Anda di halaman 1dari 24

Granulomatous Infection

D
I
S
U
S
U
N

Oleh:
B-02
Cut Intan Agustia 1907101010072
Alivia Sagita 1907101010148
Muhammad Arif 1907101010097
Azzaura Defaheandra Putri Yuzzar 1907101010055
Hasibatun Nisa 1907101010047
Rizky Fawwaz 1907101010099
Ngoc Uyen Luong 1907101010158
Busarin Waeda-oh 1907101010156
Husnan Hayeeteh 1907101010157
Nurshiham Sumalee 1907101010160

Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala
2019/2020
DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan………………………………………………… 3
BAB II Pembahasan
2.1 Etiologi……...…………………………………………… 4
2.2 Epidemiologi …………………………………………… 7
2.3 Klasifikasi….…………………………………………… 7
2.4 Patogenesis …......………………………………………. 10
2.5 Manifestasi Klinis……………………………………..... 11
2.6 Pemeriksaan Penunjang…………………………………. 12
2.7 Prognosis………………………………………………... 14
BAB III Tata laksana farmakoterapi dan non farmakoterapi……….. 18
BAB IV Pencegahan………………………………………………... 20
BAB IV Penutup
Kesimpulan…………………………………………………. 21
Daftar pustaka………………………………………………. 22

2
BAB I
PENDAHULUAN

Inflamasi granulomatosa merupakan pola khas dari inflamasi kronik yang


dapat dijumpai pada keadaan infeksi maupun non-infeksi. Inflamasi ini ditandai
adanya granuloma. Granuloma dapat ditimbulkan oleh berbagai agen infeksi,
setiap mikroorganisme menunjukkan karakteristik berbeda. Pewarnaan rutin
kadang kala memberikan teka-teki diagnostik yang hanya dapat diselesaikan
dengan menggunakan teknik pewarnaan khusus yang dirancang untuk
menunjukkan mikroorganisme tertentu. Identifikasi mikroorganisme penyebab
infeksi sangat penting untuk mengarahkan klinisi pada terapi yang tepat.
Pengobatan yang tepat, efektif dan sesuai merupakanlangkah utama pengendalian
infeksi

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ETIOLOGI
Inflamasi granulomatosa merupakan pola khas dari inflamasi kronik yang
dapat dijumpai pada keadaan infeksi maupun non- infeksi. Inflamasi ini ditandai
dengan adanya granuloma yang perkembangannya dipengaruhi oleh sejumlah
reaksi imunologi. Granuloma adalah suatu fokus yang terdiri atas agregasi
makrofag yang mengalami transformasi menjadi sel-sel epiteloid, dikelilingi oleh
sejumlah leukosit mononuklear, terutama limfosit dan kadang dijumpai sel-sel
plasma (Kumar et al., 2010). Granuloma bisa diskret atau konfluen, pada tipe
konfluen sering dijumpai nekrosis. Nekrosis luas menunjukkan banyak
mikroorganisme yang dapat dijumpai (Schwarz,1982).

Gambaran histopatologi berupa inflamasi granulomatosa dapat dijumpai


pada berbagai keadaan seperti pada tuberkulosis, reaksi benda asing, infeksi fungi,
sarcoidosis, cat scratch disease, leprosy dan brucellosis (Park et al., 2003). Agen
infeksi utama penyebab radang granulomatosa adalah Mycobacterium
tuberculosis dengan frekuensi 59,4% dan fungi dengan frekuensi 20,4%. (Majeed
& Bukhari, 2011).

4
Setiap mikroorganisme memiliki karakteristik berbeda. Beberapa
karakteristik tersebut antara lain;
a. Infeksi mikobakterium
Karakteristik klasik granuloma tuberkulosis adalah nekrosis kaseosa sentral
dikenal sebagai tuberkel. Area sentral debris granular kaseosa amorf, hilangnya
detil seluler, dan dijumpai bakteri tahan asam. Daerah ini diliputi oleh sel
epithelioid, limfosit, histiosit, fibroblas, dan kadang-kadang sel giant Langhans.
Granuloma kaseosa adalah gambaran klasik, hal ini tidak selalu ada.
b. Infeksi fungi
Granuloma fungi dapat berupa kelainan lokal atau sistemik. Infeksi pada
orang imunokompeten menimbulkan granuloma sel epiteloid dan nekrosis
koagulatif. Histoplasmosis dan Coccidiomycosis pada orang imunodefisien
bersifat fulminan, kumpulan fagosit mononuklear berisi yeast dapat dijumpai pada
hampir semua jaringan, sistem retikuloendotel dipadati makrofag mengandung
yeast. Infiltrat neutrofil dapat dijumpai di sekitar granuloma. Penyakit diseminata
menunjukkan respon inflamasi granulomatosa, pyogenik, atau campuran. Lesi
pyogenik terutama dijumpai pada pasien imunosupresi. Identifikasi dengan
pewarnaan GMS dapat membedakannya dengan granuloma lainnya.
c. Infeksi bakteri
Lesi infeksi bakteri menunjukkan gambaran bervariasi secara histologi, berupa
inflamasi akut maupun kronik dengan komponen grenulomatosa fokal hingga
gambaran granulomatosa predominan. Nekrosis sentral kaseosa atau purulen
dekelilingi oleh sel-sel epiteloid dan sel giant serta fibrosis. Adanya bakteri gram
negatif intraseluler dalam makrofag atau sel giant maupun adanya bakteri
ekstraseluler dapat menjadi petunjuk diagnosis. Identifikasi bakteri di jaringan
dapat dilakukan melalui teknik pewarnaan Gram- Twort.
d. Infeksi Treponema
Lesi mukokutanues sifilis sekunder menunjukkan kelainan histopatologi
berupa infiltrasi minimal hingga infiltrasi granulomatosa di lapisan dermis;
infiltrat granulomatosa menunjukkan proliferasi endotelial dengan infiltrasi sel
mononuklear infiltrat sel plasma, nekrotik sentral, serta gambaran seluler yang
utuh.

