Anda di halaman 1dari 27

ANAMNESIS KARDIOVASKULER

1. Memperkenalkan diri, menyatakan tujuan


 Sapa
“Selamat Pagi, Pak/Bu.”
 Perkenalan diri
“Perkenalkan saya (sebutkan nama), yang bertugas di poli klinik pada hari
ini.”
 Perkenalan dengan pasien
“Nama bapak siapa?”
“Umurnya berapa Pak?”
“Tinggal dimana Pak?”
 Menyatakan tujuan
“Jadi saya akan menanyakan beberapa pertanyaan untuk menegakkan
diagnosis Bapak”
 Informed consent
“Apakah Bapak bersedia?”
2. Menanyakan keluhan utama angina pektoris
 “Apa keluhan Bapak/Ibu?”  Ciri-ciri: Nyeri dada
 “Sejak kapan?”
 “Rasa sakitnya seperti apa?”  Rasa tertekan, rasa penuh, rasa terhimpit
benda berat, rasa tercekik dan rasa tidak nyaman pada dada.
 “Sakitnya dimana Bapak/Ibu?” atau “Apakah Bapak/Ibu pernah merasakan
sakitnya di ulu hati?”  Lokasi: dada, substernal, epigastrik (ulu hati), lengan
kiri, kedua lengan, rahang bawah dan punggung.
 “Sakitnya pernah sampai mana Pak/Bu?”  penjalaran nyeri
 “Berapa lama nyerinya Pak/Bu?”  durasi nyeri
 “Nyerinya sering timbul pada saat kapan Pak/Bu?”
3. Menanyakan keluhan penyerta nyeri dada
 “Apakah Bapak/Ibu pernah sesak napas?”
Keluhan penyerta nyeri dada:
- Berkeringat dingin
- Nausea
4. Menanyakan faktor pencetus nyeri dada
 “Apakah Bapak/Ibu rutin berolahraga?”
 “Apakah Bapak/Ibu merokok?” Jika ya, tanyakan “Berapa bungkus rokok tiap
harinya?”
 “Sudah pernah berobat sebelumya Pak/Bu?” (Jika ya, tanyakan obatnya. Obat
anti-nyeri yang sering diberikan oleh dokter biasanya adalah obat nitrat
sublingual) “Sudah pernah makan obatnya Pak/Bu?”
 “Apakah sebelumnya di keluarga Bapak/Ibu mengalami gejala yang sama?”
 “Apakah sebelumnya Bapak/Ibu memiliki riwayat darah tinggi
(hipertensi)/kencing manis (diabetes)/asma?”
5. Menyimpulkan keluhan utama sebagai angina pektoris setelah melakukan anamnesis yang
sistemaik dan terarah
 Jadi, setelah dilakukan wawancara, Bapak diduga mengalami nyeri dada
(angina pectoris). Setelah itu, untuk mengetahui lebih pasti, Bapak diharuskan
untuk melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang.
 Apakah ada yang ingin ditanyakan?
 Terima kasih Bapak.
PEMERIKSAAN FISIK KARDIOVASKULER
A. Pemeriksaan Tekanan Vena Jugularis
Tahapan:
1) Probandus berbaring dalam posisi supinasi, dengan sudut leher 45o terhadap
bidang horizontal. disarankan untuk relaks agar vena jugularis jelas terlihat.
Pemeriksa berdiri di sisi kanan probandus.
2) Identifikasi vena jugularis interna kanan dengan pedoman pulsasi darah yang
mengisi vena jugularis interna. vena jugularis interna terletak di bawah muskulus
sternokleidomastoideus.
3) Tentukan titik acuan bidang horizontal dengan identifikasi angulus sterni. tentukan
titik nol setinggi pertengahan atrium kanan, lalu tentukan konstanta jarak titik acuan
dengan titik nol (5 cm).
4) Melakukan bendungan pada daerah proksimal di atas klavikula dan distal di bawah
mandibula akan terlihat pengisian atau pulsasi vena. Gunakan mistar untuk mengukur
tinggi isi vena dari titik acuan, misal tinggi isi vena 2 cm di atas titik acuan maka nilai
tekanan vena jugularis adalah 5+2 cm H2O

