DISUSUN OLEH :
Nama : dr. Angga Adityawan
Pembimbing : dr. R. Vivera Situmorang, Sp.P
PENDAHULUAN………………………………………………………………………… 3
I. DEFINISI………………………………………………………………………… 4
II. KLASIFIKASI…………………………………………………………………… 4
III. EPIDEMIOLOGI……………………………………………………………….... 4
V. DIAGNOSIS……………………………………………………………………… 6
VII. PATOGENESIS………………………………………………………………….. 8
VIII. PENATALAKSANAAN………………………………………………………… 11
IX. KOMPLIKASI…………………………………………………………………… 25
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….. 26
BAB ...........................…………………………………………………………………….. 37
2
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Paru Obstruktif Kronik merupakan salah satu penyakit penyebab kematian ke 5 di
seluruh dunia, dan menurut WHO, diprediksikan pada tahun 2020 akan menjadi penyebab
kematian ketiga di seluruh dunia. Sebagai pengingat pentingnya masalah PPOK, WHO
menetapkan hari PPOK sedunia (COPD day) diperingati setiap tanggal 18 November.
Data prevalens PPOK pada populasi dewasa saat ini bervariasi pada setiap negara di seluruh
dunia. Tahun 2000, prevalens PPOK di Amerika dan Eropa berkisar 5-9% pada individu usia >
45 tahun. Data penelitian lain menunjukkan prevalens PPOK bervariasi dari 7,8%-32,1% di
beberapa kota Amerika Latin. Prevalens PPOK di Asia Pasifik rata-rata 6,3%, yang terendah 3,5
% di Hongkong dan Singapura dan tertinggi 6,7% di Vietnam. Untuk Indonesia, penelitian
COPD working group tahun 2002 di 12 negara Asia Pasifik menunjukkan estimasi prevalens
PPOK Indonesia sebesar 5,6%.
Prevalens PPOK diperkirakan akan meningkat sehubungan dengan peningkatan usia harapan
hidup penduduk dunia, pergeseran pola penyakit infeksi yang menurun sedangkan penyakit
degeneratif meningkat serta meningkatnya kebiasaan merokok dan polusi udara. Merokok
merupakan salah satu faktor risiko terbesar PPOK.
3
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
I. DEFENISI
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati,
ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan
berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun dan
1
berbahaya, disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit .
II. KLASIFIKASI
Menurut PDPI 2010, emfisema dan bronkhitis kronik tidak lagi dimasukkan kedalam
klasifikasi/defenisi dari PPOK, karena emfisema merupakan diagnosis patologik sedangkan
bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis. Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan
1
hambatan aliran udara .
3
III. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi, morbiditas dan mortalitas dari PPOK berbeda-beda pada tiap negara, etnik dan
kelompok sosial dalam suatu negara, namun secara general, PPOK berkaitan langsung dengan
prevalensi merokok walaupun pada negara tertentu, polusi udara seperti asap pembakaran hutan,
sisa pembakaran dari minyak biomass juga berpengaruh sebagai faktor resiko dari kejadian
PPOK.
Dari studi yang dilakukan pada 12 negara asia pasifik, prevalensi kejadian PPOK pada individu
dewasa (usia > 30 tahun) adalah sebanyak 6,3% penduduk. Dengan prevalensi terendah yaitu
3,5% (Hongkong dan Singapura) dan tertinggi 6,7% (Vietnam). Menurut WHO, PPOK
meningkat dari peringkat ke 12 menjadi peringkat ke 5 penyakit terbanyak di dunia.
Angka morbiditas di Amerika Serikat adalah sebanyak 8juta kasus berobat jalan, 1,5juta kasus
kegawatdaruratan, dan 637.000 pasien rawat inap. Angka Mortalitas menurut The Global Burden
4
of Disease Study menyatakan bahwa PPOK merupakan penyebab kematian nomor 6 pada tahun
1990 dan akan meningkat menjadi penyebab kematian nomor 3 pada tahun 2020.