5
e. Infeksi protozoa
Lesi leishmaniasis berupa respon granulomatosa kutaneus atau mukokutaneus.
Ulserasi kutan ditandai infiltrat sel mononuklear. Resolusi infeksi ditentukan
peningkatan jumlah sel T CD4+ Leishmania, diikuti respon granuloma epiteloid
dan sel giant. Fase nodular leishmniasis dermal postkalaazar ditandai dengan
ganuloma masif tersusun atas limfosit, sel plasma, histiosit, dan banyak amastigot
Leishmania. Toksoplasmosis menunjukkan karakteristik histopatologi berupa
hiperplasi folikuler reaktif, histiosit epiteloid, dan sel monositoid. Sel giant
Langhan jarang dijumpai.
f. Infeksi cacing
Pembentukan granuloma merupakan reaksi terhadap telur cacing dan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat diperantarai sel terhadap determinan antigen parasit.
Tampak sel giant multinukear dan sejumlah besar eosinofil. Infeksi ini terutama
harus dicurigai pada anak-anak dengan hepatomegali dan granuloma milier pada
biopsi hati, bintik milier paru, eosinofilia, endoftalmitis ataupun uveitis fokal
posterior.
g. Infeksi virus
Virus campak telah dihubungkan sebagai etiopatogenesis sarcoidosis dan
penyakit Crohn. Organ limfoid menunjukkan hiperplasi folikuler sentral germinal
besar, sel giant multinuklear (sel Warthin-Finkeldey) yang memiliki nukleus
eosinofilik serta badan inklusi. Virus Epstein Barr penyebab mononukleosis
infeksiosa berkaitan dengan patogenesis beberapa kelainan seperti limfoma
Burkitt, anak-anak dengan hepatomegali dan granuloma milier pada biopsi hati,
bintik milier paru, eosinofilia, endoftalmitis ataupun uveitis fokal posterior.
h. Infeksi virus
Virus campak telah dihubungkan sebagai etiopatogenesis sarcoidosis dan
penyakit Crohn. Organ limfoid menunjukkan hiperplasi folikuler sentral germinal
besar, sel giant multinuklear (sel Warthin-Finkeldey) yang memiliki nukleus
eosinofilik serta badan inklusi. Virus Epstein Barr penyebab mononukleosis
infeksiosa berkaitan dengan patogenesis beberapa kelainan seperti limfoma
Burkitt, karsinoma nasofaring, limfoma sel B dan sarcoidosis. Limfosit atipik
dapat dijumpai pada daerah sinusoid portal dari spesimen biopsi hati, tampak

6
nekrosis parenkim fokal yang berisi limfosit. Diagnosis spesifik dapat ditegakkan
dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) (Zumla & James, 1996).
2.2 EPIDEMIOLOGI
CGD adalah salah satu imunodefisiensi primer klasik masa kanak-
kanak; penyakit ini didiagnosis pada kebanyakan anak dalam 1 hingga 3 tahun
pertama kehidupan. Meskipun bervariasi sesuai dengan etnis, perkiraan kejadian
CGD adalah 1 dalam ~ 200000 kelahiran hidup. Mengingat kohort kelahiran AS
tahunan hampir 4 juta bayi, sekitar 20 anak setiap tahun dilahirkan dengan
CGD. Sebagai perbandingan, kombinasi imunodefisiensi parah terjadi pada
sekitar 40 kelahiran hidup per tahun di Amerika Serikat. Perkiraan kejadian CGD
di Eropa dan Asia serupa, meskipun beberapa populasi lebih sering terkena,
termasuk populasi Arab Israel, di mana insidensinya diperkirakan 1,5 per 100000
kelahiran hidup. Seperti yang dibahas kemudian, laki-laki lebih sering terkena
daripada perempuan (~ 2: 1) karena modus penularan genetik yang dominan.
2.3 KLASIFIKASI
Berdasarkan informasi yang tersedia saat ini, infeksi granulomatosa
sekarang dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori. Infeksi kelompok 1
disebabkan oleh organisme yang dikenal baik. Kelompok 2 terdiri dari infeksi
karena organisme yang baru-baru ini diidentifikasi dalam granuloma dengan
metode molekuler tetapi tidak mudah diisolasi dengan teknik mikrobiologis
konvensional. Kelompok 3 terdiri dari gangguan yang organisme penyebabnya
belum diidentifikasi tetapi diduga kuat; kemajuan lebih lanjut dalam teknik
diagnostik akan menyebabkan klasifikasi ulang beberapa gangguan ini sebagai
kelompok 2.
Klasifikasi keluarga besar gangguan granulomatosa ini terdiri dari infeksi,
vaskulitis, gangguan imunologis, defek leukosit oksidase, hipersensitivitas, bahan
kimia, dan neoplasia. Diagnosis dan manajemen diferensial menuntut interpretasi
yang terampil dari temuan klinis dan histologi (tabel 2).
Classification of granulomatous disorders

