
dan alat-alat seperti solder besi atau peralatan masak.
Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin lama
waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang
disengaja atau akibat kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka
bakarnya. Pada kasus kecelakaan, luka umumnya menunjukkan pola percikan,
yang satu sama lain dipisahkan oleh kulit sehat. Sedangkan pada kasus yang
disengaja, luka umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas dalam pola
sirkumferensial dengan garis yang menandai permukaan cairan.
Uap panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator mobil.
Uap panas menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi dari uap
serta dispersi oleh uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas
dapat menyebabkan cedera hingga ke saluran napas distal di paru.
Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan oklusi
jalan nafas akibat edema.
Aliran listrik
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh.
Umumnya luka bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang menyebabkan
percikan api dan membakar pakaian dapat menyebabkan luka bakar tambahan.
Zat kimia (asam atau basa)
Radiasi
9
Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.
Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih
terdapat epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Jaringan
tersebut misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan
pangkal rambut. Dengan adanya jaringan yang masih “sehat” tersebut, luka
10
dapat sembuh dalam 2-3 minggu. Gambaran luka bakar berupa gelembung atau
bula yang berisi cairan eksudat dari pembuluh darah karena perubahan
permeabilitas dindingnya, disertai rasa nyeri. Apabila luka bakar derajat II yang
dalam tidak ditangani dengan baik, dapat timbul edema dan penurunan aliran
darah di jaringan, sehingga cedera berkembang menjadi full-thickness burn atau
luka bakar derajat III.
Derajat III
Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau
jaringan yang lebih dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel yang
dapat menjadi dasar regenerasi sel spontan, sehingga untuk menumbuhkan
kembali jaringan kulit harus dilakukan cangkok kulit. Gejala yang menyertai
justru tanpa nyeri maupun bula, karena pada dasarnya seluruh jaringan kulit
yang memiliki persarafan sudah tidak intak.
11
D. Luas Luka Bakar
Berat luka bakar bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Usia dan
kesehatan pasien sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis. Adanya trauma
inhalasi juga akan mempengaruhi berat luka bakar.
Jaringan lunak tubuh akan terbakar bila terpapar pada suhu di atas 46 oC.
Luasnya kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan dan lamanya kontak. Luka
bakar menyebabkan koagulasi jaringan lunak. Seiring dengan peningkatan suhu jaringan
lunak, permeabilitas kapiler juga meningkat, terjadi kehilangan cairan, dan viskositas
plasma meningkat dengan resultan pembentukan mikrotrombus. Hilangnya cairan dapat
menyebabkan hipovolemi dan syok, tergantung banyaknya cairan yang hilang dan
respon terhadap resusitasi. Luka bakar juga menyebabkan peningkatan laju metabolik
dan energi metabolisme.
Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas
telapak tangan individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas luka bakar
hanya dihitung pada pasien dengan derajat luka II atau III.
Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa
12
Pada dewasa digunakan ‘rumus 9’, yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung,
pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan,
paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing
9%. Sisanya 1% adalah daerah genitalia. Rumus ini membantu menaksir luasnya
permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa.
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan kepala
anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Karena
perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus
10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 untuk anak.
13
Metode Lund dan Browder
Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh di
kepala pada anak. Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas
permukaan pada anak. Apabila tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas
permukaan tubuh pada anak dapat menggunakan ‘Rumus 9’ dan disesuaikan
dengan usia:
o Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%.
Torso dan lengan persentasenya sama dengan dewasa.
o Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap
tungkai dan turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai nilai
dewasa.
14
Lund and Browder chart illustrating the method for calculating the percentage of body
surface area affected by burns in children.
15
a. Luka bakar dengan luas 15 – 25 % pada dewasa, dengan luka bakar derajat III
kurang dari 10 %
b. Luka bakar dengan luas 10 – 20 % pada anak usia < 10 tahun atau dewasa > 40
tahun, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %
c. Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang tidak
mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum
3. Luka bakar ringan
a. Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa
b. Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut
c. Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka, tangan,
kaki, dan perineum
16
oksigen. Tanda keracunan ringan adalah lemas, bingung, pusing, mual dan muntah.
Pada keracunan yang berat terjadi koma. Bila lebih dari 60% hemoglobin terikat CO,
penderita dapat meninggal.
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi
serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini ditandai dengan
meningkatnya diuresis.
Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang merupakan
medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini
sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami
trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik.
Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari dari kulit penderita sendiri,
juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan
rumah sakit. Infeksi nosokomial ini biasanya sangat berbahaya karena kumannya
banyak yang sudah resisten terhadap berbagai antibiotik.
Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif yang
berasal dari kulit sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat terjadi invasi
kuman Gram negatif, Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan eksotoksin
protease dari toksin lain yang berbahaya, terkenal sangat agresif dalam invasinya pada
luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat dilihat dari warna hijau pada kasa penutup luka
bakar. Kuman memproduksi enzim penghancur keropeng yang bersama dengan
eksudasi oleh jaringan granulasi membentuk nanah.
Infeksi ringan dan noninvasif ditandai dengan keropeng yang mudah terlepas
dengan nanah yang banyak. Infeksi yang invasif ditandai dengan keropeng yang kering
dengan perubahan jaringan di tepi keropeng yang mula-mula sehat menadi nekrotik;
akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat II menjadi derajat III. Infeksi kuman
menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar dan
menimbulkan trombosis sehingga jaringan yang didarahinya nanti.
Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan kuman dan
terlihat invasi kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya. Luka bakar demikian disebut
luka bakar septik. Bila penyebabnya kuman Gram positif, seperti stafilokokus atau basil
Gram negatif lainnya, dapat terjadi penyebaran kuman lewat darah (bakteremia) yang
17
dapat menimbulkan fokus infeksi di usus. Syok sepsis dan kematian dapat terjadi karena
toksin kuman yang menyebar di darah.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh
dengan meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen
epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat,
atau sel pangkal rambut. Luka bakar derajat II yang dalam mungkin meninggalkan parut
hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku dan secara estetik jelek. Luka bakar derajat III yang
dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami kontraktur. Bila terjadi di persendian, fungsi
sendi dapat berkurang atau hilang.
Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut, peristalsis
usus menurun atau berhenti karena syok, sedangkan pada fase mobilisasi, peristalsis
dapat menurun karena kekurangan ion kalium.
Stres atau badan faali yang terjadi pada penderita luka bakar berat dapat
menyebabkan terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala yang
sama dengan gejala tukak peptik. Kelainan ini dikenal sebagai tukak Curling.
Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan protein
menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena eksudasi, metabolisme tinggi dan
infeksi. Penguapan berlebihan dari kulit yang rusak juga memerluka kalori tambahan.
Tenaga yang diperlukan tubuh pada fase ini terutama didapat dari pembakaran protein
dari otot skelet. Oleh karena itu, penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan
berat badan menurun. Dengan demikian, korban luka bakar menderita penyakit berat
yang disebut penyakit luka bakar. Bila luka bakar menyebabkan cacat, terutama bila
luka mengenai wajah sehingga rusak berat, penderita mungkin mengalami beban
kejiwaan berat. Jadi prognosis luka bakar ditentukan oleh luasnya luka bakar.
18
melingkar di dada atau trauma multipel di rongga toraks; dan gangguan sirkulasi
seperti keseimbangan cairan elektrolit, syok hipovolemia.
2. Fase setelah syok berakhir, fase sub akut
Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dan sepsis. Hal ini
merupakan dampak dan atau perkembangan masalah yang timbul pada fase
pertama dan masalah yang bermula dari kerusakan jaringan (luka dan sepsis luka)
3. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya maturasi jaringan.
Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti parut hipertrofik,
kontraktur dan deformitas lain yang terjadi akibat kerapuhan jaringan atau struktur
tertentu akibat proses inflamasi yang hebat dan berlangsung lama
19
G. INDIKASI RAWAT INAP PASIEN LUKA BAKAR
Menurut American Burn Association, seorang pasien diindikasikan untuk
dirawat inap bila:
1. Luka bakar derajat III > 5%
2. Luka bakar derajat II > 10%
3. Luka bakar derajat II atau III yang melibatkan area kritis (wajah, tangan, kaki,
genitalia, perineum, kulit di atas sendi utama) risiko signifikan untuk masalah
kosmetik dan kecacatan fungsi
4. Luka bakar sirkumferensial di thoraks atau ekstremitas
5. Luka bakar signifikan akibat bahan kimia, listrik, petir, adanya trauma mayor
lainnya, atau adanya kondisi medik signifikan yang telah ada sebelumnya
6. Adanya trauma inhalasi
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan:
1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah
2. Urinalisis
3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit
4. Analisis gas darah
5. Radiologi – jika ada indikasi ARDS
6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis SIRS dan MODS
20
bakar menimbulkan kecurigaan adanya jejas ‘tersembunyi’. Oleh karena itu, setelah
mempertahankan ABC, prioritas berikutnya adalah mendiagnosis dan menata laksana
jejas lain (trauma tumpul atau tajam) yang mengancam nyawa. Riwayat terjadinya luka
bermanfaat untuk mencari trauma terkait dan kemungkinan adanya jejas inhalasi.
