Anda di halaman 1dari 28

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DALAM KONTEKS ANESTESI

“ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PENINGKATAN


TEKANAN INTRAKRANIAL”

Disusun Oleh:
1. Arinadya Hanifa P P P07120216013
2. Fernanda Okti Nur A P07120216029

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA
D-IV KEPERAWATAN
2019
PENINGKATAN TEKANAN INTRA KRANIAL

A. DEFINISI
Tekanan intrakranial (TIK) didefiniskan sebagai tekanan dalam rongga kranial dan
biasanya diukur sebagai tekanan dalam ventrikel lateral otak (Joanna Beeckler, 2006).
Bedasarkan Hipotesa Kellie Monro, kemampuan regulasi otak berdasarkan volume
intra kranial yang tetap yakni otak (sekitar 80% dari volume total), cairan
serebrospinal (sekitar 10%) dan darah (sekitar 10%). Retang nilai TIK, yaitu :
1. TIK normal 5-15mmHg (Morton, 2012)
2. PTIK ringan 15-25 mmHg
3. PTIK sedang 25-40 mmHg
4. PTIK berat >40 mmHg

B. ETIOLOGI
1. Volume intrakranial yang meninggi
a. Tumor serebri
b. Infark yang luas
c. Trauma
d. Perdarahan
e. Abses
f. Hematoma ekstraserebral
g. Acute brain swelling
2. Dari faktor pembuluh darah
Meningginya tekanan vena karena kegagalan jantung atau karena obstruksi
mediastinal superior, tidak hanya terjadi peninggian volume darah vena di
piameter dan sinus duramater, juga terjadi gangguan absorpsi cairan
serebrospinalis.
3. Obstruksi pada aliran dan pada absorpsi dari cairan serebrospinalis, maka dapat
terjadi hidrosefalus.
4. Peningkatan produksi CSF dapat terjadi pada meningitis, subarachnoid
hemoragik, atau tumor pleksus choroid.
C. PATOFISIOLOGI
Selama total volume intrakranial sama, maka TIK akan konstan. Peningkatan
volume salah satu faktor harus diikuti kompensasi dengan penurunan faktor lainnya
supaya volume tetap konstan. Perubahan salah satu volume tanpa diikuti respon
kompensasi dari faktor yang lain akan menimbulkan perubahan TIK (Morton, 2012).
Beberapa mekanisme kompensasi yang mungkin antara lain cairan serebrospinal
diabsorpsi dengan lebih cepat atau arteri serebral berkonstriksi menurunkan aliran
darah otak (Joanna Beeckler, 2006) .
Jika massa intrakranial membesar, kompensasi awal adalah pemindahan cairan
serebrospinal ke kanal spinal. Kemampuan otak beradaptasi terhadap meningkatnya
tekanan tanpa peningkatan TIK dinamakan compliance. Perpindahan cairan
serebrospinal keluar dari kranial adalah mekanisme kompensasi pertama dan utama,
tapi lengkung kranial dapat mengakomodasi peningkatan volume intrakranial hanya
pada satu titik. Ketika compliance otak berlebihan, TIK meningkat, timbul gejala
klinis, dan usaha kompensasi lain untuk mengurangi tekananpun dimulai
(Black&Hawks, 2014).
Kompensasi kedua adalah menurunkan volume darah dalam otak. Ketika volume
darah diturunkan sampai 40% jaringan otak menjadi asidosis. Ketika 60% darah otak
hilang, gambaran EEG mulai berubah. Kompensasi ini mengubah metabolisme otak,
sering mengarah pada hipoksia jaringan otak dan iskemia (Black&Hawks, 2014).
Kompensasi tahap akhir dan paling berbahaya adalah pemindahan jaringan otak
melintasi tentorium dibawah falxserebri, atau melalui foramen magnum ke dalam
kanal spinal. Proses ini dinamakan herniasi dan sering menimbulkan kematian dari
kompresi batang otak. Otak disokong dalam berbagai kompartemen intrakranial.
Kompartemen supratentorial berisi semua jaringan otak mulai dari atas otak tengah ke
bawah. Bagian ini terbagi dua, kiri dan kanan yang dipisahkan oleh falx serebri.
Supratentorial dan infratentorial (berisi batang otak dan serebellum) oleh tentorium
serebri. Otak dapat bergerak dalam semua kompartemen itu. Tekanan yang meningkat
pada satu kompartemen akan mempengaruhi area sekeliling yang tekanannya lebih
rendah (Black&Hawks, 2014).
Autoregulasi juga bentuk kompensasi berupa perubahan diameter pembuluh
darah intrakranial dalam mepertahankan aliran darah selama perubahan tekana perfusi
serebral. Autoregulasi hilang dengan meningkatnya TIK. Peningkatan volume otak
sedikit saja dapat menyebabkan kenaikan TIK yang drastis dan memerlukan waktu
yang lebih lama untuk kembali ke batas normal (Black&Hawks, 2014).
Manifestasi klinik dari peningkatan TIK disebabkan oleh tarikan pembuluh darah
dari jaringan yang merenggang dan karena tekanan pada duramater yang sensitif dan
berbagai struktur dalam otak. Indikasi peningkatan TIK berhubungan dengan lokasi
dan penyebab naiknya tekanan dan kecepatan serta perluasannya. Manifestasi klinis
dari peningkatan TIK meliputi beberapa perubahan dalam kesadaran seperti kelelahan,
iritabel, confusion, penurunan GCS, perubahan dalam berbicara, reaktifias pupil,
kemampuan sensorik/motorik dan ritme/denyut jantung, sakit kepala, mual, muntah,
penglihatan kabur sering terjadi. Papiledema juga tanda terjadinya peningkatan TIK.
Cushingtriad yaitu peningkatan tekanan sistolik, bradikardi dan melebarnya tekanan
pulsasi adalah respon lanjutan dan menunjukkan peningkatan TIK yang berat dengan
hilangnya aoturegulasi (Black&Hawks, 2014).
Perubahan pola nafas dari cheyne-stokes ke hiperventilasi neurogenik pusat ke
pernafasan apnuestik dan pernafasan ataksik menunjukkan kenaikan TIK. Pembuktian
adanya kenaikan TIK dibuktikan dengan pemeriksaan diagnostik seperti radiografi
tengkorak, CT scan, MRI. Lumbal pungsi tidak direkomendasikan karena beresiko
terjadinya herniasi batang otak ketika tekanan cairan serebrsopinal di spinal lebih
rendah daripada di kranial. Lagipula tekanan cairan serebrospinal di lumbal tidak
selalu menggambarkan keakuratan tekanan cairan serebrospinal intrakranial
(Black&Hawks, 2014).