(1) Infections
Fungi
Histoplasma 

7
Coccidioides
Blastomyces
Sporothrix 
Aspergillus 
Cryptococcus
Protozoa
Toxoplasma 
Leishmania
Metazoa
Toxoplasma 
Schistosoma
Spirochaetes
T pallidum
T carateum 
T pertenue
Mycobacteria   
M tuberculosis
M leprae
M kansasii 
M marinum
M marinum
M avian 
BCG vaccine
Bacteria
Brucella 
Yersinia 

(2) Vasculitis
Wegener's
Necrotising sarcoidal
Churg-Strauss
Lymphomatoid

8
Polyarteritis nodosa
Bronchocentric
Giant cell arteritis
Systemic lupus erythematosus

(3) Immunological aberrations


Sarcoidosis
Crohn's disease
Primary biliary cirrhosis
Hepatic granulomatous disease
Langerhan's granulomatosis
Orofacial granulomatosis
Peyronie's disease
Blau's syndrome
Hypogammaglobulinaemia
Histiocytosis X
Immune complex disease

(4) Leucocyte oxidase defects


Chronic granulomatous disease of childhood and adults

(5) Hypersensitivity Pneumonitis


Farmers' lung
Bird fanciers'
Mushroom workers'
Suberosis (cork dust)
Bagassosis
Maple bark strippers'
Paprika splitters'
Coffee bean
Spatlese lung

9
(6) Chemicals
Beryllium
Zirconium
Silica
Starch
Talc

(7) Neoplasia
Carcinoma
Reticulosis
Pinealoma
Dysgerminoma
Seminoma 
Reticulum cell sarcoma
Reticulum cell sarcoma
Malignant nasal granuloma

(8) Miscellaneous infections


Whipple's disease
Cat scratch
Lymphogranuloma
Kikuchi
Buruli ulcer

2.4 PATHOGENESIS
Dua faktor berkontribusi pada patogenesis proses granulomatosa. 1)
Ketika agen penginduksi adalah patogen / penyerang atau benda asing, toksisitas
intrinsik agen dapat merusak jaringan. 2) Respons yang dimediasi oleh sel-T imun
yang kuat yang ditimbulkan oleh patogen merekrut makrofag dan sel-sel lain yang
selama tahap teraktivasi dan fagositosis mengeluarkan zat-zat yang merusak
jaringan.
Contoh-contoh untuk yang pertama ditemukan pada M. tuberculosis yang
memiliki dinding sel lipid lilin yang merupakan faktor tali pusat (trehalosa 6, 6-

10
dimycolate) yang mengatur secara in vitro pertumbuhan seperti tali dari bakteri.
Faktor ini secara langsung merusak makrofag atau sel paru-paru dan ketika
disuntikkan ke hewan menyebabkan radang granulomatosa. Komponen tambahan
adalah muramyl dipeptide yang juga granulomagenik. Kedua komponen memicu
respon imun bawaan dengan sitokin (TNFα, IL-1α, IL-6, IL-10, IFNγ dan
produksi kemokin CCL2. Mikobakterium leprae organisme penyebab kusta hidup
secara intraseluler di kulit, mukosa hidung dan sel Schwann dari sel saraf perifer
Sebagai akibatnya terjadi penebalan kulit wajah, hipopigmentasi, dan hilangnya
sensasi panas, dingin, dan nyeri.
Gramac Brusella cepat menggandakan kelenjar getah bening dan
kemungkinan disebabkan oleh Lipid Komponen penghancuran endotoksin pada
organ limforetikular. Ketika kolonisasi jaringan jantung dapat menyebabkan
endokarditis yang fatal Gram + Listeria mengeluarkan eksotoksin Listeriolysin O
• hemolysin β yang menghancurkan sel darah merah, neutrofil dan monosit
7
memiliki jamur tropisme. untuk selaput lendir di mulut di mana ia menyebabkan
lesi. Semua patogen yang dikutip dapat mempertahankan kelangsungan hidup
intra-makrofag mereka dengan menumbangkan mesin pembunuh sel (menangkap
fusi phagolysosomal, gangguan jalur pensinyalan) sehingga memastikan
kronisitas infeksi. Harus ditunjukkan bahwa karena hubungan intim antara inang
dan patogen yang menyerang, sulit untuk secara jelas mengisolasi patogen atau
faktor-faktor turunan inang dalam patogenesis penyakit.
Seperti yang akan dibahas pada bagian selanjutnya, respons yang
dimediasi sel T yang kuat yang berkembang setelah stimulasi antigenik
merupakan kontributor utama patogenesis penyakit. Limfosit CD4 + Th1
mengeluarkan IFNγ yang mengaktifkan makrofag. Akuisisi kapasitas
microbicidal menginduksi pelepasan produk ROS dan NOS serta pelepasan enzim
proteolitik yang sangat berkontribusi terhadap perusakan sel pengamat yang tidak
bersalah dan kerusakan jaminan.
Contoh untuk patogenesis yang diinduksi benda asing adalah partikel
silika inhalasi (kebanyakan kuarsa) yang sangat mengiritasi dan sitotoksik
terhadap makrofag yang menelannya.
2.5 MANIFESTASI KLINIS