B. Pemeriksaan Fisik Jantung


no langkah/tugas
1 Memperkenalkan diri, menyatakan tujuan melakukan pemeriksaan
2 Melakukan komunikasi verbal dengan bahasa yg dimengerti oleh pasien
3 Melakukan pemeriksaan fisik jantung.
Tahapan:
 Probandus dalam posisi supinasi, relaks.
 Tentukan titik acuan angulus sterni, sela iga II, garis-garis imajiner linea
mid sternalis, sternalis, parasternalis, mid klavikularis, aksilaris anterior-
media-posterior.

 Lakukan inspeksi mengenai bentuk toraks, lokasi pulsasi apeks jantung.


 Palpasi pulsasi apeks dan lokasinya, palpasi adanya thrill. perkusi batas
jantung dari lateral ke medial. Menentukan batas jantung kanan, batas
jantung kiri, pinggang jantung, batas paru hepar.
Apeks jantung  iktus cordis ICS 5 linea medioclavicularis kiri

 Auskultasi bunyi jantung dengan menentukan lokasi proyeksi katup pada


dinding toraks. Menentukan lokasi auskultasi bunyi jantung yang berasal
dari katup mitral, pulmonal, aortal, dan trikuspidal
 Menentukan bunyi jantung I dan II.
Bunyi jantung I: Menutupnya katup mitral dan trikuspid
Bunyi jantung II: Menutupnya katup aorta dan pulmonal
4 Melakukan pemeriksaan fisik jantung secara berurutan
ELEKTROKARDIOGRAM (EKG)
EKG merupakan rekaman non invasif dua dimensi aktivitas listrik jantung yang dihasilkan
dari pengukuran perbedaan potensial listrik antara elektrode-elektrode penerima yang
diletakkan di ekstremitas dan dada.
No LANGKAH/TUGAS
1 Memperkenalkan diri, menyatakan tujuan
2 Pasien disuruh berbaring dengan nyaman
3 Pasien diminta untuk melepaskan alat-alat logam yang berhubungan langsung
dengan kulit seperti jam, cincin, gelang dan lain-lain
4 Pemasangan 4 Elektrode Ekstremitas: RA (Merah), LA (Kuning), RL (Hijau), Dan
LL (Hitam)
5 Pemasangan 6 elektrode dada
V1, diletakkan di ICS IV linea parasternalis kanan
V2, diletakkan di ICS IV linea parasternalis kiri
V3, diletakkan di tengan antara V2 dan V4
V4, diletakkan di ICS V linea midclavikularis kiri
V5, sejajar dengan V4 di linea axillaris anterior kiri
V6, sejajar dengan V4 di linea midaxillaris kiri
6 Tekan power ON
7 Pilih mode manual atau auto
8 Setup: speed 25 mm/detik, voltage 1mV, filter manual/auto
9 Recording
EKG Normal

Ciri aVR:
 Semuanya negatif  P waves (-), QRS (-), T (-)
*Apabila tidak ada negatif, biasanya kesalahan pemasangan elektroda.

Ciri V1-V6:
 Semakin ke V6, P wave semakin tinggi.
 Adanya zona transisi pada V3-V4
• Limb / Extremitas leads:
– Lead I, II dan III
• Augmented limb leads:
– aVR, aVL dan aVF
• Precordial / Chest leads
– V1, V2, V3, V4, V5, V6.

