ASMA BRONKIAL
Diajukan Guna Melengkapi Sebagian Persyaratan Dokter Internship
oleh
dr. Masriani
Pembimbing:
dr. Sastia Rakhma Sp. P
ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh dengan cara autoanamnesis terhadap pasien pada tanggal 18 April 2019
pukul 03.15 WIB
Keluhan Utama
Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSU Mitra Delima mengeluh sesak nafas sejak pukul 01.30
WIB. Sesak muncul saat pasien tidur, sesak semakin meningkat sehingga dibawa ke RS.
Keluhan seperti ini sudah dirasakan sejak pasien berumur 15 tahun. Sesak dirasakan
hampir setiap hari dalam sebulan ini jika pasien kecapekan, dan kedinginan. Saat
serangan datang pasien berobat ke puskesmas kadang ke dokter klinik. Biasanya saat
sesak pasien lebih nyaman pada posisi duduk dabandingkan berbaring
Sesak saat tidur dalam sebulan ( pasien lupa) seminggu 2 kali sampai terbangun
tidur. Saat sesak melanda tidak dapat melakukan aktivitas apapun. Pasien mengeluh
batuk kadang berdahak. Dahak bewarna bening agak kental keluar sedikit-sedikit.
Bercak darah (disangkal), nyeri dada (disangkal), mual muntah (disangkal). Kalau
pagi udara dingin pasien mengeluh sering meler. Bersin-bersin (+) kalau terkena debu.
Sering mengeluh gatal pada saat udara dingin. Riwayat asma diakui oleh pasien. Ibu
pasien mempunyai keluhan serupa.
Tanda vital
Suhu : 37,6oC per aksiler
HR : 88 x/menit
RR : 31 x/menit
TD : 136/86 mmHg
Kepala : mesocephal
Mata : refleks cahaya (+/+), pupil isokor (+/+), conjungtiva anemis(-/-), sklera ikterik
(-/-), oedem palpebra(-/-)
Hidung : napas cuping hidung(-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-), gusi berdarah (-)
Telinga : sekret (-)
Tenggorokan: tonsil T1–T1hiperemis (-/-),faring hiperemis (-)
Leher : kelenjar getah bening tidak membesar
Thorax : normochest, retraksi (-), gerakan simetris kanan kiri
Cor: Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Kiri bawah : SIC IV linea midclavicularis sinistra
Kanan atas : SIC II linea paasternalis dextra
Kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo:
Anterior
Inspeksi : Pengembangan dada kanan =kiri
Palpasi : Fremitus raba dada = kiri
Perkusi : Sonor / Sonor
Auskultasi :Suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (+/+), Ronkhi (+/+),
Mengi (+), Ekspirasi memanjang
Posterior
Inspeksi : Pengembangan dada kanan =kiri
Palpasi : Fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : Sonor / Sonor
Auskultasi :Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
Abdomen : Inspeksi : dinding dada sejajar dinding perut
Auskultasi : bising usus(+) normal
Perkusi : timpani, tes undulasi (-), pekak alih (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan(-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas: Akral Hangat, CRT <2 detik.
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 15.0 g/dl 12.0 – 16.0
HITUNG JENIS
N. Segmen 91 % 30 - 90
Limfosit 6 % 14.0 – 53
KIMIA KLINIK
AST (SGOT) 15 U/L 10 - 35
Ureum 12 mg/dL 10 - 50
VI ANALISIS
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis asma bronkial sedang pada asma persisten
sedang karena adanya keluhan sesak napas yang timbul bila pasien kecapean, terpapar
debu, dan udara dingin . Bila sesak napas timbul terdapat suara “ngik”. Sesak terutama
timbul pada malam hari. Gejala sesak napas dirasakan hampir setiap hari dan saat malam
hari > 2 kali dalam sebulan. Sesak napas dirasakan mengganggu aktivitas dan tidur. Hal
ini sesuai dengan kriteria klasifikasi derajat asma persisten sedang berdasarkan gambaran
klinis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya ekspirasi memanjang dan mengi pada
lapangan paru kiri. Hal ini sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan
pada pasien asma.
Asma bronkial dicirikan sebagai suatu penyakit kesulitan bernapas, batuk, dada
sesak dan adanya mengi episodik. Gejala asma dapat terjadi secara spontan atau mungkin
diperberat dengan pemicu yang berbeda antar pasien. Frekuensi asma semakin memburuk
di malam hari oleh karena tonus bronkomotor dan reaktivitas bronkus mencapai titik
terendah antara jam 3 – 4 pagi, meningkatkan gejala bronkokontriksi.
Terapi pengobatan asma meliputi beberapa hal diantaranya yaitu menjaga saturasi
oksigen arteri tetap adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi jalan nafas
dengan pemberian bronkodilator inhalasi kerja cepat (beta-2 agonis dan antikolinergik)
dan mengurangi inflamasi saluran napas serta mencegah kekambuhan dengan pemberian
kortikosteroid sistemik lebih awal.
-(5+0) cmH2O
Leher ->>KGB (-)
ASMA BRONKIALE
A. Definisi
Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena hiperaktivitas
terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan; penyempitan ini bersifat
sementara/reversible.
Asma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan
bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang
luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan.5
Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis,fisiologis dan patologis. Ciri-ciri klinis yang
dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai batuk.
Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis
adalah episode obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada
ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang
kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas.1
Status asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma yang berat
atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang lazim
diberikan. Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang sifatnya hanya singkat,
dengan pengamatan 1-2 jam.6
Udara mengalir dari hidung kefaring yang merupakan tempat persimpangan antara jalan
pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu : nasofaring,
orofaring dan laringofaring. Dibawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga dibeberapa
tempat terdapat folikel getah bening yang dinamakan adenoid. Disebelahnya terdapat dua buah
tonsil kiri dan kanan dari tekak. Laring merupakan saluran udara dan bertindak sebagai
pembentukan suara terletak didepan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan
masuk ke trakea di bawahnya. Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang
dihubungkan oleh otot dan mengandung pita suara. Diantara pita suara terdapat glotis yang
merupakan pemisah saluran pernafasan bagian atas dan bawah. Pada saat menelan, gerakan
laring keatas, penutupan dan fungsi seperti pintu pada aditus laring dari epiglotis yang berbentuk
daun berperan untuk mengarahkan makanan ke esofagus, tapi jika benda asing masih bisa
melampaui glotis, maka laring mempunyai fungsi batuk yang akan membantu merngeluarkan
benda dan sekret keluar dari saluran pernafasan bagian bawah.6
Trakea dibentuk 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan, yang berbentuk seperti kuku
kuda dengan panjang kurang lebih 5 inci (9-11 cm), lebar 2,5 cm, dan diantara kartilago satu
dengan yang lain dihubungkan oleh jaringan fibrosa, sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir
yang berbulu getar(sel bersilia) yang hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk
mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan dibelakang terdiri
dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukosa. Bronkus merupakan lanjutan
dari trakea ada dua buah yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis ke IV dan V.
Sedangkan tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut
karina. Karina memiliki banyak syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang
kuat jika batuk dirangsang.7
Bronkus utama kanan lebih pendek , lebih besar dan lebih vertikal dari yang kiri. Terdiri
dari 6-8 cincin, mempunyai tiga cabang. Bronkus utama kiri lebih panjang,dan lebih kecil, terdiri
dari 9-12 cicin serta mempunyai dua cabang.
Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak mengandung alveoli (kantung
udara) dan memiliki garis 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tapi
dikelilingi oleh otot polos sehingga ukuranya dapat berubah. Seluruh saluran uadara ,mulai dari
hidung sampai bronkiolus terminalis ini disebut saluran penghantar udara atau zona konduksi.
Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitellium yang mengandung lebih banyak sel goblet dan
otot polos, diantaranya strecch reseptor yang dilanjutkan oleh nervus vagus. Setelah bronkiolus
terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru , yaitu tempat pertukaran gas.
Asinus terdiri dari : Bronkiolus respiratoris, duktus alveolaris dan sakus alveolaris terminalis
yang merupakan struktur akhir dari paru.7
Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu pertukaran gas dan
keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas ada tiga proses yang terjadi, yaitu:7
1. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar masuknya udara melalui cabang-
cabang trakeo bronkial sehingga oksigen sampai pada alveoli dan karbondioksida dibuang.
Pergerakan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan. Udara akan mengalir dari tekanan
yang tinggi ke tekanan yang rendah. Selama inspirasi volume thorak bertambah besar karena
diafragma turun dan iga terangkat. Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan tekanan
intra pleura dari –4 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir) menjadi sekitar –8mmHg. Pada
saat yang sama tekanan pada intra pulmunal menurun –2 mmHg (relatif terhadap tekanan
atmosfir). Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menyebabkan udara mengalir
kedalam paru sampai tekanan saluran udara sama dengan tekanan atmosfir. Pada ekspirasi
tekanan intra pulmunal bisa meningkat 1-2 mmHg akibat volume torak yang mengecil
sehingga udara mengalir keluar paru.
2. Proses kedua adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler melalui membran
alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir dari tempat yang tinggai tekanan
parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen dalam alveoli
mempunyai tekanan partial yang lebih tinggi dari oksigen yang berada didalam darah.
Karbondioksida darah lebih tinggi tekanan partialnya dari pada karbondioksida dialveoli.
Akibatnya karbondioksida mengalir dari darah ke alveoli.
3. Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran oksigen dari kapiler ke jaringan
melalui transportaliran darah. Oksigen dapat masuk ke jaringan melalui dua jalan : pertama
secara fisik larut dalam plasma dan secara kimiawi berikatan dengan hemoglobin sebagai
oksihemoglobin, sedangkan karbondioksida ditransportasi dalam darah sebagai bikarbonat,
natrium bikarbonat dalam plasma dan kalium bikarbonat dalam sel-sel darah merah. Satu
gram hemoglobin dapat mengika 1,34 ml oksigen. Karena konsentrasi hemoglobin rata-rata
dalam darah orang dewasa sebesar 15 gram, maka 20,1 ml oksigen bila darah jenuh total ( Sa
O2 = 100% ),bila darah teroksigenasi mencapai jaringan . Oksigen mengalir dari darah
masuk ke cairan jaringan karena tekanan partial oksigen dalam darah lebih besar dari pada
tekanan dalam cairan jaringan. Dari dalam cairan jaringan oksigen mengalir kedalan sel-sel
sesuai kebutuhan masing-masing. Sedangkan karbondioksida yang dihasilkan dalam sel
mengalir kedalam cairan jaringan. Tekanan partial karbondioksida dalam jaringan lebih besar
dari pada tekanan dalam darah maka karbondioksida mengalir dari cairan jaringan kedalam
darah.7
Fungsi sebagai pengatur keseimbangan asam basa : pH darah yang normal berkisar
7,35 – 7,45. Sedangkan manusia dapat hidup dalam rentang pH 7,0 – 7,45. Pada peninggian
CO2 baik karena kegagalan fungsi maupun bertambahnya produksi CO2 jaringan yang tidak
dikompensasi oleh paru menyebabkan perubahan pH darah. Asidosis respiratoris adalah
keadaan terjadinya retensi CO2 atau CO2 yang diproduksi oleh jaringan lebih banyak
dibandingkan yang dibebaskan oleh paru. Sedangkan alkalosis respiratorius adalah suatu
keadaan PaCO2 turun akibat hiperventilasi.7
Gambar 1. Anatomi dan Obstruksi Saluran Nafas Pada Asma
C. Patogenesis Asma
Pandangan tentang patogenesis asma telah mengalami perubahan pada beberapa dekade
terakhir. Dahulu dikatakan bahwa asma terjadi karena degranulasi sel mast yang terinduksi
bahan alergen, menyebabkan pelepasan beberapa mediator seperti histamin dan leukotrien
sehingga terjadi kontraksi otot polos bronkus. Saat ini telah dibuktikan bahwa asma merupakan
penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan beberapa sel, menyebabkan pelepasan
mediator yang dapat mengaktivasi sel target saluran napas sehingga terjadi bronkokonstriksi,
kebocoran mikrovaskular, edema, hipersekresi mukus dan stimulasi refleks saraf.8
3. Sel Inflamasi
Banyak sel inflamasi terlibat dalam patogenesis asma meskipun peran tiap sel yang tepat
belum pasti.