11
Infeksi Granuloma adalah kondisi yang sering terdeteksi tanpa sengaja
ketika sedang melakukan pemeriksaan kesehatan. Manifestasi klinis pada infeksi
granuloma cenderung tidak spesifik dan bisa tampak seperti penyakit yang jinak
atau sebaliknya, bersifat ganas (kanker). Infeksi granuloma juga umumnya tidak
menunjukkan gejala yang khas.
Tuberkulosis Paru (TBC)
Menurut Wong (2008) tanda dan gejala tuberkulosis adalah demam,
malaise, anoreksia yang disertai penurunan berat badan, batuk atau tidak
(berkembang secara perlahan selama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan),
peningkatan frekuensi pernafasan, ekspansi buruk pada tempat yang sakit, bunyi
napas hilang dan ronkhi kasar atau pekak pada saat perkusi, demam persisten
disertai manifestasi gejala yang umum seperti pucat, anemia, kelemahan, dan
penurunan berat badan.
Granuloma Inguinale
Masa inkubasi pasti. Perkiraan berkisar antara 1-360 hari, 3-40 hari, 14-28
hari, dan 17 hari. Lesi dapat dimulai pada daerah genitalia eksterna, paha, lipatan
paha atau perineum. Pada permulaan penyakit ini berbentuk papul atau nodul
subkutan tunggal atau multipel yang tidak nyeri dan kemudian secara perlahan-
lahan menjadi ulkus granulomatosa berbentuk bulat, menimbul seperti blundru.
Gambaran klinis yang paling utama adalah lesi yang kulit yang fleshy, merah
daging, wxuberant granulation tissue yang lunak, tanpa nyeri dan mudah
berdaarah.
(Granuloma Inguinal, Mirna Mayasari, Rohana Sari Suaeb)
Granuloma Piogenik
Secara klinis, granuloma piogenik berupa papul atau nodul yang umumnya
soliter, berwarna merah terang dengan ukuran diameter 5-10 mm, sedikit
bertangkai atau tidak bertangkai, rapuh dan mudah berdarah dengan trauma
ringan. Lokasi lesi biasanya terjadi pada daerah yang sering mengalami trauma,
seperti pipi, dahi, jari, lengan bawah, , leher dan kadang permukaan mukosa mulut
pada wanita hamil (granuloma gravidum), namun bisa juga timbul pada bagian
tubuh lain.

12
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Granuloma adalah kondisi yang sering terdeteksi tanpa sengaja ketika


Anda sedang melakukan pemeriksaan kesehatan atau check up. Gambaran klinis
pada granuloma cenderung tidak spesifik dan bisa tampak seperti penyakit yang
jinak atau sebaliknya, bersifat ganas (kanker). Inilah sebabnya dokter memerlukan
pemeriksaan yang menyeluruh sebelum dapat memastikan Anda mengidap
granuloma.

Granuloma juga umumnya tidak menunjukkan gejala yang khas. Evaluasi


klinis, seperti riwayat kesehatan, faktor genetik, tes laboratorium dan pemeriksaan
radiologi seperti CT scan dan Rontgen perlu dilakukan untuk memastikan
diagnosis granuloma serta mencari penyebabnya. Pengobatan kemudian akan
disesuaikan dengan penyebab yang mendasarinya.

Penyebab timbulnya granuloma sangat beragam, meliputi bahan


anorganik, mikobakterium, fungi, parasit, proses imun, serta penyebab yang
belum diketahui seperti pada sarcoidosis. Granuloma dapat ditimbulkan oleh
berbagai agen infeksi. Setiap mikroorganisme memiliki karakteristik berbeda.
Agen infeksi utama penyebab inflamasi granulomatosa adalah Mycobacterium
tuberculosis dan fungi. Cara yang paling efektif untuk isolasi dan identifikasi
spesies mikroba adalah mempelajari pola pertumbuhan dan morfologinya secara
in vitro.
Penegakan diagnosis etiologi inflamasi granulomatosa pada spesimen
biopsi jaringan dengan teknik pewarnaan khusus dapat menjadi dasar penentuan
pengobatan pasien, karena pengobatan pasien dengan infeksi mikroba tertentu
akan jauh berbeda dengan pengobatan pasien dengan infeksi mikroba jenis
lainnya. Teknik pewarnaan khusus seperti ZN, GMS/PAS, dan lain sebagainya
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis etiologi infeksi jaringan yang akan
mengarahkan pasien pada diagnosis dan terapi yang sesuai. Klinisi perlu
meningkatkan kecurigaannya terhadap adanya infeksi jaringan jika pada penilaian
makroskopik pada lesi dijumpai area konsolidasi, kaseasi atau nekrosis, radang,
pus, granuloma, ataupun perdarahan disertai material nekrotik, serta jika dijumpai
granulgranul menyerupai butiran pasir. Pemeriksaan yang dapat dilakukan:

13
 Pemeriksaan fisik: meliputi pemeriksaan kulit, paru-paru, jantung, mata,
dan pemeriksaan apakah ada pembesaran kelenjar getah bening
 Pemeriksaan penunjang:
o Pemeriksaan darah: untuk menyingkirkan adanya penyakit
lain, menilai fungsi ginjal dan hati.
o Pemeriksaan urine
o Pemeriksaan fungsi paru karena paru–paru yang terkena
sarkoidosis tidak akan dapat berfungsi normal.
o EKG untuk menilai fungsi jantung karena hampir 50% orang
dengan sarkoidosis mempunyai kelainan pada EKG. Oleh sebab itu,
pemeriksaan lanjutan diperlukan.
o Echocardiogram merupakan USG pada jantung, dan
digunakan untuk melihat kerja jantung dalam memompa darah.
o X-ray (rontgen) dada: untuk melihat jika ada kelainan pada
paru dan pembesaran kelenjar getah bening.
o CT scan: biasanya dilakukan jika X-ray kurang memberikan
gambaran yang jelas terkait paru-paru dan kelenjar getah bening.
o PET scan (Positron Emission Tomography) seringkali
digunakan untuk membantu mendiagnosis cardiac
sarcoidosis (sarkoidosis pada jantung) dan menemukan tempat yang
bagus untuk biopsi.
o MRI: jika dokter mencurigai adanya keterlibatan jantung,
tulang, sistem saraf pusat (otak dan saraf tulang belakang), serta
organ tubuh lainnya.
o Biopsi: tes ini dilakukan dengan mengambil sedikit jaringan
dari bagian tubuh atau organ yang dicurigai terkena Sarkoidosis.
Misalnya jika ada kelainan pada kulit, maka sampel bisa diambil dari
tempat tersebut. Pada Sarkoidosis, maka akan ditemukan granuloma
(kumpulan sel radang) pada sampel.
o Bronkoskopi dan biopsi pada paru-paru: pemeriksaan ini
dilakukan dengan memasukan pipa ke dalam saluran pernapasan
yang menuju ke paru-paru. Tujuannya adalah untuk melihat keadaan

14
saluran napas, mengambil sampel jaringan untuk biopsi, dan sampel
lain seperti sputum untuk menyingkirkan adanya infeksi paru.

2.7 PROGNOSIS
Ginjal dan Gentourinary
Keterlibatan granulomatosa dan / atau komplikasi infeksi dapat
menyebabkan komplikasi genitourinarium utama pada pasien dengan CGD.
Penggunaan glukokortikoid dan antimikroba telah mengakibatkan remisi patologi
obstruktif pada beberapa pasien, sehingga menghindari operasi. Frifeit dan rekan
kerjanya menggambarkan glomerulonefritis kronis pada pria berusia 12 tahun
dengan CGD. Ini memuncak pada uremia terminal dan Aspergillosis paru yang
fatal dan Pseudomonas septikemia. Infiltrasi difus jaringan ginjal dan lainnya oleh
makrofag yang mengandung pigmen juga dapat menyebabkan patologi pada
CGD. Aspergillosis ginjal yang mengakibatkan pembentukan abses ginjal juga
telah dijelaskan serta pielonefritis xantogranulomatosa dan amiloidosis ginjal.
Dalam kasus terakhir, amiloidosis ginjal yang mengakibatkan sindrom nefritik
terjadi pada pasien dengan transplantasi ginjal pasca CGD [129]. Dalam satu seri,
23/60 pasien (38%) dengan CGD menunjukkan penyakit urologis, termasuk
granuloma kandung kemih, striktur uretra, infeksi saluran kemih berulang, dan
disfungsi ginjal. Penggunaan glukokortikoid dan interferon gamma secara
bijaksana telah memberikan efek menguntungkan pada beberapa kondisi ini, baik
sistem genitourinarius maupun sistem pencernaan. Komplikasi Lainnya
Manifestasi dermatologis pada pasien dengan CGD termasuk penyakit
seperti dermatitis atopik tetapi dengan infeksi duduk sistemik atau dalam,
granulomata wajah dan lupus diskoid, dan penyakit seperti dermatitis seboroik .
Lesi kulit jamur dan granulomatosa telah diamati dalam laporan kecil. Perubahan
respons jendela Rebuck kulit pada pasien dengan CGD telah direkam. Beberapa
komplikasi kerangka yang terkait terutama dengan infeksi telah dijelaskan pada
pasien dengan CGD. Osteomielitis sekunder akibat Aspergillus invasif atau
Burkholderia gladioli dapat terjadi. Osteomielitis dapat melibatkan tulang panjang
atau bahkan tulang belakang. Daktilitis dapat mempersulit CGD. Osteomielitis
multifokal sekunder dari Paecilomyces varioti juga telah dilaporkan seperti halnya
osteomielitis sakral sekunder akibat jamur Basidiomycetous seperti Inonotus

15
tropicalis]. Gill et al., Melaporkan tanggapan yang menguntungkan terhadap
Interferon gamma pada osteomielitis yang mempersulit CGD. Kadang-kadang
faktor pertumbuhan hematopoietik rekombinan (rhG-CSF), antimikroba jangka
panjang, dan pembedahan mungkin diperlukan dalam pengelolaan pasien
kompleks ini.

