Anda di halaman 1dari 104

REFRAT

ANATOMI DAN FISIOLOGI ORGAN SEKS, FASE-FASE


DALAM SEKSUAL INTERCOURSE, SERTA EPIDEMIOLOGI
HUBUNGAN SEKS PRANIKAH

Disusun oleh :

M. Setya Fachreza G991905043 Sutra Megariawati G991908021


M. Yogatama W. G991905044 Muhammad Syafii G991902041
Nabila Noor I. G991905045 Gilang Teguh Pratama G99181034
Nely Jauhratul L. G991905046 Cindy Stephanie Alberta G99181015
Ni Putu Dian A. G991905047 Eksalanti Thenia G99181022
Noor Iqmaliya R G991905048 Muthia Pradipta Dian P G991902042
Ressy Guslita G991908020 Nadya Lupitasari G991902043

Pembimbing:
dr. Istar Yuliadi, M.Si

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2019

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................................ii


BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
BAB II. ISI ........................................................................................................ 3
I. Anatomi Organ Seks ........................................................................ 3
A. Organa Genitalia Feminina ......................................................... 3
1. Organa Genitalia Feminina Interna ........................................ 4
2. Organa Genitala Feminina Eksterna ...................................... 9
B. Organa Genitalia Masculina ..................................................... 16
1. Organa Genitalia Masculina Interna ..................................... 16
2. Organa Genitala Masculina Eksterna .................................. 25
II. Fisiologi Organ Seks …………………………………………….33
A. Fisologi Organ Seks Perempuan ............................................... 33
1. Sistem Hormon Perempuan .................................................. 35
2. Siklus Ovarium Bulanan ....................................................... 35
3. Fungsi Hormon-Hormon Ovarium ....................................... 36
B. Fisologi Organ Seks Laki-laki ................................................ 49
1. Spermatogenesis ................................................................... 49
2. Kegiatan Seksual Laki-laki ................................................... 55
3. Testosteron dan Hormon Seks Laki-Laki ............................. 59
III. Epidemiologi Hubungan Seks Pranikah ..................................... 69
A. Prevalensi Hubungan Seks Pranikah Pada Sekolah Dasar
(SD) ....................................................................................... 73
B. Prevalensi Hubungan Seks Pranikah Pada Sekolah
Menengah Pertama (SMP)................................................... 75
C. Hubungan Seks Pranikah Pada Sekolah Menengah Atas
(SMA) .................................................................................... 80
D. Hubungan Seks Pranikah Pada Mahasiswa ........................... 86
IV. Fase-Fase Seksual Intercourse .................................................... 89
A. Human Sexuality ................................................................... 89
B. Respon Seksual Pada Manusia .............................................. 90
C. Disfungsi Seksual .................................................................. 94
BAB III. PENUTUP .......................................................................................... 98
A. Kesimpulan .................................................................................. 98
B. Saran .............................................................................................. 98
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 99

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perilaku seksual pranikah adalah kegiatan seksual yang melibatkan dua
orang yang saling menyukai atau saling mencintai, yang dilakukan sebelum
perkawinan. Seks bebas atau dalam bahasa populernya disebut extra-martial
intercourse atau kinky-seks merupakan bentuk pembebasan seks yang dipandang
tidak wajar (Banun, 2012).
Bentuk-bentuk perilaku seksual yang biasa dilakukan adalah (1) kissing
atau perilaku berciuman, mulai dari ciuman ringan sampai deep kissing, (2)
necking atau perilaku mencium daerah sekitar leher pasangan, (3) petting atau
segala bentuk kontak fisik seksual berat tapi tidak termasuk intercourse, baik itu
light petting (meraba payudara dan alat kelamin pasangan) atau hard petting
(menggosokkan alat kelamin sendiri ke alat kelamin pasangan, baik dengan
berbusana atau tanpa busana), dan (4) intercourse atau penetrasi alat kelamin pria
ke alat kelamin wanita (Susanti, 2013).
Behaviour intention (niat yang mempengaruhi perilaku), yaitu: minat
terhadap hubungan seksual karena sudah menjadi kebiasaan dan sudah menjadi
kebutuhan yang harus dipenuhi. Untuk pertama kali melakukan hubungan seksual
seseorang tidak memiliki niat dalam melakukannya, namun karena dalam situasi
dan kondisi yang mendukung sehingga terjadi hubungan seksual tanpa
disadarinya. Untuk kedua dan ketiga kalinya seseorang dapat melakukan
hubungan seksual dengan pasangannya disertai niat terlebih dahulu karena sudah
mulai merasa terbiasa dan sudah menjadi kebutuhan.
Hal ini sesuai dengan penelitian Wahyu Rahardjo yang menyatakan bahwa
alasan hubungan seks pertama kali karena rangsangan pasangan seks sebagai
jawaban yang paling sering muncul. Temuan ini sedikit berbeda dengan penelitian
sebelumnya yang menyatakan bahwa keinginan untuk menyalurkan gairah seks,
kemauan sendiri, dan rasa ingin tahu adalah beberapa alasan yang paling sering
disebut. Dalam penelitian Komang Yuni Rahyani menyebutkan bahwa Remaja

1
melakukan hubungan seks pranikah disebabkan oleh berbagai faktor dan faktor
yang berperan penting adalah situasi yang mendukung terjadinya seks pranikah
tersebut. Remaja melakukan hubungan seks pranikah akibat situasi atau
kesempatan remaja bersama-sama didalam ruangan yang pribadi dan kondisi ini
disebut situations of sexual possibility. Selain itu alasan remaja melakukan
hubungan seks pertama kali karena hasrat atau dorongan seksual.
Perilaku seks pranikah memiliki banyak dampak negative diantaranya
kehamilan tidak diinginkan (KTD), aborsi, risiko terkena infeksi menular seksual
(IMS) seperti ulkus mole, klamidia, trikonomiasis, skabies, sifilis, kutil kelamin
(kondiloma akunimala), herpes genital, gonorhoeae, dan risiko tertular
HIV/AIDS. Berdasarkan hal tersebut kami tertarik untuk membahas “Anatomi
dan Fisiologi Organ Seksual, Fase – Fase pada Seksual Intercourse, serta
Epidemiologi Hubungan Seks Pranikah”.

2
BAB II
ISI

I. Anatomi Organ Seks


Sistem reproduksi merupakan salah satu komponen sistem tubuh yang
penting. Struktur dan fungsi organ reproduksi baik pria maupun wanita
memiliki organ reproduksi yang terdiri dari dua bagian berdasarkan
letaknya, yaitu alat kelamin luar dan dalam (Andreas et al, 2016).

A. Organ Genitalia Feminina

OGF (Organa Genitaia Feminina) atau organ reproduksi wanita terletak di


cavum pelvis dan perineum, kecuali saat kehamilan dapat memasuki cavum
abdomen. OGF dibagi menjadi dua berdasarkan letaknya dari Cavitas
pelvis, yaitu:

 OGF interna (Tract. Genitalia Superior) : di dalam Cavitas pelvis

 OGF externa (Tract. Genitalia Inferior) : di luar dari Cavitas pelvis.


OGF berkembang dari ductus paramesonephridicus (ductus Mulleri)
dan pronephros (Moore, 2014).

Gambar 1. Organa Genitalia Feminina Eks Situ (Rohen et all., 2011)

3
Keterangan :

1. Organa Genitalia Feminina Interna


a. Ovarium
Karakteristik
 Berjumlah sepasang
 Berbentuk oval dan pipih (flattened oval)
 Permukaan tumpul
 Terdiri atas jaringan ikat
 Berwarna putih
 Ukuran 4 x 2 x 3 pada wanita usia reproduksi ; memiliki bentuk
dan ukuran seperti biji almond.
 Berat 6 – 8 gram
 Homolog testis pria: seperti testis, ovarium akan berkembang di
dinding posterior abdomen, dan sebelum kelahiran kemudian
mengalami descencus dan menetap di dinding lateral cavum
pelvis. Peristiwa descensus ini tidak melewati canalis inguinalis.
(Rohen et all. , 2011).
Fungsi
 Kelenjar eksokrin, menghasilkan ovum (oogenesis)
Kelenjar endokrin, menghasilkan hormon progesteron dan
estrogen (Rohen et all. , 2011).
Letak
Ovarium terletak pada fossa ovarica di dinding lateral pelvis dan

4
terfiksasi oleh suatu lipatan peritoneum, disebut mesovarium yang
merupakan bagian dari ligamentum latum uteri.
Pada masa embrional, ovarium terletak di regio lumbar dekat
dengan ginjal. Selanjutnya pada masa perkembangan ovarium akan
secara bertahap turun melalui gubernaculum dan berhenti pada
Cavitas pelvis. Ovarium paling sering ditemukan menggantung di
Cavum douglas. Pada keadaan yang sangat jarang, ovarium dapat
turun terlalu jauh hingga dapat ditemukan pada Labia majora. (Snell,
2010).

Batas Fossa Ovarica


 Posterior: Ureter, A/V. Iliaca Interna, A/V/N Obturatoria
 Medial: Uterus, A/V Uterina Recessus peritonealis
 Superior: Fimbria, bagian disal Tuba Uterina
 Inferior: ke arah Dasar Pelvis (Snell, 2010).

b. Tuba Uterina (Tuba Falopii/Oviduct)

Fungsi
 Penyalur oosit dari ovarium hingga ke cavum uteri
 Tempat fertilisasi (Drake et all., 2014)

Letak
Tuba uterina merupakan saluran yang terletak di antara Uterus
dan Ovarium, berjumlah sepasang, dimana ke arah medial tuba melekat
pada bagian atas Corpus uteri, sedangkan ke arah lateral akan terdapat
Fimbriae tubae uterinae yang menempel pada Ovarium menjadi
Fimbria ovarica. Kedudukan Tuba uterina difiksasi oleh lapisan
peritonei disebut sebagai Mesosalphinx, membentuk tepi bebas dari
Lig. Latum uteri bagian anterosuperior (Drake et all., 2014)

Struktur Anatomis
Tuba Uterina terdiri atas empat bagian dari lateral ke medial, yaitu:

5
 Infundibulum Tubae Uterinae
Bagian ujung distal Tuba uterina yang berbentuk seperti terompet
atau corong dan membuka ke arah Cavitas peritonealis melalui
Ostium abdominale tubae uterinae serta membentuk struktur
mukosa seperti jari-jari tangan disebut Fimbriae tubae uterinae.
Sebagian dari fimbria ini akan menempel pada facies medialis
ovarii disebut Fimbria ovarica. Pada saat ovulasi, fimbria ini akan
membengkak dan memanjang akibat adanya dilatasi pembuluh
darah pada lamina propia untuk menangkap oosit yang dilepas
Ovarium.
 Ampulla Tubae Uterinae
Bagian tuba yang melebar. Semakin mendekati Uterus, ketebalan
lapisan otot polos pada dinding ampulla akan semakin menebal.
Biasanya proses fertilisasi terjadi pada lumen ampulla. Pada
submukosa ampulla, terdapat Corpusculum Paccini. (Khas: lebar,
berdinding tipis, dan berliku- liku).
 Isthmus Tubae Uterinae
Bagian tuba yang menyempit, terdiri atas otot polos, dan berbatasan
dengan dinding uterus. (Khas: sempit, berdinding tebal, dan lurus)
 Pars Intramural
Bagian tuba yang menembus myometrium dan terbuka ke Cavum
uteri melalui Ostium uterinum tubae uterinae (Moore et all., 2014).
c. Uterus
Karakteristik
 Organ dengan otot berongga
 Berdinding tebal
 Berbentuk seperti buah pir
 Memiliki ukuran dan posisi yang bervariasi
 Uterus non-gravid berada di pelvis minor, dengan
ukuran panjang 7,5 cm, lebar 5 cm, ketebalan 2 cm.

6
 Uterus memiliki ukuran dan proporsi yang dinamis,
artinya bisa berubah sewaktu waktu (Rohen et all.,
2011)
Fungsi
Tempat berkembangnya embrio dan fetus hingga kelahiran (Pratiwi,
2017).
Letak
Non gravid Uterus biasanya terletak di dalam Cavum pelvicum
tepatnya di pelvis minor, dengan Corpus uteri berada di superior Vesica
urinaria dan Cervix uteri berada diantara Vesica urinaria (Plica
uterovesicalis) atau Rectum (Plica rectovaginalis). Uterus merupakan
organ yang mobile, oleh karena itu posisi uterus dapat berubah-ubah
tergantung penuhnya isi dari Vesica urinaria, Rectum, atau usia
kehamilan (Pratiwi, 2017).

d. Vagina
Karakteristik
 Struktur fibromuskular berbentuk tabung
 Perpanjangan dari vestibulum vagina
 Menghubungkan vulva dengan uterus (Standring, 2008)

Fungsi
 Penyedia jalur lewatnya cairan menstruasi
 Pembentuk bagian bawah dari jalur partus
 Sebagai alat kopulasi
 Penghubung canalis cervicalis di bagian atas dan vestibulum vagina
di bagian bawah (Standring, 2008)

Letak dan Batas

Vagina terletak posterior dari Vesica urinaria dan anterior dari


Rectum, dimana dinding- dindingnya saling bersinggungan. Batas-batas

7
dinding vagina:
 Anterior : Vesica urinaria dan Urethra
 Posterior : Dinding anterior Rectum, Cavum Douglas
dan Fascia Denonvillier (Jar. Ikat longgar), canalis
analis.
Lateral : Fascia pelvis dan M. Levator ani (Gray’s Anatomy, 2008)

Gambar 2. Posisi Vagina diihat dari medial dengan potongan sagital (Gray’s
Anatomy, 2008)

Struktur Anatomis Vagina


Vagina mengelilingi Portio vaginalis cervicis uteri, yang
perlekatannya di dorsal uterus lebih tinggi dibanding perlekatannya di
bagian ventral uterus. Kantung yang terbentuk pada perlekatan di bagian
dorsal ini disebut dengan Fornix posterior, sedangkan cekungan yang lebih
kecil di ventral dan lateral disebut Fornix anterior dan Fornix lateral.
Dimulai dari setinggi Hymen, permukaan dalam Vagina bagian anterior
dan posterior akan berhubungan satu sama lain membentuk celah
transversal disebut Rugae. Vagina akan membuka ke arah Vestibulum
vagina melalui suatu lubang yang disebut Introitus vagina (Gray’s
Anatomy, 2008).

8
Terdapat 4 musculus yang menekan vagina dan bertindak sebagai
sphincter, yaitu :
1. M. pubovaginalis
2. M. sphincter urethra externum
3. M. Sphincter urethrovaginali
4. M. Bulbospongious (Gray’s Anatomy, 2008)

2. Organa Genitalia Feminina Eksterna

a. Mons Pubis
 Merupakan area kulit menonjol menutupi symphisis ossis pubis
 Ditutupi oleh pubes (rambut pubis)
 Terbentuk dari kumpulan jarigan lemak subkutan
 Sebelum pubertas : datar dan labia minora belum terbentuk
sempurna. Remaja: lebih menonjol dan pubes mulai tumbuh.
Menopause: pubes menipis dan labia mengalami atrofi
Pada wanita pubes hanya berjalan hingga ke perineum, sedangkan
pada pria dapat meluas hingga ke umbilicus (Gray’s Anatomy, 2008)

Gambar 3. Vulva (Gray’s Anatomy, 2008)

9
b. Labia Mayora

Labia majora merupakan pelipatan kulit yang menonjol yang


membentang ke arah caudodorsal dari Mons pubis dan membentuk tepi
lateral suatu fissura yang disebut Rima pudendi (Pudendal cleft), yang
merupakan muara dari vagina dan urethra. Labia majora yang akan
membentuk batas lateral dari vulva, secara tidak langsung turut
melindungi Clitoris, OUE, dan Orificium vaginae (Pratiwi, 2017).
Labia majora homolog dengan Scrotum pada pria. Setiap labium
memiliki 2 permukaan, yaitu:
- Aspek Interna : halus, berwarna merah jambu, dan tidak
berambut
- Aspek Externa : mengandung kulit berpigmentasi, Glandula
sebacea dan ditutupi oleh pubes. Diantara kedua permukaan
tersebut terdapat jaringan lemak, jaringan ikat longgar, otot
polos (homolog M. Dartos), pembuluh darah, saraf, dan
kelenjar. Pada permukaan bagian anterior, terdapat akhiran dari
Lig. Rotudum dari Uterus. Ke arah anterior dan posterior, Labia
majora dexter et sinister akan saling bertemu membentuk
Commissura Labiorum Anterior et Posterior (Pratiwi, 2017).

c. Labia Minora (Labium Minor)


Labia minora merupakan pelipatan/plica bulat yang tidak
mengandung lemak dan kulit yang tidak berambut dan terletak di
antara kedua labia majora. Labia minora membatasi bagian lateral dari
OUE dan Orificium vaginae. Pada wanita yang sudah pubertas, akhiran
posterior dari labia minora dextra et sinistra akan berhubungan
membentuk Frenulum labia minora atau Fouchette. Ke arah anterior
setiap labia minora terbagi menjadi :
 Lapisan atas, berjalan di atas Clitoris, membentuk pelipatan yang
saling bertemu membentuk tutup dari Glans clitoridis disebut

10
Preputium clitoridis.
 Lapisan bawah, berjalan di bawah Clitoris dan saling bertemu
membentuk Frenulum clitoridis. Terkadang, pelipatan labial
tambahan (Labium tertium) dapat ditemukan pada satu atau kedua
sisi diantara Labia minora dan Labia majora (Gray’s Anatomy,
2008)

Gambar 4. Ilustrasi Vulva (Gray’s Anatomy, 2008)

d. Clitoris
Clitoris merupakan organ erektil yang homolog dengan penis
pria. Terletak di bawah Commisura labiorum anterior dan di anterior
OUE. Ujung bebas dari clitoris disebut Glans Clitoridis, yaitu sebuah
tuberculum/penonjolan halus kecil yang membulat dan mengandung
lapisan epitel yang memiliki sensitifitas tinggi penting untuk respons
seksual (Snell, 2010).
Clitoris terdiri atas :
 2 Crura clitoridis : melekat pada rami ossis pubis dan membran
perineal. Dan akan menjadi origo dari M. Ischiocavernosus.
 2 Corpora cavernosa clitoridis : dibentuk oleh jaringan erektil
yang tertutup oleh lamina yang padat dari membrana fibrosa.
Keduanya dipisahkan oleh Septum pectiniforme fibrosum, yang
nantinya akan membentuk Lig. Suspensorium clitoridis yang
melekat pada simphysis pubis bagian posterior.
 1 Corpus Cavernosum glandis yang disebut Gland Clitoridis
(Gray’s Anatomy, 2008)

11
Gambar 5. Clitoris dilihat dari inferior (Gray’s Anatomy, 2008)

e. Vestibulum
Vestibulum merupakan ruang yang dikelilingi labium minus
yang menjadi muara ostium urethra, ostium vaginale, dan duktus
glandula vestibularis major dan minor (Gray’s Anatomy, 2008).

Gambar 6. Struktur yang melekat pada Clitoris dan Vestibulum vagina


(Gray’s Anatomy, 2008)
Ostium / Orificium OUE terletak 2,5 cm di dorsal dari Glans
Urethra Externum clitoridis dan tepat di ventral
(OUE) Vagina. Terdapat muara ductus glandula

12
paraurethralis (Gland. Skene) pada batas
lateral Urethra.
Orificium vaginae suatu lubang di linea mediana di sebelah
caudal dan dorsal dari OUE
yang ditutupi oleh Hymen* (selaput dara)
2 Muara duktus kelenjar yang tersusun atas jaringan tubulo-
Glandula Vestibularis asiner, menghasilkan cairan lubrikans
Major apabila terstimulasi oleh rangsang seksual
(Bartholin’s) (dopamin) (Gray’s Anatomy, 2008)

Pada Wanita yang belum melakukan koitus, pada umumnya


terdapat selaput mukosa kaya pembuluh darah yang disebut Hymen.
Hymen adalah suatu plica tipis dari membrana mukosa yang terletak pada
Orificium vaginae. Hymen mempunyai bentuk yang bermacam – macam,
antara lain :
 Hymen Anularis
 Hymen Semilunaris
 Hymen Cribiformis
 Hymen Fimbriatus
 Hymen Imperforatus
Apabila Hymen telah ruptur, terlihat penonjolan kecil – kecil di
pinggir vagina disebut Caruncula hymenalis. Antara Hymen dan
Frenulum labia minora terdapat cekungan yang disebut Fossa navicularis
(Fossa Vestibuli vaginae) (Netter, 2010).

13
Gambar 7. Variasi Hymen (Netter, 2010)

f. Bulbus Vestibuli
Bulbus vestibuli berada pada setiap sisi Vestibulum vaginae.
Bulbus ini merupakan 2 perpanjangan massa dari jaringan erektil
dengan panjang 3 cm, yang mana sisi Orificium vaginae bersatu di
depan oleh Commisura Bulborum (Pars Intermedia) yang sempit.
Ujung posteriornya membesar dan bersinggungan dengan Gland.
Vestibularis major. Facies profunda bersinggungan dengan Lamina
superficialis Diaphragma urogenitale, sedangkan permukaan
superficialnya ditutupi oleh M. Bulbospongiosus. Bulbus ini homolog
dengan bulbus penis pria (Rohen et all., 2011).

g. Glandula Vestibularis Major (Glandula Bartholin’s)


Glandula ini homolog dengan Glandula bulbourethralis pada
pria. Tersusun oleh 2 massa yang kecil, bulat, berwarna kuning
kemerahan yang terletak di kanan-kiri dari orificium vaginae dan
bersinggungan dengan tepi posterior dari massa lateral Bulbus
vestibuli. Setiap glandula mempunyai ductus yang akan bermuara
tepat di sebelah lateral pada cekungan di antara 2 Labia minora
(Gray’s Anatomy, 2008).