3
IV. FAKTOR RESIKO
PPOK merupakan salah satu penyakit yang etiologinya berasal dari gene-enviroment interaction.
1. Faktor Genetik
Faktor genetik yang paling sering disebutkan dalam literatur adalah defisiensi dari alpha-
1 antitripsin yang merupakan inhibitor dari serine protease yang terbanyak beredar dalam
sirkulasi. Defisiensi ini jarang ditemukan namun paling sering dijumpai pada ras yang
berasal dari North Europe. Penyebab genetik lainnya adalah kelainan pada kromosom
2q, perubahan dari transforming growth factor beta 1 (TGF-beta1), microsomal epoxide
hydrolase 1 (mEPHX1), dan tumor necrosis factor alpha (TNFa).
2. Faktor Lingkungan
Inhalasi
Asap rokok yang terinhalasi baik secara aktif maupun pasif serta debu dan zat kimiawi
seperti uap, iritan, debu jalanan, gas buang kendaraan bermotor, asap kompor merupakan
contoh dari polusi yang sering terinhalasi dan menyebabkan PPOK.
3. Faktor Pertumbuhan dan Perkembangan Paru
Dari penelitian ditemukan bahwa adanya hubungan antara perkembangan dan
pertumbuhan paru pada masa gestasi, melahirkan dan anak-anak dengan kejadian PPOK.
Hal ini dibuktikan melalui meta analisis adanya hubungan antara berat lahir dengan
FEV1 pada masa dewasa.
4. Stress Oksidatif
Ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan (kelebihan oksidan dan deplet dari
antioksidan) dapat menyebabkan kerusakan langsung pada paru dan mengaktifkan proses
inflamasi pada paru.
5. Infeksi
Infeksi virus maupun bakteri dapat bepengaruh dalam kejadian PPOK maupun
perburukan PPOK. Riwayat infeksi pernafasan yang parah pada anak-anak dapat
menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan keluhan pernafasan pada saat
dewasa. Virus HIV juga dapat menyebabkan terjadinya HIV-induced pulmonary
5
inflammation, riwayat TB paru sebelumnya, riwayat infeksi saluran nafas bawah yang
berulang.
6. Status Sosioekonomi
7. Nutrisi
Malnutrisi dan penurunan berat badan dapat menyebabkan penurunan dari kekuatan dan
ketahanan otot pernafasan. Kelaparan dan perubahan anabolik dan katabolic berhubungan
dengan kejadian emfisema pada penelitian ekperimental yang dilakukan terhadap hewan.
8. Asma
Menurut Tucson Epidemiological Study of Airway Obstructive Disease, penduduk
dewasa dengan asma memiliki 12 kali peningkatan resiko terjadinya PPOK dibanding
dengan penduduk dewasa normal lainnya.
V. DIAGNOSIS
Dalam mendiagnosis PPOK jika indikator-indikator dibawah ini ada pada individu diatas umur
40 tahun, indikator ini bukan sebagai diagnostik sendiri. Tetapi kehadiran beberapa indicator
3
kunci untuk mendiagnosis PPOK.
Gejala pernafasan
Dari karakteristik gejala kronis PPOK (dispnea, batuk, produksi sputum), dyspnea adalah gejala
bahwa mengganggu kehidupan sehari-hari yang paling dengan pasien dan status kesehatan. Bila
mengambil sejarah medis pasien, penting untuk menyelidiki dampak dari dispnea dan lainnya
gejala pada kegiatan sehari-hari, pekerjaan, dan kegiatan social untuk memberikan pengobatan
sesuai. Mengambil Sejarah adalah untuk mendengarkan aktif, hal ini akan mengungkapkan
3
dampak tanda / gejala pada status kesehatan pasien.
3
Indikator kunci mempertimbangkan PPOK :
6
- Produksi sputum kronik : setiap pola produksi sputum yang kronik mungkin
menunjukkan PPOK.