Hepatobilier dan GI
Banyaknya komplikasi saluran GI terjadi pada CGD. Seperti yang
dinyatakan sebelumnya, varian alel mannose binding lectin (MBL) dikaitkan
dengan penyakit autoimun sementara polimorfisme myeloperoxidase dan Fc II
RIII lebih terkait dengan komplikasi gastrointestinal pada pasien dengan CGD
[39]. Seperti yang dirangkum oleh Barton et al., Gangguan saluran cerna dapat
muncul dari mulut ke anus, dan dapat ditandai dengan bisul, abses, fistula,
striktur, dan gejala obstruktif. Kolitis granulomatosa inflamasi juga dapat
menyebabkan penyakit obstruktif, diare, malabsorpsi, atau manifestasi lainnya.
Apendisitis, abses perirectal, enteritis salmonella, dan kolesistitis akalkulus telah
dijelaskan, beberapa memerlukan intervensi bedah. Obstruksi saluran keluar
lambung adalah komplikasi yang diketahui . Kasus obstruksi saluran keluar
lambung karena infiltrasi lambung yang difus juga telah dijelaskan. Ada laporan
resolusi nonsurgical obstruksi outlet lambung setelah penggunaan glukokortikoid
dan antibiotik. Keterlibatan hati dalam bentuk granuloma hati atau abses hati
multipel dapat mempersulit penatalaksanaan.
Keterlibatan hati oleh Staphylococcus aureus dan Pseudomonas cepacia
dapat bermanifestasi sebagai granuloma atau pembentukan abses. Kasus asites
yang jarang telah dijelaskan dalam CGD dan hipertensi portal non-sirosis
dilaporkan memiliki signifikansi prognostik. Dalam satu penelitian terhadap 194
pasien dari NIH, peningkatan enzim hati (terutama transaminitis)
didokumentasikan dalam> 75%, abses hati 35%, hepatomegali pada 34%, dan
splenomegali pada lebih dari 50% kasus. Histologi hati menunjukkan granuloma
pada 75% dan hepatitis lobular pada 90%. Venopati vena portal diamati pada 80%
dan dikaitkan dengan splenomegali. Ament dan Ochs berkomentar tentang
terjadinya beberapa manifestasi gastrointestinal pada pasien dengan CGD -

16
termasuk granulomata pada biopsi, sindrom malabsorpsi, dan defisiensi B12.
Terapi interferon gamma, penggunaan glukokortikoid dan transplantasi hati secara
hati-hati telah meningkatkan hasil pada beberapa pasien dengan keterlibatan
hati .Infeksi kronis, mual, muntah, dan malabsorpsi dapat menyebabkan
penurunan berat badan dan / atau kegagalan untuk berkembang pada pasien
dengan CGD .Pertumbuhan mengejar ketinggalan cenderung terjadi dan banyak
pasien mencapai ketinggian yang diprediksi pada akhir masa remaja .
Sinopulmonary
Pneumonia seringkali merupakan komplikasi penyakit yang paling umum. Infeksi
dengan organisme katalase-positif adalah aturannya. Dalam banyak kasus, tidak
ada organisme yang dikultur meskipun pasien sering dirawat dengan dan
menanggapi antimikroba yang diarahkan terhadap bakteri atau jamur. Diagnosis
keterlibatan paru paling sering dibuat secara klinis, dilengkapi dengan radiologi
(roentgenografi dada, computerized tomography atau MRI), biopsi, dan kultur.
Obstruksi jalan napas yang terkadang mempersulit infeksi / penyakit
granulomatosa paling baik didiagnosis dengan tes fungsi paru dan dengan
bronkoskopi. Pneumonia berulang, abses paru-paru, efusi, dan empiema thoracis,
adenopati mediastinum, dan penyakit nodular nekrotik dapat terlihat . Patogen
yang umum termasuk Staphylococcus aureus, Burkholderia cepacia, Serratia
marcescens, Nocardia, dan Aspergillus spp. Dalam seri yang dilaporkan oleh
Winkelstein et al., Pneumonia menyumbang 79% dari komplikasi infeksi CGD .
Secara genetik, varian alel dari lektin pengikat mannose (MBL)
dikaitkan dengan penyakit autoimun dan dapat mempengaruhi beberapa
komplikasi paru. Invasi dinding dada oleh patogen juga telah dijelaskan dan
mungkin disebabkan infeksi nekrotikan oleh jamur seperti Aspergillus . Infeksi
paru juga telah dijelaskan karena Pneumocystis carinii, Cryptococcus neoformans,
Aspergillus, visceral Leishmaniasis , patogen supuratif , Pseudomonas cepacia,
Legionella, Nocardia, Mycoplasma pneumoniae, Sarcinosporon inkin-a skin
fungus, Tuberkulosis, Trichosporon pullulans, Tularemia, Q Fever, Acremonium
kiliense, Botryomycosis, Chrysosporium zonatum, Burkholderia (Pseudomonas)
gladioli, mulsa fulminan / jamur berfilamen, Virus Sinkronisasi Pernafasa , dan
Francisella philomiragia (sebelumnya Yersinia philomiragia) .Varian pneumonia

17
tertentu juga telah dijelaskan dalam CGD, termasuk kristal, nodular, dan
pneumonia eosinofili.

BAB III
TATA LAKSANA FARMAKOTERAPI
DAN NON FARMAKOTERAPI

Tata laksana Farmakoterapi


1. Krim Imiquimod
Obat ini dapat digunakan oleh anak-anak mulai dari umur 4 minggu tanpa adanya
komplikasi sistemik. Kekambuhantidak ditemukan pada 8 dari 10 pasien yang
diamati selama 6 bulan.
2. Kauterisasi kimiawi
dengan perak nitrat Perak nitrat digunakan untuk kauterisasi (membakar) agar
dapat menghilangkan jaringan granulasi
3. Kuretase Operasi
dilakukan dengan mengikis granuloma menggunakan kuretdan mengaterisasi
pembuluh darah disekitarnya untuk meminimalkan kemungkinan pertumbuhan
kembali. Metode terapiini juga dapat mencegah pendarahan. (Miller, 2008)
4. Cryotherapy
Cryotherapy disarankan bagi luka yang ukurannya kecil. Perawatan ini melibatkan
pembekuan granuloma menggunakan nitrogen cair. Temperatur rendah dari
perawatan ini dapat mengurangi pertumbuhan sel dan inflamasi melalui
vasokonstriksi, yang mempersempit pembuluh darah.
5. Eksisi bedah
Metode terapi ini lebih ditujukan untuk granuloma yang berukuran besar. Terapi
ini memiliki tingkat kesembuhan tertinggi. Prosedur yang dilakukan adalah

18
membuang granuloma dan pembuluh darah yang berhubungan untuk mengurangi
risiko granuloma kembali bertumbuh. (North, 2005)
6. Bedah laser
Bedah laser dilakukan untuk membuang luka dan membakar dasarnya atau
menyusutkan granuloma kecil. Metode terapi ini belum tentu lebih baik
dibandingkan dengan metode eksisi bedah.
7. Siprofloxasin = 2 x 500 mg selama 5 hari
Salap asam fusidat = Secara topikal 3 kali sehari
kedua obat ini diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi akibat penanganan
yang dilakukan. (James, 2006)

Tata laksana Non – Farmakoterapi


1. Cuci area yang cedera.
2. Tutupi granuloma dengan kasa nonadhesif, hal ini dilakukan karena kulit
yang terkena granuloma cenderung mudah berdarah.
3. Jangan sentuh granuloma, hal ini harus dihindari karena dapat
menyebarkan bakteri dan memperparah kulit yang akan sembuh.
4. Merawat area yang dioperasi.
5. Setelah menjalani proses operasi, area luka operasi harus dirawat.
6. Mengganti perban secara teratur dapat menghindari dari risiko infeksi
maupun kekambuhan. (Harris, 2000)

19
BAB IV
PENCEGAHAN

Pencegahan untuk Granulomatosa Inguinal:


1. Menjauhkan diri dari seks (oral, anal, atau vaginal seks) sampai Anda bera
da dalam hubungan dengan hanya satu orang, berhubungan seks dengan
hanya satu sama lain, dan masing -masing tahu IMS yang lain
termasuk HIV.
2. Jika memiliki atau berencana untuk memiliki lebih dari satu pasangan
seks, gunakan kondom lateks dan pelumas setiap kali Anda melakukan
hubungan seks.
3. Melakukan tes untuk PMS termasuk HIV tanpa gejala.
4. Jika Anda seorang pria yang telah berhubungan
seks dengan pria lain, dites setidaknya sekali setahun.
5. Jika seorang wanita yang berencana untuk hamil 
atau yang sedang hamil,dites sifilis danHIV sesegera
mungkin sebelum memiliki bayi.
6. Bicara tentang PMS termasuk HIV dengan masing-masing pasangan
sebelum berhubungan seks.
7. Pelajari sebanyak mungkin tentang perilaku masa lalu masing-masing
pasangan (seks dan penggunaan narkoba) 
8. Tanyakan pasangan jika mereka baru-baru ini dirawat karena PMS atau
telah diuji untuk HIV.

20
9. Mencari individu-individu berdasarkan informasi yang diberikan oleh
pasien dan memberikan penyuluhan dan pendidikan tentang paparan serta
layanan untuk mencegah infeksi atau jika terinfeksi hubungan peduli
sangat penting untuk mengurangi penyebaran penyakit menular seksual
dan HIV dan memastikan bahwa mereka yang berisiko tertinggi tertular
atau menularkan penyakit ini diberi alat yang diperlukan untuk melindungi
diri mereka sendiri dan orang lain dari infeksi HIV.