a. Sel mast
Sel mast berasal dari sel progenitor di sumsum tulang. Sel mast banyak didapatkan pada
saluran napas terutama di sekitar epitel bronkus, lumen saluran napas, dinding alveolus dan
membran basalis. Sel mast melepaskan berbagai mediator seperti histamin, PGD2, LTC4, IL-
1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, GMCSF, IFN- dan TNF. Interaksi mediator dengan sel lain akan
meningkatkan permeabilitas vaskular, bronkokonstriksi dan hipersekresi mukus. Sel mast
juga melepaskan enzim triptase yang merusak vasoactive intestinal peptide (VIP) dan
heparin. Heparin merupakan komponen penting granula yang berikatan dengan histamin dan
diduga berperan dalam mekanisme antiinflamasi yang dapat menginaktifkan MBP yang
dilepaskan eosinofil. Heparin menghambat respons segera terhadap alergen pada subyek
alergi dan menurunkan AHR.
b. Makrofag
Makrofag berasal dari sel monosit dan diaktivasi oleh alergen lewat reseptor IgE afinitas
rendah. Makrofag ditemukan pada mukosa, submukosa dan alveoli yang diaktivasi oleh
mekanisme IgE dependent sehingga berperan dalam proses infla-masi. Makrofag melepaskan
berbagai mediator antara lain LTB4, PGF2, tromboksan A2, PAF, IL-1, IL-8, IL-10, GM-
CSF, TNF , reaksi komplemen dan radikal bebas. Makrofag berperan penting sebagai
pengatur proses inflamasi alergi. Makrofag juga berperan sebagai APC yang akan
menghantarkan alergen pada limfosit.
c. Eosinofil
Diproduksi oleh sel progenitor dalam sumsum tulang dan diatur oleh IL-3, IL-5 dan GMCSF.
Infiltrasi eosinofil merupakan gambaran khas saluran napas penderita asma dan membedakan
asma dengan inflamasi saluran napas lain. Inhalasi alergen akan menyebabkan peningkatan
jumlah eosinofil dalam kurasan bronkoalveolar (broncho-alveolar lavage = BAL).
Didapatkan hubungan langsung antara jumlah eosinofil darah tepi dan cairan BAL dengan
AHR. Eosinofil berkaitan dengan perkembangan AHR lewat pelepasan protein dasar dan
oksigen radikal bebas. Eosinofil melepaskan mediator LTC4, PAF, radikal bebas oksigen,
MBP, Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dan Eosinophyl Derived Neurotoxin (EDN)
sehingga terjadi kerusakan epitel saluran napas serta degranulasi basofil dan sel mast.
Eosinofil yang teraktivasi menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, peningkatan
permeabilitas mikrovaskular, hipersekresi mukus, pelepasan epitel dan merangsang AHR.
d. Neutrofil
Peran neutrofil pada penderita asma belum jelas. Diduga neutrofil menyebabkan kerusakan
epitel akibat pelepasan bahan-bahan metabolit oksigen, protease dan bahan kationik.
Neutrofil merupakan sumber beberapa mediator seperti PG, tromboksan, LTB4 dan PAF.
Neutrofil dalam jumlah besar ditemukan pada saluran napas penderita asma kronik dan berat
selama eksaserbasi atau setelah pajanan alergen. Biopsi bronkus dan BAL menunjukkan
bahwa neutrofil me-rupakan sel pertama yang ditarik ke saluran napas dan yang pertama
berkurang jumlahnya setelah reaksi lambat berhenti.
e. Limfosit T
Didapatkan peningkatan jumlah limfosit T pada saluran napas penderita asma yang
dibuktikan dari cairan BAL dan mukosa bronkus. Biopsi bronkus penderita asma stabil
mendapatkan limfosit intraepitelial atipik yang diduga merupakan limfosit teraktivasi.
Limfosit T yang teraktivasi oleh alergen akan mengeluarkan berbagai sitokin yang
mempengaruhi sel inflamasi. Sitokin seperti IL-3, IL-5 dan GM-CSF dapat mempengaruhi
produksi dan maturasi sel eosinofil di sumsum tulang (sel prekursor), memperpanjang masa
hidup eosinofil dari beberapa hari sampai minggu, kemotaktik dan aktivasi eosinofil.
f. Basofil
Peran basofil pada patogenesis asma belum jelas, merupakan sel yang melepaskan histamin
dan berperan dalam fase lambat. Didapatkan sedikit peningkatan basofil pada saluran napas
penderita asma setelah pajanan alergen.
g. Sel dendrit
Sel dendrit merupakan sel penghantar antigen yang paling berpengaruh dan memegang
peranan penting pada respons awal asma terhadap alergen. Sel dendrit akan mengambil
alergen, mengubah alergen menjadi peptida dan membawa ke limfonodi lokal yang akan
menyebabkan produksi sel T spesifik alergen. Sel dendrit berasal dari sel progenitor di
sumsum tulang dan sel di bawah epitel saluran napas. Sel dendrit akan bermigrasi ke jaringan
limfe lokal di bawah pengaruh GMCSF.