D. TANDA DAN GEJALA


1. Penurunan tingkat kesadaran
2. Perubahan pupil (pada awalnya akan konstriksi kemudian secara progresif akan
mengalami dilatasi dan tidak bereaksi terhadap cahaya)
3. Perubahan tanda-tanda vital pada awalnya tekanan darah akan meningkat sebagai
respon terhadap iskhemik dari pusat motor di otak, kemudian akan menurun,
denyut nadi akan cepat dan irregular, temperatur biasanya normal kecuali infeksi
4. Disfungsi motorik dan sensorik
5. Kelainan pengelihatan, berupa menurunnya ketajaman pengelihatan,pengelihatan
kabur,dan diplopia.
6. Sakit kepala
7. Muntah tanpa nausea dan proyektil.
8. Perubahan tekanan darah dan denyut nadi
9. Perubahan pola pernafasan
10. Perubahan suhu badan
11. Hilangnya refleks – refleks batang otak
12. Papiledema

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT Scan
2. MRI
3. Cerebral angiography
4. PET
5. SPECT

F. KOMPLIKASI
1. Herniasi batang otak ireversible anoxia otak.
2. Diabetes Insipidus
3. Sindrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone (SIADH)

G. PENATALAKSANAAN
1. Pengobatan peningkatan tekanan intrakranial
a. Pembedahaan
b. Terapi obat : diuresis osmotik (manitol, gliserol, glumosa dan urea,

furosemide/lasix), kortikosteroid, antikonvulsi dan antihipertensi


2. Pembatasan cairan pemasukan cairan biasanya diberikan antara 900 ml/24jam
sampai dengan 2500 ml/24 jam
3. Hiperventilasi untuk mempertahankan PO2 dan PCO2 dalam batas normal
4. Pengontrolan temperatur tubuh
5. Pengaliran cairan serebrospinal dengan kateter drainage yang merupakan tindakan
sementara
6. Terapi koma barbiturat bila pengobatan untuk mengatasi hipertensi intrakranial
tidak ada perubahan

H. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat terkait dengan penyebab peningkatan tekanan intrakranial, seperti
trauma kepala, tumor otak, abses, hipoksia, peradangan selaput otak, mendapat
terapi cairan hipertonik, dan kelebihan cairan serebrospinal.
b. Pengkajian fisik yang meliputi: tingkat kesadaran, pupil, perubahan motorik
dan sensorik, tanda-tanda vital, keluhan sakit kepala, mual muntah.
c. Psikososial yang meliputi: usia, jenis kelamin, strategi koping dan penerimaan
terhadap kondisi.
d. Pengkajian pengetahuan :etiologi, pengobatan, tanda dan gejala peningkatan
tekanan intrakranial, tingkat pengetahuan dan kemampuan membaca.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan jaringan
otak, volume darah intrakranial, volume cairan serebrospinal.
b. Pola pernafasan tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neurologis.
c. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya refleks
pelindung
(batuk, muntah).
3. Intervensi
1) Diagnosa I
a. Perubahan perfusi jaringan : serebral berhubungan dengan peningkatan
jaringan otak, volume darah intrakranial, volume cairan serebrospinal
b. Tujuan : Klien akan memperlihatkan perfusi jaringan yang adekuat
c. Intervensi
 Observasi tingkat klien, tingkah laku, fungsi motorik/ sensorik, pupil
setiap 1-2 jam sekali dan sebagaimana kebutuhan.
 Monitor tanda-tanda vital setiap 15 menit sampai dengan 1 jam dan
sebagaimana kebutuhan: perubahan pernafasan merupakan tanda
awal dari peningkatan tekana n intakranial dan hipoksia/ hiperkapnia.
 Monitor nilai analisa gas darah arteri untuk ketidaknormalan asam
basa dan penurunan saturasi oksigen.
 Hiperventilasi sebelum penghisapan sekret; batasi penghisapan sekret
10-15 detik untuk mengurangi kadar CO2, untuk meningkatkan kadra
oksigenasi dan mencegas hipoksia.
 Monitor peningkatan takanan intrakranial setiap 15 menit sampai
dengan 1 jam dan sebagaimana kebutuhan.
 Pertahankan aliran vena yang keluar dari otak dengan meninggikan
bagian kepala tempat tidur.
 Monitor pemasukan dan pengeluaran, elektrolit dan berat jenis untuk
menetapkan kemungkinan ketidakseimbangan cairan yang
mendukung terjadinya edema serebral.
 Berikan cairan dengan jumlah terbatas (1400cc/ 24jam) untuk
mencegah edema serebral.
 Intruksi untuk tidak melakukan aktivitas yang dapat meningkatan
intratoraks dan intra abdomen (misalnya mengedan, latihan isometric,
fleksi panggul, batuk).
 Observasi tingkat kenyamanan klien (sakit kepala, mual, muntah)
dimana merupakan indikasi adanya peningkatan tekanan intrakranial.
 Berikan obat-obatan sesuai dengan intruksi
 Berikan steroid untuk mencegah edema serebri sebagaimana intruksi.
 Kelola asuahan keperawatan yang diberikan untuk memberikan
waktu istirahat yang optimal bagi klien.
 Gunakan teknik aseptik dan antiseptik secara optimal pada setiap
memgganti selang atau balutan.
 Laporkan segera pada dokter bila ada perubahan neorologi (misalnya
tanda-tanda vital).
 Lakukan tindakan sesuai kebijakan institusi untuk mengatasi
peningkatan tekanan intrakranial sebagaimana intruksi: pemberian
diuretik, mengatasi keadaan hiportemia, mempersiapkan klien untuk
pembedahan.
Kriteria evaluasi klien :
 Memiliki tekanan intrakranial 0-15 mmHg
 Memperlihatkan perbaikan status neurologi
2) Diagnosa II
a. Pola pernafasan tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neurologis