Informasi riwayat penyakit dahulu, penggunaan obat, dan alergi juga penting dalam
evaluasi awal.
Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai. Pemeriksaan
radiologik pada tulang belakang servikal, pelvis, dan torak dapat membantu
mengevaluasi adanya kemungkinan trauma tumpul.
Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi. Terlepas
dari luasnya area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan transfer pasien
adalah mempertahankan ventilasi adekuat, dan jika diindikasikan, melepas dari eskar
yang mengkonstriksi.
21
6. Pemberian terapi inhalasi
Bertujuan mengupayakan suasana udara yang lebih baik didalam lumen jalan
nafas dan mencairkan sekret kental sehingga mudah dikeluarkan. Terapi inhalasi
umumnya menggunakan cairan dasar natrium klorida 0,9% ditambah dengan
bronkodilator bila perlu. Selain itu bias ditambahkan zat-zat dengan khasiat
tertentu seperti atropin sulfat (menurunkan produksi sekret), natrium bikarbonat
(mengatasi asidosis seluler) dan steroid (masih kontroversial)
7. Bilasan bronkoalveolar
8. Perawatan rehabilitatif untuk respirasi
9. Eskarotomi pada dinding torak yang bertujuan untuk memperbaiki kompliansi
paru
22
pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.
Cara Baxter
Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL
Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan
dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari
pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.
c. Resusitasi nutrisi
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya dilakukan
sejak dini dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar, maka
pemberian nutrisi dapat melalui naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan
sebaiknya mengandung 10-15% protein, 50-60% karbohidrat dan 25-30% lemak.
Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan
mencegah terjadinya atrofi vili usus. Dengan demikian diharapkan pemberian nutrisi
sejak awal dapat membantu mencegah terjadinya SIRS dan MODS.
23
a. Mengupayakan proses penyembuhan berlangsung lebih cepat. Dengan
dibuangnya jaringan nekrosis, debris dan eskar, proses inflamasi tidak akan
berlangsung lebih lama dan segera dilanjutkan proses fibroplasia. Pada daerah
sekitar luka bakar umumnya terjadi edema, hal ini akan menghambat aliran
darah dari arteri yang dapat mengakibatkan terjadinya iskemi pada jaringan
tersebut ataupun menghambat proses penyembuhan dari luka tersebut. Dengan
semakin lama waktu terlepasnya eskar, semakin lama juga waktu yang
diperlukan untuk penyembuhan.
b. Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut menjadi komplikasi –
komplikasi luka bakar (seperti SIRS). Hal ini didasarkan atas jaringan nekrosis
yang melepaskan “burn toxic” (lipid protein complex) yang menginduksi
dilepasnya mediator-mediator inflamasi.
c. Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin banyaknya proses
angiogenesis yang terjadi dan vasodilatasi di sekitar luka. Hal ini mengakibatkan
banyaknya darah keluar saat dilakukan tindakan operasi. Selain itu, penundaan
eksisi akan meningkatkan resiko kolonisasi mikro – organisme patogen yang
akan menghambat pemulihan graft dan juga eskar yang melembut membuat
tindakan eksisi semakin sulit.
Tindakan ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan pemberian cairan
melalui infus. Tindakan ini digunakan untuk mengatasi kasus luka bakar derajat II
dalam dan derajat III. Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis dan juga “skin
grafting” (dianjurkan “split thickness skin grafting”). Tindakan ini juga tidak akan
mengurangi mortalitas pada pasien luka bakar yang luas. Kriteria penatalaksanaan
eksisi dini ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
- Kasus luka bakar dalam yang diperkirakan mengalami penyembuhan lebih
dari 3 minggu.
- Kondisi fisik yang memungkinkan untuk menjalani operasi besar.
- Tidak ada masalah dengan proses pembekuan darah.
- Tersedia donor yang cukup untuk menutupi permukaan terbuka yang timbul.
Eksisi dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar batang tubuh
posterior. Eksisi dini terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.
24
Eksisi tangensial adalah suatu teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka
lapis demi lapis sampai dijumpai permukaan yang mengeluarkan darah (endpoint).