- Sejarah terpapar dengan faktor resiko : Asap rokok, sering juga oleh debu atau bahan-
bahan kimia lain, asap dari rumah masakan atau pemanas bahan bakar.
Spirometri
Spirometri sangat penting untuk diagnosis dan memberikan gambaran manfaat dari beratnya
patologis perubahan PPOK. Dampak PPOK pada pasien tergantung tidak hanya pada tingkat
keterbatasan aliran udara, tetapi juga pada tingkat keparahan gejala (terutama sesak napas dan
penurunan kapasitas latihan). Hanya ada yang tidak sempurna. Hubungan antara tingkat
3
keterbatasan aliran udara dan adanya gejala.
Staging Spirometri
Oleh karena itu, adalah pendekatan praktis pragmatis bertujuan implementasi dan hanya harus
dianggap sebagai alat pendidikan dan indikasi yang umum untuk awal pendekatan kepada
manajemen. Gejala karakteristik yang kronis dan PPOK progresif dispnea, batuk, dan produksi
sputum. Batuk kronis dan produksi sputum dapat mendahului pengembangan keterbatasan aliran
udara oleh bertahun-tahun. Ini pola menawarkan kesempatan unik untuk mengidentifikasi
perokok dan orang lain beresiko PPOK , dan campur tangan ketika penyakit ini belum
3
merupakan masalah kesehatan utama.
Sebaliknya, keterbatasan aliran udara yang signifikan dapat juga tanpa batuk kronis dan produksi
sputum. Meskipun PPOK didefinisikan berdasarkan keterbatasan aliran udara, dipraktek
keputusan untuk mencari bantuan medis biasanya ditentukan oleh dampak dari suatu gejala
3
tertentu pada gaya hidup pasien. Jadi, PPOK dapat didiagnosis pada setiap tahap penyakit.
7
Stage Characteristics
I. Mild COPD FEV1/FVC < 70%
FEV1 ≥ 80% prediksi
II. Moderate COPD FEV/1FVC < 70%
50% < FEV1 < 80% prediksi
III. Severe COPD FEV1/FVC < 70%
30% < FEV1 < 50% prediksi
IV. Very Severe COPD FEV1/FVP < 70%
FEV1 < 30% prediksi atau FEV1 < 50%
prediksi disertai gagal napas kronik
FEV1 : Post Expiratory in one second, FVC : Forced Vital Capacity
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang
diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal, perifer,
parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan
perubahan struktural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil
8
dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran
nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurang
akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat
sakit.
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan seimbang.
Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru. Radikal bebas
mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam
penyakit paru.
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan menyebabkan
terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan kerusakan sel dan
inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan
menyebabkan dilepaskannya faktor kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrien
B4, tumuor necrosis factor (TNF), monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen
species (ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan
merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan
hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8,
selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapat
keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofag
dan neutrofil akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion superoksida
dengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik akan
diubah menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero dengan
halida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl ).
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk kronis
sehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi sekunder
setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi alveol yang
menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit dan polusi
dan asap rokok.
9
Pada perokok yang menderita PPOK produksi antiprotease mungkin tidak cukup untuk
menetralisir efek berbagai protease dan mungkin juga karena faktor genetik yang berperan dalam
terganggunya fungsi dan produksi protein ini.
Beberapa studi mendapatkan adanya peningkatan stres oksidatif yang berperan penting
pada PPOK melalui mekanisme aktivasi transkripsi nuclear factor κB (NfκB) dan activator
protein-1(AP-1) yang menginduksi neutrophilic inflammation melalui peningkatan ekspresi IL-8,
TNF-α dan MMP-9, serta merusak antiprotease seperti α-1 AT yang meningkatkan terjadinya
inflamsi dan proses proteolitik.
