Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA NY. S DI RUANG ANGGREK PANTI WREDHA HARAPAN IBU


SEMARANG
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Profesi Stase Keperawatan Gerontik
Pembimbing Akademik: Nur Setiawati Dewi Sp.Kom

Oleh
Rani Musafina
22020118220119

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XXXIII


DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
A. KONSEP NYERI
1. Definisi Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah pengalaman sensorik dan emosional tidak
menyenangkan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau
digambarkan sebagau suatu kerusakan; awitan yang tiba tiba atau lambat
dengan intensitas ringan hingga berat, terjadi konstan atau berulang yang
berakhirnya tidak dapat diantisipasi atau diprediksi, dan berlangsung lebih
dari 3 bulan. (Herdman , 2018)

2. Klasifikasi Nyeri
a. Nyeri berdasarkan durasi
1) Nyeri Akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit,
atau intervensi bedah dan memiliki proses yang cepat dengan
intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat), dan berlangsung
untuk waktu yang singkat (Andarmoyo, 2013). Nyeri akut berdurasi
singkat (kurang lebih 6 bulan) dan akan menghilang tanpa
pengobatan setelah area yang rusak pulih kembali (Prasetyo, 2010).
2) Nyeri Kronis
Nyeri kronik adalah nyeri konstan yang intermiten yang menetap
sepanjang suatu priode waktu, Nyeri ini berlangsung lama dengan
intensitas yang bervariasi dan biasanya berlangsung lebih dari 6
bulan (McCaffery, 1986 dalam Potter &Perry, 2005).
b. Nyeri berdasarkan asal
1) Nyeri Nosiseptif
Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan oleh aktivitas
atau sensivitas nosiseptor perifer yang merupakan respetor khusus
yang mengantarkan stimulus naxious. Nyeri nosiseptor ini dapat
terjadi karna adanya adanya stimulus yang mengenai kulit, tulang,
sendi, otot, jaringan ikat, dan lain-lain (Andarmoyo, 2013).
2) Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik merupakan hasil suatu cedera atau abnormalitas
yang di dapat pada struktur saraf perifer maupun sentral , nyeri ini
lebih sulit diobati (Andarmoyo, 2013).
c. Nyeri berdasarkan lokasi
1) Supervicial atau Kutaneus
Nyeri supervisial adalah nyeri yang disebabkan stimulus kulit.
Karakteristik dari nyeri berlangsung sebentar dan berlokalisasi.
Nyeri biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam (Potter dan Perry,
2006 dalam Andarmoyo, 2013). Contohnya tertusuk jarum suntik
dan luka potong kecil atau laserasi.
2) Viseral atau Dalam
Nyeri viseral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulasi organ-organ
internal (Potter dan Perry, 2006 dalam Andarmoyo, 2013). Nyeri ini
bersifat difusi dan dapat menyebar kebeberapa arah. Nyeri ini
menimbulkan rasa tidak menyenangkan dan berkaitan dengan mual
dan gejala-gejala otonom. Contohnya sensasi pukul (crushing)
seperti angina pectoris dan sensasi terbakar seperti pada ulkus
lambung.
3) Nyeri Alih
Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral karna
banyak organ tidak memiliki reseptor nyeri. Karakteristik nyeri dapat
terasa di bagian tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan dapat
terasa dengan berbagai karakteristik (Potter dan Perry, 2006 dalam
Andarmoyo, 2013). Contohnya nyeri yang terjadi pada infark
miokard, yang menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan kiri, batu
empedu, yang mengalihkan nyeri ke selangkangan.
4) Radiasi
Nyeri radiasi merupakan sensi nyeri yang meluas dari tempat awal
cedera ke bagian tubuh yang lain (Potter dan Perry, 2006 dalam
Andarmoyo, 2013). Karakteristik nyeri terasa seakan menyebar ke
bagian tubuh bawah atau sepanjang kebagian tubuh. Contoh nyeri
punggung bagian bawah akibat diskusi interavertebral yang ruptur
disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungkai dari iritasi saraf
skiatik.
3. Pengkajian Nyeri
Pengukuran intensitas nyeri bersifat sangat sabjektif dan nyeri
dalam intensitas yang sama dirasakan berbeda oleh dua orang yang
berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling
mugkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu
sendiri, namun pengukuran dengan pendekatan objektif juga tidak dapat
memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Andarmoyo, 2013).
Beberapa skala intensitas nyeri :
a. Skala intensitas nyeri deskriptif sederhana

Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor scale/ VDS) merupakan


alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif. Alat ini
memungkinkan klien memilih sebuah ketegori untuk mendeskripsikan
nyeri (Andarmoyo, 2013).
b. Skala intensitas nyeri dari FLACC
Skala FLACC merupakan alat pengkajian nyeri yang dapat digunakan
pada pasien yang secra non verbal yang tidak dapat melaporkan
nyerinya (Judha, 2012).
Tabel 1. Skala intensitas nyeri dari FLACC
Intensitas nyeri dibedakan menjadi lima dengan menggunakan skala
numerik yaitu (Judha, 2012):
0 : tidak nyeri
1-2 : nyeri ringan
3-5 : nyeri sedang
6-7 : nyeri berat
8-10 : nyeri yang tidak tertahankan
4. Penatalaksanaan Nyeri
a. Manajemen Non Farmakologi
Manajemen nyeri nonfarmakologi merupakan tidakan menurunkan
respon nyeri tanpa menggunakan agen farmakolgi. Dalam melakukan
intervensi keperawatan/kebidanan, manajemen nonfarmakologi
merupakan tindakan dalam mengatasi respon nyeri klien (Andarmoyo,
2013). Metode yang digunakan untuk mengurangi nyeri antara lain
dengan teknik vokalisasi atau mendengarkan bunyi-bunyian untuk
menurunkan ketegangan, relaksasi dengan menggunakan imajiner
(imagenery-assisted relakxation), kompres panas, mendengarkan musik
santai serta pencahayaan yang baik (Andarmoyo, 2013).
b. Manajemen Farmakologi
Manajemen nyeri farmakologi merupakan metode yang mengunakan
obat-obatan dalam praktik penanganannya. Cara dan metode ini
memerlukan instruksi dari medis (Andarmoyo, 2013).