h. Sel struktural
Sel struktural saluran napas termasuk sel epitel, sel endotel, miofibroblas dan fibroblas
merupakan sumber penting mediator inflamasi seperti sitokin dan mediator lipid pada
respons inflamasi kronik. Pada penderita asma jumlah mio fibroblas di bawah membran basal
retikular akan meningkat. Terdapat hubungan antara jumlah miofibroblas dan ketebalan
membran basal retikular.8
4. Mediator Inflamasi
Banyak mediator yang berperan pada asma dan mem-punyai pengaruh pada saluran
napas. Mediator tersebut antara lain histamin, prostaglandin, PAF, leukotrien dan sitokin yang
dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, peningkatan kebocoran mikrovaskular,
peningkatan sekresi mukus dan penarikan sel inflamasi. Interaksi berbagai mediator akan
mempengaruhi AHR karena tiap mediator memiliki beberapa pengaruh.8
a. Histamin
Histamin berasal dari sintesis histidin dalam aparatus Golgi di sel mast dan basofil. Histamin
mempengaruhi saluran napas melalui tiga jenis reseptor. Rangsangan pada reseptor H-1 akan
menyebabkan bronkokonstriksi, aktivasi refleks sensorik dan meningkatkan permeabilitas
vaskular serta epitel. Rangsangan reseptor H-2 akan meningkatkan sekresi mukus
glikoprotein. Rangsangan reseptor H-3 akan merangsang saraf sensorik dan kolinergik serta
menghambat reseptor yang menyebabkan sekresi histamin dari sel mast.
b. Prostaglandin
Prostaglandin (PG)D2dan PGF2merupakan bronkokonstrikstor poten. Prostaglandin
E2menyebabkan bronkodilatasi pada subyek normal invivo, menyebabkan bronkokonstriksi
lemah pada penderita asma dengan merangsang saraf aferen saluran napas. Prostaglandin
menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas dengan cara mengaktifkan reseptor
tromboksan prostaglandin.
d. Leukotrien
Berasal dari jalur 5-lipooksigenase metabolisme asam arakidonat, berperan penting dalam
bronkokonstriksi akibat alergen, latihan, udara dingin dan aspirin. Leukotrien dapat
menyebabkan kontraksi otot polos melalui mekanisme non histamin dan terdiri atas LTA4,
LTB4, LTC4, LTD4dan LTE4. Leukotrien dapat menyebabkan edema jaringan, migrasi
eosinofil, merangsang sekresi saluran napas, merangsang proliferasi dan perpindahan sel
pada otot polos dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular saluran napas.
e. Sitokin
Sitokin merupakan mediator peptida yang dilepaskan sel inflamasi, dapat menentukan bentuk
dan lama respons inflamasi serta berperan utama dalam inflamasi kronik. Sitokin dihasilkan
olehlimfosit T, makrofag, sel mast, basofil, sel epitel dan sel inflamasi. Sitokin IL-3 dapat
mempertahankan sel mast dan eosinofil pada saluran napas. Inter-leukin-5 dan GM-CSF
berperan mengumpulkan sel eosinofil, Interleukin-4 dan IL-13 akan merangsang limfosit B
membentuk IgE.
f. Endotelin
Endotelin dilepaskan dari makrofag, sel endotel dan sel epitel. Merupakan mediator peptida
poten yang menyebabkan vasokonstriksi dan bronkokonstriksi. Endotelin-1 meningkat
jumlahnya pada penderita asma. Endotelin juga menyebabkan proliferasi sel otot polos
saluran napas, meningkatkan fenotip profibrotik dan berperan dalam inflamasi kronik asma.
i. Bradikinin
Berasal dari kininogen berat molekul tinggi pada plasma lewat pengaruh kalikrein dan
kininogenase. Secara in vivo merupakan konstriktor kuat saluran napas dan secara in vitro
merupakan konstriktor lemah. Pada penderita asma bradikinin merupakan aktivator saraf
sensoris yang menyebabkan keluhan batuk dan sesak napas, menyebabkan eksudasi plasma,
meningkatkan sekresi sel epitel dan kelenjar submukosa. Bradikinin dapat merangsang serat
C sehingga terjadi hipersekresi mukus dan pelepasan takikinin.
j. Neuropeptida
Neuropeptida seperti substan P (SP), neurokinin A dan calcitonin gene-related peptide
(CGRP) terletak di saraf sensorik saluran napas. Neurokinin A menyebabkan
bronkokonstriksi, substan P menyebabkan kebocoran mikrovaskular dan CGRP
menyebabkan hiperemi kronik saluran napas.
k. Adenosin
Merupakan faktor regulator lokal, menyebabkan bronkokonstriksi pada penderita asma.
Secara in vitro merupakan bronkokonstriktor lemah dan berhubungan dengan pelepasan
histamin dari sel mast.8
5. Mekanisme Saraf
Berbagai proses yang terjadi pada asma dapat disebabkan melalui mekanisme saraf yaitu
mekanisme kolinergik, adrenergik dan nonadrenergik nonkolinergik. Kontrol saraf pada saluran
napas sangat kompleks.
a. Mekanisme kolinergik
Saraf kolinergik merupakan bronkokonstriktor saluran napas dominan pada binatang dan
manusia. Peningkatan refleks bronkokonstriksi oleh kolinergik dapat melalui neurotransmiter
atau stimulasi reseptor sensorik saluran napas oleh modulator inflamasi seperti prostaglandin,
histamin dan bradikinin.
b. Mekanisme adrenergik
Saraf adrenergik melakukan kontrol terhadap otot polos saluran napas secara tidak langsung
yaitu melalui katekolamin/epinefrin dalam tubuh. Mekanisme adrenergik meliputi saraf
simpatis, katekolamin dalam darah, reseptor adrenergik dan reseptor adrenergik.
Perangsangan pada reseptor adrenergik menyebabkan bronkokonstriksi dan perangsangan
reseptor adrenergik akan menyebabkan bronkodilatasi.
c. Mekanisme nonadrenergik nonkolinergik (NANC)
Terdiri atas inhibitory NANC (i-NANC) dan excitatory NANC (e-NANC) yang
menyebabkan bronkodilatasi dan bronkokonstriksi. Peran NANC pada asma belum jelas,
diduga neuropeptida yang bersifat sebagai neurotransmiter seperti substansi P dan neurokinin
A menyebabkan peningkatan aktivitas saraf NANC sehingga terjadi bronkokonstriksi.
Kemungkinan lain karena gangguan reseptor penghambat saraf NANC menyebabkan
pemecahan bahan neurotransmiter yang disebut vasoactive intestinal peptide (VIP).8
D. Patofisiologi asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alegen, virus,
dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur,
yaitu jalur imunologis dan syaraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE,
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE
abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE
terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan
bronkiolus dan bronkus kecil. Bila sesorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi
IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat
pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.
Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik, eosinofil
dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil,
sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga
menyebabkan inflamasi saluran nafas.1
Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran nafas terjadi segera yaitu 10-15 menit
setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel
mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi
terjadi setelah 6-8 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi
seperti eosinofil, sel T, sel mast dan antigen precenting cell (APC) merupakan sel-sel kunci
fdalam patogenesis asma.1
Pada jalur syaraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,
makrofag alveolar, nervus vagus, dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan reflek bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan
makrofag akan menbuat epitel saluran napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk
ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh
mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel
mast, misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut, dan SO2. Pada keadaan
tersebut, reaksi asma terjadi melalui reflek syaraf. Ujung syaraf eferen vagal mukosa yang
terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A, dan
Calcitonin Gen-Related Peptid (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya
bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktifasi sel-sel
inflamasi.1
1. Faktor genetik
Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai penelitian.
Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/ kecenderungan untuk
terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif
(gejala) dan objektif (hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena
kompleksnya gambaran klinis asma, maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui
fenotip-fenotip perantara yang dapat diukur secara objektif seperti:
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara
penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat
yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena
penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan resiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma
pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang
dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan
lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan body mass index (BMI), merupakan faktor resiko asma.
Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,
penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi
paru, morbiditas dan status kesehatan
2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang
seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur)
3. Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan
penyedap, pengawet dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritosin, tetrasiklin,
analgesik, antipiretik, dan lain-lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh:parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu dapat
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus
segera diobati, penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi
nasihat untuk menyelsaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diobati
maka gejala asmanya lebih sulit diobati.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum
dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti
meningkatkan resiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu.
Sebagaian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktiviatas
jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.
h. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer
yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan
kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musin kemarau,
musim bunga (serbuk sari beterbangan)
i. Status ekonomi
Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma tidak
jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus non
alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas maupun perubahan
cuaca.9
Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal
minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap memburuk
sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan
kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji
provokasi dengan bahan tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk
menegakkan diagnosis.9
G. Klasifikasi asma
Sebenarnya derajat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa derajat asma
persisten dapat berkurang atau bertambah. derajat gejala eksaserbasi atau serangan asma dapat
bervariasi yang tidak tergantung dari derajat sebelumnya.
H. Diagnosis Asma
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani
dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal
untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan
saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh
gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit.1
Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan
reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu
identifikasi faktor resiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal,
pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut derajat berat,
namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan
klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma diperlukan
pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang.1
1. Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung ingusan
atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem
atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan
musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat
berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rhinitis atau
alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat
bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah,
tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain beludru, kasur kapuk, banyak
barang di kamar tidur. Apakah sesak seperti bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh
serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok, di rumah atau lingkungan kerja,
obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin, atau steroid.1
2. Pemeriksaan klinis
Untuk menetukan diagnosis asma harus dilakukan anamnesis secara rinci, menetukan adanya
episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisik pasien asma, sering
ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada
inspeksi dapat ditemukan: napas cepat sampai sianosis, kesulitan bernapas, menggunakan
otot napas tambahan di leher, perut, dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan mengi,
ekspirasi diperpanjang.1,9
3. Pemeriksaan penunjang
a. Spirometer
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa
(KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar.
Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan
instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang
akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi
jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai
prediksi.
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 <
80% nilai prediksi.
Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari,
atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat
membantu diagnosis asma
Menilai derajat berat asma
b. Peak flow meter/PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan
untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani
dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan objektif
(spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena
PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV, untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM
mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat
diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat
melakukan pemeriksaan FEV1. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa
membutuhkan koperasi penderita daninstruksi yang jelas.
Manfaat APE dalam diagnosis asma
Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji
bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi kortikosteroid
(inhalasi/ oral , 2 minggu)
Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE harian
selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat berat penyakit
(lihat klasifikasi)
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru lain, di
samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat obstruksi. Oleh
karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai terbaik
sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik
penderita yang bersangkutan.
Cara pemeriksaan variabiliti APE harian
Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari untuk mendapatkan
nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh melalui 2 cara :
› Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan nilai APE pagi
hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari sebelumnya sesudah
bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam sebelumnya
sesudah bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian. Nilai >
20% dipertimbangkan sebagai asma.
APE malam - APE pagi
Variabiliti harian = ---------------------------------------------- x 100 %
1/2 (APE malam + APE pagi)
› Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE pagi
sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan persentase
dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari).
Contoh :
Selama 1 minggu setiap hari diukur APE pagi dan malam , misalkan didapatkan
APE pagi terendah 300, dan APE malam tertinggi 400; maka persentase dari nilai
terbaik (% of the recent best) adalah 300/ 400 = 75%. Metode tersebut paling
mudah dan mungkin dilakukan untuk menilai variabiliti.
c. X-ray toraks.
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
d. Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test), untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada
kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen
yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE atopi
dilakukan dengan cara radio allergo sorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak
dapat dilakukan (pada dermographism).
e. Petanda inflamasi
Derajat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas
penilaian objektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan
petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat
dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida
nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi
menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP)
dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat
menunjukkan gambaran inflamasi tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
f. Uji hipereaktivitas bronkus/HRB
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai
test provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen
spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif.
Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di
samping ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa
partikel dengan berbagai ukuran dari 2-20μm, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi
sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes
provokasi non spesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani,
inhalasi udara dingin atau kering, histamin dan metakolin.1
2. Komplikasi asma
a. Pneumothoraks
b. Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
c. Atelektasis
d. Aspergilosis bronkopulmoner alergik
e. Gagal napas
f. Bronkitis
g. Fraktur iga
J. Pengobatan Asma
Pengobatan asma menurut GINA (Gobal Initiative For Asthma)
Para ahli asma dari berbagai negara terkemuka telah berkumpul dalam suatu loka karya
Global Initiative For Asthma Management And Preventionyag dikoordinasikan oleh National
Health, Lung And Blood Institute Amerika Serikat dan WHO. Publikasi loka karya tersebut
yang dikenal sebagai GINA diterbitkan pada tahun 1995, dan diperbaharui tahun 1998 dan
2002 dan hampir seluruh dunia mengikuti protokol pengobatan yang dianjurkan. Namun cara
pengobatan tersebut masih mahal bagi negara sedang berkembang. Sehingga masing-masing
negara dianjurkan membuat kebijakan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi serta
lingkungannya.
