Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Derajat kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adalah:


lingkungan (fisik, biologis dan sosial), perilaku serta gaya hidup, faktor genetika,
dan pelayanan kesehatan. Menurut Sistem Kesehatan Nasional (SKN), terdapat 6
subsistem yang turut menentukan kinerja sistem kesehatan nasional, yaitu:
subsistem upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia (SDM)
kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan
manajemen kesehatan. Pada subsistem SDM kesehatan, tenaga kesehatan
merupakan unsur utama yang mendukung subsistem kesehatan lainnya (Ali, et al.,
2005). Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan adalah semua orang yang bekerja
secara aktif dan profesional di bidang kesehatan, yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Subsistem SDM
kesehatan bertujuan pada tersedianya tenaga kesehatan yang bermutu secara
mencukupi, terdistribusi secara adil, serta termanfaatkan secara berhasil- guna dan
berdayaguna, untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Depkes,
2004).
Gambaran ketersediaan tenaga kesehatan, khususnya bidan, pada
puskesmas di Indonesia saat ini adalah sebanyak 1,2% tidak memiliki tenaga
bidan. Berdasarkan data yang ada, terdapat 105 puskesmas yang masih belum
memiliki tenaga bidan, yang mayoritas terdapat di Sumatera Utara, Maluku,
Papua dan Papua Barat, masing- masing 6 puskesmas atau lebih. Di samping
kekurangan tenaga bidan, ditemukan disparitas penyebaran pada puskesmas antar
wilayah, maupun provinsi itu sendiri. Secara nasional, bidan yang tersebar di
masing- masing puskesmas rata-rata 12,07 bidan, dengan kisaran 0-88 bidan.
Artinya, masih ada puskesmas yang sama sekali tidak memiliki tenaga bidan di
puskesmas, namun ada juga puskesmas yang memiliki tenaga bidan sa mpai 88
orang. Dari jumlah tenaga kesehatan yang bekerja di puskesmas, tenaga bidan

1
2

memiliki persentase paling besar, yaitu 31,92%. Hal ini menunjukkan bahwa
tenaga bidan merupakan salah satu tenaga inti di puskesmas (Kemenkes, 2012).
Distribusi tenaga kesehatan membantu memberikan beberapa indikasi
aksesibilitas pelayanan kesehatan kepada penduduk, kualitas layanan yang
ditawarkan dan alokasi rasional sumber daya manusia (Fapohunda, et al., 2009).
Literatur kesehatan dunia menunjukkan bahwa cakupan pelayanan kesehatan dan
kualitas secara langsung berkorelasi dengan angka dan kinerja petugas kesehatan.
Misalnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menunjukkan bukti bahwa
cakupan layanan kesehatan primer yang dipilih, intervensi kesehatan ibu, bayi
yang baru lahir dan anak, cenderung meningkat dengan kepadatan tenaga kerja
kesehatan nasional yang lebih tinggi menggunakan MDGs sebagai tolok ukur.
WHO melaporkan bahwa warga negara-negara dengan kekurangan tertinggi
dalam jumlah dokter, perawat dan bidan adalah orang-orang yang paling berisiko
tidak memenuhi target cakupan (WHO, 2006).
Indonesia memiliki beberapa karakteristik yang menyebabkan terjadinya
maldistribusi tenaga kesehatan. Secara geografis, Indonesia memiliki berbagai
daerah yang sulit untuk dijangkau, dan daerah-daerah tersebut sama sekali tidak
menarik minat tenaga kesehatan untuk bekerja dalam jangka waktu yang lama.
Kemampuan ekonomi di Indonesia memiliki variasi yang sangat besar. Ada
daerah dengan kekuatan ekonomi yang sangat kuat, namun ada juga daerah yang
sangat terbelakang. Situasi ini menyebabkan terjadinya penumpukan tenaga
kesehatan pada daerah tertentu, demikian sebaliknya terjadi kekurangan tenaga
kesehatan pada daerah yang lainnya (Meliala, 2009). Seperti halnya penduduk
Indonesia yang tinggal di perkotaan maupun di Jawa-Bali, masyarakat Indonesia
yang tinggal di daerah terpencil dan tertinggal pun berhak mendapatkan pelayanan
yang sama akan kesehatan. Oleh karena itu, ketersediaan tenaga kesehatan yang
mencukupi dan berkualitas di daerah tertinggal menjadi isu penting yang harus
segera diselesaikan (Efendi, 2012).
Menurut WHO, saat ini terjadi kekurangan tenaga kesehatan yang
berkualitas di daerah pedesaan. Setengah dari populasi dunia tinggal di desa, yang
berdampak signifikan pada pencapaian MDGs. Diperlukan pemahaman yang jelas
3