Adapun alat-alat yang digunakan dapat bermacam-macam, yaitu pisau Goulian atau
Humbly yang digunakan pada luka bakar dengan luas permukaan luka yang kecil,
sedangkan pisau Watson maupun mesin yang dapat memotong jaringan kulit
perlapis (dermatom) digunakan untuk luka bakar yang luas. Permukaan kulit yang
dilakukan tindakan ini tidak boleh melebihi 25% dari seluruh luas permukaan tubuh.
Untuk memperkecil perdarahan dapat dilakukan hemostasis, yaitu dengan
tourniquet sebelum dilakukan eksisi atau pemberian larutan epinephrine 1:100.000
pada daerah yang dieksisi. Setelah dilakukan hal-hal tersebut, baru dilakukan “skin
graft”. Keuntungan dari teknik ini adalah didapatnya fungsi optimal dari kulit dan
keuntungan dari segi kosmetik. Kerugian dari teknik adalah perdarahan dengan
jumlah yang banyak dan endpoint bedah yang sulit ditentukan.
Eksisi fasial adalah teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka sampai lapisan
fascia. Teknik ini digunakan pada kasus luka bakar dengan ketebalan penuh (full
thickness) yang sangat luas atau luka bakar yang sangat dalam. Alat yang digunakan
pada teknik ini adalah pisau scalpel, mesin pemotong “electrocautery”. Adapun
keuntungan dan kerugian dari teknik ini adalah:
- Keuntungan : lebih mudah dikerjakan, cepat, perdarahan tidak banyak,
endpoint yang lebih mudah ditentukan
- Kerugian : kerugian bidang kosmetik, peningkatan resiko cedera pada saraf-
saraf superfisial dan tendon sekitar, edema pada bagian distal dari eksisi
2. Skin grafting
Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari metode ini
adalah:
a. Menghentikan evaporate heat loss
b. Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu
c. Melindungi jaringan yang terbuka
Skin grafting harus dilakukan secepatnya setelah dilakukan eksisi pada luka
bakar pasien. Kulit yang digunakan dapat berupa kulit produk sintesis, kulit manusia
yang berasal dari tubuh manusia lain yang telah diproses maupun berasal dari
25
permukaan tubuh lain dari pasien (autograft). Daerah tubuh yang biasa digunakan
sebagai daerah donor autograft adalah paha, bokong dan perut. Teknik mendapatkan
kulit pasien secara autograft dapat dilakukan secara split thickness skin graft atau
full thickness skin graft. Bedanya dari teknik – teknik tersebut adalah lapisan-lapisan
kulit yang diambil sebagai donor. Untuk memaksimalkan penggunaan kulit donor
tersebut, kulit donor tersebut dapat direnggangkan dan dibuat lubang – lubang pada
kulit donor (seperti jaring-jaring dengan perbandingan tertentu, sekitar 1 : 1 sampai
1 : 6) dengan mesin. Metode ini disebut mess grafting. Ketebalan dari kulit donor
tergantung dari lokasi luka yang akan dilakukan grafting, usia pasien, keparahan
luka dan telah dilakukannya pengambilan kulit donor sebelumnya. Pengambilan
kulit donor ini dapat dilakukan dengan mesin ‘dermatome’ ataupun dengan manual
dengan pisau Humbly atau Goulian. Sebelum dilakukan pengambilan donor
diberikan juga vasokonstriktor (larutan epinefrin) dan juga anestesi.
Prosedur operasi skin grafting sering menjumpai masalah yang dihasilkan dari
eksisi luka bakar pasien, dimana terdapat perdarahan dan hematom setelah
dilakukan eksisi, sehingga pelekatan kulit donor juga terhambat. Oleh karenanya,
pengendalian perdarahan sangat diperlukan. Adapun beberapa faktor yang
mempengaruhi keberhasilan penyatuan kulit donor dengan jaringan yang mau
dilakukan grafting adalah:
- Kulit donor setipis mungkin
- Pastikan kontak antara kulit donor dengan bed (jaringan yang dilakukan
grafting), hal ini dapat dilakukan dengan cara :
o Cegah gerakan geser, baik dengan pembalut elastik (balut tekan)
o Drainase yang baik
o Gunakan kasa adsorben
K. Prognosis Pasien dengan Luka Bakar
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan
luasnya permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain
itu faktor letak daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut
menentukan kecepatan penyembuhan.
26
Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang timbul pada luka
bakar antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis, serta parut
hipertrofik dan kontraktur.