B. KONSEP RESIKO JATUH


1. Pengertian Jatuh
Jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi
mata, yang melihat kejadian mengakibatkan seseorang mendadak
terbaring/terduduk di lantai/tempat yang lebih rendah dengan tanpa atau
kehilangan kesadaran (Darmojo, 2004). Jatuh merupakan suatu kejadian
yang menyebabkan subyek yang sadar di permukaan tanah tanpa
disengaja. Kejadian jatuh tersebut adalah dari penyebab spesifik yang
jenis dan konsekuensinya berbeda dari mereka yang dalam keadaan sadar
mengalami jatuh (Stanlay&Beare, 2006). Resiko jatuh adalah
peningkatan rentan jatuh, yang dapat menyebabkan bahaya fisik dan
gangguan kesehatan (Herdman, 2018)
2. Penyebab Jatuh
Darmojo (2004) menyatakan bahwa faktor penyebab jatuh pada
lansia ada 2, yaitu faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik :
a) Faktor intrinsik
1) Sistem saraf pusat
Stroke dan Trancient Iskemia Attack (TIA) yang mengakibatkan
hemiparase sering menyebabkan jatuh pada lansia.
2) Demensia
Lansia dengan demensia menunjukkan persepsi yang salah
terhadap bahaya lingkungan, terganggunya keseimbangan tubuh
dan apraxia sehingga insiden jatuh meningkat.
3) Gangguan sistem sensorik
Gangguan sistem sensorik bisa mengenai sensori, rasa nyeri, dan
sensasi. Entropin, ektropoin atau epifora yang menyebabkan
gangguan penglihatan sehingga meningkatkan insiden jatuh,
tetapi kebutaan tidak meningkat insiden tersebut.
4) Gangguan sistem kardiovaskuler
Hipertensi dan kardia aritmia sering ditemukan pada lansia.
Gangguan sistem kardiovaskuler akan menyebabkan syncope.
Syncop sering menyebabkan jatuh pada lansia.
5) Gangguan metabolisme
Gangguan metabolisme sering mengakibatkan jatuh. Gangguan
ini terutama pada gangguan regulasi berupa dehidrasi. Dehidrasi
bisa menyebabkan diare, demam, dan asupan cairan yang
kurang.
6) Gangguan gaya berjalan
Salah satu bentuk aplikasi fungsional dari gerak tubuh adalah
pola jalan. Keseimbangan, kekuatan, dan fleksibilitas diperlukan
untuk mempertahankan postur tubuh yang baik. Ketiga elemen
tersebut merupakan dasar untuk mewujudkan pola jalan yang
baik bagi setiap individu. Gangguan gaya berjalan dapat
disebabkan oleh gangguan muskuloskeletal dan berhubungan
dengan proses menua yang fisiologis.
b) Faktor ekstrinsik
1) Lingkungan
Lingkungan yang sering dihubungkan dengan jatuh pada lansia
antara lain alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang
susah tua atau tergeletak di bawah, tempat tidur tidak stabil
atau kamar mandi rendah dan licin, tempat berpegangan tidak
kuat atau tidak mudah dipegabg, lantai tidak datar, licin atau
menurun, karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang
tebal atau menekuk pinggirnya, dan benda-benda alas lantai
yang licin atau mudah etrgeser, lanati licin atau basah dan
penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan).
2) Aktivitas
Sebagian besar jatuh terjadi pada lansia yang melakukan
aktivitas biasa seperti berjalan, naik turun tangga dan
mengganti posisi. Hanya sedikit sekali lansia yang jatuk karena
melakukan aktivitas berbahaya seperti mendaki gunung atau
olahraga berat.
3) Obat-obatan
Kadar obat dalam serum tidak stabil karena perubahan
farmakokinetik akibat proses menua dan penyakit juga sering
menyebabkan intoksikasi obat pada lansia. Di samping itu,
obat dapat menyebabkan konfusi pusing, mengantuk yang
dapat menyebabkan keseimbangan dan mobilitas (Perry dan
Potter, 2001).
3. Faktor-faktor yang sering dihubungkan dengan jatuhnya lansia
Nugroho (2008) menyebutkan bahwa faktor lingkungan yang
dapat dihubungkan dengan terjadinya jatuh pada lansia, seperti
berikut.
a) Alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua, tidak
stabil atau terletak di bawah.
b) Tempat tidur atau WC yang rendah atau jongkok
c) Tempat berpegangan yang tidak kuat atau tidak mudah dipegang,
misalnya:
1) Lantai yang tidak datar
2) Karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang tebal atau
pinggirnya tertekuk dan benda-benda alas lantai yanh licin atau
mudah bergeser.
3) Lantai yang basah dan licin
4) Penerangan yang tidak baik (kurang terang atau terlalu
menyilaukan)
5) Alat bantu jalan yang tidak tepa ukuran, berat, maupun cara
penggunaanya
4. Komplikasi Jatuh
Komplikasi menurut Darmojo (2004) adalah sebagai berikut.
1. Perlukaan (injury)
Luka (injury) mengakibatkan rusaknya jaringan lunak yang
terasa sangat sakit berupa robek atau tertariknya jaringan otot,
robeknya arteri/vena, patah tulang atau fraktur misalnya fraktur
pelvis, femur, humerus, lengan bawah, tungkai atas.
2. Disabilitas
Adanya disabilitas mengakibatkan penurunan mobilitas yang
berhubungan dengan perlukaan fisik dan penurunan mobilitas
akibat jatuh yaitu kehilangan kepercayaan diri dan pembatasan
gerak.
5. Pencegahan jatuh
Pencegahan jatuh berdasarkan atas faktor resiko yang
menyebabkan jatuh, seperti neuromuskular, muskuloskeletal, penyakit
yang sedang diderita, pengobatan yang sedang dijalani, gangguan
keseimbangan dan gaya berjalan, gangguan visual, ataupun faktor
lingkungan. Berikut akan diuraikan beberapa metode pencegahan
jatuh pada lansia.
a) Latihan fisik
Latihan fisik dapat meningkatkan resiko jatuh dengan
meningkatkan kekuatan tungkai dan tangan, memperbaiki
keseimbangan, koordinasi, dan meningkatkan reaksi terhadap
bahaya lingkungan, latihan fisik juga bisa mengurangi kebutuhan
obat-obat sedatif. Latihan fisik yang dianjurkan yaitu latihan fisik
yang melatih kekuatan tungkai, tidak terlalu berat dan
semampunya.
b) Manajemen obat-obatan
Gunakan dosis rendah yang efektif dan spesifik, perhatikan
terhadap efek samping dan reaksi obat. Gunakan alat bantu
berjalan jika memang diperlukan selama pengobatan, kurangi
pemberian obat yang sifatnya untuk jangka waktu lama terutama
sedatif dan tranquilsers, dan hindari pemberian obat multiple (lebih
dari 4 macam).
c) Modifikasi Lingkungan
Pengaturan suhu ruangan supaya tidak terlu panas atau
dingin untuk menghindari pusing akibat suhu. Meletakkan barang-
barang yanf memang seringkali diperlukan dalam jangkauan tanpa
harus berjalan dulu. Perhatikan kualitas penerangan di rumah agar
tidak sampai ada kabel listrik pada lantai yang biasa dilintasi.
Pasang pegangan tangan pada tangga, bila perlu pasang lampu
tambahan untuk daerah tangga. Singkirkan barang-barang yang
bisa membuat terpeleset dari jalan yang biasa dilewati. Gunakan
lantai yang tidak licin dan atur letak furnitur agar tidak menggangu
jalan yang biasa dilewati agar tidak tersandung. Pasang pegangan
tangan di tempat yang diperlukan seperti di kamar mandi.
d) Memperbaiki kebiasaan lansia
Berdiri dari posisi duduk atau jongkok dengan cara yang
tidak terlalu cepat dan tidak dengan mengangkat barang sekaligus.
Mengambil barang dengan cara yang benar dari lantai dan hindari
olahraga yang berlebihan.
e) Alas kaki
Hindari sepatu berhak tinggi, tidak berjalan dengan kaos
kaki karena sulit untuk menjaga keseimbangan. Memakai alas kaki
antislip.
f) Alat bantu berjalan
Terapi untuk pasien dengan gangguan berjalan dan
keseimbangan di fokuskan untuk mengatasi penyebab faktor yang
mendasarinya. Pada penggunaannya, alat bantu berjalan memang
membantu meningkatkan keseimbangan, namun di sisi lain
menyebabkan langkah yang terputus dan kecenderungan tubuh
untuk membungkuk. Oleh karena itu, penggunaan alat bantu ini
haruslah direkomendasikan secara individual. Alat bantu berjalan
yang dapat digunakan adalah cane (tongkat), crutch (tongkat
ketiak). Jika hanya 1 ekstremitas atas yang digunakan, pasien
dianjurkan menggunakan cane. Jika kedua ekstremitas atas
diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan tidak perlu
menunjang berat badan, alat bantu yang cocok adalah four-wheeled
walker.