Interpretasi EKG:
Cara menghitung heart rate:
1500

𝑅−𝑅 (Kotak Kecil)

300

𝑅−𝑅 (Kotak Besar)

1. Sinus normal:
 Gelombang P diikuti oleh QRS-T.
 Regular
 aVR selalu negatif.
 Frekuensi denyut: 60-100x/menit
2. Sinus takikardi:
 Frekuensi denyut: >100x/menit
3. Sinus bradikardi:
 Frekuensi denyut: <60x/menit

Irama:
1. Regular

2. Irregular
Aksis
Aksis Sadapan I Sadapan aVF
Aksis Normal Positif Positif
Deviasi aksis ke Positif Negatif
kiri
Deviasi aksis ke Negatif Positif
kanan
Deviasi aksis Negatif Negatif
ekstrem
 Gelombang P: Depolarisasi atrium
 Interval PR: 0,12- 0,20 detik (3-5mm)
 Kompleks QRS: Depolarisasi ventrikel
(0,06- 0,10 detik)
 Interval QT: Waktu
keseluruhan depolarisasi dan repolarisasi ventrikel
 Segmen ST: Waktu akhir depolarisasi ventrikel dan awal repolarisasi ventrikel
 Gelombang T: Repolarisasi ventrikel

RVH
1. Deviasi aksis ke kanan, dengan aksis QRS melebihi +100o
2. Gelombang R lebih besar daripada gelombang S di V1, sedangkan gelombang
S lebih besar daripada gelombang R di V6.

LVH
1. Deviasi aksis ke kiri melebihi -15o juga sering muncul.
2. Gelombang S di V1/V2 dijumlahkan dengan gelombang R di V6/V5 melebihi
7 kotak (> 35mm)
3. Gelombang R di aVL melebihi 11 mm.
4. Gelombang R di aVL dijumlahkan dengan gelombang S di V3 melebihi 20
pada wanita dan 28 pada pria
Heart Sound
DEFINISI :
Heart Sound atau Bunyi Jantung : vibrasi pendek yang terdengar pada siklus
jantung yang dapat didengar dengan teknik tertentu. Biasanya ada dua bunyi,
bunyi jantung I dan II. Diantaranya ada dua interval yaitu sistolik dan diastolik.
Sistolik ialah interval antara bunyi jantung I dan II sedangkan diastolik adalah
interval antara bunyi jantung II dan I dan perlu di pikirkan sifat, karakteristik dan
intensitas bunyi jantung. Bunyi jantung I dan II merupakan bunyi jantung normal.

TEKNIK :
Bunyi jantung dapat didengar dengan menempatkan telinga langsung di atas dada
penderita. Dengan stetoskop, auskultasi mudah, sopan dan bunyi terdengar lebih
keras. Stetoskop untuk orang dewasa tidak dapat dipakai pada anak. Dianjurkan
memakai stetoskop dengan panjang selang sekitar 30 cm dan diameter bagian
dalam selang kira-kira 1/8 inci. Ada 2 macam stetoskop yaitu berbentuk sungkup
dan diafragma. Sungkup lebih baik menangkap bunyi dan bising jantung bernada
rendah sedangkan diafragma untuk bunyi bernada tinggi.

KOMPLILKASI :
1. Kegagalan auskultasi karena kendala teknik dan tempat pemeriksaan.
2. Kegagalan auskultasi karena kondisi pasien yang tidak kooperatif.

I. PROSEDUR
1. Memperkenalkan diri dan menyatakan tujuan
2. Melakukan identifikasi tempat auskultasi : seperti pada gambar ini.

i. Letakkan stetoskop pada dinding dada pasien sesuai dengan


topografi area auskultasi, kemudian dengar bunyi jantung dan
identifikasi bunyi jantung.
3. Lakukan indentifikasi bunyi jantung 1 dan bunyi jantung 2 dan bunyi
abnormal.
4. Menyimpulkan bunyi jantung yang terdengar.
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
KEKUATAN OTOT
Kekuatan otot dinilai dengan menggunakan tingkatan konvensional skala MRC
(Medical Research Council). Nilai kekuatan otot berdasarkan skala tersebut berkisar dari 0
sampai dengan 5. Berdasarkan kesepakatan1, untuk kekuatan otot dengan nilai 4, dibagi lagi
menjadi 4+, 4, dan 4-. Berikut adalah tingkatan kekuatan otot yang dimaksud :