14
Vaskularisasi
Arteri
 A. Pudenda interna beserta cabangnya:
- A. Perinealis
- A. Bulbovestibuli
- A. Dorsalis clitoridis
- A. Profunda femoris
Vena
 V. Pudenda eksterna V. Saphena magna
 V. Dorsalis clitoridis profunda V. Pudenda interna
 V. Dorsalis clitoridis superficialis V. Saphena magna
Limfe
 Nl. Ingunalis superfisialis
 Nl. Inguinalis profunda
 Nl. Iliaca externa
 Cloquet’s node (Netter, 2010)

Gambar 8. Homolog OGM dan OGF interna (Netter, 2010)

15
Gambar 9. Homolog OGM dan OGF interna (Netter, 2010)

B. Organa Genitalia Maskulina


1. Organa Genitalia Masculina Interna
a. Testis [Orchis]
Karakteristik
 Terletak didalam scrotum
 Terdapat dua buah yaitu testis dextra dan sinistra
 Digantung oleh tangkai fibromusculer yaitu funiculus
spermaticus yang menghubungkan antara kantong scrotum dan
dinding abdomen
 Testis sinistra biasanya terletak lebih rendah dibandingkan
testis dextra karena funiculus spermaticus sinister lebih
panjang daripada dexter
 Testis homolog dengan ovarium pada wanita (Moore et all.,
2014)

Fungsi
 Organ ini berfungsi sebagai organ endokrin dan eksokrin.
 Sebagai organ endokrin testis mensekresikan hormon
testosterone
 Sebagai organ eksokrin memproduksi spermatozoa (Pratiwi,
2017)

16
Embriologi Testis
 Pada awal kehidupan fetus, testis terdapat dalam cavitas
abdominalis berdampingan dengan ren. Testis ini terfiksasi
pada dinding posterior abdomen oleh gubernaculum testis yang
membentang dari masing-masing testis ke sebuah kantong
peritoneum kecil (processus vaginalis ) yang terletak di
inferoanterolateral dari cavitas abdominalis.
 Dari awal perkembangan sampai bulan ke 7, testis mengalami
penurunan relatif ke dalam canalis inguinalis, kemudian keluar
melalui anulus inguinalis superficialis, lalu masuk ke dalam
scrotum dengan tarikan dari gubernaculum testis. Hal ini
berfungsi untuk menghindari temperatur abdominal yang
suhunya tinggi. Proses ini dinamakan descensus testiculorum
 Hal ini terjadi karena spermatogenesis normal hanya dapat
terjadi bila testis berada pada suhu yang lebih rendah daripada
suhu didalam cavitas abdominalis
 Bila testis terletak didalam scrotum, testis berada pada suhu
sekitar 3°C lebih rendah daripada suhu abdomen (Pratiwi,
2017)

Struktur Anatomis
 Bagian-bagian testis:
a. Ekstremitas superior, menghadap ke ventrolateral, di
extremitas superior ini dapat ditemui appendix testis
b. Ekstremitas inferior, menghadap ke dorsomedial
c. Margo anterior, konveks dan menghadap ventrocaudal
d. Margo posterior, datar, merupakan tempat perlekatan
funiculus spermaticus kearah dorsal dan cranial
 Lapisan-lapisan pembungkus testis dari superficial ke profunda:

17
a. Tunica vaginalis (perhatikan Gambar 3, lapisan warna
ungu)
Merupakan jaringan serosa pembungkus testis, berasal
dari perkembangan saccus vaginalis peritonei. Terdiri dari:
 Lamina parietalis, lebih tebal daripada lamina
visceralis. Lamina ini menempel pada facies interna
scrotum.
 Lamina visceralis, merupakan lapisan tunica vaginalis
yang menempel langsung pada
testis. Pada margo posterior, lamina visceralis akan
mengalami refleksi menjadi lamina parietalis.
 Ruangan yang terletak diantara lamina parietalis dan
visceralis tunica vaginalis disebut sebagai cavum
vaginale testis
b. Tunica albuginea ( perhatikan Gambar 3, yang berwarna
biru muda )
 Merupakan lamina fibrosa yang menutupi testis kecuali
didaerah perlekatan epididymis pada testis di sepanjang
margo posterior testis dan merupakan tempat masuk
arteriae dan nervi ke dalam testis.
 Pada margo posterior testis, terdapat penonjolan tunica
albuginea ke dalam substansia testis yang disebut
mediastinum testis atau corpus Highmori. (perhatikan
Gambar 3, bulatan merah)
 Tonjolan-tonjolan tersebut yang masuk ke dalam testis
disebut septum(plural: septula) atau
trabecula(plural: trabeculae)
 Septula testis akan membagi testis menjadi 200-300
lobuli (singular: lobulus) testis

18
 Di dalam setiap lobulus terdapat 1-3 tubuli contorti
seminiferi (singular: tubulus contortus seminiferus)
 Didalam tubulus contortus seminiferus terdapat dua
buah sel yaitu sel sertoli(berfungsi sebagai sel
penyokong) dan sel spermatogenik (berfungsi
menghasilkan sperma)
 Sedangkan diantara tubulus terdapat sel interstisial
Leydig yang berfungsi menyeksresikan Testosterone
 Tubulus tersebut masuk kedalam mediastinum yang
kemudian menjadi tubulus lain berbentuk lurus, disebut
tubulus rectus seminiferous
 Tubulus rectus akhirnya membentuk anyaman yang
dinamakan rete testis
 Rete testis berlanjut menjadi ductuli efferentes di
superior mediastinum, kemudian menjadi ductus
epididymis (Gray’s Anatomy, 2008)

b. Epididymis
Karakteristik
 Epididymis adalah saluran berkelok yang panjangnya hampir 20
kaki (6 m) yang terdapat dalam jaringan ikat.
 Epididymis melekat pada sebelah lateral dari margo posterior
testis (Pratiwi, 2017).

Fungsi
 Tempat penyimpanan spermatozoa untuk menjadi matang
 Menambahkan substansi untuk memberi nutrisi spermatozoa
yang matang
 Mengabsorbsi cairan, memonitor serta menyesuaikan komposisi
cairan yang diproduksi oleh tubulus seminiferus (fungsi utama)
 Mendaur ulang spermatozoa yang rusak serta melindungi dari

19
lingkungan asam dengan sekret koloidal
 Proses pematangan spermatozoa di epididymis sekitar dua
minggu. Ketika meninggalkan epididymis spermatozoa sudah
matang namun masih immobile
 Hal ini dikarenakan untuk bisa motil, spermatozoa harus
mengalami proses yang disebut kapasitasi. Proses kapasitasi ini
terjadi di 2 tempat:
o Ketika bercampur dengan sekresi dari vesicula seminalis
o Suasana organ reproduksi wanita
 Proses transportasi di sepanjang epididymis meliputi kombinasi
dari pergerakan cairan dan peristaltik otot polos dinding
epididymis (Rohen et all., 2011).

Struktur Anatomis
 Bagian-bagian epididymis antara lain: (perhatikan Gambar 6)
o Caput Epididymidis, bagian melebar di ujung atas. Disebut
juga globus major. Pada caput epididymidis terdapat
appendix epididymidis
o Corpus Epididymidis, dipisahkan dari testis oleh sinus
epididymidis atau fossa sagitalis
o Ductulus Abberans Superior, melekat pada rete testis
(perhatikan gambar 6, warna merah, kecil)
o Ductulus Abberans Inferior, melekat pada corpus epididimis
bagian bawah (perhatikan gambar 6, warna biru)
o Cauda epididymidis, merupakan akhir epididymis. Disebut
juga globus minor
 Fixator Epididimis ke testis :
o Ligamentum epididymidis superius
o Ligamentum epididymidis inferius (Gray’s Anatomy, 2008)

20
c. Ductus Deferens
Karakteristik
 Ductus deferens atau vas deferens adalah saluran lanjutan dari
ductus epididymis
 Panjangnya sekitar 50-60 cm mempunyai lapisan otot yang
tebal
 Diameter totalnya sekitar 3.0-3.5 mm namun diameter
lumennnya hanya sekitar 0.5 mm (Netter, 2010)

Fungsi

Berfungsi sebagai transporter spermatozoa matang dari epididymis


menuju ke ductus ejakulatorius dan urethra (Pratiwi, 2017).

Letak dan Struktur Anatomis


Perjalanan ductus deferens adalah sebagai berikut:
Dari cauda epididymis  ke atas bergabung dengan funiculus
spermaticus  melewati annulus inguinalis superficialis 
melewati canalis inguinalis  melewati annulus inguinalis
profunda  berpisah dengan funiculus spermaticus  melengkung
ke sisi lateral dari A. epigastrica inferior  berjalan ascenden kira-
kira sekitar 2,5 cm di sebelah ventral dari A. iliaca externa 
menyilangi A. iliaca externa  masuk ke dalam cavitas pelvicus 
menyilang diatas ureter pada posterolateral dari vesica urinaria 
lumen ductus melebar disebut ampulla ductus deferentis 
bergabung dengan vesicula seminalis menjadi ductus ejaculatorius
 menembus glandula prostat  urethra pars prostatica (Gray’s
Anatomy, 2008).

21
Gambar 10. Skema Organa Genitalia Masculina

d. Ductus Ejaculatorius
Karakteristik
 Merupakan persatuan dari ductus deferens dan ductus vesicula
seminalis
 Panjangnya kurang dari satu inchi (2 cm) (Pratiwi, 2017)

Fungsi
Fungsinya adalah mengalirkan cairan semen ke urethra (Netter,
2010).

Letak Anatomis
 Ductus ejaculatorius menembus facies posterior prostatae,
diantara lobus medius dan lobus lateralis glandula prostate
 Masing-masing ductus ejaculatorius bermuara ke urethra pars
prostatica, dekat pinggir utriculus prostaticus (Gray’s Anatomy,
2008)

e. Glandula Accesoria
 Vesicula Seminalis
Karakteristik
 Vesicula seminalis atau glandula vesiculosa merupakan
dua buah organ yang berlobus dengan panjang kurang

22
lebih 2 inci (5cm)
 Ujung atasnya terletak agak berjauhan dan ujung
bawahnya saling berdekatan (Gray’s Anatomy, 2008)

Fungsi
 Menghasilkan sekret yang ditambahkan pada cairan semen
 Di dalam sekretnya terdapat fruktosa untuk nutrisi
spermatozoa dan prostaglandin untuk motilitas sperma
 Dinding vesicula seminalis dapat berkontraksi selama
ejakulasi dan mendorong isinya ke ductus ejaculatorius
sehingga mengeluarkan spermatozoa ke urethra
 Mengkoagulasi semen setelah ejakulasi (Pratiwi, 2017)

Letak Anatomis
 Pada sisi medial masing-masing vesicula seminalis
terdapat bagian terminal ductus deferens
 Di posterior, vesicula seminalis berbatasan dengan rectum
 Ke inferior, masing-masing vesicula seminalis menyempit
dan bersatu dengan ductus deferens sisi yang sama untuk
membentuk ductus ejaculatorius
 Masing-masing vesicula seminalis terdiri atas saluran
melengkung yang tertanam di dalam jaringan ikat (Snell,
2012)

 Glandula Prostata
Karakteristik
 Prostata merupakan organ kelenjar fibromuskular yang
mengelilingi urethra pars prostatica
 Prostata mempunyai panjang kurang lebih 1 ¼ inci (3 cm)
(Netter, 2010)

23
Fungsi
 Menghasilkan cairan tipis seperti susu yang mengandung
asam sitrat dan fosfatase asam.
 Cairan ini ditambahkan ke semen pada waktu ejakulasi
 Sekret prostata bersifat alkalis sehingga menetralkan
suasana asam di dalam vagina (Pratiwi, 2017)

Letak Anatomis
 Glandula prostat terletak pada cavum pelvis minor
 Prostata berbentuk kerucut, mempunyai basis prostatae
yang terletak di superior dan berhadapan dengan collum
vesicae
 Apex prostatae yang terletak di inferior dan berhadapan
dengan diaphragma urogenitale(Gray’s Anatomy, 2008)

 Glandula Bulbourethralis (Cowper Glands)


Karakteristik dan Letak Anatomis
 Glandula bulbourethralis adalah dua kelenjar kecil yang
terletak di dalam diaphragma urogenitale
 Letaknya dibawah M. Spincther urethra externum.
Salurannya akan bermuara pada urethra pars spongiosa
 Glandula bulbourethralis homolog dengan glandula
vestibularis major pada wanita (Gray’s Anatomy, 2008)

Fungsi
Berfungsi untuk mengeluarkan carian mukus untuk
pelumas sebelum berhubungan seksual (Rohen et all., 2011).

24
Gambar 11. Glandula Bulbourethralis

2. Organa Genitalia Maskulina Eksterna


a. Penis
Karakteristik
Merupakan organ tubuler yang berfungsi sebagai alat
copulasi. Secara umum, penis dibagi menjadi 2 bagian yaitu pars
fixa (radix penis) yang terfiksasi dan pars libera (corpus penis) yang
tergantung bebas (Pratiwi, 2017).
1. Pars fixa atau radix penis (root of penis), dibentuk oleh tiga
massa jaringan erektil yang melekat pada trigonum urogenitale,
terdiri atas bulbus penis dan crus penis dextra dan sinistra.
a) Bulbus penis
Bulbus penis terletak di garis tengah dan melekat pada
fascia perinealis superficialis (fascia terluar diaphragma
urogenitale). Bulbus penis ditembus oleh urethra dan

25
permukaan luarnya dibungkus oleh musculus
bulbospongiosus. Ke arah anterior bulbus penis akan
berlanjut menjadi corpus spongiosum penis (Gray’s
Anatomy, 2008).
b) Crus penis dextra et sinistra
Crus penis merupakan alat penggantung paling kuat.
Masing-masing crus penis melekat pada facies medialis
ramus inferior ossis pubis dan permukaan luarnya diliputi
oleh musculus ischiocavernosus yang dengan gerakan
refleks atau volunter dapat mengalirkan darah dari crus
menuju ke corpus penis. Di anterior kedua crus penis
saling mendekati dan dibagian dorsal corpus penis terletak
berdampingan membentuk corpus cavernosum penis
(Gray's Anatomy, 2008).
2. Pars libera (body of penis) yang disebut juga corpus penis atau
batang penis. Pada hakekatnya terdiri atas tiga jaringan erektil
yang diliputi sarung fascia berbentuk tubuler (fascia Buck).
Jaringan erektil dibentuk dari dua corpora cavernosa penis
yang terletak di dorsal (saling berhubungan satu dengan yang
lain) dan satu corpus spongiosum penis yang terletak pada
permukaan ventralnya (Gray's Anatomy, 2008).
a) Corpora cavernosa penis
Merupakan corpus (badan) berjumlah 2 pasang, yang
berongga (cavern). Corpora cavernosa merupakan jaringan
erektil. Corpus cavernosum dibungkus oleh jaringan ikat
yang disebut sebagai tunica albuginea. Tunica albuginea
corpora cavernosa penis terdisi dari 2 lapis. Yang pertama
letaknya superficial, langsung membungkus kedua corpora
cavernosa menjadi satu, dan yang kedua letaknya
profundal membungkus masing-masing corpus
cavernosum penis dexter et sinister. Ruangan dalam

26
corpus cavernosum disebut cavernae. Saat ereksi,
cavernae akan berisi darah. Tunica albuginea dexter et
sinister menyatu di medial yang disebut septum
pectiniforme penis. Di sebelah superior dan inferior dari
septum pectiniforme penis, terbentuk dua cekungan. Di
sebelah superior ditempati oleh Arteria dorsalis penis dan
Vena dorsalis profunda penis. Sedangkan yang di inferior
ditempati oleh corpus spongiosum penis (Netter, 2010).
b) Corpus spongiosum penis
Corpus spongiosum berbentuk silindris dan lebih kecil
dari corpus cavernosum penis. Pada bagian distal corpus
spongiosum penis melebar membentuk glans penis yang
meliputi ujung distal corpora cavernosa penis. Di dalam
glans penis akan melebar sebagai fossa navicularis, dan
pada ujung glans penis terdapat celah yang merupakan
muara urethra disebut ostium urethrae externum (Gray's
Anatomy, 2008).
Di bagian proksimal dari glans penis terdapat batas antara
corpus dan glans berbentuk cekungan disebut sulcus
corona glandis. Kulit yang menutupi glans penis disebut
preputium. Preputium dihubungkan dengan glans penis
oleh lipatan yang terdapat tepat di bawah muara urethra
dan dinamakan frenulum preputii. Di bagian dalam
preputium, dekat dengan tepian glans, terdapat glandula
tyson, yang akan menghasilkan smegma (Netter, 2010).

27
Gambar 12. Penis dan Scrotum

Fixator penis
a. Radix penis berupa bulbus dan crura penis
b. Ligamentum suspensorium penis
Ligamentum ini melekat pada linea alba, symphisis osseum
pubis, dan ligamentum arcuatum pubis sampai ke dorsum radix
penis. Ligamentum ini akan melekatkan crura penis ke rami
ischiopubis dan bulbus penis ke diaphragma urogenitale.
c. Ligamentum fundiforme penis
Ligamentum ini lebih panjang dari ligamentum suspensorium
penis, merupakan pemadatan dari fascia scarpa kemudian tepat
di atas pubis akan bergabung dengan vagina musculi recti
abdominis. Kemudian menempel ke dorsum penis dan lateral
radix penis.
d. M. Bulbospongiosus

28
Origo : centrum tendineum perinei
Insertio : tunica albuginea corpus cavernosum penis
Innervasi : nn.perinei cabang n. Pudendus
Fungsinya :
 Fixator penis
 Mekanisme ejakulasi, sehingga disebut juga musculus
ejaculator seminis
 Mekanisme pengosongan urine dari urethra, sehingga
disebut juga musculus accelerator urine
 Mekanisme ereksi, dengan cara menjepit corpus
cavernosum penis dan menarik tunica albuginea, sehingga
V. Dorsalis penis terdesak
e. M. Ischiocavernosus
Origo : facies interna ramus inferior ossis ischii & ventral
tuber ischiadicum
Insertio : tunica albuginea corpus cavernosum penis
Innervasi : n.perinei cabang dari n. Pudendus
Fungsi : fixator penis, ereksi (Gray's Anatomy, 2008)

Gambar 13. Otot otot Diafragma Pria

29
Mekanisme Ereksi (Parasimpatis)
Rangsang atau stimulus seksual akan di proses pada jaras
supraspinal yaitu di area preoptik medial dan nucleus
paraventricularis di hypothalamus dan hippocampus yang
merupakan pusat integrasi fungsi seksual dan ereksi. Impuls dari
SSP dibawa oleh serabut parasimpatis segmen sacral II-IV menuju
organ efektor. Sedangkan inhibisi ereksi dilakukan oleh saraf
simpatis segmen lumbal I-III. Stimulus ereksi dapat berupa:
 Rangsang pada kulit penis, terutama glans peni
 Vesica urinaria penuh
 Ductus deferens penuh
 Rangsang indera berupa penglihatan, perabaan, dan pembauan
(Moore et all., 2014).
Mekanisme:
Reseptor Afferen: n. Dorsalis penis (sensibilitas) 
centrum: NILCLMS segmen sacralis II-IV efferent  Nervi
erigentes efector: relaksasi otot polos corpus cavernosus penis,
dilatasi Aa. Helicinae dalam corpus cavernosum dan darah masuk
mengisi cavernae sehingga tunica albuginea teregang sehingga
vena-vena yang menembus tunica terjepit. Dengan cara ini aliran
keluar dari dari jaringan erektil dihambat sehingga tekanan interna
meningkat dan tetap dipertahankan dalam keadaan demikian.
Dengan demikian panjang dan diameter penis bertambah besar dan
disebut berada dalam posisi ereksi (Pratiwi, 2017).

Mekanisme Ejakulasi (Simpatis)


Mekanisme ejakulasi terdiri dari dua proses. Yaitu emisi
dan ejakulasi. Emisi adalah transmisi cairan semen ke dalam
urethra, sedangkan ejakulasi adalah keluarnya cairan semen dari
ostium urethra externum. Mekanisme: Reseptor (kulit/glans
penis/ductus deferens yang penuh) Afferen oleh N.pudendus

30
centrum -> NILCLMS segmen lumbalis I-III efector -> proses
emisi dinding ductus deferens berkontraksi, otot-otot kelenjar
vesicalis dan bulbourethralis berkontraksi, spincther vesica urinaria
berkontraksi. Proses ejakulasi menyebabkan kontraksi Aa.helicinae
sehingga bisa mengalirkan darah ke venula dan ditambah kontraksi
M.bulbospongiosus dan M . ischiocavernosus sehingga dorongan
mekanis untuk mengeluarkan semen dari urethra (Pratiwi,
2017)(Gray's Anatomy, 2008).

b. Scrotum
Scrotum merupakan kantong kulit yang terletak di bagian
bawah dinding anterior abdomen dan berisi testis, epididymis, dan
ujung bawah funiculus spermaticus. Di linea mediana kulit scrotum
mengalami penebalan yang disebut sebagai raphe scroti yang
merupakan kelanjutan dari raphe penis. Scrotum berfungsi untuk
mengatur suhu testis agar optimal dalam fungsi
spermatogenesisnya. Scrotum homolog dengan labium majus pada
wanita. Lapisan-lapisan scrotum dari superficial ke profundal:
(Gray's Anatomy, 2008)
a. Kulit
Kulit scrotum warnanya lebih kehitaman dibanding kulit pada
daerah lain karena mengandung pigmen lebih banyak
b. Tunica dartos
Terdiri atas lapisan tipis otot polos (M. Dartos). Lapisan ini
sangat vasculair dan tidak dijumpai jaringan lemak. Tunica
dartos akan berkontraksi ketika suhu dingin sehingga akan
menyebabkan testis terangkat ke atas (mendekati tubuh),
temperaturnya menjadi naik. Ketika panas, tunica dartos akan
berelaksasi sehingga testis turun (menjauhi tubuh).
c. Fascia spermatica externa
d. M. Cremasterica

31
e. Fascia spermatica interna
f. Tunica vaginalis lamina parietalis
g. Tunica vaginalis lamina visceralis
h. Tunica albuginea
i. Tunica vasculosa
j. Substansia testis (Gray's Anatomy, 2008)

Funiculus spermaticus
Funiculus spermaticus merupakan gabungan struktur-struktur
yang melalui canalis inguinalis dan berjalan menuju ke dan dari
testis. Funiculus spermaticus diliputi oleh tiga lapisan konsentris
fascia yang berasal dari lapisan-lapisan dinding anterior abdomen.
Faniculus spermaticus berawal pada annulus inguinalis profundus
yang terletak lateral terhadap arteria epigastrica inferior kemudian
keluar melalui annulus inguinalis superficialis, dan berjalan
descenden ke arah scrotum. Struktur ini terdapat dalam ligamentum
inguinale dan ligamentum lacunare. Funiculus spermaticus
dibungkus oleh suatu dinding yang terdiri dari:
 Fascia spermatica externa
 M. Cremasterica
 Fascia spermatica interna (Netter, 2010)
Funiculus spermaticus berjalan miring di canalis inguinalis.
Funiculus spermaticus sinister lebih panjang daripada dexter, oleh
karenanya testis sinister lebih turun daripada testis dexter (Gray's
Anatomy, 2008).
Struktur yang terdapat pada funiculus spermaticus yaitu:
Arteriae
 A. testicularis cabang aorta abdominalis
 A. deferentialis cabang A. vesicalis superior
 A. spermatica externa

32
Vena
 V. Testicularis yang akan membentuk plexus pampiniformis
Nervus
 N. Genitofemoralis
 Plexus sprematicus
 Ductus Deferens
Setelah melewati annulus inguinalis profunda, ductus deferens
memisahkan diri dari funiculus spermaticus (Netter, 2014).

Gambar 14. Perjalanan spermatozoa

II.Fisiologi Organ Seks


A. Fisiologi Organ Seks Perempuan
Organ-organ utama traktus reproduksi perempuan, meliputi ovarium,
tuba fallopi (juga dinamakan tuba uterina), uterus, dan vagina. Reproduksi
dimulai dengan perkembangan ovum di dalam ovarium. Pada pertengahan
setiap siklus seksual bulanan, satu ovum dikeluarkan dari folikel ovarium ke
dalam rongga abdomen di dekat ujung-ujung berfimbria yang terbuka pada
kedua tuba fallopi. Ovum ini kemudian bergerak melewati salah satu tuba
fallopi menuju uterus; jika ovum tersebut sudah dibuahi oleh sperma, akan
tertanam dalam uterus, tempat ovum tersebut berkembang menjadi fetus,
plasenta, dan membran fetus dan akhir nya menjadi bayi (Guyton dan Hall,
2008).
Selama masa kehidupan fetus, permukaan luar ovarium ditutupi oleh
epitel germinativum, yang secara embriologis berasal dari epitel krista

33
germinativum. Ketika janin perempuan berkembang, ova primordial akan
berdiferensiasi dari epitel germinativum dan bermigrasi ke dalam substansi
korteks ovarium. Masing-masing ovum kemudian mengumpulkan di
sekitarnya suatu lapisan terdiri atas sel-sel berbentuk kumparan dari stroma
ovarium (jaringan penyokong ovarium) dan menyebabkan sel-sel tersebut
memiliki ciri-ciri epiteloid; epitel khusus tersebut kemudian dinamakan sel
granulosa. Ovum yang dikelilingi oleh selapis sel granulosa itu disebut
folikel primordial. Pada tahap ini ovum masih belum matang, membutuhkan
dua pembagian sel lagi sebelum dapat dibuahi oleh sperma. Pada tahap ini,
ovum itu disebut oosit primer (Guyton dan Hall, 2008).
Selama tahun-tahun reproduksi manusia dewasa, antara usia sekitar 13
sampai 46 tahun, 400 sampai 500 folikel primordial cukup berkembang
untuk melepaskan ova-satu buah setiap bulan; sisanya berdegenerasi
(menjadi atretik). Pada akhir kemampuan reproduksi (saat menopause),
hanya tersisa sedikit folikel primordial di dalam ovarium, dan bahkan
folikel tersebut kemudian segera berdegenerasi (Guyton dan Hall, 2008).

Gambar 1. (kiri) organ wanita dan (kanan) Struktur bagian dalam uterus,
ovarium, dan tuba uterina.

34
1. Sistem Hormon Perempuan
Sistem hormon perempuan, seperti pada laki-laki, terdiri atas tiga
hierarki hormon sebagai berikut:
a. Hormon yang dikeluarkan hipotalamus, hormon pelepasgonadotropin
(GnRH).
b. Hormon eks hipofisis anterior, hormon perangsang folikel (FSH) dan
hormon luteinisasi (LH), keduanya disekresi sebagai respons terhadap
pelepasan GnRH dari hipotalamus.
c. Hormon-hormon ovarium, estroen Ādan progesteron, yang disekresi
oleh ovarium sebagai respons terhadap kedua hormon seks perempuan
dari kelenjar hipofisis anterior (Guyton dan Hall, 2008).

2. Siklus Ovarium Bulanan; Fungsi Hormon-Hormon Gonadotropik


Perubahan ovarium yang terjadi selama siklus seks bergantung
seluruhnya pada hormon-hormon gonadotropik, FSH dan LH, yang
disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior. Tanpa hormonhormon tersebut
ovarium tetap tidak aktif, yaitu pada masa kanak-kanak, ketika hampir tidak
ada hormon-hormon gonadotropik hipofisis yang disekresi. Pada usia 9
sampai 12 tahun, hipofisis secara progresif mulai menyekresi lebih banyak
FSH dan LH, yang menyebabkan dimulainya siklus seks bulanan normal
yang terjadi antara usia 11 dan 15 tahun. Periode perubahan ini disebut
pubertas, dan saat terjadinya siklus menstruasi pertama disebut menarke.
FSH maupun LH merupakan glikoprotein kecil dengan berat molekul
sekitar 30.000 (Guyton dan Hall, 2008).
Dalam setiap bulan siklus seks perempuan, terjadi peningkatan dan
penurunan siklus FSH maupun LH. Variasi siklus ini menyebabkan
terjadinya perubahan siklus ovarium, yang akan dijelaskan di bagian
berikutnya. Baik FSH maupun LH merangsang sel target ovarium dengan
cara berikatan dengan. reseptor FSH dan LH yang sangat spesifik di
membran sel target ovarium. Selanjutnya, reseptor yang diaktifkan tersebut
meningkatkan kecepatan sekresi sel dan biasanya sekaligus meningkatkan

35
pertumbuhan dan proliferasi sel. Hampir semua efek perangsangan ini
dihasilkan dari aktivasi sistem caraka kedua siklus adenosin monofosfat
dalam sitoplasma sel, yang menyebabkan pembentukan protein kinase dan
berbagai fosforilasi enzim-enzim kunci yang merangsang sintesis hormon
seks (Guyton dan Hall, 2008).
3. Fungsi Hormon-Hormon Ovarium-Estradiol dan Progesteron
Estrogen. Pada perempuan normal yang tidak hamil,estrogen disekresi
dalam jumlah berarti hanya oleh ovarium, walaupun juga disekresi dalam
jumlah kecil oleh korteks adrenal. Selama kehamilan, estrogen dalam jumlah
yang sangat besar juga disekresi oleh plasenta (Guyton dan Hall, 2008).
Hanya tiga jenis estrogen yang ada dalam jumlah bermakna di dalam
plasma perempuan: β-estradiol, estron, dan estriol. Estron juga disekresi dalam
jumlah kecil tetapi sebagian besar estron dibentuk di jaringan perifer dari
androgen yang disekresi oleh korteks adrenal dan oleh sel teka ovarium. Estriol
adalah estrogen yang lemah; merupakan produk oksidasi yang berasal baik dari
estradiol maupun estron, dengan pengubahan yang terjadi terutama di hati
(Guyton dan Hall, 2008).
Potensi estrogenik β−estradiol adalah 12 kali lebih besar dari estron dan
80 kali lebih besar dari estriol. Dengan mengingat potensi relatif in tampak
bahwa efek estrogenik total P-estradiol biasanya beberapa kali lipat dari kedua
hormone yang lain bersama-sama. Oleh karena itu, β−estradiol dianggap
sebagai estrogen utama, walaupun efek estrogenik estron juga tidak dapat
diabaikan (Guyton dan Hall, 2008).
Progestin. Sejauh ini yang paling penting dari progestin adalah
progesteron. Akan tetapi, sejumlah kecil progestin lain, yaitu I7-a-
hidroksiprogesteron, disekresi bersama dengan progesteron dan mempunyai
efek yang pada dasarnya sama. Namun, untuk praktisnya, biasanya progesteron
dianggap sebagai satu-satunya progestin yang penting. Pada perempuan normal
yang tidak hamil, progesterone disekresi dalam jumlah cukup banyak hanya
dalam paruh akhir dari setiap siklus ovarium, saat hormon ini disekresi oleh
korpus luteum. Sejumlah besar progesteron juga disekresi oleh plasenta selama

36
kehamilan, khususnya sesudah bulan keempat kehamilan (Guyton dan Hall,
2008).
Sintesis Estrogen dan Progestin. Keduanya adalah steroid. Keduanya
disintesis di ovarium terutama dari kolesterol yang berasal dari darah, tetapi
juga dalam jumlah kecil, diperoleh dari asetil koenzim A, yang molekul
multipelnya dapat berkombinasi membentuk inti steroid yang cocok. Selama
sintesis, terutama progesteron dan hormon-hormon androgen (testosteron dan
androstenedion) akan disintesis lebih dahulu; baru kemudian, selama fase
folikular siklus ovarium, sebelum kedua hormon awal ini keluar dari ovarium,
hampir semua androgen dan sebagian besar progesteron diubah menjadi
hormon-hormon estrogen oleh enzim aromatase di sel-sel granulosa. Oleh
karena sel-sel teka tidak memiliki aromatase, sel-sel tersebut tidak dapat
mengubah androgen menjadi estrogen. Namun, hormon-hormon androgen
berdifusi ke luar sel-sel teka, masuk ke dalam sel-sel granulosa yang
berdekatan, tempat hormon-hormon tesebut diubah menjadi hormon-hormon
estrogen oleh aromatase, yang aktivitasnya dirangsang oleh FSH (Guyton dan
Hall, 2008).
Selama fase luteal pada siklus, terlalu banyak progesterone yang dibentuk
untuk dapat diubah seluruhnya, yang menyebabkan sekresi progesteron yang
banyak ke dalam sirkulasi darah pada saat itu. Selain itu, sekitar seperlimabelas
jumlah testosteron disekresi ke dalam plasma perempuan oleh ovarium seperti
halnya yang disekresi ke dalam plasma laki-laki oleh testis (Guyton dan Hall,
2008).
Estrogen dan Progesteron Diangkut di Dalam Darah Berikatan
dengan Protein Plasma. Estrogen maupun progesteron keduanya diangkut
dalam darah berikatan terutama dengan albumin plasma dan dengan globulin
khusus pengikat estrogen dan progesteron. Ikatan antara hormon-hormon ini
dan protein plasma umumnya kurang erat sehingga dengan cepat hormon ini
dilepaskan ke jaringan dalam waktu sekitar 30 menit (Guyton dan Hall, 2008).
Fungsi Hati pada Degradasi Estrogen. Hati mengonjugasi estrogen
untuk membentuk glukuronida dan sulfat, dan sekitar seperlima dari produk

37
konjugasi ini diekskresi ke dalam empedu; sebagian besar sisanya diekskresi
ke dalam urine. Hati juga mengubah estrogen poten, estradiol, dan estron
menjadi estriol estrogen yang sama sekali tidak poten. Oleh karena itu,
berkurangnya fungsi hati sesungguhnya meningkatkan aktivitas estrogen dalam
tubuh, yang kadang-kadang menimbulkan hiperestrinisme (Guyton dan Hall,
2008).
Nasib Progesteron. Dalam waktu beberapa menit sesudah sekresi, hampir
semua progesteron didegradasi menjadi steroid lain yang tidak mempunyai
efek progestasional. Serupa dengan estrogen, hati sangat penting untuk
degradasi metabolik ini. Produk akhir yang utama dari degradasi progesteron
adalah pregnandiol. Sekitar 10 persen progesteron ashi diekskresi dalam urine
dalam bentuk in Oleh karena itu, dapat diperkirakan kecepatan pembentukan
progesteron dalam tubuh dari kecepatan ekskresi ini (Guyton dan Hall, 2008).

Fungsi Estrogen (Efeknya pada Karakteristik Seks Perempuan Primer


dan Sekunder)
1. Efek Estrogen pada Uterus dan Organa Genitalia Eksterna
Perempuan.
Selama masa kanak-kanak, estrogen disekresi hanya dalam jumlah
kecil, tetapi pada saat pubertas, jumlah yang disekresi pada perempuan di
bawah pengaruh hormon-hormon gonadotropin hipofisis meningkat
sampai 20 kali lipat atau lebih. Pada saat ini, organ-organ seks perempuan
berubah dari organ anak menjadi organ yang dimiliki seorang perempuan
dewasa. Ovarium, tuba fallopi, uterus, dan vagina, semuanya bertambah
besar beberapa kali (Guyton dan Hall, 2008).
Selain itu, genitalia eksterna membesar, dengan deposisi lemak pada
mons pubis dan labia mayora disertai pembesaran labia minora. Selain itu,
estrogen mengubah epitel vagina dani tipe kuboid menjadi bertingkat,
yang jauh lebih tahan terhadap trauma dan infeksi daripada epitel sel
kuboid sebelum pubertas. Infeksi vagina pada anak sering dapat

38
disembuhkan dengan pemberian estrogen hanya karena estrogen dapat
meningkatkan ketahanan epitel vagina (Guyton dan Hall, 2008).
Selama beberapa tahun pertama sesudah pubertas, ukuran uterus
meningkat menjadi dua sampai tiga kali lipat, tetapi yang lebih penting
daripada bertambahnya ukuran uterus adalah perubahan yang berlangsung
pada endometrium uterus di bawah pengaruh estrogen. Estrogen
menyebabkan terjadinya proliferasi yang nyata pada stroma endometrium
dan sangat meningkatkan perkembangan kelenjar endometrium, yang
nantinya akan membantu memberi nutrisi bagi ovum yang berimplantasi.
Efek ini akan dibahas kemudian di bab yang berkaitan dengan siklus
endometrium (Guyton dan Hall, 2008).
2. Efek Estrogen pada Tuba Fallopi
Pengaruh estrogen pada mukosa yang melapisi tuba fallopi, sama
seperti efeknya terhadap endometrium uterus. Estrogen menyebabkan
jaringan kelenjar lapisan tersebut berproliferasi, dan yang penting,
estrogen menyebabkan jumlah sel-sel epitel bersilia yang melapisi tuba
fallopi bertambah banyak. Aktivitas silia juga sangat meningkat. Silia
tersebut selalu bergerak ke arah uterus, yang membantu mendorong ovum
yang telah dibuahi ke arah uterus (Guyton dan Hall, 2008).
3. Efek Estrogen pada Payudara
Payudara primordial, baik pada perempuan maupun laki-laki pada
dasarnya sama. Nyatanya, di bawah pengaruh hormon-hormon yang tepat,
payudara laki-laki selama 2 dekade pertama kehidupan dapat berkembang
sehingga cukup untuk memproduksi susu seperti halnya pada payudara
perempuan. Estrogen menyebabkan (1) perkembangan jaringan stroma
payudara, (2) pertumbuhan sistem duktus yang luas, dan (3) deposit lemak
di payudara. Lobulus dan alveoli payudara berkembang sedikit di bawah
pengaruh estrogen saja, tetapi progesteron dan prolaktinlah yang
menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan fungsi yang nyata struktur-
struktur tersebut (Guyton dan Hall, 2008).

39
Ringkasnya, estrogen memulai pertumbuhan payudara dan alat-alat
pembentuk air susu payudara. Estrogen juga berperan pada pertumbuhan
karakteristik dan penampilan luar payudara perempuan dewasa. Akan
tetapi, estrogen tidak menyelesaikan tugasnya dalam mengubah payudara
menjadi organ yang memproduksi susu (Guyton dan Hall, 2008).
4. Efek Estrogen pada Tulang Rangka
Estrogen menghambat aktivitas osteoklastik di tulang sehingga
merangsang pertumbuhan tulang. Sebagian dari efek ini disebabkan oleh
rangsang osteoprotegerin, yang juga dinamakan faktor penghambat
genesis, suatu sitokin yang menghambat resorpsi tulang. Pada masa
pubertas, ketika perempuan masuk ke masa reproduksi, laju pertumbuhan
tinggi badannya menjadi cepat selama beberapa tahun. Akan tetapi,
estrogen mempunyai efek poten lain terhadap pertumbuhan tulang rangka.
Estrogen menyebabkan terjadinya penggabungan epifisis dengan batang
tulang panjang. Efek estrogen ini pada perempuan jauh lebih kuat
dibandingkan dengan efek serupa dari testosteron pada laki-laki.
Akibatnya, pertumbuhan perempuan biasanya terhenti beberapa tahun
lebih cepat daripada pertumbuhan laki-laki. Eunuch (kasim—pent.)
perempuan, yang sama sekali tidak memproduksi estrogen biasanya
tumbuh beberapa inci lebih tinggi daripada perempuan dewasa normal,
karena epifisisnya tidak menyatu pada waktu yang normal (Guyton dan
Hall, 2008).
5. Osteoporosis Tulang Akibat Kekurangan Estrogen pada Lansia
Sesudah menopause, hampir tidak ada estrogen yang disekresi oleh
ovarium. Kekurangan estrogen ini dapat menyebabkan (1) meningkatnya
aktivitas osteoklastik pada tulang, (2) berkurangnya matriks tulang, dan (3)
berkurangnya deposit kalsium dan fosfat tulang. Pada sebagian
perempuan, efek ini sangat hebat, sehingga menyebabkan osteoporosis.
Oleh karena osteoporosis dapat sangat mahkan tulang dan menyebabkan
fraktur tulang, khususnya fraktur vertebra, maka banyak perempuan

40
pascamenopause mendapat perawatan profilaksis dengan penggantian
estrogen untuk mencegah efek osteoporosis (Guyton dan Hall, 2008).
6. Estrogen Sedikit Meningkatkan Penyimpanan Protein
Estrogen menyebabkan sedikit peningkatan total protein tubuh yang
terbukti dari adanya keseimbangan nitrogen yang sedikit positif apabila
diberikan estrogen. Keadaan ini terutama dihasilkan dari efek pemacu
pertumbuhan dari estrogen pada organorgan seks, tulang, dan beberapa
jaringan tubuh lain. Peningkatan deposisi protein oleh testosteron lebih
bersifat umum dan jauh lebih kuat daripada yang disebabkan oleh estrogen
(Guyton dan Hall, 2008).
7. Estrogen Meningkatkan Metabolisme Tubuh dan Penyimpanan
Lemak
Estrogen sedikit meningkatkan laju metabolisme seluruh tubuh, tetapi
hanya kira-kira sepertiga dari efek peningkatan yang disebabkan oleh
hormon seks laki-laki, yaitu testosteron. Estrogen juga menyebabkan
peningkatan jumlah simpanan lemak dalam jaringan subkutan. Akibatnya,
persentase lemak tubuh pada perempuan jauh lebih besar dibandingkan
pada tubuh laki-laki, yang mengandung lebih banyak protein. Selain
simpanan lemak pada payudara dan jaringan subkutan, estrogen
menyebabkan simpanan lemak pada bokong dan paha, yang merupakan
karakteristik sosok feminine (Guyton dan Hall, 2008).
8. Efek Estrogen pada Kulit
Estrogen menyebabkan kulit berkembang membentuk tekstur yang
halus dan biasanya lembut, namun demikian, kulit perempuan lebih tebal
daripada kulit seorang anak atau kulit perempuan yang dikastrasi. Estrogen
juga menyebabkan kulit menjadi lebih vaskular; efek ini sering kali
berkaitan dengan meningkatnya kehangatan kulit dan juga menyebabkan
lebih banyak perdarahan pada permukaan yang terluka dibandingkan yang
terjadi pada laki-laki (Guyton dan Hall, 2008).

41
9. Estrogen Berpengaruh Sedikit pada Distribusi Rambut
Estrogen tidak terlalu memengaruhi penyebaran rambut. Akan tetapi,
rambut memang tumbuh di daerah pubis dan aksila sesudah pubertas.
Androgen yang dibentuk dalam jumlah yang meningkat oleh kelenjar
adrenal perempuan setelah pubertas adalah hormon yang terutama
berperan (Guyton dan Hall, 2008).
10. Efek Estrogen pada Keseimbangan Elektrolit
Kemiripan sifat kimia hormon-hormon estrogenik dengan hormon-
hormon adrenokorteks telah dijelaskan. Estrogen, seperti aldosteron dan
beberapa hormon adrenokorteks lain, dapat menyebabkan terjadinya
retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal. Efek estrogen ini normalnya
ringan dan jarang bermakna, kecuali pada masa kehamilan, pembentukan
estrogen dalam jumlah besar oleh plasenta dapat menyebabkan retensi
cairan tubuh (Guyton dan Hall, 2008).

Fungsi-Fungsi Progesteron
1. Progesteron Merangsang Berbagai Perubahan Sekretorik di Uterus
Sejauh ini fungsi progesteron yang paling penting adalah untuk
meningkatkan perubahan sekretorik pada endometriumuterus selama
paruh terakhir siklus seks bulanan perempuan, sehingga menyiapkan
uterus untuk menerima ovum yang sudah dibuahi. Fungsi ini akan
dibicarakan kemudian dalam kaitannya dengan siklus endometrium uterus.
Selain efek terhadap endometrium tersebut, progesterone juga menurunkan
frekuensi dan intensitas kontraksi uterus, sehingga membantu mencegah
terlepasnya ovum yang sudah berimplantasi (Guyton dan Hall, 2008).
2. Efek Progesteron pada Tuba Fallopi
Progesteron juga meningkatkan sekresi pada mukosa yang melapisi
tuba fallopi. Sekresi ini dibutuhkan untuk nutrisi ovum yang telah dibuahi,
dan sedang membelah, saat ovum bergerak dalam tuba fallopi sebelum
berimplantasi (Guyton dan Hall, 2008).

42
3. Progesteron Merangsang Perkembangan Payudara
Progesteron meningkatkan perkembangan lobulus dan alveoli
payudara, mengakibatkan sel-sel alveolar berproliferasi, membesar, dan
menjadi bersifat sekretorik. Akan tetapi, progesterone tidak menyebabkan
alveoli menyekresi air susu, air susu disekresi hanya sesudah payudara
yang sudah siap dirangsang lebih lanjut oleh prolaktin kelenjar hipofisis
anterior. Progesteron juga menyebabkan payudara membengkak. Sebagian
dari pembengkakan ini terjadi karena perkembangan sekretorik di lobulus
dan alveoli, tetapi sebagian juga dihasilkan oleh peningkatan cairan di
dalam jaringan (Guyton dan Hall, 2008).
Siklus Bulanan Endometrium dan Menstruasi Produksi siklus bulanan
berulang dari estrogen dan progesterone oleh ovarium berkaitan dengan
siklus endometrium pada pelapisan uterus yang bekerja melalui tahapan
berikut ini: (1) proliferasi endometrium uterus; (2) perubahan sekretoris
pada endometrium, dan (3) deskuamasi endometrium, yang dikenal
sebagai menstruasi. Berbagai tahapan siklus endometrium (Guyton dan
Hall, 2008).

Fase Proliferasi (Fase Estrogen) Slick's Endometrium, Terjadi Sebelum


Ovulasi.
Pada awal setiap siklus seks bulanan, sebagian besar endometrium telah
terdeskuamasi akibat menstruasi. Sesudah menstruasi, hanya selapis tipis
stroma endometrium yang tertinggal, dan sel-sel epitel yang tertinggal adalah
yang terletak di bagian lebih dalam yang tersisa dari kelenjar dan kripta
endometrium. Di bawah pengaruh estrogen, yang disekresi dalam jumlah yang
meningkat oleh ovarium selama bagian pertama siklus ovarium bulanan, sel-sel
stroma dan sel epitel berproliferasi dengan cepat. Permukaan endometrium
akan mengalami epitelisasi kembali dalam waktu 4 sampai 7 hari sesudah
terjadinya menstruasi (Guyton dan Hall, 2008).

43
Gambar 2. Fase pertumbuhan endometrium dan menstruasi pada setiap siklus seks bulanan
perempuan

Kemudian, selama satu setengah minggu berikutnya, yaitu sebelum terjadi


ovulasi, ketebalan endometrium sangat meningkat karena jumlah sel stroma
bertambah banyak dan karena pertumbuhan kelenjar endometrium serta
pembuluh darah baru yang progresif ke dalam endometrium. Pada saat ovulasi,
endometrium mempunyai ketebalan 3 sampai 5 mm. Kelenjar endometrium,
khususnya di daerah serviks, menyekresi mukus yang encer mirip benang.
Benang mucus menyusun din di sepanjang kanalis servikalis, membentuk
saluran yang membantu mengarahkan sperma ke arah yang tepat dari vagina
menuju ke dalam uterus (Guyton dan Hall, 2008).

Fase Sekretorik (Fase Progestasional) Siklus Endometrium, Terjadi


Setelah Ovulasi
Pada sebagian besar paruh akhir siklus bulanan, setelah ovulasi terjadi,
progesteron dan estrogen bersama-sama disekresi dalam jumlah besar oleh
korpus luteum. Estrogen menyebabkan sedikit proliferasi sel tambahan pada
endometrium pada fase siklus ini, sedangkan progesteron menyebabkan
pembengkakan yang nyata dan perkembangan sekretorik dari endometrium.
Kelenjar semakin berkelok-kelok; kelebihan substansi sekresinya bertumpuk di
dalam sel epitel kelenjar. Selain itu, sitoplasma sel-sel stroma meningkat,
simpanan lipid dan glikogen sangat meningkat dalam sel stroma, dan suplai
darah ke dalam endometrium meningkat lebih jauh sebanding dengan
perkembangan aktivitas sekresi, dengan pembuluh darah yang menjadi sangat

44
berkelok-kelok. Pada puncak fase sekretorik, sekitar 1 minggu setelah ovulasi,
ketebalan endometrium sudah mencapai 5 sampai 6 mm (Guyton dan Hall,
2008).
Maksud keseluruhan semua perubahan endometrium ini adalah untuk
menghasilkan endometrium yang sangat sekretorik, yang mengandung
sejumlah besar cadangan nutrien untuk menyiapkan kondisi yang cocok untuk
implantasi ovum yang sudah dibuahi selama paruh akhir siklus bulanan. Sejak
sebuah ovum yang sudah dibuahi memasuki kavum uteri dari tuba fallopi
(yang terjadi 3 sampai 4 hari setelah ovulasi) sampai saat ovum berimplantasi
(7 sampai 9 hari setelah ovulasi), sekret uterus, yang disebut "susu uterus,"
menyediakan nutrisi bagi pembelahan awal ovum. Kemudian, segera setelah
ovum berimplantasi di dalam endometrium, sel-sel trofoblas pada permukaan
ovum yang berimplantasi (pada tahap blastokis) mulai mencerna endometrium
dan mengabsorbsi zat-zat simpanan endometrium, dengan demikian
menyediakan sejumlah besar nutrisi untuk embrio yang berimplantasi (Guyton
dan Hall, 2008).