Terjadinya proses inflamasi akan merusak metriks ekstraseluler, berakibat pada kematian
sel dimana kemampuan memperbaiki dan memulihkan kerusakan terebut tidak adekuat sehingga
5
terjadilah hambatan jalan udara yang progresif dan ireversibel.
10
VIII. PENATALAKSANAAN
1
Tujuan dari penatalaksanaan PPOK :
1. Mengurangi gejala
2. Mencegah progresivitas penyakit
3. Meningkatkan toleransi latihan
4. Meningkatkan kualitas hidup penderita
5. Mencegah dan mengobati komplikasi
6. Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang
7. Menurunkan angka kematian
- Tambahkan inhalasi
glukokortikosteroid jika terjadi
eksaserbasi berulang-ulang
- Tambahkan
pemberian
oksigen jangka
panjang kalau
terjadi gagal
nafas kronik
- Lakukan
tindakan operasi
bila diperlukan
11
KARAKTERISTIK DAN REKOMENDASI PENGOBATAN BERDASARKAN
DERAJAT PPOK
DERAJAT PENGOBATAN
- Edukasi (hindari faktor
pencetus)
- Bronkodilator kerja singkat
Semua derajat (SABA, Antikolinergik,
kerja cepat, Xantin) bila
perlu
- Vaksinasi influenza
DERAJAT I Bronkodilator kerja singkat
VEP1/KVP < 70% (SABA, Antikolinergik,
Derajat I:
VEP1 ≥ 80% kerja cepat, Xantin) bila
PPOK Ringan
Prediksi, dengan atau tanpa perlu
gejala
1. Pengobatan reguler dengan
bronkodilator:
a. Antikolinergik kerja
DERAJAT II
lama sebagai terapi
VEP1/KVP < 70%
Derajat II: pemeliharaan
50% < VEP1 < 80%
PPOK Sedang b. LABA
prediksi, dengan atau tanpa
c. Simptomatik
gejala
2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi,
rehabilitasi respirasi)
12
1. Pengobatan reguler dengan 1
atau lebih bronkodilator:
e. Anti kolinergik kerja
lama sebagai terapi
pemeliharaan
f. LABA
DERAJAT III g. Simptomatik
VEP1/KVP ≤ 70% h. Kortikosteroid inhalasi
DERAJAT IV 30% ≤ VEP1 ≤ 50% bila memberikan
PPOK Sangat Berat prediksi atau gagal napas atau respons klinis atau
gagal jantung kanan eksasebasi berulang
2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi,
rehabilitasi respirasi)
3. Terapi oksigen jangka panjang
bila gagal napas
4. Ventilasi mekanis noninvasive
5. Pertimbangkan terapi
pembedahan
Penatalaksanaan Umum PPOK
2
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi
pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang
ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat
pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktivitas sehari-hari
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala prioriti
bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok, disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis
PPOK ditegakkan
2. Pengunaan obat - obatan : macam obat dan jenisnya, cara penggunaannya yang benar
(oral, MDI atau nebuliser), waktu penggunaan yang tepat (rutin dengan selang waktu
tertentu atau kalau perlu saja), dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen : kapan saja oksigen harus digunakan, berapa dosisnya, mengetahui
efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya : Menjelaskan mengenai tanda
eksaserbasi, yaitu : batuk atau sesak bertambah, sputum bertambah, dan sputum berubah
warna.
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas.
2. Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan
klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi,
nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan
pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari ).
- Golongan agonis beta – 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat
sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan
bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang bentuk injeksi
subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama
pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak
(pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi
menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk
inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu
terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : - amoksisilin dan makrolid
- Lini II : - amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid
Perawatan di Rumah Sakit, dapat dipilih: Amoksilin dan klavulanat, Sefalosporin generasi II &
III injeksi, Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas yaitu Aminoglikose per
injeksi, Kuinolon per injeksi, Sefalosporin generasi IV per injeksi.