(kompresi batang otak, perpindahan struktural.)


b. Tujuan : Mencapai pola nafas adekuat
c. Intervensi :
 Monitor irama napas Cheyene-Stokes (tekanan pada struktur nidline),
Hyperventilasi (tekanan pada otak tengah), ireguler/ henti (tekanan
batang otak)
 Monitor PaCO2 pertahankan level 35-45 mmHg
I. Pathway

Trauma Kepala Tumor otak

Pertumbuhan sel
Terputusnya
otak yg abnormal
kontinuitas jar.
Kulit, otot, dan
vaskuler

Massa otak
bertambah
Perdarahan
hematoma
Penekanan
jaringan otak
terhadap
sirkulas darah
Perubahan PENINGKATAN TIK dan O2
sirkulasi CSS

Girus medialis
lobus temporalis Manifetasi : Penurunan
tergeser Mual, muntah, suplai O2 ke
Hipoksia
pupil edema, jaringan otak
serebral
pandangan kabur, akibat
nyeri kepala obstruksi
sirkulasi otak
Herniasi unkus Gg. Perfusi Takipnue
jaringan
serebral

Perpindahan
Mesenfalon Pola
cairan
tertekan nafas
intravaskuler
tidak
kejaringan
efektif
serebrospinal

Gangguan
Kesadaran

Peningkatan
volume
Intrakranial
DAFTAR PUSTAKA

Black, J. M., & Hawks, J. H. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. Edisi 8. Jakarta: Salemba Medika.
Brunner & Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC.
Morton, G. P. 2012. Keperawatan Kritis Edisi 2. Jakarta: EGC.
NANDA International. 2012. DIAGNOSIS KEPERAWATAN Definisi dan Klasifikasi
2012-2014. Jakarta: EGC.
Syaifuddin. 2011. Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.
SOAL ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PENINGKATAN
TEKANAN INTRA KRANIAL

1. Manifestasi klinis pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial, kecuali


a. Mual
b. Muntah proyektil
c. Diare
d. Pandangan kabur
e. Nyeri kepala
2. Salah satu komplikasi dari peningkatan tekanan intrakranial, yaitu
a. Herniasi batang otak
b. Diabetes mellitus
c. Pembesaran kelenjar getah bening
d. Pneumothoraks
e. Gagal ginjal akut
3. Kondisi klinis yang berkaitan dengan peningkatan tekanan intrakranial pada pasien
dengan cidera kepala berat, kecuali
a. Lesi massa intrakranial
b. Cedera kontusio
c. Pembengkakan pembuluh darah
d. Edema otak
e. Hipertensi
4. Yang bukan termasuk pemeriksaan neurologis untuk mengetahui adanya peningkatan
tekanan intrakranial, yaitu
a. Pemeriksaan status mental
b. Pemeriksaan thoraks
c. Pemeriksaan nervus kranialis
d. Pemeriksaan motorik
e. Fenomena Kernohan’s notch
5. Untuk mengetahui adanya peningkatan tekanan intrakranial, perlu dilakukan
pengkajian yang spesifik pada pasien. Salah satu pengkajian yang tidak spesifik yaitu
a. Riwayat trauma kepala
b. Tingkat kesadaran pasien
c. Perubahan motorik dan sensorik
d. Keluhan sakit kepala
e. Kemampuan membaca
KOMPLIKASI ANESTESIA

Komplikasi anestesi diklasifikasikan berdasarkan sistem yang paling


terpengaruh. Jika masalah utamanya melibatkan jantung dan sirkulasi, maka
diklasifikasikan sebagai komplikasi kardiovaskular. Masalah yang melibatkan saluran
pernapasan atau paru-paru diklasifikasikan sebagai komplikasi pernapasan dan
sebagainya. Komplikasi yang terjadi pada anesthesia diantaranya:
1. Komplikasi kardiovaskular
2. Komplikasi pernapasan
3. Komplikasi gastrointestinal
4. Komplikasi kemih
5. Komplikasi neurologis
6. Komplikasi dalam operasi mata
7. Komplikasi lain
a. Menggigil
b. Penurunan kesadaran selama anestesi
c. Hyperpyrexia ganas

A. KOMPLIKASI KARDIOVASKULER
1. Hipotensi
Hipotensi dengan anestesi mungkin memiliki beberapa penyebab. Ditandai
hipotensi (penurunan tekanan darah lebih dari 25 mm di bawah tekanan darah
istirahat) dan juga trend hipotensi (penurunan bertahap dalam tekanan darah)
harus ditangani dengan sangat serius. Hipotensi jika tidak diobati dapat diikuti
oleh henti jantung. Bahkan jika henti jantung tidak terjadi, hipotensi yang
ditandai membawa risiko kerusakan otak, miokard dan ginjal setelah iskemia
atau pembentukan trombus.Ada faktor-faktor lain selain tekanan darah yang
terlibat dalam pengiriman oksigen ke jaringan misalnya aliran darah dalam
organ dan kandungan oksigen dalam darah tetapi setiap upaya harus dilakukan
untuk memperbaiki keadaan hipotensi. Ini terutama terjadi pada orang tua,
sakit parah dan pasien dengan riwayat hipertensi.

a. Penyebab hipotensi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:


1) Penyebab anestesi
 Narkoba
 Obat-obatan premedikasi, misalnya opioid
 Agen induksi, misalnya tiopenton
 Agen inhalasi misalnya halotan dan eter
 Relaksan otot, misalnya pancuronium, atracurium
 Reaksi overdosis atau hipersensitivitas dapat menghasilkan hipotensi
 Inflasi paru-paru yang berlebihan (tekanan positif yang berlebihan)
 Pneumotoraks (lihat di bawah komplikasi pernapasan)
 Hipoksia dan hiperkarbia pada tahap selanjutnya
 Transfusi darah yang tidak sesuai
 Spinal atau epidural
2) Penyebab pembedahan
 Posisi, misalnya membalikkan Trendelenburg atau posisi lateral
 Kehilangan darah dengan penggantian cairan yang tidak adekuat
 Stimulasi vagina - bradikardia refleks
 Mengikuti rilis tourniquet atau penjepit
 Emboli, misalnya udara atau cairan ketuban
 Paket atau retraktor menghalangi vena cava inferior
3) Penyebab pasien (terkait dengan keadaan medis umum pasien)
 Hipovolemia yaitu kehilangan darah atau dehidrasi
 Penyakit jantung (iskemik) dan gagal jantung. Aritmia: takikardia
dan bradikardia
 Pengobatan pra-operasi, misalnya agen hipotensi, terapi steroid baru-
baru ini
 Supine hypotensive syndrome - lihat Bab 21
 Syok tulang belakang, quadriplegia, yang sering menyebabkan
variasi tekanan darah
 Syok septik.
b. Pengobatan hipotensi
1) Temukan dan obati penyebabnya.
2) Mulai infus cepat cairan intravena (Hartmann , saline atau koloid)
misalnya stat 10ml / kg.
3) Tingkatkan konsentrasi oksigen dan kurangi konsentrasi agen
anestesi. Jika tekanan darah di bawah 80mmHg, maka matikan volatile
dan berikan pasien oksigen 100%.
4) Gunakan vasopresor untuk meningkatkan tekanan darah ketika sangat
rendah (di bawah 80mmHg terlepas dari langkah-langkah yang
disebutkan di atas). Vasopresor paling banyak digunakan jika hipotensi
disebabkan oleh vasodilatasi perifer, misalnya setelah spinal atau setelah
agen anestesi tertentu. Jika tekanan darah rendah disebabkan oleh
perdarahan atau dehidrasi maka mereka digunakan sementara
(sementara cairan diberikan untuk mengganti defisit) karena pembuluh
sudah menyempit. Demikian pula, jika hipotensi disebabkan oleh gagal
jantung, mereka tidak banyak membantu.
5) Kaki pasien dapat dinaikkan di atas tingkat batang untuk membantu
aliran balik vena.

2. Hipertensi
b. Penyebab hipertensi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Obat bius
 Anestesi yang tidak adekuat dan / atau pereda nyeri intra-operatif.
 Ventilasi yang tidak memadai menyebabkan retensi karbon
dioksida. Baik hipoksia dan hiperkarbia pada awalnya dapat muncul
dengan peningkatan tekanan darah.
 Agen anestesi tertentu, misalnya ketamin atau pancuronium.
 Penyebab lain yang kurang umum (transfusi berlebihan ,
hyperpyrexia ganas, penyebab endokrin yang langka yaitu
phaeochromocytoma)
2) Bedah
 Infiltrasi dengan adrenalin. Dosis maksimum adrenalin yang harus
digunakan adalah 200 mikrogram dalam konsentrasi 5 mikrogram /
ml larutan (1 dalam 200.000).
 Traksi pada visera (dapat menyebabkan bradikardia dan juga
hipotensi).
 Penggunaan oksitosin, misalnya ergometrine
 Postur: Posisi Trendelenburg
 Menjepit pembuluh darah utama
3) Penyebab pasien (terkait dengan riwayat pasien sebelumnya)
 Hipertensi yang sudah diketahui sebelumnya
 Hipertensi yang tidak terdiagnosis, misalnya phaeochromocytoma.
 Pasien pada kelompok obat penenang disebut inhibitor monoamine
oksidase . (MAOI)
 Pre-eklampsia
 Kandung kemih penuh
 Quadriplegia
 Cidera kepala dengan peningkatan tekanan intrakranial
b. Bahaya hipertensi persisten selama anestesi yaitu:
1) Gagal jantung - mengarah ke edema paru
2) Kecelakaan serebrovaskular (stroke)
3) Gagal jantung
4) Hipoksia miokard
5) Aritmia jantung.
c. Pengobatan hipertensi selama anestesi
1) Perbaiki dan obati penyebabnya misalnya, memperdalam anestesi,
meringankan rasa sakit, meningkatkan ventilasi
2) Tinggikan kepala meja
3) Perawatan obat-obatan
Jika langkah-langkah di atas tidak mengurangi tekanan darah dan
tekanan darah diastolik bertahan di atas 100 mmHg, maka agen
hipotensi seperti hidralazin (5mg IV) atau propranolol (1mg IV) dapat
digunakan dan diulang sesuai kebutuhan. Peningkatan konsentrasi agen
volatile harus dicoba terlebih dahulu.
3. Aritmia
a. Bradikardia
1) Penyebab bradikardi
a) Penyebab anestesi
 Obat-obatan: Suxamethonium, Neostigmin, Halothane,
Anestesi lokal
 Bradikardia refleks, misalnya selama intubasi dengan anestesi
ringan.
 Hipoksia pada tahap akhir (respons awal terhadap hipoksia
adalah takikardia yang dapat dengan cepat diikuti oleh
bradikardia jika hipoksia tidak diperbaiki).
 Spinal tinggi
b) Penyebab pembedahan
 Traksi pada mesenterium
 Traksi pada bola mata atau sinus karotis
 Bedah Saraf
 Anal stretch
 Dilatasi serviks
c) Penyebab pasien
 Penyakit jantung yang sudah ada sebelumnya terkait dengan
denyut nadi yang lambat.
 Bradikardia idiopatik - terutama pada atlet.
 Obat-obatan (obat pra-operasi) dapat memberi pasien
bradikardia, misalnya digoxin, beta-blocker.
 Hipotermia
 Pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial (tanda akhir).
2) Pengobatan bradikardia
a) Temukan dan obati penyebabnya.
b) Jika denyut nadi kurang dari 60 / menit dan pasien hipotensi
berikan atropin 0,6 mg IV dalam dosis terbagi. Indikasi untuk
mengobati bradikardia akan berpengaruh pada curah jantung dan
oleh karena itu pada tekanan darah. Jika bradikardia dikaitkan
dengan penurunan tekanan darah, pengobatan diperlukan lebih
mendesak.
b. Takikardia
1) Penyebab Takikardia
a) Penyebab anestesi
 Obat-obatan, misalnya atropin, pancuronium
 Hypercarbia dari sebab apa pun
 Hipoksia dari sebab apa pun
 Hipotensi
 Ketidakcukupan anestesi umum
b) Penyebab pembedahan
 Infiltrasi dengan adrenalin
 Traksi pada jeroan
 Bedah saraf dan jantung
c) Penyebab pasien
 Gagal jantung
 Tirotoksikosis
 Demam
 Hipovolemia
 Aritmia yang sudah ada sebelumnya
 Seorang pasien yang sangat sakit atau hampir mati.
2) Pengobatan takikardia dan aritmia lainnya
Temukan dan obati penyebabnya. EKG diperlukan untuk
mendiagnosis jenis aritmia. Perawatan aritmia spesifik harus ditinggalkan
di tangan dokter.
a) Emboli udara
Embolus adalah benda asing dalam aliran darah.
b) Emboli lemak
Ini biasanya terkait dengan fraktur tulang panjang ekstremitas
bawah.
c) Gagal jantung
Transfusi cepat dan kelebihan sirkulasi dengan cairan dapat
menyebabkan edema paru.