Menstruasi
Jika ovum tidak dibuahi, kira-kira 2 hari sebelum akhir siklus bulanan,
korpus luteum di ovarium tiba-tiba berinvolusi, dan hormon-hormon ovarium
(estrogen dan progesteron) menurun sampai kadar sekresi yang rendah.
Terjadilah menstruasi. Menstruasi disebabkan oleh berkurangnya estrogen dan
progesteron, terutama progesteron, pada akhir siklus ovarium bulanan. Efek
pertama adalah penurunan rangsang terhadap sel-sel endometrium oleh kedua
hormon in diikuti dengan cepat oleh involusi endometrium menjadi kira-kira
65 persen dari ketebalan semula. Kemudian, selama 24 jam sebelum terjadinya
menstruasi, pembuluh darah yang berkelok-kelok, yang mengarah ke lapisan
mukosa endometrium, menjadi vasospastik, mungkin disebabkan oleh efek
involusi, seperti pelepasan bahan vasokonstriktor kemungkinan salah satu tipe
vasokonstriktor prostaglandin yang terdapat dalam jumlah sangat banyak
(Sherwood, 2013).

45
Vasospasme, penurunan zat nutrisi endometrium, dan hilangnya rangsang
hormonal memulai proses nekrosis pada endometrium, khususnya pada
pembuluh darah. Akibatnya, darah mula-mula merembes ke lapisan vaskular
endometrium, dan daerah perdarahan bertambah besar dengan cepat dalam
waktu 24 sampai 36 jam. Berangsur-angsur, lapisan luar endomerium yang
nekrotik terlepas dari uterus pada daerah perdarahan tersebut, sampai kira-kira
48 jam setelah terjadinya menstruasi, semua lapisan superfisial endometrium
sudah terdeskuamasi. Massa jaringan deskuamasi dan darah di dalam kavum
uteri, ditambah efek kontraktil prostaglandin atau zat-zat lain dalam deskuamat
yang membusuk, seluruhnya bersama-sama merangsang kontraksi uterus yang
menyebabkan dikeluarkannya isi uterus (Sherwood, 2013).
Selama menstruasi normal, kira-kira 40 ml darah dan tambahan 35 ml
cairan serosa hilang. Cairan menstruasi ini normalnya tidak membeku, karena
fibrinolisin dilepaskan bersama dengan bahan nekrotik endometrium. Bila
terjadi perdarahan yang berlebihan dari permukaan uterus, jumlah fibrinolisin
mungkin tidak cukup untuk mencegah pembekuan. Adanya bekuan darah pada
menstruasi sering merupakan bukti klinis adanya keadaan patologis uterus.
Dalam waktu 4 sampai 7 hari sesudah dimulainya menstruasi, pengeluaran
darah akan berhenti, karena pada saat ini endometrium sudah mengalami
epitelisasi kembali (Sherwood, 2013).

Leukore selama Menstruasi


Selama menstruasi, sangat banyak leukosit dilepaskan bersama dengan
bahan nekrotik dan darah. Ada kemungkinan bahwa beberapa zat yang
dilepaskan akibat nekrosis endometrium merupakan penyebab pengeluaran
leukosit. Akibat pengeluaran leukosit ini dan kemungkinan faktor lain, uterus
menjadi sangat resistan terhadap infeksi selama menstruasi, walaupun
permukaan endometrium telanjang. Ini merupakan perlindungan yang sangat
bernilai (Sherwood, 2013).

46
Efek Umpan Batik Negatif Estrogen dan Progesteron untuk Menurunkan
Sekresi LH dan FSH
Estrogen dalam jumlah kecil mempunyai efek yang kuat untuk
menghambat produksi LH maupun FSH. Selain itu, bila terdapat progesteron,
efek penghambatan estrogen menjadi berlipat-ganda, walaupun progesteron
sendiri hanya mempunyai efek yang kecil (Guyton dan Hall, 2008).
Efek umpan balik ini kelihatannya terutama bekerja langsung pada
kelenjar hipofisis anterior namun efek tersebut juga bekerja lebih sedikit pada
hipotalamus untuk menurunkan sekresi GnRH, terutama dengan mengubah
frekuensi pulsasi GnRH (Guyton dan Hall, 2008).

Inhibin dari Korpus Luteum Menghambat Sekresi FSH dan LH


Selain efek umpan balik estrogen dan progesteron, hormon-hormon lain
tampaknya ikut berperan, khususnya inhibin, yang disekresi bersama dengan
hormon seks steroid oleh sel-sel granulosa dan korpus luteum ovarium dengan
cara yang sama seperti sel-sel Sertoli menyekresi inhibin pada testes laki-lak.
Hormon tersebut mempunyai efek yang sama pada perempuan seperti halnya
pada laki-laki menghambat sekresi FSH, dan sedikit menghambat LH lewat
kelenjar hipofisis anterior. Oleh karena itu, diyakini bahwa hormon inhibin
mungkin cukup penting dalam menyebabkan berkurangnya sekresi FSH dan
LH pada akhir siklus seks perempuan bulanan (Guyton dan Hall, 2008).

Efek Umpan-Balik Positif Estrogen Sebelum Ovulasi—Lonjakan LH


Praovulasi
Dengan alasan yang masih belum diketahui seluruhnya, kelenjar hipofisis
anterior menyekresi jumlah LH yang sangat meningkat selama 1 sampai 2 hari
sejak 24 sampai 48 jam sebelum ovulasi. Gambar ini juga memperlihatkan
sebuah lonjakan FSH praovulasi yang jauh lebih kecil. Eksperimen telah
menunjukkan bahwa pemberian infuse estrogen pada perempuan di atas
kecepatan kritis selama 2 sampai 3 hari selama bagian terakhir paruh pertama
siklus ovarium akan menyebabkan makin cepatnya pertumbuhan folikel

47
ovarium, demikian juga semakin cepatnya sekresi estrogen dari ovarium.
Selama periode ini, balk sekresi FSH maupun LH oleh kelenjar hipofisis
anterior mula-mula sedikit tertekan. Kemudian sekresi LH mendadak
meningkat menjadi enam kali lipat sampai delapan kali lipat, dan sekresi FSH
meningkat kira-kira dua kali lipat. Peningkatan sekresi LH yang sangat besar
ini menyebabkan terjadinya ovulasi (Guyton dan Hall, 2008).
Penyebab lonjakan yang mendadak sekresi LH masih belum diketahui.
Akan tetapi, beberapa penjelasan yang mungkin adalah sebagai berikut: (1)
Diperkirakan bahwa estrogen pada tahap ini mempunyai efek umpan-balik
positif khusus untuk merangsang sekresi LH hipofisis, demikian juga sedikit
merangsang FSH. Ini sangat berbeda dengan efek umpan-balik negatif yang
normal, yang berlangsung selama sisa siklus bulanan perempuan. (2) Sel-sel
granulose folikel mulai menyekresi progesteron dalam jumlah sedikit tetapi
meningkat, sekitar sehari sebelum terjadi lonjakan LH praovulasi, dan
diperkirakan bahwa hal ini merupakan faktor yang merangsang terjadinya
kelebihan sekresi LH. Tanpa lonjakan praovulasi normal LH ini, tidak akan
terjadi ovulasi (Sherwood, 2013)
.

Gambar 3. Pengaturan umpan batik poros hipotalamushipofisis-


ovarium pada perempuan.

48
B. Fisiologi Organ Seks Laki-Laki
Testis terdiri atas 900 lilitan tubulus seminiferus, yang masing-masing
mempunyai panjang rata-rata lebih dari setengah meter, dan merupakan tempat
pembentukan sperma. Sperma kemudian dialirkan ke epididimis, suatu tubulus
lain yang juga berbentuk lilitan dengan panjang sekitar 6 m. Epididimis
bermuara ke dalam vas deferens, yang membesar menjadi ampula vas deferens
tepat sebelum vas deferens memasuki korpus kelenjar prostat (Guyton dan
Hall, 2008).
Dua vesikula seminalis, yang masing-masing terletak di sebelah prostat,
bermuara ke dalam ujung prostat ampula, dan isi dari ampula maupun vesikula
seminalis masuk ke duktus ejakulatorius menuju korpus kelenjar prostat dan
bermuara ke dalam uretra pars interna.
Duktus prostatikus juga bermuara dari
kelenjar prostat ke dalam duktus
ejakulatorius dan dari sini ke uretra pars
prostatika. Akhirnya, uretra merupakan
rantai penghubung terakhir testis ke dunia
luar. Uretra disuplai dengan mukus yang
berasal dari sejumlah besar kelenjar uretra
kecil yang terletak di sepanjang uretra dan
bahkan lebih jauh lagi dari kelenjar
bulbouretralis (kelenjar Cowper) bilateral
yang terletak di dekat asal uretra (Guyton
dan Hall, 2008). Gambar 1. (A) Sistem reproduksi,
(B) Struktur internal testis dan
hubungan testis ke epididimidis.

1. Spermatogenesis
Selama pembentukan embrio, sel germinal primordial bermigrasi ke
dalam testis dan menjadi sel germinal imatur yang disebut spermatogonia
yang terletak di dua atau tiga lapisan permukaan dalam tubulus
seminiferus. Spermatogonia mulai mengalami pembelahan mitosis, yang
dimulai saat pubertas, dan terus berproliferasi dan berdiferensiasi melalui

49
berbagai tahap perkembangan untuk membentuk sperma (Guyton dan
Hall, 2008).
Spermatogenesis terjadi di tubulus seminiferus selama masa seksual
aktif akibat stimulasi oleh hormon gonadotropik hipofisis anterior, yang
dimulai rata-rata pada umur 13 tahun
dan terus berlanjut hampir di seluruh
sisa kehidupan, namun sangat menurun
pada usia tua (Guyton dan Hall, 2008).
Pada tahap pertama
spermatogenesis, spermatogonia
bermigrasi di antara sel-sel Sertoli
menuju lumen sentral tubulus
seminiferus. Sel-sel Sertoli ini sangat
besar, dengan pembungkus sitoplasma
yang sangat banyak yang mengelilingi
Gambar 2. (A) Potongan melintang tubulus
spermatogonia yang sedang seminiferus.(B) Tahap-tahap perkembangan
sperma dari spermatogonia
berkembang sampai ke bagian sentral
lumen tubulus (Guyton dan Hall, 2008).

Meiosis. Spermatogonia yang melewati sawar (lapisan pertahanan)


masuk ke dalam lapisan sel Sertoli akan dimodifikasi secara berkelanjutan
dan membesar membentuk spermatosit primer yang besar. Setiap
spermatosit, selanjutnya mengalami pembelahan mitosis untuk membentuk
dua spermatosit sekunder. Setelah beberapa hari, spermatosit sekunder
juga membelah menjadi spermatid yang akhirnya dimodifikasi menjadi
spermatozoa (sperma). Selama masa perubahan dari tahap spermatosit ke
tahap spermatid, ke-46 kromosom spermatosit (23 pasang kromosom)
terbagi sehingga 23 kromosom diberikan ke satu spermatid dan 23 lainnya
ke spermatid yang kedua. Keadaan ini juga memisahkan gen kromosom
sehingga hanya setengah karakteristik genetik bayi berasal dari ayah,
sedangkan setengah sisanya diturunkan dari oosit yang berasal dari ibu.

50
Seluruh proses spermatogenesis, dari spermatogonia menjadi spermatozoa,
membutuhkan waktu sekitar 74 hari (Guyton dan Hall, 2014; Sherwood,
2010).
Kromosom Seks. Pada setiap spermatogonium, satu dari ke-23 pasang
kromosom mengandung informasi genetik yang menentukan jenis kelamin
masing-masing keturunan. Pasangan ini terdiri atas satu kromosom X, disebut
kromosom perempuan, dan satu kromosom Y, disebut kromosom laki-laki.
Selama pembelahan meiosis, kromosom Y laki-laki pergi menuju sebuah
spermatid yang kemudian menjadi sebuah sperma laki-laki, dan kromosom X
perempuan menuju spermatid lain yang akan menjadi sperma perempuan. Jenis
kelamin anak ditentukan oleh jenis sperma yang membuahi ovum (Lahn et al,
2009).
Pembentukan Sperma. Ketika dibentuk
pertama kali, spermatid masih memiliki sifat-
sifat yang lazim dari sel epiteloid, tetapi
segera berdiferensiasi dan memanjang
menjadi spermatozoa. Masing-masing
spermatozoa terdiri atas kepala dan ekor.
Kepala terdiri atas inti sel yang padat dengan
hanya sedikit sitoplasma dan lapisan
membran sel di sekeliling permukaannya. Di
bagian luar dua pertiga anterior kepala
terdapat selubung tebal yang disebut akrosom
yang terutama dibentuk oleh aparatus Golgi.
Selubung ini mengandung sejumlah enzim
yang serupa dengan enzim yang ditemukan
Gambar 3. Pembelahan sel selama pada lisosom sel-sel yang khas, termasuk
spermatogenesis.
hialuronidase (yang dapat mencerna
filamen proteoglikan jaringan) dan enzim proteolitik yang sangat kuat (yang
dapat mencerna protein). Enzim ini berperan penting dalam memungkinkan
sperma memasuki ovum dan membuahinya (Sherwood, 2013).

51
Ekor sperma yang disebut flagelum, memiliki tiga komponen utama: (1)
kerangka pusat yang dibentuk dari 11 mikrotubulus, yang secara keseluruhan
disebut aksonema struktur tersebut serupa dengan struktur silia yang terdapat
pada permukaan sel tipe lain; (2) membran sel tipis yang menutupi aksonema;
dan (3) sekelompok mitokondria yang mengelilingi aksonema di bagian
proksimal ekor (yang disebut badan ekor) (Guyton dan Hall, 2008).
Gerakan maju-mundur ekor (gerakan flagela) memberikan motilitas pada
sperma. Gerakan ini disebabkan oleh gerakan meluncur longitudinal secara
ritmis di antara tubulus posterior dan anterior yang membentuk aksonema.
Energi untuk proses ini disuplai dalam bentuk adenosintrifosfat yang disintesis
oleh mitokondria di badan ekor. Sperma normal bergerak dalam medium cair
dengan kecepatan 1 sampai 4 mm/menit. Kecepatan ini memungkinkan sperma
bergerak melalui traktus genitalia perempuan untuk mencapai ovum (Guyton
dan Hall, 2008).
Faktor-Faktor Hormonal yang Merangsang Spermatogenesis
Terdapat beberapa hormon yang berperan penting dalam spermatogenesis.
Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Testosteron, yang disekresi oleh sel-sel Leydig yang terletak di interstisium
testis, penting bagi pertumbuhan dan pembelahan sel-sel germinal testis,
yang merupakan tahap pertama pembentukan sperma (Walker, 2009).
2. Hormon luteinisasi (luteinizing hormone), yang disekresi oleh kelenjar
hipofisis anterior, merangsang sel-sel Leydig untuk menyekresi testosteron.
3. Hormon perang sang-folikel (FSH), yang juga disekresi oleh sel-sel kelenjar
hipofisis anterior, merangsang sel-sel Sertoli; tanpa rangsangan ini,
pengubahan spermatid menjadi sperma (proses spermiogenesis) tidak akan
terjadi (Plant dan Marshal, 2001).
4. Estrogen, dibentuk dari testosteron oleh sel-sel Sertoli ketika sel Sertoli
dirangsang oleh hormon perangsang-folikel, mungkin juga penting untuk
spermatogenesis.
5. Growth hormone (dan sebagian besar hormon tubuh lainnya) diperlukan
untuk mengatur latar belakang fungsi metabolisme testis. Hormon

52
pertumbuhan secara spesifik meningkatkan pembelahan awal
spermatogonia; bila tidak terdapat hormon pertumbuhan, seperti pada
dwarfisme hipofisis, spermatogenesis sangat berkurang atau tidak ada sama
sekali sehingga menyebabkan infertilitas (Guyton dan Hall, 2008).
Pematangan Sperma di Epididimis. Setelah terbentuk di tubulus
seminiferus, sperma membutuhkan waktu beberapa hari untuk melewati
tubulus epididimis yang panjangnya 6 m. Sperma yang bergerak dari tubulus
seminiferus dan dari bagian awal epididimidis merupakan sperma yang tidak
motil, dan tidak dapat membuahi ovum. Akan tetapi, setelah sperma berada
dalam epididimis selama 18 sampai 24 jam, sperma memiliki kemampuan
motilitas, walaupun beberapa protein penghambat dalam cairan epididimis
masih mencegah motilitas akhir sampai setelah ejakulasi (Guyton dan Hall,
2008).
Penyimpanan Sperma di Testes. Kedua testes orang dewasa membentuk
sperma dengan jumlah mencapai 120 juta per hari. Sejumlah kecil sperma ini
dapat disimpan di epididimis, namun sebagian besar disimpan di vas deferens.
Sperma tersebut dapat tetap disimpan sehingga fertilitasnya dapat
dipertahankan paling tidak selama sebulan. Selama waktu tersebut, sperma-
sperma itu dijaga pada keadaan yang sangat tidak aktif oleh berbagai zat
penghambat yang terdapat dalam sekresi duktus. Sebaliknya, pada aktivitas
seks dan ejakulasi yang tinggi, penyimpanan mungkin tidak lebih dari beberapa
hari. Setelah ejakulasi, sperma menjadi motil, dan juga mampu membuahi
ovum, suatu proses yang disebut pematangan. Sel-sel Sertoli dan epitel
epididimis menyekresi suatu cairan nutrisi khusus yang diejakulasikan bersama
dengan sperma. Cairan ini mengandung berbagai hormon (termasuk testosteron
dan estrogen), enzim, dan zat nutrisi khusus yang sangat penting untuk
pematangan sperma (Guyton dan Hall, 2008).
Fungsi Vesikula Seminalis
Setiap vesikula seminalis merupakan tubulus berlokus-lokus dan berkelok-
kelok, yang dilapisi oleh epitel sekretoris yang menyekresi bahan-bahan mukus
mengandung banyak fruktosa, asam sitrat, dan zat nutrisi lainnya, serta

53
sejumlah besar prostaglandin dan fibrinogen. Selama proses emisi dan
ejakulasi, setiap vesikula seminalis mengeluarkan isinya ke dalam duktus
ejakulatorius sesaat setelah vas deferens mengeluarkan sperma. Hal ini sangat
menambah jumlah semen yang diejakulasi, dan fruktosa serta zat lain dalam
cairan seminalis merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh sperma yang
diejakulasikan sampai salah satu sperma tersebut membuahi ovum (Guyton dan
Hall, 2008).
Prostaglandin diyakini membantu proses pembuahan dengan dua cara: (1)
bereaksi dengan mukus serviks perempuan sehingga serviks lebih dapat
menerima pergerakan sperma, dan (2) mungkin menyebabkan kontraksi
peristaltik terbalik ke arah belakang di uterus dan tuba fallopi untuk
menggerakkan sperma yang diejakulasi mencapai ovarium (beberapa sperma
mencapai ujung atas tuba fallopi dalam waktu 5 menit) (Guyton dan Hall,
2008).
Fungsi Kelenjar Prostat
Kelenjar prostat menyekresi cairan encer, seperti susu, yang mengandung
kalsium, ion sitrat, ion fosfat, enzim pembekuan, dan profibrinolisin. Selama
emisi, kapsul kelenjar prostat berkontraksi bersamaan dengan kontraksi vas
deferens sehingga cairan encer seperti susu yang dikeluarkan oleh kelenjar
prostat menambah volume semen. Sifat cairan prostat yang sedikit basa
mungkin penting untuk keberhasilan fertilisasi ovum, karena cairan vas
deferens relatif asam akibat adanya asam sitrat dan hasil akhir metabolisme
sperma, dan akibatnya, akan menghambat fertilisasi sperma. Selain itu, sekret
vagina bersifat asam (dengan pH 3,5 sampai 4,0). Sperma tidak dapat bergerak
optimal sampai pH sekitarnya meningkat menjadi sekitar 6,0 sampai 6,5.
Akibatnya, cairan prostat yang sedikit basa mungkin dapat menetralkan sifat
asam cairan seminalis lainnya selama ejakulasi, dan juga meningkatkan
motilitas dan fertilitas sperma (Guyton dan Hall, 2008).
Semen
Semen, yang diejakulasikan selama aktivitas seks laki-laki, terdiri atas
cairan dan sperma yang berasal dari vas deferens (kira-kira 10 persen dari

54
keseluruhan semen), cairan vesikula seminalis (hampir 60 persen), cairan
kelenjar prostat (kira-kira 30 persen), dan sejumlah kecil cairan kelenjar
mukosa, terutama kelenjar bulbouretra. Jadi, bagian terbesar semen adalah
cairan vesikula seminalis, yang merupakan cairan terakhir yang diejakulasikan
dan berfungsi untuk mendorong sperma melalui duktus ejakulatorius dan uretra
(Guyton dan Hall, 2008).
pH rata-rata campuran semen sekitar 7,5; cairan prostat bersifat basa yang
tidak hanya menetralkan keasaman (yang) ringan dari bagian semen lainnya.
Cairan prostat membuat semen terlihat seperti susu, sementara cairan dari
vesikula seminalis dan kelenjar mukosa membuat semen menjadi agak kental.
Selain itu, enzim pembekuan dan cairan prostat menyebabkan fibrinogen
cairan vesikula seminalis membentuk koagulum fibrin yang lemah, yang
menahan semen di daerah vagina yang lebih dalam, tempat serviks uterus
berada. Koagulum kemudian dilarutkan 15 sampai 30 menit kemudian karena
terjadinya lisis oleh fibrinolisin yang dibentuk dari profibrinolisin prostat. Pada
menit pertama setelah ejakulasi, sperma masih relatif tidak bergerak, yang
mungkin disebabkan oleh viskositas koagulum. Sewaktu koagulum dilarutkan,
sperma secara simultan menjadi sangat motil (Guyton dan Hall, 2008).
Walaupun sperma dapat hidup selama beberapa minggu dalam duktus
genitalia laki-laki, begitu sperma diejakulasikan ke dalam semen, jangka waktu
hidup maksimal sperma hanya 24 sampai 48 jam pada suhu tubuh. Akan tetapi,
pada suhu yang lebih rendah, semen dapat disimpan untuk beberapa minggu;
dan ketika dibekukan pada suhu di bawah —100°C, sperma dapat disimpan
sampai bertahun-tahun (Guyton dan Hall, 2008).

2. Kegiatan Seksual Laki-Laki


Rangsangan Saraf untuk Kinerja Kegiatan Seksual Laki-Laki
Sumber sinyal saraf sensoris yang paling penting untuk memulai kegiatan
seks laki-laki adalah glans penis. Glans penis mengandung sistem organ-akhir
sensorik yang sangat sensitive yang meneruskan modalitas sensasi khusus yang
disebut sensasi seks ke dalam sistem saraf pusat. Gesekan licin pada hubungan

55
seks terhadap glans penis merangsang organ-akhir sensoris, dan sinyal sensasi
seks selanjutnya menjalar melalui saraf pudendus, kemudian melalui pleksus
sakralis ke dalam bagian sacral medula spinalis, dan akhirnya naik sepanjang
medula spinalis sampai ke daerah yang belum diidentifikasi di otak (Guyton
dan Hall, 2008).
Impuls dapat juga masuk ke medula spinalis dari daerah yang berdekatan
dengan penis untuk membantu merangsang kegiatan seks. Contohnya,
rangsangan pada epitel anus, skrotum, dan struktur perineum secara umum
dapat mengirim sinyal ke medula spinalis yang akan meningkatkan sensasi
seks. Sensasi seks bahkan dapat berasal dari struktur internal, seperti di area
uretra, kandung kemih, prostat, vesikula seminalis, testes, dan vas deferens.
Bahkan, salah satu penyebab "dorongan seks" adalah pengisian organ seks
dengan sekret. Infeksi ringan dan inflamasi organ-organ seks ini kadang-
kadang menyebabkan hasrat seks yang hampir terus-menerus, dan beberapa
obat "afrodisiak," seperti kantaridin, mengiritasi kandung kemih dan mukosa
uretra, menginduksi inflamasi dan kongesti vascular (Guyton dan Hall, 2008).
Unsur Psikis Rangsangan Seks Laki-Laki. Rangsangan psikis yang
sesuai dapat sangat meningkatkan kemampuan seseorang untuk melakukan
kegiatan seks. Hanya dengan memikirkan pikiran-pikiran seks atau bahkan
hanya dengan berkhayal sedang melakukan hubungan seks, dapat memicu
kegiatan seks laki-laki, dan menyebabkan ejakulasi. Emisi nokturnal saat
bermimpi terjadi pada banyak laki-laki selama beberapa tahap kehidupan seks,
terutama pada usia remaja (Guyton dan Hall, 2008).
Integrasi Kegiatan Seks Laki-Laki di Medula Spinalis. Walaupun
faktor-faktor psikis biasanya berperan penting pada kegiatan seks laki-laki dan
dapat memicu atau menghambatnya, fungsi otak mungkin tidak terlalu penting
bagi kinerjanya, karena rangsang pada genital yang sesuai dapat menyebabkan
ejakulasi pada beberapa hewan dan terkadang pada manusia setelah medula
spinalisnya dipotong di atas daerah lumbal. Kegiatan seks laki-laki dihasilkan
dari mekanisme refleks bawaan yang terintegrasi di medula spinalis sakral dan
lumbalis, dan mekanisme ini dapat dipicu, baik oleh rangsang psikis dari otak

56
maupun rangsang seks yang nyata dari organ-organ seks, tetapi biasanya
berupa kombinasi dari keduanya (Guyton dan Hall, 2008).