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N - asetilsistein. Dapat
diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang
rutin
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di rumah
diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di
rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat darurat, ruang rawat
ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :
• Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT )
• Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
• Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama bila tidur
atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul
1-2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi
bila penderita tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan
kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri.
Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.
4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal napas
akut pada gagal napas kronik
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
- ventilasi mekanik dengan intubasi
- ventilasi mekanik tanpa intubasi
Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan kondisi sebagai berikut :
- PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya
- Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan
- Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal
Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik
- VAP (ventilator acquired pneumonia)
- Barotrauma
- Kesukaran weaning (kesukaran dalam weaning dapat diatasi dengan keseimbangan antara
kebutuhan respirasi dan kapasiti muskulus respirasi, bronkodilator dan obat-obatan lain adekuat,
nutrisi seimbang, dibantu dengan NIPPV.
5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi
akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni
menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan
fungsi paru dan perubahan analisis gas darah
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi masalah,
karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat
metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk dengan kalori
yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings)
dengan pipa nasogaster. Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah
karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi
semenit oxigen consumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada
PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan.
Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi
muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang
terjadi berupa hipofosfatemi, hiperkalemi, hipokalsemi, hipomagnesemi .
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi dengan
komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering.
6. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualiti hidup
penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang
telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualiti hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin yang
terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog. Program rehabilitiasi terdiri dari 3
komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.
1
ALGORITME PENATALAKSANAAN STABIL
AlgoritmePPOKStabil
EDUKASI FARMAKOLOGI NONFARMAKOLOGI
‐ Penyesuaian ‐KombinasiLABA+
aktivitas kortikosteroi
‐Antioksidan
Dipertimbangkan
mukolitik
Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi
sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara,
kelelahan atau timbulnya komplikasi.
1,3
Gejala eksaserbasi :
1. Batuk makin sering/hebat
2. Produksi sputum bertambah banyak
3. Sputum berubah warna
4. Sesak napas bertambah
5. Keterbatasan aktivitas bertambah
6. Terdapat gagal napas akut pada gagal napas kronik
7. Kesadaran menurun
1,3
Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi PPOK
1. Optimalisasi penggunaan obat-obatan
a. Bronkodilator
- Agonis β2 kerja singkat kombinasi dengan antikolinergik melalui inhalasi (nebuliser)
- Xantin intravena (bolus dan drip)
b. Kortikosteroid sistemik
c. Antibiotik
- Golongan makrolid baru (azitromisin, Roksitromisin, Klaritromisin)
- Golongan kuinolon respirasi
- Sefalosporin generasi III/IV
d. Mukolitik
e. Ekspektoran
2. Terapi Oksigen
3. Terapi Nutrisi
4. Rehabilitasi fisis dan respirasi
5. Evaluasi progresifiti penyakit
6. Edukasi
Indikasi rawat:
1. Peningkatan gejala (sesak, batuk) saat tidak beraktivitas
2. PPOK dengan derajat berat
3. Terdapat tanda-tanda sianosis dan atau edema
4. Disertai penyakit komorbid lain
5. Sering eksaserbasi
6. Didapatkan aritmia
7. Diagnostik yang belum jelas
8. Usia lanjut
9. Infeksi saluran nafas berat
10. Gagal napas akut pada gagal napas kronik
Indikasi Rawat ICU
1. Sesak berat setelah penanganan adekuat di ruang gawat darurat atau ruang gawat
2. Kesadaran menurun, letargi atau kelemahan otot-otot respirasi
3. Setelah pemberian oksigen tetapi terjadi hipoksemia atau perburukan PaO2 < 50 mmHg
atau PaCO2 > 50 mmHg memerlukan ventilasi mekanis (invasive atau non invasive)
4. Memerlukan penggunaan ventilasi mekanis invasive
5. Ketidakstabilan hemodinamik
2
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
1. Gagal napas
• Gagal napas kronik
• Gagal napas akut pada gagal napas kronik
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonal
Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal
ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih rendah,
ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.