Pencegahan meliputi pendidikan ditargetkan kesehatan dan pengurangan


risiko, program komunikasi kesehatan, dan program informasi public untuk
populasi berisiko dan masyarakat umum.
BAB V
KESIMPULAN
Penyebab timbulnya granuloma sangat beragam, meliputi bahan
anorganik, mikobakterium, fungi, parasit, proses imun, serta penyebab yang
belum diketahui seperti pada sarcoidosis. Granuloma dapat ditimbulkan oleh
berbagai agen infeksi. Setiap mikroorganisme memiliki karakteristik berbeda.
Agen infeksi utama penyebab inflamasi granulomatosa adalah Mycobacterium
tuberculosis dan fungi.
Cara yang paling efektif untuk isolasi dan identifikasi spesies mikroba
adalah mempelajari pola pertumbuhan dan morfologinya secara in vitro.
Penegakan diagnosis etiologi inflamasi granulomatosa pada spesimen biopsi
jaringan dengan teknik pewarnaan khusus dapat menjadi dasar penentuan
pengobatan pasien, karena pengobatan pasien dengan infeksi mikroba tertentu
akan jauh berbeda dengan pengobatan pasien dengan infeksi mikroba jenis
lainnya.
Teknik pewarnaan khusus seperti ZN, GMS/PAS, dan lain sebagainya
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis etiologi infeksi jaringan yang akan
mengarahkan pasien pada diagnosis dan terapi yang sesuai. Klinisi perlu
meningkatkan kecurigaannya terhadap adanya infeksi jaringan jika pada penilaian
makroskopik pada lesi dijumpai area konsolidasi, kaseasi atau nekrosis, radang,
pus, granuloma, ataupun perdarahan disertai material nekrotik, serta jika dijumpai
granul-granul menyerupai butiran pasir.

21
DAFTAR PUSTAKA
Alsultan A. et al. Chronic granulomatous disease presenting with disseminated
intracranial aspergillosis. Pediatr Blood Cancer. 2006; 47:107–110. doi:
10.1002/pbc.20426. [PubMed] [CrossRef] [Google Scholar]

Curnutte JT. Chronic granulomatous disease: the solving of a clinical riddle at


the molecular level. Clin Immunol Immunopathol. 1993; 67: S2–15. doi:
10.1006/clin.1993.1078. [PubMed] [CrossRef] [Google Scholar]

FerrriraVelho PEN dkk.2008. Donovanosis. Brazilian Journal of Infectioud


Diseases. Division of Dermatologi , campinas University; Campinas,
SP,Brazil.
Harris MN. 2000. Lobular capillary hemangiomas: An epidemiologic report, with
emphasis on cutaneous lesions. Department of Dermatology, Indiana
University School of Medicine, Indianapolis, USA.
James DG, Zumla A. The granulomatous disorders. Cambridge: Cambridge
University Press, 1999.
James WD, Berger TG, Elston DM.2006. Andrew’s diseases of the skin. 10th ed.
Philadelphia: Elsevier
Judanarso, Jubianto.2010.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
Keenam.Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia

22
Kuhns DB, Alvord WG, Heller T et al.Sisa NADPH oksidase dan bertahan hidup
pada penyakit granulomatosa kronis . N Engl J Med 2010; 363 : 2600–
1010. [ Artikel gratis PMC ] [ PubMed ] [ Google Cendekia ]
Kumar, V., Abbas, A.K., & Fausto, N. (2010). Robbins and Cotran pathologic
basis of diseases (8 ed). Pensylvania : Elsevier.
Majeed, M.M., & Bukhari, M.H. (2011), Evaluation for granulomatous
inflammation on fine needle aspiration cytology using special stain.
Pathology International, 851524, 1-8.
Miller T, Frieden IJ .2008. Vascular tumors. In: Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine. 7th ed. New York: McGraw-HilL. p. 1164–72.
Mirna Mayasari, Rohana Sari Suaeb, Granuloma Inguinal Murtiastutik D. 2007.
Buku Ajar Infeksi Menular seksual . Fakultas kedokteran Universitas
Airlangga; Rumah sakit umum dr. Soetomo
North PE, Hull C, Kincannon J.2005. Vascular neoplasms and neoplastic-like
proliferations. In: Bolognia JL, Jorizzo J, Rapini RP, editors.
Dermatology. 1st ed. Edinburg: Mosby. p. 1817–41.
Park, D.Y., Kim, J.Y., Choi, K.U., Lee, J.S., Lee, C.H., Sol, M.Y., & Suh, K.S.
(2003). Comparison of polimerase chain reaction with histopathologic
features for diagnosis of tuberculosis in formalin-fixed, paraffin-embedded
histologic specimens. Archive of Pathology Laboratory Medical Journal,
127, 326-330.
Schwarz, J. (1982). The diagnosis of deep mycoses by morphologic methods,
Progress in Pathology, 13, 519-533.
Tracy O.H. Lawlata. 2010. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin, Vol. 22
No.2 Agustus 2010

Wilson, M.L., & Winn, W. (2008). ‘Laboratory diagnosis of bone, joint, soft
tissue and skin infection’, Clinical Infectious Diseases, no.46, pp. 453-457.
Wolach B, Gavrieli R, de Boer M et al. . Penyakit granulomatosa kronis: studi
klinis, fungsional, molekuler, dan genetik. Pengalaman Israel dengan 84
pasien . Am J Hematol 2017; 92 : 28–36. [ PubMed ] [ Google Cendekia ]

23
Zumla, A., & James, D.G. (1996). Granulomatous infection; etiology and
classification. Clinical Infectious Diseases, 23, 146-158.

24

Anda mungkin juga menyukai