Tingkat Kekuatan Otot

5 Normal kekuatan otot (muscle strength)

4+ Kekuatan gerakan dan pergerakan sendi penuh melawan gravitasi


dan resistensi sub maksimal

4 Kekuatan gerakan dan pergerakan sendi sedang melawan gravitasi


dan resistensi sedang atau kelemahan ringan

4- Kelemahan ringan pada kekuatan gerakan dan pergerakan sendi


sedang melawan gravitasi dan resistensi sedang atau kelemahan
ringan

3 Gerakan sendi dengan adanya gravitasi tetapi tanpa ada tahanan

2 Gerakan sendi dengan tanpa gravitasi

1 Sedikit / tanpa ada pergerakan sendi

0 Tidak ada kontraksi

Ekstremitas atas
Bahu

 Abduksi – Otot yang berperan adalah deltoid dan supraspinatus- (C5,C6): Pasien
mengabduksi (mengangkat) tangannya sementara kita mendorong tangannya kebawah

 Adduksi – otot pektoralis mayor dan latissimus dorsi - (C6,C7,C8): pasien meng
Lengan

 Fleksi – biceps dan brachialis –(C5, C6): pasien memfleksikan lengan dan kita
berusaha menariknya (narik lengannya bukan pasiennya)

 Ekstensi – triceps brachii – (C7,C8): Pasien ekstensi lengan dan kita berusaha
mendorongnya

Pergelangan tangan

 Fleksi – flexor carpi ulnaris dan radialis – (C6,C7): Pasien memfleksikan pergelangan
tangan dan kita menariknya
 Ekstensi – externsor carpi – (C7,C8): Pasien ekstensi pergelangan tangan dan kita
mendorongnya

 Jari-jari
Fleksi – flexor digitorum profundus dan sublimis (C7,C8): pasien menggenggam
kedua jari tangan kita sambil kita berusaha menarik
 Ekstensi – extensor digitorum communis, extensor indicis dan extensor digiti minimi
(C7,C8): pasien meluruskan jari dan kita berusaha mendorong pada sendi
metacarpophalangeal
 Abduksi – dorsal interossei – (C8,T1): Pasien melebarkan jari tangan dan kita
mendorongnya

 Adduksi – volar interrosei – (C8,T1): pasien menyempitkan jari tangan dan kita
menariknya (Kebalikan abduksi)

Ekstremitas bawah
Paha

 Fleksi – psoas dan iliacus – (L2,L3): pasien mengangkat kaki dan kita mendorongnya
 Extensi – gluteus maximus – (L5, S1, S2): pasien mendorong kaki kebawah dan kita
menariknya

 Abduksi – gluteus medius dan minimus, sartorius, dan tensor fasciae latae –
(L4,L5,S1): pasien mengangkangkan kaki dan kita berusaha merapatkannya
 Adduksi – adductor longus, brevis , dan magnus – (L2,L3,L4) pasien merapatkan kaki
dan kita mengangkangkan

Lutut
 Fleksi – harmstring – (L5,S1): Pasien memfleksikan lutut dan kita menariknya

 Ekstensi – quadriceps femoris – (L3,l4): Lutut sedikit fleksi lalu kita mendorongnya

Pergelangan kaki
 Fleksi plantar – gastrocnemius, plantaris, soleus (S1,S2): Pasien mendorong
pergelangan kaki dan kita menariknya
 Dorsoflekso – tibialis anterior, extensor digitorum longus dan ekstensor hallucis
longus – (L4,L5): pasien menarik pergelangan kaki dan kita mendorongnya