tentang kondisi tersebut dalam konteks budaya dan kebutuhan tenaga kerja suatu
negara, dan menganjurkan jika pemerintah ingin membuat dampak pada
pengembangan program dan kebijakan untuk menarik pekerja di pedesaan dan
daerah terpencil (Lori, et al., 2012). Laporan WHO (2006) menyatakan, densitas
tenaga kesehatan berhubungan dengan probabilitas keselamatan hidup, baik
keselamatan bayi, anak maupun ibu. Artinya, densitas tenaga kesehatan
berbanding lurus dengan densitas pelayanan kesehatan dan keselamatan hidup.
Berbagai kajian, kebijakan dan penelitian telah dilakukan sebagai upaya
untuk mengungkap sekaligus mengatasi permasalahan di bidang SDM kesehatan
di negara Indonesia dan mencari solusi terbaik. Walaupun jumlahnya sangat
minim, namun hal tersebut perlu diapresiasi sebagai upaya pengumpulan data
berbasis bukti yang valid dan sahih. Kesahihan data ini sangat penting menjadi
panduan bagi pengambil kebijakan maupun perencana SDM kesehatan sebagai
arahan dalam membuat kebijakan berikutnya (Kurniati & Efendi, 2012). Kajian
dan model mengenai distribusi tenaga kesehatan yang dibuat untuk mengatasi
masalah maldistribusi dan memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan di DTPK di
Indonesia. Namun, dalam mengimplementasikannya, ditemukan beberapa
hambatan, di antaranya berupa tidak konsekuennya kebijakan dan regulasi yang
berlaku, adanya standar yang tinggi untuk pendidikan profesi tertentu yang harus
dipenuhi oleh tenaga kesehatan yang diterapkan oleh asosiasi, serta hambatan non
teknis juga masih sering ditemukan antara lain: mangkirnya tenaga kesehatan
untuk kembali ke daerah DTPK setelah melaksanakan pendidikan, lambatnya
insentif karena keterbatasan komunikasi serta kurang menariknya insentif non
material bagi tenaga kesehatan di DTPK.
Puskesmas adalah jenis fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan yang memiliki peranan penting dalam
sistem kesehatan nasional, khususnya subsistem upaya kesehatan. Sistem
kesehatan nasional menetapkan rumah sakit dan puskesmas sebagai salah satu
bentuk fasilitas pelayanan kesehatan (Kepmenkes 274 tahun 2009). Dalam
memberikan pelayanan kesehatan, puskesmas dituntut untuk meningkatkan mutu
pelayanan dengan segala upaya, faktor- faktor pendukung pelayanan kesehatan
4

