SHORT CASE
Diajukan untuk memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan melengkapi salah satu syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Di RSUD dr. H. Soewondo Kendal
Pembimbing:
dr. Dewi Laksmi, Sp.A, M.Kes
Disusun oleh :
Nafiatul Aliah
30101407262
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2019
BAB I
CATATAN MEDIK
IDENTITAS
Pasien
• Nama Penderita : An. MR
• Umur : 12 bulan
• Jenis Kelamin : Laki-laki
• Alamat : Patebon
• Tanggal lahir : 10/04/2018
• No. R : 576xxx
• Tanggal masuk RS : 22/04/2019
Wali
• Nama Ayah : Tn. N
• Umur : 30 tahun
• Pendidikan : SMP
• Agama : Islam
• Pekerjaan : Penjaga Toko
• Alamat : Patebon
Wali
• Nama Ibu : Ny. S
• Umur : 23 tahun
• Pendidikan : SD
• Agama : Islam
• Pekerjaan : IRT
• Alamat : Patebon
A. DATA DASAR
Alloanamnesis dengan ibu pasien dilakukan pada tanggal 22 April 2019 pukul 11.00
WIB di Poliklinik Anak RSUD dr. H. Soewondo Kendal.
B. DATA KHUSUS
1. Riwayat Persalinan dan Kehamilan
Anak laki-laki lahir dari ibu P1A0 hamil 38 minggu, antenatal care teratur di bidan,
tidak ada penyakit selama kehamilan, tidak ada riwayat konsumsi obat atau jamu
selama hamil,lahir secara spontan ditolong di bidan, berat badan lahir sekitar 3800
gram, panjang badan lahir 49cm, lingkar kepala dan dada saat lahir ibu lupa, anak
lahir langsung menangis, tidak kebiruan.
Kesan : bayi aterm
Status Internus
Kepala : normocephale
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut.
Kulit : petekie (-), sianosis (-), turgor kembali cepat.
Mata : oedem palpebra (-/-), sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis ( -/- ),
mata cekung (-), mata merah (+/+), perdarahan sub konjungtiva (-/-)
Hidung : epistaksis(-/-), nafas cuping hidung (-/-), sekret (+/+)
Telinga: discharge (-/-), nyeri (-/-)
Mulut : bibir kering(-), bibir sianosis (-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-)
Leher : simetris, pembesaran kelenjar getah bening (-)
Tenggorok : faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
Thorax
Paru-paru:
Inspeksi : Hemithorax dextra sama dengan sinistra
Palpasi : Strem fremitus dextra dan sinistra simetris
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara Dasar Vesikuler, Wheezing (-/-),Ronkhi (+/+)
Jantung:
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : BJ I-II normal regular, bising (-)
Abdomen
Inspeksi : datar tak tampak gerak peristaltik
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : nyeri tekan (-), supel, hepar dan lien tidak teraba pembesaran
Alat kelamin : perempuan, tidak ada kelainan
Pemeriksaan Neurologis
Motorik : Koordinasi baik, kekuatan 5/5
Sensorik : sensorik baik
Reflek Fisiologis : +/+
Reflek Patologis :
R. Babinsky :(-/-)
R. Chaddock :(-/-)
R. Oppeinheim :(-/-)
Meningeal Sign :
Kaku kuduk :(-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
E. ASSESMENT
Diagnosis Banding
1. Pertusis
2. Pneumonia
3. Benda Asing
4. TBC
Diagnosis kerja
1. Pertusis
Penatalaksanaan :
a. IpDx
Darah Rutin
Kultur bakteri sekret nasofaring
ELISAIgA,IgG,IgM
X-Foto Thorax
b. IpTx
Medikamentosa :
• Eritromycin syr 200mg/5cc fl No 1 S4dd ½ cth p.c
• Elkana syrup 1 x 1
c. IpMx
Monitoring lama batuk, perubahan warna kulit, keadaan umum saat dan
setelah batuk, kemungkinan lain seperti henti napas
Monitoring pengobatan
d. IpEx
Pentingnya sirkulasi udara yang baik
Edukasi tanda bahaya pertusis dan kapan harus membawa ke rumah sakit
Edukasi untuk tidak memberikan minum atau apapun saat bayi sedang batuk, dan
memposisikan bayi dengan benar.