B. KOMPLIKASI PERNAPASAN
1. Obstruksi pernapasan
a. Kejang otot rahang
b. Lidah jatuh kembali
c. Kejang laring
d. Bronkospasme
2. Batuk
Ini dapat terjadi dalam kondisi induksi anestesi dengan agen inhalasi. Ini
menunda pengambilan uap dan karenanya proses induksi. Ini lebih mungkin
terjadi ketika konsentrasi yang diilhami meningkat terlalu cepat.
3. Takipnea (pernapasan cepat)
Pernafasan cepat itu dangkal. Mereka melelahkan pasien. Volume pasutnya
kecil dan karenanya pertukaran gasnya buruk.
4. Retensi Karbon Dioksida
Hipoventilasi dan apnea umumnya menyebabkan retensi hipoksia dan
karbon dioksida (CO 2 ). Namun, penting untuk diingat bahwa jika konsentrasi

oksigen yang diinspirasi sangat tinggi, maka retensi CO 2 dapat terjadi tanpa
disertai oleh hipoksia. Ini dapat terjadi selama operasi dan pasca operasi di ruang
pemulihan.
5. Pneumotoraks
Pneumotoraks adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan udara di
rongga pleura. Paru-paru di sisi itu kemudian kolaps dan pertukaran gas tidak
terjadi.

C. KOMPLIKASI DADA POST-OPERASI


Komplikasi seperti ini terjadi pada 5% dari semua operasi. Setidaknya 10% dari
semua operasi perut diikuti oleh beberapa tingkat komplikasi.
1. Penyebab komplikasi pasca operasi
a. Penyebab pasien
 Usia. Komplikasi dada lebih sering terjadi pada orang tua.
 Seks. Komplikasi seperti ini tiga kali lebih sering terjadi pada pria.
 Merokok. Komplikasi enam kali lebih sering pada perokok daripada pada
yang bukan perokok.
 Infeksi saluran pernapasan atas akut dapat menyebabkan infeksi dada.
 Penyakit paru yang sudah ada sebelumnya.
b. Penyebab pembedahan
 Komplikasi dada paling sering terjadi setelah operasi perut bagian
atas. Emboli paru lebih sering terjadi setelah operasi panggul dan bedah
ortopedi ekstremitas bawah.
 Semakin lama durasi operasi, semakin besar kemungkinan
komplikasi. Anestesi yang lama menghambat aktivitas siliaris dan
menunda kembalinya refleks jalan napas.
 Posisi Trendelenburg yang curam dan litotomi meningkatkan kejadian
komplikasi.
 Operasi yang melibatkan penanganan usus dan retraksi organ.
 Pembedahan yang melibatkan tirah baring pasca operasi yang
berkepanjangan.
c. Penyebab anestesi
 Premedikasi berlebihan. Opiat dapat menjadi predisposisi komplikasi
dada jika diberikan secara berlebihan.
 Persiapan pra-operasi yang tidak memadai. Pasien dengan infeksi dada
akut tidak harus menjalani operasi rutin. Mereka yang membutuhkan
operasi darurat akan melakukan lebih baik dengan anestesi regional. Jika
sesuai, anestesi regional mungkin menjadi pilihan yang lebih baik untuk
pasien dengan infeksi dada akut yang memerlukan operasi darurat.
 Jika waktu memungkinkan, mereka yang menderita infeksi dada kronis
harus diobati dengan fisioterapi dan antibiotik jika diindikasikan, dalam
upaya untuk mengoptimalkan kondisi mereka.
 Hipoventilasi dari sebab apa pun.
 Aspirasi isi atau sekresi lambung saat di bawah anestesi.
 Kejutan berkepanjangan.
 Peralatan yang terkontaminasi.
 Sedasi pasca operasi yang berlebihan.

2. Bronkitis
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan batuk, dahak, demam,
dyspnoea, dan mengi. Ini lebih sering terjadi pada mereka yang memiliki
penyakit dada sebelumnya. Perubahan patologis adalah peradangan pada
bronkiolus. Perawatan terdiri dari antibiotik, terapi suportif (yaitu terapi oksigen,
fisioterapi, dll.) dan bronkodilator. Pneumonia dan abses paru yang lebih jarang
dapat terjadi selain bronkitis. Organisme infektif dapat mencapai paru-paru dari
banyak sumber, contohnya yaitu:
 Saluran pernapasan atas, seperti dari sepsis gigi.
 Peralatan yang terkontaminasi, misalnya tabung endotrakeal.
 Penyakit di perut, misalnya peritonitis atau abses subphrenic.
 Aspirasi isi lambung.
 Infeksi sebelumnya, yang dapat menjadi sumber bakteri yang bertanggung
jawab atas infeksi pasca operasi.

3. Runtuhnya Paru-Paru
Runtuhnya paru-paru dapat diklasifikasikan tergantung pada sejauh mana
keterlibatan paru-paru:
 Seluruh paru-paru
 Runtuh lobular
 Kolaps / atelektasis segmental

4. Kolaps lobus atau atelektasis


Ini biasanya berkembang dalam 48 jam pertama setelah operasi dengan:
 Demam
 Meningkatkan kesulitan bernafas
 Batuk kering
 Detak jantung yang cepat
 Dilatasi alasa nasae
 Sianosis
 Gerakan dada terbatas pada sisi yang sakit
 Napas berkurang terdengar di sisi yang terkena.
Bahaya atelektasis adalah infeksi sekunder dapat berkembang dan ini
dapat menyebabkan pneumonia, bronkiektasis, abses paru, dan efusi
pleura. Aspek terpenting dari perawatan atelektasis adalah pencegahan . Semua
tanda dan gejala yang disebutkan di atas membutuhkan perhatian.

5. Pneumonitis aspirasi ( Sindrom Mendelson)


Aspirasi isi lambung, sebagai akibat muntah atau regurgitasi, adalah masalah
berbahaya. Isi lambung adalah asam. Jika pH kurang dari 2,5, (yang berarti isinya
sangat asam) dan jika isi lambung mencapai paru-paru maka terjadi
pneumonitis. Ini awalnya dijelaskan oleh Mendelson pada pasien kebidanan di
mana risiko aspirasi tinggi dan isi lambung memiliki pH lebih rendah dari
normal.

6. Emboli paru
Ini terjadi ketika gumpalan dari vena di ekstremitas bawah atau panggul
terlepas dan dibawa ke paru-paru. Biasanya terjadi 3-21 hari setelah operasi dan
lebih sering terjadi pada pasien yang lebih tua yang telah berkepanjangan tirah
baring.

7. Edema paru
Penyebab paling umum dari edema paru pasca operasi adalah
cairan kelebihan, gagal jantung, obstruksi jalan nafas berkepanjangan dan
trauma.

D. KOMPLIKASI GASTROINTESTINAL
1. Muntah dan aspirasi
a. Perbedaan antara muntah dan regurgitasi.
Isi perut dapat mencapai paru-paru dengan dua mekanisme:
 Muntah yang merupakan proses aktif. Ini adalah pengusiran material dari
saluran pencernaan dengan kontraksi otot.
 Regurgitasi yang pasif. Itu tidak melibatkan aksi otot apa pun. Ini terjadi
secara diam-diam dan lebih berbahaya daripada muntah.

b. Bahaya muntah dan aspirasi


Muntah dan aspirasi isi lambung dapat terjadi selama fase induksi dan
pemeliharaan anestesi atau selama pemulihan. Bahayanya yaitu:
 Hipoksia. Volume besar cairan dapat membanjiri paru-paru. Partikel
padat makanan bisa menghalangi saluran masuk. Bahan yang disedot
dapat menyebabkan kejang laring .
 Pneumonitis aspirasi (Sindrom Mendelson)
 Aritmia jantung sekunder akibat hipoksia.
 Infeksi pernapasan, misalnya bronkopneumonia, atelektasis.
c. Mual dan muntah intraoperatif setelah spinal atau epidural
Sebelum obat apa pun diberikan untuk gejalanya, penyebab yang
mendasarinya harus dicari.
 Hipotensi adalah penyebab utama mual setelah spinal. Merupakan
praktik yang baik untuk segera memeriksa tekanan darah pasien ketika
keluhan mual terjadi. Ini sangat penting pada pasien untuk operasi caesar.
 Hipoksia akibat hipoventilasi
 Traksi bedah pada usus
 Peningkatan peristaltik usus sebagai akibat dari blok tulang belakang.
 Analgesik narkotik diberikan sebagai premedikasi
 Kecemasan pada bagian pasien.
d. Pengobatan
 Obati penyebabnya. Perbaiki hipotensi dan hipoksia dan kurangi traksi
bedah.
 Yakinkan pasien
 Obat-obatan berikut dapat digunakan:
Prochlorperazine (Stemetil) - 12,5mg IM
Metoclopramide (Maxolon) -10-20 mg IM atau IV
Promethazine (Phenergan) - 25mg IM.
Cyclizine - 50 mg IM atau IV
Ondansetron - 4 mg IV

e. Penatalaksanaan muntah selama anestesi


 Posisi: Kepala ke bawah, posisi lateral. (Ini meminimalkan kemungkinan
bahan muntah disedot).
 Pengisapan. Bersihkan jalan napas dari sembarang muntah.
 Berikan oksigen.
Selalu perhatikan tanda-tanda aspirasi. Pasien dapat menunjukkan bukti
dyspnoea, suara napas basah atau lembab, mengi, baik pada saat muntah
atau beberapa jam setelah kejadian. CXR harus dilakukan jika ini diduga.
f. Mual dan muntah pasca operasi
Pertimbangkan yang berikut ini:
 Jenis kelamin dan usia pasien. Muntah lebih sering terjadi pada wanita
muda.
 Kondisi perut. Distensi lambung atau adanya isi lambung menjadi
predisposisi muntah.
 Premedikasi Opiat, misalnya pethidine, morfin, dll. Dapat menyebabkan
muntah.
 Jenis dan konsentrasi agen anestesi yang digunakan misalnya eter / N 2 O.
 Prosedur bedah dilakukan. Pembedahan perut bagian atas, terutama
pembedahan pada saluran empedu dan pembedahan panggul
berhubungan dengan muntah.
 Pengobatan, yaitu dengan pencegahan, perawatan obat, kombinasi obat
anti-emetik, jika tersedia.

2. Cegukan
Ini adalah keadaan spasme diafragma intermiten, yang disebabkan oleh
stimulasi ujung saraf sensorik di diafragma, seperti yang terjadi pada operasi
perut bagian atas atau toraks. Cegukan dapat terjadi selama gastrektomi,
vagotomi dll dan mungkin juga berhubungan dengan distensi lambung. Cegukan
kadang-kadang dapat terlihat pada pasien uraemik, sebagai akibat dari stimulasi
medula.

3. Distensi lambung
Perut dapat menjadi buncit dalam situasi berikut:
 Selama IPPV saat masker digunakan. Ini lebih mungkin jika jalan nafas
sebagian terhambat atau jika aliran gas tinggi telah digunakan.
 Ketika kebocoran udara terjadi di sekitar tabung endotrakeal. Hal ini dapat
terjadi jika tabung yang terlalu kecil telah dimasukkan ke laring pasien atau
jika ujung tabung endo-trakea telah pecah di situ.
 Penempatan esofageal yang tidak disengaja dari tabung endotrakeal. Sangat
penting untuk memvisualisasikan pita suara selama intubasi dan untuk
auskultasi dada untuk suara nafas setelah intubasi. Kapnografi sangat
berharga.
 Manipulasi bedah perut, usus, dan mesenterium.
Bahaya
 Rasa malu pada pernapasan, selama dan setelah operasi, karena belat
diafragma.
 Peningkatan risiko aspirasi
 Muntah pasca operasi
 Cegukan
 Gangguan dengan prosedur bedah.
Perawatan: Meringankan distensi lambung dengan melewati selang nasogastrik.

4. Kerusakan hati
Penyebab utama kerusakan hati di bawah anestesi adalah hipoksia terutama
dalam kaitannya dengan hipotensi. Penyebab lainnya yaitu Hepatitis halotan
Insiden kerusakan hati pasca operasi setelah anestesi halotan sangat jarang, 1 dari
10.000 pada orang dewasa, bahkan lebih jarang pada anak-anak. Hepatitis
halotan diyakini sebagai reaksi hipersensitivitas. Ini identik dengan hepatitis
menular, baik secara klinis maupun biokimia.
Beberapa poin pentingterkait hepatitis halotan
 Biarkan setidaknya 12 minggu antara administrasi halotan, terutama pada
wanita paruh baya yang gemuk, kecuali indikasi secara klinis utama.
 Jangan gunakan halotan jika administrasi sebelumnya dikaitkan dengan
demam yang tidak diketahui asalnya. Demam, mual dan muntah muncul 2-5
hari setelah anestesi halotan. Ini juga terkait dengan tes fungsi hati yang
abnormal, menunjukkan hepatitis.
 Satu pemberian halotan tidak mungkin dikaitkan dengan kerusakan hati yang
parah.
 Penyakit hati yang sudah ada sebelumnya (jika bukan karena hepatitis
halotan) bukan merupakan kontraindikasi untuk penggunaan halotan, asalkan
pasien dianggap layak untuk operasi dan anestesi.

E. KOMPLIKASI URIN
1. Kesulitan buang air kecil
Ini lebih sering terjadi setelah anestesi spinal tetapi dapat juga terjadi setelah
anestesi umum. Ini lebih sering terjadi pada pasien yang cemas, mereka yang
telah menjalani operasi perut, panggul atau perineum, mereka yang telah
mengalami sedasi berat dan pada pasien tersebut dengan pembesaran
prostat. Setiap cara mendorong pasien untuk buang air kecil harus dicoba. Jika
semuanya gagal, diperlukan kateterisasi.

2. Pengurangan dalam output (oliguria atau anuria)


Output urin yang normal adalah sekitar 1 ml / kg / jam, yaitu sekitar 60 ml /
jam pada pasien dewasa. Output urin minimum yang dapat diterima adalah 0,5ml
/ kg / jam. Penurunan output urin dapat disebabkan oleh:
a. Penyebab pra-ginjal
Biasanya dikaitkan dengan penurunan volume (dehidrasi atau kehilangan
darah). Penurunan output urin dapat dikoreksi oleh beban cairan, misalnya 1
liter larutan Hartmann / saline yang diberikan lebih dari setengah jam. Tanda-
tanda umum dehidrasi seperti lidah kering, hilangnya turgor kulit, takikardia,
penurunan tekanan darah ditambah tekanan vena sentral yang rendah (CVP)
juga akan menyarankan oliguria pra-ginjal.
b. Penyebab ginjal
Tubulus ginjal rusak oleh hipoksia, hipotensi, racun bakteri, transfusi
darah yang tidak sesuai dan obat-obatan (misalnya gentamisin, obat
antiinflamasi non-steroid). Jika diagnosis oliguria ginjal atau anuria dilakukan,
manajemen cairan yang cermat diperlukan untuk menghindari kelebihan
cairan. Namun, penting untuk mempertahankan perfusi ginjal yang
memadai. Menjaga keseimbangan elektrolit adalah penting dan dalam kasus
yang lebih parah diperlukan dialisis ginjal.
c. Penyebab post renal
Dalam situasi ini oliguria atau anuria disebabkan oleh beberapa
obstruksi pada saluran kemih atau kateter, misalnya kinking atau obstruksi
kateter, pembesaran prostat, striktur uretra. Akan ada bukti kandung kemih
yang membesar jika obstruksi berada di sebelahnya.