antara lain peningkatan kualitas dan pelayanan, kompetensi petugas dan


peningkatan sarana prasarana. Salah satu progam pokok puskesmas adalah
pelayanan kesehatan keluarga berencana, selanjutnya disebut KB. Untuk
mensukseskan progam KB di puskesmas, salah satu cara yang dilakukan adalah
dengan mengoptimalkan peran bidan dalam upaya pelayanan kesehatan progam
KB.
Bidan merupakan profesi kesehatan yang dianggap strategis dalam upaya
pemerintah upaya untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs) 5,
untuk memperbaiki kondisi ibu melahirkan, serta untuk mengurangi sebesar 75%
jumlah wanita yang meninggal saat melahirkan dan akses universal terhadap
kesehatan reproduksi pada tahun 2015. Peran bidan dalam program KB cukup
potensial, karena bidan merupakan bagian dari kader KB dan PLKB (petugas
lapangan keluarga berencana), yang menjadi ujung tombak dalam memberikan
informasi dan layanan konseling yang bersifat edukatif bagi keluarga dalam
merencanakan keluarganya, sehingga yang menjadi pilihan masyarakat dalam ber-
KB benar-benar mantap dan lestari, dan berdampak pada berhasilnya progam
pemerintah dalan hal KB. Bidan merupakan tenaga profesional kesehatan yang
menjadi pihak terdekat dengan calon akseptor KB, karena merupakan pemberi
layanan pertama mulai dari konseling, komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
sampai dengan pemasangan kontrasepsi (Sulistyawati, 2011).
Sensus penduduk tahun 2010 memberikan gambaran bahwa terjadi
peningkatan laju penduduk di Indonesia sebesar 1,49% selama kurun waktu 10
tahun terakhir. Potret perkembangan penduduk Indonesia dengan jumlah absolut
237,64 juta jiwa di tahun 2010, telah menempatkan Indonesia berada pada posisi
ke 4 negara dengan dengan kepadatan terbesar di dunia setelah Cina, India dan
Amerika. Progam KB juga merupakan indikator keberhasilan Millenium
Development Goals (MDGs) 5b, yaitu meningkatkan pemakaian kontrasepsi cara
modern (CPR) menjadi 65% dan menurunkan unmet need hingga 5% pada tahun
2015.
Upaya pemerintah untuk mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan
berkualitas di antaranya melalui progam keluarga berencana (KB). Progam yang
5

mulai dilaksanakan pada tahun 1970an tersebut dinilai sukses dan berhasil
menurunkan angka kelahiran total/total fertility rate (TFR). Menurut data Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), angka TFR tercatat mengalami
penurunan dari 2,8 pada tahun 1997 menjadi 2,6 pada tahun 2002/2003, meskipun
kemudian mengalami stagnansi pada SKDI tahun 2007 hingga tahun 2012 sebesar
2,6. Menurunnya angka TFR dikarenakan adanya peningkatan angka pengguna
kontrasepsi/contraseptive prevalence rate (CPR) yang merupakan wujud dari
penyelenggaraan progam KB (BPS, 2013).
Uraian di atas dapat menggambarkan bahwa tenaga kesehatan, khususnya
bidan, yang berkualitas dalam jumlah yang mencukupi harus di distribusikan
secara merata serta bermanfaat secara optimal dalam upaya menjamin
keterlaksanaan pembangunan kesehatan dalam meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya dan berkeadilan. Akan tetapi, yang menjadi
persoalan adalah distribusi tenaga kesehatan, terutama di daerah, masih terjadi
disparitas ketersediaan dan distribusi antar wilayah, sehingga mempersulit
pencapaian tujuan pembangunan kesehatan nasional tersebut. Dalam penelitian
ini, hal yang menarik untuk diteliti adalah determinan karakteristik puskesmas,
terhadap ketersediaan dan distribusi bidan di puskesmas, yang berhubungan
dengan capaian pelaksanaan progam keluarga berencana kabupaten/kota di
Indonesia.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan di atas, masalah


penelitian ini adalah : Bagaimana hubungan antara faktor yang mempengaruhi
ketersediaan dan distribusi tenaga bidan dengan pelaksanaan progam keluarga
berencana pada puskesmas kabupaten/kota di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum :
Untuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi ketersediaan,
distribusi tenaga bidan di puskesmas terhadap progam keluarga berencana di
kabupaten/kota Indonesia.
6

2. Tujuan khusus :
a. Mengetahui gambaran ketersediaan dan distribusi tenaga bidan di
puskesmas pada kabupaten/kota Indonesia.
b. Menganalisis hubungan antara geografi (lokasi dan geografi) puskesmas
dengan ketersediaan tenaga bidan di puskesmas pada kabupaten/kota di
Indonesia.
c. Menganalisis hubungan antara lingkungan organisasi puskesmas
(pemberian tunjangan/insentif dan sarana prasarana) dengan ketersediaan
tenaga bidan di puskesmas pada kabupaten/kota di Indonesia.
d. Menganalisis hubungan antara sistem penyelenggaraan jasa layanan
(jenis puskesmas) dengan ketersediaan tenaga bidan di puskesmas pada
kabupaten/kota di Indonesia.
e. Menganalisis hubungan antara ketersediaan dan distribusi tenaga bidan
dengan progam pelayanan kesehatan KB di kabupaten/kota di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