Tahap-Tahap Kegiatan Seks Laki-Laki


Ereksi Penis—Peran Saraf Parasimpatis. Ereksi penis merupakan efek
pertama rangsang seks laki-laki, dan derajat ereksi sebanding dengan derajat
rangsang, baik rangsang psikis atau fisik. Ereksi disebabkan oleh impuls saraf
parasimpatis yang menjalar dari bagian sakral medula spinalis melalui saraf-
saraf pelvis ke penis. Berlawanan dengan sebagian besar serat saraf
parasimpatis lain, serat parasimpatis ini diyakini melepaskan oksida nitrat
dan/atau vasoactive intestinal peptide selain asetilkolin. Oksida nitrat
mengaktifkan enzim guanilil siklase,yang menyebabkan peningkatan
pembentukan guanosin monofosfat (GMF) siklik GMF siklik ini terutama
melebarkan anteri-arteri penis, dan jalinan trabekula serat-serat otot polos di
jaringan erektil korpus kavernosa dan korpus spongiosium dalam batang penis.
Dengan melemasnya otot-otot polos pembuluh darah, aliran darah ke dalam
penis bertambah, menyebabkan lepasnya aksida nitrat dari sel-sel endotelial
pembuluh darah dan terjadinya vasodilatasi lebih lanjut (Guyton dan Hall,
2014; Sherwood, 2010).
Jaringan erektil penis ini terdiri atas sinusoid-sinusoid kavernosa yang
lebar, yang normalnya tidak terisi penuh dengan darah namun menjadi sangat
berdilatasi saat darah arteri mengalir dengan cepat ke dalamnya sementara
sebagian aliran vena dibendung. Selain itu, badan erektil, terutama kedua
korpus kavernosa, dikelilingi oleh lapisan fibrosa yang kuat; oleh karena itu,
tekanan yang tinggi di dalam sinusoid menyebabkan penggembungan jaringan
erektil sedemikian sehingga penis menjadi keras dan memanjang. Ini adalah
fenomena ereksi (Guyton dan Hall, 2008).
Lubrikasi adalah Suatu Fungsi Parasimpatis. Selama rangsangan seks,
impuls parasimpatis, selain meningkatkan ereksi, menyebabkan kelenjar uretra
dan kelenjar bulbouretra menyekresi lendir. Lendir ini mengalir melalui uretra
selama hubungan seks untuk membantu lubrikasi selama koitus. Akan tetapi,

57
sebagian besar lubrikasi selama koitus lebih dihasilkan oleh organ seks
perempuan daripada laki-laki. Tanpa lubrikasi yang cukup, kegiatan seks laki-
laki jarang berhasil dengan baik karena hubungan seks tanpa lubrikasi
menyebabkan rasa nyeri mengiris, yang lebih menghambat daripada
merangsang sensasi seks (Guyton dan Hall, 2008).
Emisi dan Ejakulasi adalah Fungsi Saraf Simpatis. Emisi dan ejakulasi
merupakan puncak kegiatan seks laki-laki. Ketika rangsang seks menjadi amat
kuat, pusat refleks medula spinalis mulai melepas impuls simpatis yang
meninggalkan medulla spinalis pada segmen T-12 samp-ai L-2 dan berjalan ke
organ genital melalui pleksus hipogastrik dan pleksus saraf simpatis pelvis
untuk mengawali emisi, awal dari ejakulasi. Emisi dimulai dengan kontraksi
vas deferens dan ampula yang menyebabkan keluarnya sperma ke dalam uretra
interna. Kemudian, kontraksi lapisan otot kelenjar prostat yang diikuti dengan
kontraksi vesikula seminalis, akan menyemprotkan cairan prostat dan cairan
seminalis ke dalam uretra juga, mendorong sperma lebih jauh. Semua cairan ini
bercampur di uretra interna dengan mukus yang telah disekresi oleh kelenjar
bulbouretra untuk membentuk semen. Proses yang berlangsung sampai saat ini
disebut emisi (Sherwood, 2013).
Pengisian uretra interna dengan semen mengeluarkan sinyal sensoris yang
dihantarkan melalui nervus pudendus ke regio sakral medula spinalis, yang
menimbulkan rasa penuh yang mendadak di organ genitalia interna. Selain itu,
sinyal sensoris ini makin merangsang kontraksi ritmis organ genitalia interna
dan menyebabkan kontraksi otot-otot iskhiokavernosus dan bulbo kavernosus
yang menekan dasar jaringan erektil penis. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan yang ritmis dan bergelombang di kedua jaringan erektil
penis dan di duktus genital serta uretra, yang "mengejakulasikan" semen dan
uretra ke luar. Proses akhir ini disebut ejakulasi. Sementara itu, kontraksi
ritmis otot pelvis dan bahkan kontraksi beberapa otot penyangga tubuh
menyebabkan gerakan mendorong dari pelvis dan penis, yang juga membantu
mendorong semen ke bagian terdalam vagina dan bahkan mungkin sedikit ke
dalam serviks uterus (Guyton dan Hall, 2008).

58
Seluruh periode emisi dan ejakulasi ini disebut orgasme laki-laki. Pada
akhir proses tersebut, gairah seks laki-laki menghilang hampir sepenuhnya
dalam waktu 1 sampai 2 menit, dan ereksi menghilang, suatu proses yang
disebut resolusi (Guyton dan Hall, 2008).

3. Testosteron dan Hormon Seks Laki-Laki


Sekresi Testosteron oleh Sel-Sel Interstisial Leydig di Testes. Testes
menyekresi beberapa hormon seks laki-laki, yang secara keseluruhan disebut
androgen, meliputi testosteron, dihidrotestosteron, dan androstenedion.
Jumlah testosterone jauh lebih banyak dari yang lain sehingga dapat dianggap
sebagai hormon testis utama, walaupun kita akan mengetahui, banyak, bahkan
sebagian besar testosteron yang akhirnya diubah menjadi hormon
dihidrotestosteron yang lebih aktif di jaringan sasaran (Guyton dan Hall, 2008).
Testosteron dibentuk oleh sel-sel interstisial Leydig, yang terletak di
celah-celah antar-tubulus seminiferus dan kira-kira merupakan 20 persen
massa testes dewasa, seperti tampak. Sel-sel Leydig hampir tidak ditemukan di
testes pada masa kanak-kanak, saat testis hampir tidak menyekresi testosteron,
tetapi hormon tersebut ada dalam jumlah yang banyak pada bayi laki-laki yang
baru lahir selama beberapa bulan pertama kelahiran dan pada laki-laki dewasa
setelah pubertas; pada kedua masa tersebut, testes menyekresi sejumlah besar
testosteron. Selanjutnya, ketika tumor berkembang dari sel-sel interstisial
Leydig, sejumlah besar testosteron disekresi. Akhirnya, ketika epitel
germinativum testes rusak akibat terapi dengan sinar-x atau panas yang
berlebihan, sel-sel Leydig yang tidak begitu mudah rusak, sering kali terus
membentuk testosterone (Sherwood, 2013).

Fungsi Testosteron
Pada umumnya, testosteron bertanggung jawab terhadap berbagai sifat
maskulin tubuh. Bahkan selama kehidupan janin, testes sudah dirangsang oleh
gonadotropin korionik (HCG) plasenta untuk membentuk sejumlah testosteron
sepanjang periode perkembangan janin dan selama 10 minggu atau lebih

59
setelah kelahiran; setelah itu, pada dasarnya tidak ada testosteron yang
diproduksi selama masa kanak-kanak sampai kira-kira berusia 10 sampai 13
tahun. Kemudian produksi testosteron meningkat dengan cepat akibat
rangsangan hormon-hormon gonadotropin hipofisis anterior pada awal
pubertas dan berlangsung seumur hidup, yang menurun dengan cepat di atas
usia 50 tahun menjadi 20 sampai 50 persen dari nilai puncak, pada usia 80
tahun (Guyton dan Hall, 2008).
Fungsi Testosteron selama Perkembangan Janin
Testosteron mulai dibentuk oleh testes janin laki-laki sekitar minggu ke
tujuh masa embrional. Bahkan, salah satu perbedaan fungsional utama antara
kromosom seks laki-laki dan perempuan adalah bahwa kromosom laki-laki
memiliki gen SRY (sex-determining region Y atau regio penentu-seks Y) yang
mengodekan suatu protein bernama faktor penentu testis (juga dinamakan
protein SRY). Protein SRY menginisiasi suatu kaskade pengaktifan gen yang
menyebabkan sel-sel tonjolan genitalia berdiferensiasi menjadi sel-sel yang
menyekresi testosteron dan akhirnya menjadi testes, sedangkan kromosom
perempuan menyebabkan tonjolan ini berdiferensiasi menjadi sel-sel yang
menyekresi estrogen (Wilhelm et al, 2007 ; Guyton dan Hall, 2014).
Injeksi sejumlah besar hormon seks laki-laki pada hewan yang hamil
menyebabkan perkembangan organ-organ seksual jantan walaupun janin yang
dikandungnya betina. Selain itu, pengangkatan testes pada janin laki-laki yang
masih muda akan menyebabkan perkembangan organ seks perempuan (Guyton
dan Hall, 2008).
Jadi, testosteron yang mula-mula disekresi oleh tonjolan genitalia dan
kemudian oleh testes janin bertanggung jawab terhadap perkembangan
karakteristik tubuh laki-laki, meliputi pembentukan penis dan skrotum dan
bukan pembentukan klitoris dan vagina. Testosteron juga menyebabkan
pembentukan kelenjar prostat, vesikula seminalis, dan duktus genitalia laki-
laki, sementara pada waktu yang sama terjadi penekanan pembentukan organ
genitalia perempuan (Guyton dan Hall, 2008).

60
Pengaruh Testosteron yang Menyebabkan Turunnya Testes. Testes
biasanya turun ke dalam skrotum selama 2 sampai 3 bulan terakhir masa
kehamilan, ketika testes menyekresi sejumlah testosteron yang cukup. Bila
janin laki-laki lahir disertai testes yang tidak turun tetapi testesnya normal,
penyuntikan testosterone dapat menyebabkan testes turun dengan cara yang
lazim bila kanalis inguinalis cukup besar untuk dilalui testes (Guyton dan Hall,
2008).
Pemberian hormon gonadotropin, yang merangsang sel-sel Leydig testes
anak yang baru lahir untuk menghasilkan testosteron, dapat juga menyebabkan
turunnya testes. Jadi, rangsangan untuk turunnya testes adalah testosteron,
yang kembali menandakan bahwa testosteron merupakan hormone yang
penting untuk perkembangan seks laki-laki selama masa kehidupan
janin(Guyton dan Hall, 2008).
Pengaruh Testosteron pada Perkembangan Sifat Kelamin Primer dan
Sekunder Orang Dewasa
Setelah pubertas, peningkatan sekresi testosteron menyebabkan penis,
skrotum, dan testes membesar kira-kira delapan kali lipat sebelum mencapai
usia 20 tahun. Selain itu, testosterone menyebabkan "sifat kelamin sekunder"
laki-laki berkembang, dimulai saat pubertas dan berakhir pada maturitas. Sifat
seks sekunder ini, selain organ seks, membedakan laki-laki dan perempuan
sebagai berikut.
Pengaruh pada Distribusi Rambut Tubuh. Testosteron menimbulkan
pertumbuhan rambut (1) di atas pubis, (2) ke atas di sepanjang linea alba
kadang-kadang sampai ke umbilicus dan di atasnya, (3) pada wajah, (4)
biasanya pada dada, dan (5) kurang sering pada bagian tubuh yang lain, seperti
punggung. Testosteron juga menyebabkan pertumbuhan rambut yang berlebih
di bagian tubuh lainnya (Guyton dan Hall, 2008).
Kebotakan. Testosteron menurunkan pertumbuhan rambut di puncak
kepala; seorang laki-laki dengan testes yang tidak berfungsi, tidak akan
menjadi botak. Akan tetapi, banyak laki-laki jantan tidak menjadi botak, karena
kebotakan merupakan akibat dari dua faktor; pertama, latar belakang genetik

61
untuk mengalami kebotakan dan kedua, memperkuat latar belakang genetik ini,
yaitu banyaknya hormon androgen. Perempuan dengan latar belakang genetik
yang sesuai dan menderita tumor androgenik dalam jangka panjang menjadi
botak dengan cara yang sama dengan laki-laki (Guyton dan Hall, 2008).
Pengaruh pada Suara. Testosteron yang disekresi oleh testes atau
disuntikkan ke dalam tubuh akan menyebabkan hipertrofi mukosa laring dan
pembesaran laring. Pengaruhnya mula-mula berupa suara agak sumbang,
"serak", namun secara bertahap berubah menjadi suara maskulin dewasa yang
khas(Guyton dan Hall, 2008).
Testosteron Meningkatkan Ketebalan Kulit, dan dapat Memicu
Pertumbuhan Jerawat. Testosteron meningkatkan ketebalan kulit di seluruh
tubuh dan meningkatkan kekasaran jaringan subkutan. Testosteron juga
meningkatkan kecepatan sekresi beberapa atau mungkin semua kelenjar
sebasea tubuh. Hal yang paling penting adalah kelebihan sekresi oleh kelenjar
sebasea wajah, karena hal tersebut dapat menyebabkan jerawat. Oleh karena
itu, jerawat merupakan salah satu gambaran umum laki-laki remaja ketika
tubuh pertama kali mengenali peningkatan testosteron. Setelah beberapa tahun
mengalami sekresi testosteron, kulit biasanya beradaptasi terhadap testosteron
sedemikian rupa sehingga memungkinkan kulit mengatasi jerawat (Guyton dan
Hall, 2008).
Testosteron Meningkatkan Pembentukan Protein dan Perkembangan
Otot. Salah satu karakteristik laki-laki yang terpenting adalah peningkatan
perkembangan otot setelah pubertas, rata-rata peningkatan massa otot sekitar
50 persen lebih dari perempuan. Hal ini juga berkaitan juga dengan
peningkatan protein di bagian lain tubuh yang tidak berotot. Banyak perubahan
pada kulit disebabkan oleh penumpukan protein di kulit, dan perubahan pada
suara juga disebabkan sebagian oleh fungsi anabolik protein testosterone
(Guyton dan Hall, 2008).
Oleh karena pengaruh testosteron dan androgen lain yang besar terhadap
otot tubuh, androgen sintesis digunakan secara luas oleh para atlet untuk
meningkatkan kinerja otot mereka. Praktik seperti ini harus sangat dicela

62
karena efek berbahaya jangka panjang akibat kelebihan androgen. Testosteron
atau androgen sintetik kadang-kadang juga digunakan di usia tua sebagai
"hormon peremajaan" untuk memperbaiki kekuatan dan tenaga otot, namun
hasilnya masih dipertanyakan(Guyton dan Hall, 2008).
Testosteron Meningkatkan Matriks Tulang dan Menimbulkan
Retensi Kalsium. Setelah peningkatan besar sirkulasi testosteron yang terjadi
saat pubertas (atau setelah penyuntikan testosteron jangka yang panjang),
tulang menjadi sangat tebal dan menyimpan sejumlah besar garam kalsium
tambahan. Jadi, testosteron meningkatkan jumlah total matriks tulang dan
menyebabkan retensi kalsium. Peningkatan matriks tulang diyakini akibat dari
fungsi anabolik protein umum testosteron dan penyimpanan garam-garam
kalsium sebagai respons terhadap peningkatan protein (Guyton dan Hall,
2008).
Testosteron memberikan pengaruh khusus pada panggul yang
menyebabkan (1) penyempitan pintu atas panggul, (2) memanjangkan panggul,
(3) menyebabkan panggul berbentuk terowongan dan bukan berbentuk ovoid
yang lebar seperti panggul perempuan, dan (4) sangat meningkatkan kekuatan
seluruh panggul sebagai penahan beban. Tanpa testosteron, panggul laki-laki
berkembang menjadi panggul yang menyerupai panggul perempuan. Oleh
karena kemampuannya untuk meningkatkan ukuran dan kekuatan tulang,
testosteron kadang-kadang digunakan pada lansia untuk mengobati
osteoporosis (Guyton dan Hall, 2008).
Testosteron Meningkatkan Laju Metabolisme Basal. Penyuntikan
sejumlah besar testosteron dapat meningkatkan laju metabolisme basal sampai
15 persen. Selain itu, bahkan jumlah testosteron yang biasa disekresi oleh
testes selama masa remaja dan dewasa muda meningkatkan laju metabolisme
sekitar 5 sampai 10 persen di atas nilai yang didapat seandainya testes tidak
aktif. Peningkatan laju metabolisme tersebut mungkin disebabkan oleh
pengaruh tidak langsung testosteron terhadap anabolisme protein, peningkatan
kuantitas protein terutama enzim meningkatkan aktivitas semua sel (Guyton
dan Hall, 2008).

63
Testosteron Meningkatkan Jumlah Sel Darah Merah. Ketika
testosteron dalam jumlah normal disuntikkan kepada orang dewasa yang
dikastrasi, jumlah sel darah merah per millimeter kubik meningkat 15 sampai
20 persen. Selain itu, rata-rata laki-laki memiliki 700.000 sel darah merah/mm3
lebih banyak daripada rata-rata perempuan. Meskipun ada hubungan kuat
antara testosteron dan peningkatan hematokrit, testosteron tampaknya tidak
langsung meningkatkan kadar eritropoetin atau mempunyai efek langsung pada
pembentukan sel darah merah. Efek testosteron dalam meningkatkan
pembentukan sel darah merah mungkin paling tidak, sebagiannya tidak
langsung, disebabkan oleh peningkatan laju metabolisme yang terjadi setelah
pemberian testosterone (Guyton dan Hall, 2008).
Pengaruh pada Elektrolit dan Keseimbangan Cairan. Banyak hormon
steroid dapat meningkatkan reabsorpsi natrium di tubulus distal ginjal.
Testosteron juga memiliki efek tersebut tetapi hanya sedikit bila dibandingkan
dengan pengaruh mineralokortikoid adrenal. Meskipun demikian, setelah
pubertas, darah dan volume cairan ekstraselular pada laki-laki meningkat
sesuai penambahan berat badan sebesar 5 sampai 10 persen (Guyton dan Hall,
2008).
Pengaturan Fungsi Seks Laki-Laki melalui Hormon dari Hipotalamus dan
Kelenjar Hipofisis Anterior
Andil utama dari pengaturan fungsi seks baik pada laki-laki maupun
perempuan dimulai dengan sekresi gonadotropin releasing hormone (GnRH)
oleh hipotalamus. Hormon ini selanjutnya merangsang kelenjar hipofisis
anterior untuk menyekresi dua hormon lain yang disebut hormonhormon
gonadotropin: (1) hormon luteinisasi (LH) dan (2) hormon perangsang-folikel
(FSH). Selanjutnya, LH merupakan perangsang utama untuk sekresi
testosteron oleh testes, dan FSH terutama merangsang spermatogenesis
(Guyton dan Hall, 2008).

64
GnRH dan Pengaruhnya dalam
Meningkatkan Sekresi LH dan FSH
GnRH merupakan suatu peptida dengan
10 asam amino yang disekresi oleh neuron
yang badan selnya terletak di nucleus arkuata
hipotalamus. Bagian ujung neuron ini
berakhir terutama di eminensia mediana
hipotalamus, tempat neuron-neuron tersebut
melepaskan GnRH ke dalam sistem
pembuluh portal hipotalamus-hipofisis.
GnRH kemudian diangkut ke kelenjar
hipofisis anterior dalam darah portal hipofisis
dan merangsang pelepasan dua jenis
gonadotropin, LH dan FSH
Gambar 4. Pengaturan umpan balik aksis
(Guyton dan Hall, 2008). hipotalamus hipofisis-testis pada laki-laki.