Pada dasarnya obat-obat anti asma dipakai untuk mencegah dan mengendalikan gejala asma.
Fungsi penggunaan obat anti asma antara lain:9
Pencegah (controller) yaitu obat-obgat yang dipakai setiap hari, dengan tujuan aggar gejala
asma persisten tetap terkendali. termasuk golongan ini yaitu obat-obat anti inflamasi dan
bronkodilator kerja panjang (long acting).obat-obat anti inflamasi kususnya kortikosteroid hirup
adalah obat yang paling efektif sebagai pencegah. Obat-obat anti alergi,bronkodilator atau obat
golongan lain sering dianggap termasuk obat pencegah. Meskipun sebenarnya kurang tepat,
karena obat-obat tersebut mencegah dalam ruang lingkup yang terbatas misalnya mengurangi
serangan asma, mengurangi gejala asma kronik, memperbaiki fungsi paru, menurunkan
reaktifitas bronkus dan memperbaiki kualitas hidup. Obat anti inflamasi dapat mencegah
terjadinya inflamasi serta mempunyai daya profilaksis dan supresi. Dengan pengobatan anti
inflamasi jangka panjang ternyata perbaikan gejala asma, perbaikan fungsi paru serta penurunan
reaktifitas bronkus lebih baik bila di bandingkan bronkodilator. Termasuk golongan pencegah
adalah kortikosteroid hirup, kortikosteroid sistemik, natrium kromolin, natrium nedokromil,
teofilin lepas lambat (TLL), agonis beta 2 kerja panjang hirup (salmaterol dan formoterol) dan
oral dan obat-obat anti alergi.9
Pengontrol
Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai
penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru,
menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat
serangan dan memperbaiki kualiti hidup (bukti A). Steroid inhalasi adalah pilihan bagi
pengobatan asma persisten (ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan
aman pada dosis yang direkomendasikan.
Tabel 3. Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensi
Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring,
disfonia dan batuk karena iritasi saluran napas atas. Semua efek samping tersebut dapat dicegah
dengan penggunaan spacer, atau mencuci mulut dengan berkumur-kumur dan membuang keluar
setelah inhalasi. Absorpsi sistemik tidak dapat dielakkan, terjadi melalui absorpsi obat di paru.
Risiko terjadi efek samping sistemik bergantung kepada dosis dan potensi obat yang berkaitan
dengan biovailibiliti, absorpsi di usus, metabolisme di hati (first-pass metabolism), waktu paruh
berkaitan dengan absorpsi di paru dan usus; sehingga masing-masing obat steroid inhalasi
berbeda kemungkinannya untuk menimbulkan efek sistemik. Penelitian menunjukkan budesonid
dan flutikason propionate mempunyai efek sistemik yang rendah dibandingkan beklometason
dipropionat dan triamsinolon. Risiko efek sistemik juga bergantung sistem penghantaran.
Penggunaan spacer dapat menurunkan bioavailabiliti sistemik dan mengurangi efek samping
sistemik untuk semua glukokortikosteroid inhalasi. Tidak ada data yang menunjukkan terjadi
tuberkulosis paru pada penderita asma malnutrisi dengan steroid inhalasi, atau terjadi gangguan
metabolisme kalsium dan densiti tulang.
Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai pengontrol
pada keadaan asma persisten berat (setiap hari atau selang sehari), tetapi penggunaannya terbatas
mengingat risiko efek sistemik. Harus selalu diingat indeks terapi (efek/ efek samping), steroid
inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang. Jangka panjang lebih
efektif menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid oral
terpaksa harus diberikan misalnya pada keadaan asma persisten berat yang dalam terapi
maksimal belum terkontrol (walau telah menggunakan paduan pengoabatn sesuai berat asma),
maka dibutuhkan steroid oral selama jangka waktu tertentu. Hal itu terjadi juga pada steroid
dependen. Di Indonesia, steroid oral jangka panjang terpaksa diberikan apabila penderita asma
persisten sedang-berat tetapi tidak mampu untuk membeli steroid inhalasi, maka dianjurkan
pemberiannya mempertimbangkan berbagai hal di bawah ini untuk mengurangi efek samping
sistemik. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan saat memberi steroid oral :
Gunakan prednison, prednisolon, atau metilprednisolon karena mempunyai efek
mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek dan efek striae pada otot minimal
Bentuk oral, bukan parenteral
Penggunaan selang sehari atau sekali sehari pagi hari
Efek samping sistemik penggunaan glukokortikosteroid oral/ parenteral jangka panjang
adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak,
glaukoma, obesiti, penipisan kulit, striae dan kelemahan otot. Perhatian dan supervisi ketat
dianjurkan pada pemberian steroid oral pada penderita asma dengan penyakit lain seperti
tuberkulosis paru, infeksi parasit, osteoporosis, glaukoma, diabetes, depresi berat dan tukak
lambung. Glukokortikosteroid oral juga meningkatkan risiko infeksi herpes zoster. Pada keadaan
infeksi virus herpes atau varisela, maka glukokortikosteroid sistemik harus dihentikan.
Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Mekanisme yang pasti dari sodium kromoglikat dan nedokromil sodium belum sepenuhnya
dipahami, tetapi diketahui merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat penglepasan
mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung kepada dosis dan
seleksi serta supresi sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit); selain kemungkinan
menghambat saluran kalsium pada sel target. Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai
pengontrol pada asma persisten ringan. Studi klinis menunjukkan pemberian sodium kromoglikat
dapat memperbaiki faal paru dan gejala, menurunkan hiperesponsif jalan napas walau tidak
seefektif glukokortikosteroid inhalasi (bukti B). Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan
untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak. Efek samping umumnya minimal
seperti batuk atau rasa obat tidak enak saat melakukan inhalasi .
Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti
antiinflamasi. Efek bronkodilatasi berhubungan dengan hambatan fosfodiesterase yang dapat
terjadi pada konsentrasi tinggi (>10 mg/dl), sedangkan efek antiinflamasi melalui mekanisme
yang belum jelas terjadi pada konsentrasi rendah (5-10 mg/dl). Pada dosis yang sangat rendah
efek antiinflamasinya minim pada inflamasi kronik jalan napas dan studi menunjukkan tidak
berefek pada hiperesponsif jalan napas. Teofilin juga digunakan sebagai bronkodilator tambahan
pada serangan asma berat. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan bersama/kombinasi
dengan agonis beta-2 kerja singkat, sebagai alternatif bronkodilator jika dibutuhkan.
Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol, berbagai
studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru.
Preparat lepas lambat mempunyai aksi/waktu kerja yang lama sehingga digunakan untuk
mengontrol gejala asma malam dikombinasi dengan antiinflamasi yang lazim. Studi
menunjukkan metilsantiin sebagai terapi tambahan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah
atau tinggi adalah efektif mengontrol asma (bukti B), walau disadari peran sebagai terapi
tambahan tidak seefektif agonis beta-2 kerja lama inhalasi (bukti A), tetapi merupakan suatu
pilihan karena harga yang jauh lebih murah.
Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi ( 10 mg/kgBB/ hari atau lebih); hal itu
dapat dicegah dengan pemberian dosis yang tepat dengan monitor ketat. Gejala gastrointestinal
nausea, muntah adalah efek samping yang paling dulu dan sering terjadi. Efek kardiopulmoner
seperti takikardia, aritmia dan kadangkala merangsang pusat napas. Intoksikasi teofilin dapat
menyebabkan kejang bahkan kematian. Di Indonesia, sering digunakan kombinasi oral
teofilin/aminofilin dengan agonis beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator; maka diingatkan
sebaiknya tidak memberikan teofilin/aminofilin baik tunggal ataupun dalam kombinasi sebagai
pelega/bronkodilator bila penderita dalam terapi teofilin/ aminofilin lepas lambat sebagai
pengontrol. Dianjurkan memonitor kadar teofilin/aminofilin serum penderita dalam pengobatan
jangka panjang. Umumnya efek toksik serius tidak terjadi bila kadar dalam serum < 15 ug/ml,
walau terdapat variasi individual tetapi umumnya dalam pengobatan jangka panjang kadar
teoflin serum 5-15 ug/ml (28-85uM) adalah efektif dan tidak menimbulkan efek samping..
Perhatikan berbagai keadaan yang dapat mengubah metabolisme teofilin antara lain. demam,
hamil, penyakit hati, gagal jantung, merokok yang menyebabkan perubahan dosis pemberian
teofilin/aminofilin. Selain itu perlu diketahui seringnya interaksi dengan obat lain yang
mempengaruhi dosis pemberian obat lain tersebut misalnya simetidin, kuinolon dan makrolid.
Agonis beta-2 kerja lama
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan formoterol yang
mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-2 mempunyai efek
relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh
darah dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan basofil. Kenyataannya pada
pemberian jangka lama, mempunyai efek antiinflamasi walau kecil. Inhalasi agonis beta-2 kerja
lama yang diberikan jangka lama mempunyai efek protektif terhadap rangsang
bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis beta-2 kerja lama, menghasilkan efek
bronkodilatasi lebih baik dibandingkan preparat oral.
Tabel 4. Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-2
Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral. Mekanisme
kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua leukotrin (contohnya
zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya
montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator
minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain
bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Berbagai studi menunjukkan bahwa
penambahan leukotriene modifiers dapat menurunkan kebutuhan dosis glukokortikosteroid
inhalasi penderita asma persisten sedang sampai berat, mengontrol asma pada penderita dengan
asma yang tidak terkontrol walau dengan glukokortikosteroid inhalasi (bukti B). Diketahui
sebagai terapi tambahan tersebut, leukotriene modifiers tidak seefektif agonis beta-2 kerja lama
(bukti B). Kelebihan obat ini adalah preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah
diberikan. Penderita dengan aspirin induced asthma menunjukkan respons yang baik dengan
pengobatan leukotriene modifiers.
Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).
Efek samping jarang ditemukan. Zileuton dihubungkan dengan toksik hati, sehingga monitor
fungsi hati dianjurkan apabila diberikan terapi zileuton.
Penghilang gejala (reliever) yaitu obat-obat yang dapat merelaksasi bronko konstriksi dan
gejala-gejala akut yang menyertainya dengan segera. Termasuk dalam golongan ini yaitu agosnis
beta 2 hirup kerja pendek (short acting), kortikosteroid sistemik, anti koinergik hirup, teofilin
kerja pendek, agonis beta2 oral kerja pendek.9
Peran kortikosteroid sitemik pada asma akut untuk mencegah perburukan gejala lebih
lanjut. Obat tersebut secara tidak langsung mencegah atau mengurangi frekuensi perawatan di
ruang rawat darurat atau rawat inap. Antikolinergik hirup atau ipatropium bromida selain dipakai
sebagai tambahan terapi agonis beta 2 hirup pada asma akut, juga dipakai sebagai obat alternatif
pada pasien yang tidak dapat mentoleransi efek samping agonos beta 2. Teofilin maupun agonis
beta2 oral dipakai pada pasien yang secara teknis tidak bisa memakai sediaan hirup.
Pelega
Agonis beta-2 kerja singkat
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah
beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Formoterol mempunyai
onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi
mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping minimal/ tidak ada. Mekanisme kerja
sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan
mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari
sel mast.
Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada
exercise-induced asthma (bukti A). Penggunaan agonis beta-2 kerja singkat direkomendasikan
bila diperlukan untuk mengatasi gejala. Kebutuhan yang meningkat atau bahkan setiap hari
adalah petanda perburukan asma dan menunjukkan perlunya terapi antiinflamasi. Demikian pula,
gagal melegakan jalan napas segera atau respons tidak memuaskan dengan agonis beta-2 kerja
singkat saat serangan asma adalah petanda dibutuhkannya glukokortikosteroid oral..
