Anda di halaman 1dari 19

REFLEKSI KASUS

SHORT CASE

ANAK DENGAN PERTUSIS

Diajukan untuk memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan melengkapi salah satu syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Di RSUD dr. H. Soewondo Kendal

Pembimbing:
dr. Dewi Laksmi, Sp.A, M.Kes

Disusun oleh :
Nafiatul Aliah
30101407262

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2019
BAB I
CATATAN MEDIK

IDENTITAS
Pasien
• Nama Penderita : An. MR
• Umur : 12 bulan
• Jenis Kelamin : Laki-laki
• Alamat : Patebon
• Tanggal lahir : 10/04/2018
• No. R : 576xxx
• Tanggal masuk RS : 22/04/2019

Wali
• Nama Ayah : Tn. N
• Umur : 30 tahun
• Pendidikan : SMP
• Agama : Islam
• Pekerjaan : Penjaga Toko
• Alamat : Patebon
Wali
• Nama Ibu : Ny. S
• Umur : 23 tahun
• Pendidikan : SD
• Agama : Islam
• Pekerjaan : IRT
• Alamat : Patebon
A. DATA DASAR
Alloanamnesis dengan ibu pasien dilakukan pada tanggal 22 April 2019 pukul 11.00
WIB di Poliklinik Anak RSUD dr. H. Soewondo Kendal.

Keluhan Utama : Batuk terus menerus


Keluhan tambahan : Berat badan tidak naik
Riwayat Penyakit Sekarang
 2 minggu sebelum masuk rumah sakit :
 Batuk (+)
Batuk tidak berdahak, batuk hanya dialami beberapa kali, batuk tidak dipicu oleh
dingin, debu, batuk memburuk jika malam hari.
 Pilek
Keluar cairan dari hidung jernih, pasien juga terkadang bersin
 Demam (+)
Pasien mengalami demam selama kurang lebih 4 hari, demam naik turun, dan
demam hilang saat ibu memberikan obat penurun panas pada pasien.
 Nafsu makan menurun (+)
Semenjak sakit, nafsu makan menjadi berkurang. Menurut keterangan ibunya, pasien
menjadi susah makan dan berat badan pasien tidak mengalami peningkatan sejak 1
bulan terakhir.
 2 hari sebelum masuk rumah sakit

 Batuk semakin memberat,batuk berulang dan lama berhentinya , dalam sehari


pasien bisa batuk hingga lebih dari 10 kali, dengan lama batuk mencapai 30
detik, batuk terdengar sangat keras, sebelum batuk pasien menarik napas
dengan cepat , batuk lebih sering saat malam hari, kadang-kadang keluar
dahak, dahak yang keluar warna putih, darah (-) saat batuk muka pasien
menjadi merah tetapi tidak sampai menjadi biru, mata menonjol, lidah
menjulur dan meneteskan air liur
 Nafsu makan berkurang (+)
 Pilek (+)
 Demam (+)
 Muntah (+)
 Hari masuk rumah sakit

 Batuk berdahak (+)

Batuk semakin memberat,batuk berulang dan lama berhentinya , dalam sehari


pasien bisa batuk hingga lebih dari 10 kali, dengan lama batuk mencapai 30
detik, batuk terdengar sangat keras, sebelum batuk pasien menarik napas
dengan cepat , batuk lebih sering saat malam hari, kadang-kadang keluar
dahak, dahak yang keluar warna putih, darah (-) saat batuk muka pasien
menjadi merah tetapi tidak sampai menjadi biru, mata menonjol, lidah
menjulur dan meneteskan air liur

 Nafsu makan berkurang (+)


 Pilek (+)
 Demam (+)
 Muntah (+)
 RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
- Anak tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya
Penyakit lain yang pernah diderita anak
Flek/ TB : disangkal
Pneumonia : disangkal
Asma : disangkal
Reaksi obat/ alergi : disangkal

 RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Keluarga tidak ada yang sakit seperti ini.
Keluarga tidak ada yang memiliki riwayat pengobatan batuk selama 6 bulan

 RIWAYAT SOSIAL EKONOMI


Ayah pegawai toko dan Ibu IRT. Berobat dengan biaya BPJS

B. DATA KHUSUS
1. Riwayat Persalinan dan Kehamilan
Anak laki-laki lahir dari ibu P1A0 hamil 38 minggu, antenatal care teratur di bidan,
tidak ada penyakit selama kehamilan, tidak ada riwayat konsumsi obat atau jamu
selama hamil,lahir secara spontan ditolong di bidan, berat badan lahir sekitar 3800
gram, panjang badan lahir 49cm, lingkar kepala dan dada saat lahir ibu lupa, anak
lahir langsung menangis, tidak kebiruan.
Kesan : bayi aterm

2. Riwayat Pemeliharaan Prenatal


Ibu pasien memeriksakan kehamilannya kebidan, rutin setiap bulan
Sakit selama hamil (-), demam (-), kuning (-), keputihan (-), perut tegang (-), BAK sakit
dan anyang-anyangan (-), kencing manis (-), dan darah tinggi (-).
Kesan : kehamilan normal

3. Riwayat Pemeliharaan Postnatal


Pemeliharaan postnatal dilakukan di bidan setelah beberapa saat pasien lahir, tidak
ada kelainan pada anak.
Kesan : Pemeliharaan postnatal baik

4. Riwayat Makan – Minum


ASI diberikan sejak lahir sampai usia sekarang.
Sejak usia 6 bulan diberikan ASI + makanan pendamping ASI berupa nasi yang
dilembekkan dan sayur yang dihancurkan, buah-buahan yang dihaluskan (tetapi jarang).
Frekuensi pemberian makanan 3-4x /hari.
Sejak usia 8 bulan diberikan ASI + makanan pendamping ASI berupa nasi yang
dilembekkan, sayur yang dihancurkan, ayam yang di hancurkan, buah-buahan yang
dihaluskan (tetapi jarang). Frekuensi pemberian makanan 3-4x /hari.
Kesan: Kualitas dan kuantitas cukup.

5. Riwayat Imunisasi Dasar


Vaksin Umur
0 bulan 1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 9 bulan
BCG √
DPT √ √ Tidak dilakukan
Polio √ √ √ Tidak dilakukan
Campak √
Hepatitis B √ √ √ Tidak dilakukan
Hib √ √ Tidak dilakukan
Kesan imunisasi dasar: Tidak lengkap

C. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


- Pertumbuhan gigi pertama : 6 bulan
- Gangguan perkembangan mental : Tidak ada
- Psikomotor :
Senyum : 2 bulan
Miring : 3 bulan
Tengkurap : 5 bulan
Duduk : 8 bulan
Berdiri berpegangan : 9 bulan
Berjalan : Anak belum dapat berjalan
Saat ini anak perempuan berusia 12bulan, BB 8,2 kg dan PB 75 cm, anak cukup aktif
dan mau bila diajak bersosialisasi di lingkungan rumahnya.
Kesan : Pertumbuhan sesuai usia, perkembangan sesuai usia.

Pemeriksaan Status Gizi (Z score):


Diketahui:
Umur : 12 bulan
BB : 8,2 kg
PB : 75 cm
WAZ = BB - Median = 8,2 – 9.6 = - 1.4 (Gizi Baik)
SD 9.6-8.6

HAZ = PB – Median = 75 – 75.7 = -0.7 SD (Normal)


SD 75.7 – 73.4
D. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 22 April 2019 jam 11.30 WIB
KeadaanUmum : Baik
Kesadaran : Composmentis
 Umur : 12 bulan
 Berat badan : 8,2 kg
 Panjang badan : 75 cm
 Suhu badan : 37,0ºC (axilla)
 Nadi :122 kali/menit, irama regular, isi dan tegangan cukup, teraba kuat
 Frekuensi nafas: 40 kali/menit

Status Internus
Kepala : normocephale
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut.
Kulit : petekie (-), sianosis (-), turgor kembali cepat.
Mata : oedem palpebra (-/-), sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis ( -/- ),
mata cekung (-), mata merah (+/+), perdarahan sub konjungtiva (-/-)
Hidung : epistaksis(-/-), nafas cuping hidung (-/-), sekret (+/+)
Telinga: discharge (-/-), nyeri (-/-)
Mulut : bibir kering(-), bibir sianosis (-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-)
Leher : simetris, pembesaran kelenjar getah bening (-)
Tenggorok : faring hiperemis (-), tonsil T1-T1

Thorax
Paru-paru:
 Inspeksi : Hemithorax dextra sama dengan sinistra
 Palpasi : Strem fremitus dextra dan sinistra simetris
 Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
 Auskultasi : Suara Dasar Vesikuler, Wheezing (-/-),Ronkhi (+/+)

Jantung:
 Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
 Perkusi : tidak dilakukan
 Auskultasi : BJ I-II normal regular, bising (-)

Abdomen
Inspeksi : datar tak tampak gerak peristaltik
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : nyeri tekan (-), supel, hepar dan lien tidak teraba pembesaran
Alat kelamin : perempuan, tidak ada kelainan

Ekstremitas : Atas (ka/ki) Bawah (ka/ki)


 Capilary refill : < 2” < 2”
 Akraldingin : -/- -/-

 Sianosis : -/- -/-

Pemeriksaan Neurologis
 Motorik : Koordinasi baik, kekuatan 5/5
 Sensorik : sensorik baik
 Reflek Fisiologis : +/+
Reflek Patologis :
 R. Babinsky :(-/-)
 R. Chaddock :(-/-)
 R. Oppeinheim :(-/-)
Meningeal Sign :
 Kaku kuduk :(-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
-

E. ASSESMENT
Diagnosis Banding
1. Pertusis
2. Pneumonia
3. Benda Asing
4. TBC
Diagnosis kerja
1. Pertusis
Penatalaksanaan :
a. IpDx
Darah Rutin
Kultur bakteri sekret nasofaring
ELISAIgA,IgG,IgM
X-Foto Thorax

b. IpTx
Medikamentosa :
• Eritromycin syr 200mg/5cc fl No 1 S4dd ½ cth p.c

• Paracetamol 120mg/5cc fl No 1 s3dd 1 cth p.r.n demam

• Elkana syrup 1 x 1

c. IpMx
 Monitoring lama batuk, perubahan warna kulit, keadaan umum saat dan
setelah batuk, kemungkinan lain seperti henti napas

 Monitoring pengobatan

 Monitoring berat badan

d. IpEx
 Pentingnya sirkulasi udara yang baik
 Edukasi tanda bahaya pertusis dan kapan harus membawa ke rumah sakit
 Edukasi untuk tidak memberikan minum atau apapun saat bayi sedang batuk, dan
memposisikan bayi dengan benar.
 Edukasi pentingnya pemberian vaksin

Prognosis
 Ad vitam : Dubia ad bonam
 Ad Functionam : Dubia ad bonam
 Ad Sanationam : Dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pertusis

A. Definisi
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough,
dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah
pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai dari batuk rejan (whooping
cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (whoop artinya
berteriak). Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan
penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti
anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun1,2,3.

B. Angka Kejadian
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60 juta
kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal. Selama masa pra-vaksin
tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular pada
anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah
bayi kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun1,2,3,5,6.
C. Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis,
adenovirus tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus
gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella pertusis ini mengakibatkan suatu
bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak–anak kecil yang ditandai dengan batuk
paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang ” batuk rejan”.1,3
Bordetellah pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil kecil dan tidak
membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak bergerak. Bisa
didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis dan kemudian ditanam
pada agar media Bordet – Gengou1. Ada enam spesies dari Bordetella yaitu B. parapertussis,
B. bronchiseptica, B. avium, B. hinzii, B. holmesii, dan B. trematum. B. pertusis dan B.
parapertussis adalah dua patogen yang paling umum ditemukan pada manusia 8.
Hanya Bordetella Pertusis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen
yang utama. Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen klabil panas. Dari 14
aglutinogen, 6 adalah spesifik untuk B.pertusis serotip bervariasi secara geografis dan sesuai
waktu1.
B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak sarinya
dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca penambahan
aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan FIM3),
dan protein permukaan nonfimbria 69-kd yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk
perlekatan terhadap sel sel epitel bersilia saluran pernapasan1.
Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat pembersihan
organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat siklase diterima secara
dominan menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala pernafasan dan
mempermudah penyerapan TP1.
TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas histamine,
sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik
penyakit. TP menyebabkan limfositosis segera pada binatang percobaan dangan
pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tanpa memainkan peran sentral
tetapi bukan peran tunggal dalam pathogenesis1.

D. Patogenenis
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian
melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella
pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme
pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik1,9.
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/
Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada
silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi dan menyebar
ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis
tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan
toksin yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan whooping cough1,9.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis
toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya
berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A yang aktif pada
daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag
ke daerah infeksi1,9.
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis
protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel
target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine
dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga
akan menurunkan konsentrasi gula darah1,9.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia
sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh
Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir
akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru1,9.
Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi pada saat
ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai
kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder
sebagai akibat anoksia1.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel
mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik
terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi
yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis1.

E. Gejala Klinis
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini
berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah
terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga
pembentukan lendir semakin banyak1.
Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket. Infeksi
berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan1,10:
1. Tahap Kataral
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi, ciri-
cirinya menyerupai flu ringan :
 Bersin-bersin
 Mata berair
 Nafsu makan berkurang
 Lesu
 Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi sepanjang
hari)
2. Tahap Paroksismal
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) 5-15 kali
batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi. Batuk bisa disertai
pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau
tampak sebagai gelembung udara di hidungnya).
Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah. Serangan
batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat sementara. Pada bayi,
apnea (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi dibandingkan dengan tarikan
nafas yang bernada tinggi.
3. Tahap Konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk semakin
berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk
terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan.

F. Diagnosis
1. Anamnesis

Dalam   anamnesis   ditanyakan   identitas,   keluhan   utama   serta   gejala   klinis

pertusis   lainnya,   faktor   resiko,   riwayat   keluarga,   riwayat   penyakit   dahulu,   dan

riwayat imunisasi.

2. Pemeriksaan fisik

Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat
pasien diperiksa.
3. Pemeriksaan laboratorium 

Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 20,000-50,000 / UI


dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium
paroksismal.3,10.
Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis
pertussis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94%
pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya1,3,10.
Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menetukan
adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk
menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai serum IgM FHA dan
PT menggambarkan respon imun primer baik disebabakan penyakit atau vaksinasi.
IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk
mengetahui infeksi dan tidak tampak setelah pertussis10.
4. Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler,


atelektasis atau emfisema.
Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis, pneumonia
bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang menyebabkan limfadenopati
dengan penekanan diluar trakea dan bronkus.
Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium. Benda
asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejalanya mendadak dan
dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologi dan endoskopi. Infeksi B. parapertussis, B.
bronkiseptika, dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis B.pertussis, dapat dibedakan
dengan isolasi kuman penyebab1.

G. Penatalaksanaan

Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati keparahan


batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan penyembuhan
tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk menilai kemajuan penyakit
dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada puncak penyakit, mencegah atau
mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada
perawatan yang akan diberikan di rumah.11.
Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor terus, pada
keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan oleh personel
perawat kesehatan. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian makan, muntah,
dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian keparahan. Paroksismal khas yang
tidak membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut lamanya kurang dari 45 detik,
perubahan warna merah tetapi tidak biru, bradikardi, atau desaturasi oksigen yang secara
spontan selesai pada akhir paroksismal, berteriak atau kekuatan untuk menyelamatkan diri
pada akhir paroksismal, mengeluarkan sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi
bukan tidak berespons1,11.
Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktor-faktor
yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat diberikan
pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada bayi dengan
pneumonia dan distres pernapasan. agen terapeutik atau medikamentonsa yang digunakan
pada pasien pertussis adalah sebagai berikut1,11 :
Agen Antimikroba

Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau diperkuat


karena kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran infeksi. Eritromisin,
12.5 mg/kg/kali, secara oral empat kali sehari selama 14 hari merupakan pengobatan
baku. Pada penelitian klinis, eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin untuk
pelenyapan B. pertussis dan merupakan satu-satunya agen dengan kemanjuran yang
terbukti.
H. Pencegahan
1. Imunisasi aktif :
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang
dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertussis,
difteria dan tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat,
imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu.
Anak-anak berumur > 7 tahun tidak rutin diimunisasi1,11.
Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama adolesens
infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai sumber infeksi
B. pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah
dipakai untuk mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar.
Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum seperti
eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi panas,
mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati,
anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam dapat dikurangi dengan pemberian
asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk
selama 48-72 jam1,11.
Imunisasi pertama pertussis ditunda jika penyakit panas, kelainan neurologis
yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang.
2. Kontak dengan penderita :
Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir dan
ibu-ibu dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral
selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan imunisasi
juga diberikan eritromisin profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi
penyebaran infeksi eliminasi B. pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi
gejala-gejala penyakit1,11.
Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum mendapat
imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak
diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin diberikan sampai
batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis
monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi epidemi1,11.
I. Komplikasi
1. Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat1,11.
2. Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada 90% kematian pada anak-anak B.
pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder (H.influenzae,
S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes)1,11.
3. TBC laten dapat juga menjadi aktif.
4. Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan lendir yang kental.
Aspirasi lendir atau muntah dapat menimbulkan pneumonia.
5. Panas tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria.
6. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema
interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan menetap.
7. Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia.
8. Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat menyebabkan
perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan intrakranial,
ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan
gangguan nutrisi1,11.
9. Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral
(asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang dapat disebabkan
oleh temperatur tinggi1,10.
10. Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap Syndrome of
Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH)10.
J. Prognosis
Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus. Rasio
kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di USA. Persentase
rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua). Tingkat berkembangnya menjadi
pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah tulang rusuk sampai 4 %. Kebanyakan
kematian disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain1.
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC.
181: 960-965.

2. Law Barbara J. (1998). Pertussis. Kendig’s : Disorders of Respiratory Tract in


Children. WB Saunders. 6th edition. Philadelphia, USA. Chapter 62. h :1018-1023.

3. Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of anti-infective


therapy 8 (2): 163–73.

4. Black S. (1997). Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Diakses 23


Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9109162.

5. Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious
Diseases, 6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill Livingstone,
Philadelphia. p.2701. Diakses dari, http://www.uptodate.com/contents/microbiology-
pathogenesis-and-epidemiology-of-bordetella-pertussis-infection#H3.

6. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses dari
http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.
7. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine.
Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.

8. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak
FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2.
h: 564-566.

9. Tejpratap Tiwari. (2005). Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and
Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm

10. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2006). Preventing tetanus, diphtheria,
and pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and
acellular pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep. 55(RR-17):1-33. Diakses 30
Januari 2012 dari
https://online.epocrates.com/u/2951682/Pertussis/FollowUp/Overview.

11. Update: Vaccine Side Effects, Adverse Reactions, Contraindications, and Precautions
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00046738.htm

Anda mungkin juga menyukai