Pemeriksaan klonus
Klonus adalah respon / gerakan otot secara involuntar dan ritmik yang timbul akibat
peregangan otot atau tendon secara tiba-tiba. Kondisi ini sering disertai dengan spastisitas.
a. Klonus patela
 Cara pemeriksaan
o Pasien dalam keadaan berbaring, kedua tungkai dalam keadaan ekstensi / lurus
dan santai.
o Kedua tungkai terbebas dari pakaian / celana
o Pemeriksa mencengkeram suprapatella menggunakan jari telunjuk dan ibu jari
kemudian sedikit menarik ke arah proksimal dan kemudian mendorong patela
ke arah distal secara mendadak dan kuat.
o Pada akhir gerakan pemeriksa harus menahan pada posisi tersebut dan tidak boleh
melepas mendadak.
 Interpretasi: bila terjadi gerakan involuntar dan ritmik yang tampak pada patela maka
berarti klonus patela / paha positif

b. Klonus kaki
 Cara pemeriksaan :
o tungkai dan kaki pasien direlaksasikan
o tumit dan lutut sedikit difleksikan
o kaki sedikit diangkat
o dengan tekanan yang kuat, cepat dan bolak balik dorsofleksi dan sedikit plantar
fleksi
 Interpretasi hasil pemeriksaan : bila positif maka terjadi gerakan involuntar dan ritmik
pada kaki

Refleks Fisiologis
Refleks pada tangan

 Refleks biseps
- Pasien duduk atau berbaring dengan santai
- Lengan difleksikan dan tangan dalam keadaan pronasi
- Letakkan ibu jari di atas tendon biseps, kemudian pukul ibu jari tadi dengan
reflex hammer yang telah tersedia (di gambar pakai palu queen square tapi kita
pakai palu taylor kemarin)
- Lihat bisepsnya bergerak atau nggak

 Refleks triseps
- Pasien duduk atau berbaring dengan santai
- Lengan difleksikan dan telapak tangan dalam keadaan pronasi
- Tangan pemeriksa menopang lengan pasien
- Pukul tendon triceps (pada fossa olecrani)
- Pemeriksa merasakan gerakan tangan pasien
 Refleks brachioradialis (supinator)
- Pasien duduk atau berbaring dengan santai
- Lengan difleksikan dan telapak tangan dalam keadaan pronasi
- Pukul pada tendon brachialis. Letaknya sedikit diatas os radius
- Supaya pasien kesakitan, letakkan dua jari diatas tendon, lalu pukul jarinya

 Refleks fleksor jari tangan (Wartenberg’s sign)


- Telapak tangan pasien pada keadaan supinasi
- Pemeriksa meletakkan tangannya diatas jari tangan pasien
- Punggung jari-jari pemeriksa tadi dipukul secara ringan tetapi cepat, dengan
permukaan reflex hammer yang datar
- Reaksinya ialah fleksi keempat jari tangan penderita serta fleksi ibu jari bagian
distal

Refleks pada tungkai


 Refleks patella
- Bagusnya dalam posisi duduk. Tapi kalau ga bisa pasiennya, bisa berbaring
- Raba tendon patella
- Pegang pahanya terus pukul tendonnya. Rasakan otot quadriseps pasien yang
bergerak
- Kalau kesulitan pakai cara reinforcement. Pasien disuruh pegang tangannya dua”.
Terus suruh tarik. Pas dia tarik, kita pukul tendon patellanya

 Refleks Achilles
- Terserah posisi pasiennya
- Tahan ujung kaki kearah dorsofleksi
- Pukul tendo achilles dengan cepat