Efek sampingnya adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia.
Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek samping daripada oral.
Dianjurkan pemberian inhalasi, kecuali pada penderita yang tidak dapat/mungkin menggunakan
terapi inhalasi.
Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah dibandingkan
agonis beta-2 kerja singkat. Aminofillin kerja singkat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi
gejala walau disadari onsetnya lebih lama daripada agonis beta-2 kerja singkat (bukti A).
Teofilin kerja singkat tidak menambah efek bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat dosis
adekuat, tetapi mempunyai manfaat untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernapasan
dan mempertahankan respons terhadap agonis beta-2 kerja singkat di antara pemberian satu
dengan berikutnya.
Teofilin berpotensi menimbulkan efek samping sebagaimana metilsantin, tetapi dapat
dicegah dengan dosis yang sesuai dan dilakukan pemantauan. Teofilin kerja singkat sebaiknya
tidak diberikan pada penderita yang sedang dalam terapi teofilin lepas lambat kecuali diketahui
dan dipantau ketat kadar teofilin dalam serum .
Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan asetilkolin
dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus
kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan
iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis beta-2 kerja singkat, onsetnya lama dan
dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek maksimum. Tidak mempengaruhi reaksi alergi tipe
cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak berpengaruh terhadap inflamasi.
Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide. Analisis
meta penelitian menunjukkan ipratropium bromide mempunyai efek meningkatkan
bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru dan
menurunkan risiko perawatan rumah sakit secara bermakna (bukti B). Oleh karena disarankan
menggunakan kombinasi inhalasi antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja singkat sebagai
bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau pada serangan asma yang kurang
respons dengan agonis beta-2 saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal. Tidak
bermanfaat diberikan jangka panjang, dianjurkan sebagai alternatif pelega pada penderita yang
menunjukkan efek samping dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi seperti takikardia,
aritmia dan tremor. Efek samping berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit. Tidak ada bukti
mengenai efeknya pada sekresi mukus.
Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak tersedia agonis
beta-2, atau tidak respons dengan agonis beta-2 kerja singkat. Pemberian secara subkutan harus
dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian
intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside
monitoring).
Berdasarkan pengobatan sistemik anak tangga, maka mnurut berat ringannya gejala, asma dapat
dibagi menjadi 4 derajat, obat yang dipakai setiap hari obat-obat pencegah, dosis tinggi,
kortikosteroid hirup, bronkodilator kerja panjang, kortikosteroid oral jangka panjang (tabel 3).9
Sistem pengobatan ini dimaksudkan untuk memudahkan pasien mengetahui perjalanan dan
kronisitas asma, memantau kondisi penyakitnya, mengenal tanda-tanda dini serangan asma, dan
dapat bertindak segera mengatasi kondisi tersebut. Dengan mengunakan peak flow meter pasien
diminta mengukur secara teratur setiap hari, dan membandingkan nilai APE yang didapat pada
waktu itu dengan nilai terbaik APE pasien atau nilai prediksi normal.9
Seperti halnya lampu pengatur lalu lintas, berdasarkan nilai APE akan terletak pada wilayah:9
Nilai APE luasnya 80-100% nilai prediksi, variabilitas kurang dari 20%. Tidur dan aktivitas
tidak terganggu. Obat-obat yang dipakai sesuai dengan tingkat anak tangga saat itu. Bila 3 bulan
tetap hijau, pengobatan ini diturunkan ke tahap yang lebih ringan.
Nilai APE luasnya 60-80% nilai prediksi, variabilitas 20-30%. Gejala asma masih normal,
terbangun malam karena asma, aktivitas terganggu. Daerah ini menunjukkan bahwa pasien
sedang mendapat serangan asma.sehingga obat-obat anti asma perlu ditingkatkan atau ditambah
antara lain agonis beta 2 hirup dan bila perlu kortikosteroid oral. Mungkin pula tahap pengobatan
yang sedang dipakai belum memadai, sehingga perlu dikaji ulang bersama dokternya
Nilai APE di bawah 60% nilai prediksi. Bila agonis beta 2 hirup tidak memberikan respon,
segera mencari pertolongan dokter. Bila dengan agonis beta 2 hirup membaik, masuk ke daerah
kuning, obat diteruskan sesuai dengan wilayah masing-masing. Pada wilyah merah,
kortikosteroid oral diberikan lebih awal dan diberikan oksigen.
2. Asthma and Allergy Foundation of America, 2010. Asthma Facts and Figures. Landover:
Australian Institute of Health and Welfare.
3. Alsagaff, H., Mukty, A. 2009. Anatomi dan Faal Pernapasan dalam Dasar-Dasar Ilmu
Penyakit Paru, Edisi 6. Airlangga University Press: Surabaya
4. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H, Siregar SP, et
al. Allergy And Asthma, The Scenario In Indonesia. In: Shaikh WA. Editor. Principles
And Practice Of Tropical Allergy And Asthma. Mumbai: Vicas Medical Publisher;
2006.707-36
7. Nurafiatin, A., Ayu, E.S., Mabruroh, F., dan Fauziah, N., 2007. Patofisiologi Asma.
Universitas Sumatera Utara.
8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2006. Asma: Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
9. Ohrui T, Yasuda H, Yamaya M, Matsui T, Sasaki H. Transient Relief Of Asthma
Symptoms During Jaundice: A Possible Beneficial Role Of Bilirubin. Department of
Geriatric and Respiratory Medicine, Tohoku University School of Medicine
10. Rengganis, I. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 58;
No.11;Nopember 2008.
11. Rahmawati, I., Yunus, F., Wiyono, WH. 2003. Artikel: Tinjauan Kepustakaan
Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Persahabatan:
Jakarta, Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003
12. Sukamto, Sundaru, H. 2006. Asma Bronkhiale Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta
13. World Health Organisation (WHO), 2010. Asthma. New York: World Healt h Organisation.