DAFTAR PUSTAKA
27
1. Ahmadsyah I, Prasetyono TOH. (2005) Luka. Dalam: Sjamsuhidajat
R, de Jong W, editor. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. h. 73-
2. Astrid MP. (2009). Presentasi Luka Bakar. Departemen Bedah FKUI.
Jakarta.
3. Carvajal HF, Griffith JA. Burn and inhalation injury. Dalam:
Fuhrman BP, Zimmerman JJ, penyunting.. Edisi ke- 3. Philadelphia : Mosby
Elsevier; 2006. hlm. 1565-74.
4. Gallagher JJ, Wolf SE, Herndon DN. 2008. Burns. In: Townsend
CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Editors. Sabiston Textbook of Surgery.
18th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.
5. Gandhi I, Lord D, Enoch S. Management of pain 5. in children with
burns. Int J Paed. 2010; 12(3): 1-7.
6. Gibran NS. 2006. Burns. In: Mulholland MW, Lillemoe KD, Doherty
GM, Gerard M, Ronald V, Upchurch GR. Greenfield’s Surgery: Scientific
Principles and Practice. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
7. Grace, Pierce A. & Borley, Neil R. 2006. At a Glance Ilmu Bedah.
edisi ketiga. Jakarta: Erlangga. Kapita selekta edisi 3 jilid 2.
8. Heimbach DM, Holmes JH. (2007) Burns. In: Brunicardi FC,
Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE, editors. Schwartz’s
principal surgery. 8th ed. USA: The McGraw-Hill Companies.
9. Latenzer BA. Critical care of the burn patient 16. the first 48 hours.
Crit Care Med. 2009;97(10): 2823-7.
10. Moenadjat Y (2003). Luka Bakar – Pengetahuan Klinik Praktis.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
11. Moenadjat Y. (2009) Luka bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
12. Naradzay JFX, Alson R. (2012). Thermal burns. Dalam: Slapper D,
Talavera F, Hirshon JM, Halamka J, Adler J, editors. Diunduh dari:
http://www.emedicinehealth.com.
28
13. Shankar Gowri, Naik Vijaya A, Rajesh Powar, Ravindra Honnungar,
Mallapur M D. Epidemiology and Outcome of Burn Injuries. J Indian Acad
Forensic Med.(2012), Vol. 34, No. 4
14. Shehan H, Peter D. (2004) Pathophysiology and types of burns.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC421790
15. Split & Full Thickness Skin Grafting. (2017) Diunduh dari
http://www.burnsurvivorsttw.org/burns/grafts.html.
16. Sterling P, Heimbach DM, Gibran NS. Management of the burn
wound. ACS surgey: principle and practice. 2010; 15: 89-96
17. Talbot, S. & Joseph Upton & Daniel N. Driscoll. (2011) Changing
trends in pediatric upper extremity electrical burns. HAND (2011) 6:394–398
18. Torpy Janet M, Lynm Cassio, Glass Richard. 2008. Burn injuries.
The Journal of the American Medical Association.
19. Torpy Janet M, Lynm Cassio, Glass Richard. Burn injuries. The
Journal of the American Medical Association (2008).
20. Udey, Andrew; Roberts Jason, A; Lipman, Jefrey. (2018). The
effects of major burn related pathophysiological changes on the pharmacokinetics
and pharmacodynamics of drug use: An appraisal utilizing antibiotics. Archieves of
Plastic Surgery 39(4): 292-300.
21. Ullrich PM, Askay SW, Patterson DR. Pain, Depression, and
Physical Functioning Following Burn Injury. Rehabil Psychol, 2009. 5
22. UW. Health. Health Care for You. (2018). Burn Care Guidelines for
2nd and 3rd Grades. University of Wiconsin Hospital and Clinicals Authority.
23. Vyas K, Wagh S, RAwat APArhar S. Use of local skin as an islanded
flap in coverage of post burn contracture release. India Journal of Burns. 2011; 19
24. Wim DJ. Luka, Trauma, Syok, Bencana dalam : Buku Ajar Ilmu
Bedah. EGC. Jakarta. hal 81-91.
25. Yurt RW, Howell JD, Greenwald BM. Burns, electrical injuries, and
smoke inhalation. Dalam: Nichols DG, penyunting. Roger's textbook of pediatric
intensive care. Edisi ke- 4. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2008. hlm.
414-25.
29
26. Ziadi N, Alam K, Maheswari v, Khan AH, Ahmad I. Clinico-
pathological correlation and assessment of burn wounds. India Journal of Burns.
2011; 19
30