C. RESIKO KESEPIAN
1. Definisi Kesepian
Kesepian merupakan suatu perasaan pedih, sunyi, lengang, tidak ramai,
hidup dalam keterasingan karena kehilangan (Prasetya, 2010). Definisi lain
kesepian adalah rentan mengalami ketidaknyamanan yang berkaitan
dengan keinginan atau kebutuhan untuk melakukan lebih banyak kontak
dengan orang lain (NANDA, 2015)
2. Bentuk atau Jenis Kesepian
Kesepian dibedakan menjadi dua jenis, Sears et al. (2009)
membedakan kesepian berdasarkan hilangnya ketetapan sosial tertentu
yang dialami oleh seseorang:
a. Kesepian emosional
Muncul akibat ketiadaan kasih sayang, biasa diberikan oleh orang tua
kepada anaknya atau yang diberikan pasangan, maupun teman-
temannya.
b. Kesepian sosial
Muncul karena kehilangan rasa yang terintegrasi secara sosial dalam
komunikasi oleh sekumpulan teman atau rekan kerja.
3. Tanda dan Gejala Kesepian
Menurut Herdman dan Kamitsuru (2018), individu yang berisiko
mengalami kesepian menunujukkan beberapa karakteristik berikut:
a. Sering melamun
b. Mengalami konfusi
c. Jarang bergaul dengan orang lain
d. Mengungkapkan rasa kesendirian
e. Mengatakan tidak tahu tujuan hidupnya
4. Penyebab Kesepian
Perubahan fisiologis berpotensi menimbulkan perasaan negatif
yang akan membuat lansia mengalami demotivasi dan menarik diri
sehingga bisa memunculkan kesepian pada lansia (Adrian dalam Putra,
dkk, 2012). Masalah psikologis dapat mempercepat timbulnya kesepian
pada lansia (Ikhsan dalam Putra, dkk, 2012), seperti berkurangnya waktu
terhadap pengasuhan anak, berkurangnya relasi akibat kurangnya aktivitas
di luar rumah, berkurangnya aktivitas sehingga waktu luang bertambah,
kehilangan pasangan, terpisah dengan anak-anak untuk menempuh
pendidikan, bekerja ataupun telah membentuk keluarga baru, serta terpisah
dengan anggota keluarga akibat ketidakmampuan keluarga dalam merawat
lansia. Hal-hal di atas dapat menambah kesepian dan perasaan hampa diri
pada lansia. (Gunarsa dalam Herliawati, dkk, 2014).
5. Faktor yang Mempengaruhi Kesepian
Menurut Herdman & Kamitsuru (2018), terdapat 4 faktor risiko
yaitu deprivasi afek, deprivasi emosional, isolasi fisik, dan isolasi sosial.
a. Deprivasi afeks
Deprivasi afeks adalah kesenjangan atau kekurangan terkait perubahan
perasaan karena suatu tanggapan. Afeks dapat dilihat dari ekspresi
wajah seperti menangis, marah, tersenyum, dsb. Misalnya seseorang
yang melakukan hal yang dapat membuat orang lain marah, tetapi
sebalinya orang tersebut memiliki respon yang datar atau tidak marah
sama sekali.
b. Deprivasi emosional
Deprifasi emosional adalah kesenjangan atau kekurangan dalam
mengekspresikan perasaan. Misalnya orang yang kehilangan biasa
mengespresikan emosinya dengan marah atau menangis, namun pada
seseorang yang mengalami deprivasi emosional tidak dapat
mengekspresikan emosinya.
c. Isolasi fisik
Isolasi fisik adalah kondisi seorang individu yang mengisolasi bagian
tubuh atau seluruh tubuh karena beberapa alasan, seperti seseorang
yang mengalami penyakit kulit atau menular sehingga tidak ingin
kontak fisik dengan individu lain.
d. Isolasi sosial
Isolasi sosial merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami
penurunan atau sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
karena tidak mampu atau menolak hubungan yang lebih berarti dengan
orang lain (Purba 2008 dalam Lubis, 2011).
Sedangkan menurut Cheryl & Parello (2008), ada dua faktor yang
mendorong kesepian, yaitu:
a. Faktor situasional
Mengenai situasi kehidupan yang dialami ketika perasaan seseorang
akan menjadi kesepian, seperti perceraian, perpisahan, sakit kronis, dan
mendapat lingkungan baru.
b. Faktor characterological
Mengenai karakteristik kepribadian seperti introvert, rasa malu, dan
rendah diri. Faktor lain yang memengaruhi kesepian diantaranya
demografi, pengaturan hidup, kepribadian, pendapat dan penilaian diri
terhadap kesehatan, keterbatasan fisik, serta kurangnya sikap dan
perawatan kesehatan (Alpass & Neville, 2010).