Jenis-jenis pemerikaan refleks patologik


a. Babinski’s sign
 Cara: pemeriksa menggores bagian lateral telapak kaki dengan ujung palu
refleks
 Reaksi: dorsofleksi ibujari kaki disertai plantarfleksi dan gerakan melebar jari-jari
lainnya

b. Chaddock’s sign
 Cara: pemerika menggores di bawah dan sekitar maleolus eksterna ke arah lateral
dengan palu refleks ujung tumpul
 Reaksi: sama dengan Babinski’s sign
c. Gordon’s sign
 Cara: pemeriksa menekan otot-otot betis dengan kuat
 Reaksi: sama dengan Babinski’s sign
d. Schaeffer’s sign
 Cara: pemeriksa menekan tendo Achilles dengan kuat
 Reaksi: sama dengan Babinski’s sign
e. Oppenheim’s sign
 Cara: pemeriksa memberi tekanan yang kuat dengan ibu jari dan telunjuk pada
permukaan anterior tibia kemudian digeser ke arah distal
 Reaksi: sama dengan Babinski’ sign
f. Rossolimo’s sign
 Stimulasi
 Respon normal dorsofleksi ringan jari-jari kaki/tidak ada gerakan
 Respon abnormal : plantar fleksi jari dengan cepat
Pemeriksaan rangsang meningeal

Teknik untuk menguji rigiditas nuchae

 Pasien dalam posisi berbaring telentang dan relaks, tempatkan tangan anda di bawah
bagian belakang kepala pasien dan dengan hati-hati coba lakukan fleksi leher. Pada
keadaan normal, ia akan menekuk dengan bebas. Jika pasien memiliki rigiditas
nuchae, leher melawan fleksi dan pasien merasa kesakitan. Jika rigiditas nuchae berat,
anda dapat menaikkan kepala pasien dan badan dengan tulang belakang seperti batang
lurus atau pasien seperti patung.
 Karena rigiditas nuchae yang nyata mengindikasikan iritasi meningeal, pemeriksa
harus membedakannya dari bentuk rigiditas servikal lainnya. Dengan rigiditas nuchae
yang nyata, leher hanya melawan fleksi. Leher bergerak bebas melalui rotasi dan
ekstensi, karena gerakan ini tidak meregangkan meninges, medula spinalis, dan nerve
root. Untuk menunjukkan rigiditas hanya mempengaruhi otot nuchae, lakukan dua hal
berikut ini:
o Tempatkan tangan anda pada dahi pasien. Secara pasief gulingkan kepala pasien
dari satu sisi ke sisi lainnya untuk menunjukkan rotasi kepala yang bebas meski
ada resistensi terhadap fleksi
o Kemudian angkat bahu pasien untuk membiarkan kepala jatuh ke arah belakang,
menguji kebebasan ekstensi
o Rigiditas servikal berrarti ada resistensi apapun terhadap gerakan leher ke segala
arah. Sebaliknya, rigiditas nuchae secara khusus berarti resistensi terhadap fleksi
leher, yaitu rigiditas bagian belakang leher
b. Brudzinski neck sign
 Cara pemeriksaan
o Pasien dalam posis tidur telentang, kepala difleksikan oleh pemeriksa sehingga
dagu menyentuh dada
 Reaksi abnormal: fleksi pangkal paha dan lutut sebagai respon terhadap fleksi leher

c. Brudzinski kontralateral
 Cara pemeriksaan
Satu kaki dinaikkan (difleksikan) dan kaki lain diturunkan (ekstensi). Abnormalnya
jika saat kaki yang naik itu diturunkan, kaki yang lain malah naik.

Brudzinski ada 2 lagi yaitu cheek sign dan symphysis sign. Yang cheek pas kau tekan di
pipinya (dibawah os zygomaticum) terjadi fleksi lengan. Sedangkan yang symphysis pas
ditekan, timbul fleksi kaki

d. Kernig sign
 Cara pemeriksaan
o Pasien berbaring lurus di tempat tidur
o Fleksi kan paha (naikkan) terus fleksikan lutut (naikkan)
o Ulangi untuk sisi yang lain
 Interpretasi hasil :
o Normalnya >135 derajat
o Resistensi terhadap pelurusan lutut: Kernig’s sign—bilateral mengindikasikan
iritasi meningeal; jika unilateral, mungkin terjadi pada radikulopati (bandingkan
dengan straight leg raising)

e. Straight leg raising (Lassegue’s sign)