1. Diharapkan, hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada stake


holder terkait, dalam mengambil kebijakan mengenai ketersediaan dan
distribusi tenaga kesehatan, khususnya tenaga bidan.
2. Bagi peneliti, merupakan pengembangan ilmu pengetahuan yang behubungan
dengan ketersediaan, distribusi tenaga bidan terhadap progam keluarga
berencana di Puskesmas pada kabupaten/kota Indonesia.
3. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi untuk
melakukan penelitian berkaitan dengan ketersediaan, distribusi tenaga bidan
terhadap progam keluarga berencana di kabupaten/kota Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian sejenis yang berhubungan dan dijadikan rujukan dalam


penelitian ini sesuai dengan judul “Analisis ketersediaan, distribusi tenaga bidan
7

terhadap progam keluarga berencana di Puskesmas pada kabupaten/kota


Indonesia” di antaranya sebagai berikut:
1. Priyatmoko (2014) dalam penelitian yang berjudul Analisis determinan
ketersediaan dokter spesialis dan gambaran fasilitas kesehatan di RSU
pemerintah kabupaten/kota Indonesia (Analisis data Rifaskes 2011). Tujuan
penelitian untuk mengetahui determinan ketersediaan dokter spesialis dan
gambaran fasilitas kesehatan di RSU pemerintah kabupaten/kota Indonesia.
Metode penelitian observasional dengan disain cross sectional dengan tujuan
mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi ketersediaan dokter spesialis
dan gambaran fasilitas kesehatan di RSU pemerintah kabupaten/kota
Indonesia. Hasil analis bivariabel dengan menggunakan chi square
menunjukkan ada hubungan bermakna antara antara level daerah, akreditasi
rumah sakit, sistem pengelolaan keuangan rumah sakit, penerapan remunerasi
dan ketersediaan dokter spesialis di RSU pemerintah. Hasil analisis
multivariabel dengan menggunakan regresi logistik menunjukkan bahwa
RSU pemerintah yang terakreditasi 12 jenis pelayanan berpengaruh paling
besar terhadap ketersediaan dokter spesialis. Demikian juga dengan daerah
maju mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap ketersediaan dokter
spesialis di RSU pemerintah kabupaten/kota Indonesia. Kesimpulan: Pola
ketersediaan dokter spesialis mengikuti pengembangan sistem kesehatan
rumah sakit. Semakin tinggi tingkat kualitas rumah sakit (kelas, akreditasi,
pola pengelolaan keuangan), semakin besar kemungkinan angka kecukupan
jumlah dokter spesialis di RSU pemerintah. Oleh karena itu, kebijakan
distribusi dokter spesialis harus dibarengi dengan peningkatan kualitas
manajeman dan pelayanan rumah sakit.
2. Chen et al. (2014) dengan penelitian yang berjudul Health Workforce Equity
in Urban Community Health Service of China. Tujuan penelitian adalah
untuk melihat ekuitas kuantitas dan kualitas distribusi tenaga kesehatan pada
pelayanan kesehatan masyarakat perkotaan. Metode yang digunakan adalah
studi cross-sectional dengan responden 190 pusat pelayanan kesehata n
masyarakat dipilih dari 10 provinsi di Cina melalui stratifikasi bertingkat
8