Septiningsing dan Na’imah (2014) juga menyebutkan faktor yang
memunculkan kesepian pada usia lanjut, diantaranya:
a. Merasa tidak adanya figur kasih sayang yang diterima seperti dari
suami, atau istri, dan atau anaknya.
b. Kehilangan integrasi secara sosial atau tidak terintegrasi dalam suatu
komunikasi seperti yang dapat diberikan oleh sekumpulan teman, atau
masyarakat di lingkungan sekitar. Itu disebabkan karen tidak mengikuti
pertemuanpertemuan yang dilakukan di kompleks hidupnya.
c. Mengalami perubahan situasi, yaitu ditinggal meninggal pasangan
hidup (suami dan atau istri), dan hidup sendirian karena anaknya tidak
tinggal satu rumah.
6. Dampak dari Kesepian
Kesepian pada lansia menyebabkan perilaku yang mengarah ke
depresi, rentan terkena penyakit, terjadi perubahan pola makan dan tidur,
serta mengalami pusing dan muntah-muntah (Stuart & Sundeen dalam
Masithoh, dkk, 2012). Kesepian dapat menimbulkan rasa tidak berdaya,
kurang percaya diri, ketergantungan, ketelantaran terutama bagi lansia
miskin, post power syndrome, perasaan tersiksa, perasaan kehilangan, mati
rasa dan sebagainya. Seseorang yang menyatakan dirinya kesepian
cenderung menilai dirinya sebagai orang yang tidak berharga, tidak
diperhatikan, dan tidak dicintai. Rasa kesepian akan semakin dirasakan
oleh lanjut usia yang sebelumnya adalah seseorang yang aktif dalam
berbagai kegiatan yang menghadirkan atau berhubungan dengan orang
banyak (Ide, 2008).
7. Kesepian pada Lansia
Lansia yang mengalami penurunan tingkat kesepian yang cukup
signifikan salah satunya terjadi pada lansia yang sengaja ditempatkan
keluarganya di panti. Keadaan ini menyebabkan lansia merasa tidak
berdaya, patah semangat, dan pesimis menghadapi masa yang akan datang.
Beberapa gejala ini merupakan tanda dari depresi, yaitu salah satu
perasaan yang dialami oleh mereka yang kesepian (Lestari dalam
Herliawati, dkk, 2014). Menurut Sears et al. (2009), lansia kesepian
cenderung lebih tertutup dan pemalu, lebih sadar diri, dan kurang asertif.
8. Penatalaksanaan Kesepian pada Lansia
Lansia yang mengalami kesepian perlu diberikan intervensi untuk
mengurangi bahkan mereduksi tingkat kesepian. Perubahan sosial pada
lansia perlu diberikan motivasi untuk bersosialisasi dengan teman,
kelompok, dan lingkungan agar kemampuan sosial lansia dalam
berpartisipasi dapat meningkat (Atchley & Barusch dalam Masithoh, dkk,
2012). Social Skill Training (SST) juga dapat diterapkan untuk
meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku pada lansia dengan
kesepian (Renidayati dalam Masithoh, dkk, 2012).
Masalah psikologi dapat diintervensi dengan pendekatan spiritual.
Berdasarkan penelitian Herliawati, dkk (2014), pendekatan spiritual
dilakukan dengan cara:
a. Membina trust dengan lansia di awal pertemuan
b. Memberikan kenyamanan pada lansia dengan menjaga eye contact dan
sentuhan terapeutik
c. Melakukan teknik explore untuk memberikan kesempatan pada lansia
agar mengungkapkan segala hal yang dirasakan, khususnya terkait
kesepian (merasa tidak berdaya, keputusasaan, merasa ditinggalkan).
d. Mencari lebih dalam mengenai penyebab lansia merasakan kesepian
dan apa upaya yang biasa dilakukan ketika merasa kesepian. Berikan
juga pujian dan penguatan agar lansia dapat melakukan koping yang
baik
e. Bersama-sama dengan lansia mendiskusikan terkait keberadaan lansia,
makna hidup, harapan yang akan dan belum tercapai, rasa saling
mencintai dan memaafkan, serta tetap menjaga hubungan baik dengan
teman-teman, orang lain, dan lingkungan
f. Memberi semangat dan motivasi pada lansia untuk memanfaatkan
sumber-sumber spiritual dalam mengatasi kesepian
g. Mendorong lansia untuk melaksanakan kegiatan spiritual, diantaranya
memiliki pengingat menjalankan aktivitas spiritual, membuat jadwal
rutin aktivitas spiritual, dan menganjurkan lansia untuk berperan aktif
dalam aktivitas keagamaan dan bimbingan keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA

Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (2018). Nanda-I diagnosis keperawatan: definisi


dan klasifikasi 2018-2020. Jakarta: EGC.
Andarmoyo, S. (2013). Konsep dan proses keperawatan nyeri. Yogyakarta: Ar-
Ruzz

Prasetyo, S. (2010). Konsep dan proses keperawatan nyeri. Edisi I. Cetakan I.


Yogyakarta: Graha Ilmu

Perry & Potter. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan. Jakarta: EGC

Nugroho, W (2008). Keperawatan Gerontik& Geriatrik, Edisi-3. Jakarta: EGC

Prasetya. (2010). Pengaruh Terapi Kognitif dan Senam Latih Otak Terhadap
Tingkat Depresi Dengan Harga Diri Rendah Pada Klien Lansia di Panti
Tresna Werdha Bakti Yuswa Natar Lampung. Tesis. Jakarta : Program
Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Univeristas Indonesia.

Nanda. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10


editor T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.

Sears, D.O., Taylor, S.E., & Peplau, L.A. (2009). Social psychology. Edisi 12.
London: Pearson Prentice Hall.
Putra, Ardian Adi., Nashori, H. Fuad., & Sulistyarini, Indahria. (2012). Terapi
kelompok untuk mengurangi kesepian dan menurunkan tekanan darah pada
lansia penderita hipertensi. Jurnal Intervensi Psikologi. Vol. 4. No. 1. Hal.
1-15.
Herliawati., Maryatun, Sri., & Herawati, Desti. (2014). Pengaruh pendekatan
spiritual terhadap tingkat kesepian pada lanjut usia di Panti Sosial Tresna
Wredha Warga Tama Kelurahan Timbangan Kecamatan Indralaya Utara.
Jurnal Keperawatan Sriwijaya. Vol. 1. No. 1. Hal. 21-27.
Cheryl, A., dan Parello, K. (2008). Loneliness in the school setting. The Journal
of School Nursing. Vol. 24. No. 2. Hal. 66 – 70.
Alpass, F. M. & Neville, S. (2010). Loneliness, health and depression in older
males. Journal of Aging & Mental Health. Vol. 7. No. 3. Hal. 212-216.
Masithoh, Anny Rosiana., Hamid, Achir Yani S., & Sabri, Luknis. (2012).
Pengaruh latihan keterampilan sosial terhadap kemampuan sosialisasi pada
lansia dengan kesepian di panti wredha semarang. Jurnal Keperawatan
Soedirman (The Soedirman Journnal of Nursing). Vol. 7. No. 2. Hal. 78-85.

Anda mungkin juga menyukai