Anda di halaman 1dari 12

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

CKD DENGAN ANEMIA

RUANG HEMODIALISA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR MALANG

PROMOSI KESEHATAN RUMAH SAKIT

RSUD Dr. SAIFUL ANWAR

2019
SATUAN ACARA PENYULUHAN

CKD DENGAN ANEMIA

RUANG HEMODIALISA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR MALANG

Rudi Kurniawan Oleh

Kelompok 5

1. SITI NUR FATIMAH (2016.01.029)


2. RIZKI AULIA. K (2016.01.026)
3. RUDI KURNIAWAN (2016.01.028)
4. NILA FEBY.M (2016.01.020)

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI

BANYUWANGI

2019

LEMBAR PENGESAHAN
CKD DENGAN ANEMIA
RUANG HEMODIALISA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR MALANG

Telah disahkan dan disetujui pada :


Hari :
Tanggal :

Oleh :

Pembimbing institusi pembimbing klinik

( ) ( )

Mengetahui
Kaur R. HEMODIALISA

( )

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)


1. Latar Belakang
Gagal Ginjal Kronik / penyakit ginjal tahap akhir (ESRD / End Stage Renal Disease)
merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal
dalam mempertahankan metabolisme tubuh, keseimbangan cairan dan elektrolit sehinggga dapat
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Suryanto, 2007).
Gagal ginjal kronik adalah merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan
lambat, dimana ginjal kehilangan kemampuan untuk mempertahankan volume dan komposisi
cairan tubuh dengan nilai GFR 25%-10% dari nilai normal (Suryanto, 2007).
Salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada pasien penyakit ginjal kronik adalah anemia
(Suwitra, 2014). Anemia pada penyakit ginjal kronik dapat menimbulkan komplikasi
kardiovaskular (angina, hipertrofi ventrikel kiri (left ventricular hypertrophy / LVH), dan
memperburuk gagal jantung).
Anemia pada penyakit ginjal kronik dapat terjadi melalui berbagai mekanisme (defisiensi
besi, asam folat, vit. B12; perdarahan saluran cerna; hiperparatiroid berat; inflamasi sistemik
dan memendeknya waktu hidup eritrosit). Penyebab terpenting terjadinya anemia pada pasien
penyakit ginjal kronik adalah menurunnya produksi eritropoietin (Thomas et al., 2009).

Berdasarkan penelitian dari National Health and Nutrition Examination Survey


(NHANES) tahun 2007-2010, prevalensi anemia pada pasien penyakit ginjal kronik dua kali
lebih banyak (15,4%) dibandingkan populasi umum (7,6%). Prevalensi anemia meningkat pada
pasien penyakit ginjal kronk dari 8,4% pada stadium 1 sampai 53,4% pada stadium 5
(Staufferet al., 2014). Menurut National Institute for Health and Care Excellence (NICE) tahun
2011, prevalensi anemia pada pasien penyakit ginjal kronik sebesar 12%. Menurut Suwitra,
anemia terjadi pada 80% - 90% pasien penyakit ginjal kronik.

Menurut Dmitrieva et al., anemia yang umum terjadi pada pasien penyakit ginjal kronik adalah
anemia normositik normokrom, namun dapat terjadi anemia mikrositik hipokrom atau anemia
makrositik. Prevalensi anemia normositik sedikit munurun dengan semakin menurunnya Hb
(Hb ≤ 11 g/dl = 80,5 %, Hb ≤10 g/dl = 72,7 %, Hb ≤ 9 g/dl = 67,6 %). Prevalensi anemia
mikrositik meningkat dengan semakin menurunnya Hb (Hb ≤ 11 g/dl = 13,4 %, Hb ≤ 10 g/dl =
20,8 %, Hb ≤ 9 g/dl = 24,9 %) sementara anemia makrositik sedikit meningkat dengan semakin
menurunnya Hb (Hb ≤ 11 g/dl = 6,0 %, Hb ≤ 10 g/dl = 6,5 %, Hb ≤ 9 g/dl = 7,6 %). Jenis
anemia terbanyak pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 2-5 adalah anemia normositik
sedangkan pasien dengan stadium 1 mengalami anemia mikrositik (Dmitrieva et al.,2013).

2. Tujuan Penulisan
 Tujuan Umum :
Setelah diberikan pendidikan kesehatan selama 10 menit, diharapkan klien memahami
mengenai anemia.
 Tujuan Khusus :
a. Mampu menyebutkan kembali pengertian dari anemia.
b. Mampu menyebutkan kembali 3 penyebab dan 3 tanda gejala dari anemia.
c. Mengetahui pemeriksaan dan penatalaksanaan yang dilakukan pada orang dengan anemia.

3. Rencana Kegiatan
 Metode
Metode yang digunakan adalah dengan memberikan pendidikan kesehatan.
 Media dan Alat Bantu
Media dan alat bantu yang digunakan adalah PPT.
 Waktu dan Tempat
Hari/Tanggal : rabu,31 juli 2019
Pukul : 10.00 WIB
Tempat: Ruang Tunggu Hemodialisa
Materi : Chronic Kidney Disease dengan Anemia
Peserta : Pasien dan keluarga di Ruang Tunggu Hemodialisa.

4. Lampiran
1. Materi
2. Lembar Evaluasi
3. Prosedur Penyuluhan

Lampiran 1 : Materi Penyuluhan


1.1 Pengertian Anemia
World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan konsentrasi
hemoglobin < 13,0 mg/dl pada laki-laki dan wanita postmenopause dengann < 12,0 gr/dl pada
wanita lainnya. The National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative
(K/DOQI) merekomendasikan anemia pada pasien penyakit ginjal kronik jika kadar
hemoglobin < 11,0 gr/dl (hematokrit <33%) pada wanita premenopause dan pasien prepubertas,
dan < 12,0 gr/dl (hematokrit <37%) pada laki-laki dewasa dan wanita postmenopause.

1.2 Penyebab Anemia


Faktor-faktor yang berkaitan dengan anemia pada penyakit ginjal kronik termasuk
kehilangan darah, pemendekan masa hidup sel darah merah, defisiensi eritropoetin, defisiensi
besi dan inflamasi.
1) Kehilangan Darah
Pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko kehilangan darah oleh
karena terjadinya disfungsi platelet. Penyebab utama kehilangan darah pada pasien-pasien ini
adalah dari dialisis, terutama hemodialisis dan nantinya menyebabkan defisiensi besi juga.
Pasien-pasien hemodialisis dapat kehilangan 3 -5 gr besi per tahun. Normalnya, kita kehilangan
besi 1-2 mg per hari sehingga kehilangan besi pada pasien-pasien dialisis 10-20 kali lebih
banyak.
2) Pemendekan masa hidup eritrosit
Masa hidup eritrosit berkurang sekitar sepertiga pasien-pasien hemodialisis
3) Defisiensi Eritropoetin
Defisiensi eritropoetin merupakan penyebab utama anemia pada pasien-pasien penyakit
ginjal kronik.
CKD menyebabkan turunnya kadar eritropoetin (EPO), hormone yang dihasilkan oleh
ginjal yang sehat untuk memproduksi sel darah merah. Apabila tubuh kekurangan kadar oksigen
maka ginjal yang sehat akan melepas hormone EPO yang akan merangsang sumsum tulang
(bone marrow) untuk memproduksi lebih banyak sel darah merah. CKD menyebabkan anemia
berat yang secara bertahap mempengaruhi kemampuan normal, penampilan diri, dan aktivitas
sosial pasien. Hal ini akan menyebabkan turunnya kualitas hidup secara umum.
4) Defisiensi Besi
Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik. Untuk alasan yang
masih belum diketahui (kemungkinan karena malnutrisi), kadar transferin pada penyakit ginjal
kronik setengah atau sepertiga dari kadar normal, menghilangkan kapasitas sistem transport
besi.
5) Inflamasi
Anemia pada inflamasi juga ditandai dengan kadar besi serum yang rendah, saturasi
transferin yang rendah dan gangguan pengeluaran cadangan besi yang bermanifestasi dengan
tingginya serum feritin.

1.3 Manifestasi klinis Anemia


Anemia mulai muncul stage ke 3 CKD ketika GFR < 60 ml/menit, jauh sebelum dialysis
dibutuhkan. Anemia semakin memburuk seiring dengan progesivitas CKD.
1) Onset anemia pada CKD merasakan kelelahan dan kelemahan atau merasa kurang tidur.
Pasien dengan anemia krang memiliki energy dan antusiasme
2) Tekanan darah pada anemia biasanya rendah dengan tanda awal tekanan darah menurun
ketika pasien berdiri, dan relative normal ketika pasien duduk atau berbaring.
3) Konjungtiva anemis
4) Pusing khususnya ketika berdiri
5) Sulit untuk focus dan berkonsentrasi
6) Pada pasien gagal jantung, nafas pendek dan kelebihan cairan mungkin akan tampak.
Gagal jantung awal dapat berhubungan dengan batuk kering, kesulitan berbaring dengan
posisi datar, atau nafas pendek.

1.4 Pemeriksaan Diagnostik Anemia


Pemeriksaan awal berupa anamnesa yang cermat, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan darah
rutin dan hapusan darah selalu harus dilakukan. Pada pemeriksaan darah ditemukan anemia
normositik, normokrom, dan terdapat sel burr pada anemia berat, leukosit dan trombosit masih
dalam batas normal, retikulosit biasanya menurun. Evaluasi anemia dimulai Hb < 10 g/dl, Ht <
30%. Diagnosis laboratorium anemia yaitu
a) Hemoglobin, hematrokrit
b) Status besi : saturasi transferin : saturasi transferin menujukkan jumlah beredar dalam
sirkulasi. Nilai normal saturasi transferin adalah >20%.

1.5 Penatalaksanaan Anemia


a. Terapi Besi dan Pemantauan Status Besi
1. Bila status besi kurang, maka harus diberikan terapi besi terlebih dahulu sebelum
diberikan terapi EPO, Pemberian zat besi di berikan apabila hasil lab HB pasien
menunjukan nilai < 7
2. Jika nilai HB menunjukan > 7 dan TIBC < 20% maka dilakukan pemberian zat besi
melalui IV atau Per oral
3. Jika nilai HB > 7 dan nilai TIBC > 20% maka hanya di lakukan pemberian EPO
( hemapo, epex, recorinon )
1) Terapi besi intravena
Merupakan cara pemberian besi yang paling baik. Stimulasi eritropoiesis yang
kuat pada terapi EPO menyebabkan kebutuhan besi meningkat dengan cepat yang tidak
tercukupi oleh asupan besi oral. Contoh preparat besi untuk suntikan intravena : iron
Dextran, Sodium ferric gluconate complex, iron hydroxysaccharate.
b. Terapi besi oral
Preparat oral masih bermanfaat terutama pada anemia defisiensi besi yang tidak
mendapat terapi EPO. Akan tetapi sering hasilnya tidak seperti yang diharapkan karena
berbagai hal seperti absorpsi besi yang tidak adekwat pada pasien hemodialisis dan
kurangnya kepatuhan minum obat akibat rasa mual. Banyak penelitian yang menunjukan
bahwa terapi besi oral tidak memadai pada pasien yang mendapat EPO, namun demikian
tetap saja dapat diberikan bila preparat IV dan IM tidak tersedia. Dosis minimal 200 mg
besi elemental perhari, dalam dosis terbagi 2-3x/hari.
Efek samping terapi besi intravena dan intramuskuler adalah reaksi alergi dan syok
anafilaktik. Obat-obat emergensi untuk mengatasi keadaan ini harus disediakan sebelum
terapi dimulai. Kontraindikasi terapi besi antara lain bila terdapat hipersensitivitas,
gangguan fungsi hati berat dan kandungan besi tubuh berlebih (iron overload).
c. Terapi Eritropoietin
Indikasi terapi EPO bila Hb >10 ug/L dan ST > 20%) dan tidak ada infeksi berat.
Kontraindikasi terapi bila terdapat reaksi hipersensitivitas terhadap EPO dan pada keadaan
hipertensi berat. Hati- hati pada keadaan hipertensi yang tidak terkendali, hiperkoagulasi
dan keadaan overload cairan.
Terapi induksi EPO. Mulai dengan 2000-4000 IU/xhemodialisis subkutan, selama 4
minggu, Target respons yang diharapkan adalah Ht naik 2-4% dalam 2-4 minggu atau Hb
naik 1-2g/dL dalam 4 minggu. Kadar Hb dan Ht dipantau setiap 4 minggu. Bila target
respons tercapai, pertahankan dosis EPO sampai target Hb tercapai (> 10 g/dL). Bila target
belum tercapai naikkan dosis EPO 50 %. Namun bila Hb naik terlalu cepat, 8 g/dL dalam 4
minggu turunkan dosis EPO 25 %. Selama terapi induksi EPO ini status besi di pantau
setiap bulan.
Terapi pemeliharaan EPO. Diberikan bila target Hb sudah tercapai > 10 g/dL atau Ht >
30%. Angka ini lebih rendah dibanding panduan DOQI (Dialysis Outcomes Quality
Initiative) yang menargetkan Hb 11-12 g/dL dan Ht 3336%. Dosis pemeliharaan EPO yang
dianjurkan 1-2 kali 2000 IU/minggu. Selama terapi pemeliharaan Hb/Ht diperiksa setiap
bulan dan status besi setiap 3 bulan. Bila dengan terapi pemeliharaan EPO Hb mencapai
>12 g/dL , dosis EPO diturunkan sebanyak 25%.

d. Transfusi Darah
Transfusi darah memiliki risiko terjadinya reaksi transfusi dan penularan penyakit
seperti Hepatitis virus B dan C, Malaria, HIV dan potensi terjadinya kelebihan cairan
(overload). Disamping itu transfusi yang dilakukan berulangkali menyebabkan penimbunan
besi pada organ tubuh. Karena itu transfusi hanya diberikan pada keadaan khusus, yaitu:
1) Perdarahan akut dengan gejala hemodinamik
2) Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO atau yang telah dapat
terapi EPO tapi respons belum adekuat, sementara preparat besi IV/IM belum tersedia.
Untuk tujuan mencapai status besi yang cukup sebagai syarat terapi EPO, transfusi darah
dapat diberikan dengan hati-hati. Target pencapaian Hb dengan transfusi 7-9 g/dL, jadi
tidak sama dengan target pencapaian Hb pada terapi EPO. Bukti klinis menunjukkan
bahwa pemberian transfusi sampai Hb 10-12 g/dL tidak terbukti bermanfaat dan
menimbulkan peningkatan mortalitas.
Daftar Pustaka

Corwin, E.J. 2010. Alih bahasa : Pendit, B.U. Handbook of pathophysiology. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Price, S.A. & Wilson, L.M. Alih bahasa : Anugerah, P. 2007. Pathophysiology: Clinical concept of
disease processes. 4th Edition. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G. 2007. Brunner & Suddarth Textbook of Medical Surgical
Nursing 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
K/DOQI. 2006. Clinical Practice Guidelines on Hypertension and Antihypertensive Agent in
Chronic Kidney Disease. In Guideline 2 In:Evaluation of Patient with CKD or
Hypertension. CKD 2006: 1-18.
KDIGO. 2013. Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney
Disease. Kid Int Supplements(3); 18-27.
Suwitra K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Lampiran 3 : Prosedur Penyuluhan

No Waktu Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Klien Metode

1. 2 Pembukaan : Menjawab salam, Ceramah


Menit mendengarkan serta
 Mengucapkan salam dan menyetujui terkait
memperkenalkan diri pemberian materi
 Menjelaskan materi dan tujuan dari dan kontrak waktu
kegiatan penyuluhan yang akan oleh penyaji.
disampaikan.
 Kontrak waktu dengan klien dan
keluarga.
2. 4 Penyajian Materi : Mendengarkan, Ceramah
Menit  Menjelaskan pengertian dari memperhatikan apa dan Tutorial
anemia. yang di paparkan
 Menjelaskan penyebab dan tanda oleh penyaji.
gejala dari anemia
 Menjelaskan mengenai
pemeriksaan penunjang dan
penatalaksanaan pada orang dengan
anemia.
3. 4 Penutup :  Menjawab Tanya
Menit  Memberi kesempatan kepada pertanyaan dari Jawab
keluarga untuk bertanya. penyaji.
 Menanyakan kembali kepada  Mempraktekkan
keluarga terkait materi yang sudah ulang teknik
disampaikan. batuk efektif.
 Kontrak waktu sudah selesai.  Mendengarkan,
 Mengucapkan terimakasih dan mengucapkan
salam penutup. terimakasih
kembali dan
menjawab
salam.

Anda mungkin juga menyukai