 Tes untuk jeratan / jebakan radiks lumbosakral.
 Cara pemeriksaan
o Pasien berbaring lurus, tungkai diangkat dengan menahan tumit naikkan kaki
o Catat sudut yang diperoleh dan adanya perbedaan antara kedua sisi.
 Interpretasi
o Normal > 90 derajat; lebih kecil pada pasien yang tua
o Keterbatasan dengan nyeri di punggung memberikan dugaan nerve root
entrapment.

f. Lhermitte’s phenomenon
 Cara pemeriksaan :
o Fleksikan leher pasien ke arah depan; hal akan menghasilkan perasaan seperti
tersengat listrik, biasanya menjalar ke arah punggun
o Pasien mungkin mengeluhkan hal ini secara spontan atau anda dapat
memeriksanya dengan melakukan fleksi pada leher
o Kadang pasien memiliki perasaan yang sama pada saat ekstensi (reverse
Lhermitte’s)
 Interpretasi
o Hal ini mengindikasikan adanya proses patologi di daerah servikal—biasanya
demielinisasi.
o Kadang terjadi pada mielopati spondilitik servika atau tumor servikal.

Pemeriksaan sensorik
a. Pemeriksaan getaran
b. Pemeriksaan sensasi gerak dan posisi
Mata pasien ditutup (bukan mata kita). Terus jari-jari dia digerakkan. Tanya
kepada pasien arah kita gerakkan kakinya

c. Pemeriksaan sensasi tekan

d. Pemeriksaan sensasi nyeri


Cara pemeriksaan:

 Mata penderita tertutup.


 Pemeriksa terlebih dahulu mencoba jarum tersebut terhadap dirinya sendiri.
 Tekanan terhdapa kulit penderita seminimal mungkin, jangan sampai
menimbulkan perlukaan.
 Penderita jangan ditanya: “apakah anda meraskan ini? Atau apakah ini runcing?”
 Rangsangan terhadap kulit dikerjakan dengan ujung jarum dan kepala jarum
secara bergantian, sementara itu penderita diminta untuk menyatakan sensasinya
sesuai dengan pendapatnya.
 Penderita juga diminta untuk menyatakan apakah terdapat perbedaan intensitas
ketajaman rangsangan di daerah yang berlainan.
 Apabila dicurigai ada daerah yang sensasinya menurun, maka rangsangan
dimulai dari daerah tadi dan menuju arah yang normal.

Istilah
Beberapa istilah sehubungan dengan gangguan sensasi nyeri superfisial
adalah sebagai berikut:

 Alganestesia dan anelgesia dipergunakan untuk menunjukkan daerah yang tidak


sensitif terhadap rasa nyeri
 Hiperalgesia menunjukkan sensitivitas yang menurun
 Hiperalgesia menunjukkan peningkatan sensitivitas

e. Pemeriksaan sensasi taktil


Cara pemeriksaan: pegang tangan pasien dengan kapas, bulu, tissue, atau bisa
pakai ujung tangan sendiri jika terpaksa dengan halus. Pasien disuruh bilang terasa
atau nggak dan bagian tubuh mana yang disentuh. Beberapa istilah sehubungan
dengan kelainan sensasi taktil, antara lain:
a. Kelainan sensasi taktil dikenal sebagai ansetesia, hipestesia, dan hiperestesia;
akan tetapi istilah tadi secara rancu juga digunakan untuk semua perubahan
sensasi.
b. Apabila sensasi raba ringan negatif disebut tigmanestesia
c. Kehilangan sensasi gerakan rambut disebut trikoanestesia
d. Kehilangan sensasi lokalisasi disebut topoanestesi
e. Ketidakmampuan untuk mengenal angka atau huruf yang “:dituliskan” pada
kulit disebut grafanestesia.

Anda mungkin juga menyukai