Kor pulmonal :
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung kanan.
DAFTAR PUSTAKA
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Lamunir Simatupang
Umur : 77 tahun
Jenis kelamin : Laki – Laki
Alamat : Jalan 4 arah laut, Sibolga
Agama : Islam
Pekerjaan : Nelayan
No. RM : 15.59.36
Tanggal Masuk : 27 September 2017
II. ANAMNESIS
Dilakukan anamnesis pada tanggal 27 September 2017.
A. Keluhan Utama : Sesak napas
Pasien mempunyai riwayat kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok ini sudah dimulai
sejak usia 20 tahun. Setiap harinya merokok 12 batang. Pasien mengatakan tidak pernah minum
obat rutin selama 6 bulan yang berwarna merah dan yang membuat warna kencingnya menjadi
merah. Pasien juga mengaku tidak punya riwayat sesak yang dirasakan sejak kecil dan riwayat
asma dalam keluarga tidak ada. Pasien juga mengaku nafsu makan masih baik, BAB dan BAK
tidak ada keluhan. Pasien mengaku pernah dirawat di Rumah Sakit 2 kali dalam setahun ini
karena keluhan sesak yang sama dan sering kontrol ke poli untuk mendapatkan obat sesak.
V. DIAGNOSIS KERJA
PPOK Eksaserbasi Akut
VI. DIAGNOSIS BANDING
Pneumonia
VII. PENATALAKSANAAN
Non Farmakologis :
- Bed rest
- Posisi ½ duduk
Farmakologis :
- O2 2 – 3 liter/menit
- Ambroxol 3x1
- Omeprazole 2x1
VIII. PROGNOSIS
IX. FOLLOW UP
28 September 2017
S : Sesak napas (+), batuk berdahak (+), mual (+),demam (+), muntah (-)
O : KU/Kesadaran : Tampak sakit sedang/compos mentis
TTV : TD : 110/70 mmHg RR: 26x/menit
Nadi: 102x/menit S: 37C
Mata : anemis (-/-)
Mulut : mukosa lembab, sianosis (-)
Leher : tidak teraba KGB, JVP normal
Thorax
Cor : BJ I – II regular, gallop (-), Murmur (-)
Pulmo : simetris statis-dinamis, retraksi (-/-), exp memanjang(+/+), Rhonki basah
kasar (+/+), Wheezing (+/+)
Abdomen : Supel, Datar, BU (+) normal, hepatomegaly (-), splenomegali (-),
Nyeri tekan (-)
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-)
A : PPOK Eksaserbasi Akut
P : - O2 2 – 3 liter/menit
- Ambroxol 3x1
- Omeprazole 2x1
29 September 2017
- Ambroxol 3x1
- Omeprazole 2x1
30 September 2017
S : Sesak napas berkurang, batuk berdahak (-), mual (-), muntah (-)
O : KU/Kesadaran : Tampak sakit sedang/compos mentis
TTV : TD : 120/70 mmHg RR : 24x/menit
Nadi : 92x/menit S : 37C
Mata : CA (-/-), SI (-/-)
Mulut : mukosa lembab, sianosis (-)
Leher : tidak teraba KGB, JVP normal
Thorax
Cor : BJ I – II regular, gallop (-), Murmur (-)
Pulmo :simetris statis-dinamis, retraksi (-/-), vesikuer (+/+), Rhonki basah kasar (+/
+), Wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, Datar, BU (+) normal, hepatomegaly (-), splenomegali (-),
Nyeri tekan (-)
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-)
A : PPOK Eksaserbasi Akut
P : - - O2 2 – 3 liter/menit
- Ambroxol 3x1
- Omeprazole 2x1
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada laporan kasus ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan foto thoraks.
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan
diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif
dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun dan
1
berbahaya, disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit