Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Temperatur
Temperatur inti manusia normal dipertahankan antara 36,5°C sampai
37,5°C pada suhu lingkungan dan dipengaruhi respon fisiologis tubuh. Pada
keadaan homeotermik, sistem termoregulasi diatur untuk mempertahankan
temperatur tubuh internal dalam batas fisiologis dan metabolisme normal.
Tindakan anestesi dapat menghilangkan mekanisme adaptasi dan berpotensi
menggangu mekanisme fisiologis fungsi termoregulasi. Fungsi termoregulasi
diatur oleh sistem kontrol fisiologis yang terdiri dari termoreseptor sentral
dan perifer yang terintegrasi pada pengendali dan sistem respon eferen. Input
internal aferen datang dari reseptor panas dan dingin baik itu di sentral atau di
perifer. Hipotalamus juga mengatur tonus otot pembuluh darah kutaneus,
menggigil dan termogenesis tanpa menggigil yang terjadi bila ada
peningkatan produksi panas (Miller RD, 2010; Guyton & Hall, 2006; Kurz,
2008).

B. Hipotermia Perioperatif
1. Definisi
Hipotermia perioperatif yaitu suhu tubuh dibawah 35O C selama
periode perioperatif. Hipotermi adalah keadaan klinis suhu tubuh
abnormal dimana produksi panas tidak cukup untuk menyediakan energi
untuk tubuh. Didefinisikan sebagai suhu tubuh < 36 ˚C, seringkali terjadi
selama anestesi dan pembedahan. Dibawah suhu ini, shivering dan
respon otonom tidak mampu berkompensasi secara komplit tanpa
bantuan penghangatan (Stoelting, Hillier, 2006; Miller, 2010).
2. Etiologi
a. Riwayat hipotermi sebelumnya
b. Penurunan metabolisme panas karena agen anestesia
c. Meningkatnya proses kehilangan panas ke lingkungan (radiasi,
konduksi, konveksi, evaporasi)
d. Infus PRC atau cairan intra vena lain dalam keadaan dingin.

3. Patofisiologi
Di kamar operasi, udara ruangan yang dingin, cairan dan paparan
terhadap penderita merupakan kausa mayor hipotermia. Satu unit darah
didinginkan atau 1 liter cairan kristaloid dengan suhu ruangan akan
mengurangi suhu tubuh sebanyak 0.25 ˚C. Kehilangan panas dari kulit
adalah sebanyak 90% dari seluruh kehilangan panas intraoperatif. Fase I
adalah saat suhu tubuh turun pertama kali selama anestesia umum,
terjadi pada jam pertama. Redistribusi panas dari kompartemen sentral
15 yang hangat (abdomen, thorak) ke jaringan perifer yang lebih dingin
(lengan dan kaki) disebabkan oleh vasodilatasi akibat anestesi
menyebabkan penurunan suhu awal. Selama fase ini, kehilangan panas
hanya sedikit berperan dalam penurunan suhu tubuh. Fase II, gradual
selama 3 – 4 jam berikutnya, sampai terjadi titik equilibrium (fase III).
Kehilangan panas yang kontinyu bertanggung jawab terhadap penurunan
suhu tubuh berikutnya yang terjadi lebih lambat. Begitu tercapai keadaan
equilibrium, kehilangan panas akan sesuai dengan produksi panas
sehingga tidak terjadi perubahan suhu tubuh (Stoelting, Hillier, 2006;
Miller, 2010).
Pasien tua, infant, pasien dengan penurunan fungsi kontrol otonom
vaskular, pasien luka bakar, pasien dengan lesi hipotalamus dan injuri
spinal cord dengan disfungsi otonom adalah yang beresiko terhadap
hipotermia. Abnormalitas endokrin seperti hipotiroid juga meningkatkan
resiko. Yang harus diperhatikan, basal metabolic rate akan berkurang 1%
setelah usia 30 tahun. Anestesi menghambat termoregulasi sentral suhu
tubuh inti nomal dan shivering. Agen inhalasi menyebabkan vsodilatasi
sehingga meningkatkan kehilangan panas. Selain itu, agen ini juga
mempengaruhi hipotalamus dan peran termoregulasi. Contohnya
isoflurane, akan menurunkan treshold respon vasokonstriksi secara dose
dependent (3˚C untuk setiap 1% isoflurane). Opioid memiliki efek
simpatolitik sehingga mencegah mekanisme vasokonstriksi. Barbiturate
juga menyebabkan vasodilatasi perifer. Pelumpuh otot mencegah
termogenesis shivering dengan mengurangi tonus otot. Anestesi regional
menimbulkan blok simpatis, relaksasi otot, dan memblok sensoris 16
termoreseptor, mencegah timbulnya respon yang sesuai. Anestesi spinal
dan epidural menimbulkan vasodilatasi sehingga terjadi redistribusi
panas (fase I), menimbulkan hipotermi. Pada efek sentral, regional
anestesi tampaknya mempengaruhi persepsi suhu oleh hipotalamus pada
dermatome yang terblok, sehingga meningkatkan rentangan
intertreshold. Nonshivering thermogenesis terjadi pada lemak coklat,
jaringan berenergi tinggi yang mampu memproduksi panas dengan cepat
(orang dewasa tidak memiliki lemak coklat) (Stoelting, Hillier, 2006;
Miller, 2010).

4. Manifestasi Klinis
a. Suhu tubuh lebih rendah dari normal
b. Menggigil atau pasien terbangun
c. Vasokonstriksi kutaneus, piloereksi
d. Penurunan kesadaran
e. Jika hipotermi berat (suhu < 300 C)
(Menurunkan kontraksi miokard, meningkatkan iritabilitas ventrikel,
meningkatkan SVR, henti jantung (biasanya VF atau asistole),
kelistrikan EEG silent (jika < 180C), meningkatkan viskositas darah,
koagulasi darah abnormal)
5. Kondisi Spesifik pada Perioperatif
a. Suhu kamar operasi yang dingin
b. Tubuh klien terpapar dingin yang signifikan
c. Menggunakan cairan dingin
d. Solution preparasi untuk kulit yang berlebih
e. Irigasi cairan yang banyak selama operasi
f. Resusitasi dengan cairan dan darah
g. Ventilasi paru dengan gas kering dan dingin melalui ETT
h. Rongga abdomen dan thorax yang dibuka
i. Kehilangan sejumlah panas dengan evaporasi
j. Selama operasi pediatrik (tingginya rasio permukaan luas tubuh
dengan berat badan)
k. Kontrak langsung antara pasien dengan meja operasi pada operasi
dalam jangka lama
l. Kasus trauma
m. Terpapar lingkungan/ kasus tenggelam

6. Pencegahan
a. Meningkatkan suhu OK minimal 210 C
b. Alat penghangat udara
c. Penghangat di meja operasi
d. Air pemanas sirkulasi melalui pad hydrogel yang dipasang di
punggung
e. Menutup area pasien yang terekspose bila memungkinkan termasuk
kepala yang memiliki luas 18% dari keseluruhan tubuh
f. Menghangatkan cairan IV, produk darah, cairan irigasi
g. Menggunakan aktif atau pasif breathing sirkuit dengan pelembab
udara
h. Meminimalkan organ dalam terpapar udara
i. Menggunakan selimut dan meminimalkan kehilangan panas secara
konveksi dan radiasi
j. Menggunakan lampu penghangat untuk bayi dan neonatus selama
preparasi anestesi dan operasi

7. Manajemen Hipotermia Perioperatif


a. Aktivasi emergency
Kenali kondisi yang mengancam jiwa, panggil bantuan,
komunikasikan permasalahan, delegasikan tugas.
b. Primary management (Survei Primer dan Resusitasi)
 Pastikan patensi jalan napas
 Evaluasi pernapasan, support ventilasi dan oksigenasi jika
diperlukan
 Evaluasi sirkulasi, support sirkulasi berikan loading cairan,
inotropik dan vasoprosessor jika diperlukan.
c. Secondary management
 Lanjutan resusitasi dan tentukan kemungkinan penyebab
 Lakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh, riwayat
perioperatif, catatan intra operatif
 Periksa suhu tubuh pasien secara kontinyu
 Periksa penurunan panas tubuh karena faktor lingkungan (suhu
ruangan, suhu cairan infus dan produk darah, ekspossure yang
berlebih pasien ke lingkungan)
d. Terapi sesuai penyebab
 Naikkan temperatur ruangan hingga 210C
 Hangatkan cairan infus, produk darah dan cairan irigasi
 Meminimalkan ekspossure viscera ke udara atau lingkungan
 Gunakan vorce air warming device
 Warming blanket
 Berikan selimut dan kurangi kontak tubuh dengan lingkungan
yang dingin
 Lampu penghangat terutama untuk bayi
 Heated humidification gas anestesia
 Gunakan closed / flow semiclosed sirkuit anestesia

8. Komplikasi
Monitoring dan evaluasi yang tepat terhadap risiko komlikasi lanjutan:
a. Komplikasi kardiak : Iskhemik miokard, aritmia, dan henti jantung
 Mild hipotermia (32-350C): depresi CNS, takikardia, shivering,
vasokontriksi perifer
 Moderate hipotermia (27-320C): depresi CNS lebih lanjut,
aritmia (perpanjangan PR interval, komleks QRS melebar,
interval QT memanjang)
 Severe (>280C): blok atrioventrikular, ventrikel takikardi,
ventrikel fibrilasi, asistole
b. Peningkatan kehilangan darah / koagulopati
c. Instabilitas hemodenamik saat rewarming
d. Shivering dan peningkatan konsumsi O2
e. Recovery anestesia yang lebih lama akibat pengaruh metabolisme
obat
f. Peningkatan infeksi paska pembedahan

C. Hipertermi Maligna
1. Definisi
Hipertermi maligna merupakan suatu keadaan hipermetabolis
yang dapat dipicu oleh anestesi pada individu-individu yang rentan
secara genetik. Hipertermia maligna dikenal sebagai suatu kondisi yang
terjadi setelah pembiusan pada saat operasi yang ditandai dengan
peningkatan suhu secara ekstrim. Namun, sebenarnya hipertermia
maligna merupakan kondisi terjadinya hiperkontraktur otot yang tanda
awalnya berupa kekakuan atau rigiditas otot. Peningkatan suhu justru
merupakan tanda yang muncul di akhir. Hipertermia maligna dapat
terjadi pada individu yang mendapatkan paparan pertama kali terhadap
agen anestesi inhalasi, kondisi tersebut tidaklah khas akibat pembiusan
semata melainkan juga beberapa penyebab lainnya. Kejadian hipertermi
maligna biasanya lebih sering pada laki laki daripada wanita (2 : 1).
Penatalaksanaan pada hipertermi maligna secara hati-hati dapat
menangani secara adekuat dan sukses. Jika diabaikan, tidak terdiagnosa,
atau salah penanganan, hipertermi malignan dapat mengarah
kekonsekuensi yang membahayakan.

2. Etiologi
a. Anastesi Inhalasi
Semua jenis dari anastesi inhalasi dapat memicu hipertermi
maligna, keadaan tersebut tidak bergantung pada dosis dan lama
pemberian. Dalam beberapa kasus dilaporkan ether dan kloroform
memicu terjadinya seranga maligna hipertemi intra anastesi. Bagi
penyandang maligna hipertensi dianggap pemberian obat anastesi
intravena cenderung lebih aman demikian pula dengan obat – obatan
anastesi lokal.
b. Obat Anestesi Intravena
Ada kekhawatiran terhadap kemampuan ketamin untuk
menginduksi respon hipertermi maligna, namun takikardia dan
hipertensi yang diamati pada babi dan manusia mungkin merupakan
hasil dari respon simpatomimetik biasa. Memang, ada bukti bahwa
ketamin justru akan mengurangi Ca2 + rilis pada otot rangka. Saat
ini sudah ada pengalaman yang luas dari penggunaan secara aman
dan lebih umum dengan obat anestesi intravena pada pasien yang
diketahui rentan terhadap hipertermi maligna. Ini termasuk tiga agen
yang paling umum digunakan dalam praktek klinis saat ini yaitu,
thiopental, etomidate dan propofol.
c. Obat Anestesi Lokal
Anestesi lokal golongan Ester khususnya prokain, membentuk
bagian dari rejimen pengobatan terbatas untuk reaksi hipertermi
maligna sebelum pengenalan dantrolene. Anestesi lokal memiliki
beberapa keberhasilan dalam maligna hipertermi yaitu kemampuan
untuk mengurangi pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma
otot skelet. Hal ini memungkinkan juga bahwa injeksi langsung
ester anestesi lokal ke dalam otot myotonic dapat meringankan
myotonia. Di sisi lain percobaan awal dengan lidokain, obat anestesi
lokal amida menunjukkan bahwa induksi secara in vitro akan
menimbulkan kontraktur di otot skelet. Hal ini menyebabkan
anestesi lokal amida menjadi kontraindikasi pada individu rentan
sebagai potensi obat pemicu.

3. Patofisiologi
Kerusakan yang merupakan etiologi yang bertanggung jawab untuk
hipertermi maligna belum dapat dikenali. Beberapa hipotesis telah
diajukan. Salah satunya hipotesis yang berhubungan dengan pelepasan
kalsium dari sisterna terminal Reticulum Sarcoplasma. Pintu ini juga
disebut reseptor ryanodine (dinamakan setelah penemuan dari racun otot
poten pada abad ke-19). Louis dan Mickelson telah menemukan afinitas
yang lebih besar secara in vitro untuk ryanodine oleh Reticulum
Sarcoplasma manusia yang rentan terhadap hipertermi maligna dari
pada Reticulum Sarcoplasma manusia normal. Temuan ini dihubungkan
dengan mutasi pengkodean gen untuk pintu kalsium ini. Organ target
pada hipertermi maligna adalah otot rangka; gangguan metabolik yang
terjadi merupakan gangguan akibat terganggunya pelepasan kalsium dari
Reticulum Sarcoplasma.
Patogenesis dari hipertermi maligna meliputi uptake dan
penyimpanan kalsium intraseluler. Kerusakan utama terletak pada
ketidak mampuan Reticulum Sarcoplasma untuk menyimpan kalsium.
Ini dibuktikan dengan peningkatan kalsium bebas pada mioplasma. Pada
++
keadaan istirahat kadar kalsium (Ca ) 3-4 kali dari normal; memicu
suatu episode hipertermi maligna meningkatkan kalsium intraseluluer
sebanyak 17 kali. Mekanisme lain yang bisa memberi kontribusi
terhadap peningkatan kalsium intraseluler adalah kenaikan konsentrasi
inositol polifosfat. Halotan meningkatkan konsentrasi ini pada
hipertermi maligna dan dantrolene menurunkannnya. Hiperkalemi adalah
penyebab utama kematian pada episode awal hipertermi maligna. Akan
tetapi, aritmia jantung yang diamati pada sindrom ini tidak spesifik.
Beberapa faktor memberi kontribusi terhadap terjadinya aritmia jantung
: hiperkalemi, demam, asidosis, hipeksemia, dan hiperaktivitas otonom.
Juga mungkin bahwa sindrome tersebut secara langsung mempengaruhi
otot jantung. Calsium channel blocker berakibat fatal, menyebabkan
peningkatan kadar serum potasium dan dikontraindikasikan untuk terapi
hipertemi maligna. Dengan pengobatan yang adekuat pada hipertermi
maligna dengan dantrolene, kelainan-kelainan elektrolit ini akan
dikembalikan secara spontan. Jaringan-jaringan lain selain otot
menunjukkan kerusakan-kerusakan yang bervariasi. Mickelson dan
Louis baru-baru ini telah mengulas kembali data-data ini.
Ada masalah lain. Yaitu penurunan bersihan kalsium yang
terionisasi dari sarcolema, penurunan ini dikarenakan penurunan
aktivitas ATPase pada membran Reticulum Sarcoplasma. Kenaikan
kadar kalsium mioplasmik yang terionisasi menyebabkan :
a. Aktivasi adenosine triphosphatase (ATPase), yang mempercepat
hidrolisis dari ATP menjadi adenosine diphosphat;
b. Inhibisi dari troponin, yang pada akhirnya mengarah ke kontraksi
otot; dan
c. Aktivasi dari phosphoryelase kinase dan glikogenolisis, yang
menghasilkan produksi dari ATP dan panas. Desaturasi oksigen
vena dan kelebihan CO2 dan asidosis laktat merupakan hasil dari
hipermetabolisme seluler. Kadar kalsium bebas terionisasi
intraseluler yang tinggi memasuki mitokondria, dimana akan
menstimulasi aktivas oksidasi ekso-NADH yang sebagai tambahan
terhadap kebutuhan metabolik.
4. Maninfestasi
Tanda-tanda dan gejala-gejala dari Hipertermi maligna

Kurang spesifik untuk


Spesifik untuk Hipertermi maligna
Hipertermi maligna
Kekakuan otot menyeluruh Takikardi
Peningkatan CO2 secara cepat Takipneu
Pengembangan demam secara cepat
Hipertensi atau hipotensi
(tanda akhir)
Urine berwarna seperti cola, peningkatan
kadar kreatinin kinase (biasanya terlihat Sianosis
setelah pembedahan)

5. Penatalaksanaan
Beberapa langkah yang perlu diambil secara simultan :
a. Hentikan zat anastesi inhalasi
b. Minta pertolongan
c. Naikkan ventilasi semenit untuk menurunkan ETCO2
d. Berikan dantrolen sodium, dengan dosis inisial 2,5 mg / Kg BB
e. Mulai dinginkan pasien sampai 38,5 0C lalu stop
f. Atasi aritmia dengan algoritma, jangan gunakan Ca chanel bloker
g. Periksa gula darah, elektrolit, CK, darah, dan urin
h. Hiperkalemia diatasi dengan hiperventilasi, insulin, dan glukosa
i. Periksa koagulasi lengkap setiap 6 – 12 jam. DIC dapat teradi jika
suhu melampaui 41 0 C
j. Terapi setelah krisis teratasi :
k. Lanjutkan pemberian dantrolen 1 mg / KgBB setiap 4 – 8 jam.
Pemberian diberikan selama 24 – 48 jam. Hal ini ditujukan untuk
mencegah timbulnya serangan lagi.
l. Usahakan produksi urin 2 ml / Kg / jam. Bila perlu dengan bantua
manitol atau furosemide dengan pemberian cairan yang apropiat
m. Evaluasi diperlukannya pemantauan invasif dan ventilator mekanik
n. Observasi di ICU hingga 36 jam
o. Rekomendasikan pasien dan keluarga untuk menjalani tes
kontraktur dan / atau dengan pemeriksaan kromosom

6. Komplikasi
Jika seorang pasien selamat, komplikasi-komplikasi lain yang dapat
terjadi, termasuk hemolisis, mioglobinemia, dan mioglobinuria, yang
akhirnya menyebabkan gagal ginjal. Disseminated intravascular
coagulation dapat terjadi; terapi dantrolene yang secepatnya dapat
mencegah komplilkasi ini. Penyebab kematian ini bervariasi. Pada
beberapa jam pertama, kematian mungkin disebabkan oleh fibrilasi
ventrikel. Kematian beberapa jam setelah permulaan episode Hipertermi
maligna atau setelah resussitasi yang panjang dapat disebabkan oleh
edema paru, koagulopati, atau gangguan keseimbangan asam-basa atau
elektrolit. Jika kematian terjadi beberapa hari setelah episode hipertermi
maligna, kematian lebih mungkin disebabkan oleh kegagalan multiple
organ, kerusakan otak, atau dekompensasi ginjal. Tanda-tanda dan
gejala-gejala dalam klinis sebagai bukti klinis awal dari sindrom ini
adalah takikardi dan takipneu, dan pengawasan ETCO2 sangat penting.
Pada keadaan hipermetabolik, kadar ETCO2 tinggi, khususnya selama
MH. Pada kondisi ini, menjadi sangat sulit untuk membawa kadar
ETCO2 dalam kisaran normal, bahkan dengan hiperventilasi. Penentuan
dari apakah hiperkarbia ini merupakan suatu malfungsi mekanik atau
disebabkan oleh keadaan hipermetabolik dari pasien dapat dengan
mudah dibuat. Meningkatnya aliran gas secara dramatik dan
hiperventilasi pasien akan mengurangi masalah mekanik. Aliran tinggi
akan menghilangkan kebutuhan untuk katup dan hiperventilasi akan
membersihkan setiap peningkatan karena kegagalan sistem. Jika kedua
maneuver sederhana ini gagal, maka penyebabnya adalah karena
produksi CO2 oleh pasien. Langkah selanjutnya menentukan etiologi dari
status hipermetabolik.

Anda mungkin juga menyukai