GnRH disekresi secara intermiten selama beberapa menit setiap 1 sampai


3 jam. Intensitas rangsang hormon ini ditentukan dalam dua cara: (1) oleh
frekuensi siklus sekresi dan (2) oleh jumlah GnRH yang dilepaskan pada setiap
siklus (Guyton dan Hall, 2008).
Sekresi LH oleh kelenjar hipofisis anterior juga merupakan suatu siklus,
yaitu sekresi LH hampir selalu mengikuti pelepasan bertahap dari GnRH.
Sebaliknya, peningkatan dan penurunan sekresi FSH hanya sedikit mengikuti
setiap fluktuasi sekresi GnRH; bahkan, sekresi FSH berubah lebih lambat
setelah beberapa jam sebagai respons terhadap perubahan jangka panjang
GnRH. Oleh karena hubungan antara sekresi GnRH dan sekresi LH yang jauh
lebih dekat, GnRH juga dikenal secara luas sebagai hormon pelepas-LH atau
LH-releasing hormone (Guyton dan Hall, 2008).
Hormon Gonadotropin: LH dan FSH
Kedua hormon gonadotropin, LH dan FSH, disekresi oleh sel yang sama,
yang disebut gonadotrop, di kelenjar hipofisis anterior. Tanpa sekresi GnRH

65
dari hipotalamus, gonadotrop di kelenjar hipofisis hampir tidak menyekresi LH
atau FSH (Guyton dan Hall, 2008).
LH dan FSH merupakan glikoprotein. Keduanya menggunakan
pengaruhnya pada jaringan target di dalam testes terutama melalui aktivasi
sistem caraka kedua siklik adenosine monofostat, yang selanjutnya akan
mengaktifkan sistem enzim khusus di sel-sel target berikutnya (Guyton dan
Hall, 2008).
Pengaturan Produksi Testosteron oleh LH. Testosteron disekresi oleh
sel-sel interstisial Leydig di testes, namun hanya terjadi bila sel-sel interstisial
Leydig dirangsang oleh LH dari kelenjar hipofisis anterior. Selanjutnya, jumlah
testosterone yang disekresi meningkat kira-kira sebanding dengan jumlah LH
yang ada (Guyton dan Hall, 2008).
Sel-sel Leydig matang biasanya ditemukan dalam testes anak dalam
beberapa minggu setelah kelahiran, namun kemudian menghilang sampai
setelah usia kira-kira 10 tahun. Akan tetapi, penyuntikan LH murni pada anak
dengan usia berapa pun atau sekresi LH pada masa pubertas akan
menyebabkan sel-sel interstisial testis yang menyerupai fibroblas berevolusi
menjadi sel interstisial Leydig yang fungsional (Guyton dan Hall, 2008).
Inhibisi Sekresi LH dan FSH Kelenjar Hipofisis Anterior oleh
Testosteron Pengaturan Umpan Balik Negatif Sekresi Testosteron.
Testosteron yang disekresi oleh testes sebagai respons terhadap LH
mempunyai efek timbal balik dalam menghambat sekresi LH. Sebagian besar
inhibisi ini kemungkinan disebabkan efek langsung testosterone terhadap
hipotalamus untuk menurunkan sekresi GnRH. Keadaan ini selanjutnya
menyebabkan penurunan sekresi LH dan FSH oleh hipofisis anterior, dan
penurunan LH akan mengurangi sekresi testosteron oleh testes. Jadi, jika
sekresi testosteron menjadi terlalu banyak, efek umpan balik negative otomatis
yang beroperasi melalui hipotalamus dan kelenjar hipofisis mengurangi sekresi
testosteron kembali ke tingkat yang diharapkan. Sebaliknya, terlalu sedikit
testosteron akan menyebabkan hipotalamus menyekresi sejumlah besar GnRH,

66
disertai peningkatan sekresi LH dan FSH oleh hipofisis anterior dan berakibat
peningkatan sekresi testosteron testes (Guyton dan Hall, 2008).
Pengaturan Spermatogenesis oleh FSH dan Testosteron. FSH berikatan
dengan reseptor-reseptor FSH spesifik yang melekat pada sel-sel Sertoli di
dalam tubulus seminiferus. Pengikatan ini mengakibatkan sel-sel Sertoli
tumbuh dan menyekresi berbagai unsur spermatogenik. Secara bersamaan,
testosteron (dan dihidrotestosteron) yang berdifusi ke dalam tubulus
seminiferus dan sel-sel Leydig di dalam ruang interstisial, juga mempunyai
efek tropis yang kuat terhadap spermatogenesis, Jadi, untuk memulai
spermatogenesis, dibutuhkan FSH maupun testosterone (Guyton dan Hall,
2008).
Peran Inhibin dalam Kontrol Umpan Balik Negatif Aktivitas Tubulus
Seminiferus. Bila tubulus seminiferus gagal menghasilkan sperma, sekresi
FSH oleh kelenjar hipofisis anterior meningkat dengan nyata. Sebaliknya, bila
spermatogenesis berlangsung terlalu cepat, sekresi FSH hipofisis akan
berkurang. Penyebab efek umpan balik negative ini pada hipofisis anterior
diyakini berupa sekresi hormon lain oleh sel-sel Sertoli, yaitu inhibin. Hormon
ini mempunyai efek langsung yang kuat terhadap kelenjar hipofisis anterior
dalam menghambat sekresi FSH dan mungkin berefek kecil terhadap
hipotalamus dalam menghambat sekresi GnRH (Guyton dan Hall, 2008).
Inhibin merupakan suatu glikoprotein, sama seperti LH dan FSH, dengan
berat molekul antara 10.000 dan 30.000. Inhibin telah diisolasi dari sel-sel
Sertoli yang dibiakkan. Efek penghambatan umpan balik inhibin yang kuat
terhadap kelenjar hipofisis anterior merupakan suatu mekanisme umpan balik
negatif yang penting untuk mengatur spermatogenesis, yang bekerja secara
bersama-sama dan sejalan dengan mekanisme umpan balik negatif yang
mengatur sekresi testosterone (Guyton dan Hall, 2008).

Pubertas dan Pengaturan Awalnya

67
Awal mula timbulnya pubertas telah menjadi misteri sejak lama. Akan tetapi,
kini sudah ditetapkan bahwa selama masa kanakkanak hipotalamus tidak
menyekresi GnRH dalam jumlah yang bermakna. Salah satu alasannya adalah
bahwa selama masa kanak-kanak, sekresi hormon steroid seks yang terkecil
sudah menimbulkan efek penghambat yang kuat terhadap sekresi GnRH oleh
hipotalamus. Namun, oleh sebab yang tidak diketahui, pada saat pubertas,
sekresi GnRH hipotalamus mampu melawan inhibisi masa kanak-kanak, dan
masa seks dewasa pun dimulai (Guyton dan Hall, 2008).

68
III.Epidemiologi Hubungan Seks Pranikah
Perilaku seksual remaja merupakan salah satu permasalahan kesehatan
reproduksi pada remaja yang perlu mendapatkan perhatian. Persoalan
kesehatan reproduksi pada remaja pada akhirnya dapat mengganggu kualitas
remaja. Perilaku seksual remaja yang tidak sehat, misalnya perilaku seksual
pranikah yang berisiko, merupakan salah satu persoalan kesehatan reproduksi
remaja yang banyak terjadi. Persoalan kesehatan reproduksi remaja menjadi
salah satu faktor yang menghambat kualitas kehidupan remaja karena banyak
remaja yang terjebak dalam perilaku seksual pranikah (Soetjiningsih, 2004).
Pengetahuan remaja yang kurang sering kali menjadi penyebab dari perilaku
seksual berisiko yang dilakukan oleh remaja sehingga terkadang berakibat
terjadinya kehamilan tidak dikehendaki di kalangan remaja. Beberapa
penelitian terkait dengan kehidupan remaja Indonesia pada umumnya
menyimpulkan nilai-nilai hidup remaja sedang dalam proses perubahan, yaitu
adanya kecenderungan untuk bertoleransi terhadap gaya hidup seksual
pranikah.
Data hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun
2012 menunjukkan bahwa jumlah remaja yang pernah melakukan hubungan
seksual pranikah pada usia 15-19 tahun sebanyak 0,7 persen perempuan dan
4,5 persen laki-laki serta sebagian besar bertempat tinggal di perkotaan. Data
SDKI, baik data 2007 maupun 2012, secara umummenunjukkan bahwa remaja
laki-laki lebih banyak yang mengatakan pernah melakukan seks pranikah
dibandingkan dengan remaja perempuan. Sementara itu, jika dibandingkan
dengan tahun 2007, persentase remaja yang pernah melakukan seks pranikah
cenderung meningkat. Alasan melakukan hubungan seksual pranikah tersebut
pada remaja laki laki sebagian besar karena penasaran atau ingin tahu (57,5
persen). Rasa ingin tahu dan coba-coba yang menjadi alasan remaja melakukan
hubungan seksual pra nikah juga ditegaskan oleh Holzner dan Utomo (2004).
Hal ini menunjukkan terbatasnya pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi
pada remaja. Beberapa data menunjukkan bahwa akibat dari kurangnya
pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi, perilaku seksual remaja

69
semakin meningkat. Hasil penelitian Nasution (2012) menunjukkan rendahnya
pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi, yang pada akhirnya
berpengaruh pada perilaku seksual pranikah. Penelitian Purbono, dkk. (2015)
juga menunjukkan bahwa pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi
belum baik. Sementara itu, pengetahuan remaja yang tidak memadai dalam hal
kesehatan reproduksi dapat mengakibatkan terjadinya perilaku seksual yang
berisiko (Scott-Jones dan White, 1990). Rendahnya pengetahuan remaja
tentang kesehatan reproduksi lebih banyak disebabkan oleh sumber informasi
remaja tidak dapat dipertanggungjawabkan. Remaja justru mendapatkan
informasi dari teman dekat atau sebaya, majalah, film, atau video (Hidayana,
dkk., 1997). Lingkungan sosial menjadi salah satu faktor yang dapat menjadi
faktor pendorong perilaku remaja, tetapi pada sisi yang lain lingkungan sosial
dapat mengubah perilaku. Teman merupakan faktor yang paling memengaruhi
perilaku seksual remaja. Teman juga menjadi tempat bagi remaja untuk
membicarakan masalah kesehatan reproduksi (Purwatiningsih dan Furi, 2010).
Data SKRRI tahun 2012 juga menunjukkan bahwa sekitar 29 persen
remaja perempuan dan 48 persen remaja laki–laki memperoleh informasi
tentang kesehatan reproduksi dari teman sebaya. Sebagaimana diketahui,
seharusnya keluarga sebagai salah satu lingkungan yang paling dekat dengan
remaja dapat berperan dalam perubahan perilaku remaja. Soetjiningsih (2006)
menunjukkan makin baik hubungan orang tua dengan anak remajanya akan
makin rendah perilaku seksual pranikah remaja. Hal ini karena keluarga
merupakan sumber utama pembentukan kepribadian dan penyampaian pesan
kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi remaja (Effendi dan Makhfudli,
2009). Keluarga juga dapat sebagai media untuk melakukan upaya promotif
dan preventif pada remaja. Namun, pada kalangan keluarga migran, kondisi ini
justru menjadi tantangan karena anak-anak yang ditinggalkan akan kehilangan
faktor yang seharusnya mampu mencegah perilaku seksual remaja. Oleh karena
itu, artikel ini nantinya akan mencoba menggambarkan perilaku seksual
remaja, baik pada remaja dari keluarga migran maupun nonmigran di daerah
penelitian CHAMPSEA (Child Health and Migrant Parents in South East Asia)

70
di Jawa Barat dan Jawa Timur. Secara khusus, artikel ini bertujuan untuk
mengetahui perilaku seksual remaja pada keluarga migran dan nonmigran serta
mengetahui peran lingkungan sosial dan keluarga terhadap perilaku seksual
remaja.
Sosialisasi dengan lingkungan sosial dibutuhkan oleh remaja untuk
menunjukkan eksistensinya. Teman merupakan tempat remaja berbagi
pengalaman, yang sering tidak mereka dapatkan pada keluarga. Remaja
cenderung lebih banyak bertanya kepada teman-temannya dalam hal pergaulan
dan masalah seksual (House, dkk., 2003). Oleh karena itu, teman sebaya
memiliki peran penting dalam kehidupan sosial dan perkembangan remaja
(Rahman, dkk., 2015). Pergaulan teman sebaya dapat memengaruhi perilaku,
baik positif naupun negatif. Teman sebaya berperan aktif memberikan
informasi mengenai kesehatan reproduksi dan perilaku seksual. Di samping itu,
remaja yang memiliki teman sebaya yang telah pernah melakukan hubungan
seksual cenderung untuk berperilaku seksual pranikah (Darmayanti, dkk.,
2011). Dengan demikian, teman yang berperilaku negatif cenderung akan
memberikan pengaruh negatif bagi remaja. Untuk menjelaskan kaitan antara
lingkungan sosial dan remaja, teori Giddens (2003) tentang strukturasi
digunakan sebagai rujukan. Teori tersebut menjelaskan bahwa lingkungan
sosial merupakan struktur sedangkan remaja merupakan agen. Giddens
menganggap bahwa struktur bukan hanya medium, tetapi juga hasil dari
tingkah laku (conduct) yang diorganisasikan secara berulang. Dengan kata lain,
struktur bukan hanya memandu tindakan, tetapi juga merupakan akibat dari
tindakan agent dalam proses produksi dan reproduksi sistem sosial. Remaja
sebagai subjek memiliki peran untuk mengontrol struktur. Dengan demikian,
antara remaja dan lingkungan sosial saling berkaitan dan saling memengaruhi
dalam melakukan tindakan atau perilaku sosial. Oleh karena itu, keluarga dapat
menjadi filter dalam perilaku remaja dari perilaku negatif. Orang tua
merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam memengaruhi perilaku
remaja (Pearson, 2006). Hasil studi Putri (2014) juga menunjukkan bahwa ada
hubungan antara perhatian orang tua dengan perilaku seksual pranikah yang

71
dilakukan oleh remaja. Pola asuh orang tua akan memengaruhi perilaku remaja,
termasuk dalam perilaku seksual. Selain itu, bentuk keluarga memengaruhi
perilaku seksual pranikah berisiko tinggi.
Standar normatif negara-negara Asia, terutama dalam budaya Islam
Indonesia, banyak perdebatan telah muncul tentang aktivitas seksual dan
faktor-faktor terkait pada remaja. Budaya, etnis, dan agama di Indonesia sangat
berbeda, dan perbedaan seperti itu memengaruhi kesehatan reproduksi remaja
(Kesehatan Reproduksi). Studi sebelumnya telah melaporkan bahwa remaja
Indonesia menghadapi masalah seperti onset dini atau pubertas onset lambat;
kecenderungan untuk menunda pernikahan; aktivitas seksual dan kurangnya
pengetahuan, perawatan kesehatan, dan konseling yang memadai. Namun,
berdasarkan budaya dan norma-norma yang terkait dengan lingkungan sosial
dan agama di Indonesia, ada kepekaan dan tabu tertentu, terkait dengan
pembahasan seksualitas dan kesehatan reproduksi. Meskipun demikian, bukti
menunjukkan bahwa meskipun Indonesia adalah negara Islam terbesar yang
memiliki batasan hukum tentang pornografi, remaja di Indonesia secara luas
mengonsumsi pornografi.
Baru-baru ini, kesehatan reproduksi telah diakui sebagai masalah
kesehatan yang penting di kalangan remaja di Indonesia. Populasi kaum muda
di Indonesia rentan terhadap masalah kesehatan remaja. Sebuah survei nasional
yang dilakukan di Indonesia melaporkan bahwa 10% anak perempuan berusia
15 hingga 24 tahun merokok, 5% minum minuman beralkohol, dan 1%
menggunakan obat-obatan terlarang, sementara anak laki-laki lebih berisiko,
karena 80% merokok, 40% minum minuman beralkohol, dan 4% menggunakan
obat-obatan terlarang. Selanjutnya, 1% anak perempuan dan 8% anak laki-laki
melaporkan melakukan hubungan seksual di luar pernikahan, dan 5% remaja
berusia 10 hingga 24 tahun telah dilaporkan terlibat dalam berbagai perilaku,
termasuk perilaku seperti masturbasi , sedangkan ada gejala perilaku seksual
pranikah, termasuk sebagai hubungan seksual. Sementara itu, perkembangan
seksual sekunder dan perubahan emosional memengaruhi kencan dan bentuk
perilaku berisiko yang remaja Indonesia disebut pacaran (pacaran, serta

72
memengaruhi perilaku orang-orang yang bertunangan atau dalam pernikahan
yang tidak terdaftar dikenal sebagai nikah siri. Peraturan Perkawinan
pemerintah Indonesia telah menetapkan usia minimum untuk menikah adalah
19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Namun, survei nasional
menunjukkan bahwa 41,9% wanita menikah antara 15 dan 19 tahun, sementara
4,8% menikah antara 10 dan 14 tahun. Mendorong perilaku kesehatan
reproduksi remaja yang positif diperlukan untuk meningkatkan kesehatan
reproduksi di kalangan remaja, dan ini dapat difasilitasi dengan penilaian
faktor-faktor terkait yang mempengaruhi perilaku kesehatan reproduksi. Dalam
konteks ini, penting untuk menggambarkan kesehatan dan lingkungan yang
terkait dengan perilaku kesehatan reproduksi remaja selama masa pubertas.
Lebih jauh lagi, tabu dan sensitivitas ada dalam budaya Indonesia
sehubungan dengan diskusi seksualitas dan perilaku kesehatan reproduksi
dalam keluarga, di sekolah, dan di masyarakat. Situasi ini membingungkan
remaja ketika mereka membuat keputusan mengenai perilaku kesehatan
reproduksi, karena lingkungan kehidupan sosial, budaya, dan keagamaan yang
kompleks mempengaruhi kesehatan remaja. Perilaku kesehatan reproduksi
remaja mencerminkan hak-hak mereka mengenai seksualitas mereka, termasuk
kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi mereka selama masa hidup
mereka. Namun, globalisasi dan budaya Barat saat ini berpengaruh, membawa
kebebasan dan akses terbuka ke informasi. Keadaan ini memberikan peluang
bagi munculnya perilaku Kesehatan Reproduksi aktif (Susanto T et al, 2016).

A. Prevalensi Hubungan Seks Pranikah pada Anak Sekolah Dasar


(SD)
Remaja yang berada pada keluarga yang mampu mengontrol
pergaulan remajanya dengan baik akan cenderung berperilaku seksual
berisiko rendah (Suwarni, 2009). Kedekatan remaja dengan orang tua
dibutuhkan untuk dapat membentuk perilaku remaja. Hal ini karena
remaja yang membicarakan masalah kesehatan reproduksi dengan
keluarga cenderung tidak berperilaku negatif dalam berpacaran

73
(Purwatiningsih dan Furi, 2010). Keluarga atau orang tua seharusnya
dapat berperan dalam memberikan pengetahuan tentang kesehatan

reproduksi kepada remaja. Studi Suwarni (2009) menjelaskan bahwa


tingkat komunikasi orang tua dengan remaja dalam membicarakan
masalah kesehatan reproduksi tergolong rendah. Padahal komunikasi
orang tua dengan remaja memiliki peran yang penting. Perilaku seksual
pranikah yang dilakukan oleh remaja disebabkan oleh keengganan
orang tua untuk terbuka dengan remajanya dalam penyampaian
informasi terkait seksualitas (Sarwono, 2010). Pengetahuan yang
dimiliki oleh remaja akan memengaruhi sikap dan perilaku remaja
dalam hal seksualitas. Menurut Green (dalam Soekidjo (2007)),
perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mendorong atau
memperkuat terjadinya perilaku, seperti sikap dan pengetahuan. Hasil
studi terhadap remaja hasil studi Pratiwidan Hari (2010) juga
mendapatkan adanya hubungan yang signifikan antara tingkat
pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dengan perilaku seksual.

74
B. Prevalensi Hubungan Seks Pranikah pada Sekolah Menengah
Pertama (SMP)
Menurut WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-19
tahun, menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 25 tahun 2014,
remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun dan menurut
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) rentang usia
remaja adalah 10-24 tahun dan belum menikah. Jumlah kelompok usia 10-
19 tahun di Indonesia menurut Sensus Penduduk 2010 sebanyak 43,5 juta
atau sekitar 18X dari jumlah penduduk. Di dunia diperkirakan kelompok
remaja berjumlah 1,2 milyar atau 18X dari jumlah penduduk dunia (WHO,
2014).
Masa remaja merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat baik secara fisik, psikologis maupun intelektual.
Sifat khas remaja mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai
petualangan dan tantangan serta cenderung berani menanggung risiko atas
perbuatannya tanpa didahului oleh pertimbangan yang matang. Apabila
keputusan yang diambil dalam menghadapi konflik tidak tepat, mereka
akan jatuh ke dalam perilaku berisiko dan mungkin harus menanggung
akibat jangka pendek dan jangka panjang dalam berbagai masalah
kesehatan fisik dan psikososial. Sifat dan perilaku berisiko pada remaja
tersebut memerlukan ketersediaan pelayanan kesehatan peduli remaja yang
dapat memenuhi kebutuhan kesehatan remaja termasuk pelayanan untuk
kesehatan reproduksi.
Kesehatan reproduksi adalah keadaan sehat secara fisik, mental, dan
sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan
yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi. Ruang
lingkup pelayanan kesehatan reproduksi menurut International Conference
Population and Development (ICPD) tahun 1994 di Kairo terdiri dari
kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, pencegahan dan penanganan
infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS, kesehatan reproduksi
remaja, pencegahan dan penanganan komplikasi aborsi, pencegahan dan

75
penanganan infertilitas, kesehatan reproduksi usia lanjut, deteksi dini
kanker saluran reproduksi serta kesehatan reproduksi lainnya seperti
kekerasan seksual, sunat perempuan dan sebagainya.
Dewasa ini kesehatan reproduksi mendapat perhatian khusus secara
global sejak diangkatnya isu tersebut dalam Konferensi Internasional
tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on
Population and Development, ICPD), di Kairo, Mesir, pada tahun 1994.
Hal penting dalam konferensi tersebut adalah disepakatinya perubahan
paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan
dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi
pendekatan yang terfokus pada kesehatan reproduksi serta upaya
pemenuhan hak-hak reproduksi.
Menurut data United Nations Population Division tahun 2007,
sebanyak 592.975.000 penduduk remaja usia 10-19 tahun di dunia
diperkirakan 47% telah menjadi seksual aktif (Center for Disease Control
and Prevention/ CDC, 2006). Sebanyak 1,2 miliar penduduk dunia atau
hampir 1 dari 5 orang di dunia berusia 10-19 tahun.
Tingginya proporsi remaja di populasi dunia, termasuk Indonesia,
menjadi investasi negara di masa depan. United Nations Population Fund
(UNFPA) mengamati bahwa populasi muda ini akan memfasilitasi dalam
pencapaian Millenium Development Goal (MDGs) (UNFPA, 2004). Hasil
sensus penduduk tahun 2010 di Indonesia menunjukkan 1 dari 4 orang
penduduk Indonesia merupakan kaum muda berusia 10- 24 tahun,
dari 240 juta penduduk Indonesia, jumlah remaja terbilang besar,
mencapai 63,4 juta atau sekitar 26,7% dari total penduduk. Dengan jumlah
yang tidak sedikit, remaja Indonesia menghadapi berbagai persoalan dalam
kehidupan dunia remaja.
Perkembangan seksualitas dimulai pada masa remaja, melalui
perubahan fisik dan hormonal sejak pubertas. Akibatnya, remaja
menghadapi konsekuensi sosial dan psikologis yang besar. Hal ini terjadi
dikarenakan adanya rasa ingin tahu dan coba-coba yang besar pada remaja

76
akibat adanya perubahan biologis dan fisik pada masa pubertas (Santrock,
J, 2012). Sekitar 1 persen anak laki-laki dan 4 persen anak perempuan di
Indonesia dilaporkan telah melakukan hubungan seksual sebelum usia 13
tahun, beberapa bahkan ketika berusia di bawah10 tahun. Usia 13 dan 14
tahun dilaporkan hampir 4% telah melakukan hubungan seksual dan
presentasenya relatif meningkat seiiring pertambahan usia. Ketika mereka
berusia 17 tahun, kira-kira sepertiga populasi orang muda sudah akan
melakukan hubungan seksual minimal satu kali. Inisiasi seksual dini
merupakan isu kesehatan dan sosial yang penting. Studi yang sudah
dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar remaja yang sudah
berpengalaman seksual (intercourse) menyatakan ada keinginan untuk
menunda lebih lama dalam melakukan hubungan seksual. Dampaknya,
remaja yang melakukan hubungan seksual dini lebih banyak yang
mengalami kehamilan yang tidak diinginkan dan infeksi menular seksual
(IMS). Selain itu juga, semakin dini remaja mulai berhubungan seksual
dikaitkan dengan rendahnya penggunaan kontrasepsi maupun memiliki
pasangan seksual yang lebih banyak serta mengingat organ reproduksinya
sedang berkembang.
Perilaku seksual remaja di Indonesia saat ini sudah sangat
mengkhawatirkan, termasuk di Kalimantan Barat. Hal ini dapat dilihat dari
data tentang perilaku seksual pranikah remaja di Kota Pontianak Propinsi
Kalimantan Barat menunjukkan bahwa 56,9% pernah kissing, 30,7
necking, 13,8% petting, 7,2% oral seks, 5,5% anal seks, dan 14,7% pernah
melakukan intercourse (Suwarni, 2009). Hal ini menunjukkan angka
perilaku seks bebas (intercourse) yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan angka perilaku seks bebas remaja yang pernah dirilis oleh
Kementrian Kesehatan tahun 2009 yaitu 6,9% di empat kota besar yaitu
Jakarta, Medan, Bandung, dan Surabaya.
Teori Integrated Behavior Model menjelaskan bahwa perilaku
seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terintegrasi.
Inisiasi seks pranikah remaja dalam Integrated Behavior Model

77
dipengaruhi oleh niat berperilaku, sikap, norma subyektif, pengetahuan,
lingkungan (teman sebaya) dan faktor personal (meliputi persepsi kontrol
yang dirasakan dan keyakinan diri). Faktor personal ini, salahsatunya
dipengaruhi oleh monitoring yang dilakukan oleh orangtua remaja.
Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkanperan orangtua (monitoring
parental) berpengaruh signifikan pada perilaku seksual berisiko remaja.
Perilaku seks pranikah merupakan permasalahan dan fenomena sosial
yang semakin lazim dijumpai dalam masyarakat. Perilaku seks bebas tidak
hanya didominasi oleh negara maju, namun juga banyak ditemui di negara
berkembang. Hasil survei di beberapa negara berkembang menunjukkan
bahwa 46% remaja putri (14-17 tahun) dan 66.2% remaja putra di Liberia
sudah bersenggama serta38% remaja putri dan 57.3% remaja putra (15-19
tahun) di Nigeria sudah bersenggama (Sarwono, 2011).
Indonesia sebagai negara berkembang tampaknya harus bercermin
dari data survei tersebut. Transisi kehidupan terpenting dari masa remaja
adalah masa pubertas, yakni masa terjadinnya perkembangan biologis
yang bermakna serta perkembangan sosial dan emosional. Perkembangan
biologis yang bermakna ini ditandai oleh perkembangan alat dan perilaku
reproduksi.Pada masa remaja, perkembanganseksualitas diawali oleh
perubahan fisik, hormonal, sosial, dan psikologis sehingga muncul rasa
ingin tahu yang besar dan keinginan untuk coba-coba akibat perubahan
tersebut.
Hasil survei BKKBN pada 2011 menunjukkan bahwa 71%remaja di
Indonesia mengaku pacaran; 88%berpegangan tangan, 32%mencium bibir,
11%meraba atau merangsang, dan 2% remaja putri serta 5% remaja putra
telah melakukanhubungan seksual. Hubungan seksual yang dilakukan
bersama pacar sebesar 90% dan 10% dilakukan bersama teman atau
pekerja seks komersial. Hasil survei BKKBN juga menunjukkan bahwa
hubungan seksual terbanyak dilakukan oleh remaja usia20-24tahun,
yaknisebesar9,9 persen dan 2,7 persen dilakukan oleh remaja usia15-19
tahun.