F. KOMPLIKASI NEUROLOGIS
Komplikasi yang melibatkan sistem saraf pusat:
1. Koma dan kejang-kejang
Ini mungkin mengikuti penggunaan teknik regional atau anestesi umum.
 Kejang dan koma sebagai akibat dari obat bius lokal atau teknik
regional. Overdosis obat anestesi lokal adalah salah satu penyebab yang lebih
umum.
 Kejang dapat terjadi pada epilepsi yang diketahui atau laten terutama yang
tidak terkontrol dengan baik. Enfluran dapat menyebabkan kejang pada
epilepsi dan propofol telah dikaitkan dengan kejang (pseudo-seizure) yang
sering terjadi beberapa saat setelah pemberian.
 Konvulsi dan koma juga dapat terjadi selama atau setelah anestesi umum,
mungkin setelah periode hipoksia akut (misalnya terkait dengan henti
jantung) atau periode hipoksia kronis (misalnya terkait dengan jalan napas
atau hipoventilasi yang terhambat sebagian, dll.). Pemulihan mungkin
tertunda: pasien mungkin sadar kembali hanya untuk koma lagi. Edema
serebral yang terkait dengan hipoksia harus diobati. Secara umum
prognosisnya buruk.
 Pertahankan normotensi dan oksigenasi.
 Miringkan kepala pada posisi 30 °.
 Bantu atau kendalikan ventilasi sesuai kebutuhan.
 Mendukung sirkulasi.
 Mannitol 20% 0,5gm / kg
 Koma juga dapat disebabkan oleh banyak penyebab lain, misalnya overdosis
agen anestesi, retensi karbon dioksida, kecelakaan serebrovaskular atau
infark miokard dengan penurunan curah jantung dan sebagai konsekuensi
dari hipotensi, syok, keadaan diabetes, hati atau penyakit ginjal. Kejang bisa
terjadi setelah bedah saraf. Porfiria akut dan perawatan pra operasi dengan
inhibitor monoamine oksidase juga dapat menyebabkan koma.
Pengobatan kejang
 Obati penyebabnya
 Berikan oksigen
 Berikan antikonvulsan, misalnya diazepam, midazolam, atau
thiopentone. Sekali lagi, obati edema serebral yang terkait.

2. Cidera saraf tepi


a. Cedera saraf dapat dihindari dengan:
 Padding the shoulder braces jika digunakan.
 Menculik lengan tidak lebih dari 90 derajat di sendi bahu.
 Padding board lengan sehingga sejajar dengan kasur di atas meja.
 Melindungi saraf ulnaris dan lateral poplitea dengan karet busa untuk
menghindari tekanan berlebihan.
b. Penyebab lain cedera saraf tepi
 Ekstravasasi obat yang disuntikkan (misalnya tiopenton) di daerah saraf
perifer.
 Anestesi spinal.

G. KOMPLIKASI OPHTHALMIC
1. Lecet kornea
Ini dapat terjadi dengan sangat mudah di bawah anestesi jika mata dibiarkan
terbuka. Kornea mengering dengan sangat cepat dan mudah terluka.
Cegah agar hal ini tidak terjadi dengan:
 Menggunakan salep steril di mata selama anestesi.
 Tutup mata dengan hati-hati dengan selotip.

2. Kebutaan
Tekanan berlebihan dari masker pada bola mata, terutama jika pasien
hipotensi, dapat mengakibatkan kerusakan serius atau kebutaan dengan cara
menyumbat suplai darah ke mata. Posisi yang ceroboh saat pasien rawan juga
dapat menyebabkan kerusakan mata yang serius.

H. KOMPLIKASI LAINNYA
1. Menggigil
Ini terlihat setelah anestesi umum dengan halotan, enfluran, eter dan bahkan
tiopenton. Ini mungkin respon tubuh terhadap kehilangan panas setelah
vasodilatasi yang menyertai anestesi umum. Kehilangan panas lebih lanjut terjadi
dari saluran pernapasan ketika gas kering dihirup melalui tabung
endotrakeal. Pembedahan yang berkepanjangan dan cairan dingin IV juga
berkontribusi terhadap hipotermia. Ruang operasi yang dingin juga dapat
menyebabkan menggigil pasca operasi.
Pengobatan
 Selimut hangat
 Oksigen dengan masker selama menggigil terus.
 Sedasi jika menggigil berlebihan misalnya petidin 15-25mg IV.

2. Kesadaran selama anestesi


Banyak laporan kesadaran datang dari pasien yang menerima nitro oksida /
oksigen, obat penenang relaksasi. Ini terjadi ketika eter, halotan atau volatil
lainnya tidak digunakan. Ini juga dapat terjadi dalam kebidanan di mana
premedikasi narkotika dihindari dan dosis yang lebih kecil dari thiopentone
sering digunakan karena takut akan membuat bayi tertekan. (Perhatikan bahwa
pasien dengan pre-eklampsia harus memiliki dosis induksi thiopentone yang
normal untuk membantu mengurangi respon hipertensi terhadap intubasi).
Masalah kesadaran biasanya dapat dihindari dengan menggunakan "suplemen"
dengan nitro oksida dan oksigen (yaitu volatile) dan dengan hati-hati memantau
denyut nadi dan tekanan darah pasien.

3. Hyperpyrexia ganas
Kondisi ini jarang terjadi tetapi sangat berbahaya. Ini berjalan di keluarga
menjadi kelainan bawaan otot rangka yang dipicu oleh beberapa obat anestesi
umum. Pasien dapat menunjukkan beberapa atau semua fitur berikut.
 Sejarah keluarga masalah anestesi.
 Meningkatkan level enzim CPK.
 Hyperpyrexia ganas dianggap lebih umum pada pasien dengan distrofi otot dan
gangguan terkait. Mungkin ada hubungan dengan operasi mata juling. Satu-
satunya asosiasi yang terbukti adalah dengan kelainan otot genetik langka
(yaitu penyakit King / Denborough dan penyakit Inti Tengah).
 Reaksi dapat dipicu oleh agen volatil (yaitu halotan, enfluran, isofluran), atau
oleh suxamethonium. Ini adalah pemicu paling kuat dari hiperpireksia ganas.
 Anestesi umum tanpa komplikasi sebelumnya tidak mengesampingkan
perkembangan hiperpireksia ganas.
Tanda-tanda klinis di bawah anestesi
 Kejang otot masseter rahang dan peningkatan tonus otot secara umum
meskipun ada blokade neuro-muscular.
 Takikardia yang tidak bisa dijelaskan
 Hiperkapnia pada pasien berventilasi
 Takipnea pada pasien pernapasan spontan
 Sianosis
 Aritmia
 Naik dalam suhu
 Hiperkalemia

Anda mungkin juga menyukai