Edukasi pentingnya pemberian vaksin
Prognosis
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad Functionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pertusis
A. Definisi
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough,
dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah
pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai dari batuk rejan (whooping
cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (whoop artinya
berteriak). Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan
penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti
anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun1,2,3.
B. Angka Kejadian
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60 juta
kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal. Selama masa pra-vaksin
tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular pada
anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah
bayi kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun1,2,3,5,6.
C. Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis,
adenovirus tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus
gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella pertusis ini mengakibatkan suatu
bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak–anak kecil yang ditandai dengan batuk
paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang ” batuk rejan”.1,3
Bordetellah pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil kecil dan tidak
membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak bergerak. Bisa
didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis dan kemudian ditanam
pada agar media Bordet – Gengou1. Ada enam spesies dari Bordetella yaitu B. parapertussis,
B. bronchiseptica, B. avium, B. hinzii, B. holmesii, dan B. trematum. B. pertusis dan B.
parapertussis adalah dua patogen yang paling umum ditemukan pada manusia 8.
Hanya Bordetella Pertusis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen
yang utama. Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen klabil panas. Dari 14
aglutinogen, 6 adalah spesifik untuk B.pertusis serotip bervariasi secara geografis dan sesuai
waktu1.
B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak sarinya
dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca penambahan
aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan FIM3),
dan protein permukaan nonfimbria 69-kd yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk
perlekatan terhadap sel sel epitel bersilia saluran pernapasan1.
Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat pembersihan
organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat siklase diterima secara
dominan menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala pernafasan dan
mempermudah penyerapan TP1.
TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas histamine,
sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik
penyakit. TP menyebabkan limfositosis segera pada binatang percobaan dangan
pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tanpa memainkan peran sentral
tetapi bukan peran tunggal dalam pathogenesis1.
D. Patogenenis
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian
melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella
pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme
pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik1,9.
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/
Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada
silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi dan menyebar
ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis
tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan
toksin yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan whooping cough1,9.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis
toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya
berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A yang aktif pada
daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag
ke daerah infeksi1,9.
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis
protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel
target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine
dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga
akan menurunkan konsentrasi gula darah1,9.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia
sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh
Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir
akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru1,9.
Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi pada saat
ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai
kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder
sebagai akibat anoksia1.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel
mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik
terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi
yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis1.
E. Gejala Klinis
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini
berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah
terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga
pembentukan lendir semakin banyak1.
Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket. Infeksi
berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan1,10:
1. Tahap Kataral
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi, ciri-
cirinya menyerupai flu ringan :
Bersin-bersin
Mata berair
Nafsu makan berkurang
Lesu
Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi sepanjang
hari)
2. Tahap Paroksismal
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) 5-15 kali
batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi. Batuk bisa disertai
pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau
tampak sebagai gelembung udara di hidungnya).
Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah. Serangan
batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat sementara. Pada bayi,
apnea (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi dibandingkan dengan tarikan
nafas yang bernada tinggi.
3. Tahap Konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk semakin
berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk
terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan.
F. Diagnosis
1. Anamnesis
pertusis lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit dahulu, dan
riwayat imunisasi.
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat
pasien diperiksa.
3. Pemeriksaan laboratorium
G. Penatalaksanaan
1. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC.
181: 960-965.
5. Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious
Diseases, 6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill Livingstone,
Philadelphia. p.2701. Diakses dari, http://www.uptodate.com/contents/microbiology-
pathogenesis-and-epidemiology-of-bordetella-pertussis-infection#H3.
6. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses dari
http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.
7. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine.
Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.
8. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak
FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2.
h: 564-566.
9. Tejpratap Tiwari. (2005). Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and
Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm
10. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2006). Preventing tetanus, diphtheria,
and pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and
acellular pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep. 55(RR-17):1-33. Diakses 30
Januari 2012 dari
https://online.epocrates.com/u/2951682/Pertussis/FollowUp/Overview.
11. Update: Vaccine Side Effects, Adverse Reactions, Contraindications, and Precautions
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00046738.htm