78
Terkait hal tersebut, remaja di Indonesia memperoleh informasi
tentang seks pranikah melalui media massa, mediacetak,
TVdanradio,webonline dan jejaring social lainnya, serta dari teman sebaya
yang pernah melakukan hubungan seks pranikah (BKKBN,2011)
.Menurutdata KPAI dan Kemenkes, sekitar 62,7% remaja di Indonesia
telah melakukan hubungan seks di luar nikah. Data yang berumber dari
survei yang dilakukan oleh Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),
dan Kementrian Kesehatan, (Kemenkes) pada Oktober 2013 menunjukkan
bahwa 94.270 perempuan yang mengalami hamil di luar nikah, 20%adalah
kelompok usia remaja dan 21% terinfeksi HIV yang 30% dari
penderitanya berusia remaja.Perilaku seks pranikah pada usia remaja harus
menjadi perhatian utama untuk mengurangi tingkat kehamilan yang tidak
diinginkan, penyakit menular seksual, penyebab putus sekolah, aborsi,
dankematian. Perilaku seks pranikah merupakan aktivitas seksual yang
dilakukan oleh individu dengan orang lain sebelum menikah (Djamba,
2013).
Penyebaran informasi mengenai bahaya perilaku seks pranikah bagi
kesehatan reproduksi remaja masih sangat dibutuhkan. Banyak faktor yang
memengaruhi perilaku seksual pranikah, antara lain hubungan antara orang
tua dengan remaja, pergaulan dengan teman sebaya, religius dan paparan
media pornografi, serta nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat
(Soetjiningsih, 2012; Suryoputro et al., 2006). Selain itu, faktor yang juga
memengaruhi perilaku seksual pranikah pada remajaadalah tingkat
pengetahuan. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat
pengetahuan dengan perilaku seksual pranikah, yakni siswa yang memiliki
pengetahuan yang baik dapat memahami perilaku seksual dengan baik
pula, sedangkan siswa yang memiliki tingkat pengetahuan buruk memiliki
pemahaman buruk juga tentang perilaku seksual (Darmasih, 2011).
Pacaran merupakan hubungan heteroseksual antara lawan jenis. Proses
seseorang pacaran tidak lepas dari masalah seperti komunikasi, konflik
serta hubungan seksual sebelum menikah. Hasil studi kasus yang

79
dilakukan oleh Pilar PKBI perilaku seksual remaja pada usia 15-24 tahun
yang berjumlah 5,4 juta jiwa diketahui bahwa seluruhnya melakukan
aktivitas berpacaran dengan mengobrol, berpegangan tangan, mencium
pipi atau kening, mencium bibir, mencium leher, meraba dada/alat kelamin
(petting), dan melakukan hubungan seksual

C. Hubungan Seks Pranikah pada Sekolah Menengah Atas (SMA)


Perilaku seksual remaja, terutama perilaku seks pranikah, masih
mendominasi perdebatan dari sisi moral, psikologis, dan fisik. Hubungan
seks pranikah pada remaja adalah masalah serius karena berkaitan dengan
rendahnya penggunaan kontrasepsi dan remaja cenderung memiliki lebih
banyak pasangan seksual jika mulai berhubungan seks pranikah pada usia
yang lebih dini. Menurut Glasier et al., seks yang tidak aman merupakan
faktor risiko terpenting kedua bagi timbulnya kecacatan dan kematian di
negara-negara miskin, serta faktor risiko terpenting ke-9 di negara-negara
maju. Hubungan seks pranikah pada remaja mengalami peningkatan
selama abad ke-20. Usia remaja mulai berhubungan seks pranikah
bervariasi di tiap-tiap negara, berkisar dari 12 – 17,5 tahun dan rata-rata
dimulai sejak usia 15 tahun.
Studi sebelumnya di Indonesia tentang perilaku seks pranikah
remaja, memperoleh hasil sekitar 25% – 51% remaja telah berhubungan
seks pranikah. Hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia
(SKRRI) tahun 2007 menunjukkan sebesar 6,4% remaja laki-laki dan
1,3% remaja perempuan telah melakukan hubungan seks pranikah. Studi
di Bali memperoleh hasil remaja laki-laki di sekolah menengah atas
(SMA) dan di sekolah menengah pertama (SMP) lebih banyak yang
berhubungan seks pranikah (40,3% dan 29,4%) dibandingkan dengan
remaja perempuan (3,6% dan 12,5%). Remaja laki-laki di Bali lebih
permisif terhadap perilaku seks pranikah dibandingkan dengan remaja
perempuan dan sekitar 5% remaja telah berhubungan seks pranikah. Isu
yang masih diperdebatkan sampai saat ini mencakup motivasi utama

80
remaja untuk melakukan inisiasi seks pranikah pada usia yang lebih dini
selain kaitan antara sumber-sumber informasi seksual dan perilaku seksual
remaja yang terbatas.Hasil penelitian Utomo dan McDonald,menunjukkan
perilaku seks pranikah disebabkan oleh rangsangan secara terus-menerus
melalui materi-materi seksual di media cetak, internet, serta melalui teman
sebaya (peer). Berdasarkan Theory of Planned Behavior, Social Learning
Theory, Diffusion of Innovations Theory, dan Ideation Model, teman
sebaya berperan penting sebagai determinan utama dari perilaku. Menurut
Busse et al,10 remaja yang berkomunikasi dengan teman tentang seks
cenderung meningkatkan kejadian inisiasi seks pranikah di antara remaja
berusia 14 – 16 tahun di Philadelphia, sehingga perlu diketahui pengaruh
komunikasi tentang seks dengan teman sebaya/akrab terhadap inisiasi
hubungan seks pranikah remaja di Bali melalui elemen sikap, tekanan
normatif, personal agency, serta niat.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, jumlah
kematian ibu dan bayi di Jawa Timur cenderung mengalami penurunan.
Namun jumlah tersebut masih berada diatas rata-rata angka nasional. Salah
satu penyebab kematian ibu ialah usia ibu yang terlalu muda saat masa
kehamilan maupun melahirkan. Pada usia yang masih terlalu muda, ibu
belum mencapai kematangan secara psikis maupun biologis, sehingga
berisiko terhadap dirinya maupun bayi yang dikandungnya. Salah satu
wilayah yang ada di Provinsi Jawa Timur yang cenderung mengalami
peningkatan kasus hamil di luar nikah pada remaja ialah Kabupaten
Trenggalek. Menurut Data Dinas Kesehatan Trenggalek, masalah
kesehatan remaja di Kabupaten Trenggalek cenderung meningkat dari
tahun 2012-2015. Masalah tersebut terjadi sebagai dampak adanya
perilaku remaja yang menyimpang seperti seks pranikah. Menurut data
Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek (2015), kasus hamil di luar nikah
dari tahun 2012-2015 yaitu 2012 sebesar 0,041%, 2013 sebesar 0,126%,
2014 sebesar 0,085%, 2015 sebesar 0,092%. Berdasarkan masalah
perilaku seks pranikah, telah dilakukan beberapa penelitian. Penelitian

81
yang dilakukan Hasibuan et al. (2015) menunjukkan bahwa seks pranikah
pada remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pengaruh teman dan
kemiskinan. Penelitian lain oleh Ardiani (2014) menjelaskan bahwa faktor
yang besar memengaruhi perilaku seksual adalah Handphone (HP),
internet, dan video porno. Penelitian lain yang dilakukan oleh Savitri
(2015) menyebutkan bahwa faktor sikap, teman sebaya, kontrol diri,
paparan media pornografi dan pengetahuan berpengaruh terhadap kejadian
seks pranikah.
Berdasarkan beberapa permasalahan diatas, perilaku seks pranikah
dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal remaja. Faktor tersebut
juga dapat memengaruhi niat remaja untuk mencegah perilaku seks
pranikah. Penelitian oleh Ahiyanasari dan Nirmala pada siswi SMA kelas
X-XII SMA di Kabupaten Trenggalek di dapatkan distribusi frekuensi
umur responden yaitu, umur 15 tahun sebesar 14,3%, umur 16 tahun
sebesar 28,6%, umur 17 tahun sebesar 44,3%, umur 18 tahun sebesar
11,4%, umur 19 tahun sebesar 1,4%. Siswi yang menjadi responden,
terbanyak pada umur 17 tahun sebesar 44,3%. Distribusi umur
berdasarkan kelasnya ialah kelas 10 terdiri dari umur 15–17 tahun, kelas
11 terdiri dari umur 16–17 tahun, dan kelas 12 terdiri dari umur 17–19
tahun. Umur terbanyak pada kelas 10 ialah 16 tahun, kemudian kelas 11
ialah 17 tahun, dan kelas 12 ialah 18 tahun.
Karakteristik responden berdasarkan umur menunjukkan bahwa
sebagian besar pada masa remaja pertengahan (15–18 tahun) sebesar
98,6%. Masa remaja pertengahan ini, remaja mulai muncul hasrat secara
seksual karena adanya interaksi dengan kelompok yang semakin
meningkat. Masa ini, remaja memiliki keinginan untuk kencan atau
menjalin hubungan dengan lawan jenis. Karakteristik fase remaja tengah
menurut Departemen Kesehatan (2010) diantaranya remaja mulai suka
mencoba hal-hal yang baru sebagai wujud pencarian jati diri. Remaja juga
mulai membuat rencana sendiri dan dapat mempertimbangkan
kemungkinan masa depan dan tujuan hidupnya. Remaja mulai berani

82
mengutarakan pendapat dan keinginannya terhadap orang-orang yang ada
di sekitarnya, termasuk orang tua mereka. Mereka mulai menunjukkan
kemandirian bahwa mereka bisa berdiri tanpa bergantung pada kehadiran
orang lain. Pertambahan usia - usia remaja akan berpengaruh terhadap
kematangan seseorang baik secara fi sik, seksual, mental, maupun sosial
(Tukiran,2010). Menurut Tukiran, perkembangan seksual tersebut
berpengaruh besar terhadap dorongan seksual dan dorongan tersebut yang
akhirnya dapat menyebabkan remaja melakukan seks pranikah.
Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan,
menunjukkan bahwa mayoritas responden berada di kelas 10. Pada
tingkatan tersebut di SMA merupakan tingkatan yang paling bawah. Pada
tingkatan ini, siswi masih mengalami proses penyesuaian diri dari masa
SMP ke SMA. Pada masa tersebut, banyak hal-hal baru yang baru mereka
temukan. Mereka akan mulai membangun kepercayaan terhadap orang
lain yang baru mereka temui. Sehingga siswi sangat rentan terhadap
pengaruh dari teman dan lingkungan. Koefisien korelasi sebesar -0,104,
menunjukkan bahwa kekuatan hubungan termasuk dalam kategori negatif
yaitu tidak searah atau bersifat berlawanan. Semakin tinggi pengetahuan
yang dimiliki responden maka semakin menurun niatan mereka untuk
mencegah seks pranikah. Responden, sebagian besar sering menggunakan
media, terutama media online. Namun media tersebut sering dimanfaatkan
untuk mengakses sosial media bukan untuk memperoleh informasi tentang
seks pranikah dan pencegahannya. Hasil penelitian oleh penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Nasution (2010) menyebutkan bahwa
pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja berhubungan dengan
perilaku seksual pranikah. Oktiva (2010), menyebutkan bahwa
pengetahuan remaja tentang seks bebas terdapat hubungan yang sedang
terhadap sikap remaja terhadap seks bebas. Hasil penelitian tersebut
didukung oleh penelitian Puspitaningrum dan Damayanti (2012) yang
menyebutkan bahwa responden yang memiliki pengetahuan yang baik
mendorong perilaku yang positif dalam pencegahan seks bebas.

83
Responden yang mendapatkan informasi tentang pencegahan seks bebas,
cenderung berperilaku mencegah seks bebas.
Penelitian lain oleh Rahyani et al., di beberapa SMA di Bali
diperoleh jumlah responden laki-laki sejumlah 296 orang (47,3%) dan
responden perempuan sebanyak 330 orang (52,7%). Ratarata umur
responden adalah 16,4 tahun, rentang usia dari 14,2 – 19,1 tahun. Tabel 1
menunjukkan bahwa sebagian besar responden tinggal di daerah
perkotaan. Responden perempuan lebih banyak yang pernah berdiskusi
tentang seks dengan peer dibandingkan dengan responden laki-laki dengan
OR = 0,6 (95%CI = 0,4 – 0,8). Sumber informasi tentang seks diperoleh
sebagian besar melalui televisi, internet, bahkan sekolah. Responden laki-
laki lebih banyak berperilaku berisiko seperti merokok, menjadi anggota
geng, mengonsumsi minuman keras, serta pernah berhubungan seks
pranikah. Terdapat perbedaan yang signifikan pada elemen Integrated
Behavioral Model dan karakteristik lain berdasarkan jenis kelamin.
Responden laki-laki cenderung berperilaku berisiko karena lebih banyak
bersikap mendukung seks pranikah, mengalami tekanan normatif lebih
tinggi, personal agency yang rendah, serta niat yang tinggi untuk
melakukan hubungan seks pranikah. Komunikasi yang tidak baik dengan
orang tua lebih banyak dilaporkan oleh responden laki-laki (OR = 2,6 dan
95% CI = 1,5 _ 4,7). Namun, perempuan lebih banyak yang tinggal di
rumah sendirian dalam jangka waktu lebih lama dibandingkan dengan
responden laki-laki (167 orang (61,4%), 105 orang (38,6%). Berdasarkan
analisis bivariat diperoleh bahwa tekanan normatif yang cukup tinggi tidak
berhubungan dengan perilaku inisiasi seks pranikah pada responden
dengan OR = 2,9 (95% CI = 0,7 _ 26,4). Elemen Integrated Behavioral
Model mencakup sikap tidak langsung, sikap langsung, tekanan normatif
yang tinggi, personal agency, dan niat berhubungan secara bermakna
dengan perilaku inisiasi hubungan seks pranikah. Hampir 15% responden
pada survei awal mengaku pernah dipaksa atau dirayu oleh pacar untuk
melakukan hubungan seks pranikah (data tidak ditampilkan). Sebanyak 29

84
responden (4,26%) mengaku sudah melakukan hubungan seks pranikah
bersama pacar/pasangan dalam satu tahun terakhir (1,44% remaja
perempuan dan 3,19% remaja laki-laki). Responden laki-laki lebih banyak
yang mengaku pernah berhubungan seks pranikah dibandingkan
responden perempuan. Berdasarkan hasil survei awal di Bali diperoleh
alasan utama responden laki-laki usia 14 – 16 tahun mulai berhubungan
seks pranikah, yakni rasa ingin tahu (27,6%) dan merasa khilaf (10,3%).
Sebaliknya, responden perempuan beralasan tidak tahu (6,9%), selain
merasa sayang, takut menolak kemauan pacar, suka sama suka (3,4%).
Pola yang sama terlihat, bahwa remaja laki-laki lebih banyak yang
mengaku telah berhubungan seks pranikah dibandingkan dengan remaja
perempuan.
Responden laki-laki lebih banyak terlibat dalam perilaku berisiko
disebabkan oleh pengaruh-pengaruh psikososial, seperti kemampuan untuk
berpikir logis yang terbatas, pengaturan emosi yang lemah, serta rentan
terhadap pengaruh teman sebaya.Teori-teori pembelajaran sosial
digunakan untuk menjelaskan standar ganda. Contohnya adalah remaja
perempuan dihukum atau dicela jika melakukan hubungan seks pranikah
dengan dianggap perempuan murahan atau diisolasi dari pergaulan. Ini
berbeda pada laki-laki, dianggap dapat menambah popularitas atau
dikagumi.
Remaja SMA mulai melakukan hubungan seks pranikah
disebabkan oleh berbagai faktor dan faktor yang berperan penting adalah
situasi yang mendukung terjadinya hubungan seks pranikah tersebut.
Menurut Paikoff, remaja melakukan hubungan seks pranikah akibat situasi
atau kesempatan remaja bersama-sama di dalam ruangan yang pribadi dan
kondisi ini disebut “situations of sexual possibility”. Selain itu, remaja
menyatakan bahwa seks dilakukan sesekali atau jarang, sehingga sulit
untuk diprediksi. Oleh sebab itu, alasan remaja mulai melakukan
hubungan seks pranikah lebih banyak tidak diketahui, selain karena hasrat
atau dorongan seksual. Seks dianggap mencerminkan kebebasan,

85
memelihara hubungan, kedekatan, keintiman, atau cinta. Rasa ingin tahu
serta tekanan dari teman sebaya dan pasangan dapat meningkatkan
kejadian hubungan seks pranikah.
Keterpaparan media berupa tayangan pornografi dan sikap yang
mendukung hubungan seks pranikah merupakan prediktor yang kuat
bagi ditampilkannya perilaku hubungan seks pranikah remaja di Bali.
Remaja laki-laki lebih banyak yang telah melakukan hubungan seks
pranikah dibandingkan dengan remaja perempuan. Remaja perempuan
juga lebih banyak pernah dipaksa oleh pacar/pasangan untuk melakukan
hubungan seks pranikah. Saran Perlu dilakukan monitoring serta upaya-
upaya meningkatkan resiliensi remaja menghindari tekanan atau
pengaruh untuk mulai melakukan hubungan seks pranikah pada usia
yang lebih dini. Orang tua harus lebih terbuka dalam berkomunikasi
dengan remaja terkait seksualitas untuk membantu perkembangan
remaja dan lebih kritis terhadap tayangan-tayangan pornografi. Studi
selanjutnya hendaknya meneliti frekuensi komunikasi antara orang tua
dengan remaja menyangkut seksualitas.

D. Hubungan Seks Pranikah pada Mahasiswa


Sebuah studi di Amerika Serikat tentang tren aktivitas seksual di
kalangan wanita muda Amerika dari tahun 1982 hingga 1995 (Singh dan
Darroch 1999) mengungkapkan bahwa selama periode itu sekitar 40
persen wanita berusia 15-19 tahun (dan 27-28 persen wanita berusia 15-17
tahun). tahun) telah melakukan hubungan seksual dalam 3 bulan terakhir.
Santelli et al. (2000) juga melaporkan perkiraan tahun 1995 dari tiga
survei nasional tentang persentase wanita AS berusia 15-17 tahun yang
pernah melakukan hubungan intim mulai dari 36,5 persen hingga 52,1
persen, dengan perkiraan pria berkisar antara 41,3 persen hingga 52,9
persen. Dalam sebuah studi dari 24 negara maju (tidak termasuk AS) yang
dilakukan pada tahun 2002 (Godeau et al. 2008), tingkat pengalaman
hubungan seksual di antara sampel nasional siswa berusia 15 tahun

86
berkisar antara 17,2 persen (Spanyol) hingga 47,1 persen (Ukraina) untuk
laki-laki (median 24,6 persen) dan dari 2,7 persen (Makedonia) menjadi
39,9 persen (Inggris) untuk perempuan (median 18,5 persen). Studi
perbandingan lain dari data 1991-96 untuk Swedia, Prancis, Kanada,
Inggris dan Amerika Serikat menemukan pengalaman hubungan seksual
wanita sebelum usia 18 tahun berkisar dari 50,1 persen untuk Prancis
hingga 65,2 persen untuk Swedia.
Di Asia, survei tingkat nasional biasanya menemukan bahwa seks
pranikah kurang tersebar luas daripada di Barat, meskipun penelitian
mendalam yang lebih kecil yang berfokus pada kesehatan seksual dan
reproduksi remaja telah mengungkapkan bahwa aktivitas seksual mereka
jelas telah meningkat. Hasil survei perilaku seksual remaja menunjukkan
bahwa persentase remaja yang non-sepele kini dialami secara seksual.
Sebagai contoh, di Republik Korea lebih dari satu dekade yang lalu,
penelitian menunjukkan bahwa 11 persen perempuan dan 24 persen siswa
sekolah menengah laki-laki melaporkan memiliki pengalaman hubungan
seksual pranikah (Gayun 1996). Mayoritas perempuan melakukan debut
seksual dengan pacar yang mereka rencanakan untuk menikah, sementara
lebih dari separuh laki-laki melakukan hubungan seks pertama dengan
teman perempuan biasa atau pekerja seks komersial. Dalam sebuah survei
yang dilakukan pada tahun 2000 di Phnom Penh di antara perempuan
migran desa-kota berusia 15-24 yang bekerja di industri manufaktur
garmen, sebagian besar (54,7 persen) melaporkan telah melakukan
hubungan seks pranikah. Penelitian ini menggunakan pewawancara sebaya
yang merupakan pekerja garmen sendiri, dan berpendapat bahwa cara
pengumpulan data sensitif seperti ini sangat penting untuk mendapatkan
hasil yang berarti dalam masyarakat yang budayanya memberi bobot besar
pada kesucian pranikah wanita. Di Republik Demokratik Rakyat Laos,
survei lokal di antara anggota masyarakat di Vientiane mengungkapkan
bahwa jenis kelamin dan kehamilan sebelum menikah adalah hal yang
umum dan lebih atau kurang diterima karena kepercayaan umum bahwa

87
kehamilan di luar pernikahan mengarah ke pernikahan.
(Tangmunkongvorakul et al, 2011)
Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) dari dua periode
yang berbeda (2002–3 dan 2012) menunjukkan bahwa seks pranikah di
kalangan remaja Indonesia berusia 15-24 meningkat dari 5% menjadi 8%
untuk pria tetapi tetap konstan pada 1% untuk wanita (BPS et al, 2013).
Prevalensi yang lebih tinggi juga dilaporkan oleh Departemen Kesehatan
Indonesia dalam studinya di Medan, Jakarta Pusat, Bandung dan Surabaya
pada tahun 2009. Dalam penelitian ini, 35,9% responden remaja mengakui
bahwa mereka memiliki teman yang pernah melakukan hubungan seks
pranikah, dan 6,9% dari responden remaja melaporkan bahwa mereka
sendiri melakukan hubungan seks pranikah (BKKBN 2011). Sebuah
penelitian serupa, yang dilakukan pada tahun 2010 oleh The Australian
National University (ANU) dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas
Indonesia di Jakarta, Tangerang dan Bekasi (dengan sampel sebanyak
3.006 responden berusia 20-34), menunjukkan bahwa 5,1% dari orang
dewasa muda telah mengalami kehamilan pranikah dan kelahiran
pranikah, sementara 9,4% telah mengalami kehamilan pranikah dan
kelahiran nikah. Data ini menunjukkan perlunya intervensi pemerintah
yang serius.