degan cluster sampling. Profil sumber daya manusia dan karakteristik dasar
dari masing- masing pusat pelayanan kesehatan masyarakat dikumpulkan.
Kurva Lorenz dan Koefisien Gini yang digunakan untuk mengukur
ketimpangan dalam distribusi tenaga kesehatan di pusat-pusat pelayanan
kesehatan masyarakat dengan jumlah penduduk dan wilayah geografis. Rank
test Wilcoxon untuk sampel berpasangan digunakan untuk menganalisis
perbedaan ekuitas antara indikator kesehatan yang berbeda. Hasil dari
penelitian menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan yang signifikan dalam
distribusi tenaga kesehatan di semua provinsi di Cina, khususnya perawat dan
tenaga kesehatan yang berpendidikan tinggi.
3. Rao, et al. (2012) dengan judul penelitian So many, yet few: Human resources
for health in India. Tujuannya untuk menggambarkan tentang komposisi dan
distribusi tenaga kesehatan India. Metode dengan mengumpulkan data dari
sensus dan survei rumah tangga secara nasional di India. Hasil penelitian
India menghadapi defisit sebagian besar tenaga kesehatan; kepadatan dokter,
perawat dan bidan merupakan seperempat dari standar WHO 2,3/1.000
penduduk. Disparitas distribusi tenaga kesehatan yang cukup mencolok di
daerah pedesaan, sebagian besar pekerja berada di daerah perkotaan dan di
sektor swasta. Wanita memiliki proporsi 1/3 dari angkatan kerja, wilayah
miskin memiliki kepadatan tenaga kesehatan yang lebih rendah. Kesimpulan
kekurangan informasi dasar tentang gambaran tenaga kesehatan akan
membuat kesalahan perencanaan dan manajemen tenaga kesehatan yang
efektif, bagi pembuat kebijakan. Hal yang harus dilakukan pemerintah adalah
dengan meningkatkan ketersediaan tenaga kesehatan yang berkualitas di
daerah yang kurang terlayani dan campuran keterampilan yang lebih efisien.
4. Munga, et al. (2009) dengan judul penelitian The decentralisation-
centralisation Dilemma: recruitment and distribution of health workers in
remote districts of Tanzania. Penelitian bertujuan untuk menyoroti
pengalaman dan tantangan yang berkaitan dengan desentralisasi dan re-
sentralisasi dalam kaitannya dengan perekrutan dan distribusi tenaga
kesehatan di daerah-daerah terpencil Tanzania. Metode yang digunakan
9

adalah studi kualitatif eksplorasi dilakukan terhadap informan yang direkrut


dari 5 kabupaten terpencil daratan Tanzania. Keterangan tambahan didapat
dari pemerintah pusat, sektor LSM, organisasi internasional dan akademisi.
Perbandingan desentralisasi dan sistem terpusat dilakukan untuk memperbaiki
proses perekrutan, distribusi dan retensi tenaga kesehatan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perekrutan tenaga kesehatan di bawah pengaturan
desentralisasi tidak hanya ditandai dengan prosedur birokrasi yang rumit,
penundaan, bahkan kadang-kadang kegagalan untuk mendapatkan tenaga
kesehatan yang dibutuhkan. Penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa
perekrutan tenaga kesehatan terampil di bawah pengaturan desentralisasi
sangat sulit dan mahal, namun dianggap lebih efektif dalam meningkatkan
retensi pekerja kesehatan dalam kabupaten. Sebaliknya, pengaturan terpusat
dianggap lebih efektif baik dalam merekrut staf yang berkualitas dan
menyeimbangkan distribusi mereka di semua kabupaten, tetapi miskin dalam
memastikan retensi. Kesimpulannya adalah kombinasi perekrutan sentralisasi
dan desentralisasi merupakan bentuk campuran yang menjanjikan organisasi
sektor kesehatan dalam mengelola sumber daya manusia dengan membawa
manfaat potensial dari 2 pendekatan yang terintegrasi secara efektif,
menyeimbangkan dan mendefinisikan hubungan lokal-pusat dalam
keberhasilan pengelolaan sumber daya manusia.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan utama
terdapat pada tujuan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi ketersediaan, distribusi tenaga bidan terhadap progam keluarga
berencana di puskesmas pada kabupaten/kota Indonesia. Penelitian sejenis, sejauh
pengetahuan peneliti, belum pernah dilakukan, sehingga peneliti menganggap
penting melakukan penelitian.

Anda mungkin juga menyukai