88
IV. Fase – Fase Seksual Intercourse
A. Human Sexuality
Freud memperkenalkan konsep childhood sexuality yang didasari oleh
studi terhadap pasien-pasiennya. Freud menyatakan bahwa perilaku
mempermainkan penis atau alat genital pada anak-anak adalah sesuatu yang
normal (Lestari, Made Diah et al, 2016). Dan teori Freud ini dibenarkan dalam
teori Master dan Johnson yang mengatakan bahwa masturbasi merupakan
perilaku yang normatif untuk perempuan maupun laki-laki (Stiritz, Ekberg and
Appleton, Frelich, 2017). Freud kemudian terkenal dengan teorinya terkait
tahapan psikoseksual dan konsep libido (Lestari, Made Diah et al. 2016).
Kinsey adalah tokoh utama yang memperkenalkan pengukuran terkait
dengan sikap dan perilaku seksual dan kontinum orientasi seksual (Lestari,
Made Diah et al. 2016).

Gambar. Pengukuran sikap dan perilaku seksual


Seksualitas merupakan suatu komponen integral dari kehidupan seorang
wanita normal. Hubungan seksual yang nyaman dan memuaskan merupakan
salah satu faktor yang berperan penting dalam hubungan perkawinan bagi
banyak pasangan (Irwan, 2012).
Perilaku seksual adalah manisfestasi aktivitas seksual yang mencakup baik
hubungan seksual (intercourse; coitus) maupun masturbasi. Hubungan seksual
diartikan sebagai hubungan fisik yaitu hubungan yang melibatkan aktivitas
seksual alat genital laki-laki dan perempuan (Zawid, 1994 dalam Perry &
Potter, 2005).

89
B. Respon Seksual pada Manusia
Master dan Johnson melakukan riset terkait dengan physiology of sexual
response cycle pada 694 subyek dalam seting laboratorium untuk melihat
reaksi orgasm mereka sepanjang orgasme. Pada tahun 1966, mereka
mengeluarkan teori terkait dengan human sexual response. Master dan
Johnson menyebutkan bahwa siklus respon seksual dijelaskan dalam empat
tahapan pada wanita maupun pria. Mereka menjelaskan bahwa tahapan
orgasme tidak mengubah orientasi sexual (Masters and Johnson, 1979) dan itu
terlepas dari sifat aktivitas seksual heteroseksual, homoseksual, atau
autoerotik. aktivitas organ seks berbeda sesuai dengan struktur anatomisnya,
tetapi mekanisme atau rangsangannya serupa : myotonia (ketegangan otot)
dan vasocongestion (bertambahanya aliran darah ke daerah genital )( Archer,

John dan Lloyd, Barbara).


1. Fase Exicitement
Dorongan/ nafsu seksual adalah minat/ niat seseorang untuk
memulai atau mengadakan hubungan intim (sexual relationship).
Kegairahan seksual (Sexual excitement) adalah respons tubuh terhadap
rangsangan seksual. Ada dua respons yang mendasar yaitu myotonia

90
(ketegangan otot yang meninggi) dan vasocongestion (bertambahnya
aliran darah ke daerah genital) (Chandra,2005).
Pada saat minat seksual timbul, karena stimuli/ rangsangan
psikologis atau fisik, mulailah tahap rangsangan/ excitement. Pada pria
maupun wanita ditandai dengan vasokongesti (bertambahnya aliran darah
ke genitalia-rongga panggul) dan myotonia (meningkatnya
ketegangan/tonus otot, terutama juga di daerah genitalia) (Halstead and
Reiss, 2006).
Selama fase gairah, klitoris, mukosa vagina dan payudara
membengkak akibat peningkatan aliran darah. Tejadi lubrikasi vagina,
ukuran labia minora, labia mayora dan klitoris meningkat, uterus terangkat
menjauhi kandung kemih dan vagina, dan puting susu menjadi ereksi
(Hendersons, 2006).
Vasokongesti dan myotonia merupakan syarat utama tahap
excitement dan menyebabkan basahnya vagina (vaginal sweating) dan
ereksi klitoris pada wanita (tidak selalu).
2. Fase Plateu
Pada tahapan ini reaksi pada exciticemen berlanjut dan memiliki
respon yang lebih intensif. Pada fase plateau secara umum ditandai dengan
pernapasan, aliran darah dan detak jatung meningkat dan stabil serta
peningkatan tegangan otot pada kaki, tangan, wajah dan area sekitar
lainnya (Lestari, Made Diah et al, 2016.). Pada perempuan secara khas
akan terlihat perubahan warna menjadi lebih gelap pada dinding vagina
yang disebabkan karena aliran darah meningkat dan klitoris akan lebih
sensitif, vagina akan mengembang dan rahim jadi terangkat penuh.
Kelenjar Bartholin akan menghasilkan pelumasan yang semakin
bertambah di sekitar vagina. Serta ukuran dari payudara bertambah besar
dan kencang serta putting susu yang akan semakin mengeras. Pada Pria,
secara khas akan tampak bagian dorsal gland penis akan menonjol, akan
tampak testis yang tertarik lebih jauh ke dalam kantung skrotum/ lebih
dekat ke tubuh dan cairan preseminal dari kelenjar Cowper disekresikan

91
saat orificium uretra externus penis membuka (Rowland, David L &
Guitierrez, Britany R, 2017).
Tahapan plateau ini hanya berlangsung dari beberapa detik hingga
beberapa menit. Beberapa ahli mengatakan bahwa jika pada fase plateau
memanjang, itu dapat memungkinkan membuat orgasme dapat lebih baik
dan lebih intens. Tidak mudah untuk memperkirakan kapan seseorang
berpindah dari fase exciticement ke fase plateau karena karakteristikm
umum dari fase exciticemen berlanjut selama fase plateau meskipun pada
fase plateau lebih intens. Pada fase plateau tidak akan membosankan,
melainkan akan memberikan momen kenikmatan seksual yang tak
terlupakan (Lorraine, D. et al.2005).

3. Fase Orgasm
Orgasme adalah salah satu rasa kenikmatan yang paling intense
yang bisa dirasakan oleh organisme, yang mekanismenya masih tidak
terlalu dimengerti. Orgasme adalah fase untuk mencapai klimaks dan
melepaskan sexual tension. Orgasme mencakup ejakulasi serta respons
lain yang menjadi puncak eksitasi seksual dan secara kolektif dialami
sebagai kenikmatan fisik yang intens. Kemudian tiba-tiba terjadi
pelepasan/release ketegangan seksual, disebut klimaks/ orgasme
Orgasme melibatkan ejakulasi, kontraksi otot tahap orgasme relatif
singkat saja. Ketegangan psikologis dan otot dengan cepat meningkat,
begitu juga aktifitas tubuh, jantung dan pernapasan. Orgasme dapat
dicetuskan secara psikologis dengan fantasi dan secara somatik dengan
stimuli bagian tubuh tertentu, yang berbeda bagi tiap orang (vagina, uterus
pada wanita).
Selama fase orgasme, pada laki-laki, kontraksi ritmik yang terjadi
selama ekspulsi semen disertai oleh denyut ritmik involunteer otot-otot
panggul dan intensitas puncak respon tubuh keseluruhan yang naik selama
fase-fase sebelumnya. Bernapas dalam, kecepatan jantung hingga 180 kali
per menit, kontraksi otot rangka generalisata yang mencolok, dan

92
peningkatan emosi merupakan cirinya. Respon panggul dan sistemik yang
memuncaki tindakan seks ini berkaitan dengan rasa nikmat intens yang
ditandai oleh perasaan lepas dan puas. Pada perempuan, jika rangsangan
erotik berlanjut, respons seks memuncak dalam orgasme sewaktu impulse
simpatis memicu kontraksi ritmik otot-otot panggul dengan interval 0.8
detik (seperti pada pria). Kontraksi terutama paling kuat di sepertiga
bawah saluran vagina yang membengkak. Respons sistemik yang identik
dengan yang dijumpai pada orgasme pria juga terjadi. Pada kenyataannya,
pengalaman orgasme pada wanita sejajar dengan yang terjadi pada pria
dengan dua pengecualian. Pertama, pada wanita tidak terjadi ejakulasi.
Kedua, wanita tidak mengalami fase refrakter setelah satu orgasme
sehingga mereka dapat segera berespons terhadap stimulasi erotik
berikutnya dan mencapai orgasme multipel. Jika rangsangan berlanjut,
intensitas seksual setelah orgasme hanya berkurang ke tingkat plateu dan
dapat segera dibawa kembali ke puncak. Wanita diketahui dapat mencapai
orgasme hingga 12 kali berturut turut dengan cara ini (Sherwood, 2013).
4. Fase Resolution
Sesudah orgasme, pria biasanya segera memasuki fase resolusi
menjadi pasif dan tidak responsif, penis mengalami detumescence, sering
pria tertidur dalam fase ini. Sebagian wanita juga mengalami seperti itu,
tetapi sebagian besar umumnya masih responsif secara seksual, bergairah
dan masuk ke dalam fase plateu lagi, orgasme lagi sehingga terjadi
orgasme multipel. Sesudah orgasme, baik pria maupun wanita kembali
(mengalami resolusi) ke fase istirahat. Keduanya mengalami relaksasi
mental dan fisik, merasa sejahtera. Banyak pria dan wanita merasakan
kepuasan psikologis atau relaksasi tanpa mencapai orgasme yang lain
merasa kecewa bila tanpa orgasme (Chandra, 2005). Fase ini dapat
dikatakan sebagai fase relaksasi dan kembali ke kondisi non klimaks.
Badan kembali ke kondisi non klimaks. Klitoris mengecil dan unreacted.
Sebagian orang menjadi sangat talkactive, sebagian lagi biasanya langsung
tertidur.

93
C. Disfungsi Seksual
Disfungsi seksual merupakan kegagalan yang menetap atau
berulang, baik sebagian atau secara keseluruhan, untuk memperoleh dan
atau mempertahankan respon lubrikasi vasokongesti sampai berakhirnya
aktifitas seksual (Chandra, 2005).

Macam- macam disfungsi seksual


Pada DSM-IV menjabarkan tentang disfungsi seksual sebagai
gangguan hasrat seksual dan atau di dalam siklus tanggapan seksual yang
menyebabkan tekanan berat dan kesulitan hubungan antar manusia.
Disfungsi seksual ini dapat terjadi pada satu atau lebih dari empat fase
siklus tanggapan yaitu hasrat atau libido, bangkitan, orgasme atau
pelepasan, dan pengembalian. Meskipun hampir sepertiga dari pasien yang
mengalami disfungsi seksual terjadi tanpa pengaruh dari penggunaan obat,
beberapa petunjuk mengarahkan bahwa antidepresan dapat mencetuskan
atau membangkitkan disfungsi seksual.
Gangguan organik atau fisik dapat terjadi pada organ, bagian-
bagian badan tertentu atau fisik secara umum. Bagian tubuh yang sedang
terganggu dapat menyebabkan terjadinya disfungsi seksual dalam berbagai
tingkat (Tobing, 2006). Disfungsi seksual wanita secara tradisional terbagi
menjadi gangguan minat/ keinginan seksual atau libido, gangguan birahi,
nyeri atau rasa tidak nyaman dan hambatan untuk mencapai puncak atau
orgasme.
Pada DSM IV dari American Phychiatric Assocation, dan ICD-10
dari WHO, disfungsi seksual wanita ini dibagi menjadi empat kategori
yaitu:
a) Gangguan minat/ keinginan seksual (desire disorders) Ditandai
dengan kurang atau hilangnya keinginan/ hasrat seksual
b) Gangguan birahi (arousal disorder) Ditandai dengan kesulitan
mencapai atau mempertahankan keterangsangan saat melakukan
aktivitasn seksual.

94
c) Gangguan orgasme (orgasmic disorder) Ditandai dengan tertundanya
atau gagalnya mencapai orgasme saat melakukan aktivitas seksual.
d) Gangguan nyeri seksual (sexual pain disorder) (Rosen et al., 2000).

Menurut Glaiser and Gebbie (2005) adapun beberapa gangguan seksual


yaitu :
a) Hilangnya kenikmatan
Seorang wanita mungkin melakukan hubungan intim, tetapi gagal
merasakan kenikmatan dan kesenangan yang biasanya ia rasakan.
Apabila ia tidak terangsang, maka pelumasan normal vagina dan
pembengkakan vulva tidak terjadi dan hubungan intim pervagina
dapat menimbulkan rasa tidak nyaman atau bahkan nyeri, yang
semakin menghambat dirinya menikmati hubungan tersebut. Wanita
yang mengalami hambatan nafsu seksual mungkin tidak
menginginkan atau tidak menikmati seksual, tetapi dia mengijinkan
pasangannya untuk bersenggama dengannya, sebagai suatu
kewajiban. Wanita yang lain mungkin sangat cemas dengan gagasan
bersenggama sehingga menolak atau membuat alasan
menghindarinya.
b) Hilangnya minat seksual
Hal ini sering terjadi bersamaan dengan hilangnya kenikmatan,
wanita seperti ini tidak memiliki keinginan untuk berhubungan
seksual dan tidak menikmatinya seandainya terjadi. Seperti pada pria,
faktor-faktor yang menyebabkan hilangnya gairah seksual bervariasi
dan sering sulit diidentifikasi. Perubahan alam perasaan sangat
penting bagi wanita, tidak saja sebagai penyakit depresi kronik tetapi
juga sebagai variasi dalam alam perasaan depresi di sekitar waktu
menstruasi yang dirasakan oleh beberapa wanita. Banyak wanita
menyadari bahwa mereka mengalami tahap siklus menstruasi tertentu,
walaupun waktunya berbeda dari satu wanita ke wanita lain. Tetapi
mereka yang biasanya merasa murung sebelum menstruasi biasanya
kehilangan minat seksual pada saat tersebut, dan mendapati bahwa

95
fase pasca menstruasi secara seksual merupakan saat yang terbaik
bagi mereka. Wanita yang menghadapi bentuk-bentuk kanker yang
mengancam nyawa, misalnya kanker payudara atau ginekologis,
dapat bereaksi secara psikologis terhadap stres penyakit dan dampak
terapi (mastektomi).
Faktor-faktor fisik juga mungkin memiliki peran langsung. Hilangnya
minat seksual adalah hal yang wajar dalam keadaan sakit dan hal ini
mungkin secara spesifik disebabkan oleh kelainan status hormon.
Testosteron tampaknya penting untuk gairah seksual pada banyak
wanita, seperti halnya pada pria. Penurunan substansial testosteron,
seperti terjadi setelah ovariektomi atau bentuk lain kegagalan atau
supresi ovarium, dapat menyebabkan hilangnya gairah.
c) Keengganan seksual
Pada beberapa kasus, sekedar pikiran tentang aktivitas seksual sudah
menyebabkan ketakutan atau ansietas yang besar sehingga terbentuk
suatu pola menghindari kontak seksual. Pada kasus-kasus seperti ini,
penyebabnya sering dapat diidentifikasi dari pengalaman traumatik
sebelumnya, tetapi kadang-kadang pangkal masalahnya tetap tidak
jelas.
d) Disfungsi orgasme
Sebagian wanita secara spesifik mengalami kesulitan mencapai
orgasme, baik dengan kehadiran pasangannya atau pada semua
situasi. Hal ini mungkin merupakan bagian dari hilangnya kenikmatan
seksual secara umum, atau relatif spesifik, yaitu manusia masih dapat
terangsang dan menikmati seksual tetapi gagal mencapai orgasme.
Walaupun obat tertentu dapat menghambat orgasme pada wanita,
namun pada sebagian kasus faktor psikologis tampaknya menjadi
penyebab.
e) Vaginismus
Kecenderungan spasme otot-otot dasar panggul dan perivagina setiap
kali dilakukan usaha penetrasi vagina ini dapat timbul akibat

96
pengalaman traumatik insersi vagina (perkosaan atau pemeriksaan
panggul yang sangat kasar oleh dokter). Namun lebih sering tidak
terdapat penyebab yang jelas dan tampaknya otot-otot tersebut
memiliki kecenderungan mengalami spasme reflektif saat dicoba
untuk dilemaskan. Vaginismus biasanya adalah kesulitan seksual
primer yang dialami wanita saat mereka memulai kehidupan seksual,
dan sering menyebabkan hubungan seksual yang tidak sempurna.
Kelainan ini jarang timbul kemudian setelah wanita menjalani fase
hubungan seksual normal, terutama apabila ia sudah pernah
melahirkan. Apabila memang demikian, kita perlu mencari penyebab
nyeri atau rasa tidak nyaman lokal yang dapat menyebabkan spasme
otot (Llewellyn, 2005).
f) Dispareunia
Nyeri saat melakukan hubungan intim sering terjadi dan umumnya
dapat disembuhkan. Apabila menjadi masalah yang berulang, maka
antisipasi nyeri dapat dengan mudah menyebabkan hambatan
timbulnya respons seksual normal sehingga masalah menjadi semakin
parah karena pelumasan normal vagina terganggu. Nyeri atau rasa
tidak nyaman dapat dirasakan di introitus vagina, akibat spasme otot-
otot perivagina atau peradangan atau nyeri di introitus yang dapat
ditimbulkan oleh episiotomi atau robekan perineum. Kista atau abses
Bartholin dapat menyebabkan nyeri hanya oleh rangsangan seksual,
karena kecendrungan kelenjar ini mengeluarkan sekresi sebagai
respons terhadap stimulasi seksual (Kusuma, 1999).

97
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Perilaku kesehatan reproduksi remaja mencerminkan hak-hak mereka


mengenai seksualitas mereka, termasuk kesehatan seksual dan kesehatan
reproduksi mereka selama masa hidup mereka. Perilaku seksual remaja,
terutama perilaku seks pranikah, masih mendominasi perdebatan dari sisi
moral, psikologis, dan fisik. Hubungan seks pranikah pada remaja adalah
masalah serius karena berkaitan dengan rendahnya penggunaan kontrasepsi
dan remaja cenderung memiliki lebih banyak pasangan seksual jika mulai
berhubungan seks pranikah pada usia yang lebih dini. Hubungan seks
pranikah pada remaja mengalami peningkatan selama abad ke-20. Usia
remaja mulai berhubungan seks pranikah bervariasi di tiap-tiap negara,
berkisar dari 12 – 17,5 tahun dan rata-rata dimulai sejak usia 15 tahun.
Perilaku seksual adalah manisfestasi aktivitas seksual yang mencakup baik
hubungan seksual (intercourse; coitus) maupun masturbasi. Fase –fase
intercourse terdiri dari fase exicitement, plateu, orgasm, dan resolution.

B. Saran
Untuk Masyarakat : diharapkan masyarakat dapat mengerti pentingnya
sex education untuk menekan angka kasus perilaku
seks pranikah pada remaja.
Untuk Koas : diharapkan koas dapat memahami mengenai sex
education, agar mampu memberikan pengertian
yang tepat ke masyarakat.

98
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatrics (1999). Contraception and adolescents.


Pediatrics, 104 (5): 1161-6.

Ahrold, T.K. & Meston, C (2010). Ethnic Differences in Sexual Attitudes of U.S.
College Students: Gender, Acculturation, and religiosity factors. Archives
of Sexual Behavior, 39 (1) : 190- 202.

Akers, A. Y (2011). Variations in Sexual Sehaviors in a Cohort of Adolescent


females: The role od Personal, Perceived Peer, and Perceived Family
Attitudes. Journal of Adolescent Health, 48: 87-93.

Azinar, M (2013). Perilaku Seksual Pranikah Berisiko terhadap Kehamilan Tidak


Diinginkan. Jurnal Kemas, 8(2): 143-150.

BKKBN (2011). Profil Pendataan KeluargaTahun 2011. Jakarta : Badan


Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Direktorat Pelaporan
dan Statistik.

Chandra, Siti Windu (2005). Disfungsi Seksual. Yogyakarta: CV Andi.

Drake R, Vogl A, Mitchell A (2014). Gray’s Anatomy for Students 3rd Edition.
United Kingdom: Elsevier.

Darmasih, R (2011). Kajian Sex Pranikah Remaja SMA di Surakarta. Jurnal


Kesehatan, 4 (2), 111-119.

Djamba, Y.K (2013). Sexual Practices in Africa. A.K. Baumle (Ed.). International
Handbook on The Demography of Sexuality Dordrecht. Springer.

99
Glasier A, Gulmezoglu AM, Schmid GP, Moreno CG, Van Look PF (2006).
Sexual and reproductive health: a matter of life and death. Lancet, 368
(9547): 1595-607.

Guyton, A.C., dan Hall, J.E (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: EGC.

Hipwell AE, Keenan K, Loeber R, Battista D (2010). Early predictors of sexually


intimate behaviors in an urban sample of young girls. Developmental
Psychology Journal, 46 (2): 366-78.

Irwan (2012). Perbandingan Fungsi Seksual Pasca Salin Berdasarkan Female


Sexual Function Index (FSFI). Tesis. Makassar: Pasca Sarjana Universitas
Hasanuddin

Kinsman SB, Romer D, Furstenberg FF, Schwarz DF (1998). Early sexual


initiation: the role of peer norms. Pediatrics, 102 (5): 1185-92.

Lestari, Made Diah et al (2016). Bahan Ajar: Psikologi Sosial. Denpasar: Fakultas
Kedokteran Udayana. Hal 18-20.

Lorraine, D. et al. (2005). Sexuality. The American Journal of Medicine-Elsevier,


118 (12): 59S-63S.

Moore, Keith L. et al (2014). Moore Clinically Oriented Anatomy 7th Ed.


Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Netter, F.H (2010). Atlas of Human Anatomy. Philadelphia: PA Saunders.

Potter, P.A, Perry, A.G (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses, dan Praktik. Edisi 4.Volume 2. Alih Bahasa: Renata
Komalasari,dkk. Jakarta: EGC.

100
Rohen J, Yokochi C, Lutjen-Drecoll E (2011). Color Atlas of Anatomy: A
Photographic of Human Body 7th Edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.

Rowland, David L & Guitierrez, Britany R (2017). Phases of the Sexual Response
Cycle. The SAGE Encyclopedia of Abnormaland Clinical Psychology.
SAGE Publications, Inc. http://dx.doi.org/10.4135/9781483365817.n684.
(diakses pada 10 Desember 2019).

Sherwood, Lauralee (2013). Introduction to human physiology 8th edition : Sistem


Reproduksi. Jakarta: EGC.

Snell, R (2010). Clinical Anatomy by Systems. Philadelphia: Lippincott Williams


& Wilkins.

Snell, R (2012). Clinical Anatomy by Regions 9th Edition. Philadelphia:


Lippincott William & Wilkins.

Standring, Susan (2008). Gray’s Anatomy The Anatomical Basis of Clinical


Practice 41th Edition. United Kingdom: Elsevier.

Stiritz, Ekberg dan Appleton, Frelich (2017). Celebrating Masters & Johnson’s
Human Sexual Response: A Washington University Legacy in Limbo. A
Washington University Legacy in Limbo, 53 Wash. U. J. L. & Pol’y 071.
https://openscholarship.wustl.edu/law_journal_law_policy/vol53/iss1/12
(diakses pada 10 Desember 2019).

Utomo ID, McDonald P (2009). Adolescent reproductive health in Indonesia:


contested values and policy inaction. Studies in Family Planning Journal,
40 (2): 133-46.

101
102

Anda